Friday, November 16, 2018

KH. Hilmi Aminudin: Menghilangkan Trauma Persepsi

Disampaikan pada RAPIMNAS PKS
Lembang-Bandung 28-30 Agustus 2007
Oleh KH. Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro PKS

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah alladzi a’zzanaa bil islam, wa bihadyi nabiyyina muhammadin khairil anaam,wasshalaatu wassalamu ‘alaa rasulillah wa ‘alaa wa ashaabihi ajma’iin

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,

Alhamdulillah. Allah swt secara terus menerus memberikan taufik hidayah dan ri’ayah-Nya agar kita tetap bersama. Tetap bersama dalam jalan dakwah, tetap bersama menuju mardhotillah. Dan hari ini pun kita dihimpun dalam satu semangat kebersamaan dalam meningkatkan kerja dan kinerja dakwah kita, kerja dan kinerja taqarrub dan ta’abbud ilallah, yang mudah – mudahan dengan demikian Allah menjadikan kita sebagai bagian khoirun ummatin ukhrijat linnas.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,

Salah satu momentum acara nasional Partai Keadilan Sejahtera, sejak ia bernama Partai Keadilan, baru kali ini diselenggarakan di kota Bandung. Sebuah program rapat pimpinan nasional dari harokah Islamiyah diselenggarakan di kota Bandung, bagi saya ini sangat menyentuh.

Kalau kita lihat sejarah, sekian banyak pergerakan dimulai dan dikobarkan di Bandung. Pergerakan Islam pertama yang berlevel nasional, yaitu Syarikat Islam juga dikelola dan dikobarkan di Bandung oleh rahimullah Haji Oemar Sa’id Cokroaminoto. Pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia juga dikobarkan di kota Bandung oleh Bung Karno. Banyak pergerakan yang lahir dari rahim kota Bandung. Apakah yang kiri atau yang kanan. Atauah kanannya kanan atau kirinya kiri. Atau kirinya kanan atau kanannya kiri. Kebetulah lahir di Bandung.

Kalau saja belum ditentukan oleh undang – undang bahwa ibukota Republik Indonesia itu adalah jakarta dan pimpinan pusat dari organisasi di negara kita harus berada di Jakarta, maka sangatlah pantas kita canangkan bahwa kota Bandung sebagai ibukota dakwah. Dan, dari pandangan optimis, penyelenggaraan ini insya Allah akan memberikan dorongan kuat bagi seluruh kader Jawa Barat. Dengan dukungan masyarakat, dukungan rakyat Jawa Barat untuk menyongsong, bukan saja kemenangan 2009, tapi juga kemenangan 2008 dalam tingkat PILKADA, yang salah satunya adalah pemilihan gubernur. Ini harus dijadikan muntholaq bagi seluruh kader-kader kita di Jawa Barat dan kader-kader seluruh Indonesia untuk mendo’akan agar kemenangan-kemenangan 2008 itu bisa diraih oleh kader-kader kita. Dibantu do’a dari seluruh kader dari segenap penjuru tanah air, dan insya Allah oleh saudara-saudara kita dari segenap penjuru dunia.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah

Seperti dalam tema RAPIMNAS ini, mudah-mudahan jadi munthalaq untuk meraih kemenangan pemilu yang masanya kurang dari 2 tahun lagi. Saya terpana dengan tema RAPIMNAS ini, walaupun saya baru baca malam ini: “Menyongsong Kemenangan 2009 dengan Meningkatkan Kapasitas Kepemimpinan dan Pelayanan.” Allahu Akbar!!!

Berbicara tentang kapasitas kepemimpinan, bukan terbatas kepemimpinan dalam lingkup kepemimpinan jama’ah dakwah ini, tapi juga ruang lingkup kepemimpinan nasional. Agar seperti pimpinan negeri ini, seperti yang juga telah ditorehkan oleh para mujahidin dengan jihadnya. Jihad perlawanan terhadap Belanda, jihad perlawanan terhadap Jepang, jihad perlawanan terhadap komunisme, muncul kepemimpinan-kepemimpinan nasional, dari mata rantai jihad itu, yang diakui maupun yang tidak diakui, yang mendapatkan bintang jasa dan yang tidak mendapatkan bintang jasa. Insya Allah, mudah-mudahan, kita adalah bagian dari mereka, yang akan melanjutkan perjalanan mereka, dan meraih kemenangan demi kemenangan yang telah dijanjikan oleh Allah, juga yang dicita-citakan leluhur kita.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah

Kepemimpinan yang ktia maksud bukan semata kepimpinan yang berlandaskan atau bertumpu atas kekuasaan (‘alal qo-idah sulthaniyah), tapi kepemimpinan yang bertumpu atas ruhiyah-maknawiyah-fikriyah, yang kekuasaannya didorong oleh semangat menyebarkan rahmatan lil’alamin. Sehingga melalui hal itu semangat pelayanan juga akan dirasakan oleh segenap umat Islam Indonesia, segenap bangsa Indonesia, bahkan Insya Allah, oleh segenap umat di dunia.

Untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan, atau dengan kata lain membangun kader kepemimpinan –yang tidak terbatas diharapkan oleh partai/jama’ah ini, tapi diharapkan oleh bangsa ini, bahkan diharapkan oleh kemanusiaan ini– sudah barang tentu kita harus melakukan beberapa hal.

PERTAMA: Tathahhur (Membersihkan Diri)

Pertama, harus melakukan tathahhur, selalu membersihkan diri. Kata Allah, “Innallaha yuhibbu attawwabiina wa yuhibbul mutathahhiriin.”Sesungguhnya Allah mencintai orang – orang yang selalu membersihkan diri. Disitu Allah bukan berfirman dengan ‘Mencintai orang – orang yang bersih’. Sebab, bukan kapasitas manusia untuk menjadi thahir (bersih). Bahkan dalam hadits qudsi, kata Allah: “Jika manusia menjadi bersih tanpa dosa, akan diganti oleh makhluk lain, yang berdosa kemudian minta ampunan”, yang lebih senang meminta ampunan atas dosanya kepada Allah.

Karena berdosanya manusia adalah untuk menampilkan keagungan ampunan Allah. Karakter manusia ada potensi untuk berbuat dosa. Siapapun ada potensi untuk kepleset. Kepleset kemudian tersadar. Setiap salah selalu tersadar. Setiap kesalahan selalu diikuti oleh sadar, sadar dan sadar, sehingga ia mencapai kemenangan. Oleh karena itu “SADAR” menang di Bekasi (Sa’aduddin – Darip, pasangan Bupati Bekasi dari PKS). Kesadaran itulah yang membangkitkan semangat tathahhur –selalu berusaha membersihkan diri. 

Mungkin kita ingat hadits Rasulullah saw yang memberikan perumpamaan tentang orang yang selalu menjaga sholat, muhafazhah ‘ala assholawat, yaitu bagaikan orang yang punya rumah di pinggir sungai, yang bila terkena kotoran selalu mandi. Perumpamaan ini merupakan perumpamaan yang sungguh luar biasa. Artinya lima kali sholat minimal, akan menutup lima kali kesalahan, setiap kali salah ia mandi.

Saya bicara tentang tanmiyah an-nukhbah al-qiyadiyah, membangun kaderisasi kepemimpinan. Saya tidak berbicara tentang tathahhur fil wudhu atau tathahhur fi tazkiyatunnafs. Yang itu tidak ada hubungannya langsung dengan kepemimpinan. Tapi terkait dengan membangun kaderisasi kepemimpinan, sudah barang tentu ada tathahhur yang lebih daripada itu.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah

Tathahhur ini sangat diperlukan, mengingat Indonesia ini salah satu negeri-negeri Islam, atau negeri-negeri dunia ketiga, yang dalam sejarahnya pernah mengalami masa yang sangat panjang dalam penjajahan. Bahkan setelah penjajahan pun, dibelenggu oleh kediktatoran sipil dan militer. Kita baru sembilan tahun terbebas dari mata rantai diktator penguasa penjajah dan diktator penguasa domestik, dari penguasa negeri ini, yang sipil atau pun militer. Hal ini selalu memunculkan apa yang disebutal-‘uqdah adzdzanniyyah, trauma persepsi yang berlanjut kepada trauma mental.

Kadangkala kita terjebak oleh paradigma-paradigma berfikir lama. Jadi yang pertama kita harus lakukan adalah membebaskan dan melepaskan diri dari trauma persepsi, akibat panjangnya penindasan, panjangnya pengekangan, panjangnya penderitaan, panjangnya himpitan, dalam segala sektor –ekonomi, politik, sosial, budaya. Dan sampai sekarang umat Islam di Indonesia, belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena masih didikte oleh kepentingan – kepentingan global. Yang mendikte sebenarnya tidak salah, yang salah yang nurut kepada pendikte.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah

Tathahhur atau membersihkan diri, dalam tanmiyah an-nukhbah qiyadiyah adalah harus selalu membersihkan diri (takhalus) dari trauma persepsi ini. Ada tujuh trauma persepsi yang kita harus membersihkan diri darinya yaitu:
  1.  Al-‘Uqdah Al-Inhizamiyah (trauma persepsi selalu kalah kalau bertarung).
  2. Al-‘Uqdah Al-Istihdafiyah (trauma persepsi yang merasa kita ini jadi objek terus).
  3. Al-‘Uqdah Al-Muamaratiyah (trauma persepsi merasa orang – orang lain sedang bersekongkol melawan kita).
  4. Al-‘Uqdah Arraj’iyyah (trauma persepsi bahwa kita ini terbelakang).
  5. Al-‘Uqdah Salbiyah (trauma persepsi yang berpikiran selalu negatif).
  6.  Al-‘Uqdah Al-Kamaliyah (trauma persepsi yang cenderung perfectionist).
  7. Al-‘Uqdah  Attaba’iyyah (trauma persepsi dari orang yang tidak mau kreatif. Maunya mengikuti).

Ada tujuh trauma persepsi yang kita harus membersihkan diri darinya.

1. Pertama, Al-‘Uqdah Al-Inhizamiyah, yaitu trauma persepsi selalu kalah kalau bertarung.

Kader kita insya Allah adalah yang paling minim mengalami trauma ini. Bahkan mudah-mudahan tidak ada trauma persepsi itu. Itu bukan saja dibuktikan dalam pemilu 2004, tapi juga dalam Pilkada. Dari 138 pilkada, kita memenangkan 81 pilkada. Berarti kader-kader kita sebetulnya sudah sadar dan bersih dari trauma persepsi ini. Sadar akan potensi diri, sadar akan misi diri, sadar akan tugas diri, dan bahwa kemenangan pada hakikatnya adalah milik Allah, dan Allah akan memberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Waman-nashru illa min ‘indillahih ‘azizil hakim. Dari 138 pilkada, dengan segala kekuarangan, dengan segala kesalahan dan bahkan dengan segala keluguan, kita menang. Insya Allah kader kita sudah mampu membebaskan diri dari al-‘uqdah al-inhizamiyah. Sampai yang secara hitungan suara kalah, secara hitungan politik dan dakwah kita menang. Dan hal ini diakui oleh semua orang. Misalnya di pilkada DKI Jakarta mass media menulis: Foke Unggul, PKS Menang.

Jadi semangatnya harus semangat tahqiqul intisyaraat, merealisir kemenangan-kemenangan yang dijanjikan Allah swt. Kalau kebetulan ada kekalahan, itu adalah kemenangan yang ditangguhkan.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah

Jadi al-‘uqdah al-inhizamiyah harus dicuci bersih dari kita, tidak boleh ada. Memang kita mulai dari tidak punya apa-apa, tidak punya pengalaman, tidak punya tokoh. Waktu buat partai, kader kita 3000. Saya merasa waktu itu jumlah yang sedikit untuk mendirikan partai. Ternyata itu kebanyakan untuk mendirikan awal. Dan, ternyata kemudian kader kita ada yang jadi DPR, Ketua MPR, Bupati, Walikota, Wakil Gubernur.

2. Kedua, al-‘uqdah al-istihdafiyah, trauma persepsi yang merasa kita ini jadi objek terus.

Merasa dikepung terus. Bertemu orang deg-degan. Bertemu hansip kaget. Melewati kantor Koramil merinding. Kalau sekarang jangan begitu. Berkali-kali saya mengatakan kepada ketua-ketua DPW, bahwa antum ini setara dan sejajar dengan Gubernur, Pangdam, bahkan Insya Allah lebih bitaqwakum(dengan taqwa antum). Kepada ketua-ketua DPD saya katakan, antum ini sejajar dengan Bupati, Kapolres, Walikota, Dandim, Ketua Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri, bahkan insya Allah lebih bitaqwakum. Begitu juga kepada ketua DPC, DPRa.

Jadi dengan al-‘uqdah al-istihdafiyah, artinya kita merasa jadi sasaran terus, dikepung, bila orang datang merasa akan mengerjain. Akhirnya tidak bisa ofensif dan kerjanya hanya defensih. Senjata kita cuma perisai, tidak bisa menyerang, membuat orang lain menembaki kita terus – menerus. Padahal, ibaratnya, bisa jadi kita tidak perlu perisai itu, kita lempar kepada mereka. Nastahdifuhum wala yastahdifuunana. Kita harus tathahhur membersihkan diri dari al-‘uqdah al-istihdafiyah.

3. Ketiga, al-‘uqdah al-muamaratiyah, mentalitas merasa orang-orang lain sedang bersekongkol melawan kita.

“Wah mereka sedang berkumpul nanti bersekongkol, bagaimana nih.” Padahal belum tentu. Al Qur’an menyatakan: tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta. Mengapa kita menganggap mereka bersatu bersekongkol menghadapi kita? Perasaan dikepung, perasaan mereka bersekongkol, merasa ada konspirasi, apakah lokal, apakah nasional, apakah global, secara berlebihan. Akhirnya tidak mau mengembangkan pola komunikasi. Awas jangan ngobrol dengan dia, nanti terbawa, nanti hanyut. Awas kita dijegal secara politik. Kalau kader ditarbiyah bertahun-tahun gampang hanyut itu bukan kader, tapi itu orang keder. Kita harus berani menghadapi tantangan – tantangan semuanya.

Perasaan dikepung dan ada konspirasi, kalau sudah menjadi ‘uqdah membuat kita tidak akan mampu menghadapi konspirasi meski kecil. Karena yang membesarkan dan memberikan pengaruh kepada konspirasi itu kita sendiri.

4. Keempat, al-‘uqdah arraj’iyyah, trauma bahwa kita ini terbelakang.

Merasa bahwa kita ini anak-anak baru tumbuh, sebagian sekolah belum tamat, belum punya rumah, belum punya pekerjaan. Tertinggal ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Merasa berada di barisan belakang, nafsiyah raj’iyah, nafsiyah takhaluf. Padahal Allah swt dan Rasulullah saw menghendaki kita untuk wasari’u, fastabiqul khairat. Ber-musara’ah dalam meraih kebajikan. Semangat berlomba, semangat kompetisi, semangat berpacu untuk selalu ada di barisan terdepan. Berani tampil kedepan. Karena terbukti, ketika ikhwan dan akhwat berani tampil ke depan, diakui oleh semua orang. Mobilitas ikhwan dan akhwat banyak diakui. Kita diakui sebagai partner pemerintahan, bahkan partnership dengan lembaga – lembaga internasional.
Kalau semangatnya raj’iyah, ketertinggalan, keterbelakangan, terseok-seok, ketinggalan di ujung barisan, sudah barang tentu, na’udzubillah, kita bukan hanya ditinggal oleh ummat tapi juga oleh Allah swt. Sebab Allah menghendaki ber-tanafus, ber-musara’ah dan ber-musabaqah.

5. Kelima, Al-‘Uqdah Salbiyah, trauma persepsi yang berpikiran selalu negatif

Tidak mempunyai pandangan ijabiyatu ru’yah, pandangan positif baik ke dalam  maupun keluar. Orang ini datang mau apa ya? Jangan – jangan mau mengawasi kita. Bisa –  bisa mau ini – mau itu. Yang lebih mengerikan kalau ke dalam. Ada yang melihat ikhwan dan akhwat salah sedikit lalu berkata, wah, jama’ah dakwah ini hancur, mau ambruk. Jama’ah dakwah ini sekarat.

Pikiran seperti ini, pertama-tama menunjukkan lam yaskurillah, tidak mau bersyukur kepada ni’mat Allah. Kita ini jama’ah manusia bukan jama’ah malaikat, ada kekurangan dan ada kelebihan. Yang penting proses tathahhur, proses perbaikan terus berlangsung melalui tawashaw bilhaq, tawashaw bish-shabr, tawashaw bil-marhamah.

Umar Bin Khattab mengatakan: tarkul harakah ‘uqlah. Membangun harakah itu belenggu. Kalau ada yang memiliki hambatan ekonomi, terkena musibah, kita bangkitkan lagi dengan tawashaw bil-marhamah. Tangan – tangan marhamah ikhwan dan akhwat harus menyentuh ikhwan dan akhwat lain yang terkena musibah.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah

6. Keenam, Al-‘Uqdah Al Kamaliyah, trauma persepsi yang cenderung perfectionist 

Merasa kita ini kurang ini kurang itu. Jangan dulu begitu. Lebih parah lagi akibat ‘uqdah kamaliyat akhirnya menuntut kita untuk selalu sempurna. Hadzihi ‘uqdah qatilah, ini adalah trauma yang bisa membunuh kita sendiri. Sebab mereka menuntu yang sempurna dari kita yang tidak sempurna. Kita memang menjaga citra, tapi citra sebagai manusia. Citra sebagai manusia Muslim bukan sebagai citra malaikat. Malaikat sifatnya baik tapi tidak memiliki keinginan – keinginan. Saya ingat pelajaran dulu di Madrasah:
Almalaikatullatilaisa laha abun walaa ummun
La akla la syurba
Wala naumu lahum
Bahwa malaikat itu tidak punya ayah ibu, tidak perlu makan dan minum maupun tidur. Sedangkan kita punya kebutuhan – kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhan itu kita melakukan kesalahan – kesalahan.

Jadi kita ini mujtama’ basyari, jama’ah basyariyah. ‘Uqdah kamaliyat ke dalam, apalagi kalau terbentuk keluar, akan berbahaya. Beban akan bertambah, langkah akan terhambat. Apalagi kalau ada opini publik terhadap diri kita bahwa diri kita sempurna. Hal itu sama dengan mempersiapkan pedang untuk menyembelih kita sendiri.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah

7. Ketujuh, Al-‘Uqdah Attab’iyyah, trauma persepsi dari orang yang tidak mau kreatif. Maunya mengikuti.

Hobinya berkalau. Kalau kayak organisasi itu, kalau kayak yayasan itu, kalau kayak partai itu, kalau… kalau… Kata Rasulullah kata “law” itu merupakan pembuka pintu syaithan. Memang, kata Rasulullah, “Alhikmatu dhaallatul muslim.” Yang penting harus kita perhatikan itu hikmah kebajikannya. Tapi bagi orang yang punya ‘uqdah taba’iyyah tidak peduli apakah itu baik atau tidak, yang penting ikuti. Ini berbahaya. Kita harus takhalus (membebaskan diri) dari ‘uqdah taba’iyyah. 

Na’udzubillah kalau saja ada dalam diri kita salah satu dari trauma tadi, secara fikriyah, secara ma’nawiyah, ada trauma bukan saja persepsi tapi trauma moral yang menjadi beban. Akhirnya kita tidak bisa bergerak. Padahal Rasulullah saw memperingatkan kita sebagaimana dalam haditsnya, “Innamannaasu kal ibilil mi-ah. Laa takaadu tajid fiihaa raahilah.”Manusia itu bagaikan 100 unta, hampir saja dari yang 100 itu tidak didapatkan 1 ekor unta beban.

Kader ikhwan dan akhwat ini adalah pemikul risalah muhammadiyah. Kalau ia sendiri mengalami ‘uqdah taba’iyyah, maka akan jadi beban, artinya repot menggotong-gotong diri sendiri. Repot menggotong kader yang menjadi beban. Seluruh kita harus menjadi pemikul beban.

Demikian adalah 7 (tujuh) trauma persepsi yang harus dibersihkan sebagai bagian dari hal tathahhur untuk membangun kader kepemimpinan.

KEDUA: Tanmiyyatu attaqah (Mengembangkan Kemampuan)

Yang kedua, dalam kaitan dengan tanmiyah an-nukhbah al-qiyadiah ini adalah membangkitkan kemampuan. Setiap kita diberikan kemampuan sesuai dengan bakat dan kecenderungan masing – masing yang telah diberikan oleh Allah swt. Masing – masing kita harus tahu potensi diri. Setiap kader harus mampu mengembangkan potensi (alqudrah ‘ala tanmiyati thaqah) baik potensi diri sendiri maupun potensi orang lain. Jangan malah menghancurkan potensi diri, apalagi potensi orang lain. Apakah dengan gossip, dengan issu, dengan fitnah, atau dengan tajassus. Akibatnya, potensi orang lain hancur, potensi diri hancur. Kita harus terus menerus membangun potensi, karena amal islami itu sangat besar.

Di dalam diri kita ada dua potensi: fa-alhamaha fujuraha wa taqwaha. Ada potensi negatif, fujur dan ada potensi positif, taqwa. Kita bangun, kita himpun, kita kembangkan potensi – potensi positif kita. Kita harus sibuk membangun potensi positif. Jangan sibuk dengan potensi negatif. Karena kalau sibuk dengan potensi negatif pada diri kita, lalu kemudian misalnya menuduh si itu bathil, si itu rakus, si itu thama’, si itu kibr, akhirnya potensi-potensi positif terbengkalai. Potensi negatif kita usahakan diminimalisir agar tidak muncul dalam permukaan hidup kita. Kalau pun muncul hanya sekali-kali dan tidak dominan.

Potensi positif itu al-haq dan potensi negatif itu al-bathil. Bila potensi positif kita aktifkan maka potensi negatif akan pasif. Karena, seperti dijelaskan oleh Allah, “Wa qul jaa-al haqqu wa zahaqal baathilu innal baathila kaan zahuuqaa.”

Kita hadirkan potensi al-haq, insya Allah potensi al-bathil dalam diri kita akan pasif. Akan tetapi kalau kita gugat-gugat dan utik-utik potensi negatif, apalagi kalau potensi negatif di antara kita disebarkan melalui SMS, akhirnya potensi positif tidak terurus. Tidak tersalurkan, tidak terkoordinir, tidak termobilisir dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya sibuk dengan isu, dengan gosip, akhirnya ikut-ikutan.

1. Al-Qudrah ‘ala tafjiri thaqah (kemampuan untuk meledakkan potensi)

Potensi itu bukan hanya kita kerahkan lalu jadi kebanggaan. Bukan hanya menyebut si fulan potensi untuk ini, dan si fulan potensi untuk itu, tapi tidak kita ledakkan menjadi sebuah gerakan. Tadi presiden kita membuat perumpamaan dengan naik motor, dengan naik mobil. Saya memberi perumpamaan dengan mesin mobil. Tafjiruath-thaqah itu seperti kompresi, dimana bahan bakar dan udara dicampur lalu dimampatkan oleh tarbiyah, oleh taujihat, oleh tadrib maidan, lalu diledakkan menghasilkan gerak torak dan akhirnya mobil itu bergerak. Potensi itu harus digerakkan. Jangan ada potensi yang tidak terpakai. Kader harus punya qudrah ‘ala tafjirithaqah.

Ikhwan dan akhwat rahimakumullah,

2. Al-qudrah ‘ala muhafazhati thaqah (kemampuan memelihara potensi)

Potensi harus dipelihara. Jangan setelah bergerak lalu kempes. Harus dipelihara agar potensi tetap muncul. Sudah tentu untuk memeliharanya kita melalui atha’ Al Qur’ani. Kita dekat dengan Al Qur’an, tilawah dan tadabbur Al Qur’an, sebab Al Qur’an adalah kitabul khalid wal atha’ almutajaddid (kitab abadi yang pemberiannya selalu baru). Nilai-nilainya selalu menyegarkan. Produk – produk potensi baru kalau kita mau mendengarkannya. Qiraah juga bukan hanya qira-atul kutub, tapi juga qira-atul maidan. Selalu membaca agar potensi selalu tergairahkan dan siap untuk diledakkan secara terus menerus.

3. Al-qudrah ‘ala saitharah ‘ala thaqah (kemampuan untuk mengendalikan potensi)

Yang berikutnya adalah qudrah ‘ala saitharah ‘ala thaqah, yaitu bagaimana setiap kader memiliki kemampuan untuk mengendalikan potensi. Potensi yang terkendali dan terarah. Kemampuan pengembangan thaqah, peledakkan thaqah, pemeliharaan thaqah dan pengendalian thaqah adalah ciri khas kader pemimpin.

KETIGA: Dauru annukhbah alqiyadiyah (peran kader pemimpin)

Bagaimana para kader pemimpin menyadari perannya (dauru nukbah alqiyadiyah), menyadari peran kader pemimpin yang ditunggu-tunggu oleh jama’ah, umat dan kemanusiaan. Peran – peran itu adalah:

1. Pertama, ad-daur al-irsyadi, peran membimbing dan menuntun.

Peran bimbingan, penuntunan, pengarahan dengan aneka ragam pendekatan sangat ditunggu. Terlalu banyak di masyarakat usaha musuh-musuh Islam di luar yang dhalun mudhil, sesat dan menyesatkan. Masyarakat ini perlu diselamatkan, umat ini perlu diselamatkan, bangsa ini perlu diselamatkan. Saya tercenung kalau melihat buruh keluar dari pabrik, mahasiswa keluar dari kampus. Wajah – wajah yang tersentuh tarbiyah masih sedikit, sangat jarang ditemukan diantara mereka. Jangankan tarbiyah, melihat wajah yang berwudhu saja kayaknya masih jarang. Apalagi pada strata yang lebih bawah. Ada di sana sini yang taqwa karena kesadaran dirinya tapi belum mendapat bimbingan dari kita. Kita jangan jadi organisasi yang hanya mengklaim jumlah anggota, jumlah kader tapi tidak ada langkah-langkah irsyadiyah baik ke dalam maupun ke luar. Tidak ada daur irsyadi baik ke dalam maupun keluar.

Tadi presiden kita menawarkan 500 personel DPP, DSP, MPP untuk disebar ke mana-mana untuk memerankan daur irsyadi-nya. Kalau seluruh kader berperan dalam seluruh aspek kehidupan seiring dengan thaqah dan kapasitas profesionalitasnya, memerankan daur irsyadi-nya di segala bidang, insya Allah, junudu dakwah ini akan berlipat ganda jumlahnya.

Irsyadiyah itu bukan hanya yang bersifat maknawiyah fikriyah, tapi irsyadiyah yang bersifat profesi harus juga dilakukan. Membimbing petani, nelayan, peternak ikan, pengusaha kecil. Dan kader – kader kita yang memiliki latar belakang pendidikan dan keahilan di bidang itu cukup banyak. Irsyadiyahharus di seluruh aspek kehidupan.

2. Kedua, ad-dauru at-takhtithi, peran perencanaan.

Pekerjaan itu harus direncanakan sehingga aktitifitas itu terukur langkah-langkahnya, terukur keberhasilan targetnya, terukur pengendaliannya. Kita harus melakukan perencanaan, termasuk langkah – langkah pribadi, langkah – langkah jama’ah ini ke depan. Insya Allah adanya Rapimnas ini —yang diantara tugasnya melakukan sinkronisasi rencana kerja dua tahunan— adalah salah satu peran daur takhtithi yang selalu kita tumbuh kembangkan, sehingga langkah – langkah kita terencana. Walaupun karena manusia ini tidak bi kulli syai-in ‘alim, mengetahui segala sesuatu, perencanaan harus flexibel, tidak kaku. Sehingga kita mampu merespon perkembangan – perkembangan dan hambatan – hambatan di lapangan, bahkan mampu memanfaatkan potensi – potensi di lapangan.

Kader harus sadar bahwa yang bergulir di lapangan bukan hanya rencana kita, rencana orang lain pun mereka usahakan untuk bergulir. Kader yang mengetahui betul perencanannya, insya Allah, jika mengetahui aneka macam perencanaan orang lain yang sedang bergulir itu, bisa tahu mana yang tawafiq (ada kesesuaian) dengan rencana kita, tanasub munasabahnya sama dengan kita dan bisa jadi ada tanasuq (sinkron) dengan rencana kita. Artinya tidak selalu program orang lain itu berbenturan dengan program kita. Itu namanya kembali ke yang tadi, ‘uqdah salbiyah.
Kita harus berpandangan positif, apalagi bahkan banyak partai – partai Islam, organisasi – organisasi Islam, yayasan – yayasan Islam, bahkan yang tidak menamai dirinya organisasi atau partai Islam pun basis sya’biyahnya adalah orang Islam. Rencana yang berjalan, kalaupun tidak Islami, qaribun ilal Islam (dekat kepada Islam) sengaja ataupun tidak sengaja, walaupun lembaga itu sekuler.

3. Ketiga, daur tahridhi (peran kader kepemimpinan dalam memberi semangat).

Kader kepempimpinan harus selalu memberi semangat, memberi motivasi, memberi stimulus kepada jajaran kader; bahkan ke tengah – tengah masyarakat. Bahkan tentang pembangkitan motivasi ini ada materinya sendiri. Mulai dari musyarakah ‘indal qarar, tasyji’ ‘indal ijtihad, da’im inda attanfidz, i’tiraf ‘indal injaz, dan al-inshaf ‘indal khatha. Itu langkah – langkah manajerial.

4. Keempat, daur jazwidi (peran menyiapkan sarana prasarana).

Peran kader kepemimpinan bukan hanya memotivasi saja, tapi mempersiapkan sarana dan prasarana. Baik yang kita miliki ataupun yang dimiliki orang lain tapi dapat kita libatkan kontribusinya untuk memberikan saham pada langkah – langkah perjuangan kita. (Istifadah minal ghair). Dan itu tidak ‘aib, karena memberikan peluang untuk berpahala, memberikan peluang untuk masuk surga.

Di dalam era musyarokah ini indikator keberhasilan musyarakah adalah isyrakul ghair. Bukan saja kita ber-musyarakah dengan orang lain, tetapi bagaimana melibatkan orang lain dalam pelaksanaannya program – program kita. Kalau musyarakah tidak menghasilkan isyrakul ghair, berarti kita jama’ah dakwah yang eksklusif tidak inklusif. Daur tazwidi ini bukan hanya dengan sarana pra sarana yang kita miliki tapi juga dengan sarana dan prasarana yang dimiliki orang lain. Kita harus mencoba isyrakuhum fil khair (melibatkan mereka dalam berbuat kebaikan). Orang ikut serta dalam usaha kita.

5. Kelima, daur siyasi (peran dalam melahirkan kebijakan).

Peran kepemimpinan dalam hal ini adalah dengan mendorong terus kontribusi dalam melahirkan kebijakan. Syuro kita tumbuh kembangkan. Jangan dimatikan. Tidak boleh ada yang berkata: ini instruksi tidak ada diskusi. Kalau begitu tidak bisa isyrakul ghair, tidak bisa membuat orang berkontribusi dengan kita. Bahkan dalam merancang perencanaan – perencanaan kita, semakin lama harus semakin terbuka. Orang lain, nara sumber, dari mana pun biar memberi masukan, memberi kontribusi dalam membangun perencanaan kita. Kebijakan itu diusahakan inklusif, tidak eksklusif.

Sudah sering saya lihat di DPW atau DPD ketika akan ada program – program mengundang orang lain sebagai narasumber menyampaikan saran – saran. Tidak perlu takut atas usulan orang lain. Toh, ada patokan aqidah, patokan fikroh, patokan manhaj. Kecuali kalau kita tidak paham aqidah, tidak paham fikroh, tidak paham manhaj. Biarkan orang berkreasi memberikan masukan dan sarannya dalam rangka memberi motivasi agar mereka berkontribusi dalam program kita.

Ini adalah kebijakan yang harus dilakukan. Dalam daur siyasi, para kader pemimpin harus pandai melakukan komunikasi politik lintas partai, lintas organisasi, lintas etnik, bahkan lintas agama.

6. Keenam, daur siyadi, peran pengendalian.

Siapapun orangnya, bila tidak ada pengendalian suka terjebak kepada keenakan, hobi lalu kebablasan. Dalam pekerjaan kebaikan sekalipun, bila lepas kendali biasanya tidak produktif. Terjadi sektoralisasi, akhirnya meninggalkan ke-syumuliyah-an dakwah, meninggalkan sifat tanasuq dari dakwah, baik tanasuq dzati maupun tanasuq kulli. Mungkin akibat spesialisasinya merasa spesialisasi bidang lainnya tidak diperlukan. Pengendalian diperlukan tidak saja agar seluruh potensi berkembang, tapi juga terkendali dalam satu jaringan yang berkelindan menuju sasaran – sasaran bersama.

7. Ketujuh, daur riqabi, peran pengawasan.

Peran mutaba’ah, peran kontrol. Kita lihat apakah mungkin miring ke kiri sedikit, atau miring ke kanan sedikit. Tapi beri contoh. Jangan sampai kalau orang ada kesalahannya seolah tidak ada kebaikannya sedikitpun lalu diberi ‘iqab paling berat. Peran mutaba’ah ini penting. Peran mutaba’ah yang paling efektif adalah mutaba’ah dzatiyah melalui muroqobatillah. Ini lebih efektif dari pengawasan siapapun, kalau kita selalu melakukan muraqabatillah.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,

Mohon maaf bila panjang, karena berkumpulnya para pimpinan gerakan islam di Indonesia seperti ini sangat jarang. Kesempatan seperti ini harus kita ambil hikmah dan manfaatnya. Insya Allah dengan memenuhi peran kader kepemimpinan tadi, kita akan mampu menggerakkan jama’ah ini di semua level strukturnya, akan mampu menggerakkan umat ini, dan bahkan menggerakkan bangsa ini untuk mencapai kebijakan bagi dirinya dan kebijakan untuk kemanusiaan pada umumnya.

Menggerakkan potensi jama’ah dakwah kita, potensi ummat, potensi bangsa, potensi manusia, bagi jama’ah dakwah bukan hanya bi ishdaaril awamir (mengeluarkan perintah-perintah) tapi bi i’dadil awamil (menyediakan sarana prasarana). Harakah dakwah mustamirah tidak mengandalkan ishdarul awamir, tetapi mengandalkan i’dadul awamil al harakiyah. Menggerakkan kader bi i’dadil awamil bukan bi ishdaril awamir.

Jadi tugas kepemimpinan itu bukan memberikan perintah demi perintah. “Ini perintah laksanakan! Tidak ada diskusi, ini instruksi ayo jalan! Kalau tidak jalan ada ‘iqab.” Ini melemahkan kader. Jadinya ada yang berkomentar, “Yah, begini berjama’ah ternyata, dibentak-bentak melulu. Padahal ayah ibu saya tidak pernah marah seperti itu. Padahal ia bukan siapa-siapa, tidak ada jasa apa-apa, marah-marah dan menyuruh-nyuruh.”

Faktor Penggerak Dakwah

Jadi, dalam menggerakkan kader dakwah harus lebih mendahulukan ‘idad ‘awamil al harakiyah. Faktor – faktor yang menggerakkan dakwah itu:

Pertama, awamil ruhiyah wal maknawiyah, mempersiapkan faktor mental dan spiritual. Kebangkitan semangat, kebangkitan harga diri, kebangkitan optimisme.

Kedua, awamil fikriyah, mempersiapkan faktor idealita dan cita-cita. Cita-cita Islam ini sangat besar, shina’atul hadharah (mencipta peradaban), ustadziyatul ‘alam. Kita harus siapkan idealita untuk mencapai cita-cita besar itu. Kita hidupkan, kita gelorakan idealita itu. Sudah tentu dengan mengembangkan penguasaan nazhariyat, konsepsi – konsepsi di segala bidang. Sehingga kita mempunyai para pakar ekonomi, budaya, ketatanegaraan, lingkungan hidup, tata kota, arsitektur dan lainnya.

Munas telah menggariskan agar sampai 2009 kita dapat merekrut 1000 tokoh profesional karena kita membutuhkan qaidah al-fikriyah sebagai salah satu usaha i’dadul awamil fikriyah. Sebab idealita tidak mungkin dibangun tanpa kekuatan intelektualitas, tanpa kecerdasan, tanpa fathanah, tanpa dzaka’, agar ide kita terdepan di segala sektor. Kita harus terus mendorong awamil fikriyah sehingga ar-ru-yah al-mustaqbaliyah, visi ke depan kader – kader kita menonjol luar biasa. Memahami risalah masiriyah, memahami misi perjuangan gerakan dakwah ini. Juga memahami dan membiasakan ijabiyatu ru-yah, pandangan positif.

Ketiga, awamil idariyah, faktor – faktor manajerial. Jangan sampai berjuang, berjihad, berdakwah tanpa manajemen, cukup hanya dengan tawakal ‘alallah. Ali ra dalam kata – kata mutiaranya mengatakan bahwa al haqqu bila nizham yaghlibul bathilu binizham. Salah satu syarat untuk intizham (keteraturan) adalah adanya langkah – langkah yang ter-manage dengan baik. Manajemen yang terkait dengan menghimpun potensi (idarah tasyji’iyah), manajemen koordinasi (idarah tansiqiyah), manajemen mobilisasi potensi (idarah ta’bawiyah), manajemen pengawasan (idarah riqabiyah) dan juga manajemen reward (idaraha jaza-iyah).

Alhamdulillah dalam milad yang lalu, ikhwah yang berjasa membuat lambang sudah diberikan syukrun, karena man lam yasykurinnas lam yasykurillah. Begitu juga yang berjasa membuat hymne atau mars diberi penghargaan. Idarah jaza-iyah seperti ini perlu diberikan karena setiap orang menghendaki pengakuan. I’tiraf ‘indal injaz. Pengakuan atas eksistensi dirinya, pengakuan atas potensi dirinya dan pengakuan atas keberhasilannya. Dan itu terkait dengan istimrariyatul harakah secara langsung.
Kalau kita tidak bisa memberikan barang – barang berharga, bisa dengan sponsoring up (dipromosikan). Misalnya bila bertemu dengan pejabat atau tokoh, katakan: silahkan berkonsultasi dengan si fulan dari PKS. Atau teruskan perundingan dengan si fulan kader PKS.

Keempat, awamil madiyah, sarana finansial atau materi. Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah dikatakan tidak ada baiknya orang yang tidak suka harta. “Laa khaira fii man laa yuhibbul maala, ya’ budu bihi rabbahu wa yuaddi bihii amaanatahuu wa yashuunu bihi nafsahu ‘anil khalqi wa yastaghni bihi.” Tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak suka kepada harga, yang dengannya ia menyembah Tuhannya, menjalankan amanahnya, menjaga kehormatan dirinya dari (meminta-minta) kepada orang lain, dan mencukupkan untuk (kebutuhan) dirinya.

Yang dilarang oleh Al Qur’an adalah hubban jamman. Cinta yang sangat berlebih-lebihan kepada harta. Itu yang tidak boleh. Tapi, kata Ibnu Taimiyah, tidak ada kebaikan orang yang tidak suka harga, yangg dengan itu beribadah kepada Rabbnya, menunaikan tugas amanahnya, memelihara dirinya dan menjaga dirinya dari ketergantungan kepada orang lain. (Fatawa Ibnu Taimiyah juz 7).

Kelima, awamil zharfiyah, faktor kondisi dan situasi. Situasi dan kondisi itu bisa dipersiapkan dan dikelola, bisa di-manage, bisa direkayasa. Tahyi-atu zhuruf, mempersiapkan situasi dan kondisi, baik zamaniyah, kondisi waktu, maupun makaniyah, kondisi tempat.

Ruang dan waktu diisi oleh manusia. Karena itu untuk mempersiapkan situasi dan kondisi kita harus pandai berkomunikasi dengan orang lain. Harus bisa ber-tawasul bersilaturahim dengan orang. Kemudian berta’amul, bekerjasama, dan bertafa’ul. Kalau yang dihadapi petani kaifa yatakayaf ma’al muzari’in. Kalau yang dihadapi kaum buruh, kaifa yatakayyaf ma’al ‘umal.

Kemampuan tawasul, ta’amul dan tafa’ul harus dimiliki oleh setiap kader ikhwan dan akhwat agar bisa tahiy-atu zhuruf, mempersiapkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi meraih kemenangan – kemenangan dakwah yang dijanjikan oleh Allah swt.
Sekian kalimat dari saya.

Wa astaghfirullah li wa lakum,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh……

Sumber:
  1. Buku Menghilangkan Trauma Persepsi, 2007, KH. Hilmi Aminuddin (Ketua Majelis Syuro PKS), 
  2. https://dprapkspamulangbarat.wordpress.com/2012/03/09/menghilangkan-trauma-persepsi-bagian-1/, dst