Wednesday, May 30, 2018

Fadhailud Da’wah (Keutamaan Dakwah)

Dakwah adalah aktivitas menyeru manusia kepada Allah Ta’ala dengan hikmah dan pelajaran yang baik dengan harapan agar objek dakwah (mad’u) yang kita dakwahi beriman kepada Allah Ta’ala dan mengingkari thaghut (semua yang diabdi selain Allah) sehingga mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.
Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan banyak menemukan pembicaraan mengenai fadhail (keutamaan) dakwah yang luar biasa. Penting bagi kita untuk mengetahui, memahami, dan menghayati tentang keutamaan dakwah ini, agar memiliki motivasi yang kuat untuk berdakwah dan bergabung bersama kafilah dakwah dimanapun ia berada; juga dapat menjaga konsistensi, semangat, serta menjadikan kita merasa ringan menghadapi beban dan rintangan dakwah betapapun beratnya.
Beberapa keutamaan dakwah yang dapat kita sebutkan dalam pokok bahasan ini adalah:
Pertama, dakwah adalah muhimmatur rusul (tugas utama para rasul) ‘alaihimus salam.
Para rasul ‘alaihimus salam adalah orang yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk melakukan tugas utama mereka yakni berdakwah kepada Allah Ta’ala. Keutamaan dakwah terletak  pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para nabi dan rasul alaihimus salam.

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah (mengajak kamu)  kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’”. (QS. Yusuf, 12: 108).
Ayat di atas menjelaskan bahwa jalan yang dilalui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para pengikut beliau adalah jalan dakwah. Maka barangsiapa mengaku menjadi pengikut beliau, ia harus terlibat dalam dakwah sesuai kemampuannya masing-masing. Ibnul Al-Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah seseorang itu murni sebagai pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  sampai ia mau mendakwahkan apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang mendalam.”[1]
Tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan kesibukan beliau yang tak kenal henti dalam menjalankan tugas berdakwah siang dan malam:

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا

 “Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku malam dan siang.’” (QS. Nuh, 71: 5).
Tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah yang beliau lakukan kepada ayah dan umatnya,
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Apakah yang kamu sembah?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya’. Berkata Ibrahim: ‘Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya), atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?’ Mereka menjawab: ‘(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian’. Ibrahim berkata: ‘Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam, (Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (QS. Asy-Syuara, 26: 69-82).
Tentang Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah beliau dalam banyak ayat-ayat Al-Quran, diantaranya,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَىٰ بِآيَاتِنَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ فَقَالَ إِنِّي رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِآيَاتِنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَضْحَكُونَ

Dan sesunguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka Musa berkata: Sesungguhnya aku adalah utusan dari Tuhan seru sekalian alam.  Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya. (QS. Az-Zukhruf, 43: 46-47).
Tentang Nabi Isa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah beliau dalam firman-Nya,

وَلَمَّا جَاءَ عِيسَىٰ بِالْبَيِّنَاتِ قَالَ قَدْ جِئْتُكُمْ بِالْحِكْمَةِ وَلِأُبَيِّنَ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي تَخْتَلِفُونَ فِيهِ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: ‘Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmah[2] dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku’. Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus. (QS. Az-Zukhruf, 43: 63-64).
Pintu kenabian dan kerasulan memang sudah tertutup selama-lamanya, namun kita masih dapat mewarisi pekerjaan dan tugas mulia mereka, sehingga kita berharap semoga Allah Ta’ala berkenan memuliakan kita.
Kedua, dakwah adalah ahsanul a’mal (amal yang terbaik).
Dakwah adalah amal yang terbaik karena tujuannya adalah menjaga keberlangsungan amal Islami di dalam setiap pribadi dan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushilat, 41: 33).
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: “Allah Ta’ala menyeru manusia: ‘Wahai manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian istiqamah dengan keimanan itu, berhenti pada perintah dan larangan-Nya, dan berdakwah (mengajak) hamba-hamba Allah untuk mengatakan apa yang ia katakan dan mengerjakan apa yang ia kerjakan.” [3]
Bagaimana tidak akan menjadi ucapan dan pekerjaan yang terbaik? Sementara dakwah adalah pekerjaan makhluk terbaik yakni para nabi dan rasul alaihimus salam.
Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran“Sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah sehingga tidak ada penonjolan diri di dalamnya. Dengan demikian jadilah dakwah ini murni untuk Allah, tidak ada kepentingan bagi seorang da’i kecuali menyampaikan.  Setelah itu tidak pantas kalimat seorang da’i kita sikapi dengan berpaling, adab yang buruk, atau pengingkaran. Karena seorang da’i datang dan maju membawa kebaikan, sehingga ia berada dalam kedudukan yang amat tinggi…” (Fi Zhilal Al-Quran, 6/295).
Ketiga, dakwah memiliki keutamaan yang besar karena para da’i akan memperoleh balasan yang besar dan berlipat ganda (al-hushulu ‘ala al-ajri al-‘azhim).

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِيٍّ: فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan (da’wah)mu maka itu lebih bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”
Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’i menyampaikan hidayah kepada seseorang adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah Ta’ala, lebih besar dan lebih baik dari kebanggaan seseorang terhadap kendaraan mewah miliknya.
Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan,

يَا عَلِيُّ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ عَلَى يَدَيْكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

“Wahai Ali, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya).(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).
Berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!
Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits tersebut juga mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah yang mengatakan:

عَالِمٌ عَامِلٌ مُعَلِّمٌ يُدْعَى كَبِيرًا فِي مَلَكُوتِ السَّمَوَاتِ

“Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar (mulia) di kerajaan langit.”
Keagungan balasan bagi orang yang berdakwah tidak hanya pada besarnya balasan untuknya tetapi juga karena terus menerusnya ganjaran itu mengalir kepadanya meskipun ia telah wafat.
Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّـئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa mengurangisedikitpun pahala mereka yang mencontohnya. Dan barangsiapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi dosa mereka yang menirunya. (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).
Keempat, dakwah dapat menyelamatkan kita dari azab Allah Ta’ala (an-najatu minal ‘azab)
Dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i akan membawa manfaat bagi dirinya sebelum manfaat itu dirasakan oleh orang lain yang menjadi objek dawahnya (mad’u). Manfaat itu antara lain adalah terlepasnya tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala sehingga ia terhindar dari adzab-Nya.
Tersebutlah sebuah daerah yang bernama “Aylah” atau “Eliah” sebuah perkampungan Bani Israil. Penduduknya diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk menghormati hari Jumat dan menjadikannya hari besar, namun mereka tidak bersedia dan lebih menyukai hari Sabtu. Sebagai hukumannya Allah Ta’ala melarang mereka untuk mencari dan memakan ikan di hari Sabtu, dan Allah Ta’ala membuat ikan-ikan tidak muncul kecuali di hari Sabtu. Sekelompok orang kemudian melanggar larangan ini dan membuat perangkap ikan sehingga ikan-ikan di hari Sabtu masuk ke dalam perangkap lalu mereka mengambilnya di hari ahad dan memakannya. Sementara orang-orang yang tidak melanggar larangan Allah Ta’ala terbagi menjadi dua kelompok yaitu mereka yang mencegah kemunkaran dan mereka yang diam saja.[4]
Terjadilah dialog antara orang-orang yang diam saja dengan mereka yang  berdakwah mengingatkan saudara-saudaranya yang melanggar larangan Allah Ta’ala. Dialog ini disebutkan dalam Al-Quran:

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ ۙ لَا تَأْتِيهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا ۙ اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا ۖ قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri[5] yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu[6], di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? Mereka menjawab: Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu[7], dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. Al-A’raf, 7: 163-165).
Perhatikanlah jawaban orang-orang yang berdakwah ketika ditanya mengapa mereka menasehati orang-orang yang melanggar perintah Allah,

مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ

Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu.” Kami berdakwah agar menjadi argumentasi dan penyelamat kami dihadapan Allah Ta’ala.

وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Mudah-mudahan mereka bertaqwa.
Perhatikan pula bahwa yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari adzab-Nya adalah orang-orang yang melarang perbuatan maksiat.
Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar adalah kontrol sosial yang harus dilakukan oleh kaum muslimin agar kehidupan ini selalu didominasi oleh kebaikan. Karena jika kebatilan yang mendominasi kehidupan, tentu akan menyebabkan turunnya teguran atau adzab dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا

Perumpamaan orang yang tegak di atas hukum-hukum Allah dengan orang yang melanggarnya seperti kaum yang menempati posisinya di atas bahtera, ada sebagian yang mendapatkan tempat di atas, dan ada sebagian yang mendapat tempat di bawah. Mereka yang berada di bawah jika akan mengambil air harus melewati orang yang berada di atas, lalu mereka berkata: Jika kita membolongi bagian bawah milik kita dan tidak mengganggu mereka. Kalau mereka membiarkan keinginan orang yang akan membolongi, mereka semua celaka, dan jika mereka (yang berada di bagian atas bahtera)menahan tangan mereka (yang berada di bagian bawah bahtera) maka selamatlah semuanya. (HR. Bukhari).

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallambeliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian jika kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).
Kelima, dakwah adalah jalan menuju khairu ummah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi ummat terbaik sepanjang zaman dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan pembinaan kader secara khusus adalah jalan satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di rumah Arqam bin Abil Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah.
Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah juga jalan yang harus kita tempuh untuk mengembalikan kembali kejayaan ummat. Imam Malik bin Anas berkata,

لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا

Akhir ummat ini tidak menjadi baik kecuali menggunakan cara yang digunakan untuk memperbaiki generasi awalnya.[8]
Ummat Islam harus memainkan peran dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam semua keadaannya, baik ketika memperjuangkan terbentuknya khairu ummah maupun ketika cita-cita khairu ummah itu telah terwujud. Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3: 110).
Al-Hayatu Ar-Rabbaniyyah
Dengan semua keutamaan dakwah di atas, berarti seorang da’i dengan dakwahnya sedang menjalani hidupnya dengan kehidupan rabbaniyyah yakni kehidupan yang selalu berorientasi kepada Allah Ta’ala dan kehidupan yang selalu diisi dengan belajar Al-Quran yang menjadi sumber kebaikan serta mengajarkannya kepada orang lain.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

 “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.’ akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’” (QS. Ali Imran, 3: 79).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk mengajak ummatnya agar menjadi orang-orang yang Rabbani yakni mereka yang selalu belajar dan mengajarkan Al-Quran sehingga hidup mereka menjadi rabbani pula. Dakwah adalah aktivitas belajar dan mengajarkan Al-Quran baik dengan membacanya, memahaminya, mengamalkannya, memperjuangkan tegaknya hukum-hukumnya, dan konsisten dalam melakukan itu semua.
Kehidupan rabbaniyyah adalah kehidupan seorang da’i yang selalu mengorientasikan semua aktivitasnya kepada Allah Ta’ala, Rabbnya, di mana kehidupan, kematian, ibadah mahdhahmaupun ghairu mahdhah semuanya dipersembahkan untuk Allah Ta’ala. Ibadah yang menjadi tujuan hidup semua manusia dilaksanakan untuk mengagungkan Allah Ta’ala seagung-agungnya dan untuk menyatakan kehinaan dan kelemahan kita di hadapan-Nya. Dakwah adalah salah satu bentuk pengagungan kepada Allah Ta’ala yang paling utama, karena di dalamnya seorang da’i meninggikan kalimat-Nya melalui lisannya, amalnya, dan ajakannya kepada orang lain. Di dalam dakwah seorang da’i bersabar menghadapi berbagai ujian berat semata-mata demi mengagungkan Allah Ta’ala. Semakin berat tantangan dan ujian dalam mengagungkan Allah Ta’ala, semakin besar dan mulia pengagungan itu di sisi Allah Ta’ala.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. (QS. Al-An’am, 6: 162).
Al-Hayah Al-Mubarakah (Kehidupan yang Diberkahi)
Dengan selalu berdakwah di jalan Allah Ta’ala seorang da’i telah menjadikan hidupnya penuh keberkahan. Yang dimaksud dengan keberkahan adalah kebaikan yang banyak dan melimpah di sisi Allah Ta’ala. Para Nabi alaihimus salam adalah orang yang paling diberkahi dan kehidupannya adalah kehidupan penuh keberkahan, perhatikan ucapan Nabi Isa ‘alaihis salamtentang dirinya:

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

 “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. (QS. Maryam, 19: 31).
Penyebab utama kehidupan Nabi Isa dan para Nabi lainnya diberkahi oleh Allah Ta’ala adalah pekerjaan mereka sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahkan ajaran-Nya kepada manusia. Inilah yang dipahami oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah ketika menjelaskan surat Maryam ayat 31 di atas. Beliau berkata:

فَإِنَّ بَرَكَةَ الرَّجُلِ تَعْلِيْمُهُ لِلْخَيْرِ حَيْثُ حَلَّ وَنُصْحُهُ لِكُلِّ مَنْ اِجْتَمَعَ بِهِ قَالَ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنِ الْمَسِيْحِ: وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ [مريم: ٣١] أَيْ مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ دَاعِيًا إِلَى اللهِ مُذَكِّرًا بِهِ مُرَغِّبًا فِيْ طَاعَتِهِ

“Keberkahan seseorang itu ada pada: Pengajarannya terhadap segala macam kebajikan di mana pun ia berada, dan nasehat yang ia berikan kepada semua orang yang ijtima’ (berkumpul) dengannya. Saat menceritakan tentang nabi Isa ‘alaihis salam Allah Ta’ala berfirman: “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada”. (Q.S. Maryam: 31). Nabi ‘Isa ‘alaihis salammenjadi manusia yang membawa berkah adalah karena ia: menjadi guru kebajikan, juru dakwah yang menyeru manusia kepada Allah Ta’ala, mengingatkan manusia tentang Allah Ta’ala, mendorong dan memotivasi manusia untuk taat kepada Allah Ta’ala.” [9]
Demikian Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah melihat keberkahan dalam hidup seseorang, di mana kehidupan yang berkah itu—menurutnya, sesuai arahan Al-Quran—ditentukan oleh aktivitas memberi manfaat kepada orang lain melalui dakwah dan kebaikan yang disebarkan demi meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[10]
Wallahu A’lam…

Catatan Kaki:

[1] Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 154
[2] Yang dimaksud dengan hikmah di sini ialah kenabian, Injil dan hukum.
[3] Tafsir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Quran, 21/468
[4] Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 65 dan 66 dan surat Al-A’raf ayat 163-166.
[5] Yaitu kota Eliah yang terletak di pantai Laut Merah antara kota Madyan dan bukit Thur.
[6] Menurut aturan itu mereka tidak boleh bekerja pada hari Sabtu, karena hari Sabtu itu dikhususkan hanya untuk beribadat.
[7] Alasan mereka itu ialah bahwa mereka telah melaksanakan perintah Allah untuk memberi peringatan.
[8] Nashiruddin Al-AlBani, Fiqhul Waqi’ hlm 22
[9] Surat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah kepada ‘Alauddin dari buku Risalah Ibnil Qayyim ila Ahadi Ikhwanih, hlm 5.
[10] Ibnu Katsir menyebutkan pendapat Mujahid, ‘Amr bin Qais, dan Ats-Tsauri bahwa yang dimaksud dengan “mubarakan” (orang yang diberkahi) dalam surat Maryam ayat 31 adalah “mu’alliman lil khair” (yang mengajarkan kebaikan) “naffa’an” (banyak memberi manfaat). Sedangkan menurut Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya bahwa keberkahan Nabi Isa ‘alaihis salam adalah amar ma’ruf nahi munkar yang beliau lakukan di manapun beliau berada.
Sumber: https://tarbawiyah.com/2018/05/29/fadhailud-dawah-keutamaan-dakwah/

Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak



Pendahuluan

Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala kepada Rasulullah saw.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
 “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya: 107)

Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa syariat Islam akan  memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap  segala hal yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan membuahkan hasil berupa rahmatan lil ‘alamin. Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan lil ‘alaminIslam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu’amalah insaniyah). 

Dalam makalah yang ringkas ini, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk memuliakan keluarga sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kehidupan sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

A.   Memuliakan Keluarga

1. Hubungan suami-istri

       Perhatian terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Perhatikan firman Allah Taala dalam Ar-Rum: 21
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dengan demikian,sakinah, mawaddah dan rahmah  merupakan suatu kondisi yang hendaknya diciptakan oleh pasangan suami isteri di dalam rumah tangganya.Dan ini     memerlukan suatu upaya yang sistematis dan konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami isteri dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadis:

“… mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (Q.S. Al-Baqarah: 187)

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. “

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka...” (Q.S. An-Nisaa: 34)

“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? Wanita shalihah: jika dilihat (suami) menyenangkan dan jika (suami) meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)

“ Janganlah seorang (suami) mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (H.R. Muslim)

“Takutlah kepada Allah dalam (memperlakukan ) wanita karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah, dan engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”

“Sesungguhnya aku berdandan untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu Abbas RA)


2. Memuliakan anak 

Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Dalam  hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga keselamatan keluarganya dari api neraka (Q.S. At-Tahrim: 6 ). Sungguh menjadi kewajiban orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Memuliakan anak berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan sejak  awal kehidupan  mereka dimulai yakni: 

a. Menerima kelahiran

Menerima kelahiranmereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: Barang siapa yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup diri dari orang itu. dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang terdahulu dan kemudian (H.R. Ad Darami). 

b. Melantunkan adzandi telinga kanan saat lahir ke dunia.
Aku melihat Rasulullah saw azan di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah ra. (H.R. al Hakim)

c.  Tahnik

Yaitu sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut di saat-saat  pertama kehidupan anak (bisa dengan kurma atau madu) 

d.  Menyusuinyadalam waktu yang cukup (2 tahun).

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (Q.S. Al-Baqarah:233)

e.  Memberi nama yang baik

Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam namanya, karena nama yang diberikan orang tua mengandung do’a dan harapan. Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri  apabila nama yang disandangnya buruk, atau tiada makna. 

f. Aqiqah

Menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari ketujuh. Rasulullah saw. bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang memenuhi syarat dan bayi perempuan cukup dengan satu ekor kambing.” (H.R. Ad-Darami)

g.   Cukur rambut: 

Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan menimbang rambut tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang selanjutnya disedekahkan kepada faqir miskin. “Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu” (H.R. Al-Hakim)  

h.    Khitan

Dari segi medis khitan jelasbermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak kecil ia sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.

Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan pendidikan yang baik kepada mereka. Al Qur’an secara monumental telah mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah Lukman ketika sedang mendidik anaknya: 
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
    
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman:13)

Dengan pendidikan yang benar menurut apa yang diajarkan Allah Taala, maka anak akan menjadi individu yang maturedewasa dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi kemaslahatan umat. 
Kewajiban orang tua pada akhirnya disempurnakan dengan membantu mereka dalam membangun keluarga dengan menikahkannya. Orang tua berperan dalam memilih siapa calon suami/istri putra-putri mereka menurut ukuran kebaikan Islam. 
            
3. Memuliakan orang tua

Sedangkan bagaimana anak bersikap kepada orangtuanya, juga sangat jelas diperintahkan Allah Taala:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia .Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra: 23-24)

Bahkan Allah selalu mensejajarkan perbuatan mengabdi kepada-Nya dan bertauhid dengan berbuat baik kepada orang tua:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ….”(QS An Nisa 36)
Ini menunjukkan bahwa memuliakan kedua orangtua bukan perkara sepele. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa memuliakan kedua orangtua terus berlanjut meskipun keduanya telah tiada:

Abu Usaid (Malik) bin Rabi’ah Assa’diyah berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW mendadak datang seorang dari Bani Salimah dan bertanya: Ya Rasulullah apakah masih ada jalan untuk berbakti terhadap ayah bundaku sesudah mati keduanya? Jawab Nabi: Ya, men-sholatkan atasnya, membacakan istighfar atas keduanya dan melaksanakan janji (wasiat)nya, serta menghubungkan ikatan yang tidak dapat dihubungkan melainkan karena keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya (H.R. Abu Dawud) 

Di antara tindakan-tindakan praktis membina hubungan yang baik kepada orangtua dalam konteks memuliakan mereka adalah:

a.         Selalu menjaga silaturahim dengan cara mengunjungi mereka secara rutin (berkala) sesuai kemampuan. Bila jarak tempat tinggal jauh, dapat dilakukan melalui telpon atau surat. Tanyailah keadaan kesehatan mereka, masalah-masalah mereka. 
b.        Memenuhi kebutuhan mereka, terutama tentu saja kebutuhan hidup sehari-hari berupa sandang, pangan dan papan. 
a.         Memelihara kesehatan mereka dengan cara memonitor kesehatan mereka, menganjurkan bahkan membantunya berobat ke dokter. Menganjurkan mereka untuk memperbaiki pola makan, pola kerja dan pola hidup agar menjadi sehat. 
b.        Memberi mereka hadiah sesuatu yang menyenangkan mereka, meskipun cuma sebuah bingkisan kecil. Janganlah lupa memberikan mereka buah tangan apabila kita pulang dari bepergian jauh. 
c.         Menganjurkan mereka meningkatkan ibadah, memperbanyak dzikir dan menghadiri atau mendengarkan ceramah atau majelis ta’lim yang baik buat mereka. Berikan pula buku atau majalah yang patut mereka baca. 
d.        Mendidik anak-anak untuk menghormati dan menggembirakan mereka (kakek-nenek) 
e.         Pamit kepada mereka ketika hendak bepergian jauh. 
f.         Bila memiliki rezeki yang cukup, patutlah kita memberangkatkan mereka ke tanah suci Mekkah untuk ibadah Haji. 
g.        Sesekali ajaklah mereka rihlah bersama ke suatu tempat yang baik. 

Sungguh indah bagaimana Islam memberikan pedoman-pedoman yang jelas dan rinci bagaimana sebuah keluarga dibangun dengan cara-cara yang bersahaja dan penuh nilai-nilai luhur. 

B.  Menyayangi Anak dan Menciuminya 

ـ   عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال : أَخَذَ النَبٍي ـ صلى الله عليه وسلم ـ إبراهيم ، فَقَبَّلَهُ وشمَّهُ    رواه البخاري..
Dari Anas bin Malik –ra. Berkata: Rasulullah saw menggendong Ibrahim dan menciuminya. HR Al Bukhari
Ibnu Al Baththal berkata: 
يَجوزُ تَقْبِيلَ الوَلَدِ الصغيرِ في كلِّ عَضُّو مِنْهُ ،وكذا الكبيرُ عند أكْثَرُ العُلَماءِ ، مَالَ لَمْ يَكُنْ عَوْرِةُ ، فلا تُقَبِلُ عورة الوَلَدِ
Diperbolehkan mencium anak kecil, di semua anggota badannya. Demikian juga orang dewasa –menurut mayoritas ulama-, kecuali auratnya. Maka tidak boleh hukumnya mencium aurat anak. 
أخذ النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ إبراهيم  
Rasulullah mengambil anaknya –Ibrahim- dari ibunya Mariyah Al Qibthiyah, 
 فَقَبَّلَهMencium dengan mulutnya, وَشَمَّهُmencium dengan hidungnya, sepertinya ia adalah  رِيحانَة:  pengharumnya 
Anak-anak itu diciumi serasa parfum – sepertinya. Rasulullah saw menerangkan dua cucunya Al Hasan dan Al Husain, dua putera Fatimah dengan kalimat: 
هما ريحانتاي من الدنيا  Keduanya adalah keharumanku di dunia. HR Al Bukhari dari Ibnu Umar –ra. 
Kalimat,    ريحانتاي من الدنياberarti bagian parfum duniawiku.
Itulah ciuman yang Rasulullah saw lakukan kepada cucunya, menunjukkan cinta dan kasih sayangnya. 
Hadits ini menunjukkan cinta anak dan menciumnya. 
ـ   عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه ـ قال : قبل رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ الحسن بن عليّ ، وعنده ـ الأقرع بن حابس التميمي ، جالساً ، فقال الأقرع : إن لي عشرة من الولد ما قبلت منهم أحداً ، فنظر إليه رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، ثم قال : " من لا يرحم لا يرحم "  .رواه البخاري .
Dari Abu Hurairah ra- berkata: Rasulullah saw menciumi Al Hasan bin Ali, di hadapan Al Aqra’ bin Habis At Tamimiy yang sedang duduk. Lalu Al Aqra’ berkata: Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, dan aku belum pernah menciumi seorang pun. Lalu Rasululahn saw memandanginya dan bersabda: “Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi” HR Al Bukhariy

Penjelasan:
Rasulullah saw mencium Al Hasan bin Ali –ra. Putra Fathimah –ra. 
Al Hasan lahir pada tahun 2 (dua) Hijriyah. Ketika itu Al Aqra’bin Habis At Tamimiy sedang duduk berada di hadapan Rasulullah saw. Ia seorang mu’allaf, sehingga Islamnya menjadi baik. Rasulullah saw melihatnya dengan pandangan yang kurang menyenangkan karena ia tidak pernah mencium anaknya. Kemudian Rasulullah saw bersabda, untuk merubah sikapnya terhadap anak-anaknya, sehingga anaknya merasakan kasih sayangnya dengan menciuminya.
 من لا يرحم لا يرحمBarang siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi. 
من لا يرحم لا يرحمHuruf ya pertama di baca fathah dan ya’ kedua dibaca dlammah. Boleh juga kedua ya’ dibaca rafa’ (huruf mim dibaca dlammah) dengan menstatuskan kata  “Man” sebagai isim Maushul. Atau keduanya dibaca jazm (mim dibaca sukun/mati) dan kata Man berstatus syarat. Namun pada umumnya para rawi membacanya dengan rafa’. 
Jawaban Rasulullah kepada Al Aqra menunjukkan bahwa mencium anak itu bertujuan untuk menunjukkan kasih sayang dan perhatian, bukan kelezatan atau syahwat. 
Kata “rahmat” kasih sayang dari sesama makhluk adalah kelembutan hati yang membuat seseorang memuliakan,  dan ihsan (berbuat baik). Rahmat dari sesama makhluk adalah termasuk dalam amal shalih, sedangkan rahmat dari Allah swt adalah balasan atas amal shalih yang dilakukan. 
Sesungguhnya orang yang berfikir dan bersemangat untuk membuat kebaikan pada dirinya sendiri akan berusaha agar rasa kasih sayang itu menjadi akhlak dan kepribadiannya, agar mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang sesama manusia. Barang siapa yang menyayangi ia akan disayangi, dan sebaliknya; barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak disayangi. 
Dari hadits di atas dapat disimpulkan antara lain: 
  1. Masyru’iyyah(disyariatkannya) mencium anak, dan hal ini adalah sunnah Nabi yang mulia. 
  2. Orang yang tidak menyayangi sesama manusia dan makhluk hidup lainnya akan terhalang dari rahmat Allah, dan kasih sayang sesama manusia. Karena balasan itu serupa dengan amalnya. 
  3. Orang yang menyayangi orang lain mendapatkan keberuntungan rahmat Allah dan kasih sayang sesama manusia yang akan menjadi penolong di kala sempit dan pembela pada saat yang dibutuhkan. 

C. Hak Anak Perempuan 
Dan orang yang mendapatkan rahmat Allah, ia akan hidup dengan kehidupan yang baik, mendapatkan nikmat lahir batin, dan akan berakhir dengan kebaikan (husnul khatimah).  
3 ـ  عن عائشة زوج النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قالت : جاءتني امرأة معها ابنتان تسألني ، فلم تجد عندي غير تمرة واحدة فأعطيتها ، فقسمتها بين ابنتيها ، ثم قامت فخرجت ، فدخل النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فحدثته ، فقال : ما يلي من هذه البنات شيئاً فأحسن إليهم كن له ستراً من النار .رواه البخاري ، ومسلم ، الترمذي.
Dari Aisyah –isteri Rasulullah saw- berkata: Telah datang padaku seorang wanita bersama dengan dua orang anaknya meminta sesuatu kepadaku. Aku hanya memilikisebutir korma, lalu aku berikan padanya. ibu itu kemudian membaginya untuk kedua anaknya, lalu pergi. Kemudian Rasulullah saw datang dan aku ceritakan kepadanya. Nabi bersabda: barangsiapa yang dikaruniai  anak-anak perempuan lalu berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak itu akan menjadi penghalangnya dari neraka. HR Al Bukhari, Muslim dan At Tirmidzi
Penjelasan: 
  معها ابنتانMembawa dua anaknya
تسألني فلم تجد عندي تمرة واحدة فأعطيتهاIa memintaku, lalu aku tidak temukan kecuali sebutir kurma, lalu aku berikan kepadanya. Hal ini menunjukkan kedermawanan Ummul Mukminin Aisyah –ra. Ketika tidak ada sesuatupun yang bisa diberikan kecuali sebutir kurma, ia lebih prioritaskan untuk wanita itu, daripada dirinya sendiri. 
فقسمتها بين ابنتيها Kemudian wanita itu membaginya untuk kedua anaknya. Secara tekstual hadits ini menerangkan bahwa ibu itu tidak makan sedikitpun.  Seorang ibu yang memprioritaskan anaknya daripada dirinya adalah bentuk kasih sayang yang tidak diragukan lagi. 
ثم قامت فخرجت Kemudian wanita itu bangkit dan keluar, bersama dengan kedua anaknya dari rumah Aisyah –ra.
 " فدخل النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ فحدثتهKemudian Rasulullah saw masuk, lalu Aisyah –ra menceritakan hal ini kepadanya. 
  Lalu Rasulullah saw bersabda:  من يلي "  dari kata: الولاية: menguasai. Dalam riwayat lain من بُلىhuruf ba’ dibaca dhammah, dari kata: البلاء: ujian. 
Dalam riwayat lain من ابتلى: barang siapa yang diuji. 
Artinya barang siapa yang diuji seperti ujian anak-anak ini; untuk dinilai; apakah akan memperlakukan mereka dengan baik atau tidak baik. Maka pahala akan diberikan kepada pelaku kebaikan kepada satu anak perempuan sebagaimana balasan kebaikan itu akan diperoleh pelaku kebaikan kepada lebih dari satu anak perempuan. Berbuat baik kepada anak antara lain dengan infaq (membiayai) ta’dib ( mendidik) dsb. 
Secara zhahir; pahala yang disebutkan di atas itu akan diperoleh pelaku kebaikan sehingga anak itu mandiri dengan menikah atau lainnya. 
" كن له ستراً "   Mereka menjadi penghalang. Dalam riwayat lain:  كن له حجاباًmereka menjadi hijab (penutup). Kata satr dan hijab memiliki makna yang sama. 
Hadits ini menegaskan tentang hak anak perempuan. Karena pada umumnya mereka lemah dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Berbeda dengan laki-laki, yang secara fisik lebih kuat, lebih cair dalam berfikir, mampu memenuhi kebutuhannya, pada umumnya. 
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran: 
  1. Orang yang sangat membutuhkan diperbolehkan meminta-minta. Seperti yang dilakukan oleh ibu dari dua anak perempuan tadi kepada Aisyah ra
  2. Sebaiknya bersedekah dengan apa yang ada, sedikit atau banyak. Seperti yang dilakukan oleh Aisyah ra, dengan sebutir kurma. Kurang berharganya sebutir kurma itu tidak menghalanginya dari bersedekah. 
  3. Diperbolehkan menceritakan kebaikan yang dilakukan, selama tidak bertujuan untuk membanggakan diri dan membangkit pemberian. Seperti yang dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra dalam bercerita kepada Rasulullah tentang wanita itu dan kedua anaknya.
  4. Sesungguhnya menyayangi anak perempuan dan berbuat baik kepadanya akan menjaga dari apai neraka, yang menjadi pekerjaan orang-orang baik untuk berusaha terlindung dan selamat darinya. 

D. Allah sangat menyayangi anak melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya

ـ   عن عمر بن الخطاب ـ رضي الله عنه ـ قال : قدم على النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ سبى ، فإذا امرأة من السبي قد تحلب ثديها تسعى : إذا وجدت صبياً في السبي ـ أخذته فألصقته ببطنها ، وأرضعته ، فقال لنا النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ " أترون هذه طارحة ولدها في النار ؟ قلنا : لا ،وهي تقدر على ألا تطرحه . فقال : لله أرحم بعباده من هذه بولدها " .رواه البخاري ومسلم
Dari Umar bin Al Khaththab ra- berkata: Didatangkanlah para tawanan perang kepada Rasulullah saw. Maka di antara tawanan itu terdapat seorang wanita yang susunya siap mengucur berjalan tergesa-gesa –sehingga ia menemukan seorang anak kecil dalam kelompok tawananan itu- ia segera menggendong, dan menyusuinya. Lalu Nabi Muhammad  saw bersabda: Akankah kalian melihat ibu ini melemparkan anaknya ke dalam api? Kami menjawab: Tidak, dan ia mampu untuk tidak melemparkannya. Lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-Nya, melebihi sayangnya ibu ini kepada anaknya, HR. Al Bukhari dan Muslim. 
Penjelasan:
قدمQaf dibaca dhammah, berbentuk Mabni Majhul (didatangkan)
سبىTawanan dari Hawazin
تحلب Ha’ dibaca fathah dan lam diberi tasydid. ثديهاBerbentuk mufrad (kata tunggal) dibaca rafa’ sebagai fa’il; telah mengalir air susu darinya. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata –dalam Fathul Bari- siap mengeluarkan susu. 
تسعى A’in dibaca fathah, dari kata sa’i (berjalan cepat) mencari anaknya yang hilang. 
إذا وجدت صبياً في السبي ـ أخذته فألصقته ببطنها ، وأرضعته  Ia dapatkan seorang anak kecil dalam kelompok tawanan itu, ia mengambilnya lalu memeluknya dan menyusuinya. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul-Bari, setelah kalimat itu – 
فوجدت صبياً ، فأخذته فألزمته بطنها
Artinya: Wanita itu bergegas berjalan mencari anaknya yang hilang. Ia resah dengan air susunya yang telah terkumpul di buah dadanya –ketika ia menemukan anak kecil ia  ambil dan ia susuinya, untuk meringankan air susunya, lalu menemukan anak kecil lagi –dan itulah anaknya sendiri- ia ambil dan ia peluk dalam perutnya dan menyusuinya. Lalu Rasulullah saw bersabda:  أترونta’ dibaca fathah artinya: apakah kamu menyangka wanita itu melemparkan anaknya ke dalam api. Kami jawab. Tidak mungkin ia lemparkan anaknya ke dalam api. 
Lalu Rasulullah saw bersabda: للهlam pertama dibaca, lam taukid (penegasan). Sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-Nya melebihi wanita itu sayang kepada anaknya. Allah tidak akan melemparkannya ke neraka karena sangat sayang kepada mereka. 
العبادPara hamba yang dimaksudkan adalah kaum mukminin yang bertaqwa yang beramal shalih. Seperti firman Allah:  

وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ ۚ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاءُ ۖ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ 
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 
156.  Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia Ini dan di akhirat; Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami".
157.  (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil  ....QS. Al A’raf. 
Hadits ini dikuatkan pula oleh riwayat Imam Ahmad dan Al Hakim dari Anas, ra, berkata: 
مر النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ في نفر من أصحابه ـ وصبى على الطريق ـ فلما رأت أمه القول ـ خشيت على ولدها أن يوطأ ، فأقبلت تسعى ، وتقول : ابني . ابني ، وسعت ، فأخذته ، فقال القوم : يا رسول الله  ، ما كانت هذه لتلقي ابنها في النار ، فقال : ولا الله بطارح حبيبه في النار ، فقال : ولا الله بطارح حبيبه في النار "
Rasulullah saw melintasi sekelompok sahabatnya –ada seorang anak kecil di tengah jalan. Ketika ibunya melihat hal itu, ibu itu ketakutan bahwa anaknya akan jatuh, lalu ia bergegas menghampiri dan memanggil-manggil: anakku-anakku, ibu itu berjalan cepat, dan mengambilnya. Para sahabat bertanya: Ibu ini tidak akan melemparkan anaknya ke dalam api. Rasulullah saw bersabda: Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam api neraka. Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam api neraka.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran: 
  1. Tidak ada seorangpun yang lebih sayang melebihi Allah. Allah swt lebih sayang dibandingkan dengan orang yang harus menyayangi. Tidak pernah ada dalam makhluk Allah yang lebih sayang dari ibunya. Dan Rasulullah saw  bersabda: Allah lebih sayang dari pada ibu itu menyayangi anaknya. 
  2. Boleh melihat tawanan wanita. Rasulullah saw tidak melarang melihat wanita dalam hadits di atas. Bahkan dalam hadits tadi termuat pembolehan melihatnya. 
  3. Penggunaan contoh sebagai alat bantu, sehingga bisa ditangkap secara fisik untuk hal-hal yang tidak mudah difahami, agar mendapatkan pengertian yang tepat, meskipun yang dijadikan contoh sesuatu yang tidak akan dapat terjangkau hakekatnya. Itulah rahmat Allah yang tidak akan terjangkau oleh akal. Walau demikian Rasulullah saw mendekatkan pemahaman itu kepada para pendengar dengan keadaan wanita tersebut. 
  4. Pemanfaatan kesempatan untuk menyampaikan dakwah. Rasulullah saw memanfaatkan kesempatan perhatian para sahabat terhadap fenomena kasih sayang ibu kepada anaknya, lalu dialihkan kepada kasih sayang yang lebih besar, untuk memenuhi kebutuhannya, dan menjadi tempat bergantung dalam semua urusan.

E.  Meletakkan Anak dalam pelukan atau Pangkuan 

عن عائشة ـ رضي الله عنها ـ " أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وضع صبياً في حجره يُحنكه ، فبال عليه ، فدعا بماء فأتبعه "رواه البخاري .
Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad saw meletakkan anak kecil di pelukannya kemudian mentahniknya(menyuapi dengan kurma yang telah dukunyahnya), lalu anak itu kencing di pelukannya, lalu meminta air dan mengguyurnya. HR. Al Bukhariy

Penjelasan: 
عن عائشة ـ  Isteri Nabi Muhammad saw 
أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وضع صبياً  Sesungguhnya Nabi Muhammad saw meletakkan anak kecil, yaitu Abdullah bin Az Zubair, seperti yang diriwayatkan oleh Ad Daru Quthniy, atau anak itu adalah Al Husain bin Ali seperti dalam riwayat Al Hakim. 
حجره Ha’ dibaca kasrah, ada pula yang membacanya fathah, dan jim dibaca sukun/mati. Keterangan keadaan ketika Nabi يُحنكهmentahniknya, yaitu menyuapinya kurma setelah kurma itu dikunyahnya, untuk mendapatkan berkah ludah Nabi Muhammad saw, yang bercampur dengan rasa kurma yang manis. 
فبال عليه Lalu anak itu mengencingi bajunya, فدعا بماء فأتبعهlalu Nabi mengguyur bekas kencing itu dengan air. 
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara lain: 
  1. Menyayangi anak kecil, dan memperhatikannya. Nabi Muhammad saw meletakkan anak itu dalam pelukannya dan mentahniknya
  2. Bersabar menghadapi prilakunya, tidak membalasnya, karena belum mukallaf (bertanggung jawab). 

عن أسامه بن زيد ـ رضي الله عنهما ـ قال : " كان رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يأخذني فيقعدني على فخذه ، ويقعد الحسن ابن عليّ على فخذه الأخرى ، ثم يضمهما ، ثم يقول : اللهم ارحمهما ، فإني أرحمهما "  رواه البخاري
Dari Usamah bin Zaid –ra, berkata: Rasulullah saw pernah mengangkatku dan mendudukkan aku di atas pahanya, dan Hasan bin Ali duduk di paha yang lain, kemudian Rasulullah saw memeluk kami berdua, dan bersabda: Ya Allah sayangilah keduanya, karena sesungguhnya aku menyayanginya. HR. Al Bukhariy

Penjelasan: 
عن أسامه بن زيدDari Usamah bin Zaid bin Haritsah, dipanggil pula
 الحِب ابن الحِب     kesayangan putra kesayangan Rasulullah saw, -lalu Rasulullah mendudukkan aku di atas pahanya dan Al Hasan bin Ali duduk di paha lainnya. Hal ini menunjukkan perhatian dan cinta Rasulullah kepada keduanya. 
Usamah lebih tua dari Al Hasan. Mayoritas pendapat tentang umur Al Hasan adalah ketika Rasulullah saw wafat ia berusia  8 (delapan) tahun, sedangkan Usamah ketika itu berusia 19 (sembilan belas) tahun. Rasulullah saw memeluk keduanya kemudian berdoa: ”Ya Allah sayangilah keduanya, karena sesungguhnya kami menyayanginya dan mengasihinya. 
Hadits ini berisi tentang keutamaan Usamah bin Zaid dan Hasan bin Ali, dengan curahan cinta Rasulullah saw kepada keduanya. 
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara lain:
Bahwa meletakkan anak kecil di pangkuan adalah salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang. Hal ini membuktikan rasa cinta.    

F. Larangan Membunuh Anak Karena takut dikurangi makananannya

      عن عبد الله بن مسعود ـ رضي الله عنه ـ قال : " قلت : يا رسول الله . أي الذنب أعظم ؟ قال : أن تجعل لله ندا ـ وهو خلقك ـ ثم قال : أي ؟ قال : أن تقتل ولدك ، خشية أن يأكل معك . قال : ثم أي ؟ قال : أن تزاني حليلة جارك . وأنزل الله تعالى تصديق قول النبي صلى الله عليه وسلم "  والذين لا يدعون مع الله إلهاً آخر  " . رواه البخاري .
Dari Abdullah bin Mas’ud –ra berkata: Aku bertanya: Ya Rasulallah, dosa apakah yang paling besar? Rasulullah saw menjawab: Engkau menjadikan sekutu bagi Allah –padahal Allah yang telah menciptakanmu. Kemdian apa lagi? Jawabnya: Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan makananmu. Kemudian apa lagi? Jawabnya: Engkau berzina dengan isteri tetanggamu. Dan Allah turunkan ayat yang membenarkan ungkapan Rasulullah ini: 

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا 
68.  Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), QS. AL Furqan
Penjelasan: 
باب النهي عن قتل المرء ولده خشية أن يأكل معه "
Membunuh anak adalah perbuatan terlarang secara umum, tidak hanya karena takut makan bersama saja. Akan tetapi jika ada larangan membunuh anak karena takut makan bersama, maka karena alasan lainnya, lebih harus dilarang. 
نداًsekutu,  وهو خلقك  Hanya Allah yang telah menciptakanmu, lalu bagaimana mungkin kamu mensekutukannya? Maha suci Allah dari apa yang mereka sekutukan. Lalu Ibnu Mas’ud menanyakan dosa apa lagi yang lebih besar. Rasulullah saw menjawab:
 أن تقتل ولدك خشية أن يأكل معكEngkau bunh anakmu karena takut makan bersamamu. Kenapa ada ketakutan seperti ini, yang menyebabkan dosa yang sangat besar? Sedangkan Allah menjamin:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا 
31.  Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. QS. Al Isra’

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran antara lain: 
Larangan mensekutukan Allah, membunuh anak, dan berzina dengan isteri tetangga. Dan diterangkan dengan adanya dosa yang sangat besar.