Sunday, May 25, 2014

Cinta Karena Allah

Cinta adalah luapan perasaan suka, dengan segala ekspresinya, melalui ceria senyum wajahnya, dengan lembut dan baik lisannya, dengan kasih pelukan, dengan semangat sikap, dengan hati riang, dan selalu khusnudzan dalam pikirannya.

Cinta kepada sesama dalam Islam adalah perasaan yang memancar karena adanya ketaqwaan dan bermuara kepada pengendalian yang kokoh dengan taliNya (i’tisham bi hablillah).

Maka cinta seperti itu hanya akan tumbuh dengan subur dalam ikatan mulia yang bernama ukhuwah (persaudaraan) yang didasarkan sendi-sendi tersebut. Ikatan tersebut merupakan tujuan suci, cahaya rabbaniyah sekaligus merupakan nikmat Ilahiyah. Oleh sebab itu Allah hanya akan menuangkan cahaya dan nikmatnya pada hati dari setiap hambaNya yang mukhlis (ikhlas), mensucikan dan melindungi diri-mereka dengan akhlaq yang terpuji.

Untuk mengetahui segala-galanya tentang cinta, manusia perlu merujuk kepada pencipta cinta itu sendiri yakni Allah SWT. Tuhan menciptakan cinta, maka Dialah yang Maha Mengetahui sifat dan rahasianya. Cinta itu indah karena diciptakan oleh Allah Yang Maha Indah.   Rasulullah SAW bersabda,” Allah itu indah dan cintakan keindahan” Bukan saja indah, cinta yang diciptakan Allah itu bertujuan untuk menyelamatkan, menenteramkan dan membahagiakan manusia

Allah berfirman;

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29).

Ayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mempunyai rasa cinta dengan para sahabat, di samping sifat kerasnya terhadap orang kafir. Dan ke dua sifat tersebut ada karena Allah semata, cinta dan keras/tegas karena Allah SWT.

Allah berfirman;

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٩﴾

“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9).

Perasaan bersaudara secara tulus inilah yang akan melahirkan pribadi mukmin yang mempunyai rasa kasih sayang dengan se jujur-jujurnya dan sebenar-benarnya serta perasaan ikhlas sejati. Yang akan selalu mengambil sikap positif dalam hal bercinta dan saling mengutamakan, kasih sayang dan saling memaafkan, serta dengan membantu dan saling melengkapi. Juga menghindari hal-hal negatif seperti menjauhkan diri dari segala yang menyebabkan mudarat (bahaya) dalam diri mereka, dalam harta mereka, dan dalam harga diri mereka.

Anas RA meriwayatkan dari Nabi saw. Beliau bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Ada tiga perkara yang barangsiapa berada di dalamnya akan mendapatkan manisnya keimanan: Agar Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Agar ia mencintai seseorang atau membencinya karena Allah. Dan agar benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke neraka.” (Muttafaq Alaihi).

Oleh karena itu ukhuwah fillah merupakan sifat yang lazim dari konsekuensi keimanan, dan merupakan perangai yang cocok sebagai teman bagi ketaqwaan. (Konklusi nya) tidak ada persaudaraan sejati tanpa adanya iman, dan tidak ada iman tanpa adanya persaudaraan.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” QS Al Hujurat 10)

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw. Beliau bersabda;

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dilindungi Allah di hari yang tiada perlindungan selain perlindungan Allah: Pemimpin adil, pemuda yang tumbuh besar dalam ibadah kepada Allah, seseorang yang hatinya terkait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah, seseorang yang dipanggil seorang wanita (untuk berzina) yang mempunyai kedudukan dan kecantikan, ia mengatakan aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah lalu menyembunyikan sedekahnya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanannya, dan seseorang yang mengingat Allah di kala sepi lalu berlinang air matanya.” (Muttafaq Alaihi).

Jika kita mendapati suatu persaudaraan yang di belakangnya tidak didukung oleh keimanan maka kita akan dapat mengetahui bahwa persaudaraan semacam itu tidak akan membawa kemaslahatan dan manfaat yang saling timbal balik. Begitu juga bila kita dapati keimanan yang tidak didukung oleh persaudaraan maka bisa kita simpulkan betapa rendah kadar keimanan itu.

Abu Hurairah RA meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda,

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencinta. Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada sesuatu yang jika kalian lakukan akan saling mencinta; sebarkan salam di antara kalian.” (Muslim).

Abu Hurairah RA meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda;

أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ

“Bahwa seseorang sedang mengunjungi saudaranya di sebuah desa dan Allah mengutus seorang malaikat untuk memantau jalannya. Sesampainya di tempat itu ia berkata, ‘Hendak ke mana kamu?’ Ia menjawab, ‘Aku hendak menemui seorang saudara di negeri ini.’ Ia bertanya, ‘Apakah ada kenikmatan yang kamu inginkan darinya?’ Ia menjawab, ‘Tidak, hanya karena aku mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.’ Ia (malaikat) berkata, ‘Ketahuilah bahwa aku ini utusan Allah, (untuk memberitakan kepadamu) bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.”

Al-Barra’ bin ‘Azib RA meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda tentang orang-orang Anshar,

لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ

“Tidak ada yang mencintai mereka selain orang mukmin dan tidak ada yang membenci mereka selain orang munafiq. Siapa mencintai mereka Allah akan mencintainya dan siapa membencinya Allah akan murka kepadanya.” (Muttafaq Alaih).

Muadz meriwayatkan, aku mendengar Rasulullah saw bersabda;

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمْ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ

“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Bagi orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku mimbar-mimbar dari cahaya dari cahaya yang membuat iri para nabi dan syuhada.” (Tirmidzi, hadits hasan).

Dr Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Al Mujtama’ Al Islami mengatakan bahwa ukhuwah Islamiyah yang bercita-cita luhur itu mampu melahirkan al-ikhaa’ul Islami. Dan tujuan terpenting dari padanya adalah persamaan hak (al musaawah), saling membantu (at-ta’aawun), dan cinta kasih karena Allah (al hubb fillah)

Abu Idris Al-Khaulani RA bercerita;

دَخَلْتُ مَسْجِدَ دِمَشْقَ فَإِذَا فَتًى شَابٌّ بَرَّاقُ الثَّنَايَا وَإِذَا النَّاسُ مَعَهُ إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ أَسْنَدُوا إِلَيْهِ وَصَدَرُوا عَنْ قَوْلِهِ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقِيلَ هَذَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ هَجَّرْتُ فَوَجَدْتُهُ قَدْ سَبَقَنِي بِالتَّهْجِيرِ وَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي قَالَ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى قَضَى صَلَاتَهُ ثُمَّ جِئْتُهُ مِنْ قِبَلِ وَجْهِهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ قُلْتُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ لِلَّهِ فَقَالَ أَللَّهِ فَقُلْتُ أَللَّهِ فَقَالَ أَللَّهِ فَقُلْتُ أَللَّهِ فَقَالَ أَللَّهِ فَقُلْتُ أَللَّهِ قَالَ فَأَخَذَ بِحُبْوَةِ رِدَائِي فَجَبَذَنِي إِلَيْهِ وَقَالَ أَبْشِرْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ

“Aku pernah memasuki masjid Damaskus, ternyata di sana terdapat seorang pemuda dengan gigi yang putih dan orang-orang bersamanya. Jika mereka memperselisihkan sesuatu mereka mengandalkannya dan mengembalikannya kepada pendapatnya. Aku pun bertanya tentangnya dan dijawabnya bahwa dia Muadz bin Jabal. Esok harinya aku berangkat (ke masjid) pagi-pagi, ternyata ia telah mendahuluiku. Aku mendapatinya melakukan shalat. Ia mengatakan, aku pun menunggunya sampai ia menyelesaikan shalatnya. Setelah itu aku menemuinya dari depannya dan aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan, ‘Demi Allah, aku mencintaimu karena Allah’ Ia mengatakan, ‘Allah.’ Aku katakan, ‘Allah.’ Ia katakan, ‘Allah?’ Aku katakan, ‘Allah,’ Lalu ia memegang dada jubahku dan menarikku kepadanya dan berkata, ‘Berbahagialah karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Alah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencinta karena-Ku pasti mendapatkan kecintaan-Ku, yang bergaul karena-Ku, yang saling mengunjungi karena-Ku, dan yang saling berkorban karena-Ku.” (Hadits shahih riwayat Malik di Al-Muwattha’ dengan sanad shahih).

Abu Karimah Al-Miqdad bin Ma’di Karib RA meriwayatkan Nabi saw Beliau bersabda,

إِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ

“Jika seseorang mencintai saudaranya hendaknya ia memberitahukan kepadanya bahwa dia mencintainya.”(Tirmidzi dan Abu Dawud, hadits hasan shahih).

Muadz RA. Meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memegang tangannya seraya bersabda,

يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Hai Muadz, demi Allah, aku mencintaimu karena Allah. Lalu aku berwasiat kepadamu, ya Muadz, jangan sampai –setiap kali usai shalat- kamu tidak mengucapkan, ‘Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad shahih).

Anas RA meriwayatkan bahwa,

أَنَّ رَجُلًا كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمْتَهُ قَالَ لَا قَالَ أَعْلِمْهُ قَالَ فَلَحِقَهُ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّكَ فِي اللَّهِ فَقَالَ أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِي لَهُ

“Seseorang berada di sisi Nabi SAW. Kemudian seseorang lewat dan berkata, ‘Ya Rasulullah, aku mencintai orang ini.’ Nabi bersabda kepadanya, ‘Apakah kamu sudah memberitahukan kepadanya?’ (Anas) berkata, lalu ia menyusulnya dan mengatakan, ‘Aku mencintaimu karena Allah.’ Orang itu menjawab, ‘Mudah-mudahan Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud dengan sanad shahih).

Berikut ini ada beberapa cara praktis sebagai panduan untuk tercapainya kekokohan ruh cinta karena Allah, yaitu:

1. Memberi tahu kepada al akh (saudara) yang dicintai. Rasulullah bersabda: “Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberi tahu kepadanya “ (HR Abu Daud dan Turmudzi)

2. Memanjatkan doa untuknya dari kejauhan ketika mereka saling berpisah. Diriwayatkan dari Umar Bin Khathab RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku minta izin (pamit) kepada Rasulullah untuk melaksanakan umrah”. Kemudian Rasulullah mengizinkan dan berkata ” Jangan lupa doa kan kami ” Lalu beliau mengatakan suatu kalimat yang menggembirakan ku bahwa aku mempunyai kebahagiaan dengan kalimat tersebut di dunia. Dalam suatu riwayat beliau berkata: “Kami mengiringi do’a wahai saudaraku”


3. Bila berjumpa dengan al akh lain maka tunjukkanlah senyum kegembiraan dan muka manis. Rasulullah bersabda “Janganlah engkau meremehkan kebaikan apa saja (yang datangnya dari saudaramu). Dan jika engkau berjumpa saudaramu maka berikanlah dia senyum kegembiraan” (HR Muslim)

4. Berjabat tangan bila bertemu. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya bila bertemu dengan saudara-saudaranya agar cepat-cepatlah berjabat tangan. Hal di atas berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Barra, Bersabda Rasulullah SAW: “Tidak ada dua orang mukmin yang berjumpa lalu berjabatan tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah”.

5. Menyempatkan diri untuk mengunjungi saudaranya. Dalam kitabnya Al Muwathta, Imam Malik meriwayatkan: Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa, “Allah berfirman: Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, dimana keduanya saling berkunjung karena Aku dan saling memberi karena Aku”.

6. Menyampaikan ucapan selamat yang berkenaan dengan sukses yang dicapai saudaranya. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik Ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengucapkan selamat kepada saudaranya ketika saudaranya mendapat kebahagiaan niscaya Allah menggembirakannya pada hari kiamat”. (HR Thabrani dalam Ma’jamush Shaghir)
Contoh yang pernah diajarkan oleh Rasul adalah:
a. Berkenaan dengan kelahiran anak
b. Ketika datang dari medan jihad
c. Apabila kembali dari menunaikan haji
d. Bila ada yang menikah
e. Saat Iedul fitri



7. Memberikan hadiah yang bersifat insidental. Iman Dailami meriwayatkan dari Anas dan Marfu’ bahwa Rasulullah SAW bersabda “Hendaklah kalian saling memberikan hadiah karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati”.

8. Menaruh perhatian terhadap keperluan saudaranya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang meringankan beban penderitaan seorang mukmin di dunia pasti Allah akan meringankan beban penderitaannya di akhirat kelak. Siapa yang memudahkan orang yang dalam keadaan susah pasti Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim pasti Allah akan menutupi (aib nya) di dunia dan akhirat. Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR Muslim)

9. Menegakkan hak-hak ukhuwah saudaranya. Dalam rangka mempererat ukhuwah maka adalah wajib bagi al akh untuk menunaikan hak-hak yang dimiliki al akh lain, seperti menjenguk saudaranya yang lain bila sakit, mendo’akan bila bersin, dan menolong bila teraniaya (dizhalimi).

Allah SWT tidak mengaruniakan rasa cinta semata-mata, tetapi Allah juga mengaruniakan ‘hukum’ cinta yang mesti dipatuhi demi mencapai maksud penciptaannya. Dengan ‘hukum’ itu, Allah mengatur agar cinta senantiasa selamat dan menyelamatkan. Begitulah cinta dalam Islam, ia mempunyai kaidah dan peraturan demi menjaga kemurnian dan kesuciannya.

Tentang Cinta itu sendiri, Rasulullah dalam sabdanya menegaskan bahwa tidak beriman seseorang sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya. Al Ghazali berkata: “Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalaupun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta dan bila ada maqam-maqam sesudah cinta, maqam itu hanyalah akibat dari cinta saja.”





Saturday, May 24, 2014

Kaidah ke-7: Bicaralah dengan manusia sesuai kemampuan akal mereka

Da’wah harus dibangun di atas dasar kebijaksanaan dan nasehat yang baik, kebijaksanaan yang dimaksud sesuai dengan forum dakwahnya dan tingkatan dan level audiennya. Da’i yang bijaksana tidak akan mengatakan setiap yang telah diketahuinya kepada setiap orang yang  telah mengetahuinya. Ia selalu berinteraksi  dengan akalnya sesuai kemampuan audiennya bukan kemapuan dirinya sendiri, tidak akan membebani mereka di luar kemampuannya. Oleh karena itu Ibnu Abbas RA.  Memahami ayat : ولكن كونوا ربانيين artinya (كونوا حلماء فقهاء ) jadilah kalian orang-orang lembut dan pandai . Imam Bukhari berkata :

: ( ويقال : الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره) ([1]).
والبدء بصغار العلم مرجعه مراعاة العقول حتى لا تنفر من الدعوة.

 Orang-orang Rabbani adalah mereka yang mentarbiyah manusia dari pengetahuan yang kecil sebelum yang besar. Mulai dari pengetahuan yang kecil adalah mengembalikannya kepada hal yang dapat menjaga akal pikiran agar tidak lari dari da’wah.
Ibnu Hajar berkata :
قال ابن حجر: (والمراد بصغار العلم ما وضح من مسائله، وبكباره ما دقّ منها)

“Yang dimaksud dengan pengetahuan yang kecil adalah permasalahan mendasar, sedangkan pengetahuan besar adalah permasalahan detil”. Hal ini dikuatkan dengan beberapa hadits berikut :

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ibnu Zubair berkata kepada Al-Aswad : “Aisyah banyak memberi isyarat kepadamu, apa yang telah disampaikan kepadamu tentang ka’bah?. Ia  berkata :  Aisyah berkata kepadaku : “bersabda nabi SAW :

: قال النبيr: ياعائشة ، لولا قومك حديث عهدهم ـ قال ابن الزبير : بكفر ـ لنقضت الكعبة فجعلت لها بابين باب يدخل الناس وباب يخرجون)

Hai Aisyah, kalau bukan karena kaummu baru saja beriman, sungguh aku akan membongkar ka'bah, aku jadikan dua buah pintu, pintu masuk dan pintu keluar.

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata : “
ويستفاد منه ترك المصلحة لأمن الوقوع في المفسدة

 ؛Pelajaran dari hadits tersebut adalah meninggalkan maslahat  demi mengamankan situasi dalam kerusakan”.

 Ali bin abi Thalib berkata :

: حدّثوا الناس بما يعرفون أتحبون أن يُكَذَّب الله ورسوله
 “Bicaralah kepada manusia apa tentang apa yang mereka ketahui, apakah engkau ingin Allah dan Rasulnya didustakan?”


Dikeluarkan oleh imam Bukhari bahwasanya Nabi bersdabda
وأخرج البخاري ( إن النبي rقال : يا معاذ بن جبل قال : لبيك يا رسول الله وسعديك، قال : يا معاذ. قال : لبيك يا رسول الله وسعديك ( ثلاثاً)

: “Hai Muadz bin Jabal”, labbaika wa sa’daikan Rasulallah. Hai Muadz bin Jabal”, labbaika wa sa’daikan Rasulallah.( 3X)

Beliau bersabda :
قال : ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله من قلبه إلا حرّمه الله على النار

 Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah dari lubuk hatinya melainkan Allah haramkan dirinya dari api neraka.

Lalu Muadz bertanya :
قال يا رسول الله: أفلا أخبر به الناس فيستبشرون؟

: Ya Rasulallah, apa boleh saya sampaikan hal ini kepada manusia agar mereka gembira dengan berita ini?

Rasul bersabda :
قال إذاً يتكلوا
“Tidak boleh kalau khawatir mereka menganggap remeh”.
وأخبر بها معاذ عند موته تأثما
Tetapi Muadz tetap menyampaikannya menjelang wafatnya, karena takut berdosa” (kalau tidak disampaikan hadits  itu akan terputus).

Karenanya hadits tersebut bila didengar begitu saja oleh manusia akan mengakibatkan pemahaman yang salah, yaitu mengabaikan amal dan cukup hanya mengikrarkan saja

Terkait dengan pokok permasalahan ini, manusia terbagi menjadi beberapa golongan :

Golongan pertama : golongan awam, bukan pelajar, berinteraksi dengan mereka dan mendakwahkan mereka adalah sasaran yang sulit. Kondisi mereka seperti kondisi orang yang baru mulai belajar membaca dan menulis. Sesuatu yang sulit dan mengikat dapat memalingkan mereka dari dakwah, mereka tidak perlu diberikan permasalahan yang sulit dan pembahasan yang detil, argumentasi yang kaku, dan aturan yang rumit. Golongan seperti ini memerlukan kekhususan dalam seni berdakwah dan menyampaikan materi kepada mereka. Pada umumnya mereka bersandar pada hal-hal yang empiris lebih dominan  ketimbang pada hal-hal yang abstrak. Kebutuhan mereka yang khas dan kondisi kehidupan mereka yang yang menjadi sarana paling dekat ke hati mereka. Perumpamaan yang diambil dari lingkungannya yang khas adalah perumpamaan yang mudah dipahami. Dan mereka mudah disntuh perasaannya ketimbang akalnya. Hal-hal yang menyenangkan dan yang menakutkan (الترغيب والترهيب) lebih membekas bagi diri mereka, dan metode naratif lebih menarik perhatian mereka dalam menerima materi kisah salafussaleh, peristiwa-peristiwa dalam sirah ketimbang metode analisis.

Golongan kedua : Kalangan pelajar alumni perguruan tinggi, atau siapa saja yang setara level progres pengetahuannya, mereka mengkaji analisa, kongklusi, substansi dan argumentasi yang melemahkan. Ketika menyemaikan materi di hadapan mereka perlu mempertimbangkan tingkat pengetahuan mereka. Siapa yang biasa berbicara di kalangan awam, terkadang tidak mampu berbicara di kalangan khusus (terpelajar). Apabila yang memberi materi kepada mereka seseorang yang tingkat pengetahuannya lebih rendah, maka hal itu akan menimbulkan fitnah terhadap mereka.

Golongan ketiga : Kalangan spesialis keilmuan. Setiap spesialisasi memiliki mushtalahat (konsep dasar) dan sarana-sarananya, maka barang siapa yang mengenali nuansa keilmuan yang khas tersebut, maka ia akan mampu memberikan arahan kepadanya , dan membuat mereka melihat bukti-buktinya dari apa yang ada pada diri mereka sendiri. Maka seorang da’i yang berada di antara para pengacara, membutuhkan pengetahuan tentang perangkat hukum dan perundang-undangan, baik yang positif maupun yang negatifnya, yang berhubungan dengan para dokter, perlu mengetahui aspek-aspek yang dapat membungkam mereka tentang keagungan Allah dan kuasanya dalam menciptakan manusia dan fungsi-fungsi anggota tubuhnya. Akan tetapi jika Da’i berhadapan dengan spesialis yang sarat dengan penguasaan ilmu syariah, maka kemungkinan mereka menolak sangat besar, karena itu Ia harus membekali dirinya dengan wawasan (tsaqafah) dan meningkatkan kualitas pengetahuannya. Oleh karena itu seorang da’i yang ditugaskan berdakwah kepada kalangan spesialis tertentu, maka Ia patut mempelajari dahulu hal-hal yang terkait dengan spesialisasinya, dan menambah aspek pengetahuan yang behubungan dangan hal tersebut.




([1])       صحيح البخاري متن فتح الباري 1/160.

Kaidah ke-6: Da'i adalah cermin bagi dakwahnya dan contoh teladan

Seorang da’i tidak akan terpisah dari da’wahnya, korelasi antara da’i dan da’wahnya selalu melekat dalam pikiran ummat. Da’i sendiri adalah bukti bagi da’wahnya, bukti itulah yang dapat mempengaruhi orang untuk menerima dakwah, bahkan menyebabkan mereka menolak dan menentangnya. Sedangkan orang-orang yang berinteraksi dengan nilai-nilai prinsip keislaman secara langsung (praktis) sangatlah sedikit di setiap zaman dan tempat, tetapi kebanyakan orang hanya berinteraksi dengan prinsip yang hanya menjadi slogan semata. Semakin besar nilai sebuah prinsip maka semakin kuat komitmen seorang da’i kepadanya. Untuk sampai kepada komitmen yang kuat lebih sulit, dan penderitaan dalam menunaikan kewajiban dan memikul beban, hal ini meyebabkan kesungguhan mencapai tingkat komitmen tersebut menjadi satu kontinyuitas yang tak boleh berhenti (futur) dan keberlangsungan yang tak boleh terputus.

Ketika sang da’i jauh dari komitmen kewajiban keislamannya, maka hal itu menjadi bencana yang akan memalingkan banyak orang karena akhlaknya dari agama Allah, dan membegal orang di tengah jalan, maka pantaslah kalau da’i seperti itu disebut pembegal (قاطع الطريق ), bahkan lebih buruk dari itu. Oleh karena itu setiap da’i hendaknya selalu berdoa :

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ(85)                  َ                
Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim (QS. Yunus : 85)

Imam Ar-Razy menafsirkan ayat ini : Ya Tuhan kami, janganlah engkau berikan peluang kepada mereka untuk menggiring kami dengan zalim dan paksaan, agar kami berpaling  dari agama yang haq yang telah kami terima (dengan baik)”. Demikianlah ornag-orang kafir ketika berkuasa atas umat Islam, maka kekuasaan mereka seolah-olah berada di atas kebenaran dan umat Islam di atas kebatilan. Maka kekuasaan mereka terhadap umat Islam dan penindasan mereka terhadap orang-orang beriman adalah bencana yang akan memalingkan mereka dari keimanannya. Begitupula seorang da’i yang akhlaknya menyalahi nilai-nilai Islam, maka akhlaknya yang buruk itu dapat memalingkan umatnya dari keimanan.

CONTOH KONSISTEN

Para sahabat Nabi adalah contoh konsisten dalam dakwah dan keislaman mereka. Hasan Al-Bashry mengomentari sifat mereka bahwa : “tampak pada diri mereka tanda-tanda kebaikan dalam aura, ciri, petunjuk, kebenaran, bersahaja dalam tampilan pakaian, tawadu ketika berjalan, kata-kata dibarengi dengan perbuatan, makan minum dari rizki yang baik, ketundukan mereka dalam taat kepada Allah, senantiasa mengusung kebenaran baik terkait dengan hal-hal yang mereka sukai ataupun tidak, memancarkan kebenaran dari diri mereka sendiri, haus kerongkongan mereka, lelah jasad mereka, berlapang dada terhadap amarah makhluk demi mengharapkan ridho Allah, sibuk lisan mereka dengan dzikir, mereka korbankan darah mereka jika diperlukan, mereka korbankan harta mereka jika dibutuhkan, akhlak mereka baik dan segala urusan mereka menjadi mudah.

Para sahabat  telah mempersembahkan bagi agama ini sebuah gambaran bimbingan dan arahan kemanusiaan, mereka tegar menghadapi ujian dan cobaan, mereka tinggalkan beberapa  rukhsah agar tidak menyebabkan orang-orang kafir menimpakan fitnah terhadap kaum muslimin.

Abdullah bin Hudzafah as-Sahmy pernah menjadi tawanan Romawi, lalu Raja Romawi berkata kepadanya : “Engkau akan bebas bila engkau bersedia bergabung denganku”, tetapi Abdullah menolaknya. Lalu Ia disalib dan dieksekusi dengan lemparan anak panah tetapi Ia tidak takut sedikitpun, kemudian diturunkan dari tiang salib, Raja menyuruh disediakan air tungku dan dimasak hingga mendidih, lalu Ia dimasukan kedalamnya, hingga terkelupas kulitnya, setelah itu diangkatnya lagi, dan masih ditawarkan kepadanya untuk bebas, tetapi Abdullah malah menangis. Sang Raja kaget dan bertanya kepadanya ; “Kenapa engkau menangis”?, Iapun menjawab : “Aku berharap memiliki seratus nyawa, yang ditimpakan seperti ini di jalan Allah”. Raja sangat terkejut mendengarkan jawabannya.

Ketika penduduk negeri menyaksikan konsistensi para sahabat Nabi, ketegaran mereka di atas akidahnya dan pelaksanaan mereka terhadap aturan agama mereka, maka merekapun akhirnya memeluk Islam. Ibnu Qayyim Al-Jauzy berkata : “Tatkala kaum Nasrani melihat perilaku sahabat, kebanyakan mereka kemudian beriman karena pilihan dan kerelaan sendiri, lalu mereka berkomentar : “Mereka lebih utama dari para sahabat Nabi Isa AS”. Kemudian Ibnu Qoyyim melanjutkan komentarnya : “Sungguh, kami telah berdakwah kepada kebanyakan ahlul kitab, lalu mereka mengatakan bahwa apa yang menghalangi mereka masuk islam adalah perilaku orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada Islam”. Komentar Ibnu Qayyim ini terjadi pada abad  delapan hijriyah, bagaiman jadinya bila beliau hidup di abad kita sekarang ini, di mana banyak orang Isalm yang menghadirkan gambaran yang paradoks dengan ajaran agamanya sendiri.

Da’i bisa baik di mata umatnya bisa juga buruk. Apabila sang da’i dikenal dengan keistiqomahannya dan kewaro’annya, maka kata-katanya akan sampai ke lubuk hati umatnya, dan mempengaruhi orang menjadi mudah menerima dakwah. Tetapi bila da’i kering komitmen dan integritasnya,  maka perkataannya akan lewat begitu saja seperti anak panah yang melenceng tidak mengenai sasaran.

KEBAIKAN PERKATAAN ADA PADA REALISASINYA

Imam Mawardy berkata dalam kitab Adabuddunya waddin mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib : “Sesungguhnya sia-sianya manusia menuntut Ilmu, ketika mereka sedikit mengambil manfaat dari ilmu yang diamalkannya, karena kebaikan perkataan ada pada realisasinya, kebenaran ada pada kata-katanya dan kebaikan ilmu ada pada yang membawanya. Orang bijak berkata :

العلم يهتف بالعمل ، فإن أجابه نفع وإلا ارتحل

 “Ilmu senantiasa memanggil amal, bila dipenuhi (dengan amal) maka ilmu itu akan bermanfaat, jika tidak maka ia akan berlalu begitu saja".

Berkata sebagian ulama : Sempurnanya Ilmu dengn amal, sempurnanya amal keihlasannya, jika kredibilitas da’i buruk di hadapan audiennya, maka perkataannya akan menggantung dan ngambang, diterima tidak ditolak juga tidak, sehingga mereka  patut mempertanyakannya, tetapi bila audien mengetahui kredibilitas da’inya, maka apa yang disampaikannya akan diterima dan berpengaruh, bila tidak, maka audien yang kurang dapat menangkap dan mengambil pelajaran (ibroh).


Dan kehidupan seorang da’i baik khassah (halaqah) maupun ammah (sya’biyah) adalah pusat perhatian, mata manusia terhadapnya seperti kaca pembesar, sebelum dia menuntut manusia meninggalkan gibah maka dia harus menahan diri dari berbuat gibah dan menuduh tanpa alasan dan menjaga kehidupannya baik yang bersifat khusus maupun umum dari hal-hal yang dapat menodainya.

Saturday, May 17, 2014

Kaidah ke-5: Dai Harus mengerahkan upaya manusiawi saat ia mencari pertolongan Robbani

Allah yang Maha Agung menghendaki agar dakwah dilakukan dengan seluruh sarana kemanusiaan. Seorang da’i harus mampu mencari berbagai celah demi kepentingan dakwahnya. Rasulullah SAW menyambung malamnya dengan siangnya untuk mencari berbagai celah dengan mengunakan pendekatan yang sesuai dengan jamannya. Oleh karenanya Rasulullah SAW tidak selalu berkata : “Hal ini telah diwahyukan kepadaku”, tetapi  terkadang beliau  berkata : “aku punya cara dan ide lain”. 

Kita akan banyak dapati dalam sirahnya implementasi yang luas terhadap prinsip tersebut.  Pada saat perang uhud sebagian sahabat berbeda pendapat dengan Nabi (dalam hal taktis dan strategi perang), walaupun Nabi berada di tengah-tengah mereka dan wahyu turun kepada beliau.

Firman Allah لا يكلف الله نفساً إلا وسعها , bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya (QS.Al-Baqarah : 286), adalah penjelasan yang menguatkan prinsip tersebut, pembebanan adalah perkara yang menyulitkan dan pembebanan di sini tergantung dengan kemampuan. Imam Qurtuby berkata : “Allah menggariskan bahwa Dia tidak akan membebani hambanya - sejak ayat ini diturunkan - dengan amalan-amalan hati atau anggota badan, sesuai dengan kemampuan orang tersebut. Dengan demikian umat Islam terangkat kesulitannya, artinya Allah tidak membebani apa-apa yang ter lintas dalam  perasaan dan tercetus dalam hati .

PEMAHAMAN KELIRU

Banyak orang sekarang ini memahami ayat ini, dengan mengatakan bahwa kemampuan yang dimaksud dalam ayat ini adalah batasan minimal kemampuan seseorang, oleh karena itu kemampuan dapat berubah-rubah tergantung dengan motivasi. Terkadang seorang muslim mengaku hanya mempunyai waktu kosong satu jam saja, kemudian mengatakan, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Kemudian dengan kesungguhan, dia mampu melakukan hingga dua jam, maka dia mengatakan, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Ternyata kemudian dia mampu bekerja hingga tiga jam, maka dia pun mengatakan, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.". Perubahan standar yang masih dalam satu kondisi dan waktu seperti ini menunjukkan bahwa pengakuan pertama tidaklah benar. Dia belum mengerahkan segala kemampuan ada waktu pertama, kedua dan ketiga.

Sebagian orang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar. Perlu diketahui bahwa misi dakwah sangatlah besar dan luas. Kita juga tidak lupa bahwa manusia mempunyai kemampuan dan kesungguhan yang berbeda. Kadar kualitas mereka pun berbeda-beda. Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah seorang dai harus mengerahkan segala kemampuannya sekuat mungkin, dan jerih payahnya harus semakin bertambah seiring dengan bertambahnya hari. Sesungguhnya kemampuan besar seorang dai akan menjadi sia-sia apabila tidak digunakan untu jalan kebenaran dan jalan dakwah. Jumlah personel yang banyak tapi jika bekerja hanya setengah-setengah, justru hanya akan menghambat perjalanan. Persis seperti antrean truk yang memadati jalan, padahal masing-masing hanya memuat sedikit muatan.

Allah menciptakan manusia dan membekalinya dengan banyak potensi. Kita mungkin pernah membaca kisah hidup para dedengkot pelaku kriminal. Mereka mengerahkan segala jerih payahnya untuk menjalankan keahliannya itu. Mereka selalu berusaha siang dan malam, menempuh perjalanan yang sangat jauh, menahan diri dan bersabar atas beban yang ada pada mereka yang membuat orang bergeleng-geleng kepala, dan menantang bahaya yang sangat menakjubkan. Hal yang perlu diketahui di sini, orang yang mampu melakukan keburukan, dia juga mampu melakukan kebaikan. Orang yang mampu menantang bahaya untuk melakukan kebatilan, dia juga mampu melakukan hal tersebut demi berjuang di jalan kebaikan dan kebenaran. 

PARA SAHABAT KOMITMEN DENGAN  KAPASITAS KEMAMPUAN

Manakala kita membaca sirah sahabat – semoga Allah merdhoi mereka, kita dapati kebanyakan mereka wafat di luar negeri. Abu Ayub Al-Anshari wafat di benteng konstantinopel, Ummu Haram binti Milhan berakhir hidupny di pulau Qobros (Yunani), Uqbah bin Amir meninggal di Mesir, Bilal dimakamkan di Syria. Demikianlah mereka mengembara ke pelosok negeri untuk meninggikan panji Islam, dan mengerahkan sesuatu yang mahal dan berharga di jalan dakwahnya. Beginilah semestinya memahami ayat :.
لا يكلف الله نفساً إلا وسعها.

Pada perang Uhud para sahabat tetap memenuhi seruan Allah untuk mengejar orang-orang musyrik. Usaid bin Hudhair RA berkata : “سمعاً وطاعة لله ولرسوله”, Ia langsung menyiapkan senjatanya, padahal Ia baru saja akan mengobati tujuh buah luka yang bersarang pada tubuhnya. Bahkan dalam peperangan “Hamra Al asad”, empat puluh orang sahabat masih tetap keluar ikut berperang meski mereka masih dalam keadaan terluka, diantaranya adalah Thufail bin Nu’man dengan 13 luka di tubuhnya dan Kharrasy bin As-Simmah dengan 10 luka di tubuhnya. Semua menunjukan bahwa :

"الإرادة القوية تبذل من الجهد ما يتحدى المصاعب والآلام. وأن الإرادة الضعيفة عاجزة حتى مع وجود الوسائل والإمكانيات."

“Kemauan yang kuat akan mengerahkan seluruh kesungguhan walau menghadapi banyak kesulitan penderitaan, sebaliknya kemauan yang lemah  menjadi tak berdaya meskipun sarana dan waktu tersedia”

Karena itulah Allah menyebutkan sikap mereka dalam Al-Qur’an :

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ(172)

(Yaitu) orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (QS. Ali-Imron : 172)

KEMAMPUAN DAN KEINGINAN

Patut disebutkan bahwa kemampuan dalam berdakwah dan berjihad  adalah dorongan kehendak jiwa, dan mlaksanakan realisasinya atas izin Allah, bila dorongan itu tidak ada pada diri seseorang, maka Ia menjadi tak berdaya. Karena itu Nabi mengajarkan kita untuk berdo’a :
" اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن وأعوذ بك من العجز والكسل، وأعوذ بك من الجبن والبخل، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال"

Juga Rasulullah bersabda :

" للمؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير، احرص على ما ينفعك
واستعن بالله ولا تعجز"

“Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mu’min yang lemah, segala sesuatunya lebih baik, tamakalah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau menjadi tak berdaya” (HR.Muslim)

Sesungguhnya perasaan tak berdaya dan tidak adanya kemampuan yang selalu diucapkan berulang kali oleh para da’i – atau barangkalai mereka berkata seperti itu hanya dari sisi tawadhu saja – hanya akan meredupkan kekuatan Islam dan lambatnya laju kendaraan dakwah ini. Dan bila seoarang da’i tidak berani membangun dakwahnya tanpa ada perasaan takut bahwa hal itu akan menghancurkan dakwahnya, serta tidak tahan menghadap kritikan, maka Ia tidak akan pernah maju dan tidak akan sampai pada kemampuan memberikan arahan (taujih) dan perubahan (taghyir)

BATAS-BATAS KEMAMPUAN KAPASITASNYA

Terkadang ada orang yang bertanya : “Apakah batasan kemampuan itu?”
Jawabannya terkandung dalam beberapa fitman Allah berikut :

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ(74)

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia. (QS. Al-Anfal : 74)

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ(20)

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah : 20)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ(15)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujurat : 15)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ(10)تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(11)

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?(10) (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya (11),

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(41َ

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. At-Taubah : 41)

Maksud dari firman Allah : انفروا خفافاً وثقالاً,  sama saja apakah kalian dalam keadaaan ringan untuk pergi berjihad atau dalam keadaan berat. Keadaan ini mengandung beberapa pengertian. Pertama : ringan, karena bersemangat untuk keluar berjihad, berat, karena merasa sulit untuk berangkat. Kedua : ringan, karena sedikit sedikit keluarga yang ditinggalkan, berat, karena banyaknya keluarga yang ditinggalkan. Ketiga : ringan, persenjataan yang dibawa, sebaliknya berat, karena beratnya persenjataan yang dibawa. Keempat : ringan, karena berkendaraan. Berat, karena berjalan kaki. Kelima : ringan, karena masih muda. Berat, karena telah uzur usia. Keenam : ringan, karena bobot badan yang kurus. Berat, karena kelebihan bobot berat badan. Ketujuh : ringan, karena sehat dan fit. Berat, karena sakit atau kurang enak badan.   

Dari paparan yang telah disebutkan di atas, seuruhnya tercakup, karena sifat tersebut (ringan atau berat) meliputi berbagai aspek. Sesungguhnya kebanyakan para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini dengan penegertian yang mutlak (apa saja yang menjadikan seseorang ringan atau berat). Mujahid berkata : Sesungguhnya abu Ayub turut menyaksikan peperangan Badar bersama Rasulullah SAW, dan beliau belum pernah absen dari pepperangan. Ia berkata :  Allah telah berfirman : انفروا خفافاً وثقالاً, maka itu artinya aku dapati diriku dalam keadaan ringan atau berat. Dari Shofwan bin Amr, Ia berkata : Ketika aku menjadi gubernur Homs (Syria), aku menjumpai seorang Bapak tua warga Syria yang telah turun kedua alisnya, Ia berada di atas kendaraannya bersiap-siap hendak ikut berperang. Lalu aku berkata kepadnya :  يا عم؛ أنت معذور عند الله “Wahai pamanda, engkau didimaklumi oleh Allah” (untuk tidak ikut berperang). Seraya mengangkat kedua alisnya, Bapak tua tersebut berkata : يا ابن أخي، استنفرنا الله خفافاً وثقالاً، ألا إن من أحبه الله ابتلاه. “Hai nak, Allah telah menyuruh kita keluar baik dalm keadaan ringan maupun berat, ketahuilah sesungguhnya Allah selalu menguji orang yang dicintainya.

Diriwayatkan oleh Imam Az-Zuhry :  Suatu ketika Said bin Al-Musayyib RA keluar untuk berperang, sedangkan salah satu matanya tidak dapat melihat. Lalu Ia berkata : “Allah meminta kita untuk keluar berperang, baik terasa ringan atau berat, فإن عجزت عن الجهاد كثرتُ السواد، وحفظت المتاع.jika aku tak berdaya untuk berjihad, maka berarti  aku telah memperbanyak pasukan musuh dan aku hanya menjaga harta bendaku.. Juga ketika Al-Miqdad bin Al-Aswad ketika dikatakan kepadanya pada saat beliau hendak berperang : أنت معذور engkau dimaklumi. Lalu Ia berkata : أنزل الله علينا في سورة براءة: }انفروا خفافاً وثقالاً{([1]).


DAKWAH ADALAH MANUVER DI JALAN ALLAH
الدعوة نُفرة في سبيل الله

Adapun maneuver di jalan Allah, tidak hanya berperang, tetapi lenih luas dan umum dari itu. Dakwah dengan segala bentuknya adalah bentuk maneuver di jalan Allah. Oleh karena itu dalam surat At-taubah disebutkan :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ(122)

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah : 122)

Imam Ar-Razy berkata : “Kewajiban berdakwah bagi para sahabat terbagi menjadi dua golongan, satu golongan keluar untuk berperang, golongan lainnya tetap tinggal bersama Rasulullah SAW. Golongan yang berperang mewakili golongan yang tidak ikut serta. Yang tidak ikut serta mewakili yang berperang dalam hal mendalami ilmu pengetahuan (tafaqquh). Dengan cara inilah urusan agama dapat terselesaikan secara sempurna.

Bila kita analisa ada dua keterkaitan yang erat pada ayat tersebut, keterkaitan anata maneuver tafaqquh (dirasah) dan manuver indzar (dakwah). Karena itu seorang Muslim dituntut untuk memaksimalkan ksungguhannya dan ditanya tentang  beban kemampuan dirinya untuk membela agama Islam  dengan bentuk jihad yang beraneka macam. Diawali dengan da’wah penuh hikmah dan nasihat yang baik Apabila Islam tidak menuntut sesuatu yang berbahaya dengan mengedepankan apa yang bias

Seorang mu’min menyadari bahwa setiap kesungguhan yang dikerahkan di bidang ketaqwaan, adalah kesungguhan yang disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan manusiawinya yang lemah dan tidak akan sampai pada derajat dan tingkatan yang sesuai dengan keagungan Allah SWT. Karena itu para mufassirin berpendapat bahwa firman Allah :  اتقوا الله حق تقاته “bertaqwalah engkau kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa” (QS. Ali-Imron : 102), dihapus (mansukh) dengan ayat : فاتقوا الله ما استطعتم , “bertaqwalah  kepada Allah semampu kalian”. Hal ini didasari oleh keterangan dalam asbabunnuzul, bahwasanya tatkala ayat pertama tadi turun kaum muslimin merasa keberatan, karena sebenar-benarnya taqwa berarti tidak boleh bermaksiat sekejap matapun, harus selalu bersyukur, tidak boleh kufur, harus selalu diingat, tidak boleh lupa. Tiada seorang hambapun mampu melakukannya.

Bila tidak sependapat bahwa ayat tersebut mansukh, maka harus dikatakan –wallahu a’lam- ada dua kapasitas ketaqwaan, kapasitas yang hanya pantas untuk Allah SWT dan kapasitas ketaqwaan yang sesuai dengan kemampuan seorang hamba. Kapasitas yang sesuai dengan kemampuan seseorang adalah kapasitas individu yang berbeda dengan individu lainnya, dan berbeda pada satu kondisi dengan kondisi lainnya. Seyogyanya seorang mu’min harus senantiasa berada diantara dua kapasitas tersebut, berusaha mengarah kepada keagungan Allah SWT, karena itu hari esok seorang mu’min harus lebih baik dari hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Juga hendaknya seorang Mu’min harus meningkatkan level ketaqwaannya bersamaan dengan bertambahnya pengetahuan, atau dengan kenikmatan yang diperolehnya atau dengan bertambahnya usia.

Bila seorang memahami dengan baik hal tersebut di atas, pasti dirinya akan merasa takut jika belum mengerahkan kemampuan sesuai yang dituntut kepadanya dan semakin berhati-hati dalam melaksanakannya. Seorang Mu’min yang paham akan hal ini selalu tidak puas dan rido dengn amalnya, juga dengan kesungguhna yang telah dikerahkannya, khawatir telah mengabaikan tuntutan yang diminta dari seorang Mu,min. Itulah keadaan orang-orang yang beriman, sebagimana yng telah disbutkan sifatnya oleh Allah SWT dalam firman-NYA :

إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ(57)وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ(58)وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ(59)وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا ءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ(60)أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ(61)وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنْطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ(62)


Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, (57) Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, (58) Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), (59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (61) Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (62) (QS. Al-Mu’minun : 57 – 62).

KEHATI-HATIAN DAN RASA TAKUT

Sifat otang-orang Mu’min telah disebutkan pada ayat tersebut di atas, diantaranya adalah
الإشفاق والوجل kehati-hatian dan rasa takut, kehati-hatian mencakup kekahawatiran bersamaan dengan semakin lemah dan tak berdaya. Imam Ar-Razy berkata : “Di antara mereka ada yang cenderung mengartikan Isyfaq dari presfektif pengaruhnya, yaitu :
الدوام في الطاعة, ketaatan yang qontinyu, dan ma’na ayat tersebut menjadi : الذين هم من خشية ربهم دائمون في طاعته , orang-orang yang  taat secara qontinyu karena takut kepada Tuhan mereka, dan berobsesi mencapai keridhaannya. Jelasnya bahwa bila seseorang sampai pada perasaan takut yang membawanya pada sikap kehati-hatian. Kesempurnaan rasa takut adalah puncak ketakutan akan murka Allah dan adzab akhirat, sehingga Ia selalu menghindari maksiat. Maka barangsiapa yang memiliki kesempurnaan rasa takut kepada Allah. Ia akan memenuhi perintah Allah unuk berdakwah, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya  Sedangkan keadaan mereka  yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, maksudnya adalah komitmen menyampaikan setiap kebenaran. Oleh karena itu barangsiapa yang beribadah dan Ia marasa takut dari sikap lalai dan salah, disebabkan oleh kekurangan atau yang lainnya, maka demi rasa takut tersebut, Ia akan bersungguh-sungguh menunaikan ibadahnya.

Rasa takut terhadap kekuarangan yang menyebabkan seseorang mengerahkan kesungguhannya dalam bertaqwa, adalah level para Shiddiqin (orang yang konsisten). Sesungguhnya Allah telah menjelaskan bahwa sebab rsa takut itu muncul karena mereka akan kembali kepada Allah SWT. Beruntunglah orang yang memiliki sifat luhur sperti itu, dan menjadikan jiwa mereka bersih dari riya dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang) serta mengarahkan keinginan-keinginan kepada optimalisasi amal.

Setelah arahan tersebut diatas mendorong peningkatan kapasitas dan kapabilitas seseorang, maka Ia dapat berhujjah : ولا نكلف نفساً إلا وسعها , dan tampaklah keterpaduan antara seseorang yang memberikan tanggung jawab sesuai denagn kemampuan dan Allah yang senantiasa mengtahui hakekat kemampuan yang diawasi dan dihisabnya. Sampainya seorang da’i ke tingkat rasa takut dan hati-hati akan sampai pada kebenaran dan ketepatan dalam menentukan batas kemampuan




([1])       تفسير الرازي 16/70.