Friday, March 1, 2019

Hadits Arbain 13: Ukhuwah Yang Benar

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamyang bersabda, "Salah seorang dari kalian tidak beriman hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya". (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). [1]

Hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nyamasing-masing dari Qatadah dari Anas bin Malik. Redaksi Muslim ialah,

حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ أَوْ لِأَخِيهِ"

"… hingga ia mencintai untuk tetangganya atau saudaranya …”Ada keragu-raguan antara saudara dengan tetangga.

Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad dan redaksinya ialah,

لَا يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيقَةَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ

"Seorang hamba tidak mencapai hakikat iman hingga ia mencintai kebaikan untuk manusia seperti yang ia cintai untuk dirinya".

Riwayat Imam Ahmad tersebut menjelaskan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa yang dimaksud dengan tidak beriman ialah tidak mencapai hakikat dan puncak iman, karena iman seringkali dianggap tidak ada karena ketiadaan rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Pezina tidak berzina ketika berzina sedang ia dalam keadaan Mukmin, pencuri tidak mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin, dan orang tidak minum minuman keras ketika ia meminum keras sedang ia dalam keadaan Mukmin'.[2])Dan seperti sabda beliau yang lain,"Tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari gangguan-gangguannya".[3])

Para ulama berbeda pendapat tentang pelaku dosa-dosa besar; apakah ia dinamakan Mukmin yang kurang beriman atau tidak dikatakan Mukmin? Ada yang mengatakan, ia Muslim dan bukan Mukmin menurut salah satu dari dua pendapat dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad.

Sedang orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil, iman tidak hilang dari dirinya secara total, namun ia orang Mukmin yang kurang beriman dan imannya berkurang sesuai dengan kadar dosa kecil yang ia kerjakan.

Pendapat bahwa pelaku dosa-dosa besar itu Mukmin yang kurang beriman diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan sekaligus pendapat Ibnu Al-Mubarak, Ishaq, Abu Ubaid, dan lain-lain. Sedang pendapat bahwa pelaku dosa-dosa besar itu Muslim dan bukan Mukmin diriwayatkan dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali. Sebagian ulama menyebutkan bahwa pendapat itulah (bahwa pelaku dosa-dosa besar itu Muslim bukan Mukmin) adalah pendapat pilihan Ahlus-Sunnah.

Ibnu Abbas berkata, "Cahaya iman dicabut dari pezina". [4])

Abu Hurairah berkata, "Iman dicabut dari pezina kemudian iman berada di atasnya seperti naungan. Jika ia bertaubat, iman kembali kepadanya".

Abdullah bin Ruwahah dan Abu Ad-Darda' berkata, "Iman itu seperti baju kemeja. Terkadang seseorang memakainya dan terkadang melepasnya".

Hal yang sama dikatakan Imam Ahmad dan lain-lain. [5]) Maknanya, jika seseorang menyempurnakan sifat iman, ia mengenakannya. Jika ada yang kurang dari imannya, ia melepasnya. Ini semua sinyal bahwa iman yang sempurna ialah iman yang tidak kurang satu pun dari kewajiban-kewajiban.

Maksudnya, di antara sifat iman yang wajib ialah seseorang mencintai untuk saudaranya yang Mukmin apa yang ia cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, imannya berkurang. Diriwayatkan datang hadits bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, "Cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi Muslim”. (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). [6]

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Muadz bin Jabal bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang iman yang paling utama kemudian beliau bersabda, "Iman yang paling utama ialah engkau mencintai dan membenci karena Allah dan menggunakan lidahmu dalam dzikir kepada Allah”. Muadz bin jabal berkata, "Apa lagi, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau cintai untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, membenci untuk mereka apa yang engkau benci untuk dirimu, dan berkata dengan benar, atau diam".[7])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menomerkan masuk surga bagi orang yang memiliki sifat tersebut. Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Yazid bin Asad Al-Qasri yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku, "Apakah engkau ingin masuk surga?" Aku menjawab, "Ya”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu".[8])

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, hendaklah ia dijemput kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serta datang kepada manusia dengan membawa sesuatu yang ia sukai didatangkan kepadanya".[9]

Dalam Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Dzar RadhiyallahuAnhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku, "Hai Abu Dzar, sungguh aku lihat engkau orang lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku. Engkau jangan memimpin dua orang dan jangan pula memegang harta anak yatim".[10])

RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam melarang Abu Dzar mengerjakan dua hal tersebut, karena beliau melihat Abu Dzar orang lemah dan beliau mencintai hal tersebut pada seluruh orang lemah. Beliau memimpin manusia, karena Allah membuat beliau kuat menjalankannya dan memerintahkan beliau mengajak manusia taat kepada beliau, mengelola agama dan dunia mereka.

Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku, "Aku ridha untukmu apa yang aku ridhai untuk diriku dan membenci untuk dirimu apa yang aku benci untuk diriku. Engkau jangan membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub, ruku’ dan sujud".[11])

Muhammad bin Wasi” menjual keledai miliknya kemudian seseorang berkata kepadanya, "Apakah engkau meridhai keledai ini untukku?" Muhammad bin Wasi” berkata, "Jika aku meridhainya, aku tidak menjualnya”. Ini isyarat Muhammad bin Wasi” bahwa ia tidak meridhai untuk saudaranya kecuali apa yangia ridhai untuk dirinya. Ini termasuk nasihat untuk kaum Muslimin secara umum yang notabene termasuk bagian dari ajaran agama seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Sebelumnya saya sebutkan hadits An-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta, simpati, dan kasih sayang mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu dari organ tubuh ada yang sakit, seluruh tubuh mengeluh panas dan tidak bisa tidur karenanya"(Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim di Shahihnya masing-masing). [12]

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang Mukmin terganggu oleh apa saja yang mengganggu saudaranya yang Mukmin dan sedih oleh apa saja yang membuat saudaranya sedih.

Hadits Anas bin Malik yang kita bahas sekarang menunjukkan bahwa orang Mukmin dibuat gembira oleh sesuatu yang membuat gembira saudaranya yang Mukmin dan menginginkan kebaikan untuk saudaranya yang Mukmin seperti yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Ini semua terjadi karena kesempurnaan hati dari dengki, penipuan, dan iri hati. Dengki membuat pelakunya tidak mau diungguli siapa pun dalam kebaikan atau diimbangi di dalamnya, karena ia senang lebih unggul atas seluruh manusia dengan seluruh kelebihannya dan ia sendiri yang memilikinya tanpa siapa pun dari manusia. Sedang iman menghendaki kebalikannya, yaitu agar ia diikuti seluruh kaum Mukminin dalam kebaikan yang diberikan Allah kepadanya tanpa mengurangi sedikit pun kebaikannya.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang tidak ingin sombong dan membuat kerusakan di bumi. Allah Ta’ala berfirman, "Negeri akhirat Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat-kerusakan di bumi, dan kesudahanitu bagi orang-orang yang bertakwa"(Al-Qashash: 83).

Ibnu Jarir dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Seseorang pasti ingin tali sandalnya lebih baik daripada tali sandal saudaranya, akibatnya, ia masuk dalamfirman Allah, Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkandiri dan berbuat kerusakan di bumi, dan kesudahan itu bagi orang-orang yang bertakwa".[13])

Perkataan yang sama tentang ayat di atas diriwayatkan dari Al-Fudhail bin Iyadh. Ia berkata, "Ia tidak ingin sandalnya lebih baik dari sandal orang lain dan tidak ingin tali sandalnya lebih baik daripada tali sandal orang lain”.

Ada yang mengatakan bahwa pemakaian sandal seperti itu termasuk sombong karena pelakunya bermaksud sombong dan tidak hanya bermaksud berhias. [14])Ikrimah dan para pakar tafsir lainnya berkata tentang ayat di atas, "Yang dimaksud dengan kata al-uluwwu fi ardhi ialah sombong, mencari kehormatan dan kedudukan pada pemiliknya. Al-Fasad yang dimaksud ialah mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan”.[15])

Ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang ingin tidak disaingi orang lain dalam ketampanan itu tidak berdosa. Imam Ahmad dan Al-Hakim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan ketika itu Malik bin Mirarah Ar-Rahawi berada di tempat beliau. Aku dapati Malik bin Mirarah Al-Rahawi berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah diberi ketampanan seperti engkau lihat, oleh karena itu, aku tidak ingin salah seorang manusia mengungguliku dengan tali sandal dan selebihnya, apakah itu termasuk kedzaliman?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak. Itu tidak termasuk kedzaliman, namun kedzaliman ialah orang yang sombong”. Atau beliau bersabda, “Namun kedzaliman ialah orang yang menolak kebenaran dan menghina manusia”.[16])

Abu Daud [17]) meriwayatkan hadits semakna dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di haditsnya disebutkan kata al-kibru(sombong) dan bukannya kata al-baghyu(kedzaliman).

Pada hadits di atas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengatakan ketidaksukaan Malik bin Mirarah Ar-Rahawi untuk disaingi siapa pun dalam ketampanan sebagai bentuk kedzaliman atau kesombongan. Beliau juga menafsirkan kesombongan dan kedzaliman dengan arti merendahkan kebenaran yang tidak lain adalah sombong terhadapnya dan menolak menerima kebenaran karena sombong jika kebenaran tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Dari sinilah, salah seorang dari generasi salaf berkata, "Tawadhu’ ialah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya kendati yang membawanya adalah anak kecil. Jadi, barangsiapa menerima kebenaran dari siapa pun yangmembawanya; anak kecil, atau orang dewasa, orang yang dicintainya, atau orang yang dibencinya, ia orang yangtawadhu’. Dan barangsiapa menolak menerima kebenaran karena sombong terhadapnya, ia orang yang sombong”.

Menghina manusia dan merendahkan mereka itu bisa terjadi dengan cara seseorang melihat pribadinya sebagai orang sempurna dan melihat orang lain sebagai orang tidak sempurna.

Kesimpulannya, orang Mukmin harus mencintai untuk kaum Mukminin apa yang ia cintai untuk dirinya dan tidak menyukai untuk mereka apa yang tidak ia sukai untuk dirinya. Jika ia melihat kekurangan di aspek agama pada saudaranya, ia berusaha memperbaikinya. Salah seorang shalih dari generasi salaf berkata, "Orang-orangyang mencintai Allah melihat dengan cahaya Allah, merasa kasihan kepada orang-orang yang bermaksiat kepada Allah, membenci perbuatan-perbuatan mereka, merasa kasihan kepada mereka dengan cara menasihati mereka untuk melepaskan mereka dari perbuatan mereka, dan menyayangkan badan mereka sendiri jika sampai terkena neraka”. Seorang Mukmin tidak menjadi Mukmin sejati hingga ia ridha untuk manusia apa yang ia ridhai untuk dirinya. Jika ia melihat orang lain mempunyai kelebihan atas dirinya, ia berharap mempunyai kelebihan yang sama. Jika kelebihan tersebut merupakan masalah-masalah keagamaan, itu sangat baik, karena NabiShallallahu Alaihi wa Sallam sendiri mengharapkan dirinya mendapatkan kedudukan syahid. [18])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda, "Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang; orangyang diberi harta oleh Allah kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang dan orang yang diberi Al-Qur’an oleh Allah kemudian ia membacanyadi pertengahan malam dan pertengahan siang".[19])

Tentang orang yang melihat orang lain menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah kemudian ia berkata, "Jika aku mempunyai harta, niscaya aku berbuat seperti yang ia perbuat," Rasulullah Shallallahu Alaihr” wa Sallam bersabda, "Pahala kedua orang tersebut sama”. [20])

Jika kelebihan pada aspek-aspek duniawi, maka tidak baik menginginkan kelebihan seperti itu, karena Allah Ta’ala berfirman,"Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya, berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. “Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Kecelakaan besar bagi kalian, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan pahala tidak diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar". (Al-Qashash: 79-80).

Tentang firman Allah Ta’ala, "Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain”. (An-Nisa’: 32).

Yang dimaksud dengan ayat di atas ialah hasad, yaitu orang menginginkan keluarga atau harta seperti yang diberikan kepada saudaranya, dan berharap semua itu berpindah tangan kepadanya. Ayat di atas juga ditafsirkan dengan keinginan yang dilarang syar’i dan melawan takdir, misalnya wanita ingin menjadi laki-laki, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan agama seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki misalnya jihad, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihanduniawi seperti dimiliki kaum laki-laki seperti warisan, akal, kesaksian, dan lain sebagainya. Ada lagi yang mengatakan bahwa ayat di atas merangkum itu semua.

Kendati demikian, orang Mukmin harus sedih karena tidak mempunyai kelebihan-kelebihanagama. Oleh karena itu, dalam masalah agama, orang Muslim diperintahkan melihat kepada orang yang di atasnya dan berkompetisi di dalamnya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, seperti difirmankan Allah Ta’ala, "Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba". (Al-Muthaffifin: 26).

Orang Muslim tidak boleh benci diikuti orang lain dalam masalah agama. Justru, ia menyukai seluruh manusia terlibat dalam persaingan dalam kelebihan-kelebihanagama dan menganjurkannya. Itulah puncak kesempurnaan pemberian nasihat kepada saudara-saudara seiman. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Jika engkau senang agar manusia seperti dirimu, maka engkau belum menunaikan nasihat untuk Tuhanmu, lebih-lebih lagi jika engkau senang agar manusia itu berada di bawahmu". Perkataan Al-Fudhail bin Iyadh di atas menunjukkan bahwa pemberian nasihat kepada manusia ialah hendaknya orang Mukmin suka kalau manusia berada di atas kedudukannya. Ini kedudukan dan derajat tinggi dalam nasihat, namun tidak diwajibkan. Namun yang diperintahkan dalam syar’i ialah hendaknya orang Mukmin suka kalau manusia seperti dirinya. Kendati demikian, jika ada orang yang mengungguli dirinya dalam kelebihan keagamaan, ia berusaha keras mengejarnya, sedih atas kelalaian dirinya, dan gundah atas ketertinggalannya dari menyusul orang-orang yang lebih dahulu dalam kebaikan. Ia tidak dengki kepada manusia atas apa yang diberikan Allah kepada mereka berupa kelebihan agama tersebut, namun ia bersaing dengan mereka di dalamnya, ingin seperti mereka tanpa menginginkan hilangnya kelebihan tersebut dari mereka, sedih atas kelalaiannya dan ketertinggalannya dari kedudukan orang-orang yang lebih dahulu dalam kebaikan.

Orang Mukmin harus terus-menerus melihat dirinya lalai dari kedudukan tinggi, karena sikap seperti itu menghasilkan dua hal yang berharga;
Pertama,ia berusaha keras mencari keutamaan-keutamaan dan meningkatkannya.
Kedua, ia melihat dirinya sebagai orang yang kurang sempurna. Sikap seperti ini membuatnya menyukai kaum Mukminin menjadi seperti dirinya atau bahkan lebih baik daripada dirinya karena ia tidak ridha mereka seperti dirinya sebagaimana ia tidak ridha dengan keadaan dirinya dan ia berjuang keras memperbaiki dirinya. Muhammad bin Wasi” berkata kepada anaknya, "Adapun ayahmu, mudah-mudahan Allah tidak memperbanyak orang seperti dia di kaum Muslimin”. [21])

Barangsiapa tidak ridha kepada dirinya sendiri, bagaimana ia ridha kaum Muslimin seperti dirinya seperti itu ketika ia menasihati mereka? Tidak, justru ia suka kaum Muslimin menjadi lebih baik daripada dirinya dan ia suka dirinya lebih baik daripada kondisinya ketika itu.

Jika orang tahu Allah memberi kelebihan khusus kepada dirinya dan kelebihan tersebut tidak diberikan Allah kepada orang lain kemudian ia menceritakannya kepada orang lain untuk kemaslahatan agama, ia menceritakannya dalam konteks menyebutkan nikmat, dan melihat dirinya lalai melakukan syukur, itu diperbolehkan, karena Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku tidak tahu ada orang yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an daripada aku”. Namun ini tidak menghalangi Ibnu Mas’ud untuk menyukai manusia ikut serta dalam kelebihan khusus yang diberikan Allah kepadanya.

Ibnu Abbas berkata, "Aku membaca salah satu ayat Al-Qur’an kemudian ingin seluruh manusia mengetahuinya seperti yang aku ketahui”.

Imam Syafi’i berkata, "Aku ingin manusia mempelajari ilmu ini tanpa menisbatkan sedikit pun dari padanya kepadaku”. [22])

Jika Utbah Al-Ghulam ingin berbuka puasa, ia berkata kepada orang yang melihat perbuatannya, "Keluarkan air atau kurma untuk aku pakai berbuka puasa, agar engkau mendapatkan pahala sepertiku”. [23])


[1]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 13, Muslim hadits nomer 45, Imam Ahmad 3/176, 251, 272, 289, At-Tirmidzi hadits nomer 5215, Ibnu Majah hadits nomer 66, dan An-Nasai 8/115. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 234 dan 235. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[2]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/376, Al-Bukhari hadits nomer 2475, dan Muslim hadits nomer 57. Hadits tersebut di-shahih-kan Ibnu Hibban hadits nomer 168.
[3]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6016, Muslim hadits nomer 46, dan Imam Ahmad 2/288.
Dari Abu Syuraih Al-Ka'bi, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6016 dan Imam Ahmad 4/31.
Dari Anas bin Malik, hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 510.
[4]Diriwayatkan Al-Ajuri di Asy-Syariathal. 115.
[5]Sufyan Ats-Tsauri juga berkata seperti itu seperti terlihat di buku Al-Hilyah 7/32.
[6]Telah ditakhrij sebelumnya.
[7]Diriwayatkan Imam Ahmad 5/247 dan di sanadnya terdapat Zuban bin Faid dan Ibnu Lahi'ah yang keduanya merupakan perawi dhaif.
[8]Diriwayatkan Imam Ahmad di Al-Musnad 4/70. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim4/168 dan menshahihkannya dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/186 dan berkata, "Para perawinya adalah para perawi tepercaya. Hadits tersebut mempunyai penguat yaitu hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/310 dan At-Tirmidzi hadits nomer 2305, namun di sanadnya terdapat perawi tidak dikenal."
[9]Shahih Muslim hadits nomer 1844. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/161, Abu Daud hadits nomer 4248, An-Nasai 7/153, dan Ibnu Majah hadits nomer 3956.
[10]Shahih Muslim hadits nomer 1826. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Daud 2868 dan An-Nasai 6/255.Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5564. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[11]Hadits di atas dengan redaksi seperti itu diriwayatkan Ad-Daruquthni 1/118-119 dari Abu Musa Al-Asy’ari. Di sanadnya terdapat Abu Nu'aim An-Nakha’i yang nama aslinya ialah Abdurrahman bin Hani'. Tentang dirinya, Imam Ahmad berkata, "Ia tidak ada apa-apanya." Yahya menuduhnya sebagai pendusta. Al-Hafidz lbnu Hajar menganggapnya sebagai pendusta di At-Talkhish1/241.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 2836 dari Ali dan sanadnya sangat dhaif, karena di dalamnya terdapat perawi Al-Hasan bin Imarah yang tidak bisa dijadikan hujjah, Abu Ishaq As-Subai'i yang telah bercampur-baur, dan Al-Harits Al-A'war yang dhaif.
Telah mencukupi hadits di atas dengan hadits yang diriwayatkan Malik 1/80, Abdurrazzaq hadits nomer 2833, dan Muslim hadits nomer 480 serta hadits dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1895 dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangku membaca Al-Qur’an dalam keadaan rukudan sujud”. 
Imam Ahmad 1/83, 84, 107, 124, 134, At-Tirmidi hadits nomer 46, Abu Daud hadits nomer 229, An-Nasai 1/144, dan Ibnu Majah hadits nomer 594 meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membacakan Al-Qur’an kepada kami dalam semua keadaan selagi beliau tidak dalam keadaan junub”. At-Tirmidziberkata, "Hadits tersebut hasan shahih." Hadist tersebut dishahihkan Al-Hakim l/104 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[12]Telah ditakhrij sebelumnya.
[13]Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 20/122 dan di sanadnya terdapat perawi Asy'ats As-Saman, dia itu matruk.
[14]Al-Hafidz Ibnu Katsir berpendapat seperti itu di Tafsirnya 6/269.
[15]Baca Tafsir Ath-Thabari 20/122 dan Ad-Durrul Mantsur6/444.
[16]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/385 dari Ismail dari Ibnu Aun dari Amr bin Sa'id dari Humaid bin Abdurrahman yang berkata bahwa Ibnu Mas'ud dan seterusnya. Para perawi hadits di atas adalah para perawi tepercaya, namun ada hal yang tidak jelas tentang mendengar tidaknya Humaid dari Ibnu Mas'ud. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 4/182 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[17]Di As-Sunan hadits nomer 4092 dan sanadnya shahih.
[18]Al-Bukhari hadits nomer 36 redaksi hadits menurut versinya, Muslim hadits nomer 1876, Imam Ahmad 2/424, dan Ibnu Majah hadits nomer 2753 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Kalaulah aku tidak khawatir memberatkan umatku, aku tidak duduk (tidak berangkat) di belakang detasemen, Sungguh, aku ingin dibunuh di jalan Allah kemudian hidup lagi, kemudian aku dibunuh, kemudian hidup lagi, lalu dibunuh"Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4736.
[19]Dari Ibnu Mas'ud, hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad 1/358, Al-Bukhari hadits nomer 73, Muslim hadits nomer 816, dan Ibnu Majah hadits nomer 4208. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 90.
Dari Abu Hurairah, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5026.
Dari Ibnu Umar, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5025, Muslim hadits nomer 815, dan Ibnu Majah hadits nomer 4209. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 125 dan 126.
[20]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5026 dari Abu Hurairah.
[21]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 2/350.
[22]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 9/119. Baca juga Siyaru A’lamin Nubala'10/55.
[23]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 6/235.

Hadits Arbain 12: Jadilah Orang Yang Baik Keislamannya

عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ " حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا  .

Dari Abu Hurairah radari Nabi sawyang bersabda, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya. “(Diriwayatkan At Tirmidzi dan lain-lain). Hadits di atas hadits hasan li ghairihi diriwayatkan At Tirmidzi hadits nomer 2317, Ibnu Majah hadits nomer 3976, dan Ibnu Hibban hadits nomer 229. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu hadits nomer 108 dan Sa’ad bin Zanbur dari Abdurrahman bin Abdullah Al-Amri (dia itu matruk) dan Suhailbin Abu Shalih dari ayahnya dariAbu Hurairah. Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Dzar, Zaid bin Tsabit, Al-Harits bin Hisyam, dan Ali bin Abu Thalib. Baca buku Syarhuth Thahawiyah 1/342 yang diterbitkan Muassasah Ar­-Risalah.

Syarah Hadits

Hadits di atas di riwayatkan At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari riwayat Al­ Khuzai dari Qurnah bin Abdurrahman dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. At Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut gharib. “Namun hadits tersebut dihasankan Syaikh An-Nawawi, karena para perawinya adalah para perawi tepercaya. Qurrah bin Abdurrahman bin Huyawail dianggap sebagai perawi tepercaya oleh salah satu kelompok dan dianggap dhaif oleh kelompok lainnya. lbnu Abdul Barr berkata, “Hadits tersebut diriwayatkan dari Az-Zuhri dengan sanad seperti itu dan riwayat para perawi tepercaya.” ini sesuai dengan penghasanan hadits tersebut oleh Syaikh An-Nawawi. 

Sedang sebagian besar imam, mereka berkata, “Hadits tersebut tidak diriwayatkan dengan sanad seperti itu, namun diriwayatkan dari Az-Zuhri dari Ali bin Husain dari Nabi saw secara mursal. Hadits tersebut juga diriwayatkan sejumlah perawi tepercaya dari Az-Zuhri, misalnya Imam Malik di Al Muwaththa[1],Yunus, Ma’mar, dan Ibrahim bin Sa’ad. Namun Ibrahim bin Sa’ad berkata bahwa hadits tersebut ber­bunyi, “Di antara keimanan seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya.”

Di antara ulama yang berkata bahwa hadits tersebut tidak shahih kecuali dari Ali bin Husain secara mursal ialah Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Al Bukhari, dan Ad-Daruquthni. Para perawi dhaif keliru besar mensanadkan hadits tersebut pada Az-Zuhri. Yang benar hadits tersebut mursal.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdullah bin Umar Al Amri dari Az­-Zuhri dari Ali bin Husain dari ayahnya dari  Nabi sawAbdullah bin Umar Al Amri menyambungkan sanad hadits tersebut dan menjadikannya salah satu dari Musnad Al Husain bin Ali.

Hadits tersebutjuga diriwayatkan Imam Ahmad di Musnad-nya[2] dari jalur seperti di atas. Abdullah bin Umar Al Amri bukan hafidz hadits. Imam Ahmad[3] juga meriwayatkan hadits di atas dari jalur lain dari Al Husain dari Nabi sawnamun hadits tersebut di-dhaifkan Al Bukhari di Tarikh-nya dari jalur tersebut. Al Bukhari berkata, “Hadits tersebut tidak shahih kecuali dari Ali bin Husain secara mursal.“ Hadits di atas juga diriwayatkan dari Nabi saw dari banyak jalur, namun semuanya dhaif.

Hadits bab di atas adalah salah satu prinsip etika yang agung. Imam Abu Amr bin Ash-Shalah meriwayatkan dari Abu Muhammad bin Abu Zaid, imam sa­habat-sahabat Imam Malik pada zamannya, yang berkata, “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits:
  1. Sabda Nabi saw, ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata dengan baik atau hendaklah ia diam.’
  2. Sabda Nabi saw, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya.’
  3. Sabda Nabi saw kepada orang yang beliau bersabda kepadanya dengan ringkas, ‘Engkau jangan marah.’
  4. Sabda Nabi saw, ‘Orang Mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya”
Makna hadits bab di atas ialah bahwa di antara bentuk kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak penting bagi­nya. Pengertian kata ya’nihi di hadits tersebut ialah perhatiannya (inayah) tertuju kepadanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Inayah ialah perhatian ekstra terhadap sesuatu. Orang tersebut meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan tuntutan jiwa, namun karena pertimbangan syariat dan Islam. Oleh karena itu, Nabi saw menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya. Jadi, jika keislaman seseorang baik, ia meninggalkan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak penting baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajibaan-kewajibaan seperti telah dijelaskan pada hadits Jibril Alaihis Salam.

Meninggalkan hal-hal yang diharamkan juga masuk dalam keislaman yang sempurna dan terpuji, seperti disabdakan Nabi saw, “Or­ang Muslim ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya.” Jadi, jika keislaman seseorang baik, ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, hal-hal syubhat, hal-hal makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak ia butuhkan, karena itu semua tidak pen­ting bagi orang Muslim jika keislamannya telah baik dan mencapai tingkatan ihsan yang tidak lain ialah ia menyembah Allah seolah-olah melihat Nya dan jika ia tidak bisa melihat Nya maka Allah melihatnya. Jadi, barangsiapa menyembah Allah dengan mengingat kedekatan Allah dan penglihatan kepada-Nya dengan hatinya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang penting baginya. Kedua sifat tersebut menghasilkan sifat malu kepada Allah dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya, sebagaimana diwa­siatkan Nabi saw kepada seseorang agar ia malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada salah seorang dari keluarganya yang baik yang tidak pernah berpisah darinya. Di Al Musnad dari At Tirmidzi disebutkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Nabi saw yang bersabda, ‘Malu kepada Allah Ta’ala ialah engkau menjaga kepala dan apa saja yang dikandungnya, perut dan apa saja yang di muatnya, ingat mati dan musibah. Barang siapa berbuat seperti itu, sungguh ia malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya.[4]

Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Malulah kepada Allah sesuai dengan kedekatan Dia kepadamu dan takutlah kepada-Nya sesuai dengan kekua­saan-Nya terhadapmu.”

Salah seorang arif berkata, “Jika engku berbicara, ingatlah pendengaran Allah terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu.” Hal ini diisyaratkan Al Qur’an di banyak tempat, misalnya firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya; satu duduk disebelahnya dan yang lain duduk disebelah kiri. Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf: 16-18).

Atau firman Allah Ta’ala, “Engkau tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur‘an dan engkau tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu pada waktu engkau melakukannya; tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar dzarrah (atom) di bumi atau di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) di kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). “(Yunus: 61).

Atau seperti firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka kira Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar) da utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat disisi mereka. “(Az-Zukhruf: 80). 

Sesuatu tidak penting yang paling sering diinginkan orang Muslim untuk ia tinggalkan ialah perkataan yang tidak berguna seperti diisyaratkan permulaan su­rat Qaaf. Di Al Musnad disebutkan hadits dari Al Husain dari Nabi saw yang bersabda, “Sesungguhnya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah sedikit menga­takan sesuatu yang tidak penting baginya.’[5]

A1-Kharaithi meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata, “Seseorang datang kepada Nabi saw kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ditaati di kaumku, apa yang mesti aku perintahkan kepada mereka?’Nabi saw bersabda kepada orang tersebut,‘Perintahkan mereka menyebarkan salam dan sedikit bicara kecuali dalam hal-hal yang penting bagi mereka [6]

Dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Dzar ra dari Nabi saw yang bersabda, “Di shuhuf-shuhuf Ibrahim as tertulis, ‘Orang berakal selama akalnya tidak dikalahkan wajib mempunyai waktu-waktu; waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, waktu untuk mengevaluasi dirinya, waktu untuk memikirkan ciptaan Allah, dan waktu yang ia gunakan untuk meme­nuhi kebutuhannya; makanan dan minuman. Orang berakal wajib tidak beranjak kecuali untuk tiga hal; mencari bekal untuk Hari Akhir, atau memper­baiki kehidupannya, atau mencari kenikmatan pada hal-hal yang tidak diharamkan. Orang berakal wajib melihat waktunya, menangani urusannya, dan menjaga lidahnya. Barangsiapa membandingkan antara ucapannya dan amal perbuatannya, ia sedikit bicara kecuali terhadap hal-hal yang penting baginya.”[7]

Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata, “Barangsiapa membandingkan antara ucapannya dan amal perbuatannya, niscaya ucapannya sedikit kecuali dalam hal-hal yang penting baginya.”Begitulah kurang lebih ucapan beliau. Banyak ma­nusia tidak membandingkan antara ucapannya dengan amal perbuatannya, akibat­nya, ia bicara ngawur dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui Muadz bin Jabal ra ketika ia bertanya kepada Nabi saw, “Apakah kita juga akan dihukum karena apa yang kita katakan?” Nabi saw bersabda, “Semoga ibumu kehilangan Anda, tidak ada yang membuat manusia terjungkir di neraka, melainkan karena hasil lidah mereka.”[8]

Allah Ta’ala menegaskan tidak adanya kebaikan di seluruh bisikan manusia sesama mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan dikebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-­bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan pendamaian di antara manusia. “(An-Nisa’: 114). 

At Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Ummu Habibah ra dari Nabi saw yang bersabda, “Seluruh perkataan anak keturunan Adam atasnya (dicatat sebagai kebu­rukan) dan bukan untuknya (dicatat sebagai kebaikan) kecuali amar ma’ruf nahi munkar dan zikir kepada Allah Azza wa Jalla.”[9]

Salah satu kaum menunjukkan keheranannya dengan hadits di atas kepada Sufyan, kemudian Sufyan berkata kepada mereka, “Kalian merasa heran dengan ha­dits ini? Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Tidak ada kebaikan di kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. ‘ (An-Nisa’: 114). Bukankah Allah Ta’aljuga telah berfirman, ‘Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf mereka tidak bicara kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah dan ia mengucapkan kata yang benar ‘(An-Naba’: 38).”

At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik ra yang berkata, “Salah seorang sahabat Nabi saw wafat kemudian seseorang berkata, ‘Bergembirah ia dengan surga.‘Rasulullah saw bersabda, ‘tidakkah engkau tidak tahu, barangkali orang yang meninggal ini pernah mengatakan sesuatu yang tidak penting baginya atau ia bakhil dengan sesuatu yang tidak ia butuhkan.’ “[10]

Hadits yang semakna diriwayatkan dari Nabi saw dari banyak jalur. Di sebagian jalur disebutkan bahwa orang tersebut mati syahid. Abu Al Qasim Al Bagawi meriwayatkan di Mu’jam-nya hadits dari Syihab bin Malik yang datang kepada Nabi saw bahwa seorang wanita berkata kepada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak mengucapkan salam kepada kami?” Nabi saw bersabda, “Engkau termasuk wanita -wanita yang menyedikitkan sesuatu yang banyak, menolak memberikan sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan bertanya tentang sesuatu yang tidak penting baginya.”[11]

Al Uqaili meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda, “Orang yang paling banyak dosanya ialah orang yang paling banyak bicara dalam hal-hal yang tidak penting baginya.”[12]

Amr bin Qais Al Malai berkata, “Seseorang berjalan melewati Luqman yang ketika itu sedang bersama orang-orang, kemudian Luqman berkata kepada orang tersebut, ‘Bukankah engkau budak si Fulan?’ Orang tersebut menjawab, ‘Betul.’ Luqman berkata kepada orang tersebut , ‘Engkau menggembalà di gunung ini dan itu?’ Orang tersebut menjawab, ‘Betul.’ Luqman berkata, ‘Apa yang menyebabkan engkau menjadi orang seperti yang aku lihat?’ Orang tersebut berkata, ‘Berkata de­ngan benar dan banyak diam terhadap apa saja yang tidak penting bagiku’.”

Wahb bin Munabih berkata,“Di Bani Israil terdapat dua orang yang ibadah keduanya sampai puncak hingga keduanya bisa berjalan di atas air. Ketika keduanya sedang berjalan di atas laut, tiba-tiba keduanya melihat seseorang berjalan di udara kemudian keduanya berkata kepada orang tersebut , ‘Hai hamba Allah, dengan apa engkau bisa mencapai kedudukan seperti ini?’ Orang yang berjalan di udara tersebut menjawab, ‘Dengan sesuatu yang sedikit dari dunia ini; aku menyapih diriku dari seluruh syahwat, menjaga lidahku dari apa saja yang tidak penting bagiku, senang kepada apa saja yang diserukan kepadaku, dan selalu diam. Jika aku bersumpah dengan nama Allah, Dia mengabulkannya. Jika aku meminta sesuatu kepada-Nya, Dia memberiku’.”

Beberapa orang masuk ke salah seorang sahabat Nabi saw yang sakit namun wajahnya berseri-seri. Mereka bertanya kepada sahabat tersebut penyebab wajahnya berseri-seri seperti itu? Sahabat tersebut menjawab, “Tidak ada amal perbuatan yang lebih kuat bagiku daripada dua hal; aku tidak bicara di dalam hal-hal yang tidak penting bagiku dan hatiku ridha kepada kaum Muslimin.”

Muwarriq Al Ajli berkata, “Ada sesuatu yang aku cari, namun sudah sekian tahun aku tidak menemukannya, namun terus akan mencarinya tidak putus asa.” Orang-orang bertanya, “Apa sesuatu tersebut ?” Muwarriq Al Ajli berkata, “Menahan diri dari apa saja yang tidak penting bagiku.” (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya).

Asad bin Musa meriwayatkan, Abu Ma’syar berkata kepadaku dari Muhammad bin Ka’ab yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang pertama kali mendatangi kalian ialah seseorang dari penghuni surga.“ Setelah itu, datanglah Abdullah bin Salam lalu orang-orang mendekat kepadanya dan menceritakan sabda Nabi saw tersebut kepadanya. Mereka berkata, “Ceritakan kepada kami tentang amal perbuatanmu yang paling kuat dalam dirimu. “Abdullah bin Salam berkata, ‘Amal perbuatanku lemah, namun sesuatu terkuat yang aku harapkan ialah lapang dada dan aku bisa meninggalkan apa saja yang tidak penting bagiku.’[13]

Abu Ubaidah meriwayatkan dari Al Hasan yang berkata, “Di antara bukti Allah Ta’la berpaling dari seorang hamba ialah Allah menyibukkan orang tersebut pada hal-hal yang tidak penting baginya sebagai bentuk penghinaan dari-Nya.”

Sahl bin Abdullah At Tusturi berkata, “Barangsiapa mengatakan hal-hal yang tidak penting baginya, ia terhalang dari kebenaran.”

Ma’ruf berkata, “Perkataan seorang hamba terhadap sesuatu yang tidak penting baginya adalah penghinaan dari Allah Azza wa Jalla  kepada dirinya.”

Hadits bab di atas menunjukkan bahwa meninggalkan hal-hal yang tidak penting adalah bukti keislaman orang tersebut baik. Jika ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya dan mengerjakan hal-hal yang penting baginya, sungguh kebaikan keislamannya telah sempurna. Banyak sekali hadits tentang keutamaan orang yang keislamannya baik, kebaikan-kebaikan pelakunya dilipat gandakan, dan kesalahan-kesalahannya dihapus. Kelihatannya, banyaknya pelipatgandaan kebaikan itu sangat ditentukan baik tidaknya keislaman seseorang. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang ia kerjakan ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat dan setiap kesalahan yang dilakukannya ditulis dengan kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allah Azza wa Jalla.’[14]

Satu kebaikan dilipatkan hingga sepuluh kali lipat adalah suatu keniscaya­an. Pelipatgandaan kebaikan tersebut sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal perbuatan tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang­-orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan. Hal ini diperkuat riwayat dari Athiyah dari Ibnu Umar yang berkata, “Ayat berikut turun, ‘Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, ‘(Al An’am: 160), diturunkan tentang orang-orang Arab Badui.” Ditanyakan kepada Ibnu Umar, “Apa yang didapatkan kaum Muhajirin?” Ibnu Umar menjawab, “Mereka mendapatkan yang lebih banyak lagi.” 

Setelah itu, Ibnu Umar membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat ganda­kannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar “ (An-Nisa’: 40).

An-Nasai meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudni ra dari Nabi saw yang bersabda, ‘Jika seorang hamba masuk Islam kemudian kelslamannya baik, baginya Allah menulis setiap kebaikan yang ia kumpulkan dan dihapus darinya setiap kesalahan yang ia kumpulkan. Setelah itu, yang terjadi ialah qishas; satu kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat dari nilai kebaik­annya hingga tujuh ratus lipat dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama kecuali jika Allah memaafkannya.”[15]

Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menun­jukkan bahwa seseorang diberi pahala karena kebaikan-kebaikannya sebelum Is­lam jika ia masuk Islam dan kesalahan-kesalahannya dihapus darinya jika ia masuk Islam, namun dengan syarat keislamannya baik dan menjauhi kesalahan-kesalahan tersebut pasca keislamannya. Ini ditegaskan Imam Ahmad. Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim dan Ibnu Mas’ud ra  yang berkata, kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami dihukum karena apa yang kami kerjakan pada masa jahiliyah?”Nabi saw bersabda, “Barang siapa diantara kalian berbuat baik dimasa Islam, ia tidak dihukum karena kesalahan yang ia kerjakan sebelum Islam. Dan Barangsiapa berbuat tidak baik, ia dihukum karena perbuatannya pada masa jahiliyah dan masa Islam.”[16]

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Amr bin Al Ash yang berkata kepada Nabi saw ketika ia masuk Islam, “Aku ingin membuat persyaratan.Nabi saw ber­kata, “Engkau mensyaratkan apa?”Aku menjawab, “Aku diampuni. “Nabi saw bersabda, “Tidakkah engkau tahu bahwa Islam menghapus apa saja sebelum Islam.” 

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dan teksnya ialah, “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya.” Itu dengan asumsi Islam yang sempurna dan baik menurut hadits tersebut dan hadits lbnu Mas’ud sebelumnya. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Hakim bin Hizam yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang aku kerjakan pada masa jahiliyah, misalnya sedekah, memerdekakan budak, atau silaturahim, apakah aku mendapatkan pahala di dalamnya?” Rasulullah saw bersabda, “Engkau masuk Islam dengan kebaikan yang telah engkau lakukan.” Di riwayat lain disebutkan, “Aku (Hakim bin Hizam) berkata, ‘Demi Allah, aku tidak meninggalkan apa pun yang pernah aku kerjakan pada masa jahiliyah melainkan aku mengerjakan semisalnya pada masa Islam.”

Ini menunjukkan bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir jika ia masuk Islam itu diberi pahala seperti di­tunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri sebelumnya. Ada yang mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan orang kafir diganti dengan kebaikan-kebaikan dan diberi pahala berdasarkan firman Allah Ta’ala, ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina; Barangsiapa melakukan yang demikian, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa. Akan dilipatgandakan adzab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . “(Al Furqan: 68-70).

Para pakar tafsir berbeda pendapat mengenai penggantian tersebut. Ada dua penafsiran dalam hal ini;
1.     Ada yang mengatakan bahwa penggantian tersebut terjadi di dunia dalam arti Allah mengganti kekafiran dan kemaksiatan orang yang masuk Islam dan bertaubat kepada-Nya dengan iman dan amal shalih. Penafsiran ini diriwayatkan Ibrahim Al Harbi di Gharibul Hadits dari sebagian besar pakar tafsir, di antaranya Ibnu Abbas, Atha’, Qatadah, As-Sudi, dan Ikrimah. Saya katakan, penafsiran ini juga berasal dari Al Hasan. Ada yang mengatakan bahwa Al Hasan, Abu Malik, dan lain-lain berkata, “Penggantian tersebut secara khusus terjadi pada orang-orang musyrik dan tidak terjadi pada orang-orang Islam.” Saya katakan, ucapan ini benar dengan syarat bahwa penggantian tersebut terjadi di akhirat seperti akan disebutkan. Jika dikatakan bahwa penggantian tersebut terjadi di dunia , orang kafir yang masuk Islam dan orang Muslim yang bentaubat itu sama saja, bahkan jika orang Muslim bertaubat, ia lebih baik daripada orang kafir jika masuk Islam.

2.    Ulama lain berkata bahwa penggantian tersebut terjadi di akhirat. Makna ayat itu bahwa Aku (Allah) mengganti setiap kesalahan dengan kebaikan untuk mereka. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini ialah Amr bin Maimun, Makhul, Sa’id bin Al  Musayyib, dan Ali bin Al Husain. Al Harbi berkata, “Pendapat ini ditentang Abu Al Aliyah, Mujahid, dan Khalid Sablan, karena memang di pendapat kedua ini terdapat alasan untuk menolaknya.” Setelah itu, Al Harbi menyebutkan pendapatnya yang kesimpulannya bahwa pendapat kedua mengharuskan orang yang banyak kesalahannya menjadi lebih baik daripada orang yang sedikit kesalahannya, karena setiap kesalahan diganti dengan kebaikan. Kata Al Harbi, jika orang berkata sesungguhnya Allah menyebutkan bahwa Dia mengganti kesalahan-kesalahan dengan ke­baikan-kebaikan tanpa menyebutkan jumlah bagaimana kesalahan-kesalahan tersebut diganti dengan kebaikan-kebaikan. Maka makna penggantian berarti barangsiapa mengerjakan satu kesalahan dan bertaubat darinya maka kesa­lahannya diganti dengan seratus ribu kebaikan dan barangsiapa mengerjakan seribu kesalahan maka seribu kesalahannya diganti dengan seribu kebaikan. Jika makna pendapat tersebut seperti itu, tentu orang yang sedikit kesalah­annya itu lebih baik.

Saya katakan, pendapat kedua ditentang Abu Al Aliyah. Abu Al Aliyah membaca firman Allah Ta’ala, “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh. “(Ali Imran: 30).

Pendapat kedua juga ditentang ulama lain dengan berpatokan kepada firman Allah Ta’la, ‘Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya.“ (Az-Zalzalah: 8).

Dan berpatokan kepada firman Allah Ta’ala, ‘Dan diletakkanlah kitab lalu kamu lihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) didalamnya dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya, ‘dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis) dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun.“ (Al Kahfi: 49).

Namun tentang hal ini bisa dijawab balik bahwa orang yang bertaubat di­hentikan pada kesalahan-kesalahannya kemudian kesalahan-kesalahannya diganti dengan kebaikan-kebaikan. Abu Utsman An-Nahdi berkata, “Orang Mukmin diberi buku catatan amalnya yang tertutup dari Allah Azza wajalla kemudian ia membaca kesalahan-kesalahannya. Jika ia telah membacanya, warna kulitnya berubah hingga ia membaca tentang kebaikan-kebaikannya. Ia baca kebaikan-kebaikannya hingga warna kulit kembali seperti semula. Ia melihat lagi, ternyata kesalahan-kesalahannya telah diganti dengan kebaikan-kebaikan. Ketika itulah, Allah Ta’ala berfirman, ‘Ambillah, bacalah kitabku (ini).‘ (Al Haaqqah: 19).” Perkataan tersebut diriwayatkan sebagian ulama dan Abu Utsman dari Ibnu Mas’ud. Ulama lain berkata, perkataan tersebut dari Abu Utsman dan Salman.

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Dzar ra dari Nabi saw yang bersabda, “Sungguh aku tahu penghuni surga yang terakhir masuk surga dan penghuni neraka yang terakhir kali keluar dari neraka. Pada Hari Kiamat, seseorang didatangkan kemudian dikatakan, ‘Perlihatkan kepada orang ini dosa-dosa kecilnya dan angkat dosa-dosa besar darinya. ‘Allah menampakkan kepada orang tersebut dosa-dosa kecilnya kemudian dikatakan kepadanya, ‘Engkau melakukan ini dan itu pada hari ini Engkau melakukan ini dan itu pada hari ini ‘Orang tersebut berkata, ‘Ya. ‘Ia tidak dapat memungkirinya karena takut kalau dosa-dosa besarnya diperlihatkan kepadanya. Dikatakan kepada orang tersebut , ‘Engkau berhak atas penggantian setiap kesalahan dengan ke­baikan. ‘Orang tersebut berkata, ‘Tuhanku, aku telah melakukan banyak hal, tapi tidak melihatnya di sini’ “Abu Dzar berkata, “Aku lihat Rasulullah saw tertawa hingga gigi geraham beliau terlihat.’[17]

Jika kesalahan-kesalahan diganti dengan kebaikan-kebaikan bagi orang yang disiksa karena dosa-dosanya di neraka, maka pemberlakuan penggantian bagi orang yang kesalahan-kesalahannya dihapus dengan Islam dan taubat tentu lebih utama, karena penghapusan kesalahan-kesalahan dengan Islam dan taubat lebih disukai Allah daripada dihapus dengan siksa. Al Hakim meriwayatkan hadits dari jalur Al Fudhail bin Musa dari Abu Al Anbas dari ayahnya dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulullah sawbersabda,  “Pastilah kaum-kaum mendambakan menjadi orang-orang yang paling banyak kesalahan-kesalahannya. “Para sahabat berkata, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Karena mereka orang-orang yang kesalahan-kesalahan mereka diganti Allah dengan kebaikan.” Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Hatim[18] dari jalur Sulaiman bin Abu Daud Az-Zuhri dari Abu Al Anbas dari ayahnya dari Abu Hurairah secara mauquf.. Yang benar hadits tersebut marfu’.

Pendapat pendapat kedua di atas juga diriwayatkan sebagai pendapat Al­-Hasan Al-Basri dan itu bertentangan dengan pendapatnya sebelum ini, karena juga diriwayatkan darinya bahwa ia berpendapat bahwa penggantian kesalahan dengan kebaikan itu terjadi di dunia. Adapun yang disebutkan Al Harbi tentang penggantian kesalahan dengan kebaikan, orang yang sedikit kesalahannya ditambah kebaikan-kebaikannya, dan orang yang banyak kesalahan-kesalahanya itu kebaikan-kebaikannya disedikitkan, maka hadits Abu Dzar di atas secara tegas membantahnya dan yang benar ialah setiap kesalahan diganti dengan kebaikan.

Sedang perkataan Al Harbi bahwa pendapat kedua mengharuskan orang yang banyak kesalahannya menjadi lebih baik daripada orang yang sedikit kesa­lahannya, maka dapat dikatakan bahwa penggantian kesalahan dengan kebaikan itu berlaku  bagi orang yang menyesali kesalahan-kesalahannya dan meletakkannya di kedua pelupuk matanya. Jika ia ingat kesalahan-kesalahannya, ia semakin takut, malu kepada Allah, bersegera mengerjakan amal-amal yang bisa menghapus kesa­lahan seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . “(Al Furqan: 70)).

Semua yang telah saya sebutkan masuk dalam amal shalih. Barangsiapa keadaannya seperti itu, ia lebih mampu meneguk pahitnya penyesalan dan kesedihan atas dosa-dosanya daripada merasa kemanisan kesalahan-kesalahan ketika ia mengerjakannya dan setiap dosanya menjadi penyebab amal shalih yang menghapus kesalahan. Setelah ini, penggantian dosa-dosa (kesalahan-kesalahan) dengan ke­baikan-kebaikan tidak dapat diingkari.

Banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa jika orang kafir masuk Islam dan keislamannya baik, kesalahan-kesalahannya pada zaman syirik diganti dengan kebaikan-kebaikan. Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Abdurrahman dari Jubair bin Nufair dari Abu Farwah Syathab bahwa ia datang kepada Nabi sawkemudian berkata,  “Bagaimana pendapatamu tentang orang yang mengerjakan seluruh dosa, tidak meninggalkan kebutuhan besar dan kebutuhan besar, apakah taubatnya diterima?” Nabi saw bersabda, “Apakah engkau sudah masuk Islam?”Abu Farwah Syathab menjawab, “Sudah. “Nabi saw bersabda, “Kerjakan kebaikan-kebaikan dan tinggalkan kesalahan-kesalahan, niscaya Allah menjadikan kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kebaikan-kebaikan untukmu. “Abu Farwah Syathab berkata, “Termasuk pengkhianatan dan kejahatanku? ”Nabi saw bersabda, “Ya. “Abu Farwah terus-menerus bertakbir hingga meng­hilang.[19]

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani21 dari jalur lain dengan sanad dhaif dari Salamah bin Nufail dari Nabi sawIbnu Abu Hatim meriwayatkan hadits semisal dengan hadits di atas dari Makhul secara mursal. Al Bazzan meriwayatkan hadits di atas dan menurutnya, “Dan Abu Thawil Syathab (bukan Abu Farwah) bahwa ia datang kepada Nabi sawdan seterusnya yang semakna dengan hadits di atas.”

Hadits di atas juga diriwayatkan Abu Al Qasim Al Baghawi di Mu’jam­nya. Ia menyebutkan , yang benar hadits di atas dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair secara mursal bahwaseorang laki-laki thawi syathb (tinggi) datang kepada Nabi saw. Syathb artinya memanjang. Sebagian perawi salah tulis dan mengira kalimat itu nama orang laki-laki tersebut .22


[1]2/903
[2]Al Musnad 1/201
[3]lbid, 1/201.
[4]Hadits dhaif diriwayatkan Imam Ahmad (3/387), At Tirmidzi hadits nomer 2458, Al­Hakim 4/3 23, dan Al Marwazi di Ta ‘dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 450 dan jalur Aban bin Ishaq dan Ash-Shabah bin Muhammad (di Al Mustadrak terdapat kesalahan penulisan di mana di dalamnyatertulis Ash-Shabah bin Muharib) dan Murah Al Hamdani dar Abdullah bin Mas’ud.Sanad tersebut dhaifkarena tidak ada yang meriwayatkan dari Ash-Shabah bin Muhammad kecuali Aban bin Ishaq. Ibnu Hibban berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari para perawi tepercaya.” Al Uqaili menyebutkan Ash-Shabah bin Muhammad dalam Adh Dhuafa, “Di haditsnya terdapat kekeliruan di mana ia menjadikan hadits mauquf sebagai haditsmarfu‘.“ Se­telah menyebutkan hadits tersebut , At Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut gharib (dhaif), karena kami mengetahui hadits tersebut dengan jalurnya dari Aban bin Ishaq dari Ash-Shabah bin Muham­mad.” A1-Mundziri berkata di At Targhib wat Tarhib 3/400, “Ash-Shabah bin Muhammad dipermasalahkan karena ia menganggap hadits tersebut dariNabi sawpadahal para ulama berkata bahwa yang benar hadits tersebutmauquf”
Ibnu Hajar berkata di At Taqrib, “Ash-Shabah bin Muhammad adalah perawi dhaif” Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan, “Ash-Shabah bin Muhammad menganggap dua hadits berasal dari Nabi sawpadahal hadits tersebut adalah ucapan Abdullah.” Saya katakan, dua hadits yang dimaksud ialah hadits di atas dan hadits lain di Al Musnad sesudahnya.
Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 494 dan di dalamnya terdapat tiga perawi yang dhaif dan sanad hadits tersebut terputus.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al Ausath dari Aisyah dan di sanadnya terdapat perawi Ibrahim bin Ismail bin Abu Habibah dan dia itu matruk seperti disebutkan dalam Majmauz Zawaid 10/284.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al Kabir hadits nomer 3192 dan Al­Hakam bin Umain dan di sanadnya terdapat perawi Isa bin Ibrahim Al Qurasyi. Al Bukhari berkata, “Haditsnya munkar.” Yahya bin Mu’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya.” Abu Hatim dan An-Nasai berkata, “Ia ditinggalkan (tidak bisa dijadikan hujjah).”
[5]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/201 dan Ath-Thabrani di Al Kabir hadits nomer 2886
dan Ash-Shaghin 2/11. Hadits tersebut hasan li ghairihi.
[6]Di Makaarimul Akhlaq (196) dan di sanadnya terdapat perawi As-Siri bin Ismail Al­Kufi, sahabat Asy-Sya’bi. Ibnu Al Qaththan berkata, “Terlihat dengan jelas olehku kebohongan As-Siri bin Ismail di satu majlis.” An-Nasai dan lain-lain berkata, “latidak bisa dijadikan hujjah.”
[7]Diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 361 dari hadits panjang. Hadits tersebut sangat dha(f karena di sanadnya terdapat Ibrahim bin Hisyam bin Yahya Al Ghassani Ad­Dimasyqi. La dianggap pendusta oleh Abu Hatim dan Abu Zun’ah. Adz-Dzahabi berkata, “Ia matruk.”
[8]Hadits panjang yang akan disebutkan di hadits nomer kedua puluh sembilan buku ini.
[9]Diriwayatkan At Tinmidzi hadits nomer 2412 dan Ibnu Majah hadits nomer 3974. At­Tinmidzi berkata, “Hadits tersebut hasan kendati di sanadnya terdapat Ummu Shalih yang tidak dikenal.”
[10]Diriwayatkan At Tirmidzi hadits nomer 2316 dan Abu Nu’aim di Al Hilyah 5/55-56 dan jalur Al A’masy dan Anas bin Malik. para perawinya adalah para perawi tepercaya, hanya saja A1-A’masy tidak mendengar hadits tersebut dari Anas bin Malik. Al Mundziri berkata, “Para perawi hadits tersebut adalah para perawi tepercaya.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’ Ia di Musnad-nya hadits nomer 4017 dan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtuhadits nomer 109 dari jalur Abdurrahman bin Shalih Al Azdi yangberkata, Yahya bin Ya’la Al-Aslami berkata kepadaku dari Al A’masy dari Anas bin Malik rayangberkata, “Salah seorang anak muda di kalangan kami gugur dalam Pe­rang Uhud kemudian di atas perutnya ditemukan batu yang terikat (dengan perutnya) untuk menahanlapar. Ibunya mengusap tanah dan wajah anak muda tersebut sambil berkata, Selamat surga untukmu, hai anakkku. ‘Nabi saw bersabda, Engkau tidak tahu barangkali anak tersebut pernah mengatakan sesuatu yang tidak penting baginya dan menolak memberi sesuatu yang tidak mendatangkan kerugian padanya’.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’la dari Al Baihaqi dari Abu Hurairah rayangberkata, “Seseorang gugur pada zaman Rasulullah sawkemudian seorang wanita menangisinya sambil berkata, ‘Duhai syahidku.’ Nabi sawbersabda, ‘Engkau tidak tahu kalau ia syahid, karena barangkali ia pernah me­ngatakan sesuatu yang tidak penting baginya atau bakhil dengan sesuatu yang tidak mengu­ranginya’.”
Al Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 10/302-303, “Di sanadnya terdapat perawi Isham bin Thaliq yang merupakan perawi dhaif.”
[11]Di sanadnya terdapat perawi yang tidak dikenal. Hadits tersebut disebutkan Al­-Hafidz Ibnu Hajar di Al Ishabah 2/155 dan ia juga menisbatkannya kepada Ali bin Sa’id Al Askari dan Ibnu Qani’.
[12]Disebutkan Al Hafidz As-Suyuthi di Al Jami ‘Al Kabir 1/137.
[13]Sanad hadits tersebut dhaif Abu Ma’syar yang nama aslinya ialah Najih bin Abdur­rahman As-Sindi ialah perawi dhaif.
Saya katakan, Imam Ahmad 1/169, 182 meriwayatkan hadits dengan sanad hasan dari Sa’ad bin Abu Waqqash bahwa Nabi sawdiberi semangkok tsarid(roti yangdiremuk dan direndam dalam kuah) kemudian beliau memakannya. Makanan tersebut tersisa, lalu Nabi sawbersabda, “Dari jalan di antara gunung ini akan masuk sa­lah seorang dari penghuni surga yang akan memakan sisa Makanan ini.” Sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Aku tinggalkan saudaraku, Umair bin Abu Waqqash, untuk bersiap-siap menghadap Nabi sawdan aku sangat berharap kiranya dia yang dimaksud oleh Nabi sawSetelah itu, ternyata Abdullah bin Salam datang kemudian memakan sisa Makanan Nabi sawtersebut .” Hadits ini dishahihkan Al Hakim 3/ 416 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[14]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 129.
[15]8/105-106dari jalur Shafwan bin Shalih yang berkata, Al Walid berkata kepadaku, Malik berkata kepadaku dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasan dari Abu Sa’id Al Khudni. Sanad tersebut shahih.
[16]Diriwayatkan Al Bukhari hadits nomer 6921 dan Muslim hadits nomer 120.
[17]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 190.
[18]Hadits tersebut disebutkan Ibnu Katsir di Tafsir-nya 6/138 dari Ibnu Abu Hatim dari ayahnya dari Hisyam bin Ammar yang berkata, Sulaiman bin Musa Abu DaudAz-Zuhri mengisahkan hadits tersebut dengan sanad seperti ini. Pada Sulaiman bin Musa terdapat kelemahan.
[19]Diriwayatkan Ath-Thabnani di Al Kabir hadits nomer 7235. Al Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 1/32 dan 10/202, “Menurut kedua buku tersebut , hadits di atas berasal dari Abu Thawil.” Jadi, bukan dan Abu Farwah.
Hadits di atasjuga diriwayatkan Ath-Thabrani dari Al Bazzar hadits nomer 3244. Para perawi Al Bazzar adalah para perawi Bukhari, kecuali Muhammad bin Hanun bin Nasyith dan dia itu merupakan perawi tepercaya.
Hadits di atas juga disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar di Al Ishabah 2/149 dan juga menis­batkannya kepada Al Baghawi, Ibnu Zubar, Ibnu As-Sakn, dan Ibnu Abu Ashim. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hadits tersebut sesuai dengan syarat Shahih Al Bukhari.”
Saya temukan jalur lain tentang hadits di atas. Ibnu Abu Ad-Dunya berkata di Husnudz Dzan hal 146, Ubaidillah bin Jarin berkata kepada kami, Muslim bin Ibrahim berkata kepada kami, Nuh bin Qais berkata kepada kami dari Asy’ats bin Jabir Al Hadani dan Makhul dari Amr bin Absah yang berkata, “Orang tua datang kepada Nabi sawyangketika itu sedang bersandar di tongkat. Orang tua tersebut berkata, ‘Wahai Nabi Allah,aku mem­punyai sejumlah pengkhianatan dan kejahatan, apakah engkau mengampuniku?’ Nabi sawbersabda, Engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.’ Orang tua tersebut berkata, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Nabi sawbersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengampuni seluruh pengkhianatan dan kejahatanmu.’ Setelah itu, orang tersebut pergi sambil berkata, ‘Allahu akbar, Allahu akbar’.” Di hadits tersebut tidak ada yang terputus antara Makhul dengan Amr bin Absah.