Friday, February 8, 2019

Hadits Arbain 10: Sanksi Pemakan Harta yang Haram


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى :  ,يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً -وَقاَلَ تَعَالَى : ,يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ -ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ . [رواه مسلم] 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,Sesungguhnya Allah baik dan tidak menerilma kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta'ala memerintahkan kepada kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul, 'Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih' (Al-Mukminun: 51). Allah Ta'ala berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian'. (Al-Baqarah 172).Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangan ke langit, "Tuhanku. Tuhanku", padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan haram, bagaimana doanya dikabulkan?".(Diriwayatkan Muslim hadits nomer 1015, At-Tirmidzi hadits nomer 2989, Imam Ahmad 2/328, dan Ad-Darimi 2/300)

Jamiul Ulum wal Hikam, Syarah Hadits Arbain oleh Ibnu Rajab

Hadits bab di atas diriwayatkan Muslim dari riwayat Fudhail bin Marzuq dari Adi bin Tsabit dari Abu Hazim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Hadits tersebut juga diriwayatkan At-Tirmidzi dan berkata, "Hadits tersebut hasan gharib". Fudhail bin Marzuq adalah perawi tepercaya dan adil. Hadits di atas hanya diriwayatkan Muslim tanpa Al-Bukhari.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah baik", juga disebutkan di hadits Sa'ad bin Abu Waqqash Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamyangbersabda,

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ، نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ، جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ.

"Sesungguhnya Allah itu baik yang menyukai kebaikan, bersih yang menyukai kebersihan, dan dermawan yang menyukai kedermawanan".[1])

Hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi dan di sanadnya terdapat catatan.

Makna hadits tersebut ialah bahwa Allah Ta'ala itu suci dan jauh dari segala kekurangan dan aib. Ini seperti difirmankan Allah Ta'ala,"Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik". (An-Nur: 26).Mereka yang dimaksud di atas ialah orang-orang yang bersih dari kotoran-kotoran perbuatan zina.

Ada hadits tentang sedekah yang semakna dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Tidak menerima kecuali yang baik", yaitu hadits, "Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik dan Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik, dan seterusnya'.[2])Maksudnya, Allah Ta'ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal.

Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, "Allah tidak menerima kecuali yang baik", itu lebih luas, maksudnya yaitu bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya' dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi kata "baik/suci" itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut terbagi ke dalam dua bagian; baik dan buruk.

Ada yang mengatakan, sifat baik masuk dalam firman Allah Ta'ala,"Katakan, 'Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu". (Al-Maidah:100).

Allah membagi perkataan ke dalam baik dan buruk. Allah Ta'ala berfirman, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik; akarnya teguh dan cabangnya ke langit". (Ibrahim: 24).Allah Ta'ala berfirman, "Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk". (Ibrahim: 26).Allah Ta'ala berfirman,"Kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya". (Fathir: l0).Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam disifati sebagai orang yang menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk.

Ada yang mengatakan, sifat baik juga masuk pada perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Allah Ta'ala menyifati kaum Mukminin sebagai orang yang baik-baik. Allah Ta'ala berfirman,"Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat". (An-Nahl: 32).

Malaikat berkata pada saat kematian, "Keluarlah wahai jiwa yang baik". Itu dikatakan malaikat kepada jasad yang baik. Para malaikat juga mengucapkan salam kepada kaum Mukminin ketika mereka masuk surga dan berkata kepada mereka, "Kalian telah berbuat baik". Disebutkan di hadits bahwa jika orang Mukmin mengunjungi saudaranya di jalan Allah, malaikat bertanya kepadanya, "Engkau telah berbuat baik. Tempat jalanmu juga baik. Engkau telah menyiapkan tempat di surga". [3])

Jadi, hati, lidah, dan tubuh orang Mukmin itu baik karena iman yang bersemayam di hatinya. Dzikir pun terlihat di lidahnya dan amal-amal shalih yang merupakan buah iman dan masuk dalam namanya juga terlihat di organ tubuhnva. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima Allah Azza wa Jalla.

Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi orang Mukmin ialah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik, amalnya menjadi berkembang.

Di hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan makan makanan halal dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah NabiShallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali hal yang baik", beliau bersabda bahwa Allah memerintahkan kaum Mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta'ala berfirman, "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih". (Al-Mukminun: 51).

Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik Kami berikan kepada kalian". (Al-Baqarah: 172)".Maksudnya bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan makan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanan tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?

Setelah itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan tentang doa. Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu sebuah perumpamaan tentang kemustahilan diterimanya amal jika makanan pelakunya adalah haram. Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang berkata, "Ayat berikut dibacakan di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا 

‘Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi'.(Al-Baqarah: 168).

Kemudian Sa'ad bin Abu Waqqash berdiri dan berkata, 'Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku orang yang doanya dikabulkan'. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Hai Sa'ad, hendaklah makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabukan. Demi Dzat yang jiwa MuhammadShallallahu Alaihi wa Sallamberada di Tangan-Nya, sesungguhnya seorang hamba pasti memasukkan sesuap makanan haram ke perutnya, akibatnya, amalnya tidak diterima darinya selama empat puluh hari. Hamba siapa saja yang dagingnya tumbuh dari haram, neraka amat layak baginya'". [4])

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata, "Barangsiapa membeli pakaian seharga sepuluh dirham dan di pembayarannya terdapat satu dirham haram, Allah tidak menerima shalatnya selama ia mengenakan pakaian tersebut". Setelah itu, Ibnu Umar memasukkan jari-jarinya ke kedua telinganya lalu berkata, "Kedua telingaku ini tuli jika aku tidak mendengar perkataan tersebut dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam".[5])

Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat kelemahan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, 'Jika seseorang berangkat untuk berhaji dengan bekal halal, meletakkan kakinya di pelana, dan berkata, 'Labbaikallahumma labbaik', penyeru dari langit menyerunya, 'Labbaika wa sa'daika, bekalmu halal, kendaraanmu halal, dan hajimu mabrur tidak berdosa'. jika seseorang berangkat berhaji dengan bekal haram, meletakkan kakinya di pelana, dan berseru, 'Labbaikallahuma labbaik', penyeru dari langit menyerunya, 'Tidak labbaika dan juga tidak sa'daik, bekalmu haram, nafkahmu halal, dan hajimu tidak mabrur".[6])

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dengan sanad yang sangat lemah.

Abu Yahya Al-Qattat meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas yang berkata, "Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya terdapat sesuatu yang haram". [7])

Para ulama berbeda pendapat tentang haji orang yang berhaji dengan uang haram dan orang yang shalat dengan pakaian haram, apakah kewajiban haji dan shalat gugur dari orang tersebut dengan uang dan pakaian haram seperti itu atau tidak? Ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Hadits-hadits yang telah disebutkan menunjukkan bahwa amal tidak diterima jika di dalamnya terdapat sesuatu yang haram, namun bisa jadi yang dimaksudkan dengan penerimaan amal tersebut ialah ridha dengan amal tersebut, pujian untuk pelakunya, dan sanjungan untuknva di hadapan para malaikat. Bisa jadi penerimaan amal yang dimaksud ialah perolehan pahala dengan amal tersebut. Atau bisa jadi penerimaan amal yang dimaksudkan ialah gugurnya kewajiban dengan amal tersebut. Jika penerimaan amal yang dimaksudkan di sini ialah pengertian pertama atau kedua, hal tersebut tidak menghalangi gugurnya kewajiban dengan amal tersebut, seperti disebutkan di hadits bahwa shalat budak yang kabur dari pemiliknya itu tidak diterima, atau hadits tentang tidak diterimanya shalat wanita yang suaminya marah kepadanya, atau hadits tentang tidak diterimanya shalat orang yang datang ke dukun, atau hadits tentang tidak diterimanya shalat empat puluh orang yang minum minuman keras. Maksud yang sesungguhnya, wallahu a'lam, ialah penerimaan dengan makna pertama atau kedua. Itulah, wallahu a'lam, yang dimaksud firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa". (Al-Maidah: 27).Oleh karena itu, ayat di atas sangat ditakuti generasi salaf. Mereka khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertakwa yang diterima.

Imam Ahmad pernah ditanya tentang makna al-muttaqin (orang-orang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab, "Yaitu orang yang meninggalkan segala hal kemudian tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya".

Abu Abdullah An-Naji Rahimahullah berkata, "Ada lima hal di mana dengannya amal menjadi sempurna; Pertama, beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jalla. Kedua, mengenal kebenaran. Ketiga, mengikhlaskan amal karena Allah. Keempat, beramal sesuai dengan sunnah. Kelima, memakan halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau kenal Allah Azza wa Jalla, namun tidak kenal kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau kenal kebenaran, namun tidak kenal Allah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau kenal Allah dan kenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau kenal Allah, kenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal, namun tidak sesuai dengan sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi keempat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna". [8])

Wuhaib bin Al-Wird berkata, "Jika engkau berdiri di tempat berdirinya rombongan musafir ini, maka tidak sesuatu apa pun yang berguna bagimu, hinggaengkau melihat apa yang masuk ke perutmu; halal atau haram?" [9])

Adapun sedekah dengan uang haram, maka tidak diterima seperti disebutkan dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamyang bersabda, "Allah tidakmenerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulul (mencuri rampasan perang sebelum dibagi)".[10])

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tidaklahseseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatanyang baik (halal) - dan Allah tidak menerima kecuali yang baik; melainkan sedekah tersebut diambil Ar-Rahmandengan Tangan-Nya".[11])

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Ibnu Mas'ud Radliyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Seorang hamba yang mendapatkan uang dari yang haram kemudian berinfak dengannya ia tidak akan diberkahi di dalamnya, jika bersedekah dengannya tidak akan diterima darinya, dan apa yangia tinggalkan untuk anak keturunannya, itu semua menjadi bekalnya ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapuskesalahan dengan kesalahan, namunmenghapus kesalahan dengan kebaikan. Sesungguhnya keburukan tidak bisa menghapus keburukan"'.[12])

Diriwayatkan dari Diraj dari Ibnu Hujairah dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta haram kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya"'.[13])

Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Hadits tersebut juga diriwayatkan sebagian perawi secara mauquf dariAbu Hurairah. Disebutkan dalam hadits-hadits mursal Al-Qasim bin Mukhaimirah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta dari dosa kemudian menyambung kekerabatan dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan Allah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparkannya ke neraka Jahanam dengannya".[14])

Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda' dan Yazid bin Maisarah bahwa keduanya mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal kemudian bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda. [15])

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma ditanya orang yang beramal, namun sebelumnya ia berbuat dzalim dan mendapatkan harta haram lalu bertaubat. Ia melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan bersedekah dengan harta tersebut? Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan".

Ibnu Mas'ud juga berkata, "Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan dan hanya kebaikan yang menghapus keburukan".

Al-Hasan berkata, "Hai orang yang bersedekah kepada orang miskin karena menyayanginya, sayangilah orang yang telah engkau dzalimi".

Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam dua bentuk;

Pertama,pengkhianat, perampas, dan lain-lain bersedekah dengan uang haram atas namanya sendiri. Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia berdosa karena ia menggunakan harta orang lain tanpa izinnya. Pemilik uang tersebut juga tidak mendapatkan pahala, karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah pendapat sejumlah ulama, di antaranya Ibnu Aqil - sahabat kami -. Dalam buku Abdurrazzaq disebutkan riwayat Zaid bin Al-Akhnas Al-Khuzai bahwa ia bertanya kepada Sa'id bin Al-Musayyib, "Aku menemukan barang tercecer, apakah aku boleh bersedekah dengannya?" Sa'id bin Al-Musaiyyib menjawab, "Engkau dan pemiliknya tidak diberi pahala". [16]) Bisa jadi yang dimaksudkan Sa'id bin Al-Musayyib ialah orang tersebut bersedekah dengan barang tersebut sebelum mengumumkannya.

Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya mengambil uang dari Baitul Mal yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekkan budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya dirasakan manusia, maka yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ialah bahwa ia seperti perampas jika ia bersedekah dengan uang hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan Ibnu Umar kepada Abdullah bin Amir, gubernur Basrah. Menjelang kematiannya, orang-orang berkumpul di tempat Abdullah bin Amir dan menyanjungnya atas kebaikannya. Di sisi lain, Ibnu Umar diam. Abdullah bin Amir meminta Ibnu Umar bicara kemudian Ibnu Umar meriwayatkan hadits untuk Abdullah bin Amir, "Allah tidak menerima sedekah dari ghulul (pencurian rampasan perang sebelum dibagi)". Setelah itu, Ibnu Umar berkata kepada Abdullah bin Amir, "Dan engkau adalah gubernur Basrah". [17])

Asad bin Musa berkata dalam Al- Wara' Al-Fudhail bin Iyadh berkata kepada kami dari Manshur dari Tamim bin Salamah yang berkata bahwa Ibnu Amir berkata kepada Abdullah bin Umar, "Bagaimana pendapatmu tentang anak bukit yang telah kami ratakan dan mata air yang telah kami pancarkan, apakah kami mendapatkan pahala di dalamnya?" Ibnu Umar berkata, "Bukankah engkau tahu bahwa keburukan tidak bisa menghapus satu keburukan pun?"

Abdurrahman bin Ziyad berkata kepada kami dari Abu Malih dari Maimun bin Mihran yang berkata bahwa Ibnu Umar berkata kepada Abdullah bin Amir yang bertanya kepadanya tentang pemerdekaan budak, "Perumpamaanmu ialah seperti orang yang mencuri unta orang yang berhaji kemudian berjihad dengannya. Cobalah pikirkan, apakah itu diterima darimu?"

Sejumlah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam wara', seperti Thawus dan Wahib bin Al-War, tidak mau memanfaatkan apa saja yangdibuat para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi) terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja, misalnya masjid, jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dari harta fay’i, terkecuali jika seseorang yakin betul bahwa mereka membangunnya dengan uang haram misalnya uang dari bea cukai, harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu Umar mengecam para gubernur yang mengambil uang dari Baitul Mal untuk kepentingan pribadi dan klaim mereka bahwa apa yang mereka kerjakan setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah dari mereka. Itu mirip dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap pembangunan masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab ini.

Abu Al-Faraj ibnu Al-Jauzi berkata, "Aku pernah melihat salah seorang ulama generasi dulu ditanya tentang orang yang mendapatkan uang halal dan haram dari sultan dan raja kemudian ia membangun tempat-tempat wakaf dan masjid, apakah ia mendapatkan pahala? Ulama tersebut berfatwa dengan fatwa yang mengharuskan kerelaan hati pemberi infak dan bahwa sikap orang tersebut mewakafkan sesuatu yang bukan miliknya adalah mewakili orang lain, karena ia tidak tahu para pemilik barang-barang rampasan hingga ia bisa mengembalikan barang-barang rampasan tersebut kepada mereka".

Abu Al-Faraj ibnu Al-Jauzi berkata lagi, "Sungguh aneh ulama yang bertugas mengeluarkan fatwa-fatwa tidak mengetahui prinsip-prinsip syariat. Seyogyanya ia terlebih dahulu harus mengetahui pemberi infak. Jika ia sultan, maka apa saja yang keluar dari Baitul Mal itu alokasinya telah diketahui. Oleh karena itu, bagaimana ia bisa melarang orang-orang yang berhak atas uang Baitul Mal dan malah menggunakannya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya, seperti pembangunan sekolah atau tempat wakaf? Jika pemberi infak tersebut adalah para gubernur dan pejabat-pejabat sultan, uang yang wajib dikembalikan harus dikembalikan ke Baitul Mal. Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, maka semua penggunaan uang tersebut haram. Untuk seterusnya uang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Jika pemilik uang tersebut dan ahli warisnya tidak diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul Mal dan digunakan untuk kemaslahatan-kemaslahatan umum atau sedekah".

Perkataan Ibnu Al-Jauzi tersebut ialah tentang para sultan yang pada zamannya tidak memberikan hak-hak berupa fay'i kepada para penerimanya, menggunakan dana fay'I untukdiri sendiri seperti layaknya pemilik dengan membangun sekolah-sekolah atau tempat-tempat wakaf dari hal-hal yang tidak dibutuhkan kemudian diatas-namakan kepada mereka, dan hanya memberi salah satu kelompok tanpa kelompok lainnya. Namun jika misalnya penguasa tersebut penguasa yang adil yang memberikan hak-hak terhadap fay'i kepada manusia kemudian dengan dana fay'itersebut, ia membangun apa saja yang diperlukan mereka misalnya masjid, sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya, maka hal tersebut diperbolehkan. Jika orang yang mengambil dana dari fay'i untuk kepentingan pribadi membangun bangunan yang ia perlukan saat itu yang diperbolehkan dengan dana Baitul Mal, namun ia mengatas-namakan pribadi, maka masalah tersebut masuk dalam perbedaan pendapat tentang perampas harta orang jika ia mengembalikan harta yang dirampasnya kepada pemiliknya sebagai sedekah atau hibah; apakah ia telah terbebas dari dosanya atau belum? Ini semua jika ia membangun sesuai dengan kebutuhan tanpa berlebihan dan bermegah-megahan. Umar bin Abdul Aziz pernah menyuruh renovasi Masjid Basrah dari dana Baitul Mal dan melarang penduduk setempat bertindak melebihi perintahnya. Umar bin Abdul Aziz berkata, "Aku tidak menemukan pembangunan memiliki hak terhadap Baitul Mal". Juga diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa ia berkata, "Kaum Muslimin tidak butuh kepada apa saja yang memberi madzarat kepada Baitul Mal".

Ketahuilah, ada ulama yang menjadikan penggunaan perampas dan lain-lain terhadap uang orang lain itu tergantung pada izin pemiliknya. Jika pemiliknya mengizinkan perampas menggunakan uang tersebut, maka perampas diperbolehkan menggunakannya. Salah seorang dari sahabat kami meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa barangsiapa mengeluarkan zakat dari uang rampasan kemudian pemilik uang rampasan tersebut mengizinkannya, itu diperbolehkan dan orang tersebut terbebas dari kewajiban pembayaran zakat. Ibnu Abu Musa juga meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa jika seseorang memerdekakan budak orang lain atas namanya sendiri dan siap menanggung resikonya dengan uangnya sendiri kemudian pemilik budak tersebut mengizinkannya, itu diperbolehkan dan pemerdekaan budak telah terlaksana. Riwayat ini bertentangan dengan nash Imam Ahmad. Diriwayatkan dari sahabat-sahabat Abu Hanifah bahwa jika seseorang merampas kambing milik orang lain kemudian menyembelihnya untuk pesta pernikahannya dan pemilik kambing mengizinkannya, maka itu diperbolehkan.

Kedua, penggunaan perampas terhadap harta yang dirampasnya. Jika ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu diperbolehkan menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan lain-lain. Ibnu Abdul Barr berkata bahwa Az-Zuhri, Imam Malik, Ats-Tsauri, Al-Auzai, dan Al-Laits berpendapat bahwa jika para tentara telah berangkat sedang pencuri rampasan perang tidak bisa menyusul mereka, ia harus menyerahkan seperlima hasil curiannya dari rampasan perang dan bersedekah dengan sisanya. [18]) Pendapat yang sama diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit, Muawiyah, dan Al-Hasan Al-Bashri. Pendapat tersebut mirip pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbbas di mana keduanya berpendapat bahwa seseorang harus bersedekah dengan uang yang ia tidak ketahui siapa pemiliknya. Para ulama juga sepakat tentang pembolehan sedekah dengan luqathah(harta yang ditemukan di satu tempat) setelah diumumkan kepada khalayak ramai dan pemiliknya tidak bisa diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para ulama memberinya hak pilih antara pahala atau pengganti. Harta rampasan juga begitu.

Diriwayatkan dari Malik bin Dinar yang berkata bahwa aku pernah bertanya kepada Atha' bin Abu Rabah tentang orang yang memegang harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan ingin terbebas darinya? Atha' bin Abu Rabah berkata, "Ia menyedekahkannya namun aku tidak berkata itu sah baginya". Imam Malik berkata, "Perkataan Atha' bin Abu Rabah tersebut lebih aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut".

Sufyan berkata tentang orang yang membeli sesuatu dari hasil rampasan dari salah satu kaum, "Ia harus mengembalikannya kepada mereka. Jika ia tidak bisa mengembalikannya kepada mereka, ia harus menyedekahkan semuanya dan tidak mengambil pokok hartanya". Sufyan juga berkata seperti itu tentang orang yang menjual sesuatu kepada orang yang muamalah dengannya dimakruhkan karena hartanya syubhat. Sufyan berkata, "Orang tersebut harus bersedekah dengan seperdelapannya". Pendapat tersebut ditentang Ibnu Al-Mubarak yang berkata, "Ia bersedekah dengan keuntungannya saja". Imam Ahmad berkata, "Ia, bersedekah dengan keuntungannya".

Sufyan juga berkata seperti itu tentang orang yang mendapat warisan dari ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada orang yang muamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan berkata, "Ia bersedekah sebesar keuntungan dan mengambil sisanya". Pendapat yang sama diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya Umar bin Khaththab dan Abdullah bin Yazid Al-Anshari.

Pendapat terkenal dari Imam Syafi'i Rahimahullah tentang harta haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga pemiliknya diketahui.

Tentang orang yang memegang harta haram dan tidak mengetahui pemiliknya, Al-Fudhail bin Iyadh berpendapat bahwa ia harus merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada Allah kecuali dengan harta yang halal". Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan, karena merusak dan menghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada orang yang bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama orang yang mendapatkannya karena jika itu terjadi berarti ia bertaqarrub dengan harta haram, namun sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa ia rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia.

Ucapan Abu Hurairah, "Kemudian Rasulullah Shallallahhu Alaihi wa Sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangan ke langit", Tuhanku. Tuhanku", padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan haram, bagaimana doanya dikabulkan?" Dengan hadits di atas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamingin menunjukkan etika doa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan, dan sebab-sebab yang membuat doa tidak terkabul. Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan empat hal yang membuat doa dikabulkan;

Pertama:Lama bepergian. Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat pada hadits Abu Hurairah Rahiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.

"Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya; doa orang yang terdzalimi, doa musafir, dan doa ayah untuk anaknya'.[19])
Hadits tersebut diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi. Dalam riwayat lain disebutkan, "Doa keburukan seorang ayah untuk anaknya". Perkataan yang semakna diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud.

Jika seseorang lama bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan, karena dugaan kuat orang tersebut sedih sebab lama terasing dari negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang membuatnya doa dikabulkan.

Kedua: Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk rambut kusut dan berdebu. Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits terkenal dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

رُبَّأَشْعَثَ أَغْبَرَ ذِي طِمْرَيْنِ، مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ.

"Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika ia bersumpah kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya'.[20])

Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar rumah untuk mengerjakan shalat Istisqa’,beliau keluar dengan pakaian usang, tawadhu', dan merendahkan diri. [21])

Keponakan Mutharrif bin Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif bin Abdullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil tongkat dengantangannya. Ditanyakan kepadanya, "Kenapa engkau berbuat seperti ini?" Mutharrif bin Abdullah menjawab, "Aku merendahkan diri kepada Tuhanku, mudah-mudahan Dia memberi syafa'at kepadaku untuk keponakanku". [22])

Ketiga :Menengadahkankedua tangan ke langit. Ini termasuk etika doa dan dengan cara seperti itu doa diharapkan dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salman Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ، يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah pemalu dan mulia. Ia malu kalau seseorang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-apa'.[23])

Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits yang semakna diriwayatkan dari hadits Anas bin Malik [24]), Jabir [25]), dan lain-lain.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menengadahkan kedua tangan beliau ketika shalat Istisqa' hingga ketiak beliau yang putih bersih terlihat. [26]Beliau juga menengadahkan kedua tangan beliau di Perang Badar guna meminta pertolongan kepada Allah atas kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dari kedua pundak beliau. [27])

Ada banyak bentuk menengadahkan kedua tangan ketika berdoa diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di antaranya, beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk saja. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam bahwa beliau berbuat seperti itu ketika beliau berada di atas mimbar. [28]) Beliau juga berbuat seperti itu jika naik hewan kendaraan. [29])

Sejumlah ulama, di antaranya Al-Auzai, Sa'id bin Abdul Aziz, dan Ishaq bin Rahawih, berpendapat bahwa ketika melakukan doa qunut dalam shalat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallammemberi isyarat dengan jari-jari beliau. Ibnu Abbas dan lain-lain berkata, "Itulah ikhlas dalam doa". [30]) Diriwayatkan dari Ibnu Sirin yang berkata, "Jika engkau menyanjung Allah, berilah isyarat dengan salah satu jari".

Bentuk menengadahkan kedua tangan lainnya ialah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menengadahkan kedua tangan dengan menghadapkan bagian luar tangan ke arah kiblat ketika beliau menghadap ke sana dan menghadapkan bagian dalam kedua tangan ke wajah. Bentuk menengadahkan kedua tangan seperti itu diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamdi doa Istisqa'. [31]) Sebagian ulama, di antaranya Al-Jauzajani, menyunnahkan menengadahkan kedua tangan dalam shalat Istisqa' seperti itu. Salah seorang generasi salaf berkata, "Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap merendahkan diri".

Bentuk menengadahkan kedua tangan yang lain ialah kebalikan dari bentuk sebelumnya. Bentuk menengadahkan kedua tangan seperti itu juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamdalam shalat Istisqa'. Diriwavatkan dari sejumlah generasi salaf, di antaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwa mereka berdoa seperti itu. Salah seorang dari generasi salaf berkata, "Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah meminta perlindungan kepada Allah Azza wa jalladan berlindung diri kepada-Nya". Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallambahwa jika beliau berlindung diri kepada Allah Ta’ala, beliau menengadahkan kedua tangan seperti itu. [32])

Bentuk menengadahkan kedua tangan lainnya ialah menghadapkan kedua telapak tangan ke langit dan menghadapkan bagian luarnya ke tanah. Menengadahkan kedua tangan seperti itu diperintahkan dalam banyak hadits ketika seseorang berdoa kepada Allah Azza wa jalla. Disebutkan dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu Sirin bahwa itulah doa dan permintaan kepada Allah Azza wa Jalla.

Bentuk menengadahkan kedua tangan lainnya ialah kebalikan sebelumnya, yaitu membalik kedua telapak tangan; menghadapkan bagian luar telapak tangan ke langit dan menghadap bagian dalamnya ke tanah. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallammelakukan shalat Istisqa' lalu beliau memberi isyarat dengan bagian luar telapak tangan beliau ke langit. [33]) Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad[34]) dan teksnya ialah, "Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membentangkan kedua tangan beliau dan menghadapkan bagian luar keduanya ke langit". Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Daud [35]) dan teksnya ialah, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan shalat Istisqa' seperti ini. Maksudnya, membentangkan kedua tangan beliau dan menghadapkan bagian dalamnya ke tanah".

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berdiri berdoa di Arafah seperti ini. Maksudnya, beliau menengadahkan kedua tangan beliau di depan buah dada beliau dan menghadapkan bagian dalam tangan beliau ke tanah". [36])

Hammad bin Salamah juga menjelaskan bentuk pengangkatan kedua tangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di Arafah seperti itu. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa itulah bentuk permintaan perlindungan. Al-Humaidi berkata, "Itulah bentuk merendahkan diri".

Keempat: Terus-menerus berdoa kepada Allah Ta'ala dengan mengulang-ulang kerububiyahan-Nya. Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul. Al-Bazzar meriwayatkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, 'Jika seorang hamba berkata, 'Tuhanku sebanyak empat kali', Allah berfirman, 'Aku penuhi panggilanmu wahai hamba-Ku, mintalah, niscaya engkau diberi'.[37])

Ath-Thabrani dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Sa'ad bin Kharijah yang berkata, "Salah satu kaum mengeluhkan ketiadaan hujan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersabda, 'Kumpulkan rombongan kepadaku dan katakan, 'Tuhanku, Tuhanku'. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallammengangkat jari telunjuk ke langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka ingin air hujan tersebut dihentikan dari mereka".[38])

Disebutkan dalam AI-Musnaddan lain-lain hadits dari Al-Fadhl bin Abbas dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Shalat itu dua-dua, tasyahud di setiap dua raka'at, merendahkan diri, khusyu’, menampakkan kemiskinan (kehutuhan), engkau mengangkat kedua tanganmu - di riwayat lain, engkau mengangkat kedua tanganmu kepada Tuhanmu dengan menghadapkan keduanva ke wajahmu - dan engkau berkata, 'Tuhanku, Tuhanku'. Barangsiapa tidak berbuat seperti itu, ia tidak sempurna".[39])

Yazid Ar-Raqasyi berkata dari Anas bin Malik, "Tidaklah seorang hamba berkata, 'Tuhanku, Tuhanku, Tuhanku,' melainkan Allah berfirman kepadanya, 'Aku penuhi panggilanmu, aku penuhi panggilanmu'".

Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda' dan Ibnu Abbas bahwa keduanya berkata, "Nama Allah terbesar ialah Rabbi (Tuhanku), Rabbi (Tuhanku)". [40]

Disebutkan dari Atha' yang berkata, "Tidaklah seorang hamba berkata,'Rabbi (Tuhanku)', hingga tiga kali, melainkan Allah melihatnya".

Perkataan tersebut disebutkan kepada Al-Hasan kemudian Al-Hasan berkata, "Tidakkah kalian membaca Al-Qur'an?" Setelah itu, Al-Hasan membaca firman Allah Ta'ala,

{الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ - رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ - رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ - رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ - فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ}.

"(Yaitu) orang-orang yang ingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini semua dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dan siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolong pun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), 'Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian', kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul-Mu dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat, sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji'. Maka Tuhan mereka memperkenankan doa mereka (dengan berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian; baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain, maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti di jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah dan Allah di sisi-Nya terdapat pahala yang baik". (Ali Imran: 191-195).

Barangsiapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur'an, ia menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata Rabb(Tuhanku), misalnya firman Allah Ta'ala,

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ 

"Ya Rabb (Tuhan) kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (Al-Baqarah: 201).

Atau firman Allah Ta'ala,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ 

"Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kaini tersalah. Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb (Tuhan)kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.". (Al-Baqarah: 286).

Atau firman Allah Ta'ala,

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ 

"Ya Rabb (Tuhan) kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia)".(Ali Imran: 8).

Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali di Al-Qur'an.

Imam Malik dan Sufyan pernah ditanya tentang orang yang berkata ketika berdoa, "Ya Sayyidi", kemudian keduanya menjawab, "Orang tersebut harus berkata, 'Ya Rabb (Tuhan)'". Imam Malik menambahkan, "Itu seperti dikatakan nabi dalam doa-doa mereka".

Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallammengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi barang haram; baik dalam makanan, minuman, pakaian, dan memberi makanan kepada orang lain. Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Ibnu Abbas dan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda kepada Sa'd bin Abu Waqqash, "Hai Sa'ad, hendaklah makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabukan". Dari sini ini bisa disimpulkan bahwa makan sesuatu yang halal, meminumnya, mengenakannya, dan memberikannya kepada orang lain merupakan penyebab doa dikabulkan.

Ikrimah bin Ammar meriwayatkan bahwa Al-Ashfar berkata kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa'ad bin Abu Waqqash, "Engkau orang yang doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam". Sa'ad bin Abu Waqqash berkata, "Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, melainkan aku tahu asal-usulnya dan ke mana makanan tersebut hendak keluar".

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih yang berkata, "Barangsiapa ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang baik (halal)".

Diriwayatkan dari Sahl bin Abdullah yang berkata, "Barangsiapa makan makanan halal selama empat puluh pagi (hari), doanya dikabulkan".

Diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath yang berkata, "Diberitahukan kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari langit, karena makanan orang tersebut haram".

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Bagaimana doanya dikabulkan?" maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa dikabulkan. Sabda tersebut merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan kecil kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan terkabulnya doa secara umum. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan memberikannya kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak terkabulnya doa. Bisa jadi, ada sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul, misalnya mengerjakan hal-hal yang haram dilakukan. Begitu juga tidak mengerjakan perintah-perintah seperti dijelaskan di hadits bahwa tidak melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkarmenyebabkan doa tidak terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa terkabul. [41]Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke gua kemudian gua tersebut tertutup oleh batu, bertawassul dengan amal shalih yang mereka niatkan karena Allah dan mereka berdoa kepada Allah dengannya kemudian doa mereka dikabulkan. [42])Wahb bin Munabbih berkata, "Perumpamaan orang yang berdoa tanpa amal ialah seperti orang yang memanah tanpa anak panah". [43])

Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih yang berkata, "Amal shalih membuat doa sampai (kepada Allah)". Kemudian Wahb bin Munabbih membaca firman Allah Ta'ala,

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ 

"Kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya". (Fathir: 10).

Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, "Dengan sikap wara' (meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah), Allah menerima doa dan tasbih".

Abu DzarRadhiyallahu Anhu berkata, "Doa terasa pas dengan perbuatan baik sebagaimana makanan terasa pas dengan garam". [44])

Muhammad bin Wasi' berkata, "Doa terasa pas dengan sikap sedikit wara'".

Dikatakan kepada Sufyan, "Bagaimana kalau engkau berdoa kepada Allah?" Sufyan berkata, "Sesungguhnya meninggalkan dosa-dosa adalah doa".

Laits berkata bahwa Nabi Musa Alaihis-Salam melihat seseorang menengadahkan kedua tangannya berdoa kepada Allah dengan serius kemudian Nabi Musa berkata, "Tuhanku, hamba-Mu berdoa kepada-Mu agar Engkau merahmatinya, karena Engkau Dzat yang paling Penyayang. Apa yang Engkau perbuat untuk memenuhi kebutuhan hamba tersebut?" Allah Ta'alaberfirman, "Hai Musa, jika seandainya hamba tersebut menengadahkan tangan hingga selesai, Aku tidak akan melihat kebutuhannya hingga ia memperhatikan hak-Ku".

Ath-Thabrani dengan sanad yang dhaif (lemah) meriwayatkan hadits yang semakna dengan kisah tersebut dari Ibnu Abbas RadhiyallahuAnhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Malik bin Dinar berkata, "Bani Israil mendapat musibah kemudian mereka keluar ke salah satu jalan. Allah Ta'ala memberi wahyu kepada Nabi-Nya agar beliau memberi tahu mereka, 'Kalian keluar ke Ash-Shaid dengan badan kotor dan menengadahkan tangan kepada-Ku, padahal sebelum ini kalian menumpahkan darah dan memenuhi rumah kalian dengan hal-hal haram dengan tangan-tangan kalian? Sekarang Aku sangat murka kepada kalian dan kalian semakin bertambah jauh dari-Ku'".

Salah seorang dari generasi salaf berkata, "Engkau jangan meminta percepatan pengabulan doa, karena engkau telah menutup jalan-jalannya dengan maksiat".

Salah seorang penyair mengambil makna ini kemudian melantunkan syairnya,
'Kami berdoa kepada Allah di setiap petaka
Kemudian kami lupa kepada-Nya ketika petaka telah sirna
Bagaimana kami mengharapkan pengabulan doa
Padahal kami telah menutup jalan-jalannya dengan dosa-dosa?'


[1]Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2799 Di sanadnya terdapat perawi Khalid bin Ilyas yang dianggap perawi dhaif oleh ulama.
[2]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2 418. Al-Bukhari hadits nomer 1410, Muslim hadits nomer 1014, At-Tirmidzi hadits nomer 661. An-Nasai 5/57, dan Ibnu Majah hadits nomer 1842. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 270.
[3]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/326, At-Tirmidzi hadits nomer 2008, Ibnu Majah hadits nomer 1443, dan Ibnu Hibban hadits nomer 2961. Di sanadnya terdapat perawi Isa bin Sinan Al-Qasmali yang merupakan perawi dhaif.
[4]Diriwayatkan Ibnu Mardawih di Tafsir-nyadari Ath-Thabrani seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir1/292. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/291. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Mu’jam Ash-Shaghir. Di sanadnya terdapat perawi-perawi yang tidak aku kenal.
[5]'Diriwayatkan Imam Ahmad 2/98 dari jalur Baqiyah bin Al-Walid dari Utsman bin Zufar dari Hasyim dari Ibnu Umar. Baqiyah adalah perawi mudallis dan meriwayatkan hadits dengan cara mu'an'an (metode periwayatan hadits dengan menggunakan kata ‘dari’, misalnya dari si Fulan dari si Fulan). Penyebutan nama Hasyim tanpa ayahnya juga tidak dikenal. Itu dikatakan banyak sekali ulama. Di Tarikhu Baghdad 14/21-22 disebutkan bahwa Hasyim yang dimaksud ialah Hasyim Al-Auqash. Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan menukil dari Al-Bukhari, ia perawi tidak tepercaya". Al-Hafidz Al-Iraqi berkata di nukilannya dari Al-Manawi di Faidhul Qadir, 'Sanad hadits di atas amat lemah".
[6]Telah ditakhrij sebelumnya.
[7]Abu Yahya Al-Qattat, dia itu layyinulhadits.
[8]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hiiyah9/310.Nama Abu Abdullah As-Saji ialah Sa'id bin Yazid.
[9]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah8/154.
[10]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 224.Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/20dan At-Tirmidzi hadits nomer 1.
[11]Takhrij hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya.
[12]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/378. Di sanadnya terdapat Ash-Shabah bin Muhammad yang merupakan perawi dhaif.
[13]Diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 3368. Sanadnya hasan.
[14]Disebutkan Al-Mazzi di pembahasan biografi Al-Qasim di Tahdzibul Kamal hal. 1118 dan Adz-Dzahabi di Siyaru A'lamin Nubala' 5/203dari Al-Qasim bin Mukhaimirah dan tidak meneruskannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam".
[15]Baca buku Az-Zuhdu Imam Ahmad hal. 137.
[16]Baca Mushannaf Abdurrazzaq hadits nomer 18622.
[17]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/20, 51, 73, dan Muslim hadits nomer224.
[18]Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata di Fathul Bari 6/186, "Ibnu Al-Mundzir berkata, 'Para ulama sepakat bahwa pencuri rampasan harus mengembalikan apa yang ia ambil sebelum rampasan perang dibagi.' Sedang setelah pembagian, Ats-Tsauri, Al-Auzai, dan Imam Malik berkata, 'Ia harus mengembalikan seperlimanya kepada imam dan bersedekah dengan sisanya'".
[19]Haditshasandiriwayatkan Abu Daud hadits nomer 1536, At-Tirmidzi hadits nomer I905, 3448, Ibnu Majah hadits nomer 3862, Imam Ahmad 2/258, dan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 32 dan 481. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2699. Hadits tersebut mempunyai hadits penguat yang menguatkannya dari hadits Uqbah bin Amir menurut Imam Ahmad 4/154.
[20]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2622, 2846 dan Ibnu Hibban hadits nomer 6483.
[21]Imam Ahmad 1/230, At-Tirmidzi hadits nomer 559, An-Nasai 3/163, Ibnu Majah hadits nomer 1266, dan Abu Daud (1165) meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas yang berkata, "Rasulutlah Shallallahu Alaihi wa Sallamkeluar dengan pakaian lusuh, menampakkan kemiskinan, merendahkan diri, dan tawadhu'". Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban dan redaksi tersebut menurut versinya.
[22]Diriwayatkan Ibnu Asakir di Tarikh-nya16/290 dan Adz-Dzahabi di Siyaru A'lamin Nubala'. 4/ 195.
[23]Diriwayatkan Imam Ahmad 5/438, Abu Daud hadits nomer 1488, At-Tirmidzi hadits nomer 3556, dan Ibnu Majah hadits nomer 3865. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 876, 880 dan Al-Hakim 1/497 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Sanadnya dianggap baik oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari 11/143.
[24]Diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 19648, Ath-Thabrani di Ad-Du'a hadits nomer 204, 205, Al-Hakim 1/497-498, dan Al-Baghawi hadits nomer 1386 dengan sanad-sanad lemah.
[25]Diriwayatkan Abu Ya'la hadits nomer 1867. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/149. Ia juga menisbatkan hadits tersebut kepada Ath-Thabrani di Al-Ausath. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Yusuf bin Muhammad bin Al-Munkadir ia menganggapnya tsiqah (tepercaya), padahal ia perawi yang dhaif (lemah), namun perawi-perawi lainnya adalah para perawi Bukhari".
[26]Dari Anas bin Malik, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1031 dan Muslim hadits nomer 895. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2895.
[27]Dari Umar bin Khaththab, hadits tersebut diriwayatkan Muslim hadits nomer 1763dan Ibnu Hibban hadits nomer 4793.
[28]Dari Imarah bin Ruwaibah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 4/135. Muslim hadits nomer 874, An-Nasai 3/108, dan Abu Daud hadits nomer 1104. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 882.
[29]Itu terjadi di khutbah beliau di haji wada' seperti diriwayatkan Muslim hadits nomer 1763 dan lain-lain dari hadits Jabir yang panjang mengenai sifat haji Nabi Shallallahu : Al/aihi wa Sallam.
[30]Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 10/287, 381, Abdurrazzaq hadits nomer 3244, dan Al-Baihaqi 2/133.
[31]Baca hadits Anas bin Malik di Shahih Al-Bukhnri hadits nomer 1031 dan Shahih Muslim hadits nomer 895.
Juga hadits Umair mantan budak Abu Al-Lahm yang diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 1168 dan Imam Ahmad 5/223. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 1/327 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[32]Diriwayatkan Imam Ahmad dari Khalad bin As-Sa'ib secara mursal. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Lahi'ah yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/168 dan berkata, "Sanad hadits tersebut hasan".
[33]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 896.
[34]Al-Musnad 3/241.
[35]Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 1171 dan sanadnya shahih.
[36]Al-Musnad3/13. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Syaibah 10/287. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/168. Ia berkata, "Di sanad hadits tersebut terdapat perawi Bisyr bin Harb yang merupakan perawi dhaif".
[37]Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3145. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/159. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Al-Hakam bin Sa'id Al-Umawi yang merupakan perawi dhaif".
[38]Hadits tersebut tidak shahih. Hadits tersebut diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 665 dan Al-Bukhari di At-Tarikh 6/457. Di sanadnya terdapat Amir bin Kharijah. Al-Bukhari berkata, "Di sanadnya terdapat catatan. Abu Hatim berkata seperti dinukil darinya oleh anaknya 3/188, "Sanad hadits tersebut munkar".
[39]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/211 dan At-Tirmidzi hadits nomer 385. Di sanadnya terdapat Abdullah bin Nafi' bin Al-Amya' yang tidak dikenal.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 4/167, Abu Daud hadits nomer 1296, dan Ibnu Majah hadits nomer 1325 dari Al-Muththalib bin Rabi'ah. Di sanadnya juga terdapat perawi Abdullah bin Nafi' Al-Amya'.
[40]Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 10/272. Atsar tersebut dishahihkan Al-Hakim 1/505. Atsar tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 2/410 dan menambahkan bahwa atsar tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Hatim.
[41]Imam Ahmad 6/159 dan Al-Bazzar hadits nomer 3304 meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Hai manusia, sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman kepada kalian, 'Perintahkan yang haik dan laranglah yang mungkar sebelum kalian berdoa kepada-Ku kemudian doa kalian tidak Aku kabulkan, kalian meminta kepada-Ku kemudian tidak Aku berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku kemudian Aku tidak menolong kalian'.'
Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 7/266Ia berkata, "Ibnu Majah di hadits nomer 4004 meriwayatkan sebagian hadits tersebut dan di sanadnya terdapat perawi Ashim bin Umar yang merupakan salah seorang perawi yang tidak dikenal".
Namun hadits tersebut mempunyai hadits penguat yaitu hadits Hudzaifah yang diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2169. Disanadnya terdapat Abdullah bin Abdurrahman Al-Anshari yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh selain Ibnu Hibban. Baca buku Al-Majma7/266.
[42]Baca Shahih Al-Bukhari hadits nomer 2215, Shahih Muslim hadits nomer 2743, dan Ibnu Hibban hadits nomer 897.
[43]Diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhduhadits nomer 322 dan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 4/53 dari jalur Ibnu Al-Mubarak.
[44]Diriwayatkan Imam Ahmad di Az-Zuhdu hal. 146 dan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 1/164 dari jalur Imam Ahmad.