Wednesday, January 19, 2022

Tafsir Surah Al Hasyr

 Pengantar


 Surat ini turun berkenaan dengan kasus Bani Nadhir (suatu kabilah dan perkam pungan dari kaum Yahudi) pada tahun keempat dari Hijriyah. Surat ini menggambarkan bagaimana kejadian dan kasus itu terjadi? Kenapa terjadi? Dan, apa akibat dan pengaruhnya terhadap sistem dan penataan komunitas masyarakat Islam?

 

Surat ini meriwayatkan kejadian dan kasus itu dengan cara Al Qur’an sendiri. Dan, ia mengomen­tari kejadian-kejadian dan penataan-penataan dalam mendidik jamaah dengan pendidikan yang hidup bersama dan menyertai kasus-kasus, pengarahan-pengarahan, dan komentar-komentar. Sebelum kami memaparkan nash-nash Al Qur’an dalam surat ini, ada baiknya kami me­maparkan terlebih dahulu apa yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tentang kejadian yang karena sebabnya surat ini turun, agar kita dapat menyaksikan keistimewaan pemaparan Al Qur’an dan jangkauannya yang jauh di balik kejadian-kejadian di mana nash-nash Al Qur’an turun berkenaan dengannya. Sehingga, teks-teks Al Qur’an itu meliputi segala aspek kejadian dan berkembang hingga ke baliknya dan sekitarnya dalam ruang-ruang yang lebih luas dan lebih meliputi dari aspek-aspek kejadian yang terbatas dengan waktu dan tempat. 

 

Perang Bani Nadhir terjadi pada awal awal tahun keempat Hijriyah setelah Perang Uhud dan sebelum Perang Ahzab. Di antara riwayat yang menyebutkan tentang Bani Nadhir ini bahwa Rasulullah mendatangi mereka bersama sepuluh orang pembesar sahabat di antaranya Abu Bakar, Umar, dan Ali ke tempat tinggal mereka. Rasulullah meminta mereka untuk ikut serta menanggung pembayaran diyah dua orang yang terbunuh sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatangani antara Rasulullah dengan mereka, ketika pertama kali Rasulullah sampai dalam hijrah di Madinah dan bermukim di sana. Setelah Rasulullah tiba di tempat Bani Nadhir, mereka menyambutnya dengan gembira dan de­ngan sambutan yang baik serta mereka berjanji untuk menunaikan tanggungan mereka. Mereka berkata, "Ya, Abul Qasim, kami akan memberikan kepada Anda sesuai yang Anda sukai dari permintaan bantuan yang Anda inginkan." Kemudian beberapa orang menyendiri dan mengatur strategi guna membunuh Rasulullah dan para sahabat yang datang bersama beliau. Rasulullah dan para sahabat pada saat itu sedang duduk di salah satu dinding rumah mereka. Mereka berkata kepada sebagian yang lain,

"Sesungguhnya kalian tidak akan mendapatkan kesempatan lagi seperti saat ini. Jadi, siapa di antara kalian yang berani naik ke atas rumah dan menjatuhkan batu besar ke atas mereka sehingga kita dapat terbebas darinya?" Maka, bangkitlah untuk melaksanakan misi kotor itu Amru bin Jahasy bin Ka'ab, dia berkata, "Aku sanggup melakukan itu. "

 

Kemudian naiklah dia untuk menimpakan batu besar dari atas sebagaimana yang mereka nyatakan. Kemudian Rasulullah mendapat ilham tentang makar mereka ini. Maka, beliau pun bangun tergesa-gesa seolah-olah ada kebutuhan mendesak. Namun, setelah menunggu para sahabat yang bersama beliau bertanya-tanya. Maka mereka pun keluar dari perkampungan Bani Nadhir itu mencari-cari beliau namun beliau telah bergegas pulang ke Madinah. Rasulullah memerintahkan sahabat agar bersiap-siap untuk memerangi Bani Nadhir karena pengkhianatan mereka telah nyata dan mereka telah membatalkan ikatan perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah. Sebelum peristiwa ini, sebenarnya Ka'ab ibnul Asyraf dari Bani Nadhir telah menghina Rasulullah dan menghasut musuh-musuh untuk menyerang beliau dan orang-orang yang beriman. Disebutkan bahwa Ka'ab dan sekelompok orang dari Bani Nadhir ini berangkat menuju ke Mekah untuk berkonspirasi dan bersekutu dengan orang-orang kafir Quraisy. Mereka sepakat berbuat makar, tipu daya, dan bergabung bersama-sama memusuhi Rasulullah walaupun mereka telah mengikat perjanjian damai dengan Rasulullah. Akhirnya, Rasulullah mengizinkan Muhammad bin Maslamah untuk membunuh Ka'ab Ibnul Asyraf dan dia benar-benar membunuhnya. 

 

Setelah pengkhianatan dan usaha pembunuhan terhadap Rasulullah dalam kam pung Bani Nadhir itu, maka mau tidak mau ikatan perjanjian damai terputus dengan mereka, sesuai dengan kaidah Islam,

'Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. (Al Anfal: 58)

Maka Rasulullah memobilisasi pasukan dan mengepung perkampungan Bani Nadhir dan memberikan tenggang waktu selama tiga hari (dan ada yang berkata sepuluh hari) dengan ancaman agar menjauh dari Madinah dan pergi meninggalkan perkam pungan mereka yang ada di sekitar Madinah dengan membawa serta harta benda mereka. Dan, mereka boleh menyuruh orang-orang yang mewakili mereka untuk mengurusi kebun-kebun dan sawah ladang mereka. Namun, orang-orang munafik di Madinah dipimpin oleh Abdullah bin Ubay ­bin Salul mengutus kepada mereka utusan dengan pesan agar mereka menolak klausul perjanjian itu dan menyemangati mereka untuk melawan dan bertahan. Di antara isi pesannya berbunyi, "Agar mereka tetap bertahan karena kami (Abdullah bin Ubay bin Salul beserta pengikutnya) tidak akan menyerahkan kalian begitu saja kepada Muhammad. Bila kalian perang, maka kami akan berada di pihak kalian. Dan, bila kalian diusir maka kami pun akan ikut bersama kalian. "

 

Dalam hal ini, Allah berfirman,

'Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara Ahli Kitab, 'Sesungguhnya jika kamu diusir, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu. Jika kamu diperangi, pasti kami akan membantu kamu. ' Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka. Dan, sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya. Sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kam pung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berakal. (Al Hasyr: 11-14)

Maka, berlindunglah orang-orang Yahudi itu dalam benteng-benteng mereka. Lalu Rasulullah memerintahkan untuk memotong pohon-pohon kurma mereka dan membakarnya. Maka, mereka pun berseru, "Wahai Muhammad, kamu telah melarang berbuat kerusakan dan mencela orang yang melakukannya. Lantas bagaimana dengan memotong pohon-pohon kurma dan membakarnya?" Dalam menjawab seruan mereka, Allah menurun­kan ayat,

'Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah, dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang yang fasik. " (Al Hasyr: 5)

Setelah penge pungan selama dua puluh enam hari, orang-orang Yahudi pun berputus asa dari kejujuran janji orang-orang munafik terhadap mereka dan Allah mengembuskan sikap takut dan perasaan was-was kepada hati kaum Bani Nadhir. Maka, mereka pun menyerah tanpa perang dan pembunuhan. Mereka memohon kepada Rasulullah agar mengusir mereka saja dan tidak menumpahkan darah mereka, dengan syarat mereka boleh membawa harta benda yang dapat dipikul oleh onta kecuali senjata. Rasulullah menyetujuinya. Maka, mereka pun membawa harta benda yang dapat dibawa oleh unta mereka, sampai-sampai ada orang yang meruntuhkan rumahnya dan mengambil pintunya untuk dinaikkan ke atas punggung unta. Mereka sengaja menghancurkannya agar tidak bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin. Dan, sebelumnya kaum muslimin juga telah menghancurkan sebagian bangunan mereka yang dijadikan tempat perlindungan pada hari-hari pengepungan. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam surat ini,

"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung-kam pung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah. Maka, Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan, Allah men­campakkan ketakutan ke dalam hati mereka. Mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka, ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. Dan, jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan, bagi mereka di akhirat azab neraka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al Hasyr: 2-4)

 

Di antara mereka ada yang menuju daerah Khaibar dan daerah Syam. Di antara pembesar mereka yang menuju Khaibar adalah Salam bin Abil Haqiq, Kinanah Ibnur Rabi' bin Abil Haqiq, dan Huyay bin Akhthab. Mereka ini adalah orang-orang yang telah mempropaganda kaum kafir Quraisy dan kaum Ghathafan dalam Perang Ahzab (lihat tafsir surat Al Ahzab). Dan, sebagian dari mereka disebutkan dalam peristiwa penaklukkan Khaibar (lihat tafsir surat al Fath). 

 

Harta benda Bani Nadhir adalah harta fa'i yang murni milik Allah dan Rasulullah serta kaum muslimin tanpa mengeluarkan tenaga untuk berperang dengan kuda ataupun unta. Maka, Rasulullah pun membagikannya kepada kaum Muhajirin secara khusus tanpa membagikannya kepada kaum Anshar. Hal itu disebabkan kaum Muhajirin tidak memiliki harta benda apa pun setelah mereka meninggalkannya di Mekah dan mereka rela melepaskannya karena ingin menjaga akidah mereka. Dan, kaum Anshar pun telah menerima dan menyambut mereka dengan memberikan tempat tinggal dan bersekutu dalam harta benda mereka dengan perasaan yang sangat tinggi, persaudaraan yang jujur, dan pengutamaan (iitsar) yang menakjubkan. Karenanya, ketika tiba peluang dan kesempatan yang luas ini, maka Rasulullah segera menegakkan norma-norma alami dalam masyarakat Islami, agar orang-orang yang fakir memiliki harta yang khusus. Juga agar harta benda itu tidak beredar hanya pada komunitas orang-orang yang kaya saja. Rasulullah tidak memberikannya kepada orang-orang Anshar, kecuali hanya dua orang fakir yang karena kefakirannya berhak menerimanya. Maka, timbullah desas-desus berkenaan dengan pembagian harta peninggalan Bani Nadhir ini (dan pendapat yang kuat menyebutkan bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang munafik). Maka, Allah pun berfirman, 

'Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor onta pun. Tetapi, Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Hasyr: 6)

 

Rasulullah bersabda kepada orang-orang Anshar,

'Jika kalian mau, kalian saling membagi dengan orang-orang Muhajirin dalam harta benda dan rumah-rumah kalian serta kalian berserikat pula dengan mereka dalam pembagian harta rampasan ini. Dan bila kalian mau, harta benda dan rumah-rumah kalian utuh menjadi milik kalian sepenuhnya, dan kalian tidak mendapatkan apa-apa dari harta rampasan. "

 

Maka, orang-orang Anshar berkata, "Bahkan, kami saling membagi dengan orang-orang Muhajirin dalam harta benda dan rumah-rumah kami. Dan, kami lebih mengutamakan mereka dalam harta rampasan, dan kami tidak berserikat dengan mereka dalam pembagian harta rampasan itu. "

 

Dalam hal ini Allah berfirman,

(juga) bagi orang fakir yang berhijrah[1466] yang diusir dari kam pung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. 

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshor) tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekali pun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al Hasyr: 8-9)

 

[1466] Maksudnya: kerabat Nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil yang kesemuanya orang fakir dan berhijrah. 

 

Itulah kejadian yang karenanya surat ini teks-teks berhubungan dengannya. Bahkan, hingga penutup surat di mana redaksi mengarahkan seruannya kepada orang-orang beriman yang menyaksikan kejadian itu dan orang-orang yang mengetahuinya setelah itu. Itulah salah satu metode Al Qur’an dalam mendidik jiwa-jiwa dengan kejadian-kejadian dan dengan komentar atasnya serta mengaitkannya dengan hakikat-hakikat yang agung. Kemudian sentuhan terakhir dalam surat menyebutkan tentang sifat-sifat Allah. Dialah yang memanggil orang-orang yang beriman dan menyerukan mereka dengan seruan Al Qur’an ini. Sifat-sifat mereka memiliki pengaruh dan bekasnya dalam alam semesta dan atas dasar pandangan tentang hakikatnya, iman yang sadar, tercerahkan, dan cerdas. 

 

Penjelasan ini diawali dan diakhiri dengan tasbih dan menyucikan Allah yang memiliki seluruh apa yang ada di langit dan di bumi. Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sehingga, antara permulaan dan penutupan surat ini sangat serasi dengan tema surat dan dengan seruan kepada orang-orang yang beriman agar bertaqwa, khusyu, dan berpikir dalam pengelolaan dan pengaturan Allah Yang Maha BijaksanaSekarang mari kita bersama menelusuri teks­-teks Al Qur’an. Pasti kita menyaksikan bagaimana ia menggambarkan kejadian-kejadian dan bagai­mana ia mendidik jiwa-jiwa dengan kejadian-kejadian.

 

Pengusiran Kaum Yahudi dari Madinah


 

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

 

"Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” (Al Hasyr: 1)

Dengan hakikat yang terjadi dan terdapat dalam alam semesta ini, yaitu hakikat bertasbihnya segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi kepada Allah serta semua menghadap kepada-Nya dengan penyucian dan pengagungan, maka surat ini dibuka dan diawali. Surat mengisahkan pengusiran Allah terhadap orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dari perkampungan dan rumah-rumah mereka. Kemudian Dia menganugerahkannya kepada orang-orang beriman yang bertasbih kepada-Nya dengan pujian dan yang mengagungkan-Nya dengan nama-nama-Nya yang indah (asmaul husna). 

". . . Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bikaksana. (Al Hasyr: 1)

Dia Maha Kuat dan Maha Kuasa menolong para wali-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya. Dan, Dia Maha Bijaksana dalam pengaturan dan takdir-Nya. Kemudian redaksi ayat mengisahkan tentang berita kejadian yang karenanya surat ini turun.

 

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَـٰبِ مِن دِيَـٰرِهِمْ لِأَوَّلِ ٱلْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا۟ ۖ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا۟ ۖ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِى ٱلْمُؤْمِنِينَ فَٱعْتَبِرُوا۟ يَـٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَـٰرِ

وَلَوْلَآ أَن كَتَبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمُ ٱلْجَلَآءَ لَعَذَّبَهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْـَٔاخِرَةِ عَذَابُ ٱلنَّارِ

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ شَآقُّوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ ۖ وَمَن يُشَآقِّ ٱللَّهَ فَإِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

 

"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung-kam pung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah. Maka, Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka. Mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka, ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. Dan, jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan, bagi mereka di akhirat azab neraka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al Hasyr: 2-4)

 

Dan ayat-ayat ini, dapat kita simpulkan bahwa Allah yang telah mengeluarkan orang-orang kafir dari Ahli Kitab pada saat pengusiran pertama kali. Allah yang melakukan segala sesuatu. Namun, bentuk ungkapan dalam teks ayat di atas, menetapkan hakikat itu secara langsung, yang menunjukkan kepada kita bahwa Allah langsung melakukan pengusiran itu tanpa perantara manusia. Dialah yang mengarahkan dan memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang mengeluarkan mereka bagi tanah yang darinya orang-orang kafir itu telah terusir. Sehingga, orang-orang kafir itu tidak punya peluang kembali lagi kepada tanah itu. Allah menguatkan hakikat itu serta kenyataan pengusiran dan eksodus langsung itu dalam bagian selanjutnya dari ayat itu,

". . . Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah,. . . . "

Jadi, kalian wahai orang-orang yang beriman, tidak menyangka bahwa mereka akan keluar sendiri. Dan, mereka orang-orang kafir itu pun tidak menyerah begitu saja dan tidak membayangkan hal itu akan terjadi begitu mudah. Orang-orang kafiritu sangat kuat dalam benteng-benteng mereka, di mana kalian tidak pernah menyangka dapat mengeluarkan mereka sebagaimana Allah mengeluarkan mereka. Orang-orang kafir itu telah ditipu daya oleh ketahanan dan kekuatan mereka. Sehingga, melupakan kekuatan Allah yang tidak mungkin ditolak dan ditahan oleh apa pun, apalagi hanya sekadar benteng-benteng. 

". . . Maka, Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka. ”

 

Allah datang kepada mereka dari dalam dirmereka sendiri, bukan dari dalam benteng-benteng mereka. Allah datang ke dalam hati-hati mereka dan mencampakkan ketakutan di dalamnya. Sehingga, mereka membuka benteng-benteng mereka dengan tangan-tangan mereka sendiri. Allah menampakkan kepada mereka bahwa mereka dapat menguasai diri mereka sendiri, tidak mampu mengendalikan hati mereka, dan tidak mempertahankan diri mereka dari kekuasaan Allah dengan kehendak dan keinginan mereka. Apalagi, mempertahankan diri mereka dengan rumah-rumah dan benteng-benteng mereka. Mereka telah mengantisipasi segala serangan dari luar diri mereka. Namun, mereka tidak mempersiapkan diri dari serangan dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak menyangka sama sekali serangan Allah datang dari dalam diri mereka sendiri. 

 

Demikianlah bila Allah menghendaki sesuatu. Allah pasti mendatangi segala sesuatu dari arah yang Dia ketahui dan Dia tentukan. Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu dan Dia Maha Kuasa atas segala ketentuan. Oleh karena itu, tidak diperlukan suatu sebab atau sarana, yang diketahui oleh manusia dan ditentukan oleh mereka. Jadi, sebab itu selalu hadir terus-menerus dan sarana selalu siap terus-menerus. Sebab dan hasilnya merupakan ciptaan Allah, lalu sarana dan tujuan puncaknya merupakan karya-Nya. Di hadapan Allah tidak ada yang mustahil baik sebab maupun hasil. Dan, tidak ada sesuatu yang sulit baik sarana maupun tujuan. Dan, Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

 

Orang-orang kafir dari Ahli Kitab telah berlindung dalam benteng-benteng mereka. Kemudian Allah mendatangi mereka dari arah yang tidak mereka sangka-sangka dan mencampakkan dalam hati mereka ketakutan. Padahal, mereka telah mempertahankan diri dengan bangunan-bangunan dan rumah-rumah mereka. Lalu, Allah menguasai jiwa-jiwa mereka. Sehingga, mereka sendirilah yang merusak dan menghancurkan rumah-rumah itu dengan tangan-tangan mereka. Kemudian Allah pun memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang beriman untuk menghancurkannya,

". . . Mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. . . . "

 

Dengan penjelasan ini lengkaplah kisah tentang kejadian yang menimpa orang-orang kafir dari Ahli Kitab dalam surat yang penuh sentuhan ini dan dalam gerakan yang tergambar jelas. Allah telah mendatangi mereka dari balik benteng-benteng mereka dan meruntuhkannya dengan perbuatan mereka sendiri. Kemudian diperparah lagi dengan penghancuran oleh tangan-tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang-orang yang beriman. Di sini muncullah komentar pertama dalam naungan surat ini dan dalam sentuhan gerakan ini. 

". . . Maka, ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mem punyai pandangan. (Al Hasyr: 2)

Ia merupakan sentuhan yang tepat sasaran dan tepat waktunya, di mana hati telah siap mengambil pelajaran dan terbuka untuk menerima wejangan dan nasihat. Ayat selanjutnya menetapkan bahwa kehendak Allah dalam memberikan hukuman kepada mereka tidak akan memaafkan dan membebaskan mereka dari azab dunia yang telah ditentukan atas mereka selain azab yang menanti mereka di akhirat. 

 

'Dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan, bagi mereka di akhirat azab neraka. " (Al Hasyr: 3)

Ia merupakan ketetapan yang mutlak bahwa mereka pasti mendapatkan hukuman azab dari Allah, dengan gambaran azab yang terjadi ataupun dengan gambaran azab yang lain. Seandainya Allah tidak memilih azab dalam bentuk pengusiran mereka, maka pasti Dia mengazab mereka dengan bentuk azab yang lain. Di samping itu, ada azab neraka yang menanti mereka di akhirat. Maka, mereka pun telah merasakan azab Allah dalam salah satu bentuknya. 

"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al Hasyr: 4)        ,

Penentangan terhadap Allah adalah dengan bersikap dan mengambil jalan selain jalan-Nya dan bersikap bersebelahan dengan-Nya. Allah telah menentukan bahwa Dia berada di pihak Rasul-Nya ketika Dia menggambarkan tentang kepastian mereka mendapatkan azab dalam awal ayat. Maka, pada bagian akhir ayat, Allah cukup menyebutkan tentang penentangan terhadap Allah semata, karena penentangan itu pun sekaligus merupakan penentangan terhadap Rasulullah dan meliputinya. Karena itu, hendaklah para penentang berdiri di suatu pihak menghadapi Allah di pihak lain, itu sikap yang sangat kurang ajar dan buruk ketika makhluk begitu berani menentang Penciptanya. Sikap seperti itu sangat menakutkan ketika makhluk yang kerdil dan hina menantang laknat Allah dan azab-Nya, padahal azab-Nya sangat keras. 

 

Demikianlah nasib orang-orang yang menentang Allah menetap dalam hati pada setiap tempat dan setiap waktu melalui sela-sela penjelasan nasib, juga melalui hukuman atas orang-orang kafir dari Ahli Kitab serta perilaku mereka yang membuat mereka berhak menerima hukuman azab. Tidak terlepas dari pengamatan kita bagaimana Al Qur’an menyebut kaum Yahudi dari Bani Nadhir bahwa sesungguhnya mereka adalah "orang-orang kafir di antara Ahli Kitab". Sifat ini melekat berulang-ulang dalam surat ini. Sifat ini merupakan hakikat yang sebenarnya karena mereka kafir kepada agama Allah dalam gambarannya yang paling tinggi yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah, padahal kaum Yahudi itu telah menantinya dan mengharapkannya. Sebutan sifat ini sekaligus membawa penjelasan atas sebab hukuman terhadap mereka. Hal ini sebagaimana ia juga membebankan ke dalam perasaan orang-orang yang beriman terhadap orang-orang kafir dari Ahli Kitab agar bersemangat dan tegas dalam memperlakukan mereka dan menimpakan hukuman dan azab kepada mereka melalui tangan-tangan mereka sendiri. Jadi, hakikat kekafiran itu sangat penting disebutkan di sini. 

 

Kemudian orang-orang yang beriman pun merasa tenang atas kebenaran sikap dan kebijakan mereka terhadap orang-orang kafir dari Ahli Kitab yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Yaitu, kebijakan memotong pohon kurma dan membakarnya, atau membiarkannya tumbuh sesuai penjelasan hukum Allah di dalamnya. Karena sebelumnya sebagian kaum muslimin merasa terganggu jiwanya dengan kebijakan itu, 

 

مَا قَطَعْتُم مِّن لِّينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَآئِمَةً عَلَىٰٓ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ ٱللَّهِ وَلِيُخْزِىَ ٱلْفَـٰسِقِينَ

 

“Apa saja yang kamu tebang dari pohon karena (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah, dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang yang fasik” (Al Hasyr: 5)

Kata li inatin bermakna pohon karena yang sangat baik dari jenis yang paling baik yang dikenal di jazirah Arab pada saat itu. Orang-orang yang beriman telah memotong sebagian dari pohon karena kaum Yahudi dan membiarkan sebagiannya lagi. Maka, mereka pun merasakan kebingungan kenapa harus dipotong sebagian dan ditinggalkan sebagian. Mereka telah dilarang sebelumnya dan sesudahnya dari perbuatan dan kebijakan perusakan seperti itu. Oleh karena itu, hukum dispensasi dan pengecualian di sini perlu mendapat penjelasan khusus yang bisa menenangkan hati. Maka, muncullah penjelasan ini yang menghubungkan antara kebijakan pemotongan sebagian pohon karena dan sikap membiarkannya sebagian lagi dengan izin Allah. Jadi, Dialah yang memberikan kekuasaan dengan tangan-Nya sendiri dalam peristiwa. Dia berkehendak di dalamnya apa yang dikehendaki-Nya, melaksanakan apa yang ditakdirkan-Nya padanya, dan segala yang terjadi berkenaan dengannya adalah dengan izin-Nya. Dia berkehendak menghinakan orang-orang yang fasik. Pemotongan pohon karena telah menghinakan dan menjatuhkan penyesalan kepada mereka atas pemotongan itu. Dan, sikap membiarkan sebagiannya lagi juga menghinakan mereka dengan penyesalan dan keputusasaan karena ia tidak lagi menjadi milik mereka. Jadi, kehendak Allah di balik sikap pertama dan sikap kedua adalah sama saja, yaitu ingin menghinakan mereka. Dengan demikian, hati orang-orang yang beriman pun menjadi stabil dan dada mereka pun men­jadi tenang dan tenteram. Ia merasakan kedamaian karena Allah menyetujuinya dan menghendakinya. Allah Maha Kuasa atas apa yang dikehendaki-Nya. Jadi, orang-orang yang beriman itu hanyalah sarana bagi pelaksanaan kehendak Allah

 

Hukum Fai (Harta Rampasan Perang) dan Pembagiannya


Episode kedua dalam surat ini adalah berkenaan dengan hukum fai yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya dalam perang ini dan perang-perang yang semisal dengannya. Perang di mana kaum mukminin di sana tidak mengeluarkanusaha apa pun untuk berperang melawan musuh atau membunuh mereka. Atau, peristiwa-peristiwa peperangan yang dikuasai langsung oleh Allah dengan tangan-Nya sendiri tanpa perantara makhluk seperti peristiwa perang Bani Nadhir,

 

وَمَآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْهُمْ فَمَآ أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُۥ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَـٰمَىٰ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

لِلْفُقَرَآءِ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخْرِجُوا۟ مِن دِيَـٰرِهِمْ وَأَمْوَٰلِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّـٰدِقُونَ

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَـٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

 

'Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi, Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan, orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan, mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada orang Muhajirin, dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirn), atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan, orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, 'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (Al­ Hasyr: 6-10)

Ayat-ayat ini yang menerangkan tentang hukum fai dan hukum-hukum semisal dengannya, sekaligus mengandung gambaran tentang kondisi-kon­disi kaum muslimin pada saat itu. Sebagaimana ia juga menetapkan tabiat dan karakter umat Islam sepanjang zaman, di mana dari generasi ke generasi tidak berbeda dan kaum yang satu tidak berbeda dengan kaum yang lain, serta jiwa yang satu tidak berbeda dari jiwa yang lain. Hal ini perlu direnung­kan secara mendalam dan lama. 

'Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi, Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. " (A1 Hasyr: 6)

Kata aujaf bermakna berpacu dan bersegera. Dan, kata rikab bermakna unta. Ayat ini mengingatkan orang-orang yang beriman bahwa harta fai yang ditinggalkan oleh Bani Nadhir di belakang mereka, tidak diperoleh dengan menunggang kuda dan menyegerakan tunggangan onta. Jadi, hukum pembagiannya tidak seperti hukum pembagian ghanimah (harta rampasan dengan berperang dan bertempur). Yakni, Allah memberikan para prajurit empat perlima dari semua harta dan hanya seperlima saja yang menjadi bagian Allah, Rasulullah, para kerabat, anak-anak yatim, para fakir miskin, dan ibnu sabil, sebagaimana yang dibagikan oleh Allah atas ghanimah Perang Badar. Namun, mengenai fai dari Bani Nadhir, maka harta fai itu menjadi milik sepenuhnya bagi Allah, Rasulullah para kerabat, anak-anak yatim, para fakir miskin, dan ibnu sabil. Rasulullah di sini yang mengelolanya sendiri dalam membagikan kepada, sasaran-sasaran itu. Para kerabat yang disebutkan di atas maksudnya adalah para kerabat Rasulullah. Karena para kerabat Rasulullah tidak halal bagi mereka sedekah apa pun, zakat tidak boleh mereka terima, dan Nabi Muhammad saw tidak boleh mewariskan apa-apa bagi kerabat dari hartanya. Padahal, di antara mereka ada para fuqara yang tidak memiliki penghasilan. Maka, ditetapkanlah bagi mereka seperlima dari harta rampasan perang (ghanimah), sebagaimana ada juga jatah jatah lain seperti fai ini. Sedangkan, sasaran pembagian yang lain telah jelas dan Rasulullah yang mengaturnya. Itulah hukum fai yang diterangkan oleh ayat-ayat di atas. Tetapi, ayat-ayat di atas tidak terbatas hanya dalam menjelaskan tentang hukum dan se­babnya yang dekat dengannya. Namun, ia juga membuka hati kepada hakikat lain yang lebih besar. 

". . . Tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. . . . "

Itu merupakan ketentuan Allah. Jadi mereka hanya bagian dari ketentuan tersebut di mana Allah memenangkan dan memberikan kekuasaan atas orang-orang yang dikehendaki-Nya. 

". . . Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al Hasyr: 6)

 

Dengan hakikat ini, urusan Rasulullah berkaitan langsung dengan ketentuan Allah dan menjadi jelaslah kedudukan mereka dalam ketentuan-Nya. Dan, menjadi teranglah bahwa mereka walaupun dari golongan manusia, tetapi mereka memiliki hubungan dengan kehendak Allah secara khusus dan Dia memilihkan peran khusus dalam merealisasikan ketentuan-Nya di bumi dengan izin-Nya. 

 

Jadi, mereka bergerak bukan dengan hawa nafsu mereka. Mereka tidak mengambil atau meninggalkan sesuatu karena pertimbangan akal mereka saja. Mereka tidak berperang atau beristirahat, dan mereka tidak bertempur atau mengadakan perdamaian melainkan untuk merealisasikan salah satu bagian dari ketentuan Allah di muka bumi yang telah di­wakilkan kepada perlakuan dan pergerakan mereka di muka bumi ini. Allah yang melakukan itu semua dari balik layar dan Dia Maha Kuasa atas segala se­suatu. 

"Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al Hasyr: 7)

 

Ayat ini menjelaskan tentang hukum fai secara terperinci. Ia memberikan penjelasan tentang sebab pembagian itu, dan meletakkan kaidah besar dalam sistem ekonomi dan sosial dalam masyarakat muslim.

". . . Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. . . . "

 

Sebagaimana ia pun meletakkan kaidah besar dalam sistem hukum dan syariat,

". . . Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah,. . . . "

 

Walaupun dua kaidah ini muncul berkenaan dengan penjelasan hukum fai dan pembagiannya, namun sesungguhnya keduanya melampaui kasus yang terjadi itu hingga ruang-ruang yang banyak dalam sistem sosial yang Islami. 

 

Kaidah pertama adalah kaidah penataan sistem ekonomi, yang mewakili salah satu bagian besar dari asas-asas sistem ekonomi Islami. Kepemilikan pribadi diakui dalam sistem ini, namun ia dibatasi dengan kaidah ini. Yaitu kaidah,

". . . Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. ”

Sehingga, ia terhalang beredar di antara orang-orang yang miskin. Jadi, setiap sistem yang bertujuan agar harta benda hanya beredar di antara orang-orang yang kaya saja adalah sistem yang bertentangan dengan tata ekonomi Islami sebagaimana ia pun bertentangan dengan tujuan puncak dari seluruh sistem sosial kemasyarakatan. Setiap ikatan dan muamalah dalam masyarakat Islami harus diatur. Sehingga, tidak men­ciptakan kondisi seperti ini, lalu mempertahankannya bila sudah terbentuk. 

 

Islam telah membuktikan secara praktis sistemnya atas dasar kaidah ini. Islam mewajibkan zakat dan menetapkan dua setengah persen pertahun dari pokok harta benda yang berupa uang, dan sepuluh atau lima persen dari hasil-hasil bumi. Dan, hitungan yang semisal dan seharga dengannya juga ditetapkan pada hewan ternak. Penghasilan dari harta temuan rikaz adalah dua puluh persen dan porsi itu sangat besar. Kemudian ditetapkan bahwa empat perlima dari harta ghanimah bagi para mujahidin baik kaya maupun miskin, sementara harta fai hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang fakir saja. Sistem yang dipilih dalam pembagian hasil pertanian adalah sistem muzara'ah atau musyarakah. 

 

Seorang pemimpin berhak mengambil kelebihan harta orang-orang yang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin. Islam juga membolehkan seorang pemimpin menetapkan pajak dan beberapa bagian dalam harta orang-orang yang kaya ketika baitulmal sedang kosong. Islam mengharamkan penimbunan dan mengharamkan riba yang keduanya merupakan sarana yang menjadikan harta benda hanya beredar dan berputar di antara orang-orang yang kaya saja. Pokoknya, Islam telah membangun sistem ekonominya yang dapat merealisasikan kaidah besar di atas yang membatasi kepemilikan pribadi di samping batasan-batasan lain. Oleh karena itu, sistem Islami adalah sistem yang membolehkan kepemilikan pribadi, namun ia bukanlah seperti sistem kapitalis, sebagaimana sistem kapitalis pun tidak dinukilkan darinya. Sistem kapitalis tidak akan langgeng tanpa sistem riba dan sistem penimbunan. Sesungguhnya Islam itu merupakan sistem tersendiri yang berasal dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Ia tumbuh sendiri, berlaku sendiri, dan bertahan hingga saat ini juga sendiri. Ia merupakan sistem yang langka dan seimbang segala aspek-aspeknya dan sangat adil antara hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Juga serasi seperti serasinya alam semesta, karena ia berasal dari sumber pencipta alam semesta ini dan alam ini serasi dan seimbang. 

 

Sedangkan, kaidah kedua yaitu kaidah pengambilan syariat dari sumber yang satu,

". . . Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah,. . . . "

Ia mewakili sistem hukum dan syariat dalam Islam. Jadi, kekuasaan hukum dalam Islam bersumber kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah baik berupa Al Qur’an maupun Hadits. Umat Islam dan pemimpin tidak berhak menentang dan melanggar apa yang dibawa oleh Rasulullah. Bila ada syariat lain yang bertentangan dengannya, maka ia tidak memiliki kekuatan hukum, karena ia kehilangan sandaran pertama yang darinya segala kekuatan bersumber. Dengan kata lain, umat boleh membuat syariat yang tidak menyimpang dari syariat Islam, dan apa yang disyariatkannya pasti memiliki kekuatan hukum. 

 

Jadi, sumber syariat dalam Islam adalah syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Dan, umat Islam berdiri di atas syariat ini dan memeliharanya serta melaksanakannya. Pemimpin atau imam menjadi wakil umat dalam pelaksanaannya. Dalam hal inilah, ruang lingkup hak-hak umat. Jadi, mereka tidak berhak melanggar dan menyimpang dari syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Sedangkan, bila tidak ada nash khusus yang datang dari Rasulullah mengenai permasalahan yang baru muncul saat ini, maka caranya adalah dengan menetapkan syariat yang tidak menyimpang dari salah satu pokok di antara pokok-pokok syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Hal ini tidaklah membatalkan kaidah sistem di atas, namun ia merupakan cabang darinya. Jadi, rujukan dalam setiap penetapan hukum adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah bila di sana terdapat nash, dan dengan syarat tidak melanggar ketentuan umum dan pokok dalam syariat bila nashnya tidak ada berkenaan dengan masalah itu. Dan, imam sebagai pemimpin di sini, kekuasaannya terbatas dalam ruang-ruang batasan itu. 

 

Sistem ini merupakan sistem yang langka dan tidak serupa dengan sistem konvensional yang dikenal oleh manusia. Sistem ini mengaitkan syariat bagi manusia dengan sistem alarn semesta, dan serasi antara sistem dan hukum dalam alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah dengan hukum yang mengatur manusia yang berasal dari-Nya pula. Sehingga, hukum manusia tidak berbenturan dengan hukum alam semesta yang menyebabkan manusia menjadi terhina, atau berbenturan, atau usaha­-usahanya hilang begitu saja tanpa bekas. 

 

Ayat di atas mengaitkan dua kadiah di atas dalam hati orang-orang yang beriman dengan sumbernya yang pertarna, yaitu Allah. Maka, mereka pun diserukan untuk bertaqwa dan menakutkan mereka dengan hukuman Allah,

". . . Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. " (Al Hasyr: 7)

Taqwa ini merupakan jaminan terbesar yang tidak mungkin ada tipuan di dalamnya dan manusia tidak akan lari daripadanya. Orang-orang yang beriman telah mengetahui bahwa Allah mengetahui segala rahasia, mengenal segala amal perbuatan, dan kepada-Nya tempat kembali. Mereka menyadari bahwa sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. Dan, mereka mengetahui bahwa mereka dibebani dengan tugas agar tidak menjadikan harta benda itu beredar di antara orang-orang yang kaya saja. Juga agar mereka mengambil dan menaati segala perintah yang datang dari Rasulullah dengan ridha dan tunduk. Lalu, agar mereka menjauhi larangan tanpa meremehkan karena di hadapan ada hari yang sulit. 

 

Pembagian harta fai dari Bani Nadhir itu dibagikan kepada para Muhajirin selain dua orang Anshar sebagai kebijakan khusus dalam masalah fai ini, dan untuk merealisasikan kaidah, "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. " Sedangkan, hukum umumnya adalah bahwa harta itu menjadi jatah bagi seluruh orang-orang yang fakir secara umum baik dari kelompok Muhajirin maupun Anshar dan generasi-generasi yang datang sesudah mereka. Inilah kandungan ayat sesudahnya dalam arahan redaksi surat ini. Namun, Al Qur’an tidak menyebutkan hukum yang kering dan telanjang begitu saja. Tetapi, ia memaparkannya dalam suasana yang hidup dan berinteraksi dengan segala sesuatu yang hidup. Oleh karena itu, ia meliputi seluruh komponen kelompok Muhajirin ataupun Anshar dan generasi-generasi yang datang sesudah mereka, dengan sifat mereka yang hidup dinamis yang menggambarkan tentang tabiatnya dan hakikatnya serta menetapkan konsepsi hukum yang hidup bersama mereka semua,

"(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Al Hasyr: 8)

 

Gambaran itu merupakan gambaran yang jujur dan menampakkan ciri-ciri yang menonjol dari kaum Muhajirin. Mereka dikeluarkan dengan paksa dari kam pung halaman dan harta benda mereka. Mereka terpaksa keluar karena penyiksaan, pengusiran, dan pengingkaran dari kerabat dan keluarga mereka di Mekah. Mereka tidak bersalah apa-apa selain menyatakan, “Tuhan kami adalah Allah. " Mereka keluar meninggalkan rumah-rumah dan harta benda mereka karena,

". . . (Karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya). . . . "

 

Mereka bersandar kepada Allah dalam karunia dan keridhaan-Nya. Mereka tidak memiliki tempat berlindung selain diri-Nya dan tidak ada tempat bergantung bagi mereka melainkan dalam pemeliharaan-Nya. Namun, meskipun terusir dan sedikit, mereka tetap berkomitmen,

". . . Mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. . . . "

Mereka menolong Allah dengan hati dan senjata mereka dalam kondisi yang sangat genting dan waktu yang sangat sempit. 

". . . Mereka itulah orang-orang yang benar. " (Al Hasyr: 8)

 

Mereka adalah orang-orang yang menyatakan kalimat iman dengan lisan-lisan mereka dan membuktikannya dengan amal nyata mereka Mereka sangat jujur kepada Allah dalam hal mereka telah memilih-Nya dan mereka jujur kepada Rasulullah perihal mereka mengikutinya. Dan, mereka jujur kepada kebenaran dalam hal bahwa mereka adalah salah satu gambaran kebenaran itu yang bergerak di atas bumi dan disaksikan oleh manusia. 

'Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan, mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada orang Muhajirin, dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan, siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. " (Al Hasyr: 9)

 

Gambaran ini juga merupakan gambaran yang cerah dan jujur yang menampakkan ciri-ciri yang menonjol dari kaum Anshar. Suatu komunitas yang memiliki keistimewaan sifat-sifat, dan mencapai puncaknya. Seandainya tidak benar-benar terjadi, maka orang-orang akan mengasumsikannya sebagai mimpi-mimpi yang terbang begitu saja, pandangan-pandangan yang menarik, dan perumpamaan-perumpamaan tinggi yang hanya ada dalam khayalan. 

'Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),. . . . "

 

Yaitu, Darul Hijrah yaitu Yatsrib, Madinah Rasulullah dan telah ditempati oleh orang-orang Anshar sebelum kaum Muhajirin. Sebagaimana mereka pun telah mendiaminya dengan keimanan. Seolah-olah iman itu merupakan rumah dan tempat tinggal mereka. Ia merupakan ungkapan yang memiliki nuansa tersendiri. Ungkapan ini merupakan gam­baran paling dekat dengan sikap keimanan kaum Anshar. Iman itu telah menjadi rumah, tempat tinggal, dan negeri di mana hati mereka hidup di dalamnya, serta ruh-ruh merasa tenteram di dalamnya. Mereka berlindung kepadanya dan merasakan kedamaian di dalamnya sebagaimana orang yang merasa tenang dan damai dengan rumah mereka. 

". . . Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan, mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada orang Muhajirin,. "

 

Sepanjang sejarah manusia belum pernah dikenal kasus sosial dan kemasyarakatan yang terjadi saat kaum Anshar menerima kaum Muhajirin dengan cinta yang mulia ini dan dengan yang luas biasa ini. Juga dengan kerja sama yang dipenuhi dengan keridhaan, dan dengan berlomba-lomba menyediakan penginapan dan beban-beban akomodasi dan konsumsi. Sehingga, diriwayatkan bahwa seorang dari kelompok Muhajirin baru dapat ditentukan tempat tinggalnya di rumah-rumah kaum Anshar setelah diadakan pengundian, karena jumlah kaum Anshar yang ingin menampung kaum Muhajirin lebih banyak daripada jumlah orang-orang Muhajirin. 

". . Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada orang Muhajirin,. . . . "

 

Mereka tidak merasa iri kepada kaum Muhajirin yang diberikan anugerah keutamaan dalam beberapa tempat dan kedudukan, dan dalam pembagian harta benda seperti fai ini. Mereka tidak menemukan perasaan iri atau hasad sedikit pun. Dalam ayat itu, Allah tidak menyatakan dengan kata, "Hasad atau tidak pula kesempitan', namun dengan kata hajatan yang bermakna kebutuhan, yang mengisyaratkan betapa sistem pengaturan hati mereka sangat lengkap dan kebebasan yang mutlak bagi hati mereka dari segala penyakit. Sehingga, tidak mungkin ditemukan penyakit sedikit pun. 

". . . Dan, mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). . . . "

Mengutamakan orang lain dalam sesuatu, padahal sebenarnya berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan merupakan sifat yang tertinggi dan puncak. Orang-orang Anshar telah mencapai puncak itu di mana manusia tidak pernah mengenal yang semisal dengan mereka. Demikianlah gambaran mereka dalam setiap saat dan setiap kondisi dengan gambaran yang luar biasa dalam ukuran manusia baik zaman dahulu maupun zaman sekarang.

". . . Dan, siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al­ Hasyr: 9)

Kekikiran ini adalah kekikiran jiwa yang menjadi penghalang dari segala kebaikan. Karena, kebaikan itu adalah pengeluaran dan pengorbanan dalam salah satu bentuk dari macam-macamnya. Ia adalah pengorbanan dalam bentuk harta, pengorbanan dalam bentuk kasih sayang, pengorbanan dalam usaha, dan pengorbanan hidup ketika diperlukan. Bagaimana mungkin orang kikir yang setiap kali ingin menerima dan mengambil serta tidak pernah ingin memberi sekali pun dan sedikit pun, dapat mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri. Karenanya, mereka yang dipelihara dari kekikiran dirinya, berarti dia telah menghindarkan dirinya dari penghalang dan rintangan yang menghalanginya dari kebaikan. Maka, setelah itu dia akan bertolak bebas untuk berkorban, memberi, dan ber­derma. Inilah kemenangan dalam maknanya yang hakiki. 

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, 'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (Al Hasyr: 10)

 

Inilah gambaran ketiga yang bersih, memuaskan, dan menyadarkan. Ia menampakkan ciri-ciri yang paling menonjol dari para tabiin, sebagaimana ia juga menampakkan karakter-karakter yang paling khusus dari umat Islam dalam segala tempat dan zaman. Orang-orang yang datang setelah Muhajirin dan Anshar belum muncul ketika ayat itu turun di Madinah, namun mereka telah hadir dalam ilmu Allah dan dalam hakikat yang ada dalam ilmu yang mutlak dari batasan zaman dan tempat. Sifat-sifat jiwa mereka selalu mengarah kepada Tuhannya untuk memohon am punan bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang telah mendahului mereka dalam keimanan. Mereka memohon agar hati mereka terbebas dari kebendaan dan hasad kepada orang-orang yang beriman secara mutlak, yaitu orang-orang yang memiliki hubungan iman dengan mereka. Bersama itu mereka merasakan kasih sayang Allah dan rahmat-Nya. Mereka berdoa kepada-Nya dengan sifat kasih sayang dan rahmat Nya itu,

". . . Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (Al Hasyr: 10)

Dari balik nash-nash itu, akan tampak dengan jelas tabiat dan gambaran umat Islam yang cerah dan bersinar dalam alam semesta. Perekat yang kuat dan kokoh akan tampak dan mengikat antara kelompok awal dari umat ini dengan kelompok akhirnya dalam saling menjamin, saling mengasuh, saling mengasihi, dan saling mencintai bersama perasaan dengan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang mendalam, yang melampaui tempat, zaman, jenis kelamin, dan garis keturunan. Ia bersemayam sendiri dalam hati dan menggerakkan perasaan-perasaan sepanjang abad yang panjang. Sehingga, ia mengingatkan orang-orang yang beriman tentang saudara-saudaranya setelah berabad abad lamanya. Sebagaimana ia juga mengingatkan tentang saudara-saudara seiman yang masih hidup atau dengan ingatan yang lebih dahsyat lagi dengan penuh kemuliaan, keperkasaan, dan cinta. 

 

Orang-orang yang terdahulu berhitung dengan perhitungan orang-orang yang akan datang. Sementara itu, orang-orang yang akan datang berjalan dan melangkah di atas jejak-jejak orang-orang yang terdahulu. Mereka semua menjadi satu barisan dan satu pasukan sepanjang zaman walaupun berbeda-beda negeri. Di bawah panji Allah, mereka terus melaju naik hingga ke ufuk yang tertinggi menuju Allah Tuhannya Yang Maha Esa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Sesungguhnya gambaran itu merupakan gambaran yang sangat indah. Gambaran itu menampakkan hakikat yang terbangun, sebagaimana ia me­nampakkan contoh yang paling tinggi dan paling mulia dari manusia yang dapat dibayangkan oleh hati yang mulia. Gambaran itu menampakkan kemuliaan dan kecerahannya dengan sesempurna mungkin, ketika misalnya dibandingkan dengan gambaran kebendan yang hina dan kehancuran yang keji yang digambarkan oleh buku Karl Max. Suatu gambaran tentang kebendan yang membara dalam hati, dan yang membusuk dalam nurani atas kelas-kelas masyarakat beserta generasi-generasi manusia terdahulu. Juga atas bangsa-bangsa yang hidup saat ini yang tidak tunduk dan meyakini ideologi kebendan terhadap kelas yang hina, serta atas kepercayaan dan orang-orang yang meyakini suatu agama. 

 

Dua gambaran yang bertolak belakang itu tidak mungkin akan menyatu walaupun dalam suatu sentuhan, suatu ciri, suatu bayangan, dan suatu nuansa. Gambaran yang satu mengangkat manusia ke tingkat yang paling tinggi yang dapat dicapai, sedangkan gambaran yang lain menurunkan manusia ke tingkat yang paling hina. Gambaran yang satu menggambarkan tentang generasi-generasi tanpa terikat oleh zaman, tempat, jenis kelamin, negeri, hubungan kerabat, dan garis keturunan. Mereka saling menopang, saling mengikat, saling meng­asuh, saling mencintai, dan saling mengenal untuk bersama-sama naik dalam perjalanannya menuju Allah. Hati mereka terbebas dari kedengkian dan kebendan, dan nurani mereka benar-benar bersih dari penyimpangan hasad. 

 

Sedangkan, gambaran yang lainnya adalah gambaran tentang manusia-manusia yang saling bermusuhan dan saling membunuh di mana sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain saling membenci, saling mencurigai, saling mencurangi, dan saling mengkhianati dengan penyimpangan dan kejahatan. Bahkan, walaupun mereka berada dalam satu tempat beribadah dan mereka mengerjakan shalat bersama-sama. Jadi, shalat bagi mereka cuma sekadar ikatan. Sedangkan, agama bagi mereka bukanlah apa-apa melainkan perangkap yang dipasang oleh para kapitalis bagi orang-orang yang terjebak. 

"Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (Al Hasyr: 10)

 

Inilah gambaran kafilah iman, dan inilah doa iman. Sesungguhnya mereka adalah kafilah yang mulia dan sesungguhnya itu merupakan doa yang mulia.

 

Karakter Orang-Orang Munafik


Ketika redaksi selesai dari lukisan tentang gambaran yang cerah itu, dan meningkatkannya ke atas ufuk dalam ruangan cahaya, redaksi kembali kepada peristiwa yang berkenaan dengannya surat ini turun. Yakni, untuk melukiskan gambaran bagi ke­lompok lain yang ikut bersekutu di dalam peristiwa itu, yaitu kelompok orang-orang munafik. 

 

۞ أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ نَافَقُوا۟ يَقُولُونَ لِإِخْوَٰنِهِمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَـٰبِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَـٰذِبُونَ

لَئِنْ أُخْرِجُوا۟ لَا يَخْرُجُونَ مَعَهُمْ وَلَئِن قُوتِلُوا۟ لَا يَنصُرُونَهُمْ وَلَئِن نَّصَرُوهُمْ لَيُوَلُّنَّ ٱلْأَدْبَـٰرَ ثُمَّ لَا يُنصَرُونَ

لَأَنتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِى صُدُورِهِم مِّنَ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُونَ

لَا يُقَـٰتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِى قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَآءِ جُدُرٍۭ ۚ بَأْسُهُم بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ

كَمَثَلِ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَرِيبًا ۖ ذَاقُوا۟ وَبَالَ أَمْرِهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

كَمَثَلِ ٱلشَّيْطَـٰنِ إِذْ قَالَ لِلْإِنسَـٰنِ ٱكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّى بَرِىٓءٌ مِّنكَ إِنِّىٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلْعَـٰلَمِينَ

فَكَانَ عَـٰقِبَتَهُمَآ أَنَّهُمَا فِى ٱلنَّارِ خَـٰلِدَيْنِ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُا۟ ٱلظَّـٰلِمِينَ

 

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang mu­nafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli Kitab, 'Sesungguhnya jika kamu diusir, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu. Dan, jika kamu diperangi, pasti kami akan membantu kamu. ' Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar­-benar pendusta. Sesungguhnya jika orang kafir dari Ahli Kitab diusir, orang-orang munafik itu tidak akan ke luar bersama mereka. Dan, sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya. Sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kam pung-kam­ pung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (Mereka adalah) seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka dan bagi mereka azab yang pedih. (Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata manusia, 'Kafirlah kamu. ' Maka, tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, 'Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam. 'Maka, adalah kesudahan keduanya bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim. (Al­ Hasyr: 11-17)

 

Ayat-ayat itu merupakan kisah tentang ucapan orang-orang munafik kepada Yahudi Bani Nadhir. Namun, mereka tidak menepatinya dan mereka mengkhianatinya. Sehingga, Allah mendatangi mereka dengan hukuman dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka. Dalam setiap ungkapan Al Qur’an, pasti ada selipan yang menetapkan suatu hakikat, menyentuh hati, membangkitkan semangat, dan menetapkan kedudukan pendidikan (tarbiah), pengetahuan (makrifah), dan keimanan yang mendalam.

 

Selipan yang pantas ditoleh pertama kali adalah penetapan kedekatan dan kekerabatan antara orang-orang munafik dan orang-orang kafir dari Ahli Kitab,

'Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka orang kafir di antara Ahli Kitab,. . . . "

 

Jadi, Ahli Kitab itu adalah orang-orang kafir itu; dan orang-orang munafik itu adalah saudara-sau­dara mereka walaupun mereka memakai dan membungkus diri mereka dengan pakaian dan selendang Islam. Kemudian selipan selanjutnya adalah penekanan yang keras tentang janji orang-orang munafik bagi saudara-saudara mereka,

". . . Sesungguhnya jika kamu diusir, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu. Dan, jika kamu diperangi, pasti kami akan membantu kamu. . . . "

 

Allah Yang Maha Mengetahui tentang hakikat mereka, menetapkan ketetapan lain selain yang mereka tetapkan, dan menekankan selain apa yang mereka tekankan,

". . . Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. " (Al Hasyr: 11)

 

Lalu, Allah berfirman,

"Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka. Sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya. Sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang; kemu­dian mereka tidak akan mendapat pertolongan. " (Al Hasyr: 12)

 

Kenyataan yang terjadi kemudian adalah sesuai dengan kesaksian Allah. Sesungguhnya apa yang mereka permaklumkan dan tetapkan bagi saudara-saudara mereka hanyalah kebohongan dan dusta belaka. Setelah itu Allah menetapkan hakikat yang permanen dalam diri orang-orang munafik dan orang-orang kafir dari Ahli Kitab,

"Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. " (Al Hasyr: 13)

 

Jadi, mereka sangat takut dan segan kepada orang-orang yang beriman dengan ketakutan yang lebih dahsyat daripada takut kepada Allah. Seandainya mereka takut kepada Allah, maka mereka tidak mungkin takut kepada seorang pun dari hamba-hamba Nya. Sesungguhnya ketakutan itu hanyalah ketakutan yang satu, dan tidak akan terhimpun dalam hati seseorang ketakutan kepada Allah dan ketakutan kepada sesuatu selain diri-Nya sekaligus. Jadi keperkasaan itu merupakan milik Allah sepenuhnya dan setiap kekuatan alam semesta pasti tunduk kepada perintah-Nya. 

'Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. " (Huud: 56)

 

Jadi, dari apa lagi ketakutan itu datang kepada orang-orang yang takut kepada Allah? Namun, orang-orang yang tidak mengerti tentang hakikat ini, ketakutan mereka kepada hamba-hamba Allah melebihi ketakutan mereka kepada Allah. 

". . . Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti. " (Al Hasyr: 13)

 

Demikianlah Al Qur’an mengungkapkan tentang hakikat sebenarnya dari suatu kaum dan sekaligus dalam waktu yang sama menetapkan hakikat yang benar-benar tulus. Redaksi berlanjut dalam menetapkan kondisi yang permanen dalam jiwa-jiwa orang-orang munafik dan orang-orang kafir dari Ahli Kitab yang tumbuh dari hakikat mereka yang terdahulu. Juga dari ketakutan mereka terhadap orang-orang yang beriman melebihi ketakutan terhadap Allah. 

'Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. " (Al Hasyr: 14)

 

Hari-hari terus membuktikan dan mengungkapkan tentang hakikat yang luar biasa dalam kepribadian dan kondisi orang-orang munafik dan orang-orang kafir dari Ahli Kitab di mana pun orang-orang yang beriman bertemu dengan mereka pada zaman atau tempat mana pun dengan bentuk yang sangat jelas di hadapan mata. Dan, bentrokan dan pertempuran yang terjadi pada awal pendudukan Yahudi di tanah suci Palestina antara orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi membuktikan kebenaran kabar yang dibawa oleh Al Qur’an ini dengan pembuktian yang sangat menakjubkan. Orang-orang Yahudi hanya berperang di balik ruang-ruang tertutup dan benteng mereka di tanah Palestina. Dan, bila mereka terbuka sedikit saja, maka mereka akan lari terbirit-birit seperti tikus. Seolah-olah ayat Al Qur’an ini turun kepada mereka pertama kali. Maka, Maha Suci Allah Yang Maha Mengetahui. Masih tersisa ciri jiwa mereka yang lainnya,

". . . Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-belah. . . . "

 

Sangat bertolak belakang dengan orang-orang yang beriman di mana antara generasi ke generasi selalu saling menjamin dan mereka dihimpun oleh perekat iman meskipun oleh perbedaan zaman dan tempat, jenis kelamin, negeri, dan hubungan keluarga.

". . . Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (Al Hasyr: 14)

 

Namun, penampilan kadangkala menipu kita seolah-olah kita melihat bahwa orang-orang kafir dari Ahli Kitab itu saling menopang dan menjamin di antara mereka. Seolah-olah kita melihat kekompakan dan fanatisme antara sesama mereka, sebagaimana kita pun kadangkala melihat orang-orang munafik pun bersatu dalam satu barisan pasukan. Namun, kabar yang jujur dari langit mendatangi kita bahwa sesungguhnya mereka tercerai-berai pada hakikat­nya. Jadi, gambaran itu hanyalah gambaran lahiriah yang menipu. Dan, waktu perlahan-lahan akan mengungkapkan tirai yang menipu itu. Sehingga, akan tampaklah kejujuran kabar langit dalam kenyataan yang dapat dilihat dan mengungkapkan tentang pertentangan yang terjadi dari dalam pasukan yang menyatu itu. Hal itu terjadi ketika perbedaan kepentingan dan pertentangan ambisi terjadi, sehingga berbenturan tujuan dan arah perjuangan. 

 

Pasukan orang-orang yang beriman benar-benar jujur dan kokoh kemudian hati mereka terhimpun di atas agama Allah dengan sebenar-benarnya, maka pasukan yang lain pun akan terbongkar pertentangan dan kebejatannya di hadapan mereka. Akan terbongkarlah pertentangan, benturan, dan kesombongan pasukan itu yang tidak lagi dapat menampakkan tentang hakikat kekuatannya. Dan, bila pasukan orang-orang yang beriman dapat bertahan dan kokoh, maka pastilah mereka menyaksikan pemandangan kekokohan yang tampak pada diri para pengusung kebatilan akan runtuh dan hancur. Kemudian terbongkarlah pertentangan yang tajam antara mereka, perpecahan, tipu daya, dan pengkhianatan dalam hati yang terpecah-pecah itu. Sesungguhnya orang-orang munafik dan orang-orang kafir dari Ahli Kitab meraih kemenangan atas orang-orang yang mengatasnamakan dirinya "muslimin", ketika hati mereka berpecah-belah. Sehingga, mereka tidak lagi mewakili orang-orang beriman yang sejati yang dipaparkan oleh ayat dalam paragraf sebelumnya dari saran ini. Sedangkan, bila orang-orang Islam tidak dalam kondisi demikian, maka orang-orang munafik sangat lemah. Kaum munafik dan orang-orang kafir dari Ahli Kitab berbeda-beda kepentingan, maslahat, dan beraneka ragam hati,

". . . Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-belah. . . . "

 

Al Qur’an menetapkan hakikat ini dalam hati orang-orang yang beriman agar menganggap rendah dan remeh musuh-musuh mereka dan menghilangkan dari diri mereka ketakutan kepada musuh­-musuh tersebut. Itu merupakan isyarat yang ber­sandar kepada kebenaran dan pembebanan ruhiah yang berdasar kepada kebenaran yang permanen. Dan, ketika kaum muslimin mengambil Al Qur’an dengan sungguh-sungguh, maka menjadi remehlah dan hinalah urusan musuh-musuh mereka dan musuh-musuh Allah. Kemudian hati mereka pun menyatu dalam satu barisan. Sehingga, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat mengalahkan mereka. Orang-orang yang beriman kepada Allah seharusnya mengetahui hakikat kondisi mereka dan hakikat kondisi musuh-musuh mereka. Ini adalah setengah dari peperangan. Al Qur’an memberitahukan informasi tentang kondisi itu kepada mereka dalam arahan gambarannya tentang kejadian yang terjadi, komentar tentangnya, keterangan tentang hakikat-hakikat dan tanda-tanda dengan keterangan yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Atau, oleh orang-orang setelah mereka yang merenungkannya dan ingin mengetahui hakikat dari Allah Yang Maha Mengetahui atas hakikat kejadian. 

 

Kejadian kasus Bani Nadhir bukanlah yang pertama dari kasus yang terjadi. Karena, sebelumnya telah terjadi kasus Bani Qainuqa' yang diisyaratkan dalam ayat selanjutnya secara umum,

"(Mereka adalah) seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka dan bagi mereka azab yang pedih. (Al Hasyr: 15)

Peristiwa perang Bani Qainuqa' terjadi setelah Perang Badar dan sebelum Perang Uhud. Dan, antara mereka dengan Rasulullah terikat perjanjian damai. Setelah kaum muslimin meraih kemenangan atas orang-orang kafir dalam Perang Badar, kaum Yahudi tidak menyukai hal itu. Mereka benci dan iri dengan kemenangan besar yang diperoleh oleh orang-orang yang beriman. Mereka sangat takut terhadap pengaruh yang membahayakan kedudukan mereka di Madinah, yang tentu saja membuat markas kekuatan mereka melemah karena markas dan kekuatan kaum muslimin bertambah kuat. 

 

Kemudian sampailah kepada Rasulullah desas-desus kejahatan dan pemikiran-pemikiran busuk mereka. Maka, beliau pun mengingatkan mereka tentang ikatan perjanjian damai dan mereka diancam untuk tidak bersikap seperti itu. Namun, mereka malah menantang dan menjawab dengan ancaman yang lebih keras dan tajam. Mereka menjawab, "Hai Muhammad, sesungguhnya kamu mengira bahwa kami adalah seperti kaummu (Quraisy). Jangan sampai kamu tertipu dan berbangga dulu dengan kemenangan atas suatu kaum yang tidak mahir dalam berperang, sehingga kamu dapat mengalahkan mereka. Sesungguhnya kami demi Allah, bila kami memerangimu, pasti kamu mengetahui bahwa kami adalah manusia (yang dapat diperhitungkan). "

 

Maka, mulailah mereka mendesak orang-orang yang beriman. Bani Qainuqa' adalah kelompok Yahudi yang paling berani. Mereka sangat benci dan iri dengan kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar. Maka, mulailah mereka melakukan manuver-manuver, dan mulai melanggar perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah. Mereka takut kekuatan kaum muslimin tambah kuat dan besar, sehingga kaum Yahudi merasa semakin tidak mampu melawan kaum muslimin. Apalagi, setelah kaum muslimin dengan gemilang memenangkan perang pertama kali antara mereka dengan kaum kafir Quraisy dalam Perang Badar. 

 

Ibnu Hisyam dari jalur Ibnu Ishaq menyebutkan dalam sirah perihal mereka bahwa kejadian yang terjadi pada Bani Qainuqa' adalah bahwa seorang wanita Arab datang membawa susu untuk dijual di pasar Bani Qainuqa' dan dia duduk di dekat tukang emas di sana. Kaum Yahudi menginginkannya agar membuka cadarnya dan menampakkan mukanya, namun dia menolak. Maka, tukang emas pun dengan sengaja mengambil ujung bajunya kemudian diikat ke punggungnya. Ketika wanita itu bangkit berdiri, kelihatanlah pantatnya. Maka, kaum Yahudi gembira dan tertawa-tawa. Lalu wanita itu berteriak, maka seorang muslim pun melompat dan menyerang tukang emas itu sehingga berhasil membunuhnya. Tukang emas itu adalah seorang Yahudi. Lalu, kaum Yahudi mengepung, mengikat, dan menyiksa orang muslim itu hingga membunuhnya. Maka, berteriaklah kaum muslimin meminta tolong kepada saudara-saudara untuk melawan kaum Yahudi. Kaum muslimin pun marah dan terjadilah bentrokan antara kaum muslimin dan kaum Yahudi. 

 

Ibnu Ishaq melengkapi kejadian itu dengan bercerita lagi bahwa Rasulullah pun mengepung mereka semua. Sehingga, mereka rela dihukum dengan keputusan dari Rasulullah. Maka, berdirilah Abdullah bin Ubay bin Salul (pemimpin kaum munafik) dan berkata, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada sekutuku!" Bani Qainuqa' merupakan sekutu kaum Al Khazraj. Namun, Rasulullah menghiraukannya. Kemudian Abdullah bin Ubay bin Salul berkata lagi, "Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada sekutuku!" Rasulullah pun berpaling darinya. Maka, Abdullah bin Ubay bin Salul pun memasukkan tangannya ke dalam saku baju besi Rasulullah. Kemudian Rasulullah menghardiknya, "Lepaskan diriku!" Rasulullah sangat marah sehingga para sahabat melihat wajah beliau masam dan muram. Kemudian Rasulullah menghardiknya, "Celakalah kamu, lepaskan diriku. " Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, "Demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu hingga kamu berbuat baik bagi sekutuku. Hanya empat ratus orang tentara yang memakai baju besi tanpa penutup kepala dan tiga ratus tentara yang berbaju besi dan penutup kepala. Mereka telah bersama-sama denganku membelaku dari serangan tentara yang berkulit merah ataupun berkulit hitam. Apakah akan kamu bunuh mereka semua dalam satu waktu pagi? Sesungguhnya aku sangat takut mereka membalas dendam. " Maka, Rasulullah pun berkata, "Mereka buatmu saja. "Abdullah bin Ubay bin Salul masih sangat ber­pengaruh dalam kaumnya. Maka, Rasulullah pun menerima syafaatnya atas Bani Qainuqa’, dengan syarat mereka bereksodus secara besar-besaran dari kota Madinah dan mereka boleh membawa harta benda mereka kecuali senjata. Dan, mereka pun pergi dan bereksodus ke daerah Syam (Syiria). Dengan peristiwa itu, terbebaslah Madinah dari ke­lompok kaum Yahudi yang memiliki kekuatan besar. 

 

Inilah kenyataan yang digambarkan oleh Al Qur’an dan kondisi itu dapat dianalogikan dengan kondisi Bani Nadhir dan hakikat mereka. Demikianlah persekongkolan orang-orang munafik dengan Bani Qainuqa dan Bani Nadhir. Al Qur’an menggambarkan tentang orang-orang munafik yang menipu teman-teman dan saudara-saudara mereka dari orang-orang kafir Ahli Kitab agar mereka melakukan perlawanan terhadap Rasulullah dan orang-orang yang beriman. Namun, puncak dari gambaran tentang kondisi mereka adalah sangat merana. Kondisi mereka persis seperti hubungan setan dengan manusia yang tertipu dengan godaannya, tapi akhirnya mereka sama-sama jatuh ke dalam tempat kembali yang hina dan memilukan,

"(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, 'Kafirlah kamu. 'Maka, tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, 'Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam. 'Maka, adalah kesudahan keduanya bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim. (Al Hasyr: 16-17)

 

Gambaran setan di sini berkaitan dengan orang-orang yang berhasil digodanya dari anak manusia, sangat serasi dengan tabiat dan peran orang-orang munafik. Namun, sungguh aneh masih saja ada manusia yang mendengar ocehannya, padahal kondisi mereka seperti itu busuk dan buruknya. Hakikat itu adalah hakikat yang permanen, yang dinukilkan oleh Al Qur’an dari kejadian yang dipaparkan itu. Al Qur’an menghubungkan antara kejadian yang khusus dengan hakikat yang umum dalam fenomena yang hidup dan nyata. Al Qur’an tidak hanya menggambarkannya dalam hakikat-hakikat yang kosong dari kenyataan. Karena, hakikat-hakikat yang kosong dari kenyataan dan adem-adem saja, tidak mempengaruhi banyak dalam perasaan-perasaan dan tidak membangkitkan hati untuk menyambut dan meresponsnya. Inilah satu keistimewaan dan perbedaan antara manhaj Al Qur’an dalam seruan-seruannya yang mengarah ke dalam hati-hati dengan manhaj-manhaj ahli filsafat, ilmuwan, dan tukang diskusi. 

 

Dengan perumpamaan yang menyentuh ini berakhirlah kisah Bani Nadhir, di mana di sela-selanya dan pada komentarnya telah dihimpun beberapa gambaran perumpamaan dan hakikat-hakikat serta pengarahan-pengarahan. Kejadian-kejadiannya yang khusus dan terbatas pada peristiwa-peristiwa tertentu berkaitan erat hakikat besar dan umum yang murni dan abadi. Ia merupakan wisata di alam semesta yang nyata dan di alam nurani yang tersembunyi. Ia berkembang melampaui batas-batas kejadian itu sendiri. Riwayat kejadian-kejadian itu dalam Al Qur’an sangat berbeda dengan riwayat-riwayatnya dalam kitab-kitab yang dikarang oleh manusia, sesuai dan seiring dengan perbedaan kualitas ciptaan Allah dan kualitas buatan manusia. Perbedaan itu sangat jauh dan tidak bisa dibanding-bandingkan. 

  

Beberapa Peringatan

 

Hingga ke sini, yaitu hingga bahasan tentang riwayat mengenai kejadian itu, komentar atasnya, dan kaitannya dengan hakikat-hakikat yang jangkauannya jauh, maka seruan pun mulai diarahkan kepada orang-orang yang beriman dengan bisikan dan sebutan nama iman. Mereka diseru dengan sifat yang mengikat mereka dengan Pemilik seruan itu serta memudahkan mereka dalam menyambut dan merespon pengarahan dan pembebanan taklif-Nya. Allah mengarahkan seruan kepada mereka untuk mengajak mereka agar bertaqwa, melihat kepada segala yang dipersiapkan oleh diri-Nya bagi mereka di akhirat, agar mereka selalu berhati-hati dan waspada dari sikap melupakan Allah sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka melupakan-Nya. Yaitu, orang-orang yang telah menyaksikan nasib se­bagian kelompok dari mereka dan telah ditentukan atas mereka bahwa mereka adalah penghuni neraka,

 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ

لَا يَسْتَوِىٓ أَصْحَـٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصْحَـٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۚ أَصْحَـٰبُ ٱلْجَنَّةِ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ

 

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan, janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga, para penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (Al Hasyr: 18-20)

 

Taqwa merupakan kondisi dalam hati yang diisyaratkan oleh nuansa lafalnya. Namun, ungkapan tidak dapat menggambarkan hakikat. Taqwa merupakan kondisi yang menjadikan hati selalu waspada, menghadirkan dan merasakan pengawasan Allah dalam setiap keadaan. Ia takut, merasa bersalah, dan malu bila Allah mendapatinya berada dalam keadaan yang dibenci oleh-Nya. Pengawasan atas setiap hati selalu terjadi setiap waktu dan setiap saat. Jadi kapan seseorang merasa aman dari penglihatan Allah?

". . . Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),. . "

 

Ungkapan kalimat ini juga memiliki nuansa dan sentuhan yang lebih luas daripada lafalnya sendiri. Kalimat ini hanya dengan sekadar terlintas dalam hati saja, terbukalah di hadapan manusia lembaran amal-amalnya, bahkan lembaran seluruh kehidupannya. Manusia pasti akan mengarahkan pandangannya kepada segala kata-katanya untuk merenungkan dan membayangkan hisab amalnya beserta perincian-perinciannya satu per satu, guna melihat dan mengecek apakah yang telah dia persiapkan untuk menghadapi hari esok itu. Renungan itu pasti menyadarkannya tentang tempat-tempat kelemahannya, tempat-tempat kekurangannya, dan tempat-tempat kelengahannya, walaupun dia sudah berbuat maksimal dalam kebaikan atau telah mengeluarkan banyak tenaga dan usaha di dalamnya. Apalagi, bila perbekalannya dalam kebaikan sangat sedikit dan kebaktiannya sangat kecil dan rendah! Sesungguhnya ia merupakan sentuhan yang membuat hati tidak lagi merasakan tidur yang nyenyak dan tidak lagi terlepas dari renungan dan pengecekan kembali atas segala perbuatan. Ayat di atas tidak berhenti di situ saja dalam menyentuh setiap perasaan hingga lagi-lagi pengaruh dan sentuhan itu ditambah dengan isyarat yang tertuju kepada hati orang-orang yang beriman,

". . . Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. " (Al­ Hasyr: 18)

 

Maka, hati pun semakin bertambah sensitif, takut, dan malu karena Allah Maha Mengetahui atas segala yang dikerjakannya. Sehubungan dengan seruan ayat di atas agar hati orang-orang yang beriman selalu waspada dan selalu ingat, Allah mengingatkan mereka pada ayat berikutnya agar mereka jangan bersikap melupakan Allah,

“Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. . . . "

 

Kondisi seperti ini sangat aneh dan ajaib, namun ia merupakan hakikat yang nyata. Karena, orang-orang yang melupakan Allah pasti tersesat dalam kehidupan ini tanpa ikatan apa pun yang dapat menaikkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Dan, mereka hidup tanpa arah dan tujuan yang menaikkan dan memuliakan mereka melebihi binatang ternak yang digembalakan. Dalam sikap seperti ini, manusia telah melupakan kemanusiaannya sendiri. Hakikat ini ditambahkan kepadanya atau ditumbuhkan dan dibangun darinya hakikat lainnya. Yaitu hakikat melupakan diri sendiri. Sehingga, dia tidak menyiapkan bekal apa-apa bagi kehidupannya yang lama dan abadi. Dan, dia pun tidak mempersiapkan dan memandang jauh ke depan untuk bekalnya di hari esok. 

 

". . . Mereka itulah orang-orang yang fasik. " (Al Hasyr: 19)

Merekalah orang-orang yang menyimpang dan keluar dari ketaatan kepada Allah. Dalam ayat selanjutnya ditegaskan dan ditetapkan bahwa sesungguhnya mereka adalah penghuni neraka. Ia juga memberi isyarat dan petunjuk kepada orang-orang yang beriman agar meniti jalan lain selain jalan mereka karena orang-orang yang beriman adalah penghuni surga. Jadi, jalan penghuni surga lain dari jalan penghuni neraka. 

"Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga, para penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. " (Al Hasyr: 20)

 

Kedua kelompok ini tidak sama, baik dalam tabiat maupun kondisinya, jalan maupun perilakunya, dan arah maupun nasib akhirnya. Keduanya berada dalam persimpangan jalan yang tidak akan pernah bertemu selamanya di suatu jalur, di suatu karakter, di suatu langkah, di suatu siasat dan strategi, dan di barisan yang satu di dunia dan di akhirat. 

 

“Para penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. 

Allah menetapkan gambaran tempat kembali orang-orang yang beriman. Sedangkan, tempat kembali bagi penghuni neraka didiamkan dan tidak disebutkan karena ia telah diketahui dan seolah-olah ia tidak dihiraukan, karena hanya memboroskan kata-kata!

 

Kemudian tibalah sentuhan yang menggetarkan hati dan mengguncangkannya ketika ia memaparkan tentang pengaruh Al Qur’an yang membekas terhadap hati yang keras seandainya Al Qur’an itu turun kepadanya,

 

لَوْ أَنزَلْنَا هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُۥ خَـٰشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ ٱللَّهِ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَـٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

 

"Kalau Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan, perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir. (Al Hasyr: 21)

Ia merupakan gambaran yang melukiskan tentang suatu hakikat, karena sesungguhnya Al Qur’an ini memiliki kandungan yang berat dan dahsyat, serta kekuatan dan pengaruh yang menggetarkan dan mengguncangkan. Sehingga, tidak ada satu pun yang mampu bertahan ketika menghadapinya dengan hakikatnya. Umar ibnul Khaththab menemukan sesuatu yang luar biasa ketika mendengar seseorang membaca,

“Demi bukit dan Kitab yang ditulis pada lembaran yang terbuka. Dan, demi Baitul Ma'mur, dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya ada api. Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi. Tidak seorang pun yang dapat menolaknya. " (Ath­ Thuur: 1-8)

 

Maka, Umar pun bersandar ke dinding, kemudian kembali ke rumahnya. Selama sebulan penuh dia sakit setelah mendengarkan Al Qur'an itu, dan orang-orang pun menjenguknya. Pada kondisi-kondisi di mana manusia terbuka untuk menerima hakikat Al Qur’an, maka dia pun akan bergetar dan terguncang dengan guncangan. Kemudian dia pun mengalami perubahan dan peralihan yang dapat dimisalkan dengan pengaruh magnet dan listrik pada tubuh manusia, dan atau bahkan lebih dahsyat daripada itu. Allah yang telah menciptakan gunung-gunung berfirman,

"Kalau Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. . . . "

Orang-orang yang merasakan sentuhan Al Qur’an pasti merasakan dan menikmati hakikat yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata melainkan hanya dengan nash Al Qur’an ini yang menyentuh dan menggetarkan. 

". . . Dan, perumpamaan perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir. ” (Al Hasyr: 21)

Perumpamaan ini mampu menyadarkan hati manusia untuk berpikir dan merenung. 

 

Tasbih Asmaul Husna

 

Akhirnya, muncullah beberapa macam tasbih dengan asmaul husna (nama-nama Allah yang indah), seolah-olah ia merupakan jejak-jejak dalam alam semesta seluruhnya. Seluruh bagian dan ruang alam semesta bersahutan menyenandungkan nama-nama itu. Asmaul husna itu tampak jelas sekali dalam jejak-jejak alam semesta, gerakannya dan fenomena-fenomenanya. Maka, alam semesta di samping bertasbih dengan nama-nama indah itu, ia juga bersaksi atas jejak-jejak dan bekas-bekasnya yang terdapat di dalamnya,

 

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَـٰلِمُ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ ۖ هُوَ ٱلرَّحْمَـٰنُ ٱلرَّحِيمُ

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ

هُوَ ٱللَّهُ ٱلْخَـٰلِقُ ٱلْبَارِئُ ٱلْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

 

Dialah Allah Yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia saja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Menganugerahkan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan, Dialah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. " (Al Hasyr: 22-24)

 

Sesungguhnya tasbih itu merupakan tasbih yang berirama dan panjang dengan sifat-sifat yang agung. Ia memiliki tiga bagian. Setiap bagian diawali dengan sifat tauhid,

"Dialah Allah Yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. "

Atau,

"Dialah Allah. . . . "

 

Setiap nama di antara asmaul husna (nama-nama yang indah) ini, memiliki jejak dan bekasnya dalam alam semesta dan demikian pula jejak dan bekasnya dalam kehidupan manusia. Ia mengisyaratkan kepada hati tentang efektivitas dari nama-nama dan sifat-sifat ini. Suatu efektivitas yang memiliki pengaruh dan hubungan dengan manusia dan seluruh kehidupan. Iabukanlah sifat-sifat yang negatif atau terpisah dari seluruh alam semesta beserta kondisinya dan fenomena-fenomena yang menyertai alam semesta ini. 

"Dialah Allah Yang tidak ada Tuhan (yang berhak di­sembah) selain Dia. . . . "

 

Ia menetapkan dalam nurani tentang keesaan dan kesatuan keyakinan, keesaan dan kesatuan beribadah, keesaan dan kesatuan arah dan maksud, dan keesaan dan kesatuan dorongan dan semangat dari sejak awal penciptaan dan akhirnya. Di atas keesaan dan kesatuan ini, berdirilah dan terbangunlah manhaj yang sempurna dalam berpikir, bercita rasa, berasumsi, berkeyakinan, dan berperilaku. Juga dalam hubungan manusia dalam alam semesta dan seluruh kehidupan, serta hubungan manusia antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain atas dasar dan asas keesaan Tuhan, Allah. 

 

". . . Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. . . . "

Keyakinan kepada ilmu Allah tentang perkara-perkara lahiriah dan perkara yang tersembunyi semakin kokoh dalam hati. Dengan demikian, akan terbangun kesadaran dalam hati ini tentang pengawasan Allah dalam perkara-perkara yang rahasia dan terang-terangan. Sehingga, akan melaksanakan segala sesuatu dengan perasaan diawasi oleh Allah dan mawas diri kepada-Nya, di mana manusia tidak hidup sendirian walaupun dia sedang menyendiri atau sedang bermunajat. Kemudian perilakunya selalu disesuaikan dengan perasaan itu, di mana hatinya tidak akan melupakan dan melalaikan dirinya sendiri darinya. 

". . . Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al Hasyr: 22)

 

Perasaan ketenangan dan damai dalam nurani kepada rahmat Allah dan kenikmatan-Nya akan semakin kokoh. Kemudian antara perasaan ketakutan dengan harapan pun pasti menjadi seimbang dan demikian pula antara perasaan keguncangan dengan ketenangan. Dalam pandangan seorang mukmin, Allah tidak akan mengusir hamba-hamba-Nya melainkan hanya mengawasi mereka. Allah tidak menginginkan keburukan bagi mereka, namun menginginkan petunjuk dan kebaikan bagi mereka. Dia tidak membiarkan mereka tanpa pertolongan-Nya menghadapi sendiri kejahatan dan hawa nafsunya. Al Qur’an mengulanginya kembali pada awal dari tasbih berikutnya, karena ia merupakan kaidah dasar yang di atasnya terbangun seluruh sifat-sifat yang lain. 

 

"Dialah Allah Yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. . . . "

Bila kekuasan dan kerajaan telah menyatu, maka tidak tersisa lagi bagi para hamba melainkan hanya satu tuan dan raja, di mana harus mengarahkan segalanya kepadanya, dan mereka tidak akan melayani selainnya. Pasalnya, seseorang tidak mungkin melayani dua tuan dalam satu waktu,

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam ronganya. (Al Ahzab: 4)

". . . Yang Maha Suci, . . . . "

 

Ia merupakan nama yang menyebarkan tentang kesucian dan kebersihan yang mutlak. Ia meletakkan dalam nurani setiap sinar yang terang dan suci. Sehingga, ia menyucikan hatinya dan membersihkannya agar menjadi pantas dan layak menerima limpahan rahmat dari,

". . . Raja Yang Maha Suci,. . . . ”

Dan bertasbih menyucikan-Nya. 

". . . Yang Maha Sejahtera,. . . . "

 

Ia juga merupakan nama yang menyebarkan tentang keselamatan, keamanan, dan kedamaian dalam lembaran-lembaran ruang alam semesta, dalam hati orang-orang yang beriman kepada Tuhannya, maka mereka merasa aman di sisi-Nya dan merasa selamat di bawah naungan-Nya dan dari tipu daya seluruh alam semesta dan penghuninya baik berupa makhluk hidup ataupun sesuatu yang lain. Dari nama ini hati merasa terlindungi dengan keselamatan, ketenangan dan kedamaian. Keliaran nafsu dan guncangannya pun menjadi tenang dan mereda sehingga selalu condong kepada keharmonisan, ikatan dan kedamaian. 

"Yang Menganugerahkan keamanan. . . . "

Itu adalah nama yang menunjukkan bahwa Allah Pemberi keamanan dan Penganugerah keimanan. Lafal nama ini memberikan kesadaran kepada hati tentang nilai iman, di mana ia bertemu dengan Allah di dalam nama itu, dan dia bersifat dengan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, dengan sifat iman tersebut, orang-orang yang beriman naik ke Al Mala'ul A'la, tingkat para malaikat'. 

 

". . . Yang Maha Memelihara. ”

Ini adalah permulaan lembaran lain dari gambaran sifat Allah di mana sifat-sifat sebelumnya, "Yang

Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Menganugerahkan keamanan" merupakan yang berhubungan langsung dengan Zat Allah sendiri. Sedangkan, sifat-sifat ini adalah berhubungan dengan kebijakan dan perbuatan Allah di alam semesta dan berkenaan dengan manusia. Ia mengisyaratkan tentang kekuasaan dan pengawasan. 

 

Demikian pula dengan sifat-sifat, ". . . Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan. "; merupakan sifat-sifat yang mengisyaratkan tentang kekuasaan, kemenangan, ketinggian, dan kejayaan. Jadi, tidak ada sesuatu pun Yang Maha Perkasa melainkan Dia, tidak ada sesuatu pun Yang Maha Kuasa melainkan Dia, dan tidak ada sesuatu pun Yang Maha Memiliki Segala Keagungan melainkan. Tidak seorang pun yang bersekutu dengan-Nya dalam sifat-sifat itu. Dan, tidak seorang pun selain diri-Nya yang memiliki sifat-sifat itu. Jadi, hanya Dia sendiri yang memiliki-Nya tanpa seorang sekutu pun di dalamnya. Oleh karena itu, penutup ayat itu diakhiri dengan,

". . . Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutu­kan. (Al Hasyr: 23)

 

Kemudian muncullah bagian akhir dari tasbih yang panjang dan bermacam-macam irama itu. 

'Dialah Allah. . . . "

Jadi ketuhanan Allah merupakan Ketuhanan Yang Esa dan tidak ada Tuhan selain diri-Nya. Dan, tidak seorang pun berstatus Tuhan yang benar selain diri­-Nya.

 

". . . Yang Menciptakan, Yang Mengadakan,. . . . "

Al Khalqu (akar kata dari Al Khaliq) adalah keinginan yang pasti dan proses ketentuan tentang kadar sesuatu. Sedangkan, Al bar'u (akar kata dari' Al bari'u) adalah pelaksanaan dan proses pengeluaran. Jadi, dua sifat ini saling berkaitan, berhubungan, dan sangat tipis perbedaannya. 

 

". . . Yang Membentuk Rupa,. . . . "

Sifat ini juga berkaitan dengan dua sifat sebelum­nya. Dan, maknanya adalah pemberian tanda-tanda dan ciri-ciri yang diistimewakan dan membedakan di antara setiap sesuatu dengan karakternya masing-masing yang khusus. 

 

Sifat-sifat ini saling berkaitan, berhubungan, dan sangat tipis perbedaannya. Ia merangsang hati untuk menelusuri proses penciptaan, pembuatan, pemberadaan, dan pengeluaran periode per periode sesuai dengan pandangan manusia. Sedangkan dalam alam hakikat, maka di sana tidak ada periode-periode dan langkah-langkah. Yang kita ketahui tentang pe­tunjuk-petunjuk sifat-sifat ini bukanlah hakikatnya yang mutlak, karena hal ini tidak diketahui melainkan hanya oleh Allah semata-mata. Kita hanya mengetahui sebagian bekas dan jejaknya saja dalam batas dan lingkup kekuatan kita yang kecil. 

 

. . . Yang Mempunyai Nama-nama yang paling indah…. . 

Sangat indah dalam nama-nama itu sendiri, tanpa memerlukan pujian keindahan dari para makhluk dan tidak bergantung kepada keindahan yang mereka lukiskan kepadanya. Keindahan yang mengisyaratkan tentang keindahan bagi hati dan meme­nuhinya. Ia merupakan nama-nama indah yang harus direnungkan oleh orang-orang yang beriman agar mencelupkan diri mereka sesuai dengan isyarat-isyarat yang ada di dalamnya dan pengarahannya. Setiap mukmin harus menyadari dan mengetahui bahwa Allah sangat mencintai dan menyukai orang-orang beriman yang bersifat dengan nama-nama itu, dan terus-menerus berusaha mengangkat dirinya ke tingkat tersebut. 

 

Tasbih yang panjang dan beraneka irama ini diakhiri dengan asmaul husna dan tasbih yang sangat mendalam dengan tanda-tanda dan petunjuk-petunjuknya. Juga dalam limpahannya yang memenuhi hati dengan sesuatu yang luar biasa. Yaitu, pemandangan tasbih dalam lembaran-lembaran ruang alam semesta dan muncul dari segala penjuru. 

". . . Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan, Dialah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. " (Al Hasyr: 24)

 

Pemandangan itu merupakan pemandangan yang sangat dirindukan oleh hati setelah berzikir dengan nama-nama indah itu, dan ikut bersama-sama dengan segala makhluk hidup dan segala sesuatu. Sebagaimana ia juga menghubungkan antara permulaan surat dengan akhir surat dengan penuh keserasian dan sangat erat.