Thursday, June 21, 2018

Tafsir Surah An-Nazi'at


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

وَالنّٰزِعٰتِ غَرْقًا ۙ ١
1. Demi (Malaikat-Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,

وَالنّٰشِطٰتِ نَشْطًا ۙ ٢
2. dan (Malaikat-Malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut,

وَالسّٰبِحٰتِ سَبْحًا ۙ ٣
3. dan (Malaikat-Malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,

فَالسّٰبِقٰتِ سَبْقًا ۙ ٤
4. dan (Malaikat-Malaikat) yang mendahului dengan kencang,

فَالْمُدَبِّرٰتِ أَمْرًا ۢ ٥
5. dan (Malaikat-Malaikat) yang mengatur urusan (dunia).*1

يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ ۙ ٦
6. (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam, 

تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ ۗ ٧
7. tiupan pertama itu akan diiringi oleh tiupan kedua.

قُلُوْبٌ يَّوْمَئِذٍ وَّاجِفَةٌ ۙ ٨
8. Hati manusia pada waktu itu akan sangat takut,

اَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ ۢ ٩
9. Pandangannya tunduk.

يَقُوْلُوْنَ ءَئِنَّا لَمَرْدُوْدُوْنَ فِي الْحَافِرَةِ ۗ ١٠
10. (Orang-orang kafir) berkata: "Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan ke kehidupan semula? *2

ءَاِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً ۗ ١١
11. Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?"

قَالُوْا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ ۢ ١٢
12. Mereka berkara: "Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan."

فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌ ۙ ١٣
13. Sesungguhnya pengembalian itu hanya dengan satu kali tiupan saja,

فَاِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ ۗ ١٤
14. maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.

هَلْ اَتٰكَ حَدِيْثُ مُوسٰى ۢ ١٥
15. Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa?

اِذْ نَادٰهُ رَبُّهٗ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًىۚ ١٦
16. Tatkala Rabb-nya memanggilnya di lembah suci yaitu lembah Thuwa.

اِذْهَبْ إِلٰى فِرْعَوْنَ إِنَّهٗ طَغٰىۖ ١٧
17. "Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampui batas.

فَقُلْ هَلْ لَّكَ إِلٰٓى اَنْ تَزَكّٰى ۙ ١٨
18. dan katakanlah (kepada Fir'aun): 'Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan),

وَاَهْدِيَكَ إِلٰى رَبِّكَ فَتَخْشٰى ١٩
19. dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabb-mu, agar kamu takut kepada-Nya?'"

فَاَرٰهُ الْاٰيَةَ الْكُبْرٰى ٢٠
20. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar.

فَكَذَّبَ وَعَصٰى ٢١
21. Tetapi Fir'aun mendustakan dan mendurhakai.

ثُمَّ اَدْبَرَ يَسْعٰى ٢٢
22. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menentang (Musa).

فَحَشَرَ فَنَادٰى ٢٣
23. Maka dia mengumpulkan (para pembesar-pembesarnya), lalu berseru memanggil kaumnya.

فَقَالَ اَنَا رَبُّكُمُ الْاَعْلٰىۗ ٢٤
24. Seraya berkata: 'Akulah tuhanmu yang paling tinggi.'

فَاَخَذَهُ اللّٰهُ نَكَالَ الْاٰخِرَةِ وَالْاُوْلٰىۗ ٢٥
25. Maka Allah mengadzabnya dengan adzab di akhirat dan di dunia.

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّمَنْ يَخْشٰى ٢٦
26. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang orang yang takut (kepada Rabb-nya).

ءَاَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا اَمِ السَّمَآءُ ۚ بَنٰهَا ٢٧
27. Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telaj membangunnya,

رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوّٰهَا ٢٨
28. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakan,

وَاَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحٰهَاۗ ٢٩
29. dan dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang,

وَالْاَرْضَ بَعْدَ ذٰلِكَ دَحٰهَآ ٣٠
30. dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.

اَخْرَجَ مِنْهَا مَآءَهَا وَمَرْعٰهَا ٣١
31. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.

وَالْجِبَالَ أَرْسٰهَا ٣٢
32. dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,

مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِاَنْعَامِكُمْ ۗ ٣٣
33. (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang binatang ternakmu.

فَاِذَا جَآءَتِ الطَّآمَّةُ الْكُبْرٰى ٣٤
34. Maka apabila malapetaka yang sangat besar (Hari Kiamat) telah datang.

يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ مَا سَعٰى ٣٥
35. Pada hari (ketika) manusia teringat apa yang telah dikerkakannya,

وَبُرِّزَتِ الْجَحِيْمُ لِمَنْ يَّرٰى ٣٦
36. dan diperlihatkan Neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat.

فَاَمَّا مَنْ طَغٰى ٣٧
37. Adapun orang yang melampui batas,

وَاٰثَرَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا ٣٨
38. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,

فَاِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ ٣٩
39. maka sesungguhnya Nerakalah tempat tinggal(nya).

وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰى ٤٠
40.Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,

فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ ٤١
41. maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya).

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسٰهَاۗ ٤٢
42. (Orang orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Hari Kebangkitan, kapan terjadinya? *3

فِيْمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرٰهَاۗ ٤٣
43. Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)?

إِلٰى رَبِّكَ مُنْتَهٰهَاۗ ٤٤
44. Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).

إِنَّمَآ أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَّخْشٰهَاۗ ٤٥
45. Kamu hanyalah pemberi peringatan kepada siapa yang takut kepadanya (Hari Kebangkitan).

كَاَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْآ اِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحٰهَا ٤٦
46. Pada hari mereka melihat Hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (hanya sebentar saja) di waktu pagi atau sore. *4




*1. Dalam ayat 1 s/d 5 Allah bersumpah dengan Malaikat-Malaikat yang bermacam-macam sifat dan urusannya, bahwa manusia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat. Hal itu merupakan pendapat sebagian besar ulama tafsir.
*2. Setelah orang orang kafir mendengar adanya hari Kebangkitan sesudah mati, maka mereka merasa heran dan juga mengejek, sebab menurut keyakinan mereka tidak ada Hari Kebangkitan itu. Itulah penyebab mereka mengeluarkan pertanyaan itu.
*3. Kata kata ini mereka ucapkan untuk mengejek, bukan karena mereka percaya Hari Kebangkitan.
*4. Karena hebatnya suasana Hari Kebangkitan mereka merasa hidup di dunia hanya sebentar saja.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


Ayat. 1

ۙ غَرْقًا

وَالنّٰزِعٰتِ 

 (dengan) keras

demi (malaikat) pencabut (nyawa) 


Ayat 2.

ۙ نَشْطًا

 وَالنّٰشِطٰتِ

 (dengan) lemah lembut

demi (malaikat) pencabut (nyawa)


Ayat 3.

ۙ سَبْحًا

 وَالسّٰبِحٰتِ

 (dengan) cepat

 demi (malaikat) yang turun dari langit


Ayat 4.

ۙ سَبْقًا

 فَالسّٰبِقٰتِ

 (dengan) kencang

 dan (malaikat) yang mendahului


Ayat 5.

ۘ أَمْرًا

 فَالْمُدَبِّرٰتِ

 urusan (dunia)

 dan (malaikat) yang mengatur

 

Ayat 6.

ۙ يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ

 (kamu akan dibangkitkan) pada hari tiupan pertama mengguncang (alam)


Ayat 7.

ۗ الرَّادِفَةُ

تَتْبَعُهَا 

 (oleh) tiupan kedua

 (tiupan) itu diiringi


Ayat 8.

ۙ وَّاجِفَةٌ

 يَّوْمَئِذٍ

قُلُوْبٌ 

 merasa sangat takut

 (pada) waktu itu

hati manusia 


Ayat 9.

ۘ خَاشِعَةٌ

 اَبْصَارُهَا

 tunduk

pandangannya 


Ayat 10.

ۗ فِى الْحَافِرَةِ

 لَمَرْدُوْدُوْنَ

ءَئِنَّا 

يَقُوْلُوْنَ 

kepada kehidupan yang semula 

 benar-benar akan dikembalikan

 apakah kita

(orang-orang kafir) berkata 

 

Ayat 11.

ۗ نَّخِرَةً

 عِظَامًا

ءَاِذَا كُنَّا 

 yang hancur

 tulang belulang

apakah (dibangkitkan) bila kita telah menjadi 

 

Ayat 12.

ۘ خَاسِرَةٌ

 كَرَّةٌ

تِلْكَ إِذًا 

قَالُوْا 

 yang merugikan

 (adalah) suatu pengembalian

 kalau demikian, hal itu

mereka berkata 

 

Ayat 13.

ۙ وَّاحِدَةٌ

 زَجْرَةٌ

فَاِنَّمَا هِيَ 

 sekali (saja)

 (dengan) tiupan

maka pengembalian itu hanyalah 

 

Ayat 14.

ۗ بِالسَّاهِرَةِ

فَاِذَا هُمْ 

 hidup kembali di bumi (yang baru)

maka seketika itu, mereka 

 

Ayat 15.

ۘ حَدِيْثُ مُوسٰى

هَلْ اَتٰكَ 

 kisah Musa

 sudahkah sampai (kepada)mu (Muhammad)

 

Ayat 16.

 طُوًىۚ

 الْمُقَدَّسِ

 بِالْوَادِ

اِذْ نَادٰهُ رَبُّهٗ 

 (yaitu) lembah Tuwa

 suci

 di lembah

 ketika Tuhan memanggilnya (Musa)


Ayat 17.

 طَغٰىۖ

 إِنَّهٗ

إِلٰى فِرْعَوْنَ 

اِذْهَبْ 

 telah melampui batas

 sesungguhnya dia

 kepada Firaun

pergilah engkau 


Ayat 18.

ۙ إِلٰٓى اَنْ تَزَكّٰى

 هَلْ لَّكَ

 فَقُلْ

 untuk membersihkan diri (dari kesesatan)

 adakah keinginanmu

maka katakanlah 


Ayat 19.

ۚ فَتَخْشٰى

 إِلٰى رَبِّكَ

وَاَهْدِيَكَ 

 agar engkau takut (kepada-Nya)

 ke (jalan) Tuhanmu

 dan akan kupimpin engkau 

Ayat 20.

ۖ الْكُبْرٰى

 الْاٰيَةَ

فَاَرٰىهُ 

 yang besar

 mukjizat

lalu (Musa) memperlihatkannya 

 

Ayat 21.

ۖ وَعَصٰى

 فَكَذَّبَ

 dan mendurhakai

tetapi dia (Fir'aun) mendustakan 

 

Ayat 22.

ۖ يَسْعٰى

 ثُمَّ اَدْبَرَ

 seraya berusaha menantang

kemudian dia berpaling 

 

Ayat 23.

ۖ فَنَادٰى

 فَحَشَرَ

 lalu memanggil (kaumnya)

kemudian dia mengumpulkan 

 

Ayat 24.

 الْاَعْلٰىۗ

 رَبُّكُمُ

 اَنَا

فَقَالَ 

 yang paling tinggi

 tuhanmu

 akulah

 (seraya) berkata

 

Ayat 25.

 وَالْاُوْلٰىۗ

 نَكَالَ الْاٰخِرَةِ

فَاَخَذَهُ اللّٰهُ 

 dan siksaan di dunia

 (dengan) azab di akhirat

maka Allah menghukumnya 

 

Ayat 26.

ؑ يَخْشٰى

 لِّمَنْ

لَعِبْرَةً 

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ 

 takut (kepada Allah)

 bagi orang yang

 (terdapat) pelajaran

sungguh, pada yang demikian itu 

 

Ayat 27.

ۗ بَنٰهَا

ۚ اَمِ السَّمَآءُ

 خَلْقًا

أَشَدُّ 

ءَاَنْتُمْ 

 yang telah Dia bangun

 ataukah langit

 penciptaannya

 yang lebih hebat

apakah kamu 

 

Ayat 28.

ۙ فَسَوّٰهَا

 سَمْكَهَا

رَفَعَ 

 lalu menyempurnakannya

 bangunannya

 Dia telah meninggikan

 

Ayat 29.

ۖ ضُحٰهَا

 وَأَخْرَجَ

لَيْلَهَا 

وَاَغْطَشَ 

 siangnya

 dan menjadikan (terang)

 malamnya

 dan Dia menjadikan (gelap gulita)

 

Ayat 30.

ۗ دَحٰهَآ

 بَعْدَ ذٰلِكَ

 وَالْاَرْضَ

 Dia hamparkan

 setelah itu

dan bumi 

 

Ayat 31.

ۖ وَمَرْعٰهَا

 مَآءَهَا

مِنْهَا 

اَخْرَجَ 

 dan (Dia tumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya

 mata airnya

 darinya

Dia pancarkan 

 

Ayat 32.

ۙ أَرْسٰهَا

 وَالْجِبَالَ

 Dia pancangkan (dengan teguh)

dan gunung-gunung 

 

Ayat 33.

ۗ وَلِاَنْعَامِكُمْ

 لَّكُمْ

مَتَاعًا 

 dan untuk hewan-hewan ternakmu

 bagimu

(semua itu) untuk kesenangan 

Ayat 34.

ۖ الْكُبْرٰى

 الطَّآمَّةُ

فَاِذَا جَآءَتِ 

 besar (hari Kiamat)

 malapetaka

maka apabila telah datang 

 

Ayat 35.

ۙ مَا سَعٰى

يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ 

 (akan) apa yang telah dikerjakannya

 yaitu pada hari (ketika) manusia teringat

 

Ayat 36.

 لِمَنْ يَّرٰى

وَبُرِّزَتِ الْجَحِيْمُ 

 kepada orang yang melihat

dan neraka diperlihatkan (dengan jelas) 

 

Ayat 37.

ۖ طَغٰى

فَاَمَّا مَنْ 

 melampui batas

maka adapun orang yang 

 

Ayat 38.

ۙ الدُّنْيَا

 الْحَيٰوةَ

وَاٰثَرَ 

 dunia

 kehidupan

 dan lebih mengutamakan

 

Ayat 39.

هِيَ الْمَأْوٰىۗ 

فَاِنَّ الْجَحِيْمَ 

 tempat tinggal(nya)

 maka sungguh, nerakalah

 

Ayat 40.

 مَقَامَ رَبِّهٖ

 خَافَ

 وَاَمَّا مَنْ

 (kepada) kebesaran Tuhannya

 takut

dan adapun orang-orang yang 

ۙ عَنِ الْهَوٰى

 النَّفْسَ

وَنَهَى 

 dari (keinginan) hawa nafsunya

 diri

dan menahan 

 

Ayat 41.

هِيَ الْمَأْوٰىۗ 

 فَإِنَّ الْجَنَّةَ

 tempat tinggal(nya)

 maka sungguh, surgalah

 

Ayat 42.

 أَيَّانَ مُرْسٰهَاۗ

 عَنِ السَّاعَةِ

يَسْأَلُوْنَكَ 

 kapankah terjadinya

 tentang hari Kiamat

mereka (kafirin) bertanya kepadamu (Muhammad) 

 

Ayat 43.

 مِنْ ذِكْرٰهَاۗ

 فِيْمَ أَنْتَ

 perlu menyebutkannya (waktunya)

untuk apa engkau  


Ayat 44.

 مُنْتَهٰهَاۗ

 إِلٰى رَبِّكَ

 (dikembalikan) kesudahannya

 kepada Tuhanmulah


Ayat 45.

 يَّخْشٰهَاۗ

 مُنْذِرُ مَنْ

إِنَّمَآ أَنْتَ 

 takut kepadanya (hari Kiamat)

 pemberi peringatan siapa yang

engkau (Muhammad) hanyalah 


Ayat 46.

 لَمْ يَلْبَثُوْآ

 يَوْمَ يَرَوْنَهَا

 كَاَنَّهُمْ

 mereka tidak tinggal (di dunia)

 (pada) hari kerika mereka melihat Kiamat itu

seakan-akan mereka 

 أَوْ ضُحٰهَا

اِلَّا عَشِيَّةً 

 atau pagi hari

kecuali pada suatu sore 

 

Pengantar

Surat An Naazi'aat adalah salah satu contoh dari contoh-contoh juz ini untuk membangkitkan kesadaran hati terhadap hakikat akhirat dengan segala hal yang besar dan mengerikan, keseriusannya, dan orisinalitasnya di dalam ketentuan Ilahi untuk menciptakan dunia manusia. Juga pengaturannya yang sangat tinggi terhadap tahap-tahap penciptaan dan langkah-langkahnya di muka bumi dan di dalamnya, kemudian di akhirat yang mencerminkan kesudahan penciptaan ini beserta akibatnya.

 

Dalam rangka membangkitkan kesadaran hati terhadap hakikat akhirat yang sangat besar dan agung ini, maka ditimbulkanlah kesan kesan yang bermacam-macam pada senar-senar kalbu. Disentuhnya dengan berbagai macam sentuhan seputar hakikat yang sangat besar itu, dengan kesan kesan dan sentuhan sentuhan yang sekiranya dapat mengantarkannya kepadanya. Maka, hakikat itu disiapkan agar dapat diterima oleh hati dengan kesadaran dan penuh perasaan. Jalan ini direntangkan dengan pengantar yang mengandung muatan dalam yang kedalamannya menimbulkan rasa takut dan getaran getaran. Keadaan ini digiring dalam irama musik dan nada yang menggetarkan dan menjadikan nafas kembang kempis, seakan akan nafas terputus karena getaran, kekagetan, dan rasa takut yang ditimbulkannya, sebagaimana tercantum dalam surat An Naazi'aat ayat 1-5.

 

Setelah pengantar yang menakutkan dan menggetarkan hati ini, datanglah pemandangan pertama dari pemandangan pemandangan hari itu. Bayangannya merupakan bayangan pengantar itu dan tabiatnya juga merupakan tabiat pengantar tersebut, seakan akan pengantarnya itu menjadi bingkai dan sampulnya. Lihat surat An Naaz.i'aat ayat 6-14.

 

Dari suasana yang menakutkan, mendebarkan, menggetarkan, dan membingungkan itu, dibentang­kanlah pemandangan yang berisi puing-puing orang-orang yang mendustakan ayat Allah lagi melampaui batas, dalam mata rantai kisah Nabi Musa bersama Fir'aun. Maka, dipaparkanlah kisahnya dengan irama musik yang tenang, lalu dikendurkan sedikit, agar sesuai antara nuansa cerita dan pemaparannya. Hal ini dapat dilihat dalam An Naazi'aat ayat 15-26. Dengan demikian, bertemu dan teretaslah jalan menuju hakikat yang sangat besar itu.

 

Selanjutnya, pembicaraan berpindah dari paparan sejarah kepada kitab alam semesta yang terbuka, dan pemandangan pemandangan alam yang besar, yang menjadi saksi adanya kekuatan, pengaturan, dan penetapan Ilahi yang menciptakannya dan menjaga segala sesuatunya di dunia dan di akhirat. Maka, ditampilkanlah semua ini dalam kalimat-kalimat yang menawan dan mengesankan, yang serasi dengan permulaan surat dan irama musikalnya sebagaimana terlihat pada surat An Naazi'aat ayat 27-33.

 

Setelah memberikan pengantar untuk mendekatkan kesan dan sentuhan sentuhannya yang me­ngesankan, datanglah pemaparan pemandangan tentang malapetaka yang sangat besar, beserta balasan bagi segala sesuatu yang dikerjakan manusia sewaktu di dunia. Yakni, balasan yang terealisir pada bagian akhir pemandangan yang selaras dengan gambaran gambaran dan bayang-bayangnya seiring dengan malapetaka yang sangat besar itu, sebagai mana tercantum dalam surat An Naazi'aat ayat 34-41.

 

Ketika hati dan perasaan sedang gemuruh oleh kesan yang ditimbulkan pemandangan tentang malapetaka yang sangat besar, neraka Jahim yang ditampakkan kepada orang yang melihatnya, dan akibat yang diterima oleh orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, serta akibat yang diterima oleh orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan keinginan hawa nafsunya; tiba-tiba pembicaraan kembali lagi kepada orang-orang yang mendustakan hari kiamat, yang mempertanyakan tentang waktu terjadinya kepada Rasulullah saw. Pembicaraan kembali kepada mereka dengan memberikan tambahan kesan di dalam perasaan tentang kengerian terhadap hari kiamat dan ketakutan kepadanya, dan tentang besarnya peristiwa itu. Hal ini tampak pada surat an­Naazi'aat ayat 426.

 

Huruf ha' yang dibaca panjang memiliki kesan yang besar dan panjang, miring dengan besarnya peristiwa yang besar dan menakutkan itu!

 

Sentuhan Ayat-Ayat Permulaan

 

"Demi yang mencabut (nyawa) dengan keras, yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut, yang turun dari langit dengan cepat, yang mendahului dengan kencang dan yang mengatur urusan."(An Naazi'aat: 1-5)

 

Dalam menafsirkan ayat-ayat ini ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para malaikat, yaitu malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras, yang gesit dan bebas gerakannya, yang turun dengan cepat di alam atas, yang mendahului beriman dan mentaati perintah Tuhannya, dan yang mengatur segala urusan yang diserahkan kepadanya. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bintang-bintang yang lepas di tempat edarannya dan bergerak dengan gesit dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Bintang-bintang yang beredar di ruangan ciptaan Tuhan sambil bergantung padanya, yang berjalan dan beredar dengan cepat, yang mengatur basil-basil dan fenomena-fenomena sesuai yang diserahkan Allah kepadanya, dan yang sangat mempengaruhi kehidupan di bumi dan makhluk di atasnya.

 

Namun, ada yang mengatakan bahwa An naaiz'aat, An nasyithat, as-sabihg dan as-sabiqat adalah bintang­bintang, sedang Al mudabbirat adalah para malaikat Ada puIa yang mengatakan bahwa An naazi'aat, an-nasyithat dan as-sabihat itu adalah bintang-bintang, sedang as-sabiqat dan Al mudabbirat adalah malaikat

 

Terlepas apa pun yang dimaksudkan, maka kita merasakan dalam kehidupan ini bahwa apa yang disebutkan dalam Al Qur'an pertama-tama dan sebelum segala sesuatunya adalah menggoncangkan hati dan menggetarkan perasaan terhadap sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Karena itu, sangat relevan bagian permulaan ini untuk menyiapkan jiwa guna menerima sesuatu yang menakutkan dan menggetarkan perasaan karena adanya goncangan alam dan tiupan sangkakaIa yang pada akhirnya datanglah malapetaka yang sangat dahsyat.

 

Sejalan dengan perasaan seperti itu, maka lebih utama kita biarkan lafal lafal ini tanpa menambah-nambah perincian dan memperdebatkan apa sebenarnya yang ditunjuki oleh kalimat-kalimat itu, agar kita hidup di bawah bayang-bayang Al Qur'an dengan segala kesan dan pengarahannya sesuai dengan tabiatnya. Maka menggoncangkan hati dan menyadarkannya itu sendiri sudah tentu menjadi sasarannya, yang dipilih oleh khithab Al Qur'an dengan aneka caranya.

 

Kemudian kita mendapatkan teladan dari Umar Ibnul Khaththab ra ketika ia membaca surat "Abasa wa tawallaa" : Ketika sampai pada firman Allah, "Wa faakihatan wa abban"; maka Umar berkata, "Kita sudah mengerti faakihah, tetapi apakah abban itu?" Kemudian ia segera berkata lagi, "Demi Tuhan, wahai putra Al Khaththab, sesungguhnya ini adalah takalluf memberat-beratkan diri'! Apakah kerugianmu seandainya engkau tidak mengerti satu lafal dari kitab Allah Ta'ala?" Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Umar berkata, "Semua ini sudah kami ketahui, tetapi apakah Al abb itu?" Kemudian ia membuang tongkat yang ada di tangannya, yakni mematahkannya karena marah kepada dirinya sendiri, seraya berkata, "Ini demi Allah, adalah takalluf. Apakah kerugianmu wahai putra ibu Umar, seandainya engkau tidak mengerti apa Al abb itu?" Kemudian dia berkata, “apa yang jelas bagimu dari kitab ini, dan apa yang tidak jelas maka tinggalkanlah. ".

 

Reaksi ketika alam diguncang Tiupan

 

Bagian permulaan yang datang dengan menggunakan bentuk sumpah ini adalah sebagai pengantar terhadap urusan yang digambarkan oleh ayat-ayat berikut ini,

 

(Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan alam. Tiupan pertama itu diikuti oleh tiupan kedua. Hati manusia pada waktu itu sangat takut, pandangannya tunduk. (Orang-orang kafir) berkata, Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan semula?Apakah (akan dibangkitkan juga) apabiIa kami telah menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?' mereka berkata, 'Kalau demikian, itu adalah suatu pe­ngembalian yang merugikan. 'Sesungguhnya pengembali­an itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja, maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi. "(An Naazi'aat: 6-14)

 

Menurut satu keterangan, yang dimaksud "ar-raajifah " adalah bumi yang bergoncang, didasarkan pada firman Allah dalam ayat lain,'Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan. (Al Muzzammil: 14). Sedang "ar-raadifah" adalah langit yang bergoncang. Maksudnya, bumi bergoncang, kemudian diiringi oleh goncangan langit sehingga terbelah dan bintang-gemintangnya berserakan. Disebutkan juga dalam suatu riwayat bahwa yang dimaksud dengan "ar-raajifah" adalah tiupan pertama yang menggoncangkan bumi beserta isinya seperti gunung-gunung dan semua makhluk hidup. Maka, pingsanlah semua yang ada di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Sedangkan, "ar-raadifah" adalah tiupan kedua yang membangunkan mereka lantas dikumpulkan di Padang Mahsyar, sebagaimana diterangkan dalam surat az-Zumar ayat 68. Ayat ini menjadikan hati manusia merasakan goncangan besar yang menakutkan dan mengerikan. Hati bergoncang karena takut dan gemetar. Ayat ini memberitahukan apa yang akan menimpa hati manusia pada hari itu, yaitu keterkejutan dan ketergoncangan sehingga tidak ada satu pun hati yang teguh dan mantap. Ia pun mengetahui dan merasakan hakikat firman Allah,

 

"Hati manusia pada waktu itu sangat takut, pandangannya tunduk.(An Naazi'aat: 8-9). Ia bergoncang sangat hebat dan tunduk merendahkan diri. Di dalamnya bercampur baur antara takut dan sedih, bergoncang dan gemetar. Inilah yang terjadi pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan alam yang diikuti oleh tiupan kedua, atau pada hari ketika bumi bergoncang sekeras-kerasnya yang diikuti dengan pecah-belah dan hancur berantakannya langit. Inilah persoalan yang didahului dengan sumpah, 'Demi yang mencabut (nyawa) dengan keras, yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut, yang turun dari langit dengan cepat, yang mendahului dengan kencang dan yang mengatur urusan. "

 

Pemandangan yang berupa goncangan dahsyat bumi dan langit, dan bergoncangnya hati karena takut dan sedih ini serasi benar bayang-bayang dan kesannya dengan permulaan surah yang berisi sumpah tersebut. Selanjutnya, dibicarakanlah tentang ketakutan dan kebingungan mereka ketika bangun dari kubur mereka,

 

"(Orang-orang kafir) berkata, Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan yang semula? Apakah (akan dikembalikan juga) apabila kami telah menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?" (An Naazi'aat: 10-11)

 

Mereka bertanya-tanya, "Apakah kami dikembalikan kepada kehidupan yang pernah kami tempuh dahulu?" Dalam ketakutan dan kebingungan mereka bertanya, jika mereka hidup kembali seperti dulu lagi, seraya berdesah, "Bagaimana hal ini bisa terjadi setelah kami menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?". Barangkali mereka sadar dan mengerti bahwa mereka dikembalikan kepada kehidupan, tetapi kehidupan yang lain. Maka, mereka merasa rugi dan menderita dengan pengembalian hidup seperti ini, lalu keluarlah dari mulut mereka kalimat ini,

 

"Kalau demikian, itu adalah pengembalian yang merugikan."(An Naazi'aat: 12)

 

Pengembalian yang tidak pernah mereka perhitungkan dan tidak pernah mereka menyiapkan bekal untuknya. Sehingga, yang mereka peroleh hanya kerugian semata-mata! Dalam menghadapi pemandangan ini, Al Qur’an mengakhirinya dengan mengemukakan hakikat sesuatu yang terjadi,

 

"Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja, maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi. "(An Naazi'aat: 13-14)

 

"Az-zajrah" berarti suara yang dahsyat (tapi juga diartikan juga dengan tiupan dalam Al Qur‘an dan terjemahannya). Digunakannya perkataan yang kasar itu sejalan dengan suasana pemandangan ini beserta pemandangan pemandangan dalam surat ini secara keseluruhan. Adapun kata "as-saahirah" adalah bumi (tanah) yang putih mengkilat, yaitu Padang Mahsyar yang kita tidak mengetahui di mana ia berada. Informasi tentang hal ini tidak kita ketahui kecuali dari informasi benar yang kita peroleh. Maka, kita tidak menambahnya dengan sesuatu pun yang tidak dapat dipercaya dan tidak dijamin kebenarannya.

 

Suara dahsyat satu kali ini maksudnya, bila merujuk kepada nash-nash lain, adalah tiupan yang kedua yakni tiupan kebangkitan dari kubur dan berkumpul di Mahsyar. Penggunaan kalimat "sekali tiup" ini mengesankan peristiwa itu begitu cepat. Memang kesan surat secara keseluruhan menunjukkan peristiwa-peristiwanya terjadi dengan begitu cepat dan sepintas. Hati yang ketakutan ini juga terjadi dengan begitu cepat, yakni ia langsung ketakutan. Sehingga, terdapat keserasian dalam setiap gerakan, lintasan, bayang-bayang, dan susunan kalimatnya.

 

Musa Menghadapi Fir'aun Sang Tiran

Kemudian nadanya diturunkan sedikit dalam menapaki perjalanan tempo dulu, agar serasi dengan kisah-kisahnya, ketika membeberkan apa yang terjadi antara Musa dan Fir'aun. Diakhiri dengan menceritakan kelaliman si penguasa tiran (diktator) itu dengan kecongkakannya,

 

Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa? TatkaIa Tuhannya memanggilnya di lembah suci yaitu Lembah Thuwa, Pergilah kamu kepada Fir'aun. Sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun), Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan kamu akan kupimpin kepada jalan Tuhanmu supaya kamu takut kepada-Nya?' Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi, Fir'aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian ia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Dia mengumpulkan (pembesar- pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya, (seraya) berkata, 'Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.' Maka, Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan di dunia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya)." (An Naazi'aat: 15-26)

 

Kisah Musa ini merupakan kisah yang paling banyak disebutkan dalam Al Qur'an dan paling terperinci. Sebelumnya sudah banyak disebutkan pada beberapa surat dalam konteks yang bermacam-macam dengan menggunakan metode yang berbeda-beda pula. Masing-masing sesuai dengan konteks surat, dan seiring pula dengan tujuan atau sasaran yang ditonjolkan dalam surat tersebut, menurut metode Al Qur'an di dalam menyampaikan cerita.

 

Di sini, kisah ini dipaparkan secara ringkas dan ditampilkan dalam pemandangan sepintas kilas. Dimulai sejak dipanggilnya Musa di lembah suci, hingga dihukumnya Fir'aun dengan hukuman di dunia dan di akhirat sehingga, bertemulah dengan akhir pokok surat ini, yaitu hakikat akhirat. Kisah panjang ini disebutkan di sini dalam beberapa ayat pendek dan sepintas lalu saja, sesuai dengan tabiat surat dan kesan-kesannya. Adapun ayat-ayat yang pendek dan sepintas lalu ini mengandungbeberapa poin dan pemandangan dari kisah ini sebagai berikut. Dimulai dengan menunjukkan khithab 'perkataan'  kepada Rasulullah saw.,

 

Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah " (An Naazi’aat: 15)

 

Ini adalah pertanyaan pendahuluan untuk menyiapkan hati dan telinga guna menerima kisah ini. Kemudian pemaparan kisah sebagai narasi dengan membeberkan peristiwa-peristiwanya. Penceritaan ini dimulai dengan menggambarkan pemandangan ketika Musa dipanggil Tuhannya dan bermunajat kepada-Nya,

 

TatkaIa Tuhannya memanggilnya di lembah suci, yaitu ,Lembah Thuwa. "(An Na,azi'aat: 16)

Thuwa, menurut pendapat yang lebih kuat, adalah nama sebuah lembah yang terletak di sebelah kanan Gunung Sina bagi orang yang datang dari Madyan, sebelah utara Hijaz. Saat pemanggilan itu adalah saat yang menakutkan dan agung, sekaligus menakjubkan. Pemanggilan Allah swt sendiri kepada salah seorang hamba-Nya itu adalah suatu hal yang luar biasa besarnya, perkataan manusia tidak dapat mengungkapkan besarnya urusan itu. Ini merupakan salah satu dari rahasia-rahasia Ilahi yang agung, seperti halnya rahasia penciptaan manusia yang diberi-Nya potensi untuk menerima panggilan itu. Inilah puncak sesuatu yang dapat Anda katakan dalam hal ini. Pengetahuan manusia tidak mampu mengetahui hakikatnya yang sebenarnya. Sehingga, ia harus berhenti pada bingkainya, sampai Allah menyingkapkannya untuknya lantas dia dapat merasakannya dengan perasaannya.

 

Di tempat-tempat (surat-surat) lain terdapat perincian dialog Musa dengan Tuhannya dalam hal ini. Adapun di sini hanya disebutkan secara ringkas untuk memberikan kesan-kesan sepintas. Karena itulah, dalam konteks ini segera diceritakan penugasan Ilahi kepada Musa, sesudah disebutkannya pemanggilan di lembah suci Thuwa,

 

'Pergilah kamu kepada Fir'aun. Sesungguhnya dia telah melampaui batas." (An Naazi'aat: 17)

 

"Thagha" melampaui batas' adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi dan tidak boleh dibiarkan. Ia adalah sesuatu yang sangat dibenci, menimbulkan kerusakan di muka bumi, berlawanan dengan apa yang dicintai Allah dan menyebabkan kebencian-Nya. Maka, untuk mencegahnya, Allah memberi tugas dengan berbicara secara langsung kepada salah seorang hamba pilihan-Nya untuk berusaha menghentikan kejahatan, mencegah kerusakan, dan menghentikan tindakan melampaui batas ini. Sungguh tindakan melampaui batas ini sangat dibenci oleh Allah sehingga Dia berbicara langsung kepadasalah seorang hamba pilihan-Nya agar pergi menghadapi penguasa tiran yang sewenang-wenang dan melampaui batas itu, untuk berusaha mencegahnya dari tindakan-tindakannya dan menyampaikan argumentasi-argumentasi kepadanya sebelum Allah menghukumnya di akhirat dan di dunia! Kemudian Allah mengajarkan kepada Musa bagaimana berbicara kepada thaaghiyah' diktator/ tiran' itu dengan cara yang sangat simpatik dan menarik hati, barangkali Fir'aun mau menghentikan perbuatannya dan takut atas murka dan hukuman Tuhannya,

 

"... dan katakanlah (kepada Fir'aun), Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri. " (An Naazi’aat: 18)

 

Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri dari kotornya perbuatan melampaui batas dan kemaksiatan? Maukah kamu menempuh jalan kesucian dan keberkahan?

 

"... dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya? (An Naazi’aat: 19)

 

Maukah kutunjukkan kepadamu jalan Tuhanmu? Apabila kamu sudah mengetahuinya, niscaya akan timbul di dalam hatimu rasa takut kepada-Nya. Karena tidaklah seseorang bersikap dan berbuat melampaui batas serta melakukan kemaksiatan dan pelanggaran melainkan ketika jauh dari Tuhannya dan ketika ia tersesat jalan menuju kepada-Nya. Lalu, hatinya menjadi keras dan rusak, sehingga ia suka melampaui batas dan berbuat durhaka. Semua ini terlukis dalam pemandangan yang berupa pemanggilan dan penugasan. Sesudahnya adalah pemandangan di mana Musa berhadapan dengan Fir'aun dan menyampaikan ajakan, tetapi tabligh (penyampaian) ini tidak diulang lagi di sini, karena dianggap cukup ditampilkan dan disebutkan di sana. Maka, dilipatlah apa yang terjadi sesudah dibentangkannya pemandangan tabligh, dan diringkaslah pengungkapan tabligh itu dalam pemandangan tabligh. Kemudian diturunkanlah layar di sini untuk diangkat kembali pada akhir pemandangan ketika menghadapi Fir’aun,

 

"Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi, Fir'aun mendustakan dan mendurhakai." (An Naazi'aat: 20-21)

Musa telah menyampaikan apa yang ia ditugaskan untuk menyampaikannya dengan metode sebagaimana yang diajarkan dan diberitahukan Tuhannya kepadanya. Akan tetapi, cara yang simpatik ini tidak berhasil melunakkan hati si diktator yang kosong dari pengetahuan tentang Tuhannya. Karena itu, Musa menunjukkan kepadanya mukjizat yang sangat besar, yaitu mukjizat yang berupa tongkat dan tangan yang putih cemerlang sebagaimana diceritakan di tempat tempat lain. "Tetapi, Fir'aun mendustakan dan mendurhakai. "

 

Berakhirlah pemandangan pertemuan dan tabligh ketika Fir'aun mendustakan dan mendurhakai. Pemandangan ini ditampilkan hanya sepintas kilas saja. Selanjutnya ditampilkanlah pemandangan lain. Yaitu, pemandangan ketika Fir'aun berpaling dari Musa dan dia berusaha mengumpulkan tukang-tukang sihirnya untuk memperlombakan antara sihir dan kebenaran, ketika ia merasa keberatan untuk menerima kebenaran dan petunjuk itu,

 

"Kemudian ia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Dia mengumpulkan (pembesar- pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya seraya berkata, Akulah Tuhanmu yang paling tinggi. "' (An Naazi’aat: 22-24)

 

Ayat-ayat ini segera menampilkan celotehan diktator kafir itu, engan menggambarkan secara garis besar mengenai pemandangan-pemandangan dan perincian-perincian ketika ia berusaha menantang Musa dan mengumpulkan tukang-tukang sihirnya. Ia berpaling seraya berusaha melakukan daya upaya untuk mengumpulkan tukang-tukang sihir dan para pembesar. Kemudian meluncurlah dari mulutnya perkataan yang sangat jelek dan memalukan, penuh dengan ketertipuan dan kebodohan, "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi."

 

Perkataan ini diucapkan oleh si diktator yang tertipu oleh kelengahan, ketundukan, dan kepatuhan pembesar-pembesarnya. Maka, tidaklah seorang tiran atau diktator dapat tertipu seperti tertipunya oleh kelengahan, sikap merendahkan diri, kepatuhan, dan ketundukan pembesar-pembesarnya. Padahal, si tiran itu tidak lain hanyalah seorang manusia yang pada hakikatnya tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apa-apa. Kekuatannya hanyalah pembesar-pembesarnya yang lalai dan penurut itu. Mereka membentangkan punggung untuk dinaikinya, mengulurkan lehernya kepadanya untuk ditarik, menundukkan kepala kepadanya lantas dia naik ke atasnya, dan melucuti hak kemuliaan dan kehormatannya sehingga ia bersikap sewenang-wenang.

 

Para pembesar berbuat demikian karena pada satu sisi mereka tertipu dan pada sisi lain karena takut. Sedangkan rasa takut ini tidak akan timbul kecuali karena kekeliruan persepsi. Seorang tiran, seorang diri tidak mungkin lebih kuat dari beribu-ribu dan berjuta-juta manusia, seandainya mereka menyadari kemanusiaan, kemuliaan, kehormatan, dan kemerdekaannya. Setiap orang dari mereka sepadan dengan si tiran itu, dilihat dari segi kekuatannya, tetapi si tiran itu menipu dan memperdayakan mereka. Seakan-akan ia memiliki kekuatan dan kekuasaan terhadap mereka.

 

Tidak mungkin seorang individu bertindak melampaui batas terhadap umat yang terhormat. Tidak mungkin seorang individu bersikap diktator terhadap umat yang lurus dan benar. Juga tidak mungkin seorang individu bertindak sewenang-wenang terhadap umat yang mengenal Tuhannya, beriman kepada-Nya, dan tidak mau menyembah seorang pun dari makhluk-Nya yang tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan mudharat dan manfaat kepada mereka!

 

Fir’aun menjumpai adanya kelengahan, kehinaan, dan kekosongan hati dari iman di kalangan kaumnya, sehingga menjadikannya berani mengucapkan perkataan kafir dan durhaka ini, "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi." Ia tidak mungkin berani mengucapkan perkataan ini seandainya umat ini pandai, terhormat, dan beriman. Umat yang mengerti bahwa Fir'aun itu hanyalah seorang hamba yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, yang jika dihampiri lalat pun dia tidak akan mampu mengusirnya.

 

Di depan kecongkakan yang tak tahu malu, dan sesudah memaparkan kesombongan yang amat buruk ini, maka bergeraklah kekuatan yang amat dahsyat,

 

"...Maka, Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan di dunia.... (An Naazi’aat: 25)

 

Didahulukannya penyebutan azab akhirat daripada azab dunia di sini karena azab akhirat itu lebih dahsyat dan lebih kekal, serta karena ia adalah azab hakiki (sebenarnya) yang akan menimpa orang­orang yang melampaui batas dan suka berbuat maksiat dengan kedahsyatan siksa itu dan kekekalannya. Juga karena penyebutan ini lebih cocok dalam membicarakan konteks akhirat yang menjadi tema sentralnya, dan karena secara lafal penyebutan ini serasi dengan nuansa musikal dalam persajakannya setelah terdapat keserasian makna beserta terra sentral dan hakikat aslinya. Azab dunia itu pun sangat keras dan pedih, maka bagaimana lagi dengan azab akhirat yang lebih dahsyat dan lebih menyakitkan? Fir’aun itu dahulu(sewaktu di dunia) memiliki kekuatan; kekuasaan, clan kedudukan yang diwariskan kepada penguasa yang sejenisnya, maka bagaimana dengan orang-orang selain Fir'aun yang mendustakan ayat-ayat Allah? Bagaimana dengan orang-orang musyrik yang menentang dakwah itu?

"Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya). 

 

Maka, orang yang mengenal Tuhannya dan takut kepada-Nya itulah orang yang dapat mengambil pelajaran dari cerita Fir’aun tersebut. Adapun orang yang hatinya tidak mengenal takwa, maka antara dia clan pelajaran ini terdapat dinding penghalang, antara dia dan nasihat terdapat tembok penyekat sehingga ia akan membentur akibatnya, dan Allah mengazab­nya dengan azab akhirat dan azab dunia. Setiap orang dimudahkan menempuh jalan hidupnya dan menuai akibatnya, sedangkan pelajaran itu hanyalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.

 

Mengingatkan Kaum Musyrikin dan Semua Manusia kepada Kekuasaan Allah

Setelah melakukan perjalanan melihat-lihat puing-puing kehancuran orang-orang yang melanggar dan melampaui batas dengan segala kekuatannya, maka pembicaraan diputar kembali kepada orang-orang musyrik yang terpedaya oleh kekuatannya. Dikembalikan dan diingatkanlah mereka kepada sesuatu dari fenomena kekuatan yang sangat besar di alam semesta ini yang kekuatan mereka tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengannya,

 

'Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dia menjadi­kan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Dia memancarkan darinya mata airnya, dan (me­numbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. (Semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (An Naazi'aat: 27-33)

 

Ini adalah pertanyaan yang hanya mengandung sebuah jawaban yang harus diterimanya dengan pasrah dan tidak dapat dibantah lagi,

 

'Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit?" (An Naazi'aat: 27)

 

Sudah tentu jawabannya adalah "langit", tanpa dapat dibantah dan disanggah lagi. Karena itu, mengapa kamu tertipu dan terpedaya oleh kekuatanmu, padahal langit itu lebih sulit penciptaannya daripada kamu dan masih ada lagi yang penciptaannya lebih sulit daripada langit itu?

 

Itulah satu sisi dari isyarat pertanyaan itu, dan masih ada sisi yang lain lagi. Maka, persoalan apa lagi yang kamu anggap sulit bagi Allah untuk membangkitkan kamu kembali?. Menciptakan langit itu lebih sulit daripada menciptakan kamu, sedang membangkitkan kamu dari kubur itu hanya mengembalikan atau mengulang penciptaanmu saja. Tuhan yang telah menciptakan langit yang lebih sulit penciptaannya itu sudah tentu berkuasa mengulangi penciptaanmu, dan tentu hal ini lebih mudah. Langit yang lebih sulit penciptaannya tanpa dapat dibantah lagi ini "telah dibangun oleh-Nya." Bangunan itu mengesankan adanya kekuatan dan kekokohan. Demikian pula langit, ia kokoh dan teguh, bintang-gemintangnya tidak acak-acakan dan amburadul. Mereka tidak pernah keluar dari garis edarnya, tidak berguguran, dan tidak berantakan. Maka, langit ini adalah bangunan yang kuat, mantap, kokoh, dan saling menguatkan di antara bagian-bagiannya.

 

'Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya.(An Naazi'aat: 28)

 

"Samku kulli syai-in" adalah bangunan dan ketinggian sesuatu. Langit ditinggikan bangunannya dengan rapi dan kokoh. Inilah yang dimaksud dengan "menyempurnakannya" dalam firman-Nya, "Faawwaahaa lalu menyempurnakannya."

 

Penglihatan murni dan pengamatan biasa dapat menyaksikan keteraturan dan kerapian yang mutlak ini. Makrifat (mengenal) terhadap hakikat undang-undang yang menahan makhluk-makhluk yang besar ini dan menata gerakan-gerakan dan pengaruh serta dampaknya, dapat memperluas makna pelajaran yang ditangkapnya. Juga dapat menambah luasnya jangkauan hakikat yang besar ini, yang tidak dapat dicapai manusia dengan ilmunya kecuali dengan ujung-ujungnya saja. Mereka berhenti di hadapannya dengan terkagum-kagum, terhenyak, dan takut. Mereka tidak mampu menerangkan sebab-sebabnya bila tanpa menetapkan adanya kekuatan terbesar yang mengatur dan menentukan, seandainya mereka tidak beriman kepada agama.

 

'Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang." (An Naazi'aat: 29)

 

Kalimat ini sangat dahsyat bunyi dan maknanya, sesuai dengan pembicaraan tentang kedahsyatan dan kekuatan. "Wa aghthasya lailahaa" artinya sama dengan "azhlamahu" 'menjadikan malamnya gelap gulita', "wa akhraja dhuhaahaa" yakni "adhaa-ahaa" 'menjadikan siangnya terang benderang'. Pemilihan kata ini sejalan dengan konteks masalah. Berurutannya dua keadaan yang berupa gelap dan terang pada waktu malam dan waktu siang merupakan suatu hakikat yang dapat dilihat oleh setiap orang dan mengesankan setiap hati. Namun, kadang-kadang manusia melupakannya karena lamanya kebiasaan ini dan seringnya berulang-ulang.

 

Oleh karena itu, Al Qur'an mengembalikan kebaruannya dengan mengarahkan perasaan ke­padanya. Karena, pada hakikatnya ia senantiasa baru, mengalami kebaruan setiap hari, dan terasa baru pula kesannya dalam kejadiannya. Adapun undang-undang yang ada di belakangnya sangat halus dan agung yang menyebabkan rasa takut dan decak kagum orang yang mengerti dan mengenalnya. Maka, hakikat ini menjadikan hati merasa takut dan berdecak kagum setiap kali ilmunya bertambah dan pengetahuannya berkembang.

 

'Bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Dia memancarkan darinya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. "(An Naazi’aat: 30-32)

 

"Dahwul-ardhi" artinya membentangkan dan menghamparkan permukaannya. Sehingga, ia layak dilewati di atasnya dan pembentukan tanahnya layak untuk ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. Dipancangkannya gunung-gunung menjadikan mantapnya lapisan atas bumi. Dengan adanya gunung-gunung ini pula maka panas bumi mencapai tingkat sedang sehingga layak bagi kehidupan.

 

Allah mengeluarkan air darinya, baik yang memancar dari sumber-sumber maupun yang turun dari langit yang pada dasarnya juga berasal dari bumi yang menguap kemudian turun kembali dalam bentuk hujan. Ditimbulkan-Nya dari bumi itu tumbuh-tumbuhannya yang dimakan oleh manusia dan binatang-binatang ternak untuk menjadi unsur penghidupan manusia secara langsung ataupun tidak langsung. Maka, diingatkannya manusia terhadap keagungan rencana Allah untuk mereka dari satu segi, sebagaimana diisyaratkan tentang keagungan ketentuan Allah terhadap kekuasaan-Nya. Karena, bangunan langit seperti ini dan dihamparkannya bumi sedemikian rupa bukanlah suatu hal yang terjadi secara tak sengaja dan kebetulan belaka. Tetapi, sudah tentu dengan perhitungan dan ukuran yang cocok untuk makhluk yang akan mengelola bumi ini. Juga sesuai dengan yang dibutuhkan bagi semua itu terjadi setelah dibangunnya langit, dijadikannya malam gelap gulita, dan dijadikannya siang terang benderang. Teori astronomi (ilmu falak) modern sangat berdekatan dengan apa yang ditunjuki oleh nash Al Qur an ini ketika teori itu menetapkan bahwa bumi telah melewati masa beratus-ratus juta tahun, sedang ia terus melakukan peredarannya. Siang dan malam silih berganti sebelum dihamparkannya bumi itu dan sebelum ia dapat ditumbuhi. Juga sebelum dimantapkannya kulitnya sebagaimana adanya sekarang di mana ada bagian yang tinggi dan ada bagian-bagian yang datar. Al Qur an menyatakan bahwa semua ini adalah, 

 

"Untuk kesenanganmu dan binatang-binatang ternakmu." (An Naazi'aat: 33)

 

Maka, diingatkannya manusia terhadap keagungan rencana Allah untuk mereka dari satu segi, sebagaimana diisyaratkan tentang keagungan ketentuan Allah terhadap kekuasaan-Nya. Karena, bangunan langit seperti ini dan dihamparkannya bumi sedemikian rupa bukanlah suatu hal yang terjadi secara tak sengaja dan kebetulan belaka. Tetapi, sudah tentu dengan perhitungan dan ukuran yang cocok untuk makhluk yang akan mengelola bumi ini. Juga sesuai dengan yang dibutuhkan bagi eksistensi, pertumbuhan, dan perkembangannya. Hal ini sesuai dengan sistem alam, dan sistem tata surya secara khusus, serta sistem bumi secara leblh khusus.

 

Al-Qur'an dengan metodenya di dalam memberikan isyarat global yang mengandung pokok hakikat ini, di sini menyebutkan kesesuaian-kesesuaian bangunan langit, gelap gulitanya malam, terang benderangnya siang, dihamparkannya bumi, dikeluarkannya airnya, ditumbuhkannya tumbuh-tumbuhannya dan dipancangkannya gunung-gunungnya untuk kesenangan manusia dan binatang-binatang ternaknya. Semua ini merupakan isyarat yang menunjukkan hakikat pengaturan dan penataan pada beberapa bagian lahiriah yang terbuka bagi semua manusia. Juga yang layak dijadikan materi pembicaraan kepada manusia dalam semua lingkungan dan semua masa, dan yang tidak memerlukan ilmu dan pengetahuan yang melebihi kapasitas pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga, khithab 'perkataan' Al-Qur'an ini bersifat umum kepada semua anak manusia pada semua peringkat dan waktu.

 

Di balik tataran ini terdapat jangkauan dan ufuk lain dari hakikat yang sangat besar. Yaitu, hakikat pengaturan dan penataan di alam semesta dan ketidakrnungkinannya semua ini terjadi secara kebetulan dan tanpa disengaja. Tidak mungkin tabiat alam dan keserasian-keserasian yang menakjubkan ini terjadi secara kebetulan.

 

Kesesuaian-kesesuaian dan keserasian-keserasian yang dimulai dengan keberadaan sistem tata surya yang bumi kita dinisbatkan kepadanya, ini tersusun di antara beratus-ratus juta bintang. Burni merupakan planet tersendiri yang tidak terdapat padanannya dalam sistem tata surya, yang menjadikannya layak bagi kehidupan manusia. Hingga sekarang manusia tidak mengetahui adanya planet lain yang memihki keserasian-keserasian mendasar seperti ini, padahal jumlahnya beribu-tibu.

 

Prof Al-Aqqad dalam buku Aqaaidul-Mufakkiriin fil-Qarnil Isyriin halaman 36 berkata, "Hal itu dikarenakan faktor-faktor penyebab kehidupan terpenuhi di planet burni ini dengan ukurannya yang sesuai, jaraknya yang sedang, dan susunannya yang padanya dapat bertemu unsur-unsur materi yang cocok dijalankan gerak kehidupan padanya.

 

Harus ada ukuran yang sesuai, karena keberadaan udara di sekitar planet ini bergantung pada kekuatan daya tariknya. Jaraknya harus sedang, karena sesuatu yang dekat dari matahari itu sangat panas dan tidak memungkinkan jasad-jasad bertahan  padanya. Sedangkan, kalau terlalu jauh dari matahari, ia sangat dingin yang tidak memungkinkan jasad-jasad tersebut dapat bergerak. Juga harus ada unsur-unsur yang memungkinkan digerakkannya aktivitas kehidupan, yang cocok untuk tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan kehidupan yang bertumpu padanya untuk menjadi makanan. Letak bumi yang merupakan tempat paling layak yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang sangat diperlukan bagi kehidupan, dalam bentuk yang kita kenal ini. Kita tidak mengenal bentuk lain hingga sekarang."

 

Penetapan hakikat pengaturan dan penataan terhadap alam yang besar, dan perhitungan penempatan bagi manusia padanya dengan perhatian sedemikian dalam penciptaan dan perkembangannya, merupakan sesuatu yang menyiapkan hati dan pikiran untuk menerima hakikat akhirat dengan perhitungan dan pernbalasannya secara tenang dan penuh kepasrahan. Karena, tidak mungkin alam dan manusia diciptakan begitu saja tanpa disempurnakan, dan tidak mendapatkan pembalasan nanti. Tidak masuk akal urusannya berakhir dengan berakhirnya kehidupan yang singkat di dunia yang fana ini, sedang kejahatan, pelanggaran, dan kebatilan berlalu dengan selamat di muka burni dengan segala akibat yang ditirnbulkannya. Begitu juga dengan kebaikan, keadilan, dan kebenaran serta segala risiko yang dipikulnya akan berlalu begitu saja di muka bumi tanpa mendapatkan balasan apa-apa.

 

Ketetapan seperti ini bertentangan dengan tabiat pengaturan dan penataan yang jelas di alam yang besar ini. Karena itu, bertemulah hakikat yang disentuh konteks ini dalam segmen itu dengan hakikat akhirat yang merupakan tema pokok surah ini. layaklah ia untuk mengantarkan hati dan pikiran agar menerima berita tentang malapetaka sangat besar, yang disebutkan sesudahnya, di tempatnya dan pada waktunya nanti.

 

Ketika Malapetaka yang Sangat Besar Sudah Tiba

 

"Apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia taingat akan apayang telah dikmakannya, dan diperlihat.kan neraka denganjelas kepada setiap orangyang melihat. Adapun orangyang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesunguhnya nerakalah tempat tincal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tühannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesunguhnya surgalah tempat tingal(nya). " (an-Naazi'aat: 34-41)

 

Kehidupan dunia adalah suatu kesenangan dan kenikmatan yang diukur dengan cermat dan teliti, sesuai dengan aturan yang berhubungan dengan alarn secara keseluruhan, kehidupan, dan manusia. Akan tetapi, ia adalah kesenangan dan kenikmatan yang akan habis waktunya. Apabila telah datang malapetaka yang sangat besar, maka ia menutup dan menimpa segala sesuatu. la menimpa kesenangan-kesenangan yang terbatas waktunya itu; menimpa alam yang kokoh dan kuat serta teratur, menimpa langit yang dibangun dan bumi yang dihamparkan, gunung-gunung yang teguh, semua makhluk hidup dan kehidupan; dan menimpa segala sesuatu yang ada. Realitasnya, malapetaka itu sangat besar, lebih besar dari segala yang dikatakan ini. la akan menimpa dan mengenai semuanya itu!

 

Pada waktu itu teringatlah manusia akan apayang telah dikerjakannya. Teringat dan terkenang segala usaha dan perbuatannya. Jika peristiwa-peristiwa kehidupan dan kesibukan-kesibukan mencari kesenangan telah melalaikan dan melupakannya maka saat itu ia akan teringat dan terkenang kepadanya Tetapi, ingatan dan kenangannya itu tidak memberikan faedah sedikit pun kepadanya selain penyesalan dan keputusasaan, serta terbayang olehnya azab dan bencana yang ada di belakangnya. "Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orangYang melihat." (an-Naazi'aat: 36)

 

Neraka terbuka dan terlihat oleh setiap orang yang memiliki penglihatan. Dipergunakannya kata 'burrizat' adalah untuk menegaskan dan menyangatkan makna dan bunyinya, serta menampakkan pemandangan itu kepada setiap mata yang memandang!

 

Pada saat itu tempat kembali dan akibat yang diterima manusia berbeda-beda Tampaklah tujuan pengaturan dan rencana pada penciptaan pertama. 

 

"Adapun orangyang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakaIah tempat tinggal(nya)." (an-Naazi'aat: 37-39)

 

"Melampaui batas" di sini lebih luas cakupannya daripada maknanya yang terbatas. Maka, ia merupakan sifat bagi setiap orang yang melampaui batas kebenaran dan petunjuk. Jangkauannya lebih luas daripada thughat 'para tiran' yang memiliki kekuasaan dan diktator. Melampaui batas di sini mencakup semua orang yang melampaui batas petunjuk serta mengutamakan dan memilih kehidupan dunia daripada memilih kehidupan akhirat. Sehingga, ia bekeja dan berbuat untuk dunia saja, tanpa memperhitungkan akhirat sama sekali.

 

Memperhatikan akhirat inilah yang meletakkan timbangan di tangan manusia dan di dalam hati nuraninya. Apabila ia telah mengabaikan perhitungan akhirat atau lebih mengutamakan dunia maka rusaklah semua timbangan yang ada di tangannya, rusaklah sernua ukuran nilai, rusaklah sernua kaidah berperasaan dan berperilaku di dalam hidupnya. la dianggap sebagai orang yang berlebihan, melanggar, serta melampaui batas dan ukuran.

 

Orang yang demikian ini, "maka sesunguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)". Neraka yang terbuka, terlihat, dekat, dan di hadapan mata, pada hari ketika terjadi malapetaka yang sangat besar.

 

"Adapun orang-orang Yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsumya, maka sesungguhnya surgalah tempat tingal(nya)." (An-Naazi'aat: 40-41)

 

Orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya, tidak akan berani berbuat maksiat. Karena, apabila dia hendak berbuat maksiat atau pelanggaran karena kelemahannya sebagai manusia, maka rasa takutnya kepada kebesaran dan keagungan Tuhan ini akan menuntunnya melakukan penyesalan, istigfar, dan tobat, sehingga ia berada di dalam wilayah ketaatan. 

 

Menahan diri dari keinginan hawa nafsu, merupakan titik pusat di wilayah ketaatan ini. Karena, hawa nafsu itu merupakan pendorong yang kuat terhadap semua pelanggaran, tindakan melampaui batas, dan kemaksiatan. Hawa nafsu adalah pangkal bencana, sumber kejahatan, dan jarang sekali manusia melakukan pelanggaran dan kemaksiatan kecuali karena dorongan hawa nafsu ini. Kebodohan masih mudah diobati, tetapi hawa nafsu setelah yang bersangkutan mengerti adalah suatu penyakit jiwa yang membutuhkan perjuangan yang berat dan panjang untuk mengobatinya.

 

Takut kepada Allah merupakan benteng yang kokoh di dalam menghadapi dorongan-dorongan hawa nafsu yang keras, dan jarang sekali yang dapat menghalangi dorongan hawa nafsu ini selain benteng tersebut. Karena itulah, Al-Qur'an menyebutkan kedua hal ini dalam satu ayat. Maka, yang berbicara seperti ini di sini adalah yang menciptakan nafsu, Yang mengerti substansinya, dan Yang tahu obat-obatnya.

 

Hanya Dia sendirilah yang mengetahui perjalanan dan keinginan-keinginannya. Dia yang mengetahui di mana keinginan-keinginan hawa nafsu dan penyakit-penyakitnya bersembunyi. Dia mengetahui pula bagaimana cara mengembalikan dan mengendapkannya di tempat-tempat persembunyiannya.

 

Allah tidak menugasi manusia agar di dalam dirinya tidak terjadi pertentangan dengan hawa nafsu, karena Dia mengetahui bahwa yang demikian itu di luar kemampuan manusia. Akan tetapi, Dia menugasi manusia untuk mencegah, menundukkan, dan mengendalikannya. Juga supaya meminta pertolongan untuk melakukan hal ini dengan rasa takut kepada kebesaran Tuhannya Yang Mahaluhur, Mahaagung, dan Mahahebat. Dengan perjuangannya yang berat ini maka Allah menetapkan untuknya surga sebagai tempat tinggal dan tempat menetapnya, "Maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal-(nya)".

 

Hal ini disebabkan Allah mengetahui betapa besarnya perjuangan tersebut, dan betapa bernilainya perjuangan tersebut untuk mendidik, meluruskan, dan mengangkat jiwa manusia kepada kedudukan yang tinggi.

 

Sesungguhnya manusia adalah manusia dengan adanya larangan ini padanya, adanya jihad atau perjuangan ini, dan adanya ketinggian ini. Ia bukan bernilai manusia lagi kalau sudah membiarkan dirinya rnengikuti keinginan hawa nafsunya dan memperturutkan daya tariknya ke tingkat yang rendah, dengan alasan bahwa hal itu sudah menjadi rangkaian tabiatnya. Karena itu, Zat yang telah memberikan potensi kepada dirinya untuk mengrkuti hawa nafsu, juga telah memberikan kepadanya potensi untuk mengendalikan diri, menahan diri dari keinginan hawa nafsu, dan melepaskannya dari daya tariknya. Dia telah menjadikan untuknya surga sebagai balasan dan tempat tinggalnya ketika ia menang melawan hawa nafsunya dan dapat meningkat derajatnya ke posisi yang tinggi.

 

Di sana terdapat kebebasan insani yang sesuai dengan penghormatan Allah terhadap manusia. Yaitu, kebebasan untuk mengalahkan hawa nafsunya dan melepaskan diri dari tawanan syahwat, serta bertindak dengan seimbang sesuai dengan kebebasannya untuk memilih dan menentukan sebagai manusia. Di sana juga terdapat kebebasan hewani, yaitu kebebasan yang menjadikan manusia mengalah terhadap hawa nafsunya, mengabdi kepada syahwatnya, dan melepaskan kendali dari kemauannya. Ini adalah kebebasan yang tidak disandang kecuali oleh orang yang telah hancur harkat kemanusiaannya, diperbudak oleh nafsunya, dan memberi pakaian kebebasan palsu terhadap keadaannya yang diperbudak ini.

 

Yang pertarna itulah yang mengangkat harkat dan menjadikannya layak mendapatkan kehidupan yang luhur dan merdeka di surga yang menjadi tempat tinggalnya. Sedangkan yang akhir adalah orang yang terbalik, hina, dan layak hidup di dasar neraka karena harkat kemanusiannya telah disia-siakan. Harkatnya melorot sehingga layak menjadi umpan neraka yang memang bahan bakarnya adalah manusia jenis ini dan batu.

 

Itulah dua tempat kembali yang cocok bagi orang yang jatuh harkatnya dan yang naik posisinya dalam timbangan agama yang menjadi penimbang hakikat segala sesuatu.

 

Tidak Ada yang Mengetahui Kapan Terjadinya Kiamat Kecuali Allah

Kernudian datanglah kesan terakhir yang besar, dalam, dan panjang dalarn surah ini,

 

"(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya ? Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktu)nya ? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari." (an-Naazi'aat: 42-46)

 

Orang«ang musyrik yang keras kepala itu rnempertanyakan kapan terjadinya kiamat kepada Rasulullah saw. setiap mereka mendengar keterangan tentang kengerian hari kiamat dan peristiwa-peristiwanya beserta perhitungan dan pernbalasannya.

 

Jawabannya adalah, "Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan waktunya?" Ini adalah jawaban yang mengisyaratkan betapa besar dan dahsyatnya peristiwa hari itu. Sehingga, diwujudkan dalarn bentuk pertanyaan dengan menganggapnya bodoh, mengejutkan, masih kanak-kanak, dan melampaui batas kalau ia menyebutkan waktunya. Akan tetapi, perkataan ini ditujukan kepada Rasulullah yang agung, "Siapakah kamu maka dapat menyebutkan waktunya ?" Sungguh ini lebih besar daripada kalau Anda yang bertanya tentang waktunya. Maka, urusan ini terserah kepada Tuhanmu. Ini termasuk urusan khusus-Nya, bukan urusanmu.

 

"Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya)." (an-Naazi'aat: 44)

 

Kepada Allahlah kesudahan urusan hari kiamat ini. Dialah yang mengetahui kapan waktu terjadinya dan Dia pula yang mengurus segala sesuatu pada hari itu.

 

"Kamu hanyalah PemberiPeringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit)." (an-Naazi'aat: 45)

 

Inilah tugas dan di sinilah batas Rasulullah saw. Beliau hanya mengingatkan hari kiamat kepada orang yang mau memanfaatkan peringatan. Yaitu, orang yang hatinya merasakan hakikat hari kiamat itu lalu ia takut kepadanya dan beramal untuk menghadapinya, serta menyerahkan urusan waktunya kepada Pemiliknya Yang Mahasuci lagi Mahaluhur.

 

Kemudian dilukiskannya kedahsyatan dan besarnya hari itu dengan lukisan yang menyentuh perasaan dan pikiran. Dibandingkannya kehidupan dunia dengan hari itu di dalam perasaan manusia dan ukuran mereka,

 

"Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tingal (didunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari." (anNaazi'aat: 46)

 

Karena besarnya pengaruh hari kiamat itu di dalam hati sehingga tampak kecil dan singkat kehidupan dunia ini, singkat usianya, kecil peristiwa-peristiwanya, sedikit kesenangannya dan segala sesuatunya; maka tampaklah oleh para pelakunya seakan-akan kehidupan dunia itu hanya setengah hari saja, yaitu waktu sore atau waktu pagi hari saja.

 

Dilipatlah kehidupan dunia yang para penghuninya saling berperang dan membinasakan untuk mendapatkannya. Mereka lebih mengutamakan dunia, sehingga untuk mendapatkannya mereka tinggalkan bagian mereka di akhirat Untuk mendapatkannya pula, mereka melakukan dosa-dosa, kemaksiatan, dan pelanggaran. Mereka juga dihanyutkan oleh hawa nafsunya untuk hidup di sana. Dilipatlah kehidupan ini di dalam jiwa pelakunya sendiri. Maka, kehidupan dunia itu bagi mereka ketika datangnya hari kiamat hanyalah seperti hidup pada sore atau pagi hari saja (setengah hari).

 

Inilah kehidupan dunia yang pendek, singkat, remeh, mudah lenyap, tak berharga, dan tak ada nilainya. Maka, layakkah hanya karena mencari ke hidupan yang cuma seperti di waktu sore atau pagi hari saja lamanya, menjadikan mereka mengorbankan akhirat? Atau, layakkah karena hendak mengikuti syahwat yang sebentar saja, mereka tinggalkan surga sebagai tempat tinggal dan tempat kediaman?

 

Sungguh sikap seperti itu adalah kebodohan yang sangat besar. Kebodohan yang tidak pantas disandang oleh manusia yang dapat mendengar dan melihat!

 

Sumber:

1.     https://www.sakaran.com (terjemahan per ayat dan per kata)

2.     Fi Zhilalil Qur'an

 

No comments:

Post a Comment