Monday, July 16, 2018

Kedudukan Niat dalam Beramal

Oleh : Ust. Suherman, S. Ag. Al Hafizh

I. HAKIKAT NIAT

Banyak di antara para ulama yang mendefinisikan niat, diantaranya :
Imam Al Jauhary dalam Ash Shahah, Niat adalah kemauan yang kuat. Sedangkan menurut Al Khattaby, niat adalah tujuan yang terdetik di dalam hatimu dan menuntut darimu. Ini adalah penjelasan atas sabda Nabi saw, Sesungguhnya Allah mengampuni ummatku apa yang terdetik di dalam jiwa mereka, selagi belum dikerjakan atau dikatakan (HR. As Sittah).
Sedangkan hakikat niat menurut Imam Al Mawardy adalah persetujuan sesuatu yang disertai pelaksanaannya.

II. PERANAN NIAT DALAM MENGARAHKAN AMAL

Niat akan menentukan seseorang dalam melakukan suatu amal. Karena itulah kita harus mengetahui betapa besar peranan niat dalam mengarahkan amal, diantaranya :

1. Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya.
Amal mengikuti niat, amal menjadi benar karena niat yang benar dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.
“Sesungguhnya amal itu hanya bergantung kepada niat-niat, dan seseorang hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan”. (HR. Bukhari Muslim)

2. Amal itu beserta tujuan-tujuannya.
“Sesungguhnya Allah mengampuni bagi ummatku dari kesalahan dan lupa serta dari apa-apa yang mereka dipaksa kepadanya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dzar)
Maksudnya adalah seseorang dikategorikan berdosa jika melakukan satu maksiat dengan sengaja, sadar dan menyadari perbuatan dosanya tersebut. Tetapi jika dia melakukannya karena lupa, khilaf ataupun dipaksa maka hal itu tidak menjadi dosa baginya. Hal ini terjadi kepada salah seorang shahabat Nabi saw. yaitu Amr bin Yasir ra.

3. Satu jenis amal berbeda pahalanya menurut perbedaan niatnya.
Satu amal atau satu benda aktifitas atau wujudnya bisa sama, tetapi bisa menjadi berbeda nilainya dihadapan Allah swt. Tergantung niat pelaku amal atau pemilik benda tersebut. Nabi saw. bersabda : “Kuda itu ada 3 macam, kuda yang dipersiapkan seseorang fi sabilillah. Harganya merupakan pahala, menaikinya merupakan pahala dan meminjamkannya merupakan pahala. Dan, kuda yang dibuat taruhan dan diperjudikan seseorang. Harganya merupakan dosa dan menaikinya merupakan dosa. Dan, kuda untuk mata pencaharian. Maka boleh jadi ia bisa menutup kebutuhan dari kemiskinan atas kehendak Allah”. (HR. Ahmad).
Hadits ini sangat relevan dengan kondisi kita saat ini, dimana budaya hidup permisivisme sering menyeret seorang muslim melakukan tindakan tidak berguna untuk dunia dan akhiratnya. Begitu pula gaya hisup materialisme menjerumuskan seorang muslim pada tindakan “borju”. Berganti-ganti benda sekadar mengikuti trend bukan karena kebutuhan. Karakter hidup sederhana dari seorang da’i menjadi sulit ditemukan ketika da’i pun larut dalam gelimangnya hidup materialisme.

III. NIAT YANG IKHLASH ADALAH DASAR DITERIMANYA AMAL

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (QS. Luqman : 22)
Yang dimaksud dengan ‘menyerahkan diri kepada Allah’ dalam ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan ‘berbuat kebaikan’ ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Maka berdasarkan ayat di atas, ada dua syarat diterimanya amal shaleh oleh Allah swt., yaitu :
1. Niat yang ikhlash dan benar
“Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung niat-niatnya” . (HR. Muslim)
2. Sesuai dengan sunnah dan minhaj sunnah Nabi saw.
“Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak menurut perintah Kami, maka ia tertolak” (HR. Muslim)

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Menurutnya, maksud ‘yang lebih baik amalnya’ adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw. Seseorang bertanya kepadanya, ‘Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?’ Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” 

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

IV. MAKNA IKHLASH DAN TANDA-TANDA IKHLASH

Secara bahasa, ikhlash bermakna bersih dari kotoran dan membersihkan sesuatu yang kotor. Orang yang ikhlash adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah dengan menyembah-Nya, tidak menyekutukan dengan selain-Nya, dan tidak riya dalam beramal.
Secara syari’at, ikhlash berarti niat mengharap ridha Allah swt semata dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain serta memurnikan nita dari kotoran yang merusaknya.

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlash ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah Azza wa Jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementara mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (HR. Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?”. Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”

Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhlasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah : 58)

7. Keikhlasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.

V. BUAH KEIKHLASAN

Sesungguhnya pohon keikhlasan akan menghasilkan buah keikhlasan: manis, indah, dan menyenangkan. Karena berasal dari pohon yang baik, akarnya kuat dan kokoh sedangkan cabangnya menjulang ke langit, menghasilkan buahnya setiap saat (QS. Ibrahim : 24-25)

1. Sampai pada hakekat Islam, yaitu penyerahan total pada Allah.

Berkata Ibnul Qoyyim, “Meninggalkan syahwat karena Allah adalah jalan paling selamat dari adzab Allah dan paling sukses meraih rahmat Allah. Perbendaharaan Allah, perhiasan kebaikan, lezatnya ketenangan, dan rindu pada Allah, senang dan damai dengan Allah tidak akan diraih oleh hati yang di dalamnya ada sekutu selain Allah, walaupun dia ahli ibadah, zuhud, dan ilmu. Karena Allah menolak menjadikan perbendaharaannya bagi hati yang bersekutu dan cita-cita yang berserikat. Allah memberikan perbendaharaan itu pada hati yang melihat kefakiran, kekayaan bersama Allah; kekayaan, kefakiran tanpa Allah; kemuliaan, kelemahan tanpa Allah, kehinaan, kemuliaan bersama Allah, kenikmatan, adzab tanpa Allah dan adzab adalah kenikmatan bersama Allah.”

2. Selamat dari cinta harta, kedudukan, dan popularitas.

Dari Ka’ab bin Malik r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dua serigala lapar dikirim ke kambing lebih merusak melebihi ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi). Ka’ab bin Malik adalah seorang sahabat yang tidak ikut Perang Tabuk karena bersantai-santai. Akibatnya dia mendapat hukuman yang berat, diboikot Rasulullah saw. dan para sahabat selama 50 hari. Tapi dia jujur dan mengatakan apa adanya pada Rasulullah saw., tidak seperti yang dilakukan oleh kaum munafik. Pada saat kondisi sulit dan dunia terasa sempit, muncul tawaran suaka politik dari Raja Ghasan. Ka’ab ikhlas menerima ujian itu dan menolak segala tawaran politik Raja Ghasan dengan segala kemewahan dan popularitasnya. Dan dia selamat, lebih dari itu peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an.

3. Bebas dari perbuatan buruk dan keji.

Nabi Yusuf a.s. adalah salah satu contoh yang diselamatkan Allah swt. dari perbuatan keji dan mesum berkat keikhlasan beliau (lihat surat Yusuf: 24).

4. Ikhlas menjadikan amal dunia secara umum sebagai ibadah yang berpahala.

Sesungguhnya banyak sekali amal umum yang jika kita niatkan karena Allah maka akan berpahala. Memberi makan, nafkah, dan menyalurkan hasrat seks pada istri, bersenda gurau dengan anak istri, berolah raga, rekreasi yang sehat, makan dan minum secara umum. Dari Abu Dzar r.a., sejumlah sahabat Rasulullah saw. berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah saw., para hartawan itu pergi dengan banyak pahala. Mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mengerjakan puasa sebagaimana kami puasa, dan bersedekah dengan kelebihan harta yang mereka miliki (sedang kami tidak mampu).” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu untuk kalian yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah bagi kalian, setiap takbir (Allahu Akbar) sedekah bagi kalian, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah bagi kalian, setiap tahlil (laa ilaaha illallah) adalah sedekah bagi kalian. Amar ma’ruf adalah sedekah, nahi mungkar sedekah, dan bersetubuh adalah sedekah pula.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah di antara kami apabila menyalurkan syahwatnya (kepada istri) juga mendapat pahala?” Jawab beliau, “Tahukah kalian, jika dia menyalurkannya pada yang haram (berzina), bukankah baginya ada dosa? Demikian pula jika ia menyalurkannya pada yang halal, maka baginya berpahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

5. Keluar dari setiap kesempitan.

Kisah tiga orang yang terjebak dalam gua bukanlah sekedar kisah pelipur lara atau kisah pengantar tidur yang tanpa makna. Tiga orang yang mempersembahkan amalan unggulannya: pertama, birrul walidain; kedua, wafa terhadap pegawainya; dan ketiga, pengendalian syahwat yang luar biasa. Keajaiban itu terjadi karena buah keikhlasan dan keajaiban itu dapat berulang setiap saat, jika syaratnya terpenuhi: ikhlas.

Ada banyak sekali daftar kesempitan pada umat Islam. Kesempitan kemiskinan, kekurangan pangan, lapangan kerja, fitnah teroris, korupsi, pejabat yang culas, perzinahan dan pemerkosaan, mafia peradilan, premanisme dan banyak lagi pernik-pernik kesempitan. Sehingga untuk keluar dari semua kesempitan itu, dibutuhkan bukan hanya tiga orang yang ikhlas, tetapi sepuluh, seratus, seribu, sejuta, sepuluh juta, seratus juta, dan bahkan lebih dari itu.

6. Kemenangan dari tipu daya syetan.

Diriwayatkan dari Al-Hasan berkata, “Ada sebuah pohon yang disembah manusia selain Allah. Maka seseorang mendatangi pohon tersebut dan berkata, “Saya akan tebang pohon itu.” Maka ia mendekati pohon tersebut untuk menebangnya sebagai bentuk marahnya karena Allah. Maka syetan menemuinya dalam bentuk manusia dan berkata, “Engkau mau apa?” Orang itu berkata, “Saya hendak menebang pohon ini karena disembah selain Allah.” Syetan berkata, “Jika engkau tidak menyembahnya, maka bukankah orang lain yang menyembahnya tidak membahayakanmu?” Berkata lelaki itu, “Saya tetap akan menebangnya.” Berkata syetan, “Maukah aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik bagimu? Engkau tidak menebangnya dan engkau akan mendapatkan dua dinar setiap hari. Jika engkau bangun pagi, engkau akan dapatkan di bawah bantalmu.” Berkata si lelaki itu, “Mungkinkah itu terjadi?” Berkata syetan, “Saya yang menjaminnya.”

Maka kembalilah lelaki itu, dan setiap pagi mendapatkan dua dinar di bawah bantalnya. Pada suatu pagi ia tidak mendapatkan dua dinar di bawah bantalnya, sehingga marah dan akan kembali menebang pohon. Syetan menghadangnya dalam wujud aslinya dan berkata, “Engkau mau apa?”. Berkata lelaki itu, “Saya akan menebang pohon ini karena disembah selain Allah.” Berkata syetan, “Engkau berdusta, engkau akan melakukan ini karena diputus jalan rezekimu.” Tetapi lelaki itu memaksa akan menebangnya, syetan memukulnya, mencekik dan hampir mati, kemudian berkata, “Tahukah kau siapa saya?” Maka ia memberitahukan bahwa dirinya adalah syetan.

Syetan berkata, “Engkau datang pada saat pertama, marah karena Allah. Sehingga saya tidak mampu melawanmu. Oleh karena itu saya menipumu dengan dua dinar. Dan engkau tertipu dan meninggalkannya. Dan pada saat engkau tidak mendapatkan dua dinar, engkau datang dan marah karena dua dinar tersebut, sehingga saya mampu mengalahkanmu.”

7. Meraih kecintaan Allah.

Ketika orang beriman beribadah, baik ibadah yang wajib maupun sunnah, dan dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah, pasti mereka meraih kecintaan Allah. Merekalah kekasih-kekasih Allah. Disebutkan dalam hadits Al-Qudsyi“Jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan yang sunnah, maka Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

8. Meraih kecintaan manusia.

Ketika Allah sudah mencintai hamba-Nya, maka seluruh makhluk dapat digerakkan untuk mencintai hamba tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Jika Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, Allah memanggil Jibril, “Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Jibril pun mencintai Fulan. Kemudian Jibril memanggil penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai Fulan. Oleh karena itu cintailah Fulan.” Maka penduduk langit mencintai Fulan. Kemudian ditetapkan baginya penerimaan di bumi.” (Muttafaqun ‘alaihi).

9. Meraih kemenangan di dunia dan pahala yang besar di akhirat

Orang beriman tentulah orang yang ikhlas dan berhak mendapat kemenangan dunia dan pahala besar di akhirat kelak, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ash Shaff : 10-13

Maroji :
1. Buah Keikhlasan, Ust. Iman Santoso, Lc., http://www.dakwatuna.com
2. Delapan Tanda Keikhlasan, Ust. Mochamad Bugi, http://www.dakwatuna.com
3. Fith Thariq Ilallah, An Niyah wal Ikhlash, Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Maktabah Wahbiyyah, Cairo, cet. 1, 1416 H/1995, Edisi Bahasa Indonesia Niat dan Ikhlash, Alih Bahasa oleh Kathur Suhardi, Pustaka Al Kautsar, Cetakan Ketujuh, Maret 2000
4. Nasihat Untuk Qiyadah dan Kader Dakwah, Iman Santoso, Lc, Robbani Press, Cetakan Pertama, Rajab 1429 H/Juli 2008 M

No comments:

Post a Comment