Tuesday, March 22, 2022

Pasal 7: Nilai-nilai Kemanusiaan

 Masyarakat Islam itu tegak di atas aqidahnya, yang nantinya akan menentukan falsafah hidupnya secara menyeluruh, baik mengenai prinsip, perjalanan, maupun tujuan akhirnya. Dia merupakan jawaban atas tiga pertanyaan mendasar, yaitu: dari mana, ke mana, dan untuk apa manusia itu diciptakan (hidup), yang dengan jawaban itu melukiskan bahwa mereka adalah masyarakat yang bertauhid, dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun.

 

Masyarakat Islam tegak di atas nilai-nilai ibadah yang memperkuat hubungannya dengan Allah SWT dalam amal baik yang zhahir maupun bathin. Dengan itulah maka masyarakat Islam nampak sebagai masyarakat yang ahli ibadah, bahkan seluruh aktifitas adalah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.

 

Masyarakat Islam tegak di atas prinsip dan pemahaman yang wadhih (jelas) yang membuat mereka mampu meluruskan amal, sikap kepribadian yang standar dan sikap dalam bermadzhab (cara beramal) melalui standarnya yang unik yang tidak bersandar pada aliran kanan atau ke kiri. Ia adalah masyarakat fikri yang ilmiyah serta memiliki prinsip yang kuat sehingga berbeda dengan masyarakat mana pun yang selainnya.

 

Masyarakat Islam tegak di atas akhlaq dan kemuliaan sebagai wujud dari keyakinan mereka terhadap agama dan Syari'atnya. Akhlaq adalah bagian dari agama yang berwujud perintah dan larangan yang keluar dari Allah SWT la adalah masyarakat yang bermoral tinggi.

 

Demikian juga masyarakat Islam tegak di atas tata kehidupan dan tradisi yang Islami sehingga menjadikan mereka memiliki ciri khas tersendiri. Mereka tidak taqlid kepada orang lain dari kalangan ummat-ummat terdahulu maupun yang datang kemudian kecuali atas dasar pijakan ilmu yang jelas.

 

Sebagaimana masyarakat Islam juga tegak di atas seluruh nilai dan ajaran diatas, mereka juga tegak di atas nilai-nilai kemanusiaan yang mulia yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh ummat.

 

Yang saya maksud dengan "Al Qiyam Al Insaniyah" (nilai-nilai kemanusiaan) adalah nilai- nilai yang tegak berdasarkan penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kemuliaan manusia. Baik kebebasan dan kemerdekaannya, nama baik dan eksistensinya, kehormatannya dan hak- haknya, dan juga memelihara darahnya, hartanya serta kerabat keturunannya dalam kedudukan mereka sebagai individu anggota masyarakat.

 

Pembahasan kita dalam hal ini akan difokuskan pada beberapa bagian dari nilai-nilai kemanusiaan, yaitu: ilmu, amal, kebebasan, musyawarah, keadilan, dan persaudaraan.

 

ILMU

 

Ilmu merupakan salah satu nilai yang luhur yang dibawa oleh Islam dan yang tegak di atasnya kehidupan manusia baik secara moril maupun materiil, duniawi maupun ukhrawi. Islam menjadikannya sebagai jalan menuju keimanan dan yang memotivasi amal. Sekaligus karunia (ilmu) ini pula yang membuat manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Karena dengan ilmu tersebut, Adam sebagai bapak manusia diberi kelebihan atas Malaikat (dan makhluk yang lain) yang sempat penasaran sehingga mempermasalahkan pemberian amanah ini. Dengan alasan bahwa mereka (para Malaikat) lebih aktif beribadah kepada Allah daripada manusia yang suka membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Maka Allah menjawab:

 

"Sesungguhya Aku mengerti apa-apa yang kamu tidak mengelahui(nya) dan Allah mengajarkan Adam beberapa nama seluruhnya." (Al Baqarah: 30-33)

 

Sesungguhnya Islam adalah agama ilmu, dan Al Qur'an adalah kitab ilmu. Ayat-ayat Al Qur'an yang pertama kali turun kepada Rasulullah SAW adalah "Iqra' bismi Rabbikal ladzii khalaq." Membaca adalah kunci untuk memahami ilmu, dan Al Qur'an merupakan "Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang berilmu." (Fushshilat: 3)

 

Al Qur'an telah menjadikan ilmu sebagai asas dan standar kemuliaan antara manusia. Allah SWT berfirman:

 

"Apakah sama orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu." (Az Zumar: 9)

 

Sebagaimana juga AL Qur'an telah menjadikan ahlul ilmi sebagai syuhada' (orang-orang yang bersaksi) terhadap keesaan Allah bersama para Malaikat, Allah SWT menjelaskan dalam firmanNya:

 

"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha BiJaksana." (Ali 'Imran: 18)

 

Demikian juga ahlul ilmi adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah SWT dan bertaqwa kepada-Nya, Allah berfirman:

 

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (Fathir: 28)

 

Maka tidak ada yang takut kepada Allah kecuali orang-orang yang berma'rifat kepada-Nya. Dan Allah SWT itu bisa dikenal melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya. Oleh karena itu secara umum masalah ini dimasukkan dalam pembahasan tenrang alam semesta, sebagaimana firman Allah,

 

"Tidakkah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka rnacam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara rnanusia, binatang-binatang melata dan binatang- binatang ternak ada yang berrnacam-rnacam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Faathir: 27-28)

 

Al Qur'an merupakan kitab paling agung yang merangsang pemikiran yang sikap ilmiyah serta menolak segala bentuk khurafat. Tidak dibenarkan adanya sikap taqlid buta terhadap nenek moyang, pemimpin atau pembesar, apalagi kepada orang-orang awam dan bodoh. Dia juga menolak dominasi prasangka dan hawa nafsu dalam konteks pembahasan tentang aqidah dan kebenaran syari'at Allah. Tidak pula menerima suatu pengakuan (teori) kecuali berdasarkan dalil yang pasti dan penyaksian (hipotesa) yang meyakinkan dalam hal-hal yang bisa diindra, dari logika yang benar dalam masalah pemikiran dan penukilan yang terpercaya dalam masalah periwayatan.

 

Al Qur'an memandang penelitian itu sesuatu yang wajib, berfikir itu suatu ibadah, mencari kebenaran itu suatu qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), mempergunakan alat-alat pengetahuan itu sebagai pernyataan syukur terhadap nikmat Allah dan mengabaikan hal itu semua sebagai jalan menuju neraka Jahannam.

 

Bacalah contoh dari ayat-ayat berikut ini

 

"Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturun Allah," mereka menjawab, "Tidak," tetapi kami hanya rnengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Al Baqarah: 170)

"Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (Al Ahzab: 67-68)

"Setiap suatu ummat rnasuk (ke dalam Neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu, "Ya Tuhan kami, mereka telah memyesatkan kami, sebab itu datanglah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka." Allah berfirman, "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahuinya." (Al A'raaf: 38)

"Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengiti persangkaan sedang sesungguhya persangkaan itu tiada berguna sedikit pun terhadap kebenaran." (An Najm: 28)

"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa-apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada rnereka dari Tuhan mereka." (An-Najm: 23)

"Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Shaad: 26)

"Dan Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (An-Nahl: 78)

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesunggguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya." (Al Isra': 36)

"Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar." (Al An'am: 143)

"Katakanlah, "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta." (Al An'am: 148)

"Katakanlah, "Tunjukkanlah (kepadaku) bukti kebenaranmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar." (Al Baqarah: 111)

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi segala sesuatu yang diciptakan Allah,..." (Al A'raaf: 185)

"Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman." (Yunus: 101)

"Katakanlah, "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad), tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu." (Saba' : 46)

 

Al Qur'an dalam banyak ayatnya menggunakan kata-kata "Ulil Albaab" "Ulin Nuha" dan "Ulil Abshar." Yang dimaksud dengan istilah "Bashar" di sini adalah akal, bukan mata yang ada di kepala.

 

Al Qur'an juga menjelaskan bahwa di dalam kitabnya yang tertulis (Qauliyah) yaitu Al Qur an dan kitabnya yang terlihat (kauniyah) yaitu alam semesta terdapat ayat-ayat (bukti kekuasaan) Allah untuk kaum yang berfikir, kaum yang berakal dan kaum yang berilmu.

 

Banyak sekali bagian akhir ayat yang mengingatkan akal yang sedang lalai, seperti: "Afalaa ta'qiluun," "Afalaa tatafakkaruun."

 

Para ulama bersepakat bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah, ada yang fardhu 'ain dan ada yang fardhu kifayah. Fardhu 'ain adalah ilmu yang menjadi keharusan untuk memahami agamanya, baik aqidah, ibadah atau perilaku (akhlaq) dan juga amal duniawi, sehingga cukup untuk dirinya dan keluarganya dan ikut andil dalam mencukupi umatnya. Adapun yang fardhu kifayah adalah ilmu yang mendukung tegaknya agama dan dunia bagi jamaah Muslimah (kaum Muslimin) yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu dunia.

 

Oleh karena itu para ulama menegaskan bahwa mempelajari ilmu kedokteran, tehnik dan yang lainnya dari cabang-cabang ilmu pengetahuan, demikian juga mempelajari ilmu ekonomi yang dapat menopang kehidupan manusia itu merupakan fardhu kifayah bagi ummat. Apabila dari ummat ttu ada sejumlah yang cukup dan ulama, tenaga ahli dan teknisi dalam setiap bidang, di mana telah mencukupi kebutuhan dan mengisi tempat-tempat yang kosong maka ummat itu telah melaksanakan kewajibannya, maka gugurlah dosanya. Tetapi apabila mereka tidak memenuhi satu bidang dari bidang duniawi dan masih bergantung kepada ummat yang lainnya, baik secara keseluruhan atau sebagian atau sebagian maka ummat seluruhnya berdosa, terutama para pemimpinnya.

 

Atas dasar nilai-nilai inilah maka peradaban Islam bisa tegak menjulang tinggi, kokoh pondasinya dan berpadu antara ilmu pengetahuan dan keimanan.

 

Tidak dikenal dalam peradaban ini (peradaban Islam) apa yang pernah terjadi di kalangan ummat-ummat yang lainnya berupa pertentangan antara sains (ilmu pengetahuan) dan agama. atau antara hikmah dan syari'ah, atau antara akal dan wahyu. Bahkan banyak dari ulama di bidang agama mereka sekaligus dokter, ahli matematik dan ahli kimia, ahli falak dan lain-lain, seperti Ibnu Rusyd, Fakhrur Razi, Al Khawarizmi, Ibnun Nafis, Ibnu Khaldun dan yang lainnya.

 

Imam Muhammad Abduh menjelaskan bahwa dasar-dasar Islam itu sesuai dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan, beliau menegaskan dengan dalil-dalil nash agama dan sejarah kaum Muslimin, sebagaimana dimuat dalam bukunya, "Al Islam wan Nashraniyah ma'al 'ilmi wal Madaniyah."

 

AMAL

 

Amal adalah buah ilmu, karena itu dikatakan dalam pepatah, "Ilmu tanpa amal sama dengan pohon tanpa buah atau awan tanpa hujan."

 

Amal juga merupakan buah keimanan yang benar, karena tidak mungkin ada keimanan tanpa amal. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang dimasukkannya amal sebagai bagian dan hakikat iman atau syarat sahnya iman atau buah dari iman, adalah merupakan sesuatu yang tidak diragukan bahwa keimanan yang benar (hakiki) itu harus membuahkan amal. Oleh karena Al Qur'an mengumpulkan antara iman dan amal dalam berpuluh-puluh dan ayatnya, karena itu ulama salaf berkata, "Iman adalah sesuatu yang meresap dalam hati dan dibuktikan dengan amal."

 

Amal yang dituntut di sini adalah mencurahkan segala upaya yang positif untuk merealisasikan tujuan-tujuan syar'i terhadap manusia di atas bumi ini.

 

Tujuan-tujuan itu, sebagaimana diisyaratkan oleh Al Qur'an dikumpulkan dalam tiga hal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Raghib Al Ashfahani dalam kitabnya, "Adz- Dzarii'ah ilaa Makaarimisy-Syarii'ah," yaitu sebagai berikut:

 

1. Ibadah.

Sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzaariyaat: 56)

 

2. Khilafah.

Sebagaimana firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Aku akan menciptakan di bumi seseorang khalifah (Al Baqarah: 30)

 

3. 'Imaarah (memakmurkan bumi). 

Sebagaimana firman Allah SWT

"Dialah (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu pemakmurnya..." (Hud: 61)

 

Tiga hal tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. 'Imaarah (memakmurkan) ketika dilaksanakan dengan niat ikhlas, maka akan bernilai ibadah sekaligus melaksanakan tugas khilafah. Sedangkan ibadah dalam arti yang luas meliputi khilafah dan 'imaarah, dan tidak mungkin akan terwujud khilafah kecuali dengan adanya ibadah dan 'imaarah.

 

Amal yang diinginkan oleh Islam adalah "amal shalihat." Kata shalihat dalam Al Qur'an memiliki makna yang luas, meliputi segala sesuatu yang membawa maslahat kepada agama dan dunia, membawa maslahat untuk individu dan masyarakat. Ia juga meliputi ibadah dan muamalah, atau aktifitas hidup dunia dan akhirat sebagaimana diajarkan oleh ulama kita rahimahumullah.

 

Al Qur'an menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi, menghidupkan dan mematikan dan telah menjadikan apa yang ada di atas bumi ini sebagai hiasan. Itu semua untuk suatu tujuan yang jelas sebagaimana telah ditentukan oleh Allah dalam firman-Nya:

 

"Supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya." (Al Mulk: 2)

"Supaya Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling banyak amalnya." (Al Kahfi: 7)

 

Artinya bahwa Allah SWT tidak menginginkan amal yang sembarang amal, tidak pula sekedar amal yang baik, tetapi menginginkan dari mereka amal yang paling baik.

 

Maka perlombaan di antara mereka bukan antara amal yang buruk dan baik, tetapi antara amal yang baik dan yang paling baik.

 

Tidak heran jika kita dapatkan dari ungkapan ayat-ayat Al Qur'an yang menyenangkan, yaitu kata-kata "Allatii hiya ahsan." Seperti misalnya, bahwa hendaknya seorang Muslim berdebat dengan cara yang lebih balk (Annahl: 125), menolak dengan cara yang lebih baik (Al Mukminun: 96), dan menginvestasikan harta anak yatim dengan cara yang paling baik (Al Isra': 34), serta mengikuti sebaik-baik apa yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, "Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu ..." (Az-Zumar: 55).

 

Al Qur'an selamanya mengajak kepada sesuatu yang paling baik, dan bukan sekedar baik.

 

Kerja perekonomian dengan segala cabang dan ragamnya adalah termasuk ibadah yang paling utama apabila disertai dengan niat yang benar dan dilakukan dengan itqan (sebaik- baiknya) serta terikat oleh ketentuan hukum Allah. Terutama kerja yang produktif dalam pertanian, industri, besi dan pertambangan.

 

Bangsa Arab telah turun-temurun sejak dahulu meremehkan kerja ketrampilan tangan, dan mereka lebih mengutamakan untuk pergi (berkunjung) ke Amir atau kepala suku untuk minta bantuan daripada bekerja untuk mencari ma'isyah (penghidupan). Maka Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sesungguhnya bekerja apa pun untuk mencari ma'isyah, meskipun sedikit pemasukannya dan banyak kerjanya, itu lebih baik daripada meminta-minta.

 

Rasulullah SAW bersabda:

 

"Sungguh jika ada di antara kamu yang mengikatkan tali di atas punggungnya, kemudian datang dengan membawa sebongkok kayu bakar, lalu menjualnya, sehingga Allah menutupi wajahnnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, apakah mereka memberi atau menolaknya." (HR. Bukhari)

 

Rasulullah SAW juga mendorong ummatnya untuk berwiraswasta dan bekerja dengan tangannya sendiri. Beliau bersabda:

 

"Tdaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari pada makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah (Dawud) makan dari hasil pekerjaan tangannya." (HR. Bukhari)

 

Rasulullah SAW bersabda:

 

"Tidak ada seorang Muslim yang bercocok tanam, kemudian ada burung, manusia atau binatang yang memakannya, kecuali itu menjadi sedekah baginya." (HR. Bukhari)

 

Di antara taujih Nabi SAW yang paling menarik dalam menjelaskan nilai beramal (bekerja) adalah hadits yang berbunyi:

 

"Apabila kiamat terjadi, sementara di tanganmu ada bibit kurma, maka jika mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, maka tanamlah." (HR. Ahmad)

 

Kenapa dia harus menanamnya, sementara kiamat sudah hampir terjadi. Bukankah nantinya tidak akan ada yang memanfaatkannya, baik yang menanam ataupun orang-orang setelahnya.

Ini membuktikan bahwasanya bekerja itu pada dasarnya sangat ditekankan, dan sesungguhnya merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk tetap bekerja dan senantiasa produktif, sampai habis tetes terakhir minyak dalam pelita kehidupan ini.

 

Sesungguhnya bekerja itu merupakan ibadah dan taqarrub kepada Allah, baik buahnya bisa dimakan manusia atau tidak. Seandainya kaum Muslimin memahami ini, niscaya Allah akan membukakan berkah dari langit dan bumi untuk mereka, dan mereka bisa memakan hasilnya dari atas dan dari bawah. Dan mereka akan menjadi masyarakat yang paling produktif dan paling kaya di antara masyarakat dunia yang lain. Mereka tidak akan hidup bergantung kepada ummat yang lainnya, mereka tidak akan kekurangan makanan pokok sehari-hari, karena negerinya negeri agraris, dan mereka juga tidak membutuhkan senjata yang mereka perlukan untuk memelihara kehormatan, tanah air dan 'izzah mereka. Cukuplah seandainya ummat lain itu tidak di suplai dari ummat Islam mereka akan mati kelaparan dan mereka akan mengalami kekalahan mental karena hinanya.

 

KEBEBASAN

 

Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah "kebebasan," yang dengannya dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, paksaan, kediktatoran dan penjajahan. Selain itu juga bisa menjadikan manusia sebagai pemimpin dalam kehidupan ini, tetapi pada saat yang sama ia juga sebagai hamba Allah.

 

Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir, kebebasan berpolitik, kebebasan madaniyah (bertempat tinggal) dan segala bentuk kebebasan yang hakiki dalam kebenaran .

 

Yang kita maksud dengan kebebasan agama adalah kebebasan dalam beraqidah (berkeyakinan) dan kebebasan melakukan ibadah. Maka tidak diterima keislaman seseorang di saat ia dipaksa untuk meninggalkan agama yang ia cintai dan ia peluk, atau dipaksa untuk memeluk agama yang tidak ia sukai."ash-nash Al Qur'an secara terang-terangan melarang tindakan seperti itu, sebagaimana tersebut dalam ayat Makkiyah:

 

"Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?" (Yunus: 99)

 

Atau sebagaimana disebutkan di dalam ayat-ayat Madaniyah sebagai berikut:

 

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat." (Al Baqarah: 256)

 

Siapa saja dari orang-orang di luar Islam yang berada dalam tanggung jawab kaum Muslimin maka dia telah mendapat hak seperti kaum Muslimin secara umum, dengan beberapa pengecualian yang ditentukan oleh agama. Maka tidak wajib baginya segala sesuatu yang diwajibkan kepada kaum Muslimin, dan tidak terlarang baginya sesuatu yang diharamkan kepada kaum Muslimin. Dengan beberapa pembatasan tertentu sesuai syari'at Islam.

 

Ada sebagian manusia yang menulis pada zaman ini, ia mengatakan bahwa sesungguhnya warisan Khasanah Arab dan Islam tidak mengenal adanya kebebasan dengan pemahaman modern sebagaimana yang kita dapatkan dari barat, tepatnya setelah revolusi Perancis. Akan tetapi Islam hanya mengenal makna kemerdekaan (kebebasan) itu dalam arti sekedar tidak memperbudak saja, hingga orang yang merdeka adalah orang yang bukan budak. Dan kemerdekaan itu adalah kebalikan dari perbudakan dan penghambaan.

 

Maka sangat memprihatinkan ketika kita mempercayai adanya kebebasan atau menyerukan kebebasan dengan mengacu pada Perancis, padahal sebelumnya kita tidak mengenalnya! Saya sungguh heran ketika mereka mengatakan seperti itu padahal mereka mengaku atau diakui sebagai intelektual atau ilmuwan.

 

Karena melihat fenomena seperti ini maka wajib bagi kita untuk menjelaskan beberapa hakikat kebenaran agar menjadi peringatan bagi semua pihak, antara lain sebagai berikut:

 

Pertama: kita tidak mengingkari bahwa asal mula dan hakikat secara bahasa dalam memberikan arti kata kemerdekaan adalah lawan dari perbudakan, yang berarti menguasai dan mendominasi terhadap seseorang. Sementara kemerdekaan berarti membebaskan dari kekuasaan tersebut dan melepaskan perbudakannya. Tetapi ini bukan arti satu-satunya dalam bahasa.

 

Kemerdekaan atau kebebasan memiliki arti yang luas yang juga berarti membebaskan manusia dari segala cengkeraman dan kekuasaan tidak benar, dari penguasa yang zhalim atau kekuatan yang diktator.

 

Makna ini sebagaimana dikatakan oleh Umar Bin Khattab kepada gubernur Mesir 'Amr bin 'Ash, yang kemudian kata-kata itu sempat terlupakan dalam timbunan sejarah. Umar berkata:

 

"Bilakah engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka!?"

 

Kata-kata tersebut sekarang telah menjadi undang-undang dan deklarasi hak-hak asasi manusia. Ali bin Abi Thalib juga pernah berpesan kepada puteranya:

 

"Janganlah kamu menjadi budak orang lain, karena Allah telah menjadikan kamu merdeka."

 

Para penyair banyak mempergunakan kata-kata "kemerdekaan" dengan arti manusia terhormat, seperti kata seorang penyair sebagai berikut:

 

"Seorang hamba sahaya dipukul dengan tongkat, sedangkan orang yang mulia cukup dengan celaan."

 

Dalam pepatah dikatakan:

 

"Sabar adalah pahit, dan tidak ada yang sanggup menegaknya kecuali orang yang mulia."

 

Tidak adanya kata-kata atau istilah tertentu yang menunjukkan satu pengertian atau kandungan makna yang kita ketahui sekarang itu bukan berarti tidak adanya arti atau kandungan tersebut. Karena kadang-kadang arti itu kita dapatkan pada kata-kata atau istilah yang lain, kadang-kadang juga banyak digunakan dalam kata-kata atau istilah-istilah yang lainnya.

 

Misalnya, seorang peneliti tidak mendapatkan dalam khasanah kata kalimat "Al Musaawaat" (emansipasi) digunakan sebagaimana kita pergunakan sekarang ini.

 

Tetapi dengan pembahasan yang sederhana ia akan mendapatkan maknanya banyak tersebar di dalam ayat-ayat Al Qur'an Al Karim dan hadits-hadits Rasulullah SAW dan dalam berbagai ibadah dalam Islam. Seperti dalam shalat, puasa, haji dan umrah, dan di dalam hukum-hukum Islam dan sanksi-sanksinya yang tidak membedakan antara orang bangsawan atau orang rendahan, serta di dalam prinsip-prinsip Islam yang menghilangkan perbedaan antar jenis kelamin, warna kulit dan status sosial ekonomi, dan menjadikan manusia sama rata seperti samanya gigi sisir, kecuali oleh taqwanya.

 

Contoh dari hal tersebut di atas adalah kata-kata "Al Hurriyah" yang kadang-kadang diartikan dengan "karamah" (kemuliaan), seperti dalam firman Allah SWT:

 

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam." (Al Isra': 70) 

 

Atau terkadang diartikan dengan 'izzah (kekuatan), seperti dalam firman Allah SWT:

 

"Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang- orang mukmin." (Al Munafiqun: 7)

 

Atau dengan arti diharamkannya memaksa dan menghardik (membentak), seperti dalam firman Allah SWT:

 

"Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang- wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya." (Adh-Dhuha: 9-10)

 

Atau dengan arti menteror dan menakut-nakuti, seperti sabda Rasul SAW:

 

"Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti Muslim lainnya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

 

Atau dengan arti diharamkannya memukul dan menyiksa, seperti sabda Rasulullah SAW:

 

"Barangsiapa mencambuk punggung seorang Muslim dengan tanpa kebenaran maka ia akan bertemu dengan Allah, sedang Allah murka kepadanya." (HR. Thabrani)

 

Atau dengan selain itu semuanya.

 

Lebih dari itu Islam menyeru kepada kita untuk berperang dan mengumumkan peperangan dalam rangka untuk membebaskan orang-orang yang tertindas di bumi ini dari cengkeraman para penindas, penjajah dan orang-orang yang diktator. Allah SWT berfirman:

 

"Mengapa kamu tidak rnau berperang di jalan Allah dan (membela) orang- orang yang lemah baik dari laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau." (An-Nisa': 75)

 

Apabila manusia tidak mampu untuk memberantas tekanan dan penindasan, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bisa hijrah dari kampung halaman mereka, dan tidak alasan atas diri mereka untuk menerima kehinaan dan tetap di bawah cengkeraman kezhaliman dan penindasan. Al Qur'an telah memberi ancaman yang keras bagi orang yang rela untuk hidup terhina dan menyerah, di mana ia tidak termasuk orang yang memerangi, dan tidak pula termasuk orang yang berhijrah bersama Muhajirin. Allah SWT berfirman:

 

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)." Para Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan õidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaaf lagi Maha Pengampun." (An-Nisa': 97-99)

 

Sesungguhnya orang yang memberikan haknya kepada Islam berupa pemahaman dan merenungkannya akan mendapatkan bahwa sesungguhnva inti dari semuanya adalah tauhid. Tauhid adalah "ruh eksistensi Islam," tauhid merupakan asas pemikiran dan asas fiIsafat yang merealisasikan prinsip kebebasan, persaudaraan dan persamaan secara keseluruhan.

 

Kalimat tauhid adalah kalimat "Laa ilaaha illallah" yang berarti menggugurkan orang-orang yang mengaku tuhan dan yang diktator di bumi dan menurunkan mereka dari singgasana rubbubiyah yang palsu dan kesombongan (merasa tinggi) di atas makhluk sesamanya menuju persamaan hak antar manusia seluruhnya dalam beribadah kepada Allah.

 

Oleh karena itu surat-surat Nabi SAW dikirimkan kepada kaisar dan para pemimpin kaum Nasrani serta raja-raja mereka di Mesir, Habasyah (Ethiopia) dan lainnya ditutup dengan seruan firman Allah SWT:

 

Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (letetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lainnya sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali Imran: 64)

 

Sesungguhnya sesuatu yang paling besar perannya dalam menghancurkan kebebasan manusia dan yang datang untuk merusak bangunannya adalah penghambaan antar manusia satu dengan yang lainnya dari selain Allah. Kita dituntut agar dapat mengembalikan kemerdekaan dan kehormatan mereka, oleh karenanya kita harus menghancurkan tuhan- tuhan palsu yang mereka yakini, terutama di dalam jiwa orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai tuhan, padahal mereka adalah makhluk sebagaimana makhluk yang lain. Yang tidak bisa mendatangkan bahaya atau manfaat, yang tidak bisa mematikan dan menghidupkan serta tidak bisa membangkitkan.

 

Orang-orang musyrik Arab memahami akan hakikat tersebut sejak Rasulullah SAW pertama kali mendakwahkan tauhid dan syahadah bahwa tidak ada llah selain Allah. Mereka mengetahui bahwa di balik kalimat syahadah itu terdapat perombakan dalam kehidupan sosial masyarakat, dan sesungguhnya kalimat itu menginginkan kelahiran baru bagi anak manusia, terutama orang-orang fakir dan kaum yang tertindas. Maka tidak heran jika orang- orang musyrik itu berdiri di hadapan kalimat ini dan memobilisasi segala kekuatan mereka untuk memerangi setiap orang yang beriman terhadap kalimat ini dan memenuhi seruannya.

 

SYURA (MUSYAWARAH)

 

Di antara nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang dibawa oleh Islam adalah syura (musyawarah). Makna syura adalah bahwa hendaknya seseorang tidak menyendiri pendapatnya dan dalam persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan fikiran dengan orang lain. Karena pendapat dua orang atau lebih dalam jamaah itu dianggap lebih mendekati kebenaran daripada pendapat seorang saja.

 

Sebagaimana musyawarah dalam suatu urusan itu dapat membuka pintu kesulitan dan memberi kesempatan untuk melihat urusan itu dari berbagai sudut, sesuai dengan perbedaan perhatian tiap individu dan perbedaan tingkat pemikiran serta tingkat pengetahuan mereka. Dengan demikian maka keputusan yang diperoleh adalah berdasarkan persepsi (tashawwur) yang syamil (sempurna) dan berdasarkan studi yang menyeluruh (komprehensi).

 

Dengan adanya aktifitas bermusyawarah, manusia akan mempunyai nilai tambah, selain dan yang bersumber dari pikirannya sendiri. Yakni pemikiran orang lain. Selain itu ilmunya juga bertambah oleh ilmu orang lain. Seorang penyair mengatakan:

 

"Apabila suatu ide itu telah sampai pada musyawarah, maka minta tolonglah dengan ide orang yang memberi nasihat dengan mantab, dan jangan kamu mengira bahwa musyawarah itu akan merugikan kamu, karena para pendahulu itu menjadi penguat generasi masa kini."

 

Islam telah menyuruh kita untuk bermusyawarah dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

 

SYURA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU

 

Dalam kehidupan individu Islam mendidik seorang Muslim apabila hendak melakukan sesuatu urusan yang penting yang di dalamnya masih terdapat banyak perbedaan pandangan dan pendapat serta kecenderungan-kecenderungan, sehingga membuat ia ragu antara melaksanakan dan tidak, hendaknya ia menempuh dua jalan dalam rangka untuk memperoleh keputusan yang benar.

 

Dua jalan itu adalah, yang pertama, bersifat Rabbani; yaitu istikharah kepada Allah SWT, dengan melakukan shalat dua rakaat, setelah itu berdoa yang intinya adalah meminta pilihan kepada Allah SWT kebaikan dunia dan akhirat, untuk agama dan dunianya.

 

Yang kedua bersifat Insani, yaitu dengan musyawarah dengan orang yang dapat dipercaya pendapat, pengalaman, nasihat dan keikhlasannya. Dengan demikian ia menggabung antara istikharah kepada Allah dan bermusyawarah dengan manusia.

 

Kaum Muslimin masih hafal dengan warisannya, yaitu kata-kata Umar:

 

"Tidak rugi orang yang beristikharah dan tidak merugi orang yang bermusyawarah."

 

Para sahabat Radhiyallahu 'anhum dahulu sering bermusyawarah dengan Nabi SAW dalam banyak masalah yang khusus, maka Nabi SAW pun memberikan pendapatnya yang benar dan baik. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Fatimah binti Qais pernah bermusyawarah kepada beliau tentang masalah pernikahannya, karena ada dua laki-laki yang mencintainya yaitu Mu'awiyah dan Abu Jahm. Maka Nabi SAW bersabda, "Adapun Mu'awiyah, dia adalah seorang yang pelit, tidak mempunyai harta, sedangkan Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari lehernya (sering memukul wanita)," kemudian Nabi SAW menawarkan untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.

 

SYURA DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGA

 

Dalam kehidupan berkeluarga, Islam mengajak kita untuk membina kehidupan keluarga atas dasar musyawarah dan saling ridha. Demikian itu sejak awal pembentukan terbinanya rumah tangga.

 

Oleh karena itu nash-nash syari'at menolak adanya paksaan seorang ayah untuk menikahkan putrinya tanpa meminta pendapatnya, walaupun putrinya itu masih gadis. Sebaliknya Islam mewajibkan sebagaimana disebutkan dalam Taujih Nabawi agar anak wanita gadis itu dimintai izin, meskipun ia merasa malu, maka izinnya adalah diamnya, karena diam ketika ditawari sesuatu itu menunjukkan ridha dan menerima.

 

Nabi SAW pernah menolak sebagian akad nikah yang telah terjadi, di samping karena bukan keinginan anak puteri, hukum syari'at tidak memperbolehkan kepada siapa pun untuk mempergunakan harta miliknya tanpa seizin dia. Apalagi masalah pernikahan yang itu menyangkut masa depan kehidupannya.

 

Bahkan Sunnah mendorong para wali wanita untuk bermusyawarah dengan ibu anak wanita tersebut dalam masalah pernikahannya, yakni seorang suami bermusyawarah dengan istrinya ketika ingin menikahkan anak gadisnya. Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

 

"Bermusyawarahlah dengan kaum wanita (isteri-isterimu) dalam urusan anak- anaknya." (HR. Ahmad)

 

Demikian itu karena ibu lebih tahu terhadap anak perempuannya daripada ayahnya, karena seorang ibu dan anaknya itu adalah sama-sama wanita sehingga lebih faham keinginan dan perasaannya, sementara anak wanita itu sering berterus terang kepada ibunya untuk mengungkapkan rahasianya, yang itu tidak diperoleh dari ayahnya.

 

Setelah terbinanya rumah tangga maka wajib bagi suami isteri untuk saling memahami dan saling bermusyawarah dalam hal yang membawa kepentingan bersama, demikian juga untuk kepentingan anak-anaknya di masa depan.

 

Di sini kita tidak boleh meremeh kan pendapat wanita, sebagaimana masyarakat pada umumnya. Karena banyak wanita yang pendapatnya lebih baik dan membawa berkah untuk keluarga dan kaumnya (masyarakatnya).

 

Alangkah cemerlangnya pendapat Khadijah dan sikapnya pada awal turunnya wahyu, dan betapa peran Khadijah dalam memperkuat mentalitas Nabi SAW sampai beliau membawa pergi Rasulullah SAW kepada anak pamannya (sepupunya) yaitu Waraqah bin Naufal, semuanya demi menenangkan dan menggembirakan Nabi SAW Demikian juga pendapat Ummu Salamah ketika terjadi perdamaian Hudaibiyah (akan ada pembahasan tersendiri tentang masalah tersebut).

 

Di antara ayat-ayat Al Qur'an yang menarik adalah menyebutkan pentingnya bermusyawarah dan saling ridha antara suami isteri, yaitu yang berkaitan dengan menyusui anak dan menyapihnya, meskipun setelah cerai di antara keduanya. Allah SWT berfirman:

 

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknnya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan persusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf (baik). Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanrya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduannya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya." (Al Baqarah: 233)

 

SYURA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA

 

Adapun syura dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka Al Qur'an memasukkannya sebagai unsur terpenting dalam berjamaah (bermasyarakat). Demikian itu disebutkan dalam Al Qur'an Makky (yang diturunkan di Mekkah) yang telah membangun kaidah-kaidah asasi dan meletakkan dasar-dasar kehidupan Islam. Maka syura itu juga dimasukkan dalam sifat-sifat orang yang beriman, disertai dengan sifat-sifat lainnya yang asasi, di mana keislaman dan keimanan seseorang tidak sempurna kecuali dengan sifat-sifat itu. Yaitu, istijabah (menyambut) seruan Allah, mendirikan shalat, dan menginfakkan apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini disebutkan dalam surat yang membawa nama "As- Syura." Allah SWT berfirman:

 

"Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan apa yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhannya, mereka bertawakkal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi mnaf Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." (Asy Syura: 36-38)

 

Yang dimaksud dengan firman Allah "Wa Amruhum," di sini adalah urusan mereka yang bersifat umum, sebagai kepentingan bersama. Itulah yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk bermusyawarah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran yang turun di Madinah:

 

"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." (Ali Imran: 159)

 

Perintah dalam ayat ini turun serelah perang Uhud, di mana Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya, tetapi Rasulullah mengikuti pendapat mayoritas sahabat. Dan hasilnya, adalah kekalahan yang menimpa ummat Islam sehingga gugur tujuh puluh syuhada' dari para sahabat pilihan, termasuk di antaranya Hamzah, Mush'ab, Sa'ad bin Rabbi dan lain-lain.

 

Meskipun demikian Allah tetap memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bermusyawarah dengan mereka, artinya, kita harus terus bermusyawarah, karena di dalamnya ada kebaikan dan berkah, meskipun sesekali hasilnya tidak menyenangkan (tidak menggembirakan), karena yang lebih penting adalah akibat (akhir)nya.

 

Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya, beliau pernah bermusyawarah dengan mereka pada perang Badar menjelang dimulainya peperangan, di tengah-tengahnya perang serta setelahnya. Beliau tidak memasuki medan perang kecuali setelah merasa tenang dengan keinginan dan aspirasi para sahabatnya.

 

Rasulullah SAW juga pernah musyawarah dengan mereka dalam perang Uhud, sehingga beliau mengikuti pendapat mayoritas yang menginkan keluar dari Madinah untuk menemui musuh daripada tetap tinggal di dalam kota Madinah.

 

Rasulullah SAW juga pernah bermusyawarah dengan mereka ketika perang Khandaq, dan beliau sempat berkeinginan untuk berdamai dengan suku Ghathafan dengan memberikan sebagian dari hasil kurma Madinah untuk membatalkan perjanjian mereka dengan Quraisy. Tetapi wakil dari orang-orang Anshar menolak yang demikian itu, maka Nabi SAW pun mengikuti pendapat mereka karena dipandang lebih baik.

 

Ketika peristiwa "Hudaibiyah" Rasulullah SAW bermusyawarah dengan Ummu Salamah untuk melarang para sahabatnya dari tahallul ihram mereka setelah berdamai, padahal para sahabat telah serius berniat untuk berumrah. Maka Ummu Salamah mengusulkan agar Rasulullah keluar di hadapan mereka dan bertahallul di hadapan mereka tanpa berbicara. Dan benar, ketika para shahabat melihat Rasulullah berbuat demikian mereka segera melakukan hal serupa secara serentak.

 

Sebagaimana Islam juga memerintahkan seorang hakim (penguasa) untuk bermusyawarah di satu sisi, dan ia juga memerintahkan ummat untuk memberikan nasihat kepadanya di sisi lain. Seperti diterangkan dalam hadits shahih:

 

"Agama adalah Nasihat .., untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para imam Muslimin dan rakyatnya (kaum Muslimin pada umumnya)." (HR. Muslim)

 

Kewajiban beramar ma'ruf dan nahi munkar adalah kewajiban yang bersifat umum, mencakup para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan. Demikian juga kewajiban memberikan wasiat akan yang benar, wasiat untuk berlaku sabar, di mana tidak ada keselamatan bagi manusia dari kerugian dunia dan akhirat kecuali dengan melaksanakan semua itu. Maka tidak ada di kalangan kaum Muslimin seseorang yang lebih tua kecuali dia harus menerima wasiat dan nasihat, diperintah dan dilarang, dan tidak ada di kalangan ummat Islam yang lebih muda kecuali harus menerima wasiat dan nasihat, diperintah dan dicegah. Tidak jarang Rasulullah SAW mendapati pendapat para shahabat yang berbeda dengan pendapat beliau, maka Nabi SAW mengambil pendapat yang ditawarkan tersebut dan meninggalkan pendapatnya sendiri.

 

Rasulullah SAW pernah mengutus Abu Hurairah untuk memberikan kegembiraan kepada masyarakat bahwa barang siapa yang mengatakan "Laa ilaaha illallah" maka ia akan masuk syurga. Maka Umar khawatir kalau masyarakat memahaminya dengan pemahaman yang salah dan memisahkan antara kata-katanya dengan pelaksanaannya. Oleh karena itu Umar sempat menyuruh Abu Hurairah berhenti sejenak dan menjelaskan kepada Rasulullah SAW akan kekhawatirannya kalau-kalau manusia itu berpegang pada ucapannya saja sambil mengatakan, "Biarkan mereka beramal," maka Rasulullah SAW bersabda, "Biarkan mereka beramal" (HR. Muslim)

 

Abu Bakar berkata dalam pidato kenegaraannya yang pertama setelah beliau diangkat sebagai khalifah, beliau menjelaskan tentang manhajnya dalam memimpin:

 

"Jika kamu melihat aku dalam kebenaran, maka bantulah aku, tetapi jika kama melihat aku dalam kebathilan maka luruskan aku, taatilah aku selama aku taat kepada Allah, dan jika aku bermaksiat kepada-Nya maka tidak ada lagi kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku."

 

Umar bin Khatthab RA berkata, "Wahai manusia, barangsiapa di antara kamu melihat aku dalam kesalahan maka luruskanlah aku." Kemudian ada seseorang yang berkata kepadanya, "Kalau kami melihat kamu berbuat kesalahan maka akan kami luruskan dengan pedang kami!" Umar berkata, "Alhamdulillah yang telah menjadikan rakyat Umar orang yang mau meluruskan Umar dengan ketajaman pedangnya."

 

Pada suatu hari ada seseorang yang berkata kepada Umar, "Bertaqwalah kamu wahai Umar!" maka ada sebagian orang di sisi Umar mengingkari perkataan itu, maka Umar berkata, "Biarkan dia, karena tidak ada kebaikan di tengah-tengah kamu jika kamu tidak mengatakannya (kalimat taqwa), dan tidak ada kebaikan di tengah-tengah kita apabila kita tidak mendengarkannya."

 

Bahkan Rasulullah SAW memperbolehkan menentang kepada Amir (pemimpin) yang dhalim dengan dua syarat:

 

Pertama: karena penyimpangan yang nyata dari manhaj Islam, baik dalam masalah aqidah atau ibadah, inilah yang diistilahkan dalam hadits Nabawi sebagai "Kufrun Bawwah." Nabi SAW pernah berwasiat kepada orang-orang yang berbaitat kepadanya yaitu dari para sahabat untuk bersabar terhadap amir mereka, meskipun amir itu mengutamakan sebagian pekerjaan duniawi, Nabi SAW bersabda:

"Kecuali apabila kamu melihat kekufuran yang bawwah (nyata) yang menurut kamu ada burhan (bukti) atau dalil dari Allah." (Muttafaqun 'alaih)

 

Kedua: Apabila kita memiliki kemampuan untuk menghilangkan kemungkaran, tanpa berakibat menimbulkan kemunkaran yang lebih besar daripadanya. Jika itu tidak mungkin, maka wajib menanggung kemungkaran yang lebih ringan karena takut terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Hal itu berdasarkan kaidah, "bolehnya memilih yang paling ringan di antara dua bahaya atau dua keburukan."

 

Ketika dikhawatirkan akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka perlawanan beralih dari memerangi dengan tangan kepada siasat dengan lesan dan pena, kemudian pengingkaran hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.

 

Ibnu Mas'ud meriwayatkan suatu hadits, dari Rasulullah SAW beliau bersabda:

 

"Tiada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah pada ummat sebelumku kecuali ada dari kalangan ummatnya "Hawariyyun" (para pendukung) dan para sahabat yang mengikuti Sunnahnya, dan berqudwah terhadap perilakunya, kemudian akan ada generasi setelahnya, yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka perbuat, dan melaksanakan sesuatu yang tidak diperintahkan, maka barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya maka ia mahmin, dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan lesannya maka ia mukmin, dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya rnaka ia mukmin, dan tidak ada setelah demikian itu dari keimanan sebiji sawi pun" (HR. Muslim)

 

Al Qur'an Al Karim mengisahkan kepada kita contoh yang baik tentang suatu hukum (keputusan) yang berdasarkan musyawarah, yaitu kisah Ratu Saba' (Bilqis), yang dikejutkan dengan surat Nabi Sulaiman AS yang dibawa oleh burung Hud-hud, lalu ratu itu mengumpulkan kaumnya dan berkata:

 

"Berkata dia (Bilqis), "Hai para pembesar !, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku). Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan. Dia berkata, "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membina, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu ." (An-Naml: 32-35)

 

Akhirnya perilaku syura yang bijaksana ini sampai pada masuk Islamnya ratu Bilqis di hadapan Nabi Sulaiman AS, sehingga selamatlah dia, dan kaumnya dari peperanganyang merugikan, dan dengan demikian dia memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

 

Al Qur'an juga mengisahkan bentuk lain (yang tidak benar) dari suatu hukum yang tegak di atas dasar penisbatan diri sebagai tuhan dan kediktatoran. Seperti hukum Fir'aun yang berkata kepada manusia:

 

"Saya adalah tuhanmu yang mulia." (An Nazi'at: 24)

"Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku." (Al Qashash: 38)

 

Fir'aun tidak mau bermusyawarah kecuali dengan para menterinya secara khusus, sebagaimana yang kita lihat dalam kisah Fir'aun dengan Musa, ketika Musa berdialog dengannya maka ia mengancamnya dengan penjara, Musa berkata:

 

"Apakah (kamu akan melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?" Fir'aun berkata, "Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar. "Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya. Fir'aun berkata kepada pembesar-pembesarnya yang berada di sekelilingnya, "Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?" (Asy-Syu'ara: 30-35)

 

Ini sesungguhnya bukanlah musyawarah yang benar, karena musyawarah ini hanya dikhususkan untuk pembesar-pembesar yang ada di sekelilingnya saja (orang-orang sendiri). Selain itu musyawarah ini adalah musyawarah yang sudah terarah (disesuaikan dengan keinginannya). Fir'aun tidak mau mengambil pendapat mereka dalam masalah Musa dan sikap terhadap risalah yang dibawanya. Tetapi pada hakekatnya dia telah memutuskan sesuatu sebelum bertanya kepada mereka yaitu dengan kata-katanya yang dimuat oleh Al Qur'an

 

"Sesungguhnya Musa ini benar-benar ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusirmu dari negerimu sendiri dengan sihirnya." (Asy-Syu'ara: 34-35)

 

Al Qur'an telah menjelaskan hakikat hukum Fir'aun dan sikapnya terhadap rakyatnya, sebagaimana firrnan Allah SWT:

 

"Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di maka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak- anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan." (Al Qashash: 4)

 

Kesombongan di bumi inilah yang kita istilahkan dalam bahasa politik modern dengan "Thughyaan" (diktator). Al Qur'an juga sering mengulang-ulang dalam menyifati Fir'aun. sebagaimana dalam firman Allah SWT:

 

"Sesungguhnya dia (Fir'aun) adalah orang yang sornbong, salah seorang dan orang-orang yang melampaui batas." (Ad-Dukhan: 31)

 

Kesombongan Fir'aun bukan hanya ditujukan kepada Bani Israil saja, tetapi juga kepada orang-orang Mesir, jika ternyata ada di antara mereka atau sekelompok dari mereka yang keluar dari rencananya dan menolak pengakuan bahwa dirinya adalah tuhan.

 

Itulah sikap yang nampak jelas dari Fir'aun terhadap tukang-tukang sihirnya yang diminta setiap saat untuk menolong dirinya dalam melawan Nabi Musa. Tetapi akhirnya Allah menjatuhkan Fir'aun melalui mereka juga, yaitu ketika mereka beriman kepada Rabb Musa dan Harun setelah kebenaran itu jelas di hadapan mereka dari pada kebathilan.

 

Allah SWT berfirman:

"Berkata Fir'aun, "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi ijin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara timbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksannnya." (Thaaha: 71)

 

Ungkapan Fir'aun, "Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku mengijinkan kamu," ini membuktikan bahwa ia ingin memaksa pikiran dan hati manusia (untuk mengikutinya), sehingga tidak boleh akal dan hati untuk percaya kepada sesuatu kecuali atas izinnya dan mendapat keputusan darinya.

 

Al Qur'an mencela Fir'aun dan segala kekuatan kotor yang bersekongkol dengannya. Seperti "Qarun" yang menampilkan faham materialistis yang kejam dan kotor yang tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memiliki harta. Sikap ini tergambar dalam perkataan Qarun:

 

"Sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku." (Al Qashash: 78)

 

Seperti juga "Haman" yang menampilkan sosok politikus yang menjilat karena materi, di mana ia persembahkan kemampuan akal dan kreasinya untuk melayani thaghut yang sombong, Hamanlah sebagai otak pemikirnya (dalang) sekaligus pelaksananya.

 

Al Qur'an mencela secara keseluruhannya, yaitu Fir'aun dan para tentaranya yang dijadikan sebagai alat kekuasaan, yang ia pergunakan untuk menyiksa rakyat dan menindas mereka. Allah SWT berfirman,

 

"Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah." (Al Qashash: 8)

 

Allah juga berfirman:

"Maka Kami binasakan Fir'aun dan bala tentaranya, lalu kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zhalim." (Al Qashash: 40)

 

Kata-kata "Al Junud" meliputi seluruh pendukung orang yang zhalim, baik dari kalangan militer maupun sipil.

 

Al Qur'an memerangi kezhaliman dan penindasan dari berbagai segi sebagai berikut: Kelompok penguasa yang zhalim dan diktator di bumi ini, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Demikianlah Allah mengunci mata hati orang yang sombong dan sewenang- wenang." (Al Mukmin: 35)

 

"Dan mereka memohon kemenangan (atas musuh-musuh mereka) dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang, lagi keras kepala." (Ibrahim: 15)

 

Kelompok para pendukung kekuasaan, seperti Haman, Qarun atau dari kalangan militer dan sipil, seperti tentara Fir'aun.

 

Dari kelompok rakyat yang menyerahkan ketaatannya kepada pemimpin yang zhalim, tanpa pernah bertanya kepada mereka suatu hal apa pun: mengapa?, atau bagaimana?, apalagi sampai berani mengatakan, "tidak."

 

Al Qur'an juga telah mencela kaum Nabi Nuh, seperti firman Allah SWT:

 

"Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka." (Nuh: 21)

 

Al Qur'an pun mencela kaum Hud AS, dengan firman-Nya:

 

"Mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat." (Huud: 59-60)

 

Al Qur'an juga pernah mencela kaum Fir'aun, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

 

"Maka Fir'aun mempengarahi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik." (Az Zukhruf: 54)

 

Al Qur'an telah memaparkan kepada kita berbagai gambaran (contoh) yang banyak dari pemandangan kiamat, pada saat itulah terjadi saling mencela antara para pemimpin dan pembesar yang menyesatkan dengan para pengikut yang disesatkan, dan masing-masing saling berlepas tangan, saling melaknat dan berusaha untuk melemparkan tanggung jawab kepada yang lainnya. Tetapi Allah SWT memutuskan untuk semuanya bahwa mereka semua adalah termasuk ahli Neraka. Allah SWT berfirman:

 

"Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar), Ya Tuhan kami timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (Al Ahzab: 67-68)

 

"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada amal perbuatannnya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka." (Al Baqarah: 166-167)

 

Sesungguhnya diterimanya kepemimpinan politik bagi ummat dalam Islam adalah ridha dan bai'ah yang atas kehendak sendiri (kesadaran). Maka barangsiapa yang diterima oleh kaum Muslimin untuk menjadi imam, amir atau pimpinan bagi mereka dan mereka telah membai'atnya untuk yang demikian itu, berarti dia telah menjadi wali yang sah (secara syar'i) yang wajib ditaati dalam hal yang ma'ruf, dan wajib menasihatinya dengan benar serta membantunya atas setiap kebaikan.

 

Islam tidak menyukai seseorang yang menjadi imam shalat berjamaah, sementara para jamaah tidak menyukainya. Maka bagaimana Islam bisa menerima seseorang yang memimpin seluruh ummat dalam mengatur urusannya secara umum sedangkan ummat itu tidak suka, dan dengan itu ummat menjadi tersiksa dan marah? Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya yang mulia:

 

Tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala mereka sejengkal pun; seseorang yang mengimami kaum sedangkan kaum itu benci padanya, wanita yang yang berdiam diri semalaman sedang suaminya marah kepadanya, dan dua bersaudara yang saling bertengkar. (HR. Ibnu Majah)

 

 

ADIL (KEADILAN)

 

Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang asasi yang dibawa oleh Islam dan dijadikan sebagai pilar kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat adalah "Keadilan." Sehingga Al Qur'an menjadikan keadilan di antara manusia itu sebagai hadaf (tujuan) risalah langit, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)

 

Tiada penekanan akan nilai keadilan yang lebih besar dari pada perkara ini (bahwa Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Nya) untuk mewujudkan keadilan.

 

Maka dengan atas nama keadilan kitab-kitab diturunkan dan para rasul diutus. Dengan keadilan ini pula tegaklah kehidupan langit dan bumi. Dan yang dimaksud dengan keadilan adalah hendaknya kita memberikan kepada segala yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, atau secara nilai apa pun, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan hak orang lain. Allah SWT berfirman:

 

"Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (Ar- Rahman: 7-9)

 

Islam memerintahkan kepada seorang Muslim untuk berlaku adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan menyeimbangkan antara haknya dan hak Tuhannya dan hak-hak orang lain.

 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Abdullah bin 'Amr ketika mengurangi haknya sendiri, yaitu dengan terus menerus puasa di siang hari dan shalat di malam hari.

 

"Sesungguhnya untuk tubuhmu kamu punya hak (untuk beristirahat), dan sesungguhnya bagi kedua matamu punya hak dan kepada keluargamu kamu punya hak, dan untuk orang yang menziarahi kamu juga mempunyai hak." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

 

Islam juga memerintahkan bersikap adil dengan/terhadap keluarga, isteri, atau beberapa isteri, anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Allah SWT berfrman:

 

"Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja ..." (An-Nisa': 3)

 

Rasulullah SAW bersabda:

"Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak- anakmu." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

 

Ketika Basyir bin Sa'ad Al Anshari menginginkan agar Nabi SAW menyaksikannya atas pemberian tertentu, ia mengutamakan pemberian itu untuk sebagian anak-anaknya. Maka Nabi SAW bertanya kepadanya: "Apakah semua anak-anakmu kamu beri mereka itu seperti ini?" Basyir berkata, "tidak!," Nabi bersabda, "Mintalah saksi selain aku untuk demikian itu, sesungguhnya aku tidak memberikan kesaksian terhadap suatu penyelewengan." (HR. Muslim)

 

Islam memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia. yaitu keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dicintai, dan keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dibenci. Sehingga perasaan cinta itu tidak bersekongkol dengan kebathilan, dan perasaan benci itu tidak mencegah dia dari berbuat adil (insaf) dan memberikan kebenaran kepada yang berhak. Allah SWT berfirman:

 

"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu ." (An-Nisa': 135)

 

Allah SWT memerintahkan kepada kita agar berlaku adil, sekalipun terhadap kaum yang kita musuhi, sebagaimana dalam firman-Nya:

 

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Maidah: 8)

 

Betapa banyak sejarah politik dan hukum dalam Islam yang menggambarkan keadilan kaum Muslimin terhadap orang-orang Muslimin dan keadilan para da'i terhadap rakyat.

 

Islam memerintahkan kepada kita untuk berlaku adil dalam perkataan kita, sehingga saat kita marah tidak boleh keluar dari berkata benar, dan di saat kita senang tidak boleh mendorong kita untuk berbicara yang tidak benar, Allah SWT berfirman:

 

"Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah (kerabat (mu)" (Al An'am: 152)

 

Islam juga memerintahkan kepada kita untuk bersikap adil dalam memberikan kesaksian, maka seseorang tidak boleh memberi kesaksian kecuali dengan sesuatu yang ia ketahui, tidak boleh menambah dan tidak boleh mengurangi, tidak boleh merubah dan tidak boleh mengganti, Allah SWT berfirman:

 

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah ..." (Ath Thalaq: 2)

 

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah." (Al Maidah: 8)

 

Islam juga memerintahkan untuk bersikap adil dalam hukum, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh) kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ..." (An-Nisa': 58)

 

Banyak hadits yang menjelaskan tentang keutamaan "Imam dan Adil," dia adalah termasuk tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya. Dia juga termasuk tiga orang yang doanya tidak ditolak.

 

Selain lslam memerintahkan untuk berlaku adil dan mendorong ke arah sana, Islam juga mengharamkan kezhaliman dengan keras dan memberantasnya dengan kuat, baik kedhaliman terhadap diri sendiri apalagi terhadap orang lain. Terutama kezhaliman orang- orang yang kuat terhadap orang yang lemah, kezhaliman orang-orang kaya terhadap yang miskin dan kezhaliman pemerintah terhadap rakyatnya. Semakin manusia itu lemah, maka menzhaliminya semakin besar pula dosanya. Rasulullah SAW pernah memberikan wasiat kepada Mu'adz:

 

"Hati-hatilah terhadap doa orang yang dianiaya, karena tidak ada hijab (halangan) antara doa itu dengan Allah." (HR. Muttafaqun'Alaih)

 

Rasulullah SAW juga bersabda:

 

"Doa orang yang dianiaya itu akan diangkat oleh Allah ke atas awan, dan dibuka untuknya pintu-pintu langit, kemudian Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, sungguh akan Aku tolong kamu walaupun setelah beberapa saat." (HR. Ahmad dan Tarmidzi)

 

Di antara jelasnya bentuk keadilan adalah sebagaimana yang ditegaskan Islam. yang dalam istilah sekarang disebut "Keadilan Sosial" yang berarti keadilan dalam membagi kekayaan (negara). Dan membuka berbagai kesempatan yang memadai untuk anak-anak ummat Islam, ummat yang satu, dan memberi kepada orang-orang yang bekerja buah amalnya (upahnya) dari jerih payah mereka, tanpa dicuri oleh orang-orang yang berkemampuan dan orang-orang yang mempunyai pengaruh. Mendekatkan sisi- sisi perbedaan yang nampak antara individu dan golongan, antara golongan yang satu dengan yang lain, dengan memberikan batas dari monopoli orang-orang kaya di satu sisi dan berusaha untuk meningkatkan pendapatan orang- orang fakir di sisi lain.

 

Ini semua jauh-jauh telah diperhatikan oleh Islam, sehingga Al Qur'an ketika diturunkan di Mekkah pun tidak melupakan permasalahan tersebut, bahkan memberikan perhatiannya yang sangat dalam lingkup yang luas.

 

Maka barangsiapa yang tidak memberi makan kepada orang-orang miskin, ia termasuk ahli Neraka Saqar. Allah SWT berfirman:

 

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka)? Mereka menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan tidak (pula) memberi makan orang miskin." (Al Muddatstsir: 42-44)

 

Tidak cukup juga kamu hanya memberi makan orang miskin, tetapi kamu juga harus ikut mendakwahkan kepada orang lain untuk memberi makan orang miskin dan menyerukan kepada orang lain untuk memperhatikan kepentingan dan keperluan mereka. Allah SWT berfirman:

 

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yahm, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." (Al Maa'un: 1-3)

 

Al Qur'an mengumpulkan sikap orang yang menelantarkan orang miskin bersama kekufuran kepada Allah, yang menjadikan wajibnya seseorang untuk memperoleh adzab yang pedih dan masuk ke neraka Jahim, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"(Allah berfirman), "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dahulu dia tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong untuk memberi makan orang miskin." (Al Haqqah: 30-34)

 

Masyarakat jahiliyah itu tercela dan dimurkai oleh Allah karena mereka menelantarkan orang-orang lemah dan hanya mementingkan orang-orang yang kuat untuk memakan harta waris dan mencintai harta mereka.

 

"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampuradukkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan." (Al Fajr: 17-20)

 

Islam telah memperhatikan masyarakat lemah. Sebagai realisasinya Islam menentukan hukum dan sarana untuk menyediakan kerja yang sesuai bagi setiap orang yang tidak mendapatkan kerja, gaji (upah) yang adil untuk setiap pekerja (karyawan), makanan yang cukup untuk setiap yang kelaparan, pengobatan yang cukup untuk setiap orang yang sakit, pakaian yang pantas untuk setiap yang telanjang dan mencukupi secara penuh untuk setiap yang membutuhkan, seperti makanan pakaian dan tempat tinggal serta segala sesuatu yang harus dipenuhi, sesuai kondisinya, tanpa berlebihan dan tanpa mengurangi. Islam memperhatikan orangorang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Inilah definisi Imam Nawawi dalam kitabnya "Al Majmu."

 

Untuk memenuhi kebutuhan di atas maka Islam mewajibkan hak-hak harta di dalam harta orang-orang kaya yang mana awal dan akhirnya adalah zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, yang harus dilaksanakan oleh seorang Muslim dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. Jika ia menolak maka harus diambil secara paksa. Dan kalau ada kelompok kuat yang membelanya maka harus diperangi dengan pedang.

 

Zakat itu diambil dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang fakir, dengan demikian maka dari ummat untuk ummat.

 

Menurut pendapat yang arjah (lebih unggul) bahwa orang fakir itu diberi zakat untuk mencukupi kebutuhan selama hidup. Dalam batas yang umum selama hasil zakat itu memungkinkan, dengan demikian pada tahun mendatang ia akan menjadi pemberi, bukan pemungut, ia berada di atas bukan lagi di bawah[1].

 

Telah disusun beberapa buku tentang masalah ini yang telah sepantasnya untuk ditelaah , dan di dalam kitab kami yang berfudul "Ash-Shahwah Al lslamiyah wa humumul wathan Al 'Arabi wal lslami" terdapat garis-garis besar yang ditekankan pada pembahasan pilar-pilar keadilan sosial dalam Islam, sangat baik jika anda jadikan sebagai referensi.

 

AL IKHA' (PERSAUDARAAN)

 

Di antara nilai-nilai sosial kemanusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwah). Bahwa hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai dan saling menolong dan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga. Mereka saling mencintai, saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kekuatan saudara adalah kekuatannya, dan kelemahan saudaranya adalah kelemahannya. Dan bahwa sesungguhnya ia akan merasa kecil (tidak berarti) jika sendirian dan dia akan banyak (bernilai) manakala bersama saudara-saudaranya.

 

Karena urgennya permasalahan ini dalam pembinaan masyarakat Islam maka kami akan menjelaskan hal tersebut secara rinci. Seperti kitab, "Al Islam Wal Audha' Al Iqtishadiyah" "Al Islam Wal Manahijil Isytirakiyah," dan "Al Islam Al Muftara 'alaihi," semua karya Syaikh Muhammad Al Ghazali dan lain-lain.

 

Al Qur'an telah menjadikan bahwa hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar. Allah SWT berfirman:

 

"Dan ingatlah akan kenikmatan Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara." (Ali Imran: 103)

 

Al Qur'an juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain di antara keduanya. Allah SWT berfirman:

 

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (Al Hujurat: 10)

 

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

".. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al Anfal: 62-63)

 

Rasulullah SAW bersabda:

"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menganiayanya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)..., janganlah saling menghasud, janganlah saling bermusuhan, dan janganlah saling bertengkar ..., dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara."

 

Telah kami jelaskan sebelumnya tentang sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya Zaid bin Arqam, bahwa Rasulullah SAW berdoa pada setiap selesai shalat sebagai berikut:

 

"Ya Allah ya Tuhan kami, dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa Engkaulah Allah yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Ya Allah ya Tuhan kami dan tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, sesungguhnya aku bersaksi bahwa sesunggahnya Muhammad adalah hamba- Mu dan utusan-Mu. Ya Allah ya Tuhan kami, tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya kami bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba (Mu) adalah bersaudara."

 

Dalam doa tersebut, pengakuan prinsip ukhuwwah (bersaudara) diletakkan setelah bersyahadah kepada Allah dengan mengesakan Dia dan bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah sebagai hamba dan rasul-Nya. Dalam ungkapan "Seluruh hamba (Mu) adalah saudara" ada dua makna yang keduanya sama-sama benar, yaitu:

 

Pertama, Sesungguhnya para hamba yang dimaksud di sini adalah seluruh manusia, mereka adalah bersaudara antara yang satu dengan lainnya, dengan alasan bahwa mereka semua putera Adam dan hamba Allah. Ini adalah Ukkuwwah Insaniyah 'Ammah (persaudaraan antar manusia secara umum).

 

Allah SWT telah menyiasati sejumlah Rasul dalam Al Qur'an bahwa mereka itu adalah bersaudara bagi kaumnya, meskipun mereka kufur terhadap risalahnya. Karena adanya sisi persamaan dengan mereka di dalam jenis dan asal mula, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Dan Kami telah mengutus kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud." (Al A'raf: 65)

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih." (Al A'raf: 73)

"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib." (Al A'raf: 85)

 

Kedua, Bahwa sesungguhnya yang dimaksud hamba di sini adalah khusus kaum Muslimin, karena kesamaan mereka dalam satu millah (agama). Mereka bersatu dalam satu aqidah yaitu mentauhidkan Allah, dan kiblat yang satu yaitu Ka'bah di Baitul Haram. Mereka mereka diikat oleh kitab yang satu yaitu Al Qur'an dan Rasul yang satu yaitu Muhammad SAW serta oleh satu Manhaj yaitu Syari'at Islam.

 

Inilah yang disebut Ukhuwwah Diniyah (Islamiyah) yang khusus yang tidak bertentangan dengan yang pertama. Karena tidak saling menafikan antara yang khusus dan yang umum. Hanya saja ukhuwwah diniyah ini memiliki hak-hak yang lebih banyak, sesuai dengan ikatan aqidah dan syari'ah serta pemikiran dan tingkah laku.

 

MAHABBAH (RASA CINTA) DAN TINGKATANNYA

 

Di antara unsur-unsur pokok dalam ukhuwwah adalah mahabbah (kecintaan). Adapun tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati (salamush shadr) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan pertengkaran.

 

Al Qur'an menganggap permusuhan dan saling membenci itu sebagai siksaan yang dijatuhkan (oleh Allah) terhadap orang-orang yang kufur terhadap risalah-Nya dan menyimpang dari ayat-ayat-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kami ini orang- orang Nasrani, telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan." (Al Maidah: 14)

 

Al Qur'an telah berbicara tentang khamr dan judi yang keduanya termasuk dosa besar yang mencelakakan dalam pandangan Islam. Sebagai alasan pertama diharamkannya adalah menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat, betapa pun keduanya berbahaya dari sisi yang lainnya yang juga tidak bisa disembunyikan, Allah SWT berfirman:

 

"Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjan itu). (Al Maidah: 91)

 

Di dalam hadits penyakit-penyakit itu disebut sebagai "Penyakit Ummat (Da'ul Umam). Di kesempatan lain Rasulullah juga menamakannya sebagai "Perusak" (Al Haliqah). Yaitu yang merusak agama, bukan merusak (memotong) rambut, disebabkan bahayanya bagi kesatuan jamaah dan keterkaitannya dengan sisi materi dan moral. Rasulullah SAW bersabda:

 

"Maukah kamu saya tunjukkan amal yang lebih utama derajatnya daripada derajat shalat, puasa dan sedekah? Yaitu memperbaiki hubungan antar dua orang (yang berselisih), sesungguhnya rusaknya hubungan itulah yang merusak (memutuskan)." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

 

"Telah merata kepadamu penyakit ummat terdahulu, "Itulah hasud dan kebencian, sementara kebencian itulah yang merusak, saya tidak mengatakan 'merusak (memotong) rambut' tetapi merusak agama." (HR. Al Bazzar)

 

"Pintu-pintu surga itu dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka diampuni pada tiap hamba yang tidak syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang antara dia dengan saudaranya terjadi permusuhan, maka dikatakan, "Lihatlah kedua orang itu!," hingga mereka berdamai, (disampaikan tiga kali)" (HR. Muslim).

 

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:

 

"Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya selama tiga hari, yang apabila saling bertemu maka ia berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan ucapan salam." (HR. Bukhari Muslim)

 

"Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala sejengkal pun, "Seseorang yang mengimami suatu kaum, sedangkan kaum itu membencinya, dan wanita yang diam semalam suntuk sedang suaminya marah ke.padanya, dan dua saudara yang memutus hubungan di antara keduanya." (HR. Ibnu Majah)

 

Sesungguhnya suasana benci dan permusuhan adalah suasana yang busuk yang tidak menyenangkan, saat itulah syetan bisa menjual dagangannya dengan laris, seperti berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah (membicarakan aib orang lain), mengadu domba, berkata bohong dan mencari serta melaknat, sampai pada tingkatan saling membunuh di antara saudara. Ini adalah suatu bahaya yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dan dianggap sebagai sisa kejahiliyahan, Nabi SAW bersabda:

 

"Janganlah kamu kembali menjadi kafir setelahku, (yaitu) dengan memukul sebagian di antara kamu terhadap leher yang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Nabi SAW juga bersabda:

 

"Mencaci maki seorang Muslim itu suatu kefasikan, dan membunuhnya adalah suatu kekufuran." (HR. Bukhari-Muslim)

 

Oleh karena itu memperbaiki hubungan saudara adalah termasuk amal ibadah yang paling mulia. Allah SWT berfirman:

 

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara dua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat" (Al Hujuraat: 10)

 

"Bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (Al Anfal: 1)

 

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan- bisikan dan orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma 'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (An-Nisa': 114)

 

Bahkan syari'at telah memberikan bagian tersendiri dari hasil zakat untuk orang-orang yang memiliki hutang dalam memperbaiki hubungan di antara mereka. Untuk membantu mereka agar dapat melakukan kemuliaan ini yang semula dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa besar dan memiliki cita-cita yang luhur (tinggi). Maka mereka itulah yang menanggung denda dan hutang para kabilah yang sedang bertengkar. meskipun mereka sendiri tidak memiliki harta secara leluasa.

 

Karena pentingnya memperbaiki hubungan antara dua fihak, maka Rasulullah SAW memberikan rukhsah (keringanan) terhadap orang yang melakukan perbaikan hubungan untuk tidak selalu dalam kejujuran yang sempurna dalam menentukan sikap pada masing- masing dari dua kelompok (pihak). Sehingga ia bisa (dibolehkan) memindahkan sebagian kata-kata sebagaimana dikatakan, yang telah menyalakan api permusuhan dan tidak memadamkannya, maka tidaklah mengapa dengan sedikit memperindah atau sedikit berdiplomasi (tauriyah). Rasulullah SAW bersabda:

 

"Bukanlah pembohong orang yang memperbaiki (mendamaikan) antara dua orang, lalu ia berkata dengan baik atau menambahi lebih baik. (HR. Ahmad)

 

Yang lebih tinggi dari tingkatan salaamatush shadr (bersihnya hati) dari rasa dengki dan permusuhan adalah tingkatan yang diungkapkan dalam hadits shahih sebagai berikut:

 

"Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

 

Berarti dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa atas saudaranya sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika ia senang jika dirinya memperoleh kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan demikian itu terhadap orang lain. Dan jika ia menginginkan mendapat kemudahan dalam kehidupan berkeluarga (nya), maka ia juga menginginkan hal itu diperoleh orang lain. Dan jika ia ingin anak- anaknya menjadi cerdas, maka ia juga menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Dan jika ia menginginkan untuk tidak disakiti baik ketika berada di rumah atau ketika sedang bepergian, maka begitu pula ia menginginkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian ia menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai dan ia benci.

 

DERAJAT ITSAR

 

Ada derajat (tingkatan) yang lebih tinggi dari salamatush shadr dan rasa cinta yaitu tingkatan "Itsar." Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkan saudaranya, ia rela haus untuk menyegarkan saudaranya, berjaga demi menidurkan saudaranya, ia bersungguh-sungguh untuk mengistirahatkan saudaranya, ia rela untuk ditembus peluru dadanya untuk menebus saudaranya.

 

Al Qur'an telah mengemukakan kepada kita gambaran yang terang tentang masyarakat Islam di Madinah yang nampak di dalamnya makna itsar dan pengorbanan, tidak pelit dan tidak bakhil. Allah berfirman:

 

"Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al Hasyr: 9)

 

Di dalam Sunnah (hadits) kita dapatkan gambaran lain sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Sa'ad bin Rabbi' telah menawarkan kepada Abdur Rahman bin Auf setelah keduanya dipersaudarakan oleh Nabi SAW untuk bersedia diberi separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari isterinya untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurahman bin Auf berkata kepada Sa'ad bin Rabi' "Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga Allah memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, untuk itu tunjukilah aku di mana pasar."

 

Ini gambaran itsar yang langka dan hampir tidak akan kita dapatkan di masa kini, yang kemudian dibalas dengan sikap 'iffah (kehati-hatian, yang mulia dan bijaksana. Keduanya menampilkan contoh ideal sikap masyarakat Islam yang dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah, yang senantiasa kita idam-idamkan sebagai bentuk ideal sebuah masyarakat.

 

Islam menginginkan dengan sangat agar mahabbah dan ukhuwwah di antara manusia seluruhnya itu bisa merata di kalangan bangsa-bangsa antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. Yang tidak dipecah belah dengan perbedaan unsur, warna bahasa dan iklim atau negara. Sehingga tidak ada kesempatan untuk bertikai atau saling dengki, meskipun berbeda- beda dalam harta dan kedudukannya, karena rezeki itu ketentuan Allah SWT. Merata di antara pemerintah dan rakyat, sehingga tidak ada tempat untuk kesombongan pemerintah terhadap rakyat, karena sesungguhnya hukumah (pemerintah) adalah wakil atau pelayan ummat. Dan tidak ada tempat untuk kebencian rakyat kepada pemerintah selama ia berbuat kebenaran dan melaksanakan kewajibannya. Rasulullah SAW bersabda:

 

"Sebaik-baik pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu mencintai mereka dan mereka mencintai kamu, kamu mendoakan mereka dan mereka mendoakan kamu." (HR. Mus1im)

 

MENYELARASKAN TEORI DENGAN PELAKSANAAN

 

Islam tidak suka jika dakwahnya itu hanya semata-mata pemikiran (konsep) di kepala saja, atau impian di benak para da'i, akan tetapi Islam menyelaraskan antara pemikiran (teori) dengan pelaksanaan, dan antara konsep dengan penerapan. Oleh karena itu Islam mengajak kita untuk melaksanakan sejumlah syi'ar, adab-adab kebiasaan yang dapat memperkuat ikatan mahabbah di antara kita manusia.

 

Di antara adab itu adalah menyebarkan ucapan salam setiap bertemu antara yang satu dengan yang lainnya. Inilah yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:

 

"Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai, maukah kamu saya tunjukkan sesuatu yang apabila kamu melakukannya kamu akan saling mencintai? Sebarkan ucapan salam di antara kamu!" (HR. Muslim).

 

Di antaranya lagi adalah bermujamalah (berwajah ceria) dalam menyambut datangnya nikmat, berta'ziah ketika ada musibah, menjenguk orang sakit dan mendoakan orang yang bersin.

 

Kita juga dianjurkan untuk saling memberi hadiah satu sama lain dalam acara dan peristiwa yang baik, sebagaimana tersebut dalam hadits:

 

"(Hendaklah) kamu saling memberi hadiah, maka akan saling mencintai." (HR. Abu Ya'laa)

 

Dalam rangka memupuk rasa cinta kasih bisa juga melalui pertemuan-pertemuan di mana kita bisa mengenal wajah-wajah dan saling berjabat tangan, inilah yang disyari'atkan oleh Islam melalui kewajiban shalat berjamaah, shalat Jum'at dan shalat dua Hari Raya.

 

Islam telah mengharamkan kerusakan akhlaq dan sosial yang dapat memutuskan ikatan mahabbah dan mawaddah di antara manusia. Al Qur'an Al Karim menetapkan bahwa orang- orang yang beriman itu bersaudara, kemudian dilanjutkan dengan larangan terhadap sejumlah kebiasaan yang buruk yang dapat meretakkan keutuhan ukhuwwah dan yang merobohkan sendi-sendinya. Seperti menghina dan mencela, memanggil dengan sebutan yang tidak menyenangkan, mencari-cari kesalahan orang lain, mencari aurat manusia, berburuk sangka kepada manusia dan ghibah (menggunjing). Sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lain karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita- wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang burak. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka ialah orang-orang yang zhalim. Hai orang-orang yang beriman, Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangla itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari- cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al Hujuraat: 11-12)

 

PERSATUAN ADALAH BUAH PERSAUDARAAN

 

Di antara buah dari ukhuwwah adalah "Al Wahdah" (bersatu) sebagai lawan dari kata "Al Firqah," yang artinya berpecah belah.

 

Masyarakat Islam yang bersaudara adalah masyarakat yang satu dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, arah pemikiran, perasaan, perilaku dan tata kehidupan, tradisi sosial nilai- nilai kemanusiaan, dan dasar-dasar hukumnya.

 

Masyarakat Islam itu satu dalam ahdaf (sasaran)-nya yaitu yang menghubungkan bumi dengan langit, dunia dan akhirat, makhluq dengan khaliqnya. Sama dalam asas-asas manhajnya, yaitu yang menggabung antara idealita dan realita, antara tsabat (yang konstan) dengan tathawwur (fleksibel) dan antara berpegang pada warisan khasanahnya dengan daya kreatifitas dan kemodernan.

 

Masyarakat Islam itu satu dalam referensinya (rujukan, sumber hukum), sekaligus sebagai sumber hidayah, itulah Al Qur'an Al Karim dan Sunnah Al Muthahharah (yang suci). Satu dalam idolanya yaitu Rasulullah SAW sebagai uswah hasanah. Mereka adalah masyarakat yang beriman kepada Rabb yang satu, kitab yang satu, rasul yang satu, dan menghadap kiblat yang satu, dengan ibadah yang satu dan berhakim dalam memutuskan segala persoalan pada syari'at yang satu. Wala' (loyalitas)-nya pun adalah wala' yang satu yaitu wala' kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Hanya karena Allah ia cinta, karena Allah ia benci, karena Allah ia mengikat hubungan dan karena Allah pula ia memutuskan hubungan. Allah SWT berfirman:

 

"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka " (Al Mujaadilah: 22)

 

Tidak sepantasnya masyarakat Islam itu berpecah belah seperti masyarakat lainnya yang dipicu oleh fanatisme golongan, ras, warna kulit, tanah air (asal daerah), bahasa, klas sosial, madzhab atau yang lainnya yang dapat merongrong persatuan.

 

Ukhuwwah Islamiyah berada di atas segala macam ashabiyah (fanatisme) apa pun nama dan bentuknya. Rasulullah SAW sangat anti terhadap segala fanatisme seperti ini, sebagaimana dalam sabdanya:

 

"Bukan termasuk ummatku orang yang mengajak pada ashabiyah, dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar ashabiyah, dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar ashabiyah." (HR. Abu Dawud)

 

Al Qur'an memperingatkan akan bahaya rekayasa yang dihembuskan oleh orang-orang non nuslim yang ingin memecah belah ummat Islam dan memporak porandakan persatuan mereka. Sebagaimana hal seperti ini pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kaum Muslimin dari suku Aus dan Khazraj setelah dipersatukan oleh Allah dalam Islam. Allah berfirman:

 

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dan orang- orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul- Nya pun berada di tengah-tengah kamu, Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhuya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan (memegang teguh) Islam. Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh- musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamathan kamu dari padanya, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu agar kamu mendapat petunjuk." (Ali Imran: 100-103)

 

Kemudian Allah SWT memperingatkan kepada kita agar jangan bercerai-berai dan berselisih, sebagaimana firman-Nya:

 

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (Ali 'Imran: 105)

 

Antara ayat yang memerintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah dengan ayat yang melarang bercerai berai dan berselisih disebutkan ayat yang mewajibkan ummat untuk berda'wah dan beramar ma'ruf dan nahi munkar sebagai berikut:

 

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Ali 'Imran: 104)

 

Ini menunjukkan bahwa yang mempersatukan ummat dan yang mengumpulkan (merajut) keping-keping ukhuwah di antara mereka adalah adanya manhaj yang jadi pegangan dan rujukan ummat. Itulah tali Allah (Islam dan Al Qur'an) dan risalah yang sama yang diperjuangkan dan menjadi pusat perhatiannya. Itulah dakwah ke arah kebajikan, beramar ma ruf dan nahi munkar.

 

Tetapi apabila ummat itu bermalasan untuk memperjuangkan risalahnya atau kehilangan manhaj maka jalan menuju persatuan itu akan tertutup dan mereka bercerai berai. Ada yang ke kanan dan ada yang ke kiri, dan syetan akan menyeretnya ke timur dan ke barat. Inilah yang diperingatkan oleh Al Qur'an:

 

"Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu (dapat) mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahlan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (Al An'am: 153)

 

Persatuan ummat yang diwajibkan oleh Islam bukan berarti mengingkari adanya heterogenitas (keberagaman) yang disebabkan adanya perbedaan lingkungan, adat istiadat, latar belakang budaya yang beraneka ragam serta pengaruh tingkat ilmu pengetahuan dan intelektualitasnya. Ini justru akan memperkaya khasanah budaya dalam kerangka persatuan. Sebagaimana beragamnya bakat, kecenderungan (selera). pemikiran dan spesialisasi dalam satu keluarga, atau beragamnya bunga-bunga dan buah-buahan di dalam suatu kebun.

 

"Yang disirami dengan air yang sama. Kami (Allah) melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya." (Ar-Ra'du: 4)

 

Di antara hal yang penting untuk diperhatikan dalam Islam ini adalah sahnya ijtthad yang beragam, sepanjang dia masih dalam kerangka kaidah-kaidah pokok dan nash-nash yang qath'i dan disepakati. Maka tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid yang lainnya, meski ada perbedaan dalam hasilnya. Karena tiap-tiap mujtahid itu memiliki arah berbeda yang masing-masing mendapat pahala, benar atau salah, selama ia termasuk ahli berijtihad dengan segala syarat dan kriterianya. Adapun perbedaan pendapat tidak boleh menjadi penyebab perpecahan atau permusuhan, karena para sahabat dan tabi'in juga berselisih dalam berbagai persoalan, dan hal itu tidak membuat mereka berpecah belah, bahkan mereka bersikap tasamuh (toleransi) dan saling mendoakan satu sama lain.

 

Di antara yang bisa meringankan khilaf (perselisihan pendapat), adalah adanya keputusan imam atau hakim. Dia menjadi keputusan akhir dalam masalah khilafiyah, sehingga itu bisa menghilangkan perselisihan dan pertengkaran dalam sisi pelaksanaan.

 

TA'AWUN, TANAASUR DAN TARAAHUM

 

Ta'awun (saling tolong menolong), tanaashur (saling mendukung) dan taraahum (saling berkasih sayang) adalah merupakan buah dari ukhuwah. Karena apalah artinya berukhuwah jika kamu tidak membantu saudaramu ketika memerlukan dan menolongnya ketika dia ditimpa oleh cobaan, serta belas kasihan kepadanya ketika ia lemah.

 

Rasulullah SAW telah menggambarkan tujuan saling tolong menolong dan keterikatan antara kaum Muslimin dalam bermasyarakat antara yang satu dengan lain dengan gambaran yang mantap. Sebagaimana dalam sabdanya:

 

"Mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. (Rasulullah SAW sambil memasukkan jari-jari tangan ke sela jari jari lainnya)." (HR. Muttafaqun 'alaih)

 

Satu batu merah tentu saja lemah, meskipun terlihat kuat. Dan seribu batu bata yang berserakan (tidak teratur), tidak mampu berbuat apa-apa yang tidak bisa berbentuk bangunan. Akan terbentuk bangunan yang kuat manakala batu bata itu disusun dengan teratur dalam susunan yang rapi dan kokoh sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketika itulah akan terbentuk dari batu-batu tersebut dinding yang kokoh dan dari dinding-dinding itu akan terbentuk rumah yang kuat pula, yang tidak mudah dirobohkan oleh tangan-tangan yang merusak.

 

Rasulullah SAW dalam hadits lainnya juga menggambarkan keterikatan masyarakat Islam antara yang satu dengan yang lainnya dalam bentuk cinta dan kasih sayang sebagai berikut:

 

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam (menjalin) cinta dan kasih sayang di antara mereka bagaikan tubuh yang satu, apabila ada anggota (tubuh) yang merasa sakit, maka seluruh anggota yang lainnya merasa demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)

 

Anggota tubuh yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan tidak bisa terpisah serta tidak akan bisa hidup sendiri-sendiri. Maka tidak bisa terpisah antara alat pernafasan dengan alat pencernaan, atau keduanya dengan tekanan darah. Masing-masing saling menyempurnakan satu dengan yang lainnya. Maka dengan kerjasama antar bagian tubuh dan saling membantu, seluruhnya akan hidup dan akan terus berkembang dan bisa berperan aktif.

Rasulullah SAW juga bersabda:

 

"Orang-orang Muslim itu darahnya saling menyuplai, yang lemah di antara mereka akan berusaha membebaskan tanggungannya dan yang kuat di antara mereka berusaha menyelamatkan yang lemah, mereka adalah satu tangan (kekuatan) untuk menghadapi pihak-pihak selain mereka (musuh-musuh mereka), yang kuat membantu yang lemah dan yang cepat menolong yang lambat." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

 

 

Rasulullah SAW juga memasukkan unsur (pemahaman) baru dalam menolong Muslim terhadap Muslim lainnya, yaitu dengan sabdanya:

 

"Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi," Nabi ditanya, "Kalau yang dizhalimi kami bisa menolong, bagaimana dengan orang yang menzhalimi wahai Rasulullah? Nabi SAW bersabda, "kamu pegang kedua tangannya atau kamu cegah dia dan kezhaliman, itulah cara kita menolongnya." (HR. Bukhari)

 

Al Qur'an Al Karim mewajibkan saling menolong dan memerintahkannya dengan syarat dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Ia mengharamkan dan melarang saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, Allah SWT berfirman:

 

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al Maidaah: 2)

 

Al Qur'an juga memerintahkan agar orang-orang yang beriman antara sebagian dengan sebagian lainnya saling berwalat (mendukung), itulah salah satu konsekuensi keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

 

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perernpuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf mencegah dari yang munkar." (At-Taubah: 71)

 

Ini sebagai kebalikan dari sifat-sifat orang munafik yang juga berbuat demikian, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma'ruf." (At Taubah: 67)

 

Sebagaimana dilakukan juga oleh para sahabat, Allah SWT berfirman tentang mereka sebagai berikut:

 

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (Al Fath: 29)

 

Maksud dari ayat di atas adalah agar yang kuat itu membantu yang lemah, yang kaya mengulurkan tangan kepada yang miskin. Hendaknya seorang yang alim mengajari yang bodoh, yang tua mengasihi yang muda, begitu pun yang muda menghormati yang tua, dan hendaknya yang bodoh itu mengetahui kewajibannya terhadap yang alim, dan hendaknya seluruh kaum Muslimin berada dalan satu shaf untuk menghadapi tantangan dan konspirasi (persekongkolan) musuh baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai. Allah SWT berfirman:

 

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam keadaan berbaris (bershaf-shaf), seakan-akan mereka bagaikan bangunan yang tersusun kokoh."(As-Shaf: 4)

 

KISAH-KISAH TA'AWUN DALAM Al QUR'AN

 

Di antaranya adalah bentuk ta'awun antara Musa dengan saudaranya Harun. Bermula ketika Musa memohon kepada Allah agar Harun membantunya dalam menyampaikan risalah. Allah berfirman:

 

"Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau dan mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami." (Thaaha: 29-35)

 

Kemudian jawaban Allah atas permohonan Musa tersebut dimuat dalam surat Al Qashash sebagai berikut:

 

Allah berfirman, "Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar." (Al Qashash: 35)

 

Demikianlah Harun membantu saudaranya Musa ketika sedang di rumah dan menggantikan kedudukannya ketika Musa sedang pergi.

 

Contoh ta'awun (tolong menolong) yang lain adalah apa yang dikisahkan oleh Al Qur'an tentang pembuatan bendungan raksasa Zulqarnain untuk menghindari serangan Ya'juj dan Ma'juj yang merusak di bumi dan tolong-menolongnya hakim (pemimpin) yang shalih dengan rakyatnya yang ketakutan menghadapi amukan makhluq yang merusak. Allah SWT berfirman:

 

"Mereka berkata, "Hai Zulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang- orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka? Zulqarnain berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka berilah aku potongan-potongan besi "Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain "Tiuplah (api itu)." Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, "Berilah aku tembaga yang (mendidih) agar kutuangkan di atas besi panas itu." Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya." (Al Kahfi: 94-97)

 

TAKAFUL DI BIDANG MATERI DAN MORAL

 

Di antara bentuk ta'awun, taraahum dan tanaashur adalah takaful (saling menanggung) di antara anggota masyarakat Islam. Baik takaful di bidang materi dan moral, ekonomi dan politik, militer dan sipil, sosiai dan budaya.

 

Takaful itu dimulai dengan yang mempunyai hubungan kerabat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya, sebagaimana hal itu dijelaskan secara rinci dalam aturan nafkah menurut syariat Islam. Maka keluarga yang kaya memberikan infaq kepada keluarga yang miskin sesuai dengan syarat-syarat dan hukum-hukum yang dijelaskan di dalam fiqh Islam, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Anfal: 75)

 

Kemudian lingkup takaful ini menjadi melebar ke tetangga dan penghuni kampung, sesuai dengan hak tetangga yang telah ditekankan oleh Islam. Di dalam hadits disebutkan:

 

"Bukanlah termasuk orang beriman orang yang semalaman ia kenyang, sedang tetangga di sebelahnya kelaparan." (HR. Thabrani)

 

Dalam hadits lainnya disebutkan:

 

"Siapa saja penduduk di sekitar rumah jika ada di antara mereka yang kelaparan maka tanggungan Allah dan Rasul-Nya akan terlepas dari mereka." (HR. Ahmad)

 

Kemudian wilayah takaful itu menjadi semakin lebar dan meluas sampai satu desa atau lebih luas dari itu, yaitu melalui zakat yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar diambil dari orang-orang kaya setiap daerah untuk diberikan kepada fakir miskin daerah tersebut. Dengan demikian maka bisa dilakukan sesuai dengan pembagian wilayah. Berbeda dengan yang dilakukan oleh peradaban masa lalu sebelum Islam di mana pajak itu diambil dari para petani dan pengusaha daerah atau perkampungan yang cukup jauh untuk dibagi dikota-kota besar, terutama ibukota tempat tinggalnya seorang raja atau imbratur (imperium). Kemudian semakin bertambah luas wilayah takaful itu sampai merata seluruh masyarakat.

 

Sejak munculnya fajar dakwah Islam di Mekkah, ketika ummat Islani masih sedikit jumlahnya dan mereka tertindas, tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, Al Qur'an sudah menyeru dengan kuat untuk bertakaful (saling menanggung). Yaitu dengan menjadikan anggota masyarakat seperti satu keluarga, yaitu orang yang kaya menanggung orang yang fakir.

 

Al Qur'an tidak memandang demikian itu sebagai Sunnah agama yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki derajat iman dan ihsan yang tinggi, sedangkan selain mereka tidak dituntut, melainkan Al Qur'an menjadikan hal itu suatu permasalahan yang asasi dari pilar-pilar agama, di mana tidak akan memperoleh ridha Allah siapa yang tidak melakukannya dan tidak akan selamat dari adzab-Nya orang yang meninggalkannya.

 

Bacalah firman Allah SWT dalam Surat Makkiyah berikut ini:

 

"Maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang orang yang beriman dan saling berpesan untuk berkasih sayang ...." (Al Balad: 11-17)

 

"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin." (Al Muddatstsir: 34-44)

 

Tempat tinggal mereka di neraka, karena mereka telah menyia-nyiakan hak Allah dan hak- hak hamba-Nya, yaitu dengan menelantarkan shalat dan tidak memberi makan orang miskin.

 

Memberi makan orang miskin adalah suatu gambaran tentang kepentingan dan kebutuhan mereka secara keseluruhan. Tidak berarti bahwa kita memberi makan orang miskin sementara dia kita biarkan terkatung-katung tanpa tempat tinggal atau telanjang tanpa pakaian atau sakit tanpa ada yang mengobati.

 

Al Qur'an tidak hanya cukup mewajibkan memberi makan orang miskin, tetapi lebih dari itu Al Qur'an mewajibkan menyeru untuk memberi makan orang miskin dan menghimbau untuk memperhatikannya dan menganggap bahwa mengabaikan hal itu termasuk tanda kesombongan dan dusta terhadap agama lain, Allah SWT berfirman:

 

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin!" (Al Ma'un: 1-3)

 

Kemudian Al Qur'an menjadikan sikap di atas sebagai kufur kepada Allah sehingga menjadi sebab datangnya adzab yang pedih dan mereka menghuni neraka Jahim. Maka Allah berfirman tentang orang-orang golongan kiri, yaitu orang-orang yang dicelakakan oleh harta dan kekuasaannya, maka semua itu tidak bisa mencukupi di sisi Allah SWT. Allah berfirman:

 

(Allah berfirman): "Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta." (Al Haqqah: 30-33)

 

Kemudian Al Qur'an menyebutkan sebab-sebab hukuman yang berat. Allah berfirman:

 

"Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga tidak mendorong (orang lain) untuk mernberi makan orang miskin." (Al Haqqah: 33-34)

 

Lebih dari itu Al Qur'an mewajibkan bahwa di dalam harta itu ada hak yang telah ditentukan, bukan sedekah Sunnah, bukan kebajikan secara sukarela siapa yang ingin maka mengeluarkan dan siapa yang ingin maka ia meninggalkannya. Bahkan merupakan hak atau hutang di pundak orang-orang yang mukallaf sebagai kewajiban yang pasti dan bukan tidak pasti. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

 

"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin tidak mendapat bagian." (Adz Dzariyaat: 19)

 

"Hai orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)" (Al Ma'arij: 24-25)

 

Berbicara tentang tanam-tanaman dan buah-buahan serta kebun-kebun yang beruas-ruas dan yang tidak beruas-ruas, Allah SWT berfirman:

 

"Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)." (Al An'am: 141)

 

Yang dimaksud "Hak" di sini adalah zakat yang telah diwajibkan di Mekkah yang belum ada ketentuan batas nishab dan rinciannya.

 

Ini semua di dalam Al Qur'an Makky. Ketika kaum Muslimin memiliki daulah dan pemerintahan, maka nishab zakat dan ukurannya ditentukan dengan jelas dan dikirimlah para utusan untuk mengumpulkannya dari orang yang berkewajiban untuk mengeluarkannya, kemudian diberikan orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang oleh Al Qur'an dinamakan "Al'Amiliina'Alaihaa" (para 'amil) dan mereka diberi bagian tersendiri dari hasil zakat untuk menjamin penarikan dan pembagiannya. Dan Islam telah meletakkan kewajiban harta ini ke posisi kewajiban moral dan hukum sehingga dimasukkan sebagai rukun Islam yang ketiga. Zakat wajib dipungut, bahkan kalau perlu secara paksa jika tidak diberikan dengan kesadaran. Atau bila perlu tidak tanggung-tanggung untuk memerangi orangorang yang tidak mau mengeluarkannya padahal mereka mampu mengeluarkan zakat.

 

Takaful materi ini bukanlah merupakan segala-galanya yang dituntut oleh Islam dalam bidang ini. Tetapi di sana ada bentuk-bentuk lainnya dari takaful, sebagaimana disebutkan oleh seorang da'i, Dr. Mushthafa As-Siba'i (semoga Allah merahmatinya). Beliau membagi takaful itu menjadi sepuluh macam, yaitu: takaful adabi (moral), ilmi (keilmuan), siyasi (politik), difa'i (pertahanan), jina'i (perdata), akhlaqi, iqtishadi (ekonomi), 'ibadi (peribadatan), hadhari (peradaban) dan ma'asyi (kehidupan/pencaharian) atau yang sekarang dikenal dengan istilah "Takaful Ittima'l" (dana sosial).

 

UKHUWAH ITU MELIPUTI SELURUH GOLONGAN, BUKAN KASTA

 

Ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat, maka di sana tidak ada segolongan manusia lebih tinggi daripada segolongan yang lainnya. Tidak boleh harta, kedudukan, nasab atau status sosial atau apa pun menjadi penyebab sombongnya sebagian manusia atas sebagian yang lain.

 

Seorang hakim (pemerintah) adalah saudara rakyat, sebagaimana hadits Rasulullah SAW:

 

"Sebaik-baik para pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu sukai dan mereka menyukai kamu, kamu selalu mendoakan mereka dan mereka pun selalu mendoakanmu, dan seburuk-buruk para pemimpinmu adalah orangorang yang kamu benci dan mereka juga membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknat kamu." (HR. Muslim)

 

Sayyid (juragan) adalah saudara bagi hamba sahayanya, meskipun kondisi khusus kadang memaksa sahayanya untuk berada di bawah kekuasaannya. Dalam hadits shahih Nabi bersabda:

 

"Saudara-saudara kamu (para pembantumu), Allah telah menjadikan mereka berada di bawah kekuasaanmu, jika Allah berkehendak maka akan menjadikan kamu di bawah kekuasaan mereka, maka barang siapa saudaranya berada di bawah kekuasaannya maka hendaklah memberi makan kepadanya sebagaimana ia makan, memberi pakaian kepadanya sebagaimana ia berpakaian, dan janganlah kamu memaksa mereka untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang mereka tidak mampu, dan jika kamu memaksa mereka juga, maka bantulah mereka itu." (HR.Muttafaqun 'Alaih)

 

Para aghniya', fuqara', buruh, karyawan, orang-orang yang disewa semuanya adalah bersaudara antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. Maka tidak ada peluang (kesempatan) bagi mereka dalam naungan ajaran Islam- untuk terjadinya konflik sosial atau dendam golongan.

 

Tidak ada di dalam masyarakat Islam kasta-kasta, sebagaimana hal itu dikenal dalam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Di mana dikenal bahwa golongan cendikiawan dan para penunggang kuda, para uskup dan lainnya itulah yang berhak mewarisi untuk menentukan nilai, tradisi dan hukum yang berlaku.

 

Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa di mana kelompok tertentu berhak untuk menentukan dan mengendalikan garis ideologi bangsa tersebut, hukum-hukumnya serta sistem sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya negara India.

 

Di dalam Islam memang ada orang-orang kaya, akan tetapi mereka itu tidak membentuk kelompok tersendiri yang mewariskan kekayaannya Mereka adalah individu-individu yang biasa seperti lainnya, karena si kaya setiap saat bisa saja menjadi miskin, dan si miskin bisa juga tiba-tiba menjadi kaya. Allah SWT berfirman:

 

"Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan." (Al Insyirah:5)

 

Di dalam Islam memang ada ulama, tetapi mereka itu tidak membentuk golongan yang mewariskan tugas tersebut. Melainkan bahwa tugas itu terbuka untuk siapa saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang keilmuan dan studi. Dia bukan merupakan tugas kependetaan seperti yang dilakukan oleh para pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan tugas mengajar, dakwah dan memberi fatwa. Mereka adalah ulama bukan pendeta.

 

Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya SAW sebagai berikut:

 

"Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (Al Ghasyiyah: 21-22)

 

"Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali- kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku." (Qaaf: 45)

 

Maka bagaimana dengan pewarisnya para ulama. Sesungguhnya mereka itu bukanlah yang menguasai atau memaksa manusia, tetapi mereka adalah pengajar dan pemberi peringatan..

 

 

 

 

Sumber:

Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah

(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Cetakan Pertama Januari 1997

Citra Islami Press

Jl. Kol. Sutarto 88 (lama)

Telp.(0271) 632990 Solo 57126


[1] Dari Kitab Syaikh Muhammad Al Ghazali, 'Al Islam wal Audha'u al Iqtishadiyah