Thursday, June 22, 2023

KH. Hilmi Aminuddin: Bi’ah Da’wiyah Shalihah

 Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Upaya mewujudkan dan memelihara bi’ah da’wiyah shalihah harus ditopang oleh adanya unsur bi’ah ruhiyah ta’abudiyah, bi’ah ilmiyah fikriyah dan bi’ah harakiyah da’wiyah. Bila bi’ah da’wiyah shalihah dengan ketiga unsur penopangnya bisa selalu kita pelihara, insya Allah dengan pertolongan-Nya dapat menjadikan setiap pertemuan dalam Majelis Syura ini sebagai wadah dan sarana untuk meningkatkan kualitas da’wah, jama’ah dan sekaligus kualitas ketaatan.

Namun tentu saja hal itu memerlukan tekad, i’tikad dan kesungguh-sungguhan dari diri kita sendiri sebagai anggota majelis syura untuk menjadikan jalasahnya sebagai wadah dan sarana tarqiyah. Alhamdulillah ditilik dari segi SDM, para personil majelis syura terpilih memiliki kafa’ah dan pengalaman yang beragam yang insya Allah dapat membackup proses irtiqa diri, da’wah dan jama’ah kita.

Selain itu insya Allah juga dapat semakin mendorong kita untuk meningkatkan upaya-upaya tafaqquh yang sangat diperlukan oleh sebuah majelis dengan kapasitas dan kualitas selevel majelis syura dalam sebuah jama’ah da’wah. Karena hanya dengan senantiasa bertafaqquh itulah insya Allah kita dapat melahirkan qararat hakimah (keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bijaksana).

Kegiatan tafaqquh tersebut harus kita tingkatkan seiring-sejalan baik secara individual operasional di aktivitas dakwah kita sehari-hari, maupun secara legal formal di majelis ini. Kegiatan tafaqquh itu meliputi paling tidak sepuluh ruang lingkup.

Ruang lingkup yang pertama adalah fiqhul ahkam. Penguasaan fiqhul ahkam membuat keputusan-keputusan kita tidak melanggar ahkam kitab wa sunahFiqhul ahkam ini juga memberi kepastian boleh tidaknya sesuatu kita putuskan untuk dilakukan.

Kemudian ruang lingkup yang kedua adalah fiqhud da’wah. Agar dapat melahirkan qararat hakimah kita juga memerlukan peningkatan tafaqquh dalam hal fiqhud da’wah. Melalui pendalaman fiqhud da’wah dalam konteks yang syamilah mutakamilah, kebijakan-kebijakan atau ketetapan-ketetapan yang kita lahirkan akan mempunyai tingkat akurasi, ketepatan yang tinggi  baik dalam hal sikon (situasi dan kondisi), penjadwalan dan timing (waktu yang pas) maupun dalam hal menentukan obyek yang menjadi sasaran keputusan-keputusan tersebut.

Selanjutnya ruang lingkup ketiga yang kita butuhkan dalam upaya tafaqquh adalah fiqhu amal jama’i. Sesuai dengan syumuliatud da’wah dan takamuliyatud da’wah, jamaah da’wah ini memerlukan segala potensi SDM-SDM yang memiliki beragam kafaah, bakat dan muyul. Dan kesemuanya itu harus terangkum secara baik dan terpadu di dalam wadah dan kerangka amal jama’i. Oleh karena itu kemampuan merangkum, membangun dan menyalurkan potensi secara tepat sangat diperlukan dalam peningkatan kualitas amal jama’i kita. Maka fiqhu amal jama’i pun menjadi sesuatu yang sangat asasi dalam upaya melahirkan qararat hakimah.

Ruang lingkup keempat yang dibutuhkan sebagai penunjang lahirnya qararat hakimah ialah penguasaan fiqhul muwazanah, yakni kemampuan untuk menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan di antara aneka ragam pilihan. Fiqhul muwazanahtersebut meliputi:

a.         Muwazanah baina mashlahah wal mafsadah, menimbang di antara manfaat dan mudharat, antara kebaikan dan kerusakan.

b.         Muwazanah baina mashalih atau muwazanah baina ‘iddati mashalih sebab mashlahah memiliki tingkatan-tingkatan mashlahah duna mashlahah. Artinya setiap mashlahah memiliki derajat-derajat dan kesesuaian yang berbeda. Sehingga untuk suatu situasi dan kondisi dakwah tertentu kita harus bisa memilih dari sekian mashlahah, ayyuha ashlah (mana yang lebih baik).

c.         Muwazanah bainal mafasid. Mafsadah adalah tsamaratul kufr (buah kekufuran) dan mengingat kekufuran memiliki tingkatan-tingkatan (maratib kufrun duna kufrin), maka mafsadah sebagai bauhnya juga memiliki leveling, yakni mafsadah duna mafsadah. Oleh karena itu kitapun  membutuhkan kemampuan muwazanah mafsadah bainal mafasid.

Jadi kemampuan fiqhul muwazanah harus melingkupi fiqhul muwazanah bainal mashlahah wal mafsadah, fiqhul muwazanah bainal mashlahah wal mashlahah dan fiqhul muwazanah bainal mafsadah wal mafsadah.

Ikhwah dan akhwat fillah, untuk meningkatkan kualitas, kita juga membutuhkan tafaqquh yang kelima, yaitu fiqhul aulawiyat.  Kita membutuhkan fiqhul aulawiyat untuk bisa memilih skala prioritas sesuai dengan situasi, kondisi dan obyek dakwah yang kita hadapi.

Selanjutnya kita perlu merambah kepada tafaqquh yang keenam, yaitu fiqhus sunah. Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah di antara seluruh makhluk Allah.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra: 70)

Dan memiliki keistimewaan, kita harus mempunyai kemampuan yang mendalam tentang sunatullah-sunatullah yang mengikat seluruh makhluk-Nya. Sunah kauniyah yang mengikat makhluk-makhluk-Nya, baik yang minal mushlihin, minal mu’minin, minal mufsidin dan minal kafirin atau bahkan ahya wa jamadat (makhluk hidup dan benda mati). Di antara sunah kauniyah, sunatullah yang mengikat seluruh makhluknya adalah:

a.          Sunatut tadarruj. Setiap makhluk terikat dengan sunah tadarruj ini, yaitu mereka memiliki tahapan-tahapan dalam pertumbuhannya.

b.          Sunatut tawazun. Artinya setiap makhluk diciptakan dalam komposisi seimbang dan berkembang secara mutawazinahpula.

c.          Sunatul ajal. Setiap makhluk terikat sunatul ajal, yaitu bahwa ia mempunyai batasan waktu dalam keberadaannya.

 

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf: 34)

Secara inklusif di dalam memahami sunatul ajal, kita juga harus memahami sunatut tadawwul (sunah pergiliran). Ketika ajal seorang manusia sampai, maka digantikan atau digilir oleh generasi anak-cucunya dan jika ajal suatu umat sampai, maka umat berikutnya pun akan melanjutkan misi wazhifahnya.

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ


“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,” (Q.S. Ali Imran: 140)

d.          Sunnatut tadaffu’ muda’afah bainal khalaiq. Sunatullah ini diperlukan untuk menjaga dinamika dan keseimbangan kauni di dalam kehidupan makhluk-Nya.

 

وَلَوْلاَ دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Q.S. Al-Baqarah: 251)

Artinya Allah menjamin dinamika dan keseimbangan kauni dengan menjadikan sebagian manusia mencegah kezaliman yang dilakukan sebagian lainnya.

e.          Sunatut taskhir (ketentuan ditundukkannya segala sesuatu di dunia ini untuk keperluan manusia). Kita juga harus memahami adanya sunatut taskhir, yaitu bahwa dalam menjalankan tugas risalah ibadah dan wazhifah khilafahnya, manusia dipermudah oleh Allah dengan menundukkan seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi untuk keperluan tersebut.

 

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 13)

Ikhwah dan akhwat fillah dalam upaya peningkatan tafaqquh, kita juga memerlukan ruang lingkup yang ketujuh, yaitu fiqhut taghyir (fikih perubahan). Untuk mengusahakan suatu perubahan sudah ada acuan bakunya yang terikat oleh sunah kauniyah. Dan kita sebagai harakatud da’wah yang terlibat dalam upaya merubah kualitas manusia dan kehidupannya sudah tentu terikat juga dengan sunnatut taghyir. Karena Allah Taala sudah menggariskan.

إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11)

Selanjutnya kita pun harus memahami ruang lingkup tafaqquh yang kedelapan, yaitu fiqhut tarikh. Kita harus juga melirik, melihat dan menelaah perjalanan sejarah manusia (tarikh basyariahtarikhul umam (sejarah keseluruhan umat manusia),  begitu juga segala anbiya wal mursalin dan sejarah Islam. Sudah tentu memahami sejarah bukan untuk sekadar bersenandung rindu terhadap kejayaan-kejayaan masa lalu, melainkan untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari sejarah.

Kemudian dalam hal kebutuhan aplikasi pemahaman, kita membutuhkan aplikasi pemahaman, kita membutuhkan ruang lingkup tafaqquh yang kesembilan, yaitu fiqhul waqi’ (pemahaman terhadap realita) baik itu realitas kita, realita lawan, realita subyek dan obyek dakwah. Begitu pula terhadap sarana dan prasarana situasi dan kondisi yang sedang kita hadapi. Kesemuanya dapat kita pahami dengan  baik dengan memiliki fiqhul waqi’.

Boleh jadi ada perbedaan dalam upaya kita memahami realita, karena itu selain fiqhul waqi’, kita juga membutuhkan tafaqquhyang kesepuluh, yaitu fiqhul ikhtilaf atau pemahaman terhadap kemungkinan perbedaan pendapat. Dalam pandangan Islam adanya ikhtilaf merupakan sesuatu yang  wajar dan sesuai dengan fitrah manusia yang diciptakan berbeda-beda. Namun Islam sekaligus mengarahkan bagaimana perbedaan tersebut sekadar sebuah keragaman yang tetap dalam keterpaduan (ikhtilaf takamul) agar berguna dalam pertumbuhan dakwah yang bersifat syumuliah.

Demikianlah ikhwah dan akhwat fillah, jika kita selalu berupaya untuk mengembangkan tafaqquh dalam bidang-bidang tersebut, insya Allah kualitas qararat (kebijakan-kebijakan) kita denga izin Allah dan petunjuk-Nya akan mencapai kualitas qararat yang hakimah yang insya Allah selaras dengan kepentingan dakwah dan jamaah.

Upaya penguasaan kesepuluh ruang lingkup tafaqquh tersebut  selain diwujudkan dengan cara saling memperkaya sesama anggota majelis syura, bisa juga membentuk tim-tim khusus atau lajnah-lajnah yang terdiri dari para pakar dari luar sehingga keputusan-keputusan kita semakin aqwam yang bukan saja mengandung unsur kebijakan, tetapi juga kekokohan untuk menghadapi tantangan-tantangan berupa qadhaya dakwah di hadapan kita. Insya Allah.

Wallahu a’lam

Kontribusi Terhadap Dakwah

 Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah

alhikmah.ac.id - Pada dasarnya umat manusia menginginkan perubahan dalam hidupnya. Baik secara individual maupun kolektif. Dan ajaran Islam memberikan konsep yang jelas untuk mencapainya. Yakni perubahan menuju kehidupan yang lebih baik dari hari ini. Kondisi ke arah itu hanya dapat dilakukan melalui penataan dakwah dengan sebaik-baiknya.

Upaya untuk mencapai perubahan umat ini, dakwah tidak dapat mengandalkan kekuatan di luar kemampuan manusia. Sekalipun orang beriman mengakui adanya kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia yang dapat mempengaruhi kekuatan dirinya.

Untuk meraih terwujudnya cita-cita perjuangan dakwah, kontribusi aktivis dakwah menjadi kunci utamanya. Dengannya kemudahan-kemudahan dakwah akan datang menyertai perjuangan mulia tersebut. Sehingga kontribusi dalam dakwah merupakan suatu tuntutan atau keniscayaan.

Kontribusi Dakwah Merupakan Keniscayaan Dalam Perjuangan (Hatmiyatun Harakiyah)

Kontribusi dalam dakwah adalah memberikan sesuatu baik jiwa, harta, waktu, kehidupan dan segala sesuatu yang dipunyai oleh seseorang untuk sebuah cita-cita. Ini menjadi bentuk pengorbanan seorang kader terhadap dakwah. Perjuangan dan pengorbanan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Kontribusi dakwah, besar atau kecil memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menegakkan Islam. Melalui pengorbanan, bangunan ini dapat berdiri tegak dari komponen satu sama lain baik besar ataupun kecil. Demikian pula kedudukan status sosial seseorang yang dipandang rendah tatkala memberikan pengorbanannya maka ia sama kedudukannya dengan yang lain bahkan mungkin lebih tinggi lagi.

Sebagaimana Rasulullah saw. menggangap mulia seorang penyapu masjid. Karena kerjanya masjid menjadi bersih dan menarik. Dari kontribusinya itu beliau memberikan tempat di hatinya bagi tukang sapu tersebut. Beliau mengagumi pengorbanan yang telah diberikannya. Sehingga Rasulullah saw. melakukan shalat ghaib untuknya. Ini karena sewaktu tukang sapu masjid itu meningal dunia beliau tidak mengetahuinya.

Para sahabat memandang apalah artinya seorang tukang sapu bagi Rasulullah saw. Namun tidak demikian bagi Rasulullah saw. Tukang sapu itu telah memberikan pengorbanan yang luar biasa dalam dakwah ini. Semua itu karena ia telah memberikan potensi miliknya untuk dakwah.

Dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna rahimahullah, mengingatkan kepada seluruh kader dakwah untuk selalu berada di barisan terdepan dalam memberikan kontribusi dakwah, “Wahai Ikhwah, ingatlah baik-baik. Dakwah ini adalah dakwah suci, jamaah ini adalah jamaah mulia. Sumber keuangan dakwah ini dari kantong kita bukan dari yang lain. Nafkah dakwah ini disisihkan dari sebagian jatah makan anak dan keluarga kita. Sikap seperti ini hanya ada pada diri kita –para aktivis dakwah– dan tidak ada pada yang lainnya. Ingatlah dakwah ini menuntut pengorbanan. Minimal harta dan jiwa.”

Untuk Meraih Pertolongan Allah swt. (Intisharullah)

Meskipun orang yang beriman meyakini bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, tetapi pertolongan-Nya tidak boleh diartikan sebagai sebuah ‘keajaiban dari langit’ yang datang dengan tiba-tiba dan begitu saja. Sekalipun hal itu bisa saja terjadi menurut kehendak Allah swt.

Namun pertolongan Allah itu harus diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para hamba-Nya dalam memberikan perhatian dan pengorbanannya kepada dakwah. Firman Allah swt., “Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah kamu.” (Muhammad: 7)

Oleh karena itu, untuk meraih pertolongan Allah, perlu mencari penyebab datangnya. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah dengan memberikan kontribusi terhadap dakwah ini. Apalagi di saat dakwah ini menghadapi rintangan dari musuh-musuhnya. Situasi seperti inilah kontribusi aktivis dakwah dapat menjadi pintu untuk pertolongan-Nya. Terlebih-lebih dalam situasi yang pelik dan terjepit. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah: 214)

Karakter Aktivis Dakwah (Muwashafatul Jundiyah)

Dalam kaedah syair Bahasa Arab dikatakan bahwa, ‘Fain faqadu syaian lam yu’thi.‘ Siapa yang tidak punya, maka ia tidak akan dapat memberikan sesuatu. Maka mungkinkah seseorang akan memberikan kontribusinya sementara dirinya tidak memiliki apa-apa. Mereka yang tidak bisa memberikan pengorbananan apa-apa sepantasnya merasa malu. Karena telah banyak kebaikan Allah swt. pada kita. Oleh sebab itu seorang aktivis dakwah perlu mengetahui apa yang ia punyai.

Kaum yang beriman, khususnya aktivis dakwah, tidak boleh bakhil. Kontribusi apapun, yang telah ia tunaikan akan sangat bermanfaat bagi dakwah ini. Kemanfaatan pengorbanan itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini baik bagi orang lain terlebih lagi bagi dirinya sendiri. Setelah mati, tidak ada sesuatu pun yang bisa diberikan oleh manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di alam barzah kelak.

Karenanya, karakter aktivis dakwah yang sesungguhnya adalah berwatak merasa ringan untuk berkorban terhadap dakwah. Tidak ada sesuatupun yang merintanginya untuk berkorban. Ia cepat merespon tuntutan dakwah ini.

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang”. (Ash-Shaff: 14)

Kelangsungan Dakwah (Istimrarud Da’wah)

Memang kelangsungan dakwah ini telah mendapatkan jaminan dari Allah swt. (At-Taubah: 40). Akan tetapi ia juga berhubungan dengan kontribusi dakwah. Ia ibarat tetesan darah yang memperpanjang usia perjalanan dakwah ini. Oleh karenanya pengorbanan aktivis terhadap dakwah menjadi sangat vital.

Dakwah bisa terus berjalan atau mandeg lantaran pengorbanan aktivisnya. Mereka yang terdepan dalam memberikan kontribusinya, merekalah yang menjadi pelangsung dakwah. Sebaliknya mereka yang tidak berada pada barisan ini, menjadi penyebab mandul atau matinya dakwah. Karena mereka tidak memberikan pengorbanan, Allah swt. akan menggatikannya dengan aktivis yang lainnya. Hal itu terjadi untuk mensinambungkan gerak perjalanan dakwah.

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (Muhammad: 38)

Adapun kontribusi yang dapat diberikan seorang aktivis sangat banyak, karena seluruh potensi yang dimiliki dapat disumbangkan untuk dakwah. Untuk memudahkan kita memahami kontribusi dalam dakwah ini, al-atha’ ad-da’awy diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Al-Atha’ Al Fikry (Kontribusi Pemikiran)

Jiwa dari perjuangan da’wah adalah kontribusi pemikiran karena nilai-nilai Islam hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di tengah-tengah umat. Umat ini tidak boleh sepi untuk mendayagunakan pemikirannya. Agar menghasilkan solusi yang telah diberikan Islam.

Ajaran Islam mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia dari berbagai zaman dan peradaban. Dan solusi yang diberikan mencakup berbagai aktifitas kehidupan manusia. Untuk mendapatkan jawabannya umat Islam harus mampu menggunakan satu senjata yang telah ditunjukkan oleh Allah swt. yakni ijtihad. Karenanya Rasulullah saw. sangat menghargai proses ijtihad yang dilakukan para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang disampaikannya kepada Mu’adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman.

Dr. Yusuf Qaradhawi menyatakan dalam buku Fiqhul Aulawiyat : “Yang tampak oleh saya bahwa krisis kita yang utama adalah ‘krisis pemikiran’ (azmah fikriyah). Di sana terdapat kerancuan pemahaman banyak orang tentang Islam. Kedangkalan yang nyata dalam menyadari ajaran-ajarannya serta urutan-urutannya. Mana yang paling penting, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Ada pula yang lemah memahami keadaan masa kini dan kenyataan sekarang (fiqh al waqi’). Ada yang tidak mengetahui tentang ‘orang lain’ sehingga kita jatuh pada penilaian yang terlalu ‘berlebihan’ (over estimasi) atau sebaliknya ‘menggampangkan’ (under estimasi). Sementara orang lain mengerti benar siapa kita bahkan mereka dapat menyingkap kita sampai ke ‘tulang sumsum’ kita. Sampai hari ini kita belum mengetahui faktor-faktor kekuatan yang kita miliki dan titik-titik lemah yang ada pada kita. Kita sering membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan menyepelekan sesuatu yang besar, baik dalam kemampuan maupun dalam aib-aib kita.’

Kontribusi kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan sebuah tsaqafah (intelektualitas) dan hadlarah(peradaban) Islam, sebagaimana yang pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa Rasulullah saw. sampai dengan pemerintahan Islam sesudahnya. Karena dari sikap inilah muncul kreativitas dan inovasi baru dalam kehidupan ini. Dengan terbiasanya berpikir untuk dakwah maka mereka akan terbiasa melahirkan sesuatu yang belum dipikirkan orang lain. Sehingga manajemen modern sedang menggalakan umat manusia untuk senantiasa berbuat sebelum orang lain sempat berpikir. Hal itu terjadi apabila kita terbiasa berpikir cepat dari yang lainnya. Karenanya seorang aktivis dakwah tidak boleh miskin ide dan gagasan apalagi kikir untuk dikontribusikan terhadap dakwah.

2. Al-Atha’ Fanny (Kontribusi Keterampilan)

Keterampilan merupakan anugerah mahal yang diberikan Allah swt. kepada manusia. Skill ini akan menjadi kekayaan yang tak ternilai. Keterampilan ini dapat pula menjadi eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan Allah sangat menghargai keterampilan yang dapat menghantarkannya ke jalan-Nya yang paling baik. Yakni skill yang dapat berguna untuk kepentingan dakwah. Untuk kepentingan inilah skill tersebut mendapatkan penghargaan di sisi Allah swt.

“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’ Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra’: 84)

Sesungguhnya semua skill yang dimiliki seseorang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap dakwah. Kemenangan dakwah dalam sepanjang sejarah juga diwarnai oleh keterampilan dari para pahlawan Islam. Ada yang mahir menunggang kuda dari balik perut kuda hingga bisa membuka benteng musuh. Ada yang terampil menggunakan pedangnya hingga tampak bagai tarian. Ada juga yang ahli dalam mengadu domba hingga mematahkan kekuatan barisan musuh dan masih banyak lagi yang lainnya. Karena itu para pengemban risalah dakwah ini mendorong umatnya untuk turut serta dalam mendayagunakan keterampilannya bagi kemenangan dakwah.

“Katakanlah: ‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahu.’” (Az-Zumar: 39)

3. Al-Atha’ Al-Maaly (Kontribusi Materi)

Kontribusi materi merupakan kekuatan fisik dari dakwah karena ia akan menggerakkan jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial. Oleh karena itu berbagai persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah swt. sebagaimana firman-Nya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukuop kepadamu dan kamu tidak akan dianaiaya (dirugikan).” (Al-Anfal: 60)

Para sahabat telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah harus diikuti oleh perjuangan mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam jumlah yang tiada taranya. Abu Bakar Shiddiq adalah sahabat yang rela mengorbankan seluruh harta miliknya di jalan Allah, sedangkan Utsman bin Affan yang kaya raya itu juga sangat luar biasa tanggung jawabnya dalam persoalan kontribusi material ini. Ketika pada masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi musim paceklik Utsman menyumbangkan gandum yang dibawa oleh seribu ekor unta.

Perjuangan yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga dengan dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi dengan musuh-musuh yang seringkali memiliki sarana yang lengkap dan hebat. Perhatian dalam hal ini adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini merupakan tuntutan sunatullah. Inilah yang ditunaikan Rasulullah saw. ketika memproduksi senjata-senjata perang, yang ditunaikan Umar bin Khattab ketika menciptakan “panser-panser” (dababah) atau Utsman bin Affan ketika membangun angkatan laut yang kuat di bawah pimpinan Muawiyah.

4. Al-Atha’ An-Nafsy (Kontribusi Jiwa)

Kontribusi jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur dan menyerahkannya kepada ketakwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi yang mendasari seluruh kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi keinginan-keinginan untuk membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mau berkorban bagi pihak lain. Ia harus membebaskan dirinya dari sifat bakhil yang mengungkung jiwanya baik dalam aspek material maupun non-material.

Kontribusi terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak saja menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu sendiri dari badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari seorang pejuang dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan kakinya di jalan dakwah: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan AlQur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari pada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111).

Termasuk dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi waktu (al waqt) dan kesempatan (al furshokh) yang dimiliki seseorang dalam perjalanan kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada hal-hal yang tidak memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan atau mengambil kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang bernilai akhirat.

5. Al-Atha’ Al-Mulky (Kontribusi Kewenangan)

Kewenangan yang dimiliki seseorang dalam jajaran birokrasi pemerintahan ataupun kemasyarakatan dapat juga bermanfaat untuk kemajuan dakwah. Baik birokrasi tingkat rendah apalagi tingkat yang lebih tinggi. Dengan jabatan dan kewenangannya ia dapat menentukan sesuatu yang dapat dipandang baik atau buruk terhadap pertumbuhan dakwah.

Karenanya jabatan dan kewenangan yang ada padanya harus bisa memberikan pengaruh terhadap geliatnya dakwah. Bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Tidak jarang kita jumpai banyak orang yang tidak mempergunakannya untuk dakwah malah kadang mempersempit ruang gerak dakwah. Tidak seperti umat lain yang memaksimalkan jabatan dan kewenangannya untuk kepentingan dakwah mereka.

Lihatlah paparan kisah yang Allah swt. ceritakan dalam Al-Qur’an tentang pembelaan pengikut Nabi Musa yang berada di jajaran pemerintahan Fir’aun meski harus menyembunyikan imannya. Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Al-Mukmin: 28)

Begitu berartinya jabatan dan kewenangan bagi dakwah, sampai-sampai Rasulullah saw. berdoa pada Allah swt. agar memberikan hidayah Islam kepada pembesar Qurasiy, yakni antara dua Umar: Umar ibnul Khaththab atau Amr bin Hisyam.

Kiat untuk dapat memberikan kontribusi dakwah

Untuk dapat mendorong dirinya memberikan kontribusinya dalam dakwah, aktivis dakwah perlu mengupayakan kiat-kiat jitu dalam berkorban. Pertama, biasakan diri untuk memberikan kontribusi setiap hari meskipun dalam jumlah yang kecil. Sedapatnya bisa berkorban baik harta, waktu, dan tenaga setiap hari, pekan ataupun waktu-waktu lainnya. Kalau perlu dengan ukuran yang jelas, misalnya satu hari memberikan kontribusinya untuk dakwah Rp 1.000 atau dua jam dari waktunya atau satu gagasannya. Sehingga apa yang ia berikan dapat terukur. Untuk dapat membiasakannya bila perlu memberikan sanksi jika meninggalkan kebiasaan tersebut. Seperti Umar menyumbangkan kebunnya karena tidak shalat berjamaah. Ibnu Umar memperpanjang shalatnya bila tidak berjamaah. Rasulullah saw. mengerjakan shalat dhuha 12 rakaat bila meninggalkan qiyamullail.

Kedua, meningkatkan kemampuan visualisasi terhadap balasan dan ganjaran dunia dan akhirat. Apalagi balasan yang dijanjikan-Nya sangat besar, Allah swt. akan memberikan kedudukan yang kokoh di dunia atas segala kontribusi yang diberikan (An-Nuur: 55). Allah swt. juga memandang mulia orang yang berkorban, bahkan derajatnya ditinggikan dari orang yang lainnya (An-Nisaa’: 95). Keyakinan akan balasan dan ganjaran yang diberikan akan memudahkan orang akan menyumbangkan apa saja yang dimilikinya.

Ketiga, selalu bercermin pada orang lain dalam berkorban. Orang beriman akan menjadi cermin bagi yang lainnya. Dengan senantiasa melihat apa yang dilakukan yang lain. Paling tidak dapat memberikan dorongan untuk melakukan seperti yang dilakukan orang lain. Tidak jarang para sahabat berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan lantaran bercermin dari sahabat lainnya.

Keempat, selalu meyakini bahwa setiap pengorbanan yang diberikan akan memberikan manfaat yang sangat besar baik bagi dirinya ataupun yang lain. Keyakinan yang demikian akan mendorong untuk selalu berbuat. Sebab, betapa banyaknya orang yang dapat menikmati atau mengambil faedah dari apa yang kita lakukan. Sebagaimana ditemukan sebuah penelitian, para pekerja pembuat obat di pabrik tidak jadi melakukan mogok kerja karena mereka melihat langsung bahwa banyak pasien di rumah sakit yang sangat membutuhkan obat yang mereka buat.

Kelima, senantiasa berdoa pada Allah swt. agar dimudahkan untuk selalu berkorban. Karena Allah swt. pemilik hati orang beriman sehingga dengan berdoa diharapkan hati kita senantiasa berada di barisan terdepan untuk memberikan kontribusi bagi kemenangan dakwah. Dengan berdoa dapat bertahan untuk memperjuangkan dakwah hingga akhir hayat kita.

“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27) (dkwt)

Friday, January 13, 2023

Risalah Kepada Para Pemuda dan Secara Khusus Kepada Para Mahasiswa

 Bismillahirrahmanirrrahim

Alah SWT berfirman:

 

قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَى وَفُرَادَى ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا مَا بِصَاحِبِكُمْ مِنْ جِنَّةٍ إِنْ هُوَ إِلَّا نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ . قُلْ مَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ . قُلْ إِنَّ رَبِّي يَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَّامُ الْغُيُوبِ. قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ . قُلْ إِنْ ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ

 

“Katakanlah, ‘Sesunguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) adzab yang keras.’ Katakanlah, ‘Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku mewahyukan kebenaran. Dia Maha Mengetahui segala yang ghaib.’ Katakanlah.’Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulangi.’Katakanlah, ‘Jika aku sesat maka sesunggunya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri, dan jika aku mendapatkan petunjuk, maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.” (Saba’: 46-50)

 

Wahai pemuda!

Saya panjatkan puji kehadirat Allah, yang tiada Tuhan melainkan Dia. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada nabi Muhammad saw, Imam para pembaru dan penghulu para mujahid; keluarga; sahabat; dan para tabi’in.

 

Wahai pemuda!

Sesungguhnya, sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala

- Kuat rasa keyakinan kepadanya,

- Ikhlas dalam berjuang di jalannya,

- Semakin bersemangat dalam merealisasikannya,

- Dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.

Sepertinya keempat rukun ini, yakni iman, ikhlas, semangat, dana amal merupakan karekter yang melekat pada diri pemuda, karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para pemuda.

 

Oleh karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.

 

إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

 

“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi: 13)

 

Beranjak dari sini, sesungguhnya banyak kewajiban kalian, besar tanggung jawab kalian, semakin berlipat hak-hak umat yang harus kalian tunaikan, dan semakin berat amanat yang terpikul di pundak kalian. Kalian harus berpikir panjang, banyak beramal, bijak dalam menentukan sikap, maju untuk menjadi penyelamat, dan hendaklah kalian mampu menunaikan hak-hak umat ini dengan sempurna.

 

Ada di antara pemuda yang tumbuh dalam situasi bangsa yang dingin dan tenang, di mana kekuasaan pemerintah telah tertanam kuat dan kemakmuran telah dirasakan oleh warganya. Sehingga pemuda yang tumbuh  dalam suasana ini aktifitasnya lebih banyak tertuju kepada dirinya sendiri daripada untuk umatnya. Dia pun kemudian cendrung main-main dan berhura-hura karena meresa tenang jiwanya dan lega hatinya.

 

Ada juga pemuda tumbuh dalam suasana bangsa yang keras dan bergejolak, di mana bangsa itu sedang dikuasai oleh lawannya dan dalam semua urusan diperbudak oleh musuhnya. Bangsa ini berjuang semampunya untuk mengembalikan hak yang dirampas, tanah air yang terjajah, dan kebebasan, kemuliaan, sarta nilai-nilai agung yang hilang. Saat itulah kewajiban mendasar bagi pemuda yang tumbuh dalam situasi seperti ini adalah berbuat untuk bangsanya lebih banyak dari pada berbuat untuk dirinya sendiri. Jika ia lakukan hal itu, ia akan beruntung dengan mendapatkan kebaikan segera di medan kemenangan dan kebaikan -yang tertunda- berupa pahala dari Allah swt.

 

Barangkali, merupakkan suatu keberuntungan bagi kita bahwa kita termasuk pemuda kelompok kedua (yang dibesarkan dalam situasi keras dan bergejolak). Oleh karena itu, kedua mata kita pun terbuka di hadapan sebuah umat yang terus berjihad dan berjuang untuk mendapatkan hak dan kebebasannya. Bersiap-siaplah wahai para tokoh! Sungguh, alangkah dekatnya kemenangan bagi kaum mukminin dan alangkah besarnya keberuntungan bagi para aktifis yang tak henti berjuang.

 

Wahai pemuda!

Barangkali ancaman yang cukup berbahaya pada bangsa yang mau bangkit -dan kita sekarang di fajar kebangkitan- adalah munculnya beragam isme, banyaknya seruan-seruan, warna-warninya manhaj, perbedaan dalam penetapan strategi dan sarana perjuangan, dan tidak sedikitnya orang yang berambisi untuk menjadi pemimpin dan penguasa. Berawal dari sini, maka studi perbandingan terhadap isme-isme menjadi amat penting bagi siapa saja yang menginginkan perbaikan.

 

Dari sini pula, maka kewajiban saya adalah menerangkan kepada kalian dengan ringkas dan jelas dakwah Islam pada abad keempat belas hijriyah.

 

DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN, DAKWAH ABAD EMPAT BELAS HIJRIYAH

 

Wahai pemuda!

Kita telah beriman dengan keimanan yang tidak perlu diperdebatkan dan tidak ada keraguan di dalamnya. Kita juga telah yakin dengan sebuah keyakinan yang lebih tangguh dari gunung dan lebih dalam dari rahasia – rahasia yang ada di dalam benak, bahwa sesungguhnya tidak ada fikrah yang benar kecuali satu saja. Dialah fikrah yang bisa menyelamatkan dunia dari penindasan, memimbing manusia yang bimbang dan menunjukkannya ke jalan yang lurus. Oleh karena itu, rasanya hanya fikrah inilah yang pantas untuk berkorban dengan jiwa dan harta, dengan yang murah ataupun yang mahal, demi deklarasi dan penyebaran kebenarannya, serta membawa manusia ke dalam naungannya. Fikrah itu adalah Islam yang hanif, tiada cacat didalamnya, tiada setitik noda menyelimutinya, dan tidak akan sesat bagi yang mengikutinya.

 

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

 

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali-Imran: 18)

 

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

 

“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

 

Oleh karena itu, fikrah kami adalah  Islam an sich; di atas Islam fikrah itu tegak, kepada Islam fikrah itu bersandar, demi Islam fikrah itu berjihad, dan karena meninggikan kalimatnya fikrah itu beramal. Kita tidak mungkin akan mengganti Islam sebagai sistem, tidak rela menjadikan selainnya sebagai imam, dan tidak akan taat kepada yang lain dalam pengambilan hukum.

 

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

 

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)

 

Telah datang kepada Islam dan kaum muslimin suatu masa yang di dalamnya terjadi peristiwa demi peristiwa dan bergilir bencana demi bencana. Musuh-musuh mereka berusaha memadamkan lentera Islam, menyembunyikan keagungannya, menyesatkan para pengikutnya, melenyapkan hukum-hukumnya, melemahkan bala tentaranya, dan menyelewengkan ajarannya -dengan cara mengurangi, menambahi, atau men-ta’wilkan  dengan interprestasi yang tidak semestinya. Situasi itu masih berlanjut dengan lenyapnya Islam pada skala internasional, tercabik-cabiknya tentara Muhammad saw, dan jatuhnya bangsa ini ke dalam genggaman kaum kafir dalam keadaan hina dan tidak berdaya.

 

Oleh karenanya, kewajiban pertama bagi kita sebagai aktifis ikhwan adalah menyampaikan kepada manusia tentang batas-batas Islam ini secara jelas dan sempurna, tanpa ditambah dan dikurangi, dan tidak pula membuat rancu ajarannya. Hal yang demikian itu merupakan aspek teoritis dari fikrah kami. Kemudian, pada saat yang bersamaan kami menuntut dan mengkondisikan mereka untuk mewujudkannya dalam amal nyata. Hal yang kedua inilah merupakan aspek amali dari fikrah kami.

 

Tiang penyangga kami dalam melaksanakan itu semua adalah Kitab Allah yang tiada kebatilan di depan dan di belakangnya, Sunah Rasul yang shahih, dan sirah kaum salaf dari umat ini. Di balik itu, kami tidak menghendaki apa-apa kecuali ridha Allah, melaksanakan kewajiban, membimbing manusia, dan menunjuki mereka.

 

Kami akan berjuang untuk terwujudnya fikrah kami, kami akan berjuang atas apa yang telah kami yakini, kami akan mengajak manusia ke sana, dan akan kami kerahkan segala sesuatu demi keberhasilannya. Dengan demikian, kami akan hidup mulia atau mati terhormat. Syi’ar abadi kami adalah :

Allah tujuan kami; Rasul pemimpin kami; Al-Qur’an undang-undang kami; jihad jalan kami; dan mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tetinggi.

 

Wahai pemuda !

Sesungguhnya, Allah telah memuliakan kalian dengan menisbatkan diri kepada-Nya, beriman terhadap keberadaan-Nya, dan tumbuh dalam naungan agama-Nya. Dengan agama itu pula, Allah menetapkan atas kalian derajat yang tinggi di dunia, amanah kepemimpinan atas sekalian alam, dan kemudian seorang ustadz di hadapan murid-muridnya.

 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

 

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’rif dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali-Imran: 110)

 

Oleh karenanya, yang pertama kali Allah serukan kepada kalian adalah hendaklah kalian yakin akan eksistensi kalian, mengetahui posisi kalian, dan percaya bahwa kalian adalah para pewaris kekuasaan dunia, meski musuh-musuh kalian adalah menghendaki agar kalian tetap terhina. Kalian adalah para guru bagi dunia, meski pihak-pihak selain kalian berusaha untuk menggungguli dengan gebyar kehidupan dunia. Sesungguhnya, kesudahan terbaik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

 

Oleh karena itu, (wahai pemuda) perbaruilah iman, kemudian tentukan sasaran dan tujuan langkah kalian.

 

Sesungguhnya, kekuatan pertama adalah iman, buah dari iman ini adalah kesatuan, dan konsekuensi logis  kesatuan adalah kemenangan yang gilang gemilang. Oleh karenanya, berimanlah kalian, eratkanlah ukhuwah, sadarilah, dan kemudian tunggulah (setelah itu) datangnya kemenangan.

 

“Berikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman:

Dunia ini sedang dalam kondisi gundah gulana. Semua sistem yang ada telah gagal melakukan perbaikan. Sesungguhnya, tidak ada jalan keluar dari permasalahan itu kecuali Islam. Oleh karenanya, majulah dengan asma Allah untuk menyelamatkannya. Semua orang tengah menunggu datangnya seorang juru selamat, dan juru selamat itu tiada lain kecuali risalah Islamiyah, di mana kalian yang membawa lenteranya dan memberikan kabar gembira kepada manusia dengan keberadaannya.

 

Wahai pemuda !

Sesungguhnya, manhaj Ikhwanul Muslimin itu telah jelas tahapan dan langkah-langkahnya. Kalian tahu benar apa yang kami inginkan dan kami paham benar sarana apa saja yang dipergunakan untuk mewujudkan keinginan itu.

 

Pertama-tama:

Kami menginginkan seorang yang muslim dalam pola pikir dan akidahnya, dalam moralitas dan perasaannya, serta dalam amal dan perilakunya. Ini merupakan salah satu upaya pembentukkan individu mukmin dalam dakwah kami.

 

Setelah itu, kami menginginkan terbangunnya rumah tangga yang islami dalam pola pikir dan akidahnya, dalam moralitas dan perasaannya, serta dalam amal dan perilakunya. Untuk itu, kami juga memperhatikan kaum wanita sebagaimana perhatian kami kepada kaum pria. Kami juga memperhatikan anak-anak sebagimana perhatian kami kepada pemuda.

 

Setelah itu, kami juga menginginkan bangsa yang muslim. Untuk itulah, kami berusaha agar dakwah kami sampai ke setiap pelosok, suara kami bisa didengarkan si setiap tempat, fikrah kami bisa dipahami dengan mudah, serta bisa menerobos ke seluruh penjuru desa, kota, dan pusat-pusat kegiatan. Untuk itu, kami tidak akan menyia-nyiakan potensi dan sarana yang ada.

 

Setelah itu, kami menginginkan sebuah pemerintahan Islam yang bisa memimpin bangsa menuju masjid dan membimbing manusia kepada hidayah Islam, sebagaimana pemerintahan Islam sebelumnya yang telah berhasil membawa mereka ke jalan itu dengan bimbingan para sahabat Rasul, seperti Abu Bakar dan Umar ra.

 

Dari sinilah kami tidak mengakui sistem pemerintahan apa pun yang tidak menekankan dan tidak bertumpu pada asas Islam. Kami juga tidak mengakui partai-partai politik yang ada dan berbagai bentuk pemerintahan konservatif yang dipaksakan oleh orang kafir dan musuh-musuh Islam untuk menerapkan dan mengamalkannya. Kami akan berusaha untuk menghidupkan sistem hukum Islam dalam setiap aspeknya dan membangun pemerintahan yang islami dengan berasaskan sistem ini.

 

Setelah itu kami menginginkan agar setiap jengkal dari negeri-negeri kami yang muslim bergabung bersama kami. Negeri-negeri itulah yang dahulu dijajah dan dipecah belah oleh sistem politik Barat dan diporak-porandakan kesatuannya oleh ambisi bangsa-bangsa Eropa. Oleh karena itu, kami tidak mengakui adanya pembagian-pembagian  teritorial yang bersifat politis dan berbagai kesepakatan internasional yang ada setelahnya, karena hal itu semualah yang telah menjadikan negara Islam yang besar ini terpecah menjadi negara-negara kecil yang lemah, sehingga mudah dikuasai oleh penjajah. Kami tidak akan tinggal diam terhadap proyek pemberangusan kemerdekaan bangsa dan membiarkan mereka menjadi budak bagi bangsa lainnya. Mesir, Syiria, Irak, Hijaz, Libya, Tunis, Aljazair, Mauritania, dan setiap jengkal tanah yang di dalamnya terdapat seorang muslim yang berseru “Laa ilaaha Illallah”, semua itu adalah Negara Islam Raya. Kami berusaha untuk memerdekakan, menyelamatkan, membebaskan, dan mempersatukan antar yang satu dengan lainnya.

 

Kalau penguasa  Jerman memaksakan kehendaknya untuk melindungi setiap orang yang mengalir di tubuhnya darah Aria, maka sesungguhnya ajaran Islam mewajibkan kepada setiap muslim agar menjadikan dirinya sebagai pelindung bagi siapa saja yang relung jiwanya terisi oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an. Oleh karenanya, dalam tradisi Islam, faktor kesukuan tidak boleh lebih dominan daripada faktor iman. Dalam Islam, akidah adalah segalanya. Bukankah hakekat iman seseorang itu tercermin dari pengungkapan cinta dan bencinya?

 

Setelah itu, kami menginginkan agar panji Islam kembali berkibar memenuhi jagad raya. Dahulu, pada beberapa kurun waktu wilayah-wilayah ini pernah sejahtera dalam naungan Islam. Bergema di dalamnya suara muadzin dengan takbir dan tahlilnya. Kemudian, datanglah masa di saat para penjajah berupaya memadamkan cahayanya, maka kembalilah wilayah-wilayah itu kepada kekufuran. Andalusia, Cicilia, Balkan, negeri-negeri Italia bagian selatan dan Cyprus, semua itu (dulu) merupakan wilayah Islam, dan di waktu mendatang harus kembali ke pangkuan Islam. Laut Tengah dan Laut Merah yang merupakan dua laut Islam juga harus kembali seperti sedia kala. Jika Jendral Musolini berpendapat bahwa imperium Romawi dan negara-negara yang tergabung dalam imperium itu dahulu harus kembali ke dalam rengkuhannya -yang itu hanya didasarkan atas ambisi dan desakan hawa nafsu- maka tentunya kita lebih berhak untuk mengembalikan kejayaan imperium Islam, yang pernah tegak di atasnya kebenaran dan keadilan, dan yang telah menebarkan cahaya hidayah kepada sekalian manusia.

 

Setelah itu, dengan berkibarnya panji Islam tadi kami bermaksud mendeklarasikan dakwah kami kepada seluruh alam, menyampaikannya kepada sekalian manusia, memenuhi seantero bumi dengan ajarannya, dan memaksa setiap penguasa yang diktator untuk tunduk kepadanya. Sampai akhirnya tidak ada lagi fitnah dan agama ini semuanya milik Allah. Saat itulah, kaum muslimin bergembira dengan pertolongan Allah. Allah menolong siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pemurah.

 

Pada setiap tahapan yang telah kita paparkan di atas terdapat langkah, rincian, dan sarana-sarananya. Namun, di sini kami hanya memaparkan dengan tidak memperpanjang uraian dan tidak pula membuat rincian. Allah adalah Dzat tempat memohon pertolongan. Cukuplah Dia bagi kami, Dia adalah sebaik-baik pelindung.

 

Mungkin mereka yang picik dan pengecut akan mengatakan bahwa itu semua adalah angan-angan dan ilusi yang sedang menyelimuti jiwa manusia. Sungguh, perkataan ini adalah sebuah kekerdilan yang kami tidak pernah mengenalnya dan Islam pun tidak mengakuinya. Dia adalah sifat wahn yang bersemayam dalam hati umat ini. Sifat itulah yang menjadikan musuh-musuh Islam semakin menancapkan kuku-kuku pengaruhnya dalam tubuh umat ini. Itu semua adalah wujud kegersangan hati dan nilai-nilai keimanan, dan keberadaannya menjadi sebab utama terpuruknya kaum muslimin. Kami akan mendeklarasikan dengan lantang bahwa setiap muslim tidak percaya dengan manhaj seperti ini, tidak akan berbuat untuk merealisasikannya, dan yang demikian itu memang tidak mendapat tempat dalam Islam. Oleh karenanya hendaklah mereka mencari fikrah lain yang bisa menjamin dan mengamalkannya.

 

Wahai pemuda!

Kalian tidak lebih lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangna merasa lemah. Pampangkan di depan mata kalian firman Allah:

 

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

 

“(Yaitu )orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul-Nya) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, ‘maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik pelindung.” (Ali-Imran: 173)

 

Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga – rumah tangga kaum muslimin menuju terbangunnya rumah tangga yang islami. Setelah itu, kita akan menempa bangsa kita menjadi bangsa yang muslim, yang tertegak di dalamnya kehidupan masyarakat yang islami. Kita akan meniti langkah-langkah yang sudah pasti, dari awal hingga akhir perjalanan. Kita akan mencapai sasaran yang telah digariskan Allah bagi kita, bukan yang kita paksakan untuk diri kita. Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya.

 

Untuk itu, kita telah mempersiapkan keimanan yang tidak  mungkin goyah, amal yang berkelanjutan,tsiqah (kepercayaan) kepada Allah yang tidak akan melemah, dan jiwa-jiwa yang merindukan pertemuan dengan Allah dalam keadaan syahid di jalan-Nya.

 

Jadikanlah itu semua sebagai landasan dan hakekat dari politik internal dan eksternal kita, karena sesungguhnya dengan begitu kita akan bertumpu kepada Islam. Kita pun akan mengetahui bahwa sesungguhnya memisahkan agama dari politik itu bukan dari ajaran Islam. Pemisahan itu tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang jujur dalam beragama dan paham akan ruh ajarannya.

 

Oleh karena itu, hendaklah berlalu dari kami siapa saja yang ingin memalingkan kami dari manhajini, karena sesungguhnya mereka adalah musuh Islam, atau orang-orang Islam yang bodoh terhadap ajarannya. Tidak ada yang ingin memalingkan kami darinya kecuali salah satu di antara keduanya.

 

Wahai pemuda!

Adalah kesalahan besar bagi mereka yang menduga bahwa jamaah Ikhwanul Muslimin adalahJamaah Darwis, di mana para pengikutnya membatasi diri dalam wilayah sempit dari pemahaman masalah ibadah. Seluruh konsentrasi gerak mereka adalah shalat, shaum, dzikir, dan tasbih.

 

Kaum muslimin pada periode awal tidak pernah mengenal dan mengimani Islam dengan pemahaman seperti ini. Akan tetapi, mereka meyakini Islam sebagai akidah dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, akhlak dan materi, budaya dan undang-undang, serta toleransi dan kekuatan. Mereka meyakini Islam sebagai sistem paripurna yang melingkupi seluruh aspek kehidupan, mengatur perkara dunia sebagaimana dia mengatur perkara akhirat. Mereka yakin bahwa Islam adalah sistem operasional sekaligus spiritual. Islam menurut mereka adalah agama dan daulah, mushaf dan pedang.

 

Dengan pemahamana seperti itu, mereka tidak melupakan perkara ibadah dan tidak alpa dari menjalankan kewajiban-kewajiban terhadap Raab-Nya. Mereka berusaha untuk ihsan dalam sholat, tilawah Al-Qur’an, berdzikir kepada-Nya sebagaimana yang telah diajarkan kepada mereka tanpa tambah atau dikurangi, tidak dibuat-buat, dan tidak pula dipersulit. Mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang sabda Rasulullah saw.,

 

” Sesungguhnya agama ini kokoh, maka masukilah ia dengan lemah lembut…”

 

Namun demikian, mereka tetap bisa mengambil bagian dari dunia dengan tidak mempengaruhi pencapaian keberhasilan akhiratnya. Mereka memahami firman Allah,

 

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

 

“Katakanlah, ‘ Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?” (Al-A’raf:32)

 

Ikhwan memahami bahwa sebaik-baik identitas untuk sebuah jamaah adalah identitas yang disandang oleh sahabat Rasulullah saw., yakni,

 

رُهْبَانٌ بِاللَّيْلِ وَفُرْسَانٌ بِالنَّهَار

 

“Layaknya pendeta di malam hari dan seperti penunggang kuda di siang hari”.

 

Salah juga bahwa ada yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin apatis terhadap masalah kenegaraan dan Nasionalisme. Kaum muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi negara, mau berkhidmat kepadanya, dan menghormati siapa saja yang mau berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Anda tahu sampai sebatas mana mereka paham tentang Nasionalisme mereka dan kemuliaan macam apakah yang mereka inginkan untuk umatnya.

 

Namun, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang lainnya dari para penyeru Nasionalisme murni adalah bahwa asas Nasionalisme Islam itu akidah islamiyah. Oleh karenanya, mereka pun beraktivitas untuk negara seperti Mesir, berjuang dan berkorban demi eksitensinya, dan bahkan banyak dari mereka yang gugur dalam perjuangn ini, karena bagi mereka Mesir adalah bumi Islam dan tanah air bagi umatnya. Perasaan (anggapan) seperti ini tidak hanya terhadap Mesir saja, tapi juga untuk seluruh bumi Islam, untuk seluruh negeri kaum muslimin. Sementara penyeru Nasionalisme murni berhenti hanya sebatas negaranya saja. Ia tidak pernah merasakan adanya kewajiban membela negara kecuali sekedar taklid kepada pendahulu, atau ambisi ingin meraih popularitas, atau ingin mengejar prestise, atau kepentingan tertentu yang lain. Mereka berbuat bukan karena kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah atas hamba-hambanya.

 

Adapun pemahaman Ikhwanul Muslimin terhadap Nasionalisme, maka cukuplah anda mengetahuinya dengan membaca kalimat berikut. Mereka yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa mengabaikan sejengkal tanah milik seorang muslim yang terjajah itu adalah tindak kriminal yang tidak akan terampuni, sampai kita mau berbuat dan bisa mengembalikan kemerdekaannya, atau menghancurkan para perampasnya. Tidak ada keselamatan dari siksa Allah kecuali dengan cara ini.

 

Salah besar jika ada yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin adalah para da’i yang menyeru manusia kepada kemalasan dan keterlenaan. Ikhwan selalu menyerukan di setiap kesempatan bahwa seorang muslim harus menjadi pelopor dalam segala sesuatu. Ikhwan tidak rela hidup tanpa qiyadah, tanpa amal, dan tanpa keunggulan dalam segala hal, baik dalam ilmu, kekuatan, kesehatan, maupun finansial, karena keterbelakangan dalam suatu sisi dari berbagai sisi yang ada itu akan membahayakan fikrah kami dan -lebih dari itu-  bertentangan dengan ajaran Islam.

 

Kendati demikian, kami juga tidak mengingkari adanya watak materialis pada manusia, yang menjadikan mereka egois dan individualis. Mereka mencurahkan keahlian, waktu, dan potensinya untuk kepentingan dirinya sendiri. Maka masing-masing mereka tidak pernah berpikir untuk beramal bagi yang lainnya, dan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan umatnya. Padahal Rasulullah saw. pernah bersabda:

 

ْمَنْ لَمْ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُم

 

“Barangsiapa yang tidak memperhatikan perkara kaum muslimin, maka dia bukan golongan mereka.”

 

Sebagaimana beliau juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ

 

“Sesungguhnya Allah menggariskan (untuk berbuat) ihsan dalam segala hal.” (Muslim)

Tidak benar jika ada yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kumpulan para propagandis rasialisme yang membeda-bedakan status sosial diantara anggota masyarakat. Kami menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan kepada pemeluknya untuk menghormati kesatuan kemanusiaan secara umum. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah,

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

 

“Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dan seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal .”(Al-Hujurat: 13)

 

Islam datang untuk mewujudkan kebaikan bagi sekalian manusia dan sebagai rahmatan lil alamin. Dan agama yang demikian itu tentunya jauh dari membeda-bedakan hati dan membelah-belah dada. Dari sinilah Al-Qur’an datang untuk menegaskan kesatuan ini, sebagaimana dalam firman-Nya,

 

لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ

 

“Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun dari rasul-rasul-Nya.” (Al-Baqarah: 285)

Islam telah mengharamkan permusuhan, sampai-sampai dalam keadaan marah dan benci sekalipun. Maka Allah swt. berfirman,

 

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

 

“Dan jangan sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Al-Maidah: 8)

 

Islam juga memerintahkan untuk berbuat baik (ihsan) antara sesama warga negara, meski berbeda ideologi dan agama.

 

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ

 

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlau adil kepada orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.” (Al-Mumtahanah: 8)

 

Islam juga memerintahkan kepada kita untuk berbuat dan bermuamalah secara baik kepada orang-orang kafir dzimmi. Kami memahami ini semua, maka kami tidak pernah mengajak kepada perselisihan antara kelompok ataupun fanatisme golongan. Namun demikian kami juga tidak akan membeli kesatuan ini dengna iman kami, tidak akan melakukan tawar-menawar dalam masalah akidah untuk merealisasikannya, dan kami juga tidak akan pernah mengorbankan kemaslahatan kaum muslimin demi terwujudnya kesatuan yang semu. Kami hanya akan membeli kesatuan itu dengan kebenaran dan keadilan, dan cukuplah itu bagi kami. Maka barang siapa yang berusaha dengan yang selain itu, niscaya kami akan menghentikannya dan akan kami jelaskan mengenai kesalahan yang dilakukannya. Sungguh kemuliaan itu bagi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman.

 

Salah juga jika ada yang menduga bahwa Ikhwanul Muslimin itu bekerja untuk kepentingan salah satu lembaga atau sebagai underbouw dari salah satu jamaah yang ada. Para aktifis ikhwan berbuat untuk meraih tujuan yang telah mereka yakini sesuai petunjuk dari Tuhannya. Dan petunjuk itu adalah Islam. Sementara pengikutnya ada di setiap waktu dan tempat. Mereka membelanjakan apa yang telah direzkikan Allah kepada mereka, semata-mata untuk mencari ridha-Nya. Mereka bangga bahwa hingga saat ini mereka tidak pernah menadahkan tangan untuk meminta bantuan kepada orang lain, dan tidak pernah memohon pertolongan kepada pihak luar, baik individu ataupun lembaga.

 

Wahai pemuda!

Di atas kaidah-kaidah yang kokoh kepada nilai-nilai ajaran yang tinggi inilah kami mengajak kalian semua. Jika kalian yakin dengan kebenaran fikrah kami, mau mengikuti langkah-langkah kami, bersedia meniti jalan Islam yang hanif bersama kami, rela melepaskan segala jenis fikrah yang selainnya, serta mau memperjuangkan keyakinan dengan semua potensi yang kalian miliki, maka cukuplah hal itu menjadi  kebaikan kalian di dunia dan di akhirat. Dan insya Allah dengan perantaraan kalian, Allah akan mewujudkan sesuatu yang pernah diwujudkan pada masa generasi pendahulu kalian, pada periode awal dari perjalanan umat ini. Setiap aktifis dari kalian yang jujur di medan Islam akan mendapati apa yang membuat ia rela akan cita-citanya dan mau sibuk dengan aktifitasnya, jika ia adalah orang-orang yang jujur.

 

Adapun jika kalian menolak, bersikap plin-plan, meragukan, dan bimbang diantara isme-isme yang penuh syubhat dan sistem-sistem yang telah nyata-nyata gagal, maka sesungguhnya barisan Allah akan tetap berlalu tanpa harus dipusingkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah.

 

وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

 

“Dan tiadalah kemenangan itu kecuali dari sisi Allah yang Mahaperkasa lagi Maha bijaksana.” (Ali Imran:126)