Tuesday, July 31, 2018

Iqaamatud Dien

M.10. Penegakan Agama

Agama yang paling sempurna ini diturunkan ke bumi untuk dimenangkan atas agama-agama lain. Akan tetapi sunnatullah telah menentukan bahwa sesempurna apapun suatu konsepsi, ia membutuhkan junud dan rijaal yang menegakkannya di muka bumi. Rasulullah saw. telah memimpin rijaal yang taat itu dalam upaya penegakkannya melalui beberapa tahapan dengan agenda-agenda berikut:
1. Marhalah Makkah (Tahap Peletakan Dasar-dasar Agama)
Yang dilakukan pada tahab ini adalah menyebarkan prinsip dan kaidah-kaidah Islam yang hanif; pembentukan pribadi muslim yang militan; membentuk jamaah yang solid; merahasiakan struktur; menghindari bentrok dengan lawan; menjauhi medan pertempuran; sabar terhadap cobaan dan siksaan; mencari potensi kekuatan jamaah; dan membangun basis sosial.
Hijrah adalah titik tolak perubahan. Hijrah yang dilakukan meliputi:
a. 
Hijrah maknawiyah [mentalitas dan semangat] yaitu hijrah dari kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada iman; dari syirik kepada tauhid; dari kebatilan kepada kebenaran; dari nifakq kepada istiqamah; dan dari maksiat kepada taat; dan dari individual kepada jamaah.
b. 
Hijrah makaniyah [tempat] yang dimaksudkan adalah tempat berpijak sementara untuk mendapatkan basis masyarakat pendukung dan wilayah.
2. Marhalah Madinah (Tahap Kemapanan)
Yang dimaksud pada tahapan ini adalah basis masyarakat [pendukung]; basis bumi [wilayah]; kekuatan yang mampu untuk membela; struktur negara; dan dakwah yang sempurna.
Sumber: https://rasmulbayantarbiyah.wordpress.com/2014/11/07/m-10-penegakan-agama/

Fiqh Dakwah

M.3. Fiqh Dakwah
Dakwah sebagai Megaproyek, tidak mungkin dapat dicapai secara efisien dan efektif tanpa mengacu pada manhaj yang memuat petunjuk jelas tentang agenda kerja, tahapan-tahapan, sasaran, serta tujuan yang hendak dicapai. Tiap-tiap langkahnya harus teragendakan, sebab ada sasaran dan tujuan yang harus dicapai secara gradual melalui tahapan yang jelas. Seluruh kegiatan dakwah dimaksudkan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, kehidupan yang lebih bermartabat.
TAHAPAN DAKWAH
  1. Mengubah dari kejahilan [tidak tahu] menjadi ma’rifah[berpengetahuan].Sasaran ini dicapai pada marhalah tabligh dan taklim. Kegiatannya disampaikan dalam forum        forum pengajian umum, seminar, diskusi, umum dan ta’lim. Tujuan yang hendak dicapai pada marhalah ini adalah memberi informasi dan menambah pengetahuan.
  2. Merubah pengetahuan menjadi fikrah [gagasan dan konsepsi]
  3. Meningkatkan konsepsi dan gagasan itu menjadi harakah [aktivitas]. Dua agenda yang terakhir dicapai pada marhalah takwin [pembinaan dan kaderisasi]. Sasaran ini dimaksud untuk mengkristalkan pengetahuan dan konsepsi yang ada menjadi ‘azam [keinginan kuat] yang mengarah pada amaliyah yang nyata. Tujuan yang hendak dicapai pada marhalah ini adalah memberikan penambahan fikrah, menumbuhkan semangat kerja, dan melatih kerja.
  4. Merubah aktivitas yang sudah ada menjadi amalan yang produktif. Agenda ini dicapai pada marhalah tanzhim, kader-kader yang telah terbina secara baik ditata dalam tatanan kerja dakwah yang rapi dalam sebuah struktur organisasi. Mengapa? Karena kebenaran yang tidak terorganisasi secara rapi akan dikalahkan oleh kebatilan yang tersusun secara rapi. Tujuan yang hendak dicapai pada marhalah ini adalah terciptanya kesatuan barisan, koordinasi kerja, dan terawasinya kegiatan dakwah.
  5. Menjaga produktivitas amalan agar senantiasa dalam keridlaan Allah. Agenda ini dicapai dicapai pada marhalah tanfidz [tahap pelaksanaan]. Tahapan ini berkonsentrasi untuk mendorong aktif para kader yang terlibat dalam proyek dakwah untuk berkerja secara maksimal dalam dakwah.

Dengan memahami fiqih dakwah yang demikian diharapkan kegiatan dakwah akan lebih terarah dan tertata sehingga dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif, tidak menghambur-hamburkan waktu, tenaga, fikiran, dan biaya hanya untuk mengulang dan memulai lagi agenda-agenda malam dari awal. Kenyataan yang sering dijumpai adalah dakwah tidak mengacu pada manhaj yang rapi dan terstruktur. Maka wajar apabila hingga saat ini dakwah masih berkutat pada agenda awal. Kapan dakwah dapat mencapai sasaran dan tujuan besarnya?”

Sumber: https://rasmulbayantarbiyah.wordpress.com/2014/10/30/m-3-fiqh-dakwah/

Ma'na Dakwah

M.2. Makna Dakwah

Secara bahasa, dakwah berasal dari kata da’a – yad’u – du’aan – dakwah yang berarti mengundang, mengajak atau menyeru.
Secara terminologi, dakwah berarti mengajak orang kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik hingga mereka meninggalkan thaghut dan beriman kepada Allah, agar mereka keluar dair kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam.
Beberapa unsur prinsip yang harus terpenuhi dalam dakwah:
  1. Dakwah, bermakna aktivitas mengajak. Dakwah identik dengan kegiatan para aktivis dakwah untuk melakukan kebaikan. Dakwah dilakukan dengan pendekatan persuasif menggunakan argumentasi yang jelas agar orang yang menerima dakwah dengan kesadaran atas dasar pengetahuan.
  2. An-Naas, manusia sebagai obyek dakwah. Dakwah ditujukan kepada seluruh manusia tanpa kecuali, baik yang sudah menerima dakwah [mukminin] maupun yang belum [kafirin dan musyrikin].
  3. Ilaa Allah, kepada Allah. Lafadz ini mengandung pesan orientasi dakwah yaitu hanya untuk mendapat ridla Allah, tidak diorientasikan kepada selain Allah. Termasuk disorientasi dalam dakwah adalah apabila dimaksudkan mendapatkan materi, menanamkan fanatisme pribadi/golongan, atau seseorang yang dicintai.
  4. Metodologi yang dipakai adalah dengan hikmah [kebenaran manhaj, arif dalam pendekatan, metodologi, sarana, porsi, dan pentahapan] dan mau’izhah [nasehat] yang baik. Lafadz ini mengandung makna ketulusan para aktifis dalam menyampaikan nilai-nilai dakwah kepada mad’u sehingga mereka menerima dakwah dengan senang hati dan lapang dada.
  5. Target dakwah yaitu agar mad’u memiliki sikap yang jelas dalam menolak thaghut dan beriman kepada Allah sebagaimana kandungan dua kalimat syahadat. Hasilnya adalah mereka terbebas dari kegelapan jahiliyah dan mendapat cahaya Islam yang terang benderang. 


Sumber: https://rasmulbayantarbiyah.wordpress.com/2014/10/29/m-2-makna-dakwah/

Muwaafaqatul Aqwaal Bil Af'al

(Keselarasan Kata dan Perbuatan)

Muwaafaqat af’al bil aqwal (integritas)
Muwaafaqat = perbuatan
Af’al= perkataan (statement)
Aqwal = perbuatan (action)
arti keseluruhan adalah keselarasan yang baik antara perkataan/ucapan dan amal yang diperbuat
Tarbiyat al-Aqwal is the tarbiyah of words.
Tarbiyat al-Af`al is the tarbiyah of action and is done by doing a big act.
In fact,,, Dakwah adalah Wajib, baik dengan lisan atau perbuatan.
Aqwal dan A’al didasarkan atas ilmu dari aqidah yang lurus. Perkataan dan perbuatan didasari oleh Al-Quran dan hadist.
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan (Al-Fuushilat :17)
Seorang dai pasti tahu bahwa Allah swt. telah menciptakan manusia untuk tunduk hanya kepada-Nya. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Al-Dzariyat: 56 ).
Ibadah hanya benar dilakukan bila didasari pengetahuan yang jelas. Pengetahuan yang jelas tidak akan terwujud kecuali mengacu kepad manhaj (pedoman) yang telah digariskan oleh Allah swt. yang telah mengutus para rasul dan nabi-Nya. Mereka, para rasul dan nabi adalah penyeru (du’at) yang menunjukan kepada kebenaran.
Demikianlah kesibukan mereka dalam rangka merealisasikan kehendak Allah yang telah manjadikan Adam a.s. sebagai khalifah di muka bumi, memutuskan perkara dengan ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintah-Nya.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah: 30). Maka dari itu, tujuan Allah menciptakan manusia agar dirinya sibuk dengan perintah-Nya.
But Beware,, ketidakselarasan perkataan dan perbuatan bisa menggolongkan kita pada orang2 munafik,,
Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai ciri-ciri orang munafik. Pada orang munafik minimal ada satu ciri, sedangkan munafik tulen memiliki ketiga-tiganya. Ketiga ciri tersebut adalah
1. Bila berbicara selalu bohong.
Orang seperti ini tidak bisa dipercayai dalam setiap perkataan yang diucapkannya. Bisa jadi apa yang dibicarakan tidak sesuai dengan hatinya.
2. Bila berjanji, tidak ditepati
Orang munafik sulit untuk dipercayai perkataan dan perbuatannya
3. Bila diberi kepercayaan selalu berkhianat.
Orang munafik sulit diberikan kepercayaan. Setiap kali kepercayaan yang diberikan tidak dapat dia jaga dengan baik.
Allah amat murka pada hambanya yang munafik (perkataan tidak sesuai dengan perbuatan)
”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS As Shaff : 2-3).
Keselarasan yang baik antara perkataan/ucapan dan amal yang diperbuat berbuah kepercayaan dan keteladanan.
Ketealadanan adalah cara berdakwah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini:
“Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.
Keteladanan Rasulullah saw (idola kittah).
Sebagai murabbi Rasulullah saw. selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28), qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan (An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).
Sebagai murabbi, Rasulullah saw. tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata, apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain. Diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi saw. telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Raasulullah saw. seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau berkhutbah seraya berkata,
“Sesungguhnya aku megutus seseorang di antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini hadiah untukku. Jika orang itu benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim)
Manfaat jika sukses membangun kepercayaan:
1. Jika bisa dipercaya maka kita akan banyak mendapat peluang dan kesempatan.
2. Memiliki banyak relasi atau network.
3. Mudah memperoleh mitra dan modal usaha.
4. Mendapat dukungan dan sinergi yang maksimal dari teamwork.
5. Mendorong keyakinan dan rasa percaya diri yang lebih positif.
6. Menerima respek dan penghargaan dari orang lain.
http://katapenagoresanku.wordpress.com/2008/12/15/muwaafaqat-afal-bil-aqwal/

Tafakkur terhadap Diri Sendiri

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.” Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas ini menurut Syaikh Nashiruddin Al-Bani dalam kitab Shahihul Jami’ish Shaghir dan Silsilahtu Ahadits Ash-Shahihah berderajat hasan.

Hadits itu berbicara tentang salah satu ciri khas manusia yang membedakanya dari makhluk yang lain, bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan kemampuan itulah manusia bisa meraih berbagai kemajuan, kemanfaatan, dan kebaikan. Namun, sejarah juga mencatat bahwa tidak sedikit manusia mengalami kesesatan dan kebinasaan akibat berpikir.

Karena itu, Rasulullah saw. menghendaki kita, kaum muslimin, untuk punya budaya tafakur yang akan bisa mengantarkan kita kepada kemajuan, kemanfaatan, kebaikan, ketaatan, keimanan, dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Agar tujuan itu tercapai, Rasulullah saw. memberi rambu-rambu agar kita tidak salah dalam bertafakur. Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk bertafakur mengenai makhluk ciptaan Allah swt. Beliau melarang kita berpikir tentang Dzat Allah karena kita tidak akan mampu menjangkaunya, dan berpikir tentang Dzat Alllah bisa mengantarkan kita kepada kesesatan dan kebinasaan.

FADHAAILUT TAFAKKURI (KEUTAMAAN TAFAKUR)

Setidaknya ada empat keutamaan tafakur, yaitu:

1. Allah memuji orang-orang yang senantiasa bertafakur dan berdzikir dalam setiap situasi dan kondisi dengan menceritakannya secara khusus dalam Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 190-191. Sa’id Hawa dalam Al-Mustakhlash Fi Tazkiyatil Anfus halaman 93 berkata, “Dari ayat ini kita memahami bahwa kemampuan akal tidak akan terwujud kecuali dengan perpaduan antara dzikir dan pikir pada diri manusia. Apabila kita mengetahui bahwa kesempurnaan akal berarti kesempurnaan seorang manusia, maka kita bisa memahami peran penting dzikir dan pikir dalam menyucikan jiwa manusia. Oleh karena itu, para ahli suluk yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah senantiasa memadukan antara dzikir dan pikir di awal perjalanannya menuju Allah. Sebagai contoh, di saat bertafakur tentang berbagai hal, mereka mengiringinya dengan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil.”

2. Tafakur termasuk amal yang terbaik dan bisa mengungguli ibadah. Ada atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berbunyi, “Berpikir sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.” Kenapa begitu? Karena, berpikir bisa memberi manfaat-manfaat yang tidak bisa dihasilkan oleh suatu ibadah yang dilakukan selama setahun. Abu Darda’ seorang sahabat yang terkenal sangat abid pernah ditanya tentang amalan yang paling utama, ia menjawab, “Tafakur.” Dengan tafakur seseorang bisa memahami sesuatu hingga hakikat, dan mengerti manfaat dari yang membahayakan. Dengan tafakur, kita bisa melihat potensi bahaya hawa nafsu yang tersembunyi di dalam diri kita, mengetahui tipu daya setan, dan menyadari bujuk rayu duniawi.

3. Tafakur bisa mengantarkan kita kepada kemuliaan dunia dan akhirat. Ka’ab bin Malik berkata, “Barangsiapa menghendaki kemuliaan akhirat, maka hendaknyalah ia memperbanyak tafakur.” Hatim menambahkan, “Dengan merenungi perumpamaan, bertambahlah ilmu pengetahuan; dengan mengingat-ingat nikmat Allah, bertambahlah kecintaan kepadaNya; dan dengan bertafakur, bertambahlah ketakwaan kepadaNya.” Imam Syafi’i menegaskan, “Milikilah kepandaian berbicara dengan banyak berdiam, dan milikilah kepandaian dalam mengambil keputusan dengan berpikir.” (lihat Mau’idhatul Mu’minin)

4. Tafakur adalah pangkal segala kebaikan. Ibnul Qayyim berkata, “Berpikir akan membuahkan pengetahuan, pengetahuan akan melahirkan perubahan keadaan yang terjadi pada hati, perubahan keadaan hati akan melahirkan kehendak, kehendak akan melahirkan amal perbuatan. Jadi, berpikir adalah asas dan kunci semua kebaikan. Hal ini bisa menunjukkan kepadamu keutamaan dan kemuliaan tafakur, dan bahwasanya tafakur termasuk amalan hati yang paling utama dan bermanfaat sampai-sampai dikatakan, ‘Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun’. Tafakur bisa mengubah dari kelalaian menuju kesadaran, dan dari hal-hal yang dibenci Allah menuju hal-hal yang dicintaiNya, dari ambisi dan keserakahan menuju zuhud dan qana’ah, dari penjara dunia menuju keluasan akhirat, dari kesempitan kejahilan menuju bentangan ilmu pengetahuan, dari penyakit syahwat dan cinta kepada dunia menuju kesembuhan ruhani dan pendekatan diri kepada Allah, dari bencana buta, tuli, dan bisu menuju nikmat penglihatan, pendengaran, dan pemahaman tentang Allah, dan dari berbagai penyakit syubhat menuju keyakinan yang menyejukkan hati dan keimanan yang menentramkan.” (Miftah Daris Sa’adah: 226).

NATAAIJUT TAFAKKURI (BUAH TAFAKUR)

1. Kita akan mengetahui hikmah dan tujuan penciptaan semua makhluk di langit dan bumi sehingga menambah keimanan dan rasa syukur.

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya. (Ar-Ruum, 8)

2. Kita bisa membedakan mana yang bermanfaat sehingga bersemangat untuk meraihnya, mana yang berbahaya hingga berusaha mengindarinya.

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219)

3. Kita bisa memiliki keyakinan yang kuat mengenai sesuatu, dan menghindari diri dari sikap ikut-ikutan terhadap opini yang berkembang.

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras. (Saba: 46)

4. Kita bisa memperhatikan hak-hak diri kita untuk mendapatkan kebaikan, sehingga tidak hanya berusaha memperbaiki orang lain dan lupa pada diri sendiri.

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Al-Baqarah: 44)

5. Kita bisa memahami bahwa akhirat itu lebih utama, dan dunia hanya sarana untuk membangun kebahagiaan akhirat.

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul), dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Yusuf: 109)

Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka Apakah kamu tidak memahaminya? (Al-Qashash: 60).Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, pangkat kekayaan keturunan dan sebagainya.

6. Kita bisa menghindari diri dari kebinasaan yang pernah menimpa orang-orang sebelum kita.

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (Muhammad: 10)

7. Bisa menghindari diri dari siksa neraka karena bia memahami dan mengamalkan ajaran agama dan meninggalkan kemaksiatan dan dosa-dosa, terutama syirik.

Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Al-Mulk: 10)

Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka Apakah kamu tidak memahami? (Al-Anbiyaa’ : 67)

DHAWABITHUT TAFAKKURI (BATASAN TAFAKUR)

Imam Al-Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa semua yang ada di alam semesta, selain Allah, adalah ciptaan dan karya Allah Ta’ala. Setiap atom dan partikel, apapun memiliki keajaiban dan keunikan yang menunjukkan kebijaksanaan, kekuasaan, dan keagungan Allah Ta’ala. Mendata semuanya adalah sesuatu yang mustahil, karena seandainya lautan adalah tinta untuk menuliskan semua itu niscaya akan habis sebelum menuliskan sepersepuluhnya saja dari semua ciptaan dan karya-Nya.”

Jadi, tafakur adalah ibadah yang bebas dan terlepas dari ikatan segala sesuatu kecuali satu ikatan saja, yaitu tafakur mengenai Dzat Allah.

Saat bertafakur sebenarnya seorang muslim sedang berusaha meningkatkan ketaatan, menghentikan kemaksiatan, menghancurkan sifat-sifat destruktif dan menumbuhkembangkan sifat-sifat konstruktif yang ada dalam dirinya. Berhasil tidaknya hal itu dicapai sangat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya:
1.    Kedalaman ilmu
2.    Konsentrasi pikiran
3.    Kondiri emosional dan rasional
4.    Faktor lingkungan
5.    Tingkat pengetahuan tentang objek tafakur
6.    Teladan dan pergaulan
7.    Esensi sesuatu
8.    Faktor kebiasaan

KENAPA KITA DILARANG TAFAKKUR MENGENAI DZAT ALLAH SWT.?

Setidaknya ada dua alasan, yaitu:

1. Kita tidak akan sanggup menjangkau kadar keagunganNya.

Allah swt. tidak terikat ruang dan waktu. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagi Tuhanmu tidak ada malam, tidak pula siang. Cahaya seluruh langit dan bumi berasal dari cahaya wajah-Nya, dan Dia-lah cahaya langit dan bumi. Pada hari kiamat, ketika Allah datang untuk memberikan keputusan bumi akan tenang oleh cahayaNya.

(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (Asy-syuuraa: 11)

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (Al-An’am: 103)

Ibnu Abbas berkata, “Dzat Allah terhalang oleh tirai sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya terhalang oleh tirai karya-karya-Nya. Bagaimana kamu bisa membayangkan keindahan Dzat yang ditutupi dengan sifat-sifat kesempurnaan dan diselimunti oleh sifat-sifat keagungan dan kebesaran.”

2. Kita akan terjerumus dalam kesesatan dan kebinasan.

Memberlakukan hukum Sang Khalik terhadap makhluk ini adalah sikap ghulluw (berlebihan). Itulah yang terjadi di kalangan kaum Rafidhah terhadap Ali r.a. Sebaliknya, memberlakukan hukum makhluk terhadap Sang Khalik ini sikap taqshir. Perbuatan ini dilakukan oleh aliran sesat musyabihhah yang mengatakan Allah memiliki wajah yang sama dengan makhluk, kaki yang sama dengan kaki makhluk, dan seterusnya. Semoga kita bisa terselamatkan dari kesesatan yang seperti ini. Amiin.

Sumber:  
http://www.dakwatuna.com/

Sunday, July 22, 2018

Rabbaniyyatud Dakwah

Sasaran :
  • Memahami unsur-unsur rabbaniyah dakwah dan mampu menyebutkan contoh-contoh realisasinya.
  • Memahami peranan rabbaniyah dakwah dalam meninggikan kalimatullah melalui jamaah yang solid.
  • Termotivasi untuk senantiasa terlibat dalam lingkaran dakwah yang rabbani

Rasmul Bayan




Ringkasan

Rabbaniyatud dakwah adalah dakwah yang merujuk kepada Rabb (Allah SWT). Beberapa ciri dakwah robbani adalah rabbani dari segi risalah (pesan yang dibawa), rijal (pelaku dakwah), dan jamaah (tandzim). Rabbaniyatur risalah adalah dakwah dengan pesan yang dibawa semuanya berdasarkan Islam yang bertujuan untuk meninggikan kalimatullah. Diantara penekanan di dalam rabbaniyatur risalah adalah rabbaniyatul mabda’, rabbaniyatul minhaj, rabbaniyatul khuthuwat, rabbaniyatul ghoyah, rabbaniyatul thariqah.

Risalah atau message yang disampaikan akan baik apabila pesan tersebut juga mempunyai ciri yang robbani. Dengan demikian juga diperlukan rabbaniyatur rijal. Beberapa ciri-ciri rabbaniyatur rijal adalah pribadi yang mengajarkan kitab, mempelajari kitab, tidak merasa lemah semangat, tidak lemah tenaga dan mau tunduk.

Melengkapi penyampaian risalah oleh pribadi da’i adalah dengan jamaah. Tanpa jamaah maka rijal tidak dapat berperan secara efektif dan juga pesan tidak sampai kepada mad’u. Beberapa ciri jamaah yang robbani adalah rabbaniyatul qiyadah, rabbaniyatul jundiyah, dan rabbaniyatul ukhuwah. Dengan jamaah yang demikian akan memunculkan jamaah yang kuat (jamaah matinah).

Hasiyah
Rabbaniyatud dakwah
Syarah
  • Dakwah dijalankan hingga mendapatkan hasil harus memenuhi persyaratan rabbani. Dakwah Islam yang rabbani adalah dakwah yang dibawa oleh Nabi SAW. Maksud dakwah rabbani adalah dakwah yang tujuan, aktivitas, program, dan minhaj mengikuti arahan Al Qur’an dan Sunnah. Dakwah rabbani membawa Islam itu sendiri sebagai warna dakwah dan tujuan dakwah. Beberapa ciri dakwah yang rabbani adalah risalah yang disampaikan harus mengikuti Islam, kemudian jamaah yang mengendalikan dakwah harus mengikuti kaidah-kaidah Islam

1.     Rabbaniyatur risalah
Syarah
  • Rabbaniyatur risalah terdiri dari tiga bagian yaitu rabbani dari segi mabda’, minhaj, dan ghoyah.
  • Rabbaniyatul mabda’ (prinsip) ini juga merupakan rabbaniyatul mashdar (sumber). Prinsip-prinsip Islam yang disampaikan di dalam dakwah adalah sumber rujukan dan panduan. Aqidah Islamiyah adalah prinsip di dalam Islam, begitu pun syahadatain dan keimanan. Prinsip ini dijadikan sumber rujukan bertingkah laku dan bergerak. Dakwah yang rabbani perlu sekali mempertimbangkan masalah prinsip yang asas disampaikan kepada manusia.
  • Selain masalah risalah yang berisi prinsip dan kemudian dijadikan sumber, dan juga di dalam minhaj yang digunakan oleh dakwah harus bersifat rabbani. Rabbaniyatul minhaj dijadikan sebagai khuthuwat sehingga dapat disebut sebagai rabbaiyatul khuthuwat. Minhaj mengatur langkah dan gerak dakwah, dengan minhaj pula langkah dakwah dapat terarah dan mencapai sesuatu yang jelas dan dikehendaki oleh harakah. Dengan ghoyah yang rabbani maka dapat dijadikan rabbaniyatut thariqah. Ghoyah rabbani adalah ilallah, mencari ridha Allah, dan kemudian menegakkan syariat. Tidak ada tujuan lain selain Allah, kecuali mereka yang tidak jelas tujuan yang akan dicapainya. Ghoyah kepada hawa nafsu adalah kejahiliyahan yang sesat.
  • Risalah yang rabbani ini bertujuan li I’la likalimatillah, meninggikan kalimat Allah bertujuan menyeru dan menjelaskan risalah yang Allah miliki kepada manusia. Melalui ghayah yang rabbani, minhaj dan mabda’ Islam ini akan mewujudkan kalimat Allah di muka bumi. 

2.     Rabbaniyatur rijal
Syarah
  • Beberapa ciri rabbaniyatur rijal adalah mengajarkan kitab, mempelajari kitab, dan tidak merasa lemah semangat, tidak lemah tenaga, dan tidak mau menyerah begitu saja. Risalah yang disampaikan tidak akan mungkin diterima dan diamalkan dengan baik apabila rijal yang membawa pesan tersebut tidak menggambarkan ciri-ciri rabbani. Pelaku dakwah yang tidak mempelajari kitab dan tidak mengejarkan kitab tidaklah mungkin dapat dijadikan uswah dan juga tidaklah mungkin dapat mengembangkan dakwah. Keberhasilan dakwah dapat dipengaruhi oleh ciri pribadi rijal pembawa dakwah ini. Pesan yang disampaikan haruslah bernilai dan berkesan. Kalam yang terkesan tentunya keluar dari rijal yang senantiasa mempelajari kitab dan mendalaminya.
  • Ciri rijal yang membawa dakwah adalah tidak merasa lemah semangat, tidak lemah tenaga, dan tidak mau menyerah. Di dalam operasional dakwah, pribadi dakwah harus mempunyai ketabahan, kesabaran, dan ketahanan. Tanpa ciri ini maka sulit bagi pribadi tersebut menjalankan dakwah dengan baik. Dakwah ini penuh dengan tantangan dan cobaan yang menghendaki pelaku dakwah siap menerima dan menghadapi segala ujian dan cobaan dengan tenang dan dapat menyelesaikan segala permasalahan dengan baik. Dakwah yang berhasil menghendaki pribadi dakwah yang tidak sedih, tidak mengalah, dan tidak berduka cita.

Dalil
      3:79 ;
      3:146 ;

3.     Rabbaniyatul jamaah
Syarah
  • Rabbaniyatud dakwah selain dilengkapi dengan rabbaniyatur risalah dan rabbaniyatur rijal juga dilengkapi dengan rabbaniyatul jamaah. Rabbaniyatul jamaah mempunyai beberapa komponen yaitu qiyadah, jundiyah, dan ukhuwah. Jamaah yang rabbani harus memiliki qiyadah yang mukhlishoh, jundiyah muthi’ah, dan diikat dengan ukhuwah Islamiyah.
  • Rabbaniyatul qiyadah bermaksud qiyadah yang mempunyai ciri-ciri Al Qur’an dan Sunnah. Qiyadah muslimah memiliki ciri-ciri amanah, jujur, sidiq, dan tabligh. Ciri rabbani yang ada pada qiyadah juga termasuk moral dan fisik seperti tidak lemah semangat, tidak lemah fisik, tidak bersedih dan tidak penakut. Ciri-ciri yang dikehendaki Islam kepada muslim dan qiyadah didapati pada qiyadah rabbaniyah.
  • Beriringan dengan qiyadah yang rabbaniyah maka dakwah akan dapat dilaksanakan secara berkesan apabila diikuti dengan jundiyah yang rabbani. Rabbaniyatul jundiyah adalah jundi yang taat menerima arahan, memiliki akhlak Islam dan berkepribadian menarik. Jundiyah selain dapat beramal jama’I dengan sesamanya juga dapat berhubungan qiyadahnya dalam mencapai sasaran. Tashawur Islam dan jamaah serta dakwah dimiliki oleh jundi rabbani. Kemampuan jundiyah dan kesadaran Islamiyah yang ada pada diri jundiyah sangat membantu tegaknya dakwah rabbani. Pengikut setia merupakan aset dakwah utama di dalam menegakkan dakwah Islam.
  • Hubungan yang terjadi di dalam jamaah adalah hubungan dengan suasana ukhuwah Islamiyah. Rabbaniyatul ukhuwah berarti ukhuwah yang berorientasikan kepada keislaman dengan ukhuwah maka akan muncul kelancaran program dan aktivitas dakwah. Ukhuwah Islamiyah di kalangan pelaku dakwah dapat membantu segala macam permasalahan dan mempercepat proses dakwah.
  • Jamaah matinah akan terwujud apabila di dalam jamaah tersebut mempunyai komponen rabbaniyatul qiyadah, jundiyah dan ukhuwah. Salah satu diantara komponen tersebut hilang, maka jamaah akan lemah dan tidak mempunyai kekuatan sehingga mudah dikalahkan musuh. Rabbaniyatul jamaah menghasilkan kekuatan jamaah juga ditentukan oleh rabbaniyatur rijal. 

Karakteristik Dakwah

Sasaran :
  • Memahami bahwa dakwah Islam memililki karakter yang khas dan istimewa dan mampu menyebutkan contoh-contohnya.
  • Menyadari kewajiban untuk mengaplikasikan berbagai ciri dalam aktivitas dakwahnya.
  • Menyadari bahwa semua ciri dakwah Islam hanya dapat diwujudkan melalui hizbullah.



Rasmul Bayan



Ringkasan :

Dakwah Islam memiliki beberapa karakter yang menggambarkan bagaimana Islam sebenarnya. Dakwah Islam adalah dakwah yang juga mempunyai karakter dan sifat-sifat Islam itu sendiri. Dengan memahami karakter ini maka kita mendapatkan suatu pemahaman yang jelas tentang dakwah. Kesadaran akan dakwah pun muncul sehingga kita dapat mengembangkan dan memelihara dakwah ke masyarakat.

Di antara ciri-ciri dakwah adalah Rabbaniyah, Islamiyah qobla jam’iyah, syamilah ghoiru juz’iyah, mu’ashirah ghoiru taqlidiyah, mahaliyah wa ‘almiyah, ‘ilmiyah, bashirah Islamiyah, mana’ah Islamiyah, inqilabiyah ghoiru tarqi’iyah.

Dengan ciri-ciri dakwah ini, akan dapat menjelaskan bagaimana sebaiknya dakwah dan jamaah Islamiyah. Penggambaran ciri dakwah ini juga akan membentuk suatu fikrah dan kesadaran bagaimana dakwah yang baik, benar, dan perlu diikuti. Persaingan antara dakwah dan jamaah Islamiyah serta berbagai persoalan yang berkaitan dengan jamaah dapat dijawab dengan materi khosoisud da’wah. Kesan yang diperoleh dari materi ini disebabkan karena beberapa ciri-ciri yang dibedah disini adalah kekerungan-kekurangan yang dimiliki oleh beberapa jamaah dan kelebihan yang dimiliki jamaah IM.

Hasiyah 
Khoshoisud da’wah (Karakteristik dakwah)
Syarah
    Khoshoisud da’wah adalah ciri-ciri dakwah atau jamaah. Berbagai ciri-ciri ini ada yang berkaitan dengan program, sasaran, sifat, aktivitas, dan proses perjalanan dakwah. Penggambaran ciri dakwah ini hanyalah sebagian saja tetapi semuanya merupakan bagian dari sifat dan ciri Islam itu sendiri. Ciri dakwah yang disampaikan disini adalah sebagian saja karena luasnya ciri dakwah Islam yang dimiliki. Ciri dakwah Islam sesuai dengan ciri Islam itu sendiri. Penjabaran ciri-ciri di bawah ini hanyalah berkaitan dengan hal-hal yang penting saja atau yang dapat dijadikan sasaran.

1.     Rabbaniyah
Syarah 
  • Dakwah yang rabbani adalah dakwah yang merabb (berorientasi kepada tuhan). Rabbani berarti segala aktivitas dakwah Islam harus merujuk kepada Allah sebagai rabb. Minhaj dan ghoyah harus dikembalikan kepada Allah SWT. Beberapa petunjuk yang dapat dijelaskan disini adalah ciri dakwah rabbani berarti mereka yang terlibat dalam dakwah harus melakukan tadarus dan ta’lim. Pelaku dakwah rabbani harus memiliki sifat yang tidak lemah, tidak bersedih hati, tidak wahn tetapi berani dan siap berhadapan dengan siapapun. Dakwah rabbani juga menjunjung tinggi syura yang merujuk kepada Allah (sumber), Rasul (cara), dan ulil amri (nizam).
  • Dakwah rabbani juga mengambil aqidah dan tauhid sebagai sesuatu yang utama, warna akhlak Islamiyah, ukhuwah Islamiyah, dan jihad juga merupakan ciri dakwah rabbani. Dakwah rabbani juga bertumpu kepada tarbiyah takwiniyah dalam membentuk kader dan kemudian menerjunkan kader kedalam masyarakat melalui ketokohan, kepakaran, dan keikutsertaan. 

Dalil
       3:79 ;
       3:146 ;

2.     Islamiyah qobla jam’iyah
Syarah
  • Islam mengajak dan menyeru perasatuan bukan perpecahan. Diantara penyebab perpecahan adalah ta’asub dengan jamaah atau kumpulan. Allah SWT berfirman agar melarang kita berpecah belah dan berbangga-bangga dengan kumpulan, tetapi Allah SWT menyuruh kita bersatu di dalam Islam melalui aqidah Islamiyah dan I’tisham bihablillah.
  • Islamiyah qobla jamiyah bukan menafikan peranan jamaah atau tidak memerlukan jamaah atau kumpulan. Pernyataan ini adalah usaha meluruskan dan untuk menduhulukan Islam dari jamaah sehingga mengenal Islam dan sadar Islam adalah prioritas utama yang kemudian dapat menerima peranan jamaah setelah kesadaran Islam. Hal ini akan membentuk sikap kepada pribadi untuk menerima semua golongan atau mau berdakwah kepada semua golongan sehingga memudahkan munculnya dakwah ustadziyatul ‘alam.
  • Pembedahan jamaah diberikan setelah kesadaran mad’u kepada Islam sehingga penerimaan jamaah dilakukan dengan cara yang baik. Sikap kepada jamaah sebagai wasilah dan bukan satu-satunya tujuan walaupun jamaah digunakan untuk membawa dakwah kita.
  • Pendekatan Islamiyah juga berarti juga kita memberikan bagaimana semestinya kita seorang muslim dengan dakwah Islamiyah akan terbentuk syakhshiyah Islamiyah. Siapakah yang menjalankan dakwah ini? Jawabannya adalah jamaah. Memberikan fikrah mengenai ciri-ciri dakwah Islam adalah usaha untuk mengajak manusia ke dalam jamaah setelah mereka memerlukan atau memahami kepentingannya.

Dalil
       30:31-32 ; 
       49:13 ;
       3:103 ;

3.     Syamilah ghoiru juz’iyyah
Syarah
  • Dakwah Islam adalah sesuai dengan nilai Islam sehingga dakwah Islam harus bersifat syamilah (sempurna). Dakwah tidak boleh juz’iyyah (parsial). Syamilah dari segi program, aktivitas, tujuan, dan minhaj. Dakwah yang syamilah juga mencakup bidang tarbiyah, dakwah dan sosial, budaya, politik, ekonomi dan pertahanan dan keamanan. Aspek ini harus dibicarakan oleh dakwah. Tanpa membahas masalah ini atau hanya membahas masalah dakwah saja maka dakwah bersifat juziyah.
  • Dakwah syamilah juga menekankan peranan dan aktivitas dakwah yang membahas masyarakat dan keahlian, dakwah juga bertumpu kepada jihad dan tegaknya syariat. Dakwah syamilah berperan di dalam membangun masyarakat melalui potensi dirinya.
  • Pemahaman terhadap dakwah syamilah ini akan membuka pemikiran aktivis perlunya dakwah dan agar Islam dapat diterima masyarakat. Diterimanya aktivis oleh masyarakat tentunya mempunyai beberapa ciri misalnya karena tokoh, status, kemampuan, kepakaran, dan lain sebagainya. Untuk memcapai ciri ini maka dari sekarang jamaah dan dakwah sudah memikirkan dan bergerak dengan berbagai bidang.

Dalil :
      2:208 ;
      6:161-162 ;

4.     Mu’ashirah ghoiru taqlidiyah
Syarah
  • Dakwah bersifat mu’asirah (kontemporer) dan tidak taqlidiyah (kuno). Pendekatan dakwah secara minhaj  harus mengikuti asholahnya yaitu Al Qur’an dan Sunnah walaupun ada yang menyebutkan bahwa pendekatan ini adalah kuno. Tetapi secara uslub seperti wasilah dan strategi harus canggih dan mengikuti perkembangan semasa.
  • Pendekatan mu’asirah berarti mengambil situasi dan kondisi, peristiwa, sikap, keperluan dan kemudian dikaitkan dengan sasaran. Pendekatan mu’sirah di dalam dakwah misalnya dakwah dengan internet, power point dan sebagainya.
  • Dakwah mu’asirah juga menggunakan pendekatan semasa seperti partai, pemilu dan sebagainya. Peperangan juga dilakukan dengan senjata yang canggih bukan dengan panah atau pisau, begitu kendaraan tidak dengan kuda atau unta.
  • Pendekatan taqlidiyah adalah pendekatan kuno yang tidak memperhatikan perkembangan zaman dan merujuk secara buta kepada sesuatu yang kuno dan mungkin tidak lagi sesuai dengan keadaan sekarang. Sikap taqlid juga muncul karena kurangnya pengetahuan sehingga mengikuti sesuatu tanpa pemahaman yang jelas, atau melaksanakan sesuatu tanpa ilmu.

5.     Mahaliyah wa ‘alamiyah
Syarah
  • Dakwah Islam sesuai dengan nilai Islam yang universal. Islam adalah agama untuk semua manusia dan juga rahmat bagi seluruh alam. Kahadiran Islam adalah mendunia dan juga untuk kebahagiaan makhluk, khususnya manusia. Dakwah yang global dan dunia adalah ciri dakwah Islam, oleh karena itu dakwah dan jamaah juga harus bertaraf internasional. Ummat Islam ada di segala penjuru dunia maka dakwah dan jamaah pun harus ada di penjuru tersebut. Tandzim dan jamaah di setiap negeri haruslah berkaitan juga dengan tandzim yang ada di luar dn menyatu di dalam kekuatan dakwah Islam.
  • Walaupun dakwah adalah bersifat internasional tetapi operasional kita adalah mahaliyah (tempat). Tempat dimana kita berada, berdiri, dan menginjakkan kaki itulah sebagai tempat dakwah kita, tetapi secara fikrah dan hubungan harus bertaraf internasional. Dengan demikian ta’awun dan kesatuan ummat akan terwujud.
  •  Jamaah dan dakwah sepakat bahwa ini lebih kepada qotr atau negeri misalnya jamaah atau dakwah yang sebatas Malaysia dan tidak berhubungan secara struktur dengan dakwah dan jamaah di luar. Padahal suatu kenyataan yang kita hadapi bahwa musuh Islam bersifat Internasional, mereka pun bersatu untuk melawan kita dan menghancurkan secara berjamaah dari berbagai arah di dunia. Keadaan demikian juga menuntut kita untuk melakukan dakwah secara internasional, selain untuk menghadapi musuh juga untuk menegakkan syari’ah.
  • Tuntutan dunia ke arah globalisasi juga akan membawa dakwah Islam dilakukan secara mendunia dan global, terbuka serta universal.

Dalil :
      34:28 ;
      21:107 ;

6.     ‘Ilmiyah
Syarah
  • Dakwah yang islami adalah dakwah yang berjalan melalui pendekatan ilmiyah, sehingga muncul kesadaran Islam. Pendekatan kuliah, ceramah, perbincangan, latihan adalah sebagian usaha pendekatan dakwah secara ilmiyah. Tanpa pendekatan ilmiyah, maka dakwah akan diikuti oleh mereka yang taqlid, bodoh, tidak sadar dan ikut-ikutan sehingga akan membahayakan jamaah itu sendiri. Allah SWT melalui firmannya di dalam Al Qur’an atau Muhammad SAW melalui sabdanya di dalam hadits selalu menekankan ilmu dan cara pendekatan Qur’an dan Hadits dengan cara ilmiyah yaitu usaha menyadarkan Islam bukan memaksa dan juga bukan memberikan tekanan. Masalah tekanan dan paksaan adalah sesuatu yang dilarang oleh Islam. Pendekatan ilmiyah ini mengajak manusia berfikir dan mengerjakan amalan Islam secara bertahap mengikuti pemahaman dan kesadaran. Cara demikian akan menghasilkan suatu cara yang sangat efektif  dalam membentuk kesadaran Islam.

Dalil:
       17:36 ;
       2:256 ;

7.     Bashirah Islamiyah
Syarah
  • Keterangan yang nyata dengan bukti yang jelas dan benar adalah sifat Islam. Dakwah harus mendasarkan minhaj dan programnya kepada Islam. Dalil-dalil, rujukan, dan panduan dari Islam adalah ciri dakwah Islam, bukan minhaj yang berasal dari luar Islam.
  • Keadaan yang dapat menipu adalah keadaan orang putih yang sudah maju dan mengeluarkan banyak produknya misalnya masalah manajemen. Hal ini dapat mempengaruhi kita memakai teori-teori itu tanpa dipilih atau dilihat menurut Islam. Manajemen Barat berbeda dengan manajemen Islam. Penerapan manajemen Barat ke dalam dakwah dan jamaah Islamiyah adalah suatu yang keliru atau akan menghancurkan dakwah itu sendiri. Hal ini adalah suatu bukti dari dakwah yang tidak berdasarkan bashirah Islamiyah.
  • Masalah yang berkaitan dengan dugaan atau pengalaman yang terbatas juga akan menghambat sikap kepada bashirah Islamiyah. Oleh karena itu perlu rujukan yang kuat kepada Islam, sehingga Islam mewarnai gerak dakwah kita.

8.     Mana’ah Islamiyah
Syarah
  • Dakwah Islam harus mempunyai ciri-ciri mana’ah (kebal/benteng) Islam. Untuk mencapai ini maka dakwah berorientasi kepada pencapaian penguasaan teori (istiab nadhori), penguasaan moral (istiab ma’nawi) dan penguasaan amal (istiab amal).
  • Penguasaan teori ini dicapai apabila pribadi yang didakwahi diberi bekal dengan pengenalan kepada prinsip Islam (ma’rifatul mabda’) seperti rukun Islam, rukun iman, dan prinsip lainnya. Selain itu juga mad’u perlu diberi pengenalan kepada fikrah (ma’rifatul fikrah) dan pengenalan minhaj (ma’rifatul minhaj). Ketiga pengenalan ini dilakukan agar mencapai penguasaan teori. Biasanya bahan-bahan tamhidiyah I (level UK) diusahakan untuk mencapai sasaran ini.
  • Penguasaan moral dicapai dengan cara menumbuhkan melalui latihan, amalan, dan aplikasi yaitu kehendak yang kuat (al wafa tsabit). Sasaran ini dicapai dengan mengamalkan konsep yang sudah difahami dalam bentuk amal, biasanya dalam bentuk latihan, tugas, dan program bersama yang dilakukan.
  • Sedangkan penguasaan amal dicapai dengan gerakan yang terus-menerus (harakah mustamirah) dan semangat pengorbanan (ruhul bazl). Tadzrib, tamrinat dan sebagainya adalah cara dakwah mencapai penguasaan amal ini.

9.   Inqilabiyah ghoiru tarqi’iyyah
Syarah
  • Perubahan yang dikehendaki oleh dakwah adalah perubahan yang bertahap di dalam proses yang dikehendaki untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Perubahan tidak mendadak dan asal jadi saja tetapi lebih kepada perubahan yang bertahap (inqilabiyah) mengikuti kemampuan, kefahaman, dan level mad’u.
  • Dengan perubahan yang demikian maka dapat menghasilkan pribadi yang furqon sehingga muncul pribadi yang kuat.