Saturday, April 21, 2018

Fiqih Shiyam

Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

I. Ketentuan Puasa

A. Terjemah Surat Al- Baqarah ayat 183-184

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ - 2:183
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ - 2:184

Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)  sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 183-184)

B. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187

1. Mufradat:

كتبَ عليكم
Diwajibkan atas kamu semua
أياماً معدودات
Bulan Ramadhan
فعدَّةٌ
Yang wajib baginya adalah puasa setelah Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkan selama Ramadhan
يطيقونه
Mampu berpuasa dengan berat, atau tidak mampu sama sekali seperti orang tua dan ibu hamil dan menyusui
فِديَة
Berbuka dan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang
menambahkan makanan, atau berpuasa dan memberi makan
yang membedakan antara hak dan bathil
فِديَة
Bekal dalam memberi makan, atau puasa sambil memberi makan
الفرقان
apa yang dapat membedakan antara yang haq dan batil.
فمن شهدَ منكم الشهرَ
barang siapa yang datang Ramadhan sedang ia dalam keadaan mukim, bukan musafir berakal dan sudah baligh
ولتُكملوا العِدّة
agar kau sempurnakan puasa Ramadhan, dengan berpuasa menggantikan hari-hari yang kau tinggalkan setelah bulan Ramadhan
الرفَثُ إلى نسائكم
bahasa halus dari hubungan suami istri
تختانون أنفُسَكم
menganggapnya berkhianat, karena ingin makan, minum dan berhubungan suami istri di waktu malam, padahal itu haram
فتابَ عليكم
telah diringankan beban berat ini
باشروهن
kata lain dari hubungan suami istri
وابتغوا
carilah
حتى يتبيَّن لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسودputihnya siang dan hitamnya malam
إلى الليل
sehingga terbenam matahari
عاكفون
dalam keadaan beri’tikaf. Arti I’tikaf: diam di masjid dengan niat beribadah, orang yang beri’tikaf tidak diperbolehkan berhubungan suami istri

2. Ta’rif  Shiyam dan Masyru’iyyahnya

Shiyam adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari disertai dengan niat. Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum muslimin ini pada tahun kedua hijriyah, tanggal 2 Sya’ban.

Hukum shiyam ini disampaikan dalam tiga tahap, yaitu:

Tahap pertama: Puasa diwajibkan dengan pilihan, siapa yang mau berpuasa dipersilakan dan siapa yang tidak mau dipersilakan pula, meskipun mampu, dengan membayar fidyah. Itulah firman Allah: QS. 2: 184, artinya Bagi orang yang tidak mampu puasa dan tidak berpuasa, ia wajib memberi makan seorang miskin, menggantikan puasa sehari

Tahap Kedua: puasa diwajibkan tanpa pilihan, dan diberikan rukhshah bagi orang yang sakit. Musafir berbuka dan berpuasa setelah Ramadhan menggantikan hari yang ditinggalkan. Itulah firman Allah: QS. 2: 185

Tahap Ketiga: diperbolehkan makan minum dan hubungan suami istri, sejak terbenam matahari hingga terbit fajar hari berikutnya. Pada dua marhalah sebelumnya jika orang yang berpuasa sudah tidur maka ia haram makan minum dan hubungan suami istri sampai hari berikutnya, sehingga hal ini memberatkan kaum muslimin, maka turunlah ayat QS.2:187 Dihalalkan bagimu……sampai firman Allah…dan makan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang merah…

Ulama Islam telah berijma tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, yang merupakan salah satu rukun Islam, dan mengingkarinya dianggap murtad.

3. Syarat-syarat shiyam

Syarat shiyam ada dua macam yaitu:
  • syarat wajib shiyam, artinya syarat yang membuat puasa wajib bagi seseorang, yaitu: Islam, Mukallaf (akil baligh) dan mampu berpuasa. Puasa tidak diwajibkan pada yang tidak muslim, tidak wajib pula pada muslim yang belum mukallaf, seperti orang gila, anak-anak, walaupun anak-anak disuruh puasa sebagai latihan, bahkan dipukul jika tidak puasa ketika sudah berusia 10 tahun, dan telah dianggap shah puasanya ketika sudah masuk usia mumayyiz (kurang lebih tujuh tahun). Sebagaimana tidak wajib puasa atas orang yang tidak mampu sama sekali, seperti orang tua, orang sakit berat, hanya wajib fidyah.
  • syarat pelaksanaan atau keabsahan. Yaitu syarat yang harus dipenuhi agar puasanya sah dan diterima, yaitu: Islam, Mumayyiz (bagi anak-anak) bersih dari haidh dan nifas. Orang yang sedang haidh dan nifas wajib berpuasa, tapi tidak sah puasanya sehingga keduanya bersuci, keduanya tidak puasa selama masa haidh dan nifasnya, sehingga ketika keduanya suci ia wajib puasa menggantikan hari yang ditinggalkan. Sebagaimana disyaratkan bagi sahnya puasa itu, harus pada hari-hari yang tidak dilarang berpuasa, seperti hari ied dll.

4. Furudhusshiyam (rukun shiyam)
  1. Niat, karena niatlah yang membedakan antara ibadah dengan selainnya. Tidak disyaratkan melafalkan niat, karena niat terletak dalam hati, maka barang siapa yang makan sahur untuk puasa, ia telah dianggap orang berniat puasa, dan barang siapa yang berazam meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa karena Allah, maka azamnya itu adalah niat. Waktu niat ada di sepanjang malam sehingga terbit fajar. Hal ini berlaku untuk puasa Ramadhan dan qadha puasa Ramadhan di hari lain, puasa nazar, puasa kifarat. Maka ketika sudah terbit fajar dan belum niat puasa, puasanya tidak sah. [1] Hal ini didasarkan pada hadits Hafshah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang tidak mengumpulkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Ahmad dan Ashabussunan, dishahihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban). Sedangkan untuk puasa sunnah maka disahkan berniat sebelum matahari bergeser (Zhuhur) menurut Hanafi dan Syafii. Didasarkan pada hadits Aisyah ra, berkata: “Rasulullah saw suatu hari masuk ke rumahku, dan bertanya: Adakah kamu punya sesuatu? Saya jawab: Tidak ada. Nabi bersabda: Maka aku berpuasa.” (HR Muslim dan Abu Daud)
  2. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Dan yang membatalkannya ada empat macam: (i) Segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga melewati mulut, berupa makanan atau minuman yang menjadi konsumsi fisik atau tidak menjadi konsumsi fisik. Sedangkan yang menjadi konsumsi fisik tapi tidak masuk melalui mulut, seperti jarum infus dll, dianggap tidak membatalkan puasa. (ii) Sengaja muntah, sedang yang tidak sengaja maka tidak membatalkan. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib qadha’ sedangkan yang sengaja maka ia wajib qadha’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Hibban AD Dari Quthni dan Al Hakim). (iii). istimna’, yaitu sengaja mengeluarkan sperma, baik karena ciuman dengan istri, atau sentuhan tangan maka hukumnya batal. Sedangkan jika karena melihat saja, atau berfikir saja maka tidak membatalkan. Demikian juga keluarnya madzi, tidak mempengaruhi puasa. (iv). al jima’, karena Allah SWT berfirman tidak memperbolehkannya kecuali di waktu malam. Surat Al-Baqarah ayat 187:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ - 2:187

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Semua hal yang membatalkan ini disyaratkan harus dilakukan dengan ingat jika ia sedang berpuasa. Maka jika ia makan, minum, istimna’ atau muntah, atau berhubungan suami istri dalam keadaan lupa maka tidak membatalkan puasanya, baik dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan. Baik dalam puasa wajib atau puasa sunnah, karena Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa lupa ia sedang puasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR Al jama’ah)

5. Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan

Berbuka di bulan Ramadhan dapat digolongkan dalam enam macam:
  1. Wajib berbuka atas orang yang haidh atau nifas, bahkan ia haram puasa, dan wajib qadha saja. Artinya ia wajib puasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkan. Aisyah RA berkata: “Kami haidh di masa Rasulullah SAW, lalu kami disuruh mengqadha puasa, dan tidak disuruh mengqadha’ shalat”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
  2. Diperbolehkan berbuka bagi orang yang sakit dan musafir. Keduanya hanya wajib qadha. Sedangkan puasa dalam perjalanan lebih diutamakan jika tidak membahayakan yang bersangkutan, tetapi jika membahayakan, maka berbuka lebih baik baginya. Abu Said Al Khudzriy RA meriwayatkan: “Kami berperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami ada pula yang tidak berpuasa, dan orang yang puasa tidak mencela yang tidak berpuasa, dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa. Bagi yang mampu dan berpuasa maka itu baik baginya, dan yang lemah lalu berbuka maka itu baik baginya.” (HR. Ahmad dan Muslim). Syarat diperbolehkan puasa di perjalanan hendaklah jaraknya sejarak diperbolehkan mengqashar shalat, dan berangkat sebelum fajar. Jika ia mukim dan telah niat puasa, terbit fajar di tempatnya lalu ia bepergian, maka ia tidak boleh berbuka. Sedang jika ia musafir, lalu niat puasa dari malam, kemudian ia ingin berbuka di siang hari, maka hal itu diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi orang sakit yang dengan puasa menambah sakitnya, atau lambat sembuhnya, jika ia puasa, sah puasanya tapi makruh, karena ia meninggalkan rukhshah yang Allah cintai. Sedang wanita hamil dan menyusui keduanya boleh berbuka, dan hanya wajib qadha saja, dianalogikan dengan orang yang sakit.
  3. Diperbolehkan berbuka bagi orang tua dan orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh, keduanya tidak wajib qadha’ hanya wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA berkata: “Diberikan rukhshah bagi orang tua untuk berbuka dan ia memberi makan setiap harinya pada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya”. (HR Ad Daruquthniy, Al Hakim, dan keduanya menshahihkannya)
  4. Orang yang dengan sengaja tidak dengan berhubungan suami istri, seperti orang yang makan, minum, sengaja muntah, atau keluar mani, demikian juga orang yang berbuka tanpa sengaja seperti orang yang menduga bahwa fajar belum terbit, lalu ia sahur, kemudian ternyata fajar telah terbit. Atau orang yang menduga telah terbenam matahari lalu ia makan, ternyata matahari belum terbenam, atau orang yang pingsan. Semuanya wajib qadha tanpa kifarat. Berbeda dengan orang yang makan karena lupa yang tidak wajib qadha. Orang yang berbuka tanpa sengaja ia tidak berdosa, sedangkan orang yang sengaja berbuka maka dosanya sangat besar, seperti sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang berbuka satu hari dari bulan Ramadhan, tidak bisa digantikannya puasa setahun penuh, meskipun ia berpuasa.” (HR. Ahmad dan Ad Darimiy)
  5. barang siapa yang berhubungan suami istri dengan sengaja , maka ia wajib menahan diri pada sisa hari itu, mengqadha, dan kifarat atas yang laki-laki (sesuai dengan kesepakatan ulama), perbedaan pendapat terjadi tentang kifarat, apakah wajib atas wanita atau tidak? Wajib atas wanita pula menurut mazhab Hanafi, tidak wajib menurut Syafi’i. Kifaratnya adalah memerdekakan budak wanita, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin dengan makanan sedang yang biasa diberikan untuk keluarganya. Berurutan dalam penerapan kifarat adalah sesuatu yang wajib menurut jumhurul ulama. Tidak boleh menggunakan kifarat kedua kecuali jika tidak mampu kifarat yang pertama. Sesuai dengan hadits masyhur ini. Bahwa seseorang datang kepada Nabi Muhammad SAW lalu berkata: “Aku telah binasa Ya Rasulullah. Nabi bertanya : Apa yang membinasakanmu? Ia menjawab: Aku jatuh di atas istriku pada bulan Ramadhan. Nabi bertanya: Adakah budak yang kau bisa merdekakan? Ia menjawab: Tidak ada. Nabi bertanya lagi: Mampukah kau berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak. Nabi bertanya lagi: Adakah yang bisa kau gunakan memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak. Kemudian ia duduk. Lalu Rasulullah datang dengan membawa segantang kurma, dan bersabda: Bersedekahlah dengannya! Ia bertanya: Kepada yang lebih miskin dari kami? Karena tidak ada orang yang tinggal di antara dua batu ini (Madinah) lebih membutuhkannya daripada kami. Rasulullah kemudian tersenyum sehingga tampak gigi taringnya dan bersabda: Pulanglah dan berikan makan keluargamu”. (HR. Al Jama’ah). Dan orang yang berulang-ulang melakukan hubungan suami istri dalam sehari, ia hanya wajib membayar kifar sekali. Sedang yang mengulanginya di hari lain maka setiap hari satu kifarat, kecuali menurut mazhab Hanafi yang hanya mewajibkan sekali kifarat, kecuali jika sudah membayar kifarat lalu mengulang lagi, maka ia wajib kifarat lagi, meskipun masih di bulan Ramadhan yang sama.
  6. orang gila sehingga sembuh, anak kecil sehingga baligh, dan orang kafir sehingga muslim, mereka tidak wajib qadha tidak juga fidyah.
Catatan Kaki:
[1] Menurut madzhab Hanafi, disahkan niat puasa bulan Ramadhan setelah terbit fajar sebelum zuhur, dan yang afdhal dilakukan sejak malam



6. Mengqadha Puasa yang Terlewatkan

Mengqadha puasa yang ditinggalkan adalah kewajiban yang longgar, sehingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya menurut kesepakatan ulama. Mengqadha puasa jumlahnya sama dengan puasa yang ditinggalkan, orang yang meninggalkan tiga hari puasa ia wajib mengqadha tiga hari pula. Ia tidak diharuskan bersambung dalam mengqadha’nya, boleh puasa tiga hari dengan terpisah-pisah, akan tetapi bersambung lebih utama, karena lebih menyerupai puasa Ramadhan.

Dan jika sudah masuk Ramadhan berikutnya dan belum mengqadha’ karena udzur, maka ia mengakhirkan qadha’nya setelah melaksanakan Ramadhan tahun itu tanpa ada tambahan fidyah. Tetapi jika penundaan itu tanpa ada udzur ia wajib mengqadha setelah Ramadhan dan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa.
Jika seseorang meninggal dengan berutang puasa, maka disunnahkan bagi walinya untuk berpuasa menggantikannya, sesuai dengan hadits: “Barang siapa yang mati dan ia berkewajiban puasa, maka walinya yang menggantikan puasanya”. HR. Asysyaikhani. Menurut mazhab Syafi’i wali dari mayit itu dipersilakan memilih antara puasa dan fidyah. Sedangkan menurut jumhur ulama, yaitu dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, sesuai dengan hadits: “Barang siapa mati dan ia berutang puasa, maka diganti dengan memberi makan seorang miskin setiap harinya”. HR At Tirmidzi, mauquf Ibnu Umar.

7. Mubahatushshiyam 

Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan melakukan hal-hal berikut ini:
  • Masuk ke air, berendam di dalamnya, mandi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menuangkan air ke atas kepalanya sedang ia berpuasa karena haus dan panas” HR. Ahmad, Malik, Abu Daud dengan sanad shahih. Jika masuk air ke dalam rongga tanpa sengaja, maka puasanya tetap sah, menyerupai orang yang lupa.
  • Mengenakan sipat mata dan meneteskan obat mata, meskipun ada rasa pahit di tenggorokan, sebab mata bukanlah saluran ke dalam rongga. Demikian juga tetes telinga. Sedang yang masuk melalui mulut dan telinga maka itu membatalkan.
  • Berkumur dan mengisap air hidung dengan tidak ditekan, dan jika ada air yang tanpa sengaja masuk rongga tidak membatalkannya, karena serupa dengan orang yang lupa.
  • Mencium istri bagi orang yang mampu menahan diri. Tidak dibedakan antara orang tua atau muda, sebab yang penting adalah kemampuan mengendalikan diri, barang siapa yang biasanya tergerak nafsunya ketika mencium maka makruh baginya. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw mencium istrinya sedang ia berpuasa. (Muttafaq alaih). Dan sesungguhnya Umar ibnul Khaththab RA suatu hari mencium istrinya, kemudian menemui Rasulullah saw dan menyatakan: Hari ini aku melakukan dosa besar, aku mencium istriku sedang aku berpuasa. Rasulullah bertanya: Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur dengan air sedang engkau berpuasa? Umar menjawab: Tidak apa-apa. Sabda Nabi: Lalu mengapa dengan mencium (kenapa bertanya?) HR Ahmad dan Abu Daud.
  • Bekam, yaitu mengambil darah dari kepala, atau dari organ tubuh lainnya. Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan Al Bukhari: melakukan bekam dalam keadaan puasa.  Namun jika bekam membuat yang berpuasa lemah, maka hukumnya makruh.
  • Menggunakan suntikan untuk mengeluarkan kotoran tubuh, karena yang masuk ke dalam tubuh adalah obat bukan makanan, di samping masuknya juga bukan dari saluran yang normal.
  • Diperbolehkan bagi yang berpuasa menghirup sesuatu yang tak terhindarkan seperti keringat, debu jalanan, sebagaimana aroma sedap yang lain. Diperbolehkan pula dalam keadaan darurat untuk mencicipi makanan, kemudian mengeluarkannya sehingga tidak masuk ke dalam rongga.
  • Diperbolehkan pula bagi orang yang berpuasa bangun tidur dalam keadaan junub karena mimpi atau hubungan suami istri. Namun yang utama mandi terlebih dahulu setelah berhubungan sebelum tidur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Ummu Salamah RA Bahwasanya Rasulullah saw pernah bangun pagi dalam keadaan junub kemudian mandi dan berpuasa. Hadits Muttafaq alaih.
  • Diperbolehkan meneruskan makan sehingga terbit fajar, dan ketika sudah terbit fajar dan masih ada makanan di mulut maka harus dikeluarkan. Jika demikian sah puasanya, namun jika dengan sengaja ia telah yang ada di mulutnya maka batal puasanya. Dan yang lebih utama berhenti makan sebelum terbit fajar.

8. Adab dan Sunnah Puasa
  • Sahur. Rasulullah saw bersabda: Bersahurlah, karena sahur itu ada berkahnya. Hadits Muttafaq alaih. Dan sudah dianggap sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Waktu sahur dimulai dari sejak tengah malam sampai terbit fajar, dan disunnahkan mengakhirkannya.
  • Menyegerakan berbuka setelah terbukti Maghrib, disunnahkan berbuka dengan kurma segar atau kurma matang dengan bilangan ganjil. Jika tidak ada maka dengan air putih, kemudian shalat Maghrib, setelah itu dilanjutkan dengan meneruskan makanan yang diinginkan, kecuali jika makanan sudah tersaji maka tidak apa-apa jika makan dahulu baru kemudian shalat.
  • berdoa ketika berbuka dengan doa Rasulullah saw “ Dahaga telah sirna, keringat telah membasah, dan pahala telah didapat Insya Allah” HR Abu Daud dan An Nasa’i, di samping doa makan yang sudah terkenal: Ya Allah berkahilah bagi kami pada rezki yang Kau berikan pada kami, dan jagalah kami dari siksa neraka” HR Ibnu As Sinniy
  • Meninggalkan hal-hal yang akan menghilangkan nilai puasa seperti berdusta, bergunjing, adu domba, berbicara sia-sia dan jorok, serta larangan-larangan Islam lainnya sehingga terbentuk ketaqwaan, inilah tujuan puasa. Rasulullah saw bersabda: Tidaklah puasa itu hanya dengan meninggalkan makan dan minum, tetapi puasa itu dari perkataan sia-sia dan jorok. Dan jika ada yang memakimu maka katakan: Sesungguhnya aku sedang puasa. HR Hakim dll. Dan di kesempatan lain Nabi bersabda: Barang siapa yang tidak bisa meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkan ia tinggalkan makan dan minumnya. HR Al Jamaah, kecuali Muslim
  • Memperbanyak amal shalih terutama tilawah Al Qur’an dan infaq fii sabilillah. Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi jika di bulan Ramadhan, ketika berjumpa dengan Jibril, yang menemuinya setiap malam bulan Ramadhan untuk mengulang bacaan Al Qur’an” HR Asy Syaikhani
  • Bersungguh-sungguh dalam beribadah, memelihara sunnah, terutama shalat tarawih, sabda Rasulullah: Barang siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan dengan iman dan berharap Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah berlalu” Muttafaq alaih
  • Memelihara siwak,[1] sesuai dengan hadits Amir ibn rabi’ah berkata: Aku melihat tak terhitung bersiwaknya sedang ia dalam keadaan berpuasa. HR Al Bukhari
  • Meninggalkan hal-hal mubah yang telah disebutkan di atas kecuali dalam keadaan darurat, terutama bekam, mencicipi makanan, dan menunda mandi junub hingga setelah fajar.

Catatan Kaki:
[1] menurut Syafiiyyah, bersiwak setelah matahari bergeser (Zhuhur) hukumnya makruh karena hadits : Sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari pada misk.

II. Macam–Macam Puasa

A. Puasa Wajib

Puasa wajib itu meliputi:

1. Puasa di bulan Ramadhan,

Sesuai dengan firman Allah:
“Maka barang siapa di antaramu menyaksikan bulan itu, hendaklah ia berpuasa…” (QS. Al-Baqarah:185)

2. Puasa kifarat, yaitu:

a. Kifarat karena pembunuhan tanpa sengaja, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, sebagaimana firman Allah:
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. (QS. An-Nisaa: 92)

b. Kifarat berhubungan badan di bulan Ramadhan dengan sengaja pada saat puasa, yaitu puasa dua bulan berturut-turut sebagaimana yang disebutkan pada hukum berbuka di bulan Ramadhan.

c. Kifarat melanggar sumpah, yaitu puasa tiga hari, ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin. Firman Allah:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. (QS. Al-Maaidah: 89)

d. Kifarat haji badal, bagi mereka yang wajib menyembelih hewan dan tidak mampu, yaitu puasa sepuluh hari, sesuai dengan firman Allah:
Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. siksaan-Nya. (QS. Al-Baqarah: 196)

e. Kifarata zhihar, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, sesuai dengan firman Allah:
“Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. (QS. Al-Mujaadilah: 3-4)

3. Puasa Nadzar

Nadzar yang biasa dikaitkan dengan keadaan tertentu adalah perbuatan makruh, namun jika sudah diucapkan oleh seorang muslim, maka ia wajib memenuhinya, karena firman Allah tentang sifat orang beriman:

“mereka memenuhi nadzarnya…” (QS. Al Insan: 7)
“Hai orang-orang beriman penuhilah janjimu…” (QS. Al-Maaidah: 1)

B. Puasa yang terlarang

Puasa yang dilarang mencakup:

1. Puasa dua hari raya, sesuai dengan hadits Abu Said al Khudzriy, bahwasanya Rasulullah saw melarang puasa dua hari raya, yaitu Idul fitri dan Idul Adha (Muttafaq alaiah). Dan telah terdapat ijma’ ulama tentang haramnya puasa pada dua hari itu.

2. Puasa pada hari tasyriq, yaitu tiga hari setelah hari raya Idul Adha, sesuai dengan hadits:
“Hari tasyriq adalah hari makan dan minum, dan berdzikir kepada Allah” (HR Muslim).
Sebagian Syafiiyyah memperbolehkan puasa pada hari tasyriq ini jika ada sebab tertentu seperti kifarat.

3. Puasa hari Jum’at saja, sesuai dengan hadits Nabi:
“Janganlah kamu puasa hari Jum’at, kecuali dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya” (HR As Syaikhani).
Namun jika bertepatan dengan hari yang biasa berpuasa, atau berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, maka diperbolehkan puasa di hari Jum’at.

4. Puasa hari Sabtu saja, sesuai dengan hadits Nabi:
“Janganlah puasa hari Sabtu kecuali yang telah diwajibkan, jika memang tidak ada sesuatu yang bisa dikonsumsi maka minumlah perasan anggur atau batang kayu” (HR Ahmad dan Ashabussunan dan Hakim).
Sedang jika bertepatan dengan hari yang ia biasa puasa atau puasa sehari sebelum atau sesudahnya maka boleh.

5. Puasa separuh kedua bulan Sya’ban, jika tidak puasa sebelumnya, karena sabda Nabi:
Jika sudah separuh bulan Sya’ban maka janganlah kamu berpuasa” (HR. Ashabussunan).
Para ulama fiqih menyatakan makruh puasa separuh kedua bulan Sya’ban kecuali bagi orang yang terbiasa dengan puasa lalu ia meneruskannya. Lebih tegas larangan itu semakin dekat dengan bulan Ramadhan sehari atau dua hari, sesuai dengan hadits:
“Janganlah kamu mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali orang yang terbiasa puasa sebelumnya” (Muttafaq alaih).
Lebih dilarang lagi ketika sudah masuk hari Syak, yaitu hari tanggal 30 Sya’ban, sabda Nabi:
“Barang siapa yang puasa pada hari syak, maka ia telah mendurhakai  (HR. Ashabussunan dan Al Hakim, hadits shahih dalam syarat Asy Syaikhani).

6. Puasa di hari Arafah bagi orang yang sedang berada di padang Arafah, sesuai dengan hadits Abu Hurairah:
Bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang  puasa Arafah bagi yang sedang berada di Arafah” (HR Al Khamsah selain At Tirmidziy dan dishahihkan oleh Al Hakim).

7. Puasa sunnah seorang wanita tanpa izin suaminya, sesuai dengan hadits Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita pada saat suaminya hadir kecuali dengan seizinnya, selain bulan Ramadhan” (Hadits Muttafaq alaih).

8. Wishal puasa, yaitu seorang berpuasa tidak makan/minum apapun saat berbuka dan sahur, sehingga menyambung dengan hari berikutnya. Sesuai dengan hadits Ibnu Umar RA:
“Bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang wishal. Mereka bertanya: Engkau waishal Ya Rasulullah. Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku tidak sama dengan  kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum (Muttafaq alaih).

9. Puasa sepanjang tahun. Sesuai dengan hadits Ibnu Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Tidak dianggap berpuasa, seseorang yang berpuasa sepanjang tahun” (Muttafaq alaih)

10. Puasanya orang yang sedang haidh atau nifas, hukumnya haram. Puasanya orang sakit, musafir, wanita hamil, menyusui, dan orang tua yang renta jika kondisinya mengkhawatirkan. Hukumnya makruh.

C. Puasa Sunnah

Disunnahkan berpuasa pada hari-hari berikut ini:

1. Puasa enam hari bulan Syawal, sesuai dengan hadits Nabi:
“Barang siapa yang puasa Ramadhan kemudian menyambungnya dengan enam hari bulan Syawal, maka sepertinya ia telah berpuasa satu tahun” (HR. Muslim).
Diutamakan puasanya berturut-turut setelah ied.

2. Puasa sembilan hari pertama bulan Zulhijah, sesuai dengan hadits Hafshah:
Ada empat hal yang tidak pernah Rasulullah tinggalkan, yaitu: puasa asyura’, sepuluh hari pertama bulan Zulhijah, tiga hari setiap bulan, dan dua rakaat sebelum pagi hari” (HR Ahmad dan An Nasa’iy).

3. Puasa bulan Muharram, sesuai dengan hadits Abu Hurairah yang berkata:
Rasulullah ditanya: Shalat apakah yang paling utama setelah shalat wajib. Nabi menjawab: Shalat di tengah malam. Ada lagi yang bertanya: Lalu puasa apakah yang lebih utama setelah Ramadhan? Nabi menjawab: Bulan Allah yang kalian sebut sebagai bulan Muharram (HR. Ahmad dan Muslim dan Abu Daud).
Dan sangat ditekankan puasa Asyura’ itu yaitu pada hari ke sepuluh bulan Muharram, sesuai dengan hadits:
“Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura’, tidak diwajibkan atas kalian itu berpuasa, tapi ana berpuasa, maka barang siapa yang mau berpuasa silakan puasa dan barang siapa yang tidak ingin puasa silakan tidak puasa” (Muttafaq alaih).
Disunnahkan bagi setiap muslim berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya, atau salah satunya agar berbeda dengan orang Yahudi. Dan juga karena sabda Nabi:
“Jika aku masih ada sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa hari ke sembilan, bersama dengan hari ke sepuluh” (HR. Muslim)

4. Puasa hari Senin dan Kamis setiap pekan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ditunjukkan amalku pada hari senin dan kami, dan aku ingin ketika ditunjukkan itu dalam keadaan berpuasa.” (HR At Tirmidziy dan berkata: Hadits hasan)

5. Puasa tiga hari setiap bulan. Sesuai dengan hadits Abdullah ibn Amr ibn Al Ash, yang berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa tiga hari setiap bulan, adalah puasa sepanjang tahun” (Muttafaq alaih).
Dalam hadits Abu Dzarr RA membatasi tiga hari itu adalah ayyamul bidh, yaitu hari ke tiga belas, empat belas, dan lima belas.

7. Puasa sehari dan berbuka sehari, sesuai dengan pesan Nabi kepada Ibnu Umar:
“Puasalah sehari dan berbukalah sehari, itulah puasa Daud, dan itulah puasa yang paling utama” (Muttafaq alaih)

8. Puasa pada Asyhurul hurum (bulan-bulan haram), seperti yang Rasulullah SAW sampaikan kepada orang Bahilah:
“…puasalah pada bulan haram dan tinggalkanlah, puasalah pada bulan haram dan tinggalkan, berpuasalah pada bulan haram dan tinggalkan” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, An Nasa’iy, dan Al Baihaqi dengan sanad jayyid (baik)).
Bulan haram itu adalah: Dzul qa’dah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab.

9. Banyak berpuasa pada bulan Sya’ban, sesuai dengan hadits Aisyah RA:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa sebulan selain bulan Ramadhan, dan aku tidak melihatnya berpuasa dalam satu bulan sebanyak di bulan Sya’ban (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Orang yang berpuasa sunnah diperbolehkan baginya berbuka di siang hari, dan disunnahkan mengqadha hari itu. Seperti dalam hadits:
“Orang yang berpuasa sunnah itu adalah pemimpin dirinya sendiri, jika ia mau ia berpuasa, jika berkehendak ia boleh berbuka.” (HR Al Hakim, dan berkata hadits ini sanadnya shahih).
Demikian juga hadits Abu Said Al Khudzriy, yang berkata:
“Aku membuat makanan untuk Rasulullah SAW, lalu datanglah ia bersama dengan para sahabat. Ketika makanan sudah dihidangkan, ada salah seorang yang berkata: “saya sedang puasa.” Lalu Nabi bersabda: “Saudaramu telah mengundangmu, dan bersusah payah.” Lalu bersabda: “Berbukalah dan puasalah di lain hari jika mau” (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan).


III. Hukum-Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Ramadhan


A. Keutamaan Bulan Ramdhan, dan Ancaman Bagi Yang Tidak Berpuasa Ramadhan

1. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap Allah, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Ahmad dan ashabussunan)

2. Sabda lain:
“Ketika datang bulan Ramadhan dibukalah pintu surga dan ditutup pintu neraka, serta setan diikat. Ada yang menyeru: “Wahai pencari kebaikan bersiap siaplah, wahai pencari keburukan menyingkirlah.” (HR Al Khamsah kecuali Abu Daud)

3. Sabda lain:
Allah berfirman: Seluruh amal bani Adam itu baginya kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai –penangkal – maka jika pada hari kamu sedang berpuasa janganlah berkata jorok dan berteriak-teriak, jika ada yang menyumpahimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa”. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dari misk. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan: gembira ketika berbuka dan gembira berjumpa dengan Allah SWT” (HR. Al Khamsah).

4. Sabda lain:
Barang siapa yang berbuka satu hari di bulan Ramadhan, tanpa ada rukhshah –kelonggaran- yang Allah berikan, tidak dapat digantikan dengan puasa satu tahun.” (HR Abu Daud, Ibn Majah dan At Tirmidziy).

B. Penetapan Masuk Bulan Ramadhan

Penetapan masuknya bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan salah satu cara ini:

1. Melihat hilal (bulan sabit baru) hari ke dua puluh sembilan bulan Sya’ban, jika langit dalam keadaan cerah, tidak ada penghalang. Seperti dalam hadits:
“Puasalah karena melihat hilal, dan berbukalah jika telah melihat hilal…” (Muttafaq alaih)
Melihat hilal Ramadhan cukup dilakukan oleh seorang muslim yang adil, seperti dalam hadits Ibnu Umar RA berkata:
“Orang-orang sedang mengamati hilal, lalu aku sampaikan pada Nabi bahwa aku melihatnya, kemudian ia berpuasa dan menyuruh orang-orang berpuasa. (HR. Abu Daud, dan Al hakim menshahihkannya)

2. Jika tidak berhasil melihat hilal, maka wajib menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, seperti dalam hadits
…jika mendukung di atasmu, maka sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (Muttafaq alaih).
Sedangkan untuk menetapkan bulan Syawal harus dengan kesaksian dua orang yang adil, tidak cukup dengan seorang saksi meskipun adil, karena Syawal itu keluar dari ibadah maka wajib dilakukan dengan penuh hati-hati. Jika tidak berhasil melihat hilal maka wajib menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Kaum muslimin diwajibkan mengamati hilal sejak terbenam matahari hari ke dua puluh sembilan Sya’ban dan Ramadhan. Hal ini termasuk dalam fardhu kifayah.

Ikhtilaful mathali’ (perbedaan waktu terbit hilal)
Ketika sudah ditetapkan rukyat (melihat bulan baru) di suatu wilayah, maka penetapan itu mewajibkan seluruh umat Islam untuk berpuasa, menurut kebanyakan ulama, karena menurut mereka perbedaan mathla’ tidak menjadi pertimbangan. Inilah pendapat yang shahih menurut mazhab Hanafi. Dan mazhab Syafi’i memilih untuk setiap wilayah itu memiliki mathla’ ru’yat sendiri, tidak terikat oleh hasil ru’yat orang lain, kecuali ada persamaan mathla’ antara keduanya.

Penggunaan Hisab dan Teropong  (perhitungan)
Terjadi ittifaq (kesepakatan) ulama tentang dibolehkannya penggunaan teropong untuk melihat hilal, sebab penetapannya tetap saja mengacu kepada rukyat dengan mata, meskipun menggunakan alat modern. Perbedaan pendapat terjadi dalam penetapan hilal dengan metode hisab (perhitungan) tanpa rukyat.
Mayoritas ulama modern berpendapat bahwa penetapan hilal menggunakan hisab itu tidak diperbolehkan. Karena masalah ibadah itu harus mengacu kepada nash (teks) syar’i. Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa puasa dan ifthar berpatokan pada  nujum (bintang) itu tidak sah. Karena ilmu nujum itu menduga-duga dan mengira-ngira.

Sebagian ulama modern lain menyatakan: Bahwa yang dimaksudkan dengan rukyat itu adalah meyakinkan datangnya hilal, dan perhitungan modern telah sampai pada kesimpulan yang meyakinkan melebihi rukyat. Sedangkan berpedoman pada penyempurnaan bilangan Sya’ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari adalah cara kedua untuk memperoleh keyakinan bulan baru. Dan di zaman Nabi tidak tersedia kecuali dua cara ini, maka Rasulullah menunjukkan keduanya. Maka jika ada cara lain yang dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan tentang datangnya awal bulan maka boleh saja digunakan. Rasulullah saw telah mengingatkan  tentang alasan penggunaan rukyat, yaitu karena kebanyakan kaum muslimin saat itu tidak mengenal cara perhitungan. Hal ini menjadi alasan, jika mereka sudah pandai cara berhitung memungkinkannya untuk berpegang pada perhitungan. Sabda Nabi:
“Kami adalah umat yang umi tidak pandai menulis dan berhitung, sebulan itu segini, dan segini, maksudnya dua puluh sembilan atau tiga puluh.” (HR. Al Bukhari Muslim, Abu Daud dan An Nasa’iy).
Dan seperti yang diketahui bahwa perhitungan sekarang ini tidak seperti perhitungan masa lalu yang lebih didominasi dugaan dan perkiraan.

C. Shalat Tarawih

Dari Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah saw shalat tarawih di masjid, orang-orang mengikuti shalat Nabi itu, kemudian shalat di hari kedua semakin banyak orang yang ikut, sehingga ketika mereka berkumpul di malam ketiga atau ke empat Rasulullah tidak menemui mereka. Keesokan harinya Nabi bersabda:
“Aku melihat apa yang kalian lakukan malam tadi. Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian kecuali khawatir akan diwajibkan atas kalian” (HR. Asy Syaikhani).

Kaum muslimin dahulu shalat tarawih –qiyamu Ramadhan- dengan sendiri-sendiri di masjid atau di rumah. Sebagaimana disebutkan bahwa Rasulullah saw mengumpulkan mereka shalat berjamaah menjadi imamnya, sebagaimana dalam hadits yang lalu. Dalam hadits lain bahwa Rasulullah qiyamullail bersama dengan para sahabatnya pada sepuluh hari terakhir dan pada malam-malam ganjil. Hal ini berlangsung sampai pada tahun empat belas hijriyah.
Dari Abdurrahman ibn  Al Qariy berkata: aku keluar bersama dengan Umar ibn Al Khaththab RA ke masjid di bulan Ramadhan. Ketika itu kaum muslimin terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok jamaah. Ada seseorang yang shalat sendiri lalu diikuti oleh tiga sampai sepuluh orang. Lalu Umar berkata: Sesungguhnya aku berpendapat kalau mereka itu lebih baik dikumpulkan dengan seorang qari/imam. Kemudian ia bertekad untuk mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada malam berikutnya aku kembali keluar bersamanya dan umat Islam sedang shalat bersama dengan imamnya itu. Maka Umar berkomentar: Sebaik-baik bid’ah ya inilah, sedang yang tidur sekarang lebih baik dari pada yang bangun, maksudnya akhir malam, saat itu orang-orang qiyamullail di awal malam” (HR Al Bukhari)
Umar bin Khaththab RA menyebut shalat jamaah tarawih dengan BID’AH dengan ungkapan yang tajawuz (berlebihan). Ia tidak bermaksud bid’ah yang munkar yang dilarang oleh Rasulullah SAW karena bid’ah yang terlarang adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Kita telah mendapatkan bahwa Rasulullah saw mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih menjadi imam mereka. Dan kemudian Umar datang menata jamaah kaum muslimin itu dalam shalat tarawihnya  dengan satu imam. Amal ini berada di bawah payung sabda Nabi:
“Barang siapa yang mencontohkan kebaikan, maka baginya pahalanya dan pahala para pengikutnya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim),
karena sunnah hasanah adalah amalan yang memiliki dasar dalam syariah.

D. Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam paling mulia dalam satu tahun. Firman Allah:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al Qadr: 1-5)
Rasulullah saw mendorong qiyamullail pada malam itu, dengan sabdanya:
Barang siapa yang qiyamullail pada malam lailatul qadar dengan iman dan mengharap ampunan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih).
Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan malam lailatul qadar ini di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal ini didasarkan pada ungkapan Rasulullah SAW:
“Carilah lailatul qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR Al Bukhari).
Ada yang berpendapat bahwa lailatul qadar itu tanggal dua puluh satu, ada yang berpendapat malam dua puluh tiga, ada pula yang berpendapat malam dua puluh lima. Namun mayoritas mengatakannya pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadhan.
Dari itulah Rasulullah SAW ketika masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ia hidupkan malam penuh, ia bangunkan keluarganya, dan ia kuatkan ikat pinggangnya. (Muttafaq alaih)
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:
Ketika aku menemukan lailatul qadar apa yang aku katakan pada malam itu? Jawab Nabi: ucapkan: “Ya Allah sesungguhnya Engkau Yang Maha Pemaaf, senang memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR At Tirmidziy dan mengatakan hadits hasan).

E. I’tikaf

I’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat ibadah, sebaiknya dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, disertai dengan niat, suci dari junub, haidh dan nifas.
Hukumnya sunnah yang biasa dilakukan Rasulullah. Dari Aisyah RA:
Bahwasanya Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai wafatnya, kemudian para istrinya beri’tikaf setelah wafatnya.” (Muttafaq alaih)
Disunnahkan memulai i’tikaf sejak usai shalat subuh, seperti dalam hadits Aisyah RA berkata:
Adalah Rasulullah SAW ketika hendak beri’tikaf, ia shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq alaih)
Disunnahkan untuk tidak keluar dari masjid selama dalam i’tikaf kecuali karena hajat mendesak. Ia tidak membesuk orang sakit, mengantarkan jenazah, berhubungan dengan istri.
I’tikaf adalah kesempatan untuk mengosongkan diri dari kegundahan dunia dan kesibukannya, dan hanya fokus untuk ibadah, tilawah Al Qur’an, dzikrullah, banyak berdoa, istighfar, tasbih, bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Di antara adab selama i’tikaf adalah tidak berbicara kecuali yang baik, menjauhi segala sesuatu yang mengganggunya dari taat kepada Allah, memilih masjid jami’ (menyelenggarakan shalat Jum’at) sedangkan wanita diutamakan i’tikafnya di masjid rumahnya.




Sumber:  https://www.dakwatuna.com/