Sunday, August 26, 2018

Kaidah ke-20: Melawan Maksud dan Tujuan Al-Qur’an Lebih Berbahaya Daripada Meninggalkannya

Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai kitab suci penuh petunjuk yang menghidupkan jiwa-jiwa yang mati dan gersang, mengatur semua lini kehidupan, mengajak manusia menuju jalan yang lurus, dan mewujudkan kesenangan dunia serta akhirat. Peran seperti ini sudah dibuktikan kepada para sahabat, tabi’in, dan tabitu tabi’in, yang merupakan gerakan perubahan paling mencengangkan yang pernah disaksikan oleh sejarah. Orang-orang mungkin bertanya, tapi kenapa peran Al-Qur’an seperti itu tidak terwujud di kehidupan manusia sekarang ?. Bukankah Al-Qur’an yang sekarang merupakan kitab suci yang dulunya juga pernah diturunkan kepada nabi Muhammad ?. Bukankah Al-Qur’an sekarang merupakan rentetan surat, ayat dan huruf-hurufnya yang dahulu ?. Ya, dia adalah kitab suci yang dijaga oleh Allah dari perubahan dan penyelewengan. Kitab itulah dokumentasi yang paling otentik yang pernah disaksikan dalam sejarah manusia. Tapi ternyata persoalannya bukan terletak pada Al-Qur’an, karena yang sebenarnya terjadi adalah karena ketimpangan kita dalam memahami Al-Qur’an. Sebagian umat Islam tidak lagi memahami kandungan Al-Qur’an sebagaimana saat ia diturunkan dulu. Mereka tidak lagi berinteraksi dengan ayat-ayatnya secara focus sesuai makna yang dikehendaki, sehingga sekarang ini, seorang muslim menggunakan sebuah ayat di tempat yang bukan semestinya.

Sebagai contoh adalah firman Allah swt, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya” (Al-Baqarah/272). Orang muslim tahu keberadaan ayat ini, entah ia terpelajar, entah buta huruf. Kebanyakan mereka menggunakannya sebagai peredam ketika ada perbedaan pendapat dalam membahas suatu tema. Atau, dengan ayat itu, mereka berharap agar seorang dai berhenti saja dari dakwahnya dengan dalih pendengaran mereka sudah ditulikan, manusia sudah tidak lagi tertarik akan kebaikan, atau karena zaman orang saleh sudah berakhir sebagaimana berakhirnya peran orang yang membela kebaikan dan memberi petunjuk. Ayat ini kadang juga dijadikan alasan bagi orang-orang yang keras kepala dan menyombongkan diri untuk melegalkan kedunguan dan kesombongan mereka. Orang-orang yang enggan memikul amanah dakwah dengan entengnya berkicau, “Biarkan saja, Syekh. Bukan kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk”. 

Cara memahami dan mengambil kesimpulan dari dalil Al-Qur’an seperti inilah yang bertentangan dengan maksud serta tujuan Al-Qur’an, hingga menyebabkan malapraktik dalam menjalankan perintah atau larangan Al-Qur’an. Menyelisihi maksud dan menentang tujuan Al-Qur’an merupakan bentuk pengabaian Al-Qur’an yang terparah. Lebih dari itu, mereka menjadikannya sebagai alasan pembenaran atas kemalasan, berdiam diri dan menafikan amalan-amalan Islam.

Kalau saja kita memperhatikan ayat di atas beserta kontekstualisasinya dengan ayat sebelum dan sesudahnya maka akan jelas bagi kita peran dari ayat tersebut dalam membangkitkan semangat yang luar biasa, menghidupkan gairah kerajinan, dan menggelorakan jihad yang membara dalam menegakkan dakwah Allah.

Ayat lain yang disalahartikan sebagian umat Islam adalah, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (Al-Qashash/56).

Ayat di atas turun setelah pembicaraan tentang kisah Nabi Musa dan Fir’aun. Keterangan dari apa yang termuat dalam kisah tersebut merupakan penjelasan yang paling tepat untuk menjelaskan bagaimana kondisi sebenarnya orang-orang yang keras kepala dan sombong. Akan tetapi, sejelas apapun kesaksian, petunjuk, dan bukti nyata, di mana hal-hal itu menguatkan akan kemukjizataan Nabi Musa, Fir’aun dan komplotannya masih terus menutup telinga dari suara-suara kebenaran. Petunjuk sudah ditampakkan oleh Nabi Musa kepada Fir’aun dengan begitu terangnya, akan tetapi Fir’aun dan bala tentaranya memilih untuk menutup semua pintu hidayah itu sendiri. Mereka mengunci hati dari petunjuk yang disampaikan. Fenomena seperti ini selalu terulang sepanjang sejarah. Selama 13 tahun di Mekkah, Nabi Muhammad selalu memberikan petunjuk yang begitu gamblangnya, dengan cara yang mudah, perantara yang santun dan lembut, dengan penuh rasa cinta dan kasih saying. Pribadi Rasulullah merupakan akumulasi dari keterangan yang jelas, mukjizat, kemuliaan, keagungan, hati yang penyayang serta cinta yang murni. Dengan kata lain, Rasulullah adalah sosok yang dalam dirinya terkumpul semua faktor dan sebab-sebab yang menjadikan seseorang masuk Islam dengan dakwahnya. Tapi dengan segala modal seperti itu, ternyata tidak bisa menjadikan paman tercintanya, Abu Thalib, mengikuti hidayah dan petunjuk dari beliau. Padahal paman beliau adalah orang yang selalu menolongnya, yang santun dengan keimanan orang-orang muslim dan dakwah Islam.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa ketika datang ajal Abu Thalib, saat Rasulullah mendatanginya, terlihat oleh beliau ada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin Mughirah. Rasulullah kemudian bersabda, “Wahai Paman, katakanlah La ilaaha illallah, kalimat yang akan menjadi saksiku di sisi Allah nanti”. Kemudian berkatalah Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau rela meninggalkan agama Abdul Muthalib?”. Rasulullah pun tak henti-hentinya menawarkan dan mengajari syahadatain kepadanya. Beliau selalu mengulangi kalimat syahadat tersebut hingga Abu Thalib memberikan pernyataan terakhir kepada para pelayatnya, “Sesungguhnya aku bersama agama Abdul Muthalib.” Ia menolak mengucapkan la ilaaha illallah.” Lantas Rasulullah bersabda, “Demi Allah, aku akan meminta ampunan untukmu kalau saja aku tidak dilarang melakukan itu.” Lalu Allah menurunkan ayat 113 surat At-Taubah, “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang berimana memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” Allah menurunkan ayat lain berkenaan dengan Abu Thalib di dalam surat Al-Qashash ayat 56 yang sudah tersebut di atas, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”

Sungguh sangat mengherankan ketika Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, salah satu putra pembesar Mekkah sekaligus dedengkot yang frontal melawan Islam ternyata malah menerima cahaya keimanan dalam hatinya, sementara Abu Thalib, paman Nabi sendiri yang menjadi pembelanya, yang menginfakkan harta dan jiwanya untuk membela jalan yang ditempuh Rasulullah, dimana oleh Ibnu Katsir digambarkan sebagai pelindung Rasulullah, pembelanya, yang berdiri di barisan shaf Rasulullah, yang mencintainya dengan segenap naluri yang ada, ternyata dimatikan dalam keadaan tidak beriman.

Lalu, dimanakah letak persoalannya ?. Apakah lantas berarti Allah menghendaki agar Abu Hudzaifah beriman dan tidak berkehendak atas paman Nabi, Abu Thalib ?. Apakah firman Allah, “Tetapi Allah memberikan petunjuk-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, “ mempunyai arti bahwa Allah memalingkan keimanan seseorang dari makhluknya dan memberikannya kepada yang lain?. Hati-hati dengan hal ini, karena ini merupakan pemahaman jabariyah yang bertentangan dengan kasih sayang Allah bagi hambanya, di mana Allah swt berfirman, “Dan Tuhanmu tidak akan pernah berbuat zhalim kepadamu” (Al-Kahfi/49). Sesungguhnya ayat 56 surah Al-Qashash di atas tidak berhubungan dengan hal ini, tetapi konteksnya lebih dari itu, yakni untuk menerangkan keagungan Allah dan kesempurnaan kemampuan-Nya. Dialah zat yang Maha Esa dan Mahamampu untuk menjadikan seluruh manusia dalam satu agama atau dalam satu madzhab. Jika Allah berkehendak, Dia akan menjadikan mereka semua sebagai orang mukmin; jika berkehendak, Dia akan menjadikan mereka kafir; jika berkehendak, Dia akan menjadikan kita umat yang satu; dan jika Dia berkehendak, Dia akan membinasakan mereka semua. Yang perlu digarisbawahi, konteks ayat di atas membicarakan tentang kehendak dan kemampuan Allah, bukan tentang apa yang telah benar-benar dilakukan oleh Allah kepada ciptaan-Nya. Hal ini bisa kita analogikan, ketika seorang direktur mampu dan punya kewenagan untuk memutus kontrak kerja semua karyawannya, apakah lantas seorang direktur tersebut lalu melakukannya karena ia memang mampu dan mempunyai wewenang untuk melakukannya ?. Atau apakah ini berarti pernyataan bahwa seorang direktur memiliki hak seperti itu ?. Jawabannya adalah, pernyataan yang menggambarkan tentang sifat, kemampuan dan hak seseorang berbeda dengan pernyataan yang menjelaskan tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Tidak semua orang yang memiliki sifat dan kewenangan tertentu mempraktekkan kewenangan dan sifat-sifat itu dalam tindakannya. Seseorang baru dikatakan beriman kepada Allah bila ia berkeyakinan bahwa Allahlah satuanya-satunya dzat yang menganugerahkan kehidupan ini, menciptakan semua orang dan semua yang ada di jagat raya, dan akhirnya, hanya Dialah yang berhak memberikan petunjuk.

Perbincangan di atas adalah contoh bagaimana Rasulullah benar-benar mempunyai keinginan dan usaha keras untuk paman tercintanya. Ia terlalu iba dengan keadaannya, seolah-olah beliau berkata, “Bagaimana mungkin seorang paman yang begitu dia cintai, mati dalam keadaan tidak berimana ?”. Jawaban atas keluh kesah itu adalah, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah hamba Allah seperti hamba-hamba lainnya, engkau diperintahkan untuk menyampaikan dan menerangkan agama, tidak ada kekuasaan padamu atas hati manusia. Engkau hanya berkuasa menerangkan kepada kaummu. Engaku juga mampu membaca Al-Qur’an dan melantunkannya untuk orang-orang sekelilingmu. Akan tetapi engkau tidak mempunyai kekuasaan untuk mengubah hati siapa saja, tidak pula menanamkan benih iman kepada mereka. Karena maqammu sebagai seorang hamba harus disadari bahwa kamu tidak bisa memberikan petunjuk kepada siapa yang engkau cintai sekalipun dia adalah pamanmu yang engkau kasihi. 

Oleh karena itu, semua orang harus sadar bahwa siapa pun tidak memiliki kekuasaan atas seseorang, karena kekuasaan dan hukum itu hanya milih Allah. Tauhid hanya akan terwujud ketika seseorang mengimani bahwa Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah dengannya. Kepunyaan Allah adalah sifat-sifat yang Maha Tinggi. 

Dari ayat ini kita bisa memahami ayat-ayat lain yang di dalamnya terkandung pernyataan bahwa sesungguhnya Allah memberikan kesesatan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah-lah satu-satunya dzat yang di tangan-Nya terkumpul segala urusan. Konsekuensi dari itu semua adalah kita harus mencintai-Nya, beribadah kepada-Nya, dan meminta hanya kepada-Nya. Janganlah pemahaman yang salah membuat kita tergelincir di pusaran jabariyah yang sangat  fatal; mematikan ikhtiar manusia, membuat pasif usaha-usahanya, dan bahkan menafikan harapan serta do’a-do’a seorang hamba kepada Tuhannya.

Hal penting lainnya yang harus disadari adalah, ayat-ayat seperti di atas merupakan bentuk harmonisasi seorang hamba dengan amalannya, sehingga seseorang tidak lagi berkata, “Coba lihat Rasulullah, berusaha sepanjang hari selam 9 tahun agar pamannya yang tercinta menerima dakwahnya, tapi akhirnya toh sama saja, ia tidak beriman kepadanya.” Atau jangan sampai seorang dai beranggapan bahwa seolah-oleh dakwahnya tidak membuahkan hasil apa-apa dan hanya sia-sia layaknya tiupan terompet di bentangan gua dan bukit-bukit pegunungan; taka da yang menyapanya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti ini maka Allah mencoba memberi penjelasan kepada Rasulullah bahwa apa-apa yang harus beliau lakukan adalah menyampaikan dakwah saja, sedangkan keimanan seseorang bukanlah wewenang yang harus dia capai. Dan dia tidak harus memaksakannya kepada orang lain, karena keimanan adalah pernyataan di dalam hatinya, dan pernyataan ini merupakan rahasia yang mana orang lain tidak bisa mengetahuinya kecuali Allah. Seseorang tidak akan bisa mencampuri urusan dan pernyataan atau pilihan orang lain. Siapa saja yang mengira bahwa dirinya mampu akan hal itu maka sejatinya ia telah menyatakan dirinya sebagai Tuhan atas manusia. Apa yang kami sampaikan ini tidak bertentangan dengan imu Allah yang azali atau qadim tentang semua muara yang akan dituju oleh manusia, dan ilmu yang sempurna merupakan sifat Allah. Ilmu seperti ini menuntut pengetahuan bahkan sebelum terjadinya sesuatu, dan pengetahuan akan siapa saja yang mendapat petunjuk atau kesesatan merupakan objek yang diketahui oleh Allah. Namun penyebab-penyebab adanya petunjuk atau kesesatan merupakan objek lain, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang diberi petunjuk. 

Akhirnya, yang diharapkan dari seoang muslim adalah usaha keras secara terus menerus tak kenal Lelah, tidak menyerah dalam keputus asaan, dan tidak pula terlena dengan berlindung di balik tameng takdir bahwa ‘Allah memang telanjur menginginkan hal ini atau itu’. Yang dibutuhkan umat Islam sekarang adalah memurnikan makrifat dan ketauhidannya serta menjauhkannya dari paham jabariyah yang melemahkan manusia.

Sumber: Dr. Hammam Abdurrahim Said, Qowa’idud Da’wah Ilallah

Friday, August 24, 2018

Kaidah ke-19: Amar Makruf Nahi Mungkar Salah Satu Kewajiban Umat

Amar makruf nah mungkar merupakan karakteristik utama umat Islam dan merupakan tanda kebaikan umat ini. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” Untuk merealisasikan kualitas unggulan ini maka Al-Qur’an memberi statemen dalam surah Ali Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.”

Amar makruf nahi mungkar merupakan petunjuk akan hidupnya keimanan seorang dalam hati, serta bukti yang jelas akan adanya keterkaitan yang nyata antara seorang muslim penyeru kebaikan dengan agamanya. Amar makruf nahi mungkar merupakan bukti nyata bahwa seseorang serius dan komitmen terhadap agamanya.

A.   Amar makruf nahi mungkar secara terminology dan epistomologi

Makruf (kebaikan) secara Bahasa adalah apa yang dipandang baik oleh manusia, sedangkan mungkar adalah apa yang diingkari dan dicela oleh manusia. Adapun secara syar’i, al-ma’rufadalah apa yang dipandang baik oleh manusia dan syariat, sedangkan kemungkaran adalah apa yang diingkari dan dicela oleh manusia serta dilarang dalam agama. Terkadang sebuah kebaikan di mata manusia adalah keburukan atau kemungkaran di mata syariat, dan sebuah kemungkaran di mata manusia merupakan kebaikan dalam timbangan agama. Ketika syariat Allah tidak ditemukan dalam sebuah komunitas masyarakat maka muncullah kebaikan atau tradisi jahiliyah yang menggeser nilai-nilai dan timbangan akhlak serta kebaikan. Kita dapatkan banyak dari masyarakat muslim menjadikan kemungkaran sebagai kebaikan dengan cara menyokongnya dengan materi dan moralitas palsu. Kemungkaran itu juga dijaga oleh sistem, aturan, dan hukum positif. Inilah hasil yang buruk dari nenek moyang kita, di mana mereka bersekutu dengan kemungkaran dan membuka peluang besar kepada para penyeru kebatilan di semua lini kehidupan. 

B.   Amar makruf nahi mungkar menjadi tanggung jawab Bersama

Amar makruf nahi mungkar bukan tanggung jawab beberapa individu dalam masyarakat Islam saja, melainkan merupakan tanggung jawab Bersama yang didasari taklif dari syariat Islam yang berlaku untuk semua orang. Rasulullah bersabda, “Man ra’a minkum munkaran falyughayyirhu.” Barangsiapa salah seorang dari kalian melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya. Kata man berlaku untuk umum, untuk setiap muslim yang beriman kepada Allah. Siapa saja yang mengaku Allah sebagai Tuhannya dan Islam sebagai agamanya terbebani secara syariat untuk beramar makruf nahi mungkar. Seseorang tersebut tidak berhak mendapatkan kecintaan dari Allah dan rasulnya sebelum ia menegakkan kewajiban ini. Allah swt berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar. (At-Taubah/71)

Menegakkan amar makruf nahi mungkar merupakan kewajiban dalam syariat Islam, bahkan ia merupakan pokok dari kewajiban syariat, berlaku di setiap waktu dan kondisi, entah muslim tersebut kaya atau miskin, kuat atau lemah, sendirian atau berjamaah, berilmu banyak atau sedikit. Yang berbeda hanya dalam tingkatan dan derajatnya sesuai dengan waktu serta kondisi. Derajat tertinggi dalam nahi mungkar adalah dengan tangannya, sedangkan derajat paling rendah adalah mengingkarinya dengan hati.

C.   Amar makruf nahi mungkar, mana yang didahulukan ?

Dalam Al-Qur’an dan hadits, amar makruf nahi mungkar sering disebut secara beriringan, di mana hal itu mengisyaratkan agar keduanya sama-sama ditegakkan. Tetapi terkadang penyebutan nahi mungkar juga disebut secara tersendiri di beberapa tempat, seperti dalam firman Allah swt kepada bani Israil dalam surat Al-Maidah ayat 78-78:
Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

Penegakan nahi mungkar secara khusus juga tersebut dalam hadits Rasulullah:
Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan itulah derajat iman yang paling lemah. (HR. Muslim)

Variasi dalam penyebutan amar makruf nahi mungkar ini menunjukkan bahwa masing-masing merupakan ketentuan yang berlaku dalam keadaan dan kondisi tertentu, yang ditegakkan sesuai kondisi. Keduanya terkadang dilakukan secara bersamaan dan kadang ditegakkan secara terpisah. Standar yang menjadi ukuran mana yang harus dilakukan terlebih dahulu di antara amar makruf atau nahi mungkar adalah tergantung  pada keberadaan salah satu unsur tersebut di dalam masyarakat. Bila sebuah kemungkaran eksis dalam sebuah masyarakat seperti di Mekkah sebelum masa-masa hijrah atau seperti di beberapa bagian masyarakat Islam modern maka amar makrif mengambil perannya dalam rangka mengubah kondisi masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila kebaikan mendominasi dalam suatu wilayah masyarakat maka nahi mungkar mengambil perannya untuk menyikapi permasalahan yang muncul di dalamnya, seperti yang terjadi ketika kaum muslimin sudah hijrah menuju Madinah di mana masyarakat muslim yang madani benar-benar tercermin di dalamnya, atau di tengah masyarakat yang menerima syariat Islam sebagai asas hukum yang diberlakukan.

D.   Karakteristik amar makruf

Karakter dari amar makruf adalah disampaikan dengan penuh hikmah, kecintaan, kasih saying, kebaikan, serta selalu melihat dan menumbuhkembangkan sisi positif dari keperibadian seseorang. Tidak kalah penting dari hal-hal di atas adalah adanya qudwah hasanahatau public figureyang menjadi percontohan dalam bertindak. Sebab, amar makruf tidak akan terwujud kecuali dilakukan oleh orang yang berperilaku baik pula, di mana kebaikan orang tersebut terlihat dengan jelas di mata masyarakat dan orang-orang  sekelilingnya. Oleh karena itu, dakwah secara suluk dan perilaku lebih didahulukan dari dakwah secara lisan.

E.    Karakteristik nahi mungkar

Nahi mungkkar dilakukan dengan perlawanan, supremasi, dan spirit menentang segala bentuk keburukan. Nahi mungkar harus mempunyai daya paksa dan pengaruh yang kuat, karena kemungkaran mengandung unsur kebodohan, ucapan yang tercela, perilaku bejat, moral yang rendah serta menerjang segala bentuk tradisi kebaikan. Dari sini kita tahu bahwa nahi mungkar lebih berat dan lebih bahaya daripada amar makruf.

F.    Proses perubahan yang terjadi dalam amar makruf

Amar makruf diawali dengan semangat cinta dan kasih saying, tanpa tendensi kebencian atau balas dendam, tidak pula dengan perlawanan atau keras kepala. Kata-kata yang diucapkan hedaklah merupakan hal logis dan mempunyai landasan yang kuat. Oleh karena itu, untuk memulai perubahan dalam sebuah tatanan masyarakat harus diawali dengan beberapa langkah berikut ini.

1.    Tahap pertama

Ketika sebuah ucapan atau perilaku kebaikan disampaikan kepada masyarakat yang penuh dengan kemungkaran maka ucapan atau perilaku itu pada mulanya akan memancing respon negative berupa hinaan atau celaan, dan memang seperti inilah tahapan awalnya, karena mata batin, hati, pendengaran, dan rasa pelaku kemungkaran belum terbiasa dengan nuansa santun dan kebaikan dari ucapan atau perilaku kita. Untuk itu, tidak heran jika mereka hanya bisa mencela dan menghina, sebagai timbal balik dari kebiasaan yang bertentangan dengan kondisi mereka. Fenomena ini merupakan hal wajar bagi sebuah tatanan yang baru. Hal itu juga dialami oleh Rasulullah ketika mendirikan shalat di tengah masyarakat jahiliyah. Respons orang-orang Mekkah waktu itu juga meremehkan dan mencelanya.

2.    Tahap kedua

Ketika kebaikan itu disampaikan secara berlanjut dan terus menerus maka tahap keduapun akan dimulai, yaitu adanya ketidakrelaan dan rasa kesal di dada disertai diskusi dan perdebatan. Dari sinilah dimulai tahap membela kebenaran, selalu menjaganya, tanpa bosan menanam benih kebaikan, serta merawatnya secara militant. Hal itu dilakukan hngga nilai-nilai kebaikan itu dirasa terbiasa oleh orang-orang pelaku kemungkaran.

3.    Tahap ketiga

Ketika para pembela kebenaran tanpa hentinya memperjuangan kebenaran, meletakkan fondasi-fondasinya, mengencangkannya, menetapkan symbol-simbol kebaikan, menampakkan kebaikan-kebaikannya dan mereka sabar dengan hal itu, tabah akan cobaan dalam menegakkan kebaikan, dan memperbaiki tata cara menampilkannya maka kondisi akan berbalik; dari seruan kebaikan menjadi penolakan dan sikap acuh.

4.    Tahap keempat

Ketika ucapan dan perbuatan makruf terus menerus diserukan maka akan terjadi proses rekonsiliasi dan pembiasaan, hingga kebaikan tersebut benar-benar menjadi asas dalam masyarakat dan kokoh di dalamnya. Dengan kerja yang konsisten maka kebaikan akan beralih ke tahap penerimaan dan keridhaan.

5.    Tahap kelima

Tahap selanjutnya adalah lahirnya ruh keimanan, semangat, kemenangan, dan penguatan.

Tahapan-tahapan seperti di atas merupakan tahapan yang wajar dan logis ketika hendak menanamkan nilai kebaikan ke dalam jiwa masyarakat. Adanya peralihan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya merupakan sesuatu yang positif bagi dakwah. Perlu diperhatikan bahwa perubahan itu tidak bisa serta merta terwujud secara cepat, tidak pula bisa dicapai dalam satu langkah saja. Sukses atau tidaknya amar makruf tidak bisa dinilai dari adanya perubahan spektakuler atau tidak. Oleh karena itu, fathu Mekkah dan masuknya penduduk Mekkah ke dalam agama Islam secara berbondong-bondong tidak terwujud dalam satu tahapan saja, akan tetapi melewati beberapa fase yang berkesinambungan, dimulai dari awal pengutusan Nabi Muhammad. 

Adapun proses kemungkaran adalah kebalikan dari proses amar makruf di atas. Pelaku kemungkaran sudah puas dengan sedikit perubahan yang terus bertahap, sebelum akhirnya kemungkaran itu mengakar di benak manusia.

G.   Proses mencegah kemungkaran

Ketika kemungkaran sudah merebak dalam masyarakat maka kita harus waspada dengan hal-hal berikut ini.
1.    Terpatrinya kemungkaran dalam masyarakat dan adanya institusi-institusi yang memegang kendali untuk menjaga serta membela kemungkaran yang terorganisir tersebut.
2.    Rusaknya nilai-nilai moral, perasaan, tradisi dan adat istiadat.
3.    Pelaku kemungkaran akan tampil layaknya pelaku kebenaran yang mempunyai otoritas dalam peraturan dan undang-undang. Sebaliknya, orang yang mencegah kemungkaran justru akan terlihat ganjil dan dipandang keluar dari norma aturan yang ada.

Memakai kekuatan dalam menghadapi kemungkaran sosial hanya bunuh diri saja dan membuang-buang tenaga. Sebab masyarakat seperti itu akan menggunakan seluruh sumber kekuatan dan institusi-institusi yang menaunginya guna melawan pencegah kemungkaran, merusak citra dirinya, menghancurkannya, dan akan dianggap sebagai tindakan makar hingga harus ditindak tegas. Oleh karena itu, pencegahan kemungkaran dengan kekuatan hanya dilakukan dalam dua kondisi, yaitu (1) dilakukan oleh pemerintah muslim atau amir muslim, dan (2) dilakukan oleh individu muslim di dalam masyarakat islami dalam sejumlah kasus. Dalam hal ini, seorang muslim berhak untuk memecahkan botol khamar dan membuangnya atau membunuh seekor babi jika khamar atau babi tersebut dikonsumsi atau berada di tangan seorang muslim. Tapi ia tetap tidak berhak membunuh pelaku kemungkaran. Hendaklah urusan perkaranya diserahkan kepada pemerintah.

H.   Bagaimana cara mengingkari kemungkaran dalam masyarakat kita ?

Ketika kita tidak punya banyak ruang untuk mengubah kemungkaran dengan tangan, tidak lantas berarti hal itu meninggalkan kewajiban nahi mungkar. Sebab, kita bisa menegakkannya dengan lisan. Pun kalau tidak memungkinkan maka kita menegakkannya dengan hati, sekalipun hal itu merupakan tanda keimanan yang paling lemah.

1.    Mengubah kemungkaran dengan lisan

Mengubah kemungkaran dengan lisan mempunyai beberapa syarat dan standar, sebagai berikut:
a.    Mengubah kemungkaran dengan lisan dilakukan secara bertahap. Kita memulainya dengan menggunakan kata-kata dan ungkapan yang diharapkan bisa membawa hasil baik. Dimulai dengan kata-kata yang lembuh dan penuh ekspresi cinta, menggunakan redaksi yang umum, dan tanpa menyebut nama pelaku kemungkaran, sebagaimana yang dicontohkan oleh sunah nabi sekaligus lebih efektif. Kemungkaran yang bisa diatasi dengan ucapan yang lembut dan sederhana tidak perlu dilakukan dengan keras dan kasar. Bisa jagi mengingkari sesuatu dengan sembunyi-sembunyi terkadang lebih efektif ketimbang secara terang-terangan.
b.    Pelaku nahi mungkar dengan lisan harus menghindari penyebutan nama dan identitas orang-orang atau adegan tertentu, karena bisa terkena delik hukum.
c.    Ada sejumlah praktek kemungkaran yang oleh masyarakat juga ditentang dan dihindari. Nahi mungkar terhadap perilaku-perilaku tersebut akan diterima oleh masyarakat, seperti zina, khamar, sabu-sabu, atau ikhtilath. Bila kita angkat suara terhadap hal-hal seperti ini maka kita akan mendapat banyak pendukung, yaitu masyarakat yang memang benci dan mengharap agar kemungkaran seperti itu dihilangkan.
d.    Kalau seorang dai bisa mengumpulkan data statistic, keterangan-keterangan, laporan atau berita yang berkaitan dengan kemungkaran yang akan ditentang maka ia akan memperoleh alasan penguat dalam memerangi kemungkaran-kemungkaran yang ada.
e.    Benar-benar menyaring informasi dan memastikan orisinalitasnya merupakan dasar utama untuk merealisasikan target. Sedangkan bohong dan sikap hiperbolis akan membuat seorang dai kehilangan martabat dan kejujuran dalam dakwahnya.

2.    Mengubah kemungkaran dengan hati

Dalam hadits, mengingkari sebuah kemungkaran dengan hati masih masuk dalam penilaian. Tapi apabila dengan hati saja tidak ada pengingkaran terhadap hal yang mungkar maka tidak ada keimanan sedikitpun pada diri seseorang. Sebab, pengingkaran dalam hati merupakan kaidah dasar yang melandasi pengingkaran kemungkaran dengan lisan atau tangan. Siapa saja yang mengingkari kemungkaran dengan tangan maka sudah pasti dalam hati juga mengingkarinya, dan barangsiapa mengingkari kemungkaran dengan lisannya sudah pasti dalam hati juga mengingkarinya. Mengingkari sesuatu dengan hati maksudnya adalah merasa kesal dengan pelaku kemungkaran, ada perasaan benci dan merasa jijik terhadapnya. Barang siapa membenci sesuatu dan hatinya selalu ingkar terhadap hal itu maka sudah semestinya kebencian yang ia rasakan berubah menjadi amalan nyata yang positif, yang berekspresikan melalui ungkapan kata-kata, gerakan dan bahkan dalam diam. Karena perasaan dan naluri yang peka merupakan sumber dari gerakan dan perilaku seseorang. Mengingkari kemungkaran dengan hati merupakan tingkatan yang umum dimiliki setiap orang dan selalu dirasakan oleh muslim di setiap tempat dan waktu. Wujud dari pengingkaran itu adalah tidak adanya kerelaan dan adanya rasa benci serta murka atas pelaku kemungkaran dan perbuatan mungkar itu sendiri. Adapun tingkatan paling rendah dalam hal ini adalah mengasingkan diri dari kemungkaran dan menjauh darinya.

I.     Fokus dalam berusaha


Ucapan dan perbuatan yang paling baik adalah yang ditujukan untuk mengokohkan tingkatan makruf paling tinggi, yaitu berhuku dengan syariat Allah dan menegakkan bendera agama-Nya. Itulah yang seharusnya menjadi fokus utama setiap muslim siang dan malam. Bila usaha yang dilakukan benar-benar fokus maka buahnya akan dapat dirasakan, dan itu akan menjadi pelindung paling efektif untuk amar makruf nahi mungkar.

Friday, August 17, 2018

Kaidah ke-18: Antara Pemahaman yang Mendominasi Umat dan Pemahaman yang Seharusnya

Banyak kaum muslim yang tidak memahami Al Qur’an. Krisis seperti ini jauh lebih berbahaya dan lebih kronis dibanding perlawanan dari musuh-musuh mereka. Sebab, pemahaman yang salah telah melahirkan sejumlah firqah yang mencerai-beraikan Islam dan persatuannya. 

Pada kaidah ke-18 ini kami akan membahas tentang pemahaman yang mendominasi umat dengan pemahaman yang seharusnya. Apa yang berkembang dan mencuat di tengah umat saat ini adalah cara berfikir yang egois, individual, dan bertopeng kedok pragmatis. Hal ini sangat membahayakan diri dan komunitasnya, di mana kita melihat masyarakat yang selalu disibukkan oleh kepemilikan pribadi mereka, dan mereka merasa geram ketika muncul sebuah proyek yang mengedepankan kemashalatan Bersama. Lantas dakwah pun jatuh kepada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan individu saja atau pemahaman yang lebih sempit lagi. Alasan mereka bersandar pada ayat 105  surah Al-Maidah, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”.

Dari ayat ini mereka memahami bahwa manusia hendaklah memperhatikan perkara dan kemaslahatan pribadi mereka dan mengabaikan hubungan serta interaksi dengan orang lain. Mereka mengulang-ulang ayat itu sambil mendengungkan jargon seperti, “Kami berada di akhir zaman,” sebagai bentuk keputusasaan dan pelegalan akan keegoisan mereka. Padahal, pemahaman seperti ini menyelesihi maksud dan tujuan Al-Qur’an. Al-Qur’an datang membawa rahmat bagi alam semesta untuk memperbaiki individu maupun golongannya. Di sisi lain, Al-Qur’an juga menyeru kepada setiap muslim agar mandiri dalam dakwah dan jihad serta tidak Bersama orang-orang yang berselisih, tidak pula duduk berpangku tangan dengan orang-orang yang malas. Ayat dan tujuan Al-Qur’an sama sekali tidak saling bertentangan. Halangan dan rintangan tidak bisa dijadikan alasan untuk mengalihkannya dari mencapat tujua. Sebab kalau demikian halnya, maka jihad tidak perlu disyariatkan dan diwajibkan. Allah telah menyeru agar kita berjuang untuk menghadapi fitnah dalam segala bentuknya.

Abu Bakar r.a. telah menyadari akan bahaya dari pemahaman yang pasif dan kontraproduktif ini. Imam Ahmad dalam musnadnya dan Imam Tirmidzi dalam Jami’nya meriwayatkan dari jalur Tabi’in Qais bin Abi Hazim berkata:

Abu Bakar berdiri kemudian memberikan puja-puji kepada Allah. Setelah itu ia berkata, “Wahai manusia sekalian, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apabila kamu telah mendapat petunjuk,’ tapi kalian tidak memahaminya secara tepat. Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Apabila ada seseorang yang melihat sebuah kemungkaran kemudia ia tidak mengubahnya, maka Allah hampir saja akan menimpakan hukumannya kepada semua manusia.”

Kalau saja Abu Bakar r.a. memahami ayat ini dengan pasif, tidak mungkin ia berkemauan keras untuk memerangai orang-orang yang menahan zakat mereka, tidak pula ia meninggalkan orang-orang yang murtad kembali ke zaman jahiliyah mereka. 

Imam Abu Isa At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Jami’nya dengan sanad yang sampai pada Abu Umayyah As-Sya’bani berkata, “Aku mendatangi Abu Tsa’labah Al-Khusyaini dan aku berkata kepadanya, ”Bagaimana kamu memahami ayat ini ?”. Ia bertanya, “Ayat yang mana?”. Aku berkata, “Firman Allah, hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang-orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” Abu Tsa’labah menjawab, “Demi Allah, hal itu pernah aku tanyakan kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda:

Tetap beramar makruf dan bernahi mungkarlah. Ketika engkau mendapati seorang yang pelit tapi ditaati, hawa nafsu yang diikuti, orang-orang yang terpedaya dunia, dan takjubnya seseorang dengan fikirannya sendiri maka ketika itu cukuplah engau menjadi dirimu. Tinggalkan kumpulan manusia, karena akan ada zaman setelah kalian di mana kesabaran ketika itu seperti memegang batu panas. Orang yang beramal di masa seperti itu seperti pahala 50 orang yang beramal seperti amalan kalian.

Dari riwayat di atas Abu Tsa’labah telah menerangkan maksud ayat 105 surat Al-Maidah, dan bahwa mengurus diri sendiri adalah di waktu ketika manusia berada dalam sifat-sifat yang telah disebutkan, yaitu ketika orang yang bakhil sudah dita’ati. Syukh sekalipun mempunyai arti pelit tapi dia lebih umum dari sekadar bakhil, karena syukh merupakan kebakhilan atau kepelitan dalam harta dan lainnya, maka tak heran bila ia menjadi prinsip yang diikuti oleh banyak orang. Sedangkan mengikuti hawa nafsu ialah mengikuti segala yang dikehendaki jiwa ini. Takjubnya seseorang dengan fikirannya sendiri adalah karena ia enggan untuk bermusyawarah dan mengabaikan kemufakatan. 

Mungkin akan ada yang menganggap bahwa sifat-sifat seperti itu sudah merebak di masyarakat. Kita bisa melihat dengan mudah perihal kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan semua sifat tercela lainnya. Oleh karena itu, ayat 105 surah Al-Maidah pun sudah tepat untuk masa kita sekarang, dan masyarakat kitalah yang digambarkan dalam hadits tersebut. Tapi anggapan seperti ini tidak bisa dibenarkan, karena yang dimaksud dengan hadits Rasulullah di atas adalah ketika karakter itu sudah menjadi karakter umum di dalam sebuh masyarakat. Padahal faktanya, di dalam masyarakat kita saat ini masih terdapat banyak kebaikan. Masih ada orang-orang saleh, bertakwa, mulia, dan terhormat. Mereka adalah wali-wali Allah yang berburu akhirat. Mereka adalah orang yang mencari dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. 

Sekali lagi, yang dimaksud oleh hadits Rasulullah di atas bukan ketika sebagian orang dalam sebuah masyarakat mempunyai sifat tercela seperti itu. Sebab jika demikian, keberadaan orang yang pelit merupakan hal yang pasti ada di setiap zaman dan tempat. Keberadaan orang yang takjub akan fikirannya sendiri serta bangga akan kesalahannya merupakan sesuatu yang jamak terjadi di semua masa. Bahkan, ada yang mengatakan kalau perilaku seperti itu juga sudah terdapat di masa sahbat yang mulia dan masa tabi’in yang cemerlang. Justru itulah yang kemudian membingungkan Abu Umayyah Asy-Sya’bani, sehingga ia bergegas menemui Abu Tsa’labah Al-Khusyani, lalu Abu Tsa’labah menepis kemungkinan akan terjadinya hal itu pada masa sahabat, lalu menjelaskan bahwa ayat 105 surat Al-Maidah itu baru benar-benar bisa dilaksanakan ketika masyarakat dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah di dalam hadits tersebut.

Patut kami sampaikan bahwa maa itu belumnya terwujud. Ia baru akan terjadi pada detik-detik sebelum hari kiamat, karena kiamat tidak akan terjadi kecuali di zaman sejelek-jeleknya manusia. Ketika sifat-sifat tercela di atas sudah menjadi karakter umum sebuah masyarakat maka kehidupan sudah tidak ada gunanya, karena tidak ada lagi kebaikan di dalamnya. Pada saat itulah kiamat akan terjadi.

Perlu kami sampaikan juga bahwa sifat-sifat tercela sebagaimana yang tercantum pada sabda Rasul di atas merupakan tanda rusaknya fitrah manusia. Rasulullah telah memberi tahu kita tentang zaman di mana pada saat itu tobat tidak lagi diterima. Sebagaimana Al-Qur’an juga memberi tahu kita aka masa di mana seseorang tidak lagi diterima kesaksian dan keimanannya.

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hijrah tidak akan pernah terputus hingga terputusnya tobat, dan tobat tidaklah terputus hingga matahari terbit dari barat” (HR. Abu Daud). Pintu tobat senantiasa terbuka bagi yang mencarinya. Tobat terbuka bagi semua manusia. Tentu jika umat manusia tetap konsisten dalam beramat makruf  nahi mungkar, tidak berputus asa, tetap menegakkan kewajiban, tetap memberi peringatan, dan menyampaikan dakwah. Akan tetapi, ketika pintu tobat sudah tertutup dengan munculnya tanda-tanda kiamat kubra yang mana tidak lagi bermanfaat keimanan seseorang ketika itu maka peringatan dan dakwah tidak lagi bermanfaat kecuali atas pelakunya sendiri. Inilah yang menjadikan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an ada tafsiranya dan sebagian lain tidak ada tafsirannya. 

Pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas adalah, seorang muslim hendaklah selalu menjadi diri dan mencegahnya dari perangkat keburukan. Seorang muslim harus menunaikan dua hal dan konsisten terhadapnya. Pertama, memperbaiki diri sendiri, dan kedua, memperbaiki orang lain. Bahaya yang mengancam diri datang dari dalam dan luar. Ketika seseorang tidak menjaganya serta mengacuhkannya maka pengaruh luar akan masuk dan akan merusaknya. Ayat di atas menyeru kaum mukmin agar menjaga diri mereka dari pengatuh-pengaruh ini, sebagaimana firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, di mana manusia dan batu merupakan bahan bakarnya” (At-Tahrim:6). Yang dimaksud dengan jagalah diri kalianadalah ‘jagalah kaum kalian’, sebagaimana tersebut dalam firman Allah, “Dan berilah salam kepada diri kalian” (An-Nur:61), atau “Janganlah kalian mengolok-olok diri kalian” (Al-Hujurat:11). Yang dimaksud dengan diri kalian pada ayat-ayat ini adalah, jagalah diri kalian dan orang-orang yang seagama dengan kalian.

Ringkasnya, ayat 105 surah Al-Maidah di atas maksudnya justru memotivasi kita agar terus beramal dan tanggap akan kemaslahatan umat, bukannya malah bersikap pasif sehingga menyebabkan kemunduran dengan hanya memerhatikan kemaslahatan pribadi.

Sumber: Dr. Hammam Abdurrahim Said, Qawa’idud Da’wah Ilallah