Saturday, July 14, 2018

Kaidah ke-17: Pemahaman Yang Benar Jalan Menuju Amal Yang Benar

Pemahaman secara bahasa sebagaiman yang dijelaskan oleh penulis “Lisaanul Arab” adalah : معرفتك الشيء بالقلب, pengetahuanmu tentang sesuatu dengan hati. Adapun Ilmu secara bahasa adalah : علمت الشيء، أعلمه علماً: عرفته
“Aku telah mengetahui sesuatu, aku mengetahuinya sebagai ilmu : aku telah mengetahuinya”. Ini berarti bahwa kalimat “Al-Fahmu” lebih dalam dari kalimat “al-ilmu”. Ilmu adalah pengetahuan dibawah pemahaman yang hanya terbatas pada hati, karena itu kalimat “al-fahmu” terkait dengan “al-ilmu” dalam meletakan definisinya. Biasanya penggunaan kalimat “fahimta?” (sudahkan anda paham), setelah diyakini segala informasi dengan gambaran yang seutuhnya telah tersampaikan, dan segala sisinya telah diimplementasikan dengan baik, tidak hanya sekedar tahu. Seorang pelajar tidak akan paham tentang perbandingan kimiawi bila hanya mengetahui rumusnya, sebelum Ia pergi ke laboratorium untuk menguji perbandingan tersebut, sehingga Ia dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri, mendengar dan mencium sesuatu yang baru, pada saat itulah analisanya tidak hanya berdasarkan pengetahuan semata tetapi berdasarkan pemahaman, karena Ia telah mendapatkan dengan perasaan dan hatinya sesuatu yang banyak yang tidak sempurna hanya dengan rumus belaka.
Pengetahuan yang sektoral akan menjadi penyebab mundurnya pemahaman, karena itu umat Islam dewasa ini banyak ditimpa pengetahuan sektoral yang secara zahir tampak tinggi pengetahuannya tapi hakekatnya masih belum memiliki pemahaman yang baik. Kita melihat ada kalangan Fuqoha dan Ulama yang memiliki banyak pengetahuan dan spesialisasinya, tetapi mereka tidak menguasai arah spesialisasinya di tengah berbagai pengetahuan lainnya, dan tidak memfokuskan spesialisasinya menyatu dan bersinergi dengan spesialisasi lainnya, dan tidak mencari keterkaitan dan keterikatan antara satu dengan yang lainnya, serta mereka tidak hidup dengan spesialisasinya itu dalam sebuah bangunan yang utuh dan menyeluruh dalam mengatasi permasalahan Islam.
Spesialisasi semacam itu adalah sebuah kekeliruan, kita dapat menyebutnya sebagai penyakit : تضخم الفهم, (pembengkakan pemahaman), penyakit ini harus diantisipasi dengan kedalaman pemahaman. Ada individu Muslim yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menekuni satu macam aktifitas intelektual, lalu ditimpa penyakit arogansi intelektual, Ia berpersepsi bahwa segalanya dibangun dan disandarkan pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kecenderungan penyakit ini bukan hanya terjadi di zaman sekarang ini , tetapi sejak umat terdahulu. Ketika sebagian ulama memandang bahwa ilmu pengetahun itu ada pada fiqih sementara sebagian lainnya mengatakan ada pada hadits, sebagiannya lagi menyatakan pada tafsir. Lalu muncul arus baru yang berpandangan bahwa solusi menyeluruh atas problematika umat adalah dengan pendidikan akhlak dan pembiasaannya. Sebagian lainnya berpendapat dengan pemikiran politik dan sebagian lagi dengan operasi militer, dan berbagai pandangan lainnya yang merefleksikan pemahaman yang “membengkak” (تضخم الفهم). 
PILAR PEMAHAMAN (أركان الفهم) :
Untuk menghindari virus pemahaman dan berbagai penyakitnya, harus ada analisa logika pilar pemahaman, agar dapat merubah tatanan pengetahuan sektoral menjadi pengetahuan yang komprehensif, agar dapat menjadikan satu benih menjadi beberapa benih yang tersebar, langkah ini akan membantu proses penyembuhan fenomena penyakit sosial dan akhlak setelah penyembuhan penyakit persepsi dan pemikiran, karena penyembuhan sangat tergantung dengan ketepatan diagnosa, sebagimana Muhammad Abduh berkata :
ما أقوى المسلمين أفراداً وأضعفهم جماعة، وما أعظم الإسلام وأضعف المسلمين
“Alangkah kuatnya individu kaum Muslimin, namun alangkah lemahnya jamaah mereka. Alangkah agungnya Islam, namun alangkah lemah umatnya”
Penyakit tersebut di atas muncul akibat ketimpangan pemahaman Islam yang terpisah-pisah bukan pemahamn yang saling tersusun, berjalin berkelindan (sinergi), ketimpangan pemahaman inilah yang menguasai akal dan jiwa. Karena itu penting dan mendesak saya. Tunjukan bahayanya pemahaman yang “sakit” dibanding dengan pemahaman yang “sehat” dalam kontek sejarah Islam, meskipun yang sangat dibutuhkan untuk zaman ini adalah pemahaman yang “sehat”, akan tetapi memahami pemahaman yang sakit juga menjadi urgen untuk membantu kita memahami sejarah Islam dan mengetahui rahsia kekuatan dan kelemahan yang ada di dalamnya.
Jadi tidak hanya cukup mengatakan bahwasanya era nubuwwah dan khilafah rasyidah adalah era yang penuh dengan kekuatan dan dinamika, dan era setelahnya era yang minus dinamika sampai pada sebuah keadaan yang disebut era kemunduran. Harus dianalaisa kekeliruan pemahaman agar kita dapat melewati era kemunduran menuju era amal dan dinamika. Hanya dengan inilah kita dapat menyambungkan kembali mata rantai yang terputus antara zaman kita dengan zaman generasi pertama umat ini.
PETA PEMAHAMAN :
Untuk memahami pilar-pilar pemahaman, kami akan memberikan gambaran pemahaman melalui peta geografis yang harus terhimpun di dalamnya 3 pilar (rukun).
Pilar pertama : Peta tersebut mencakup seluruhnya unsur kota, desa, jalan-jalan, gunung dan sungai, sehingga peta menjadi miniatur dari sebuah keadaan di lapangan. Peta pemahaman yang Islami juga mencakup seluruh unsur-unsur keislaman, semakin terpadu unsur-unsur tersebut maka semakin sempurna pemahaman, demikian juga sebaliknya. Yang patut diingat bahwasanya pemahaman yang kurang akan mengakibatkan berkurangnya etika dan amal bahkan terjadi distorsi persepsi, dan selanjutnya menjauhkannya dari jalan yang lurus, maka tidak sampai pemahaman yang kurang tersebut kepada sasaran yang dituju.
Sebagian umat Islam dalam beramal ditengarai menimbulkan kerancuan akibat distorsi peta pemahaman mereka, maka ketika seorang Muslim dalam fikroh keislamannya kosong dari persepsi hukum, politik, atau kosong dari pendidikan jiwa dan kebersihan ruh, atau kosong dari pendidikan akal dan dinamika pemikiran, atau kosong dari pendidikan fisik dan penguatan jasmani, atau hanya terfokus pada kemaslahatan individu dari pada kemaslahtan sosial. Mereka tidak hanya menyebabkan lambannya perjalanan tetapi melenceng jauh dari jalan yang lurus.
Sesungguhnya kemenyeluruhan Islam bukanlah tempat berijtihad, akan tetapi sudah merupakan paket yang karena satu dan lain hal tidak boleh dlampaui,seseorang yang ingin mengeluarkan sebagian dari kemenyeluruhan Islam di bawah tekanan realita, membuatnya membuang sabagian dari unsusr-unsur Islam, lalu Ia berpersepsi telah melakukan yang terbaik, padahal apa yang dilakukannya akan semakin menggiring akal terbelenggu pada pemahaman yang sakit.
Sungguh telah tiba saatnya umat Islam melihat kekurangan pemahaman dan keikhlasan, intinya hanya satu yaitu split dan distorsi, nilainya hanya duniawi, sebab nilai ukhrowi hanya dapat dicapai dengan amal yang optimal dalam upaya memenangkan yang haq dan mempecundangkan yang batil.
Rukun kedua : Untuk memahami peta pemahaman harus ada gambaran peta geografis yang menyeluruh mencakup segala bagiannya, besar-kecil dan tinggi-rendahnya merupakan skala yang alamiah, akan tetapi ketika skala itu diperbesar atau diperkecil semaunya, maka peta tersebut akan menipu orang lain, demikian pula peta pemahaman ketika bagaian-bagiannya diperbesar dan diperkecil semaunya akan menipu orang yang menggunakannya.
Sesungguhnya barangsiapa yang menggunakan kaca pembesar , maka skala dan jarak yang dilihat bukanlah yang sesungguhnya, sebab bila dianggap yang sesungguhnya maka tentunya itu penglihatan yang salah, bisa jadi jaraknya hanya beberapa sentimeter padahal kenyataannya sangat jauh, titik yang kecil (seperti gunung) membutuhkan kekuatan yang besar untuk menempuhnya, bukan hanya dengan sekali sentuh atau gerak saja.
Sebagian umat Islam ada yang terkena semacam pembengkakan pemahaman dalam menyikapi berbagi permasalahan Islam dan problematikanya. Topik mengenai Khilafah dan amal memang penting dalam kontek pemahaman yang sehat, akan tetapi hanya total pada topik itu saja, seolah-olah telah memenuhi seluruh topik keislaman, sementara di sisi lain urusan-urusan keislaman lainnya dianggap sepele dan diabaikan, maka hal itu sama saja dengan meruntuhkan khilafah itu sendiri. Demikian pula melihat tarbiyah ruhiyah dan tazkiyahnya dengan mengenyampingkan aktifitas keislaman lainnya juga hanya akan menghancurkan ruh itu sendiri.Karena itu orang yang berakal akan mengatakan bahwa pembengkakan tidak menunjukan keadaan yang sehat, tetapi keadaan yang sakit, demikian pula pembengkakan pemahaman.
Juga sebagian aktifis Islam terkena pembengkakan ini, dimana mereka bersikukuh hanya memperhatikan satu aspek di antara sekian banyak aspek keislaman, tidak pernah terlintas dalam benak mereka kecuali aspek itu saja. Penyimpangan besar yang terjadi dalam perjalanan sejarah manusia kebanyakan disebabkan oleh kesalahan dalam membuat peta pemahaman.
Kaum Yahudi yang tidak mengenal agamanya sendiri, hanya karena mereka manjadi bangsa pilihan Tuhan, menjadikan pemahaman mereka melampaui batas, sampai pada persepsi bahwa ras mereka lebih unggul dari segala ras yang ada, dan menuntut apapun diluar ras mereka untuk tunduk, sampai Allah SWT juga direndahkan oleh mereka. Begitu pula kaum Nasrani yang tidak memperlakukan Nabi Isa kecuali menuhankan dan mengagungkannya sehingga mereka pun menyimpang dan sesat. 
Sedangkan orang-orang Musyrik mereka mengkultuskan tokoh-tokoh mereka, kemudian beralih kepada menuhankan patung untuk mengenang tokoh-tokoh mereka, akal dan jiwa mereka telah dikuasai oleh kemusyrikannya, begitulah bila kita menelusuri bangsa-bangsa di muka bumi ini, kita akan dapatkan bahwa kerancuan pemahaman mereka telah melampaui kemurnian akidahnya.
Beberapa firqah Islam mencerminkan pemahaman yang bengkak dan rancu, faham Qadariah yang mengingkari takdir adalah kaum yang disifati dengan kebaikan dan ketaqwaan, akan tetapi mereka telah lancang menafikan takdir, mereka mempersepsi bahwa ilmu Allah tidak bersifat azali, tetapi bersifat baharu (hadits). Sesusungguhnya mereka ingin mensucikan Allah dari sifat dzhalim, akan tetapi keingginan mereka terlalu membengkak sehingga mereka mensifati Allah dengan kebodohan, lalu mereka keluar dari kaidah pensucian, tentang mereka tergambar dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Ibnu Umar ketika datang kepadanya Yahya bin ya’mar dan hamid bin Abdurrahman al-himyary, keduanya berkata kepadanya : “Sesungguhnya sebelum kami ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tetapi mereka ويتقفرون, mereka mengatakan : “tidak ada takdir, sesungguhnya segala perkara terjadi dengan sendirinya dan Allah tidak mengetahui permulaannya”. Ibnu Umar berkata : “jika engkau bertemu dengan mereka, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merek berlepas diri dariku, demi sumpah yang telah dinyatakan oleh Ibnu Umar, seandainya salah seorang dari mereka menginfakan emas seberat gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya sehingga Ia beriman kepada takdir, kemudian Ia mengutip hadits tentang kisah Nabi Muhammad yang didatangi malaikat jibril yang menjelaskan tentang rukun iman.
Karena itu tidak sepatutnya bila firqah dan faham seperti itu disifati dengn sifat jenius
Dan excellent, seperti yang sering dijuluki oleh para orientalis dan murid-muridnya terhadap mu’tazilah dengan julukan pelopor pemikir bebas dan pencerahan akal, padahal hakekatnya mereka adalah orang-orang yang pemahamannya bersayap.
Begitupula Syi’ah yang mencintai Ali bin Abi Thalib RA dan menuhankannya, mereka mengidap penyakit pembengkakan dalam hal cinta dan loyalitas, yang telah mengungkung pemahaman mereka dan mengarahkan gerakan mereka dengan arah yang keliru. Adapun Khawarij adalah kelompok yang kelebihan dalam kesungguhannya, kekukuhannya, kekerasannya dan sikapnya terhadap ibadah dan membaca Al-Qur’an, akan tetapi mereka juga mengalami pembengkakakan pemahaman, ketika tidak dapat menggabungkan antara muslim yang maksiat dengan mu’min pada waktu yang sama, maka ketegasan sikap mereka dalam mengkafirkan ahli maksiat adalah kemaksiatan mereka yang terbesar. Mereka lupa bahwa nas-nas syar’I memiliki landasan pemahaman masing-masing, kontradiksi yang terjadi di antara nash biasanya hanya dzhahirnya saja, hal itu dapat diatasi dengan ilmu dan pandangan serta analisa yang luas.
Ketika seorang tidak memiliki landasan dan pengetahuan, maka kontradiksi antar nash menjadi ganjalan yang berat bagi akal, sehingga seorang muslim cenderung memilih satu nash dan membuang yang lainnya, padahal meskipun , pada saat yang sama Ia ingin agar syariat Allah ditegakan di atas syiar : ( إن الحكم إلا لله), hukum hanyalah milik Allah, tetapi sesunguhnya Ia telah menolak syriat Allah dengan menolak satu nash atau hukum.
Rukun yang ketiga : Bahwasnya anda menempatkan unsur-unsur pemahaman pada tempatnya yang alami, tidak tertukar penempatannya, bahkan masing-masing unsur tampak pada tempatnya yang alami dalam urutan skala prioritas, yang demikian itu bahwasanya metodologi menejemen skala prioritas akan memberikan saham yang signifikan dalam perubahan manhaj dan sistematika berfikir, karena perbedaan di antara dua jamaah misalnya bukan dalam unsur-unsur pemahaman, akan tetapi dalam urutan skala priorotas dan unsur-unsurnya, seperti halnya bila sebuah tahapan dimulai sebelum waktunya, maka akan merusak tahapan itu sendiri, sesungguhnya kami telah melihat musuh-musuh Islam berusaha menggiring ke arah tsb.

No comments:

Post a Comment