Saturday, July 14, 2018

Kaidah ke-16: Tentang Firqah (Kelompok)

Sesungguhnya resiko yang paling besar di jalan dakwah bagi para Da’I adalah bercampuraduknya pemahaman dan tenggelamnya kebenaran di depan nash-nash yang saling dipertentangkan, tafsiran yang diperselisihkan, dan pemahaman-pemahaman yang saling kontradiksi, maka seorang Muslim berada diantara dua firqah yang membinasakan dan menyelamatkan, antara uzlah dan interaksi, antara fitnah untuk men yendiri dan fitnah yang mendesaknya segera untuk melakukan penyerangan dan pembalasan, antara amal fardi dan amal jama’I, centang perenang pemahaman berefek pada centang perenang amal dan system kerja dakwah itu sendiri. Agar dapat keluar dari kesemerawutan pemahaman maka saya mengajukan kaidah ini untuk direnungkan oleh pembaca budiman.
Sesungguhnya seseorang yang menganalisa sejarah umat ini akan mendapatkan dua kondisi yang telah dilewati oleh umat ini, 
Pertama : kondisi perjuangan dan kondisi kemapanan, ketika umat ini menghadapi musuh-musuhnya secara bersama-sama atau bergelirya, dan selalu keluar dari kancah peperangan sebagai pemenang, sedangkan musuhnya menjadi pecundang yang hancur.
Kedua : kondisi terserang dan terceraiberai. Keadaan ini adalah kondisi dimana benteng-benteng umat runtuh dari dalam, kekalahan umat terjadi karena generasinya telah mengahncurkan bangunannya baik secara internal maupun eksternal. Rasulullah SAW telah mengisaratkan ancaman bahaya ini, dan menjadikannya sebagai salah satu faktor yang mnceraiberaikan kesatuan umat dan bangunannya. Dari Tsauban RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : 
” إن الله زوى لي الأرض فرأيت مشارقها ومغاربها، وإن أمتي سيبلغ ملكها ما زُوي لي منها، وأعطيت الكنزين الأحمر والأبيض، وإن سألت ربي لأمتي أن لا يهلكها بِسَنَةٍ عامة، وأن لا يُسلط عليهم عدواً من سوى أنفسهم فيستبيح بيضتهم، وإن ربي قال: يا محمد ، إني إذا قضيت قضاءً فإنه لا يرد، وإني أعطيتك لأمتك أن لا أهلكهم بِسَنَةٍ عامة، وأن لا أسلط عليهم عدواً من سوى أنفسهم، يستبيح بيضتهم ، ولو اجتمع عليهم من بأقطارهاـ أو قال من بين أقطارهاـ حتى يكون بعضهم يُهلك بعضاً، ويسبي بعضهم بعضاً ” ( ). وفي رواية ابن حبان: ” وسألته أن لا يلبسنا شيعاً فمنعنيها”( ).
وعند ابن ماجة رواية أتم: ” وإني سألت الله عز وجل ثلاثاً: أن لا يسلط على أمتي جوعاً فيهلكهم به عامة، وأن لا يلبسهم شيعاً ويذيق بعضهم بأس بعض، وإنه قيل لي : إذا قضيتُ قضاءً فلا مرد له، وإني لن أسلط على أمتك جوعاً فيهلكهم فيه، ولن أجمع عليهم من بين أقطارها حتى يُفني بعضهم بعضاً ويقتل بعضهم بعضاً. وإذا وضع السيف في أمتي فلن يرفع عنهم إلى يوم القيامة. وإن مما أتخوف على أمتي أئمة مضلين. وستعبد قبائل من أمتي الأوائل. وستلحق قبائل من أمتي بالمشركين، وإن بين يدي الساعة دجالين كذابين قريباً من ثلاثين كلهم يزعم أنه نبي، ولن تزال طائفة من أمتي على الحق منصورين لا يضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر الله عز وجل”( ).
“Sesungguhnya Allah membentangkan untukku bumi ini, sehingga aku dapt melihat dari ujung timur hingga ujung Barat, dan sesungguhnya ummatku akan sampai kekuasaaanya sejauh apa yang aku lihat saat itu, dan aku diberikan dua gudang penyimpanan harta, yang satu berwarna merah yang lainnya berwarna putih, maka aku memohon kepada Tuhanku agar umatku tidak dibinasakan 
Firqah yang dijelaskan secara rinci dalm hadits tersebut diatas merupakan musibah yang paling besar menimpa umat ini, karena umat menjadi beberapa kelompok dan agama menjadi beberapa ajaran dan keyakinan. Sunnah telah banyak menyingkap kondisi kedepan umat ini baik dari prespektif pemberitaan, peringatan, penjelasan penyakit umat dan obatnya, Allah memuliakan Nabi-NYA dengan membuka tabir kegaiban yang dapat menambah kehati-hatian dan kewaspadaan bagi umat. Tatkala hadits tersebut di atas menjelaskan secara global tidak terperinci berdasarkan peristiwa dan rentang waktu, maka saya telah melihat dalam kilasan sejarah dan realitas kehidupan manusia, agar ada perubahan pengaturannya di satu sisi, dan memahami kebaikan-kebaikannya di sisi yang lain.
Saya juga mendapatkan beberapa hadits yang menjelaskan tentang firqah, fitnah, uzlah dan Jama’ah. Hadits yang paling lengkap cakupannya terkait dengan masalah ini adalah hadits yang telah ditakhrij oleh Bukhari dan Muslim dari Khudzaifah ibnul Yaman RA berkata :
كان الناس يسألون رسول الله صلى عن الخير ، وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يُدركني، فقلت: يا رسول الله، إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال: نعم، قلت : وهل بعد ذلك من خير؟ قال: نعم، وفيه دخَن. قلت:وما دخنه قال : قوم يهدن بغير هديي، تعرف منهم وتنكر، قلت : فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال : نعم، دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها. قلت : يا رسول الله ، صفهم لنا، قال : هم من جلدتنا، ويتكلمون بألسنتنا، قلت: فما تأمرني إن أدركني ذلك؟ قال: تلزم جماعة المسلمين وإمامهم. قلت : فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال : فاعتزل تلك الفرق كلها، ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك
“Banyak orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepadanya tentang keburukan, khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku berkata : “Ya Rasulallah. Sesungguhnya kami pernah berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan, apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”. Beliau menjawab : “Ya”, aku berkata : “apakah setelah itu ada kebaikan lagi?”. Belia menjawab : “ya, tetapi ada kabut penghalang, “apa kabut penghalangnya?”, beliau bersabda : “suatu kaum mencari petunjuk selain petunjukku, engkau kenal sebagiam mereka dan engkau ingkari”. Aku berkata lagi : “Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan lagi?”, beliau menjawab : “ya, terdapat [ada masa itu para Da’I di depan pntu-pntu neraka Jahannam, siapa yang memenuhi ajakan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya”. Aku berkata : “Ya Rasulallah, jelaskanlah cirri-cirimereka kapada kami!”. Beliau bersabda : “mereka berasal dari darah daging kita, berbicara dengan bahasa kita”. Aku berkata : “apa yang engkau perinthakan kepadaku jika aku mendapatkan keadaan seperti itu?”. Beliau bersabda : “engkau haris menjalin komitmen dengan Jamaah kaum Muslimin dan imam mereka”, aku berkata lagi : “jika tidaka ditemukan jamaah dan Imammnya?”. Beliau bersabda : “menghindarlah dari semua firqah itu walaupun anda menggigit akar pohon, samapai ajal menemuimu dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.
Dalam pengertian yang sama secara terperinci juga tertuang dalam hadits lain. Dari Abu Amir Abdullah bin Luhay berkata : “kami pernah menunaikan haji bersama Muawiyah bin Abi Sufyan, tatkla kami sampai di Mekkahmenjelang shlat dzhuhur Ia berkata, seseungguhnya Rasulullah SAW bersabda : 
إن أهل الكتاب افترقوا في دينهم على اثنتين وسبعين ملة ـ يعني في الأهواء ـ كلها في النار إلا واحدة، وهي الجماعة . وإنه سيخرج في أمتي أقوام تجارى بهم تلك الأهواء كما يتجارى الكَلَبُ بصاحبه، لا يبقى منه عرق ولا مفصل إلا دخله ، والله يا معشر العرب لئن لم تقوموا بما جاء به نبيكم لغيركم من الناس أحرى أن لا يقوم به
“Sesungguhnya Ahli kitab telah berpecahbelah dalam agama mereka menjadi 72 sekte – yang bertumpu pada hawanafsu – seluruhnya masuk neraka kecuali satu, yaitu al-jamaah. Sesungguhnya akan muncul di kalangan umatku golongan yang mengiringi hawanafsu tersebut, seperti virus yang merasuki seseorang, tidak ada pori-pori dan persendian yang tersisa melainkan akan dimasukinya. Demi Allah wahai masyarakat Arab jika kalian tidak menegakan apa yang telah didatangkan oleh Nabi kalian, maka akan ada kelompok manusia lainnya yang ingin merubah kalian agar kalian tidak menegakannya”. (HR Abu Daud dan Turmudzji / Hadits Hasan-Shahih)
Dalam pengertian yang sama terdapat hadits dari Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah SAW :
افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة، وتفرقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة
Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Umat Nasrani juga terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. (HR Abu Daud dan Turmudzi / Hadits hasan-sahih)
Hadits ini menguatkan hadits-hadits sebelumnya dan memberikan pelajaran berupa peringatan ancaman perpecahan dan perselisihan yang menimpa umat, apalagi bila sebuah kelompok muncul karena perbedaan akidah dan ushul, masing-masing kelompok melahirkan doktrin dan ajaran, keluar dari garis umat yang satu, terputus dari ikatan generasi awal umat ini. Tidak termasuk kelompok itu perbedaan dalm maslah furu dan diversifikasi ijtihad, juga tidak termasuk di dalmnya mazhab-mazhab fiqih, selama para tokohnya menggunakan dalil dan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap ushul (aqidah).
Tidak dapat dikatakan dan tidak seyogyanya dikatakan bahwa Mazhab yang empat dan selain mereka berada dalam kebenaran dan yang memusuhi mereka berada dalam kebatilan, mreka selamat dan selain mereka binasa. Yang tepat mengenai hal ini adalah apa yang telah dinyatakan oleh Al-Baghdady dalam kitabnya “Al-Firaq bainal Firaq” : “Sesungguhnya umat Islam sepakat untuk menetapkan bahwa ala mini sesuatu yang baru (hawadits) dan mengesakan Penciptanya, sifatnya, keadilannya, hikmahnya dan menegasikan sesuatu yang menyerupainya, juga menetapkan kenabian dan risalah Muhammad SAW kepada seluruh manusia, meneguhkan syariatnyam bahwasanya apa yang telah didtangkan nolehnya dalah kebenaran, Al-qur’an sebagai sumber hokum-hukum syariah, bahwasanya ka’bah adalah kiblat yang wajib menghadapnya ketika shalat, maka siapa saja yang menyatakan hal ini dan tidak mengarah pada bid’ah yang bertendensi kekufuran maka Ia adalah seorang Sunni yang berakidah tauhid”.
Imam Ibnu Taimiyah berkata : “Siapa saja yang di daln hatinya menyatakan Iman kepada rasul dan apa yang dibawa olehnya, meskipun keliru pada sebagian penafsirannya sehingga melahirkan berbagai bid’ah pada dasarnya tidak menjadi kafir, sedangkan Khawarij adalah mereka yang paling nyata bid’ahnya, memerangi dan mengkafirkan umat, padahal para sahabat Nabi belum pernah mengkafirkan mereka, baik kepada Ali bin Abi Thalib dan kepada yang lainnya, para sahabat hanya menetapkan mereka sebagai umat Islam yang zalim”.
Kemudian Ibnu taimiyah menambahkan : “Barang siapa yang mengatakan bahwa 72 golongan seluruhnya kufur keluar dari agama, maka orang tersebut telah menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah serta ijma’ sahabat, bahkan ijma’ Imam empat mazhab dan Imam mazhab lainnya”.
Dalam akidah Thahawiyah dan syarahnya dikatakan : “Kami menamakan ahli kiblat kita kaum muslim dan mu’min sepanjang mereka mengakui apa-apa yang didatangkan oleh Nabi SAW, dan membenarkan apa-apa yang disabdakannya, kemudian penulis syarah mengatakan : “yang dimaksud dengan ahli kiblat kita adalah siapa saja yang mengaku muslim dan menghadap kiblat, walaupun mereka masih tergolong pengikut waha nafsu dan ahli maksiat. 
Sedangkan Ibnu Hajar mengartikan والدعاة على أبواب جهنمadalah orang yang brambisi meraih kekuasaan seperti Khawarij dan sejenisnya. Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah dan kelompok sejenisnya adalah golongan yang melampaui batas dalam menta’wil, maksimal para ulama menggolongkan mereka sebagai ahli bid’ah belum keluar dari agama, mereka tidak mengatakan : إنهم من أهل النار, mereka ahli neraka, kecuali golongan Syiah Ghulaat, yang terang-terangan menghalalkan yang diharamkan, atau menyembah Ali atau Qadyani (Ahmadiyah) yang mengakui adanya nabi setelah nabi Muhammad, atau y menjadikan selain Al-Qur’an sebagai kitab suci, atau mengingkari hal-hal yang telah menjadi maklum dalm ajaran agama.
Tujuan mazhab-mazhab sesat yang menghancurkan pilar-pilar iman dan merobolhkan struktur bangunan Islam, meluluhlantakkan pondasinya, tanpa tedeng aling-aling melakukan pengingkaran dan mengajak manusia kepadanya, menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkannya, menganulir hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah, memerangi secara keji orang-orang yang beriman, menuduh orang beriman dengan tuduhan jumud dan fatalis, menjadikan kejumudan dan fatalisme sebagai landasan penolakan terhadap Islam baik secara global maupun terperinci, mengagungkan sesuatu yang dihinakan Allah dan menghinkan sesuatau yang diagungkan Allah, seperti Al-Aswad Al-‘Ansy si pendusta yang mengkalim dirinya Nabi disebut sebagai tokoh kebangkitan dan reformasi, dan Qaramitah, Hasysyasyin, Sikh, dan pengikut Bek dianggap sebagai grakan progressif dan liberalis (gerakan kemajuan dan pembebasan)
Ini gambaran mazhab di masa lampau, sedangkan yang terbaru seperti Saba’iyah, Qaramitah, Ismailiyah adalah kelompok sesat yang menumbuhkan benih-benih kerusakan di muka bumi, dan mencerabut Islam dari akarnya, mengakui ketuhanan manusia selain Allah. Kemudian juga muncul gerkan babiyah, Qadyaniyah dan Bahaa’iyah, masing-masing kelompok ini memiliki kitab suci selain Al-Qur’an dan mengakui adanya Nabi setelah Muhammad. Lalu muncul kelompok penentang yang tidak meyakini agama seperti Komunis dan Freemasoonry dan berbagai mazhab dan lembaga yang menginduk kepadanya.
Yang sangat bewrbahaya dari mereka adalah bahwa sebagaian mereka menjadi pemimpin politik dan pemikiran.maka apa yang didisyaratkan oleh Khudzaifah dalam hadits yang dibawanya menggambarkan dua kondisi :
Kondisi Pertama : Baik tapi ada kabut penghalang (خير وفيه دخن) , yaitu kondisi dimana banyak orang yang mengambil petunjuk selain petunjukku. Para analis sejarah Ilam melihat bahwa fase ini secara kondisional berbeda dengan fase sbelum dan sesudahnya. Islam pada awalnya dianggap aneh di Mekkah, kemudian kebaikannya meluas dan semakin berkibar panjiny pada puncak fase nubuwwah dan Khilafah Rasyidah, kemudian terjadilah fitnah, tampuk kepemimpinan dikuasai oleh Ban I Umayyah, kedaulatan negara mulai mapan, wilayah-wilayah taklukan terbuka lebar, Islam pun tersebar, prinsip-prinsip politik bernegara terbangun di atas spirit Islam, dan hukum-hukum syariatnya teraplikasi. Semua ini adalah kebaikan, tapi masih diliputi oleh kabut penghalang, kabut yang gelap dan berwarna kehitam-hitaman. Abu Ubaidah berkata : Tak ubahnya hati yang tidak bersih warnanya karena terkena polusi noda hitam.
Kebaikan pada fase itu ditandai dengan umat yang kembali bersatu, semangat jihad yang berkesinambungan, mengacu kepada hukum syariat dalam berbagai persoalan kehidupan, sedangkan kabut yang menyelimuti kebaikan ini adalah kebijakan menghentikan prinsip-prinsip syuro, otoriter dan berlebihan dalam penggunaan harta, umat ditimpa kezaliman dan pertumpahan darah karena mazahab dan keyakinan, seperti inilah kondisi umat Islam pada saat itu, baik tapi berkabut, sampai tegaknya daulah Islam berbarengan dengan tegaknya negara sekuler dan semi sekuler, sebelumnya hukum-hukum Islam mendominasi meskipun kemunkaran tetap ada, tetapi tidak menshibghah masyarakat, dan amar ma’ruf nahy munkar mulai memainkan perannya di masyarakat.
Kondisi kedua : Di negeri mereka yang berbeda satu dengan yang lainnya, umat Islam mulai memasuki fase baru yang didominasi oleh tsaqafah barat dan moralitasnya, dan mulai tersebar gelombang ateisme, lembaga-lemabag negara “diperangi’, wawasan dirubah. Pemahaman kehidupan dirombak. Pelopor dan penyeru perubahan ini berasal dari internal umat yang berbicara dengan bahasanya dan berafiliasi dengannya, mereka terbagi dalam berbagai kelompok, partai dan aliran ideologi yang beraneka macam. Inilah yang diisaratkan oleh Hadits Khudzaifah : فهل بعد ذلك الخير من شر؟, apakah setelah kebaikan in akan ada keburukan?, lalu Rasulullah menjawab : “Ya, para penyeru di atas pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menam but seruannya Ia akan dilemparkan olehnya ke dalamnya”, lalu Khudzaifah berkata : “ya Rasulallah jelaskanlah kepada kami ciri-ciri mereka?”. Beliau bersabda : “Mereka berasla dari kita sendiri dan berbicara dengan bahasa kita”. Ibnu Hajar menafsirkan : “dari kaum kita, yaitu bangsa arab”, inilah yang kemudian memunculkan faham nasionalisme yang tersebar di dunia Islam. Yang mengangkat isu ras dan bahasa sebagai landasan bekumpul dan berafiliasi.
Sampailah persoalan faham ini pada banyak negeri yang pada akhirnya merambah ke seluruh lapisan masyarakat, dengan satu klaim bahwa masyarakat berhak menentukan jalannya sendiri, maka muncullah istilah bangsa-bangsa dan aspirasi bangsa, dari sinilah dilancarkan pukulan terhadap nilai-nilai Islam. Ini merupakan fitnah yang paling dahsyat, karena para penyeru kebatilan dapat berlindung dibalik keinginan dan kehendak masyarakat. Barangkali fitnha ini tergolong fitnah DAHMA seperti yang dilansir dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud tentang empat macam fitnah yang diprediksi oleh Rasulullah dalam sabdanya : 
ثم فتنة الدهيماء لا تدع أحداً من هذه الأمة إلا لطمته لطمة، فإذا قيل انقضت تمادت ، يصبح الرجل فيها مؤمناً ويمسي كافراً ، ثم يصير الناس إلى فسطاطين : فسطاط إيمان لا نفاق فيه، وفسطاط نفاق لا إيمان فيه
“Kemudian terjadi fitnah DAHMA………………………………, di pagi hari seseorang menjadi muslim di sore harinya menjadi kafir, lalu manusia digiring ke dua jalan, jalan keimanan yang bersih dari unsur kemunafikan dan jalan kemunafikan yang kosong dari keimanan”.
Sesungguhnya telah berjalin berkelindan hawanafsu dan para pemujanya, sebgaimana yang terpapar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah RA : “Mereka mengikuti hawa nafsu seperti virus yang merasuki seseorang, tidak ada pori-pori dan persendian yang tersisa pasti akan dimasukinya”. Berkata Imam as-Syatiby : “Pengertian hadits ini adalah bahwasanya Rasulullah memberitahukan apa yang akan terjadi pada umatnya yang cenderung kepada hawanafsu yang terbagi menjadi beberapa firqah, ada firqah yang telah dirasuki sepenuhnya hati mereka dengan hawanafsu, sehingga sukar diharapkan dapat berpisah dan taubat darinya, karena virusnya telah menyebar ke seluruh anggota tubuh dan jaringan peredaran darah, bila seperti itu kondisinya maka akan mengalami resistensi penyembuhan dan tidak obat apapun tidak ada manfaatnya.
Adapun mengenai jumlah firqah dan aliran sebagaiman telah disebutkan pada hadits di atas. Imam Al-Baghdady (429 H. – 1038 M) di dalam kitabnya “Al-Firaq” Ia berkata : “Mengenai 72 golongan dalam hadits tersebut adalah 20 sekte Rafidah, 20 sekte Khawarij, 20 sekte Qadariyah, 20 sekte Murji’ah, 30 Najariyah, Bakriyah, Dharariyah, Jahmiyah, Karaamiyah, seluruhnya menjadi 72 golongan.
Tetapi penghitungan itu tidak akurat, dengan sebab beberapa hal berikut :
Pertama : Bercampuraduknya antara firqah yang keluar dari islam dan yang masih masuk di dalamnya.
Kedua : Ia hanya menyebutkan firqah yang Ia ketahui pada zamannya, sebab setelah wafatnya al-Baghdady banyak firqah-firqah baru bermunculan.Oleh karena itu seyogyanya para pensyarah dan mufassir tidak perlu menguraikan golongan apa saja yang 72 itu.
Ketiga : Ia menyebutkan lebih dari 90 firqah tapi dia mengatakan inilah ke 72 firqah itu.

SIKAP MUSLIM TERHADAP FIRQAH-FIRQAH
Sikap Muslim terhadap firqah-firqah yang ada bisa positif bisa pula negative, sikap yang negative bila seorang Muslim menjauhi dirinya (uzlah) dari firqah-firqah yang menyesatkan sehingga dirinya tidak tertimpa “penyakit” seperti mereka, karena berinteraksi dengan mereka seperti berinteraksi dengan ahli neraka dan para penyerunya. Sedangkan sikap positifnya adalah mencari jamaah kaum muslimin dan berkomitmen dengannya.
Yang dimaksud dengan uzlah bukanlah uzlah keluar dari masyarakat pergi ke gurun sahara atau lereng gunung, karena uzlah seperti itu akan memberikan peluang bagi pemuja hawanafsu untuk menyebarkan dan mempublikasikan ajarannya di tengah-tengah masyarakat, dan menanamkan doktrin dan kepemimpinannya. Hal itu justru semakin membuat kebenaran dan orang-orang yang memperjuangkannya semakin terpuruk. Tetapi juga harus diperhatikan munculnya kesalahan baru mengasumsi kebaikan pada kondisi yang secara jelas kontra produktif, karena setiap kondisi menuntut sikap sesuai dengan kadarnya, dan tidak melontarkan pernyataan kecuali pada konteks yang releven dan proporsional, seperti kita mengambil pemahaman uzlah pada umat terdahulu sebagai sebuah kenikmatan dalan setiap kondisi dan situasi, seperti menyebutkan bahwa Ibnu Umar, Saad bin Abi Waqqash, dan Abu Bakrah telah beruzlah dari fitnah. Perbuatan para sahabat tersebut kemudian menjadi dalil yang digunakan untuk meninggalkan masyarakat. Karena itu kita dapati Imam Bukhori menyusun bab khusus tentang hal ini, Ia berkata : “Berbaur dengan arab badui ketika terjadi fitnah : berimigrasi ke kawasan arab badui ketika terjadi fitnah”. Ibnul Aqwa’ pernah ditanya oleh Al-hajjaj : “Hai Ibnul Aqwa’ apakah engkau telah murtad tinggal di perkampungan badui?”, Ia menjawab : “Tidak, tetapi aku mendapat izin dari Rasulullah untuk tinggal di perkampungan badui ini”. Ibnu Hajar menjelaskan : “Tinggal di perkampungan arab badui, terjadi ketika kaum Muhajirin pindah dari negeri tempat hijrahnya ke perkampungan badui dan menetap di sana, sehingga tidak lagi disebut Muhajir tapi Badui, padahal hal itu diharamkan kecuali mendapat ijin syar’I”. Jadi pada dasarnya melarang orang yang telah berhijrah untuk uzlah ke pedalaman, sahara atau berbaur dengan arab Badui.
Sesungguhnya bila kita memperhatikan hikmah di balik pelarangan orang yang berhijrah meninggalkan tempat hijrahnya dengan berlari ke pedalaman (Badui), maka kita telah mendapatkan bahwa hijrah disyariatkan untuk membela Islam dan umatnya dan untuk melindungi masarakat dari kekufuran dan kemunafikan, sebab bila seorang muslim meninggalkan begitu saja para pembuat fitnah maka berarti Ia menaruh saham pada kemunkaran tersebut dan membantu ajarannya. Ibnu Hajar berkata : “dilarangnya mengungsi ke pedalaman arab badui pada saat bergejolaknya fitnah, sama saja dengan menjadikan pejuang kebenaran menjadi pecundang”.
Meskipun umat terdahulu gemar beruzlah, tetapi hal itu hanya dimaksudkan untuk mengurangi pergaulan, tidak melampaui batas dalam memanjakan kebiasaan-kebiasaan yang melalaikan, berlebihan dalam bercengkram dan hal-hal yang mubah. Imam sulaiman Al-Khithaby berkata : “Kami tidak menghendaki uzlah dipahami dengan meninggalkan manusia dalam kontek berjamaah, karena hal itu berarti mengabaikan hak-hak mereka dalam beribadah,menyebarkan salam dan membalasnya, dan hak-hak mereka lainnya yang harus dipenuhi, merancang berbagai aturan dan tradisi yang baik. Yang kami maksudkan dengan uzlah adalah meninggalkan persahabatan yang berlebihan dan tidak menambahkannya dan meniadakan hubungan yang tidak terlalu diperlukan”.
Keterkaitan uzlah dengan bentuk fitnah : Terdapat permasalahan yang perlu dijelaskan sebelum selesai membahas tema uzlah ini, yaitu mengenai pembatasan bentuk fitnah yang mendorong untuk meninggalkan masarakat dan menjauhinya serta tidak terlibat dengan berbagai kegiatannya, atau bahkan mendorong bertahan dan melakukan perlawanan dan konfrontasi terhadap fitnah tersebut.
FITNAH BERLOMBA KEKUASAAN
Rasulullah telah mengisaratkan terjadinya fitnah dan penyebarannya, sehingga tidak ada satu negeripun yang terbebas darinya, sebagaimana Imam Bukhari meriwayatkan dari Usamah bin Zaid berkata : 
أشرف النبيعلى أطم من آطام المدينة فقال : هل ترون ما أرى؟ قالوا: لا، قال: فني لأرى الفتن تقع خلال بيوتكم كموقع القطر
“……………………………….., apakah kalian melihat apa yang aku lihat?, para sahabat menjawab : Tidak!. Beliau bersabda : “sesungguhnya aku melihat fitnah telah menimpa rumah-rumah kalian seperti jatuhnya air hujan”.
Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan RA adalah fitnah pertama dalam sejarah Islam, yang memercikan api peperangan antara kubu Ali bin abi Thalib dab Aisyah RA, kemudian meletus pula peperangan Shiffin. Para sahabat berbeda pendapat siapa nyang lebih benar dalam konflik tersebut, meskipun demikian mayoritas sahabat berpendapat bahwa Ali bin Abi Thaliblah yang memeiliki kewenangan (otoritas), sedangkan Muawiyah seorang Mujtahid yang keliru namun berhak mendapatkan satu pahala, kemudian fitnah berikutnya terjadi setelah itu, yang dipicu oleh persaingan pemerintahan dan kekuasaan. Sebagaimana diisaratkan dalam sebuah Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dari Usaid bin Hudair :
أن رجلاً أتى النبيr، فقال يا رسول الله استعملت فلاناً ولم تستعملني، قال : إنكم سترون بعدي أثرة ، فاصبروا حتى تلقوني
“Bahwasanya ada seseorang datang kepada Nabi lalu berkata : “Ya! Rasulallah, engkau telah mengangkat si fulan sebagai pejabat, tapi mengapai engkau tidak mengangkatku”, lalu beliau bersabda : “sesungguhnya kalian akan melihat pergolakan setelahku, bersabarlah kalian sampai kalian bertemu denganku”.
Sesungguhnya sebagian besar Khalifah Abbasiyah dan penguasa Mamalik dan penguasa lainnya naik ke tampuk kekuasaan melewati sebuah pergolakan, Semua ini adalah isarat kenabian, meskipun begitu berbagai fitnah yang ada tidak mengeluarkan masarakat dari Islam, dan hukum-hukum syariah yang bersumber dari kitab dan sunnah tetap dilaksanakan. Berkaitan dengan hali ini kita juga dapat mengambil pelajaran dari hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda :
ستكون فتن القاعدة فيها خير من القائم، والقائم فيها خير من الماشي، والماشي فيها خير من الساعي، من تشرف لها تستشرفه، فمن وجد فيها ملجأ أو معاذاً فليعذ به
“Akan terjadi fitnah dimana yang duduk lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, yang berjalan lebih baik dari yang berlari, barangsiapa yang membimbingnya maka Ia akan terus membutuhkan bimbingannya, dan barangsiapa yang di saat fitnah tersebut mendapatkan jalan keluar atau tempat berlindung maka hendaklah Ia berlindung padanya”.
Dalam Hadits riwayat Muslim disebutkan : 
فإذا نزلت أو وقعت فمن كان له إبل فليلحق بإبله، ومن كان له غنم فليلحق بغنمه، ومن كانت له أرض فليلحق بأرضه، قال: فقال: يا رسول الله إن لم يكن له إبل ولا غنم ولا أرض؟ قال : يعمد إلى سيفه فيدق على حده بحجر، ثم لينج إن استطاع النجاه، اللهم هل بلغت؟ اللهم هل بلغت؟ فقال رجل : يا رسول الله أرأيت إن أكرهت حتى يُنطَلَقَ بي إلى أحد الصفين، أو إحدى الفئتين، فضربني رجل بسيفه، أويجيء سهم فيقتلني؟قال : يبوء بإثمه وإثمك ويكون من أصحاب النار
“Maka apabila terjadi fitnah tersebut, hendaknya yang memiliki onta agar 
Hal ini menjadi titik tolang pandangan Ibnu hajar bahwa perselisihan dalam mencari menuntut kekuasaan tidak diketahui mana pelaku kebenaran dan mana pelaku kebatilan. Kemudian Ibnu Hajar menukil pendapat Imam At-Thabary yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dikatakan fitnah itu adalah bencana, mengingkari kemungkaran adalh wajib bagi yang mampu menghadapinya, barang siapa yang membantu pelaku kebenaran maka ia benar, dan barangsiapa yang melakukan kesalahan maka Ia salah, sesunggahnya persoalan yang paling pelik adalah keadaan dimana terdapat larangan berperang di dalamnya.
Adapun dari Hadits yang diriwayatkan oleh Abu bakrah kita mengetahui bahwa lari dari fitnah ketika terjadi dua kubu umat islam yang saling berseteru, dimana antara hak dan batil menjadi samara atau tidak dapat diketahui siapa pelaku kebnaran dan siapa pelaku kebatilan.
Pengertian seperti ini juga datang dari Abu Barzah Al-Aslamy, sebagaimana ditakhrij oleh Imam Bukhori dari Abul Minhal berkata : “Tatkala Ibnu Zayyad dan Marwan bergabung dengan pasukan Ibnu zubair di Mekkah, dan bergabung pula para Hafidz Qur’an di Basrah, aku pergi bersama Ayahku menemui Abu Barzah al-Aslamy, kami masuk ke rumahnya pada saat itu beliau sedang duduk-duduk, kamipun langsung duduk di dekatnya.laluAyahku mengawali pembicaraan seraya berkata : “Wahai abu Barzah tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada sekumpulan manusia?. Maka kalimat pertama yang aku dengar darinya adalah : “Sesungguhnya aku berserah diri kepada Allah tentang kemarahanku kepada orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian wahai bangsa Arab tengah berada dalam satu situasi yang kalian ketahui sendiri, penuh dengan kehinaan, ketidakberdayaan dan kesesatan, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan kalian dengan Islam dan dengan datangnya Nabi Muhammad SAW, sehingga sampai kepada apa yang kalian lihat sekarang ini, inilah dunia yang telah kalian rusak diantar kalian sendiri. Demi Allah yang di Syam mereka berperang hanya untuk dunia, yang ada di tengah-tengah kalian juga berperang hanya untuk dunia dan yang di Mekkah juga berperang untuk dunia”.
Dari penjelasan tersebur di atas bahwa abu Barzah RA memandang boleh menghindari fitnah, karena tidak didapati pelaku kebenarannya. Sedangkan Ibnu Umar RA telah menempuh jalan ini (uzlah) ketika terjadi perselisihan antara Abdul malik bin Marwan dan Ibnu Zubair. Imam Bukhari meriwayatkan dari Said bin Jabir Ia berkata : Abdullah bin Umar berkunjung kepada kami, kami berharap Ia membawa cerita yang baik, tiba-tiba seseorang mendahului kami seraya berkata : “Wahai Abu Abdurrahman ceritakanlah kepad kami peperangan fitnah?, sedangkan Allah berfirman : وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة, dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah”. Ibnu Umar berkata : “Apakah engkau tahu apa yang dimaksud dengan fitnah?, sesunghnya dahulu nabi Muhammad SAW senantiasa memerangi kaum Musyrik, sedangkan masuk ke dalam agama mereka adalah fitnah, bukan seperti kalian memerangi Abdul Malik.
Dalam riwayat lain : “Orang yang terkena fitnah dari agamanya (Murtad) maka Ia dibunuh atau diberikan sanksi yang setimpal, sehingga umat Islam tetap utuh terjaga, dan tidak terjadi lagi fitnah”, atau tidak adalagi fitnah dari seorang kafir terhadap seorang Mu’min.
Ditakhrij oleh Imam Bukhori dari Ibnu Umar RA tatkala datang kepadanya dua orang yang hendak memerangi Ibnu Zubair, lalu keduanya berkata : “Sesungguhnya orang-orang telah berngkat, dan engkau hai Ibnu Umar sahabat Rasulullah!, apa yang manghalangimu untuk tidak ikut keluar berperang?”. Ibnu Umar menjawab : “Yang menghalangiku adalah Allah yang telah mengharamkan darah saudaraku”, “Bukankah Allah berfirman : وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة“, sanggahnya. Kemudian Ibnu Umar menjelaskan : “Kita berperang sampai tidak terjadi fitnah, agama menjadi seluruhnya kepunyaan Allah, sednagkan kalian berperang agar supaya tidak terjadi fitnah, dan agama menjadi kepunyaan selain Allah”.
Dari beberapa riwayat tersebut di atas, kita dapat mengenali dua macam fitnah. Harus ada focus perhatian terhadap fitnah besar yang merusak agama dan mengancam keimanan, fitnah seperti ini tidak ada kompromi bersamanya.
FITNAH DALAM PENGERTIAN KUFUR
Yaitu fitnah yang sasarannya untuk menjatuhkan Islam dan akidahnya, ini merupakan fitnah yang paling berbahaya, tidak boleh seorang Mu’min bersikap kompromi denganny dan membiarkannya, Inilah fitnah yang dimaksudkan Allah dalam firman-NYA :
193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “yang dimaksud dengan fitnah apda ayat tersebut adalah kemusyrikan dan kekufuran, fitnah yang dilakukan oleh orang-orang kafir adalah bahwasanya mereka memukul dan menyakiti shabat-sahabat Nabi di Mekkah, sehingg mereka pergi ke Habasyah, kemudian meruka terus menerus teraniaya, sehingga akhirnya mereka hijrah ke Madinah. Adapun tujuan mereka dengan fitnah tersebut adalah agar kamu muslimin meninggalkan agama mereka dan kembali menjadi orang-orang kafir. Maka diturnkanlah oleh Allah ayat tersebut di atas, yang mengandung pengertian : “perangilah mereka sampai kalian menang terhadap merka, dan mereka tidak akan memfitnah kalian terhadap agama kalain, sehingga kalian tidak jatuh kepada Syirik.
Fitnah semacam ini lebih keji dari pada peperangan, karena kerusakan di muka bumi akan mengakibatkan kezhaliman dan peperangan. Imam Ar-Razy berkata : “Sesungguhnya kekufuran itu lebih berbahaya dari peperangan, karena kekufuran itu merupakan dosa yang pelakunya berhak mendapatkan siksa selama-lamanya, sedangkan peperangan tidak seperti itu, kekufuran dapat mengelauarkan seseorang dari agamanya, sedangkan peperangan tidak demikian”.
Oleh karena itu Al-Qur’an menegaskan satu keadaan dimana fitnah telah berakhir adalah kemapanan urusan agama dan keberlangsungannya, sebagaimana firman Allah Ta’alaa : ويكون الدين لله, ini merupakan satu tujuan yang sanagt mulia dimana jihad tidak akan berhenti bila fitnah belum berakhir. Imam Ar-Razy berkata : “Tidak ada perantara antara syirik dengan agama seluruhnya milik Allah, maka dengan pengertian lain dapat dikatakan : فقاتلوهم حتى يزول الكفر ويثبت الإسلام. “perangilah mereka sampai hilangnya kekufuran dan tegaknya Islam”.
Fitnah semacam ini telah terjadi, hingga akhirnya umat Islam dalam kebanyakan negeri mereka memilih sistem dan perundang-undangan yang tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai Islam, bahkan bertentangan 180 derajat, didirikannya berbagai lembaga kehidupan di atas prinsip-prinsip yang menyesatkan. Sementara sebagaian kaum Atheis dan sekulermencengkran dengan kekuasaan dan doktrinnya, maka sebagian komunitas umat mulai terjungkirbalikkan akidahnya dan mulai murtad secara perlahan, dan oleh merekalah Isalam mulai dijauhkan dari berbagai institusi kehidupan dan memaklumatkan perang terhadap setiap muslim, karena itu apa yang telah dikhatirkan oleh Nabi SAW telah menjadi kenyataan di sebagian negeri-negeri kaum Muslimin, sebagaimana sabda beliau :
لا ترجعوا بعدي كفاراً يضرب بعضكم رقاب بعض
“Setelah aku tiada janganlah kalian kembali menjadi kafir dimana sebagian memukul tengkuk sebagian yang lain” (HR. Bukhari – Muslim)
Fitnah semacam ini harus dihadapi oleh seorang Muslim, tidak boleh mencari selamat dari kejahatan fitnah tersebut dengan mengungsu ke atas gunung atau ke dalam gua, dan tidak boleh menyebabkannya keluar dari masyarakat dan beri’tikaf di Masjid. Adapun sikap positif dalam menghadapi fitnah ini adalah mencari jama’ah orang-orang yang beriman, komunitas yang eksis di atas kebenaran, yang telah memberikan buah kesungguhan dan konsistensi keberpihakan (afiliasi) (صادق الانتماء), hal merupakan satu-satunya pilihan bagi seorang Mu’min, sebagaimna sabda Nabi kepada Khudzaifah : (تلزم جماعة المسلمين وإمامهم), “engkau harus menjalinkomitmen dengan Jamaah kaum Muslimin dan Imam mereka”.
Imam Ibnu Hajar berkata : “perintah komitmen terhadap jamaah diantaranya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi” :
وأنا آمركم بخمس أمرني الله بهن: السمع والطاعة والجهاد والهجرة والجماعة، فإن من فارق الجماعة قيد شبر فقد خلع ربقة الإسلام من علقه
“Aku perintahkan kalian lima perkara sebagiman yang telah Allah perinthakan kepadaku, yaitu : mendengar, taat, jihad, hijrah, dan jamaah, karena sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari jama’ah walaupun sejengkal maka Ia telah melepaskan ikatan Islam dari kerongkongannya” (HR. Tirmidzi) 
Dalam khutbahnya yang cukup masyhur Umar bin Khattab berkata :
فإن عليكم بالجماعة وإياكم والفرقة، فإن الشيطان مع الواحد، وهو من الاثنين أبعد
“Sesungguhnya kalian harus berjamaah, hindarilah oleh kalian perpecahan, karena syaitan bersama satu orang dan menjauh dari dua orang” 
Mengkin anda bertanya-tanya tentang keberadaan jamaah tersebut, barangkali sekilas seseorang langsung berfikir bahwa jamaah seperti itu tidak ada di tengah masyarakat sekarang ini, sebagai jawabnnya adalah Hadits riwayat Imam Bukhary, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
لا يزال من أمتي أمة قائمة بأمر الله ، لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتيهم أمر الله وهم على ذلك وفي رواية أخرى ( حتى يأتي أمر الله وهم ظاهرون على الناس).
“Akan senantiasa ada dari kalangan umatku umat yang menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan mereka siapapun yang menghinakan dan menentangnya, sehingga datang ketetapan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu”. Dalam riwayat yang lain : “sehingga datang ketetapan Allah dan mereka telah berhasil menguasai manusia”
Dalam riwayat Al-Mughirah bin Syu’bah RA :
لن يزال قومّ من أمتي ظاهرين على الناس حتى يأتيهم أمر الله وهم ظاهرون
“Tidak akan berhenti satu kaum dari umatku yang berhasil mengausai manusia sehingga datang ketetapan Allah dan mereka meraih kemenangan” 
Riwayat hadits seperti ini cukup banyak, redaksinya hampir sama, secara umum memberikan argumentasi bahwa umat ini tidak kosong dari satu komunitas yang menegakkan perintah Allah, sesuai dengan apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad SAW, melalui komunitas inilah Allah menjaga wahyu-NYA, dan mewujudkan tegaknya hujjah terhadap makhluk dan menghilangkan segala penghalang, serta menerang jalan hidayah dan petunjuk. Ibnu Hazm berkata : “jelaslah, bahwa komunitas manusia di setiap masa tidak boleh kosong dari para penyeru (proklamator) kebenaran”. 
Pada saat yang sama banyak kelompok yang lepas dari agama Allah, baik bentuknya berupa penyimpangan kepada hawa nafsu yang menyesatkan dan prinsip-prinsip yang menyimpang, begitulah keadaan para penentang yang menipu daya jamaah orang-orang yang beriman, maupun berupa kesibukan hidup dalam mencari kesenangan yang semu dan mencari refreshing dengan menceburkan diri ke dalam kubang kemaksiatan. Begitulah keadaan mayoritaskomunitas manusia yang tidak pernah berpikir untuk kebaikan diri mereka sendiri. Begitulah pula bahwasanya jama’ah orang-orang beriman selalu berada di tengah-tengah para penentangnya.
Sesungguhnya Jama’ah orang beriman akan keluar sebagai pemenang dalam menghadapi orang-orang yang memusuhinya, menghinanya dan merendahkannya, jama’ah tersebut diperkuat dengan pertolongan Allah di mana para musuhnya tidak dapat memberikan mudharat sedikitpun. Arti dari sabda nabi : ( وهم ظاهرون) sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar adalah mereka yang menang, sednagkan kaitannya dengan kata-kata “Dzhahirun” juga bisa diartikan mereka tidak tenggelam tetapi menjadi terkenal (masyhur). Ibnu Hajar berkata : “pengertian yang pertama lebih tepat” Tetapi tampaknya yang kedua juga lebih tepat, bahwasanya kemenangan yang dimaksud adalah eksisnya popularitas (kemasyhuran) dan kesinambungan dan ajeg di atas kebenaran. Pengertian ini dikuatkan oleh Hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhary :
ولن يزال أمر هذه الأمة مستقيماً حتى تقوم الساعة، أو حتى يأتي أمر الله
“Urusan umat ini akan tetap terus berlangsung (istiqomah) hingga datang hari kiamat atau sampai datangnya keputusan Allah” 
Keistiqomahan yang dimaksud tidak harus dengan penguasaan kekuatan materi, tetapi istiqomah akan terus berlangsung, walaupun jama’ah dalm kondisi lemah dan tertekan.
Semoga kecenderungan Ibnu Hajar pada pengertian kemenangan seperti apa yang dilihatnya pada kemnangan sebagian pejuang kebenaran (Ahlul Haq) pada satu wilayah atau distrik sejak zaman Nabi hingga zamannya. Seandainya beliau hidup di zaman belakangan ini, maka Ia akan melihat bagaimna Ahlul Haq dikalahkan oleh Ahlul Bathil, akan tetapi ahlul haq tetap eksis di atas kebanaran, mereka teguh di jalannya, dikenal dengannya, kekuatan hawa nafsu tidak dapat mencabut fikrah mereka, tidak memudaratkan mereka apapun yang merke hadapi berupa kesulitan dan berbagai penganiyaan dan berbagai stigma dan tuduhan, bahkan perjuangan mereka terus berlangsung dan manusia melihat mereka tetap tegak di atas perintah Allah SWT. Imam Nawawi berkata : 
لا يزالون على الحق حتى تقبضهم هذه الريح اللينة قرب القيامة
“Mereka akan terus berada di atas kebenaran sampai ruh mereka tercabut menjelang kiamat” 
Sesungguhnya Rasulullah SAW dan para sahabatnya eksis di tengah-tengah masyarakat kota Mekkah yang musyrik, meskipun mereke mendapatkan penganiyaan dan pengusiran, begitulah keadaan jama’ah yang beriman tetap tegak di atas ketetapan Allah SWT, tetap eksis walaupun belum memiliki kekuassan sosial-politik.
PENETAPAN JAMAAH, APAKAH HANYA SATU SAJA?
Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya jamaah kaum muslimin di masa nabi SAW dan di masa Khluafa ar- Rasyidin merupakan golongan mayoritas umat ini yang berhukum dengan syariat Allah. Pada masa itu umat menjadi kuat dan Islam memiliki kedaulatan penuh, akan tetapi kemudian ikatan umat yang satu itu mulai tercerai, munculah berbagai jamaah, bahkan sebagian ulama mengkaitkan dengan kekhususan nash yang menyinggung tentang فئة(golongan), meskipun waktu itu ummat Islam masih tergolong خير قرونها, (terbaik pada masanya).
Imam Ahmad, Ali bin Al-Madiny dan Abu Abdullah al-Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nash tersebut adalah mereka ahlul Hadits, sebagaima yang telah dinukil oleh Al-Hakin dari Imam Ahmad yang mengatakan : “Kalau bukan ahlul Hadits aku tidak tahu siapa mereka itu”. Lalu Al-Hakim berkomentar : “Alangkah bagusnya Ahmad bin Hambal dalam menafsirkan hadits tentang الطائفة المنصورة(kelompok yang ditolong) yang senantiasan dijauhkan dari mereka kehinaan hingga hari kiamat, mereka adalah ahlul hadits”. 
Meskipun para ahli Hadits memainkan perna yang sangat besar dalam berkhidmat kepada sunnah nabawiyah, akan tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa kelompok ini akan terus ada hingga hari kiamat. Sesungguhnya telah terhenti kontribusi dan ijtihad meraka dalam ulumul Hadits, kecuali hanya segelintir orang saja, sejak beberpa ratus tahun. Pada dasarnya nash hadits mengisratkan kesinambungan mereka (istimrar) dan terus tersisa kelompok mereka hingga menjelang kiamat.
Adapun Imam Muhammad Abduh telah mengambil sikap dan pandangan yang jauh tentang hadits “al-Firaq” seraya berkata : “Sesungguhnya hadits ini mengajarkan kita bahwa umat di dalam tubuh umat telah terpecah menjadi berbagai kelompok, yang selamat hanya satu, Adapun penentuan “Firqah Najiyah”, kelompok yang selamat, yaitu mereka yang mengikuti apa yang ada pada Nabi dan para sahabatnya, belum jelas bagiku hingga sekarang, karena masing-masing kelompok mengikuti Nabi dengan risalahnya dan menjadikan kelompoknya mangikuti apayang ada pada nabi para sahabatnya” 
Dalam Hal ini Syeikh Rasid Ridha berbeda pendapat dengan gurunya, dan menganggap gurunya telah terpengaruh oleh pandangan-pandangan filsafat dan Ilmu kalam, dan obsesinya untuk menyatukan kaum muslimin, beliau kurang menelaah kitab-kitab Hadits, kemudian Rasyid Ridha menanggapi pendapat gurunya dengan menegaskan bahwa ahli Hadits dan ulama Atsar yang mengacu kepada salafussaleh itulah yang dimaksud dengan kelompok yang selamat, cukup banyak jumlahnya pada generasi awal tetapi sedikita pada generasi belakangan ini, mereka tidak mungkin mengikuti ulama ahli kalam yang bid’ah atau para muqallid dalam masalah furu’iyyah. 
Pengarang kitab “Zaadul Muslim” berpendapat bahwa kelompok yang dimaksud adalah mereka para Mujahid di Palestina, dan hal ini sesuai dengan zaman di mana pengarng kitab tersebut hidup”. Imam Nawawy lwbih umum pendapatnya, Ia berkata : “Sesdungguhnya kelompok yang beraneka ragam di kalangan kaum mu’minin adalah mereka yang pemberani, pasukan perang, ahli Hadits, kaum zuhud yang aktif melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan banak lagi keompok kebajikan lainnya, mereka tidak harus berkumpul tetapi mereka tersebar berserakan di permukaan bumi”. 
Secara dzahir aku melihat bahwa beberapa pendapat tersebut di atas sangat dibatasi oleh zaman yang mengemukakannya. Pada zaman Imam Ahmad para ahli hadits adalah mereka yang mengusung sunnah dan yang membentenginya dari filsafat Yunani dan India dan dari kelompok-kelompok kebatinan lainnya, mereka menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh dalam mengumpulkan hadits dan menyusunnya dan memilah antar hadits shahih dan tidak shahih. Akan tetapi peran para ahli hadits tersebut nyaris terhenti bersamaan dengan munculnya kitab-kitab hadits yang tersusun dalm bab-bab, musnad, index, biografi perawi dan pembawanya dan sejarah ilmu hadits, dan taqlid mulai mendominasi pada zaman-zaman belakangan, sebagaimana hal yang sama terjadi pada aspek-aspek pengetahuan islam yang lainnya.
Tidak bisa kita mengatakan bahwa kelompok ahli hadits adalah kelompok yang eksis hingga Allah mendatangkan keputusannya atau hingga menjelang kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwasanya kelompok sufi adalah kelompok yang eksis, sesungguhnya pendapat seperti itu sesuai dengan zaman dimana kelompok sufi memang sedang eksis di masyarakat, sebagaiman kelompok ini memiliki peranan penting pada masa perang salib, juga di benua Afrika ketika menghadapi paganisme dan peradaban barat, dan ikatan serta padepokan-padepokan sufi menjadi basis titik tolak. Bertolak darinyalah Islam masuk ke jantung Afrika.
Bila dikatakan bahwasanya Mujahid Palestina di mana mereka telah menghadapi tentara Inggris dan Yahudi adalah kelompok yang dimaksud, hal itu bisa saja ketika Syeikh Syanqity telah menulis kitab “Zaadul Muslim”, maka mereka tergolong kelompok yang dimaksud tersebut. Juga dapat dikatakan bahwa kelompok yang dimaksud bukan hanya di Palestina saja saat itu, tetapi siapa saja yang mengusung panji jihad di jalan Allah di negeri yang lainnya.
Solusi dari silang pendapat tersbut di atas adalah dengan mencari keanekaragaman kelompok baik dari latar belakang kapasitas, kapabilitas, momentum dan ketokohan. Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawy mendekati solusi tersebut, beliau menghindari pendefinisisan kelompok yang dimaksud dari unsur zaman.
Bila kita mulai masuk pada kalkulasi kondisi umat ini, sejak beberap kurun waktu umat ini telah mengalami keterbelakangan wawasan, pemikiran, perundang-undangan dan ketentuan hukum Islam, dan dalam hal ini umat terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, kelompok yang memerangi Islam, dan menyokong pihak-pihak yang memeranginya dengan berbagai pemikiran yang menyimpang. Kedua, kelompok yang gigih mengusung Islam dan menuntut penerapan hukum sesuai dengan al-Qur’an as-sunnah dalam kehidupan umat. Ketiga, kelompok yang mengerahkan kesungguhannya hanya untuk mata pencaharian, bisnis dan pemenuhan hajat, kelompok ini tidak perduli dengan pertarungan antara yang haq dan yang bathil, kecuali ada hubungannya dengan kepentingan bisnis mereka.
Kita bisa saja mengatakn bahwa kelompok yang dimaksud adalah mereka yang mengusung Islam menyerukan untuk memberlakukan hukum syariat, kelompok ini bisa beragam bentuknya, tetapi tujuan dan sasarannya sama, kelompok ini tidaka kan sampai kepada tujuan yang diinginkan keuali dengan intensitas ilmu tenatng hukum-hukum syariat, akidah Islam dan perundang-unadangannya dab bagaiman mendakwahkannya. Sebuah Jama’ah tidak dapat disebut jamaah yang sesungguhnya bila tidak ada loyalitas, sikap mendengar dan taat serta komitmen di antara para pendukungnya.
Ilmu syariat adalah salah satu syarat, sedangkan loyalitas dan komitmen adalah sifat yang melekat pada sebuah jama’ah, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhary :
من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين، وإنما أنا قاسم والله يعطي، ولن تزال هذه الأمة قائمة على أمر ربها، لا يضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر الله
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, maka Allah akan menjadikannya faqih (mendalam) dalam agamanya, aku hanya mendistribusikannya sedangkan Allah yang memberinya, sepanjang umat ini tegak di atas perintah Allah, maka tidak akan membahayakan mereka orang yang menentangnya sehingga datang keputusan Allah”. 
Dalam riwayat yang lain disebutkan :
ولن يزال أمر هذه الأمة مستقيماً حتى تقوم الساعة أو حتى يأتي أمر الله
“Tidak akan berhenti urusan umat ini, tetap istiqomah sampai datang hari kiamat atau sampai datang keputusan Allah”. 
Imam al-Karmany memmahami kata-kata “istiqomah” dalam riwayat ini dengan pengertian “tafaqquh”, karena hal itu adalah sesuatu yang sangat mendasar, dari sinilah keterkaitan hadits-hadits smakna lainnya. Imam Bukhary telah mencantumkan satu bab dalam kitabnya dengan sebutan :
باب وكذلك جعلناكم أمة وسطاً ، وما أمر النبيrمن لزوم الجماعة وهم أهل العل
“Bab demikianlah kami jadikan kalian umat pertengahan, dan apa yang diperintahkan Nabi untuk komitmen dengan jamaah dan ahli ilmu”. Ibnu Hajar berkata : “ yang dimaksud oleh Imam Bukhory adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu ahli ilmu syar’I, selain mereka walupun dinisbahkan kepada ilmu hanyalah nisbah majazy bukan hakiki”. 
Sedangkan kalangan awam tidak akan masuk kelompok ini. Kecuali jika mereka berinteraksi dengan Islam dan hukum-hukumnya, dan ikut terlibat dalam pertarungan un tuk memenangkan Al-Haq dan para pengikutnya. Bila ada yang mengatakan apa yang dimaksud dengan sabda Nabi “فعليكم بالسواد الأعظم”؟, hendaknya kalian bersama kelompok yang terbesar, apakah maksudnya kalangan mayoritas manusia (Jumhurunnaas), atau sekelompok manusia dan kalangan khususnya.
Al-Imam As-Syatiby menjawab hal ini dalam kitabnya “Al-I’tisham”, beliau berkata : Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Muhammad Al-Qasim at-Thusy Ia berkata : aku mendengar Ishaq bin Rahawiyah mengutip hadits Rasulullah SAW : 
إن الله لم يكن ليجمع أمة محمد على ضلالة، فإذا رأيتم الاختلاف فعليكم بالسواد الأعظم
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummat Muhammad dalam kesesatan, bila kalian berselisih maka hendakalah bergabung dengan kelompok mayoritas”, lalu seorang bertanya kepadanya : “Hai Abu Ya’qub!, siapakah kelompok mayoritas itu?”, “Muhammad bin Aslam dan sahabtnya serta para pengikutnya” jawabnya tegas. Ibnu Mubarak juga pernah ditanya oleh sseorang tentang hal yang sama, beliau menjawab : “Abu Hamzah as-sukry. Kemudian Ishaq berkata : “seandainya orang-orang bodoh ditanya tentang kelompok mayoritas, mereka pasti menjawab : “kebanyakan manusia”, mereka tidak mengetahui bahwa Jama’ah harus tahu dan konsisten dengan sunnah nabi dan metodenya, apa yang ada bersamanya dan yang mengikutinya adalah jama’ah”. 
Pandangan Ishaq bin Rahawiyah mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap peran Jama’ah Musllimah dan Thaifah Dzahirah yang telah menikmati tingkat kesadaran penguasaan syariat Islam dan sunnah Nabi SAW, juga penguasaan wawasan, sosial dan politik. Umat Islam tidak dapat keluar dari kondisi “buih” masyarkat yang menang dan sukses kecuali melalui jama’ah yang beriman dan kelompok yang komitmen dengan apa yang ada pada Nabi dan para sahabatnya.

No comments:

Post a Comment