Tuesday, June 5, 2018

Manhaj Dakwah dalam Kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam

Oleh: M. Indra Kurniawan
Sayyid Qutb rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an, bahwa satu-satunya surah yang Allah Ta’ala turunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa-masa sulit dalam sejarah dakwah dan kehidupannya, adalah surah Yusuf. Surah ini diturunkan antara ‘amul huzni (tahun duka cita karena kematian Abu Thalib dan Khadijah) dan masa baiat Aqabah pertama yang dilanjutkan dengan Baiat Aqabah kedua. Pada saat itu selain mengalami kesedihan karena ditinggal dua orang yang menjadi sandarannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengalami kesedihan akibat pengasingan dan keterputusan hubungan di tengah-tengah masyarakat Quraisy.
Maka Allah Ta’ala menceritakan kepada Nabi-Nya yang mulia ini kisah Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim, yang juga mengalami berbagai macam ujian dan cobaan. Yaitu ujian berupa tipu daya dari saudara-saudaranya, dimasukkan ke dalam sumur dengan penuh rasa takut. Kemudian menjadi budak yang diperjual belikan dari satu tangan ke tangan yang lain, dengan tidak ada perlindungan dari orang tua dan keluarganya. Setelah itu ia diuji dengan tipu daya dari istri penguasa Mesir. Selanjutnya ia diuji dengan dimasukkan ke dalam penjara setelah sebelumnya hidup dalam kelapangan dan kemewahan di istana sang penguasa.
Setelah diuji dengan kepahitan, berikutnya Yusuf diuji dengan kemakmuran dan kekuasaan yang mutlak ditangannya, mengatur urusan pangan dan perekonomian masyarakat. Akhirnya ia diuji berupa rasa kemanusiaan dalam menghadapi saudara-saudaranya yang dahulu telah memasukkannya ke dalam sumur dan merekalah yang menjadi sebab bagi ujian-ujian dan penderitaan dalam hidupnya.
Semua ujian dan cobaan itu dihadapi Yusuf dengan sabar sambil terus mendakwahkan Islam dari celah-celahnya. Pada akhirnya ia dapat lepas dari semua ujian dan cobaan itu.
Surah ini, kata Sayyid Qutb, bertujuan untuk menyenangkan, menghibur, dan menenangkan serta memantapkan hati orang terusir, terisolir, dan menderita, yakni Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Didalamnya diisyaratkan tentang berlakunya sunnah Allah ketika para rasul sudah merasa putus asa menghadapi kaumnya, bahwa akan ada jalan keluar yang membawa kepada kegembiraan yang didambakan setelah sekian lama mengalami ujian dan cobaan.[1]
Ahsanul Qasasi
Surah Yusuf disebut oleh Allah Ta’ala sebagai ahsanul qasasi (kisah yang paling baik),  karena di dalamnya banyak mengandung ‘ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf, 12: 111).
Secara khusus surah ini pun menjadi bekalan yang sangat berharga bagi harakah Islamiyah di masa kini untuk menyiapkan kesabaran di atas kesabaran dalam mengarungi kehidupan perjuangan di jalan Allah Ta’ala.
Sedikitnya ada delapan pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari kisah Yusuf iniPelajaran-pelajaran berikut ini layak menjadi manhaj (pedoman) bagi harakah Islamiyah,
Pertama, pelajaran tentang perlunya mewaspadai kaum pendengki dengan cara merahasiakan sebagian berita yang mungkin dapat mengusik mereka. 
Ucapan Ya’qub ‘alaihis salam kepada Yusuf alaihis salam yang dimuat dalam ayat 4 dan 5 menggambarkan hal ini,

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

(Ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa Ya’qub ‘alaihis salam mengkhawatirkan Yusuf ‘alaihis salam akan menceritakan mimpinya kepada salah seorang saudaranya, padahal mimpi itu dapat menimbulkan kedengkian diantara mereka, karena takwil mimpi itu menggambarkan ketundukan, penghormatan, pengagungan, dan pemuliaan mereka kepada Yusuf ‘alaihis salam dengan berlebihan hingga mereka tersungkur sambil bersujud.
Ayat ini memberikan pelajaran kepada harakah Islamiyah untuk berhati-hati dalam menyampaikan materi dakwah. Tidak semua berita harus diberitakan segera. Tidak semua ilmu harus disampaikan segera. Adakalanya sebagian ‘berita-berita’ harus ‘disembunyikan’ untuk menghindarkan diri dan jama’ah dakwah dari kemudharatan yang mungkin timbul. Apalagi kaum pendengki senantiasa mencari celah untuk menghantam dan melemahkan harakah Islamiyah.
Islam bahkan mengajarkan, kadang-kadang bukan hanya ‘berita buruk’ saja yang harus disembunyikan, tetapi juga ‘berita baik’.
Masih ingatkah kita kisah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan sandal Rasulullah? Perhatikanlah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini:
Suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sandal beliau kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu seraya berkata,

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَأَعْطَانِي نَعْلَيْهِ قَالَ اذْهَبْ بِنَعْلَيَّ هَاتَيْنِ فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ

“Hai Abu Hurairah, pergilah kamu, bawa sandalku ini. Lalu, siapa saja yang kamu temui di balik tembok ini,  yang telah menyatakan bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya, dia akan masuk surga.”
Maka yang pertama-tama ditemui Abu Hurairah ialah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dia bertanya,

مَا هَاتَانِ النَّعْلَانِ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ

“Apa maksud sepasang sandal ini, Hai Abu Hurairah?” 
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menjawab:

هَاتَانِ نَعْلَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَنِي بِهِمَا مَنْ لَقِيتُ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ بَشَّرْتُهُ بِالْجَنَّةِ

“Ini sandal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyuruh aku membawanya (dengan pesan), siapa saja yang aku temui telah menyatakan, bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka aku beri kabar gembira, dia bakal masuk surga.”
Mendengar hal itu, tiba-tiba Umar radhiyallahu ‘anhu menghantamkan tangannya ke dada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sampai ia jatuh terduduk, seraya berkata,

ارْجِعْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ

“Kembali, hai Abu Hurairah!”. 
Maka Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pun kembali menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setengah menangis, sementara Umar membuntutinya.

مَا لَكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ

“Kenapa kamu hai Abu Hurairah?” Tanya Rasul kepada Abu Hurairah.
Ia menjawab,

لَقِيتُ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي بَعَثْتَنِي بِهِ فَضَرَبَ بَيْنَ ثَدْيَيَّ ضَرْبَةً خَرَرْتُ لِاسْتِي قَالَ ارْجِعْ

“Saya bertemu Umar, lalu saya beritahu dia apa yang telah tuan perintahkan kepadaku, tapi tiba-tiba dia memukul dadaku sampai aku jatuh terduduk, seraya menyuruh aku kembali.”

 يَا عُمَرُ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ

Rasul bertanya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu“Hai Umar, kenapa kamu melakukan seperti ini?”
Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab,

يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَبَعَثْتَ أَبَا هُرَيْرَةَ بِنَعْلَيْكَ مَنْ لَقِيَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ بَشَّرَهُ بِالْجَنَّةِ

“Ya Rasulullah, aku tebus engkau dengan ayah bundaku, benarkah engkau menyuruh Abu Hurairah membawa sandalmu (dengan berpesan), barangsiapa yang dia temui telah menyatakan tiada Tuhan melainkan Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka dia beri kabar gembira bakal masuk surga?”

 نَعَمْ

“Benar,” jawab Rasul.
Maka Umar menyarankan,

فَلَا تَفْعَلْ فَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَتَّكِلَ النَّاسُ عَلَيْهَا فَخَلِّهِمْ يَعْمَلُونَ

“Jangan lakukan itu. Karena saya benar-benar khawatir orang-orang akan mengandalkan kata-kata itu saja. Sebaiknya, biarkanlah mereka beramal.” 
Akhirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

فَخَلِّهِمْ

“Kalau begitu, biarkan mereka.” (Silahkan lihat: HR. Muslim Nomor 46)
Dari hadits ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa realita pemahaman masyarakat kadang-kadang mengharuskan kita untuk sabar dan tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan tahapan ini atau itu dalam berdakwah.
Kita hendaknya menyampaikan dakwah hanya kepada orang yang telah siap mendengarkan dan menghargainya serta memahami di mana posisi dari perkara yang diserukan dalam Islam secara keseluruhan.
Sudah seharusnya pula kita menyampaikan dakwah pada saat yang tepat, pada tempat dan kerangka yang bisa memperjelas hakekat dan arti sebenarnya dari perkara yang diserukan tersebut, serta dapat menghilangkan keraguan yang mungkin terjadi. Jangan sampai dakwah menimbulkan kesalahfahaman orang terhadap sistem Islam, karena ada masalah-masalah yang baru bisa difahami setelah memahami dulu masalah-masalah lainnya.
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pandangan Umar radhiyallahu ‘anhu untuk mencegah tersebarnya kabar gembira seperti di atas di kalangan orang banyak saat itu. Meskipun akhirnya Abu Hurairah menyampaikan juga hadits ini, tentu saja ketika dia tahu telah tiba saatnya yang tepat bagi kaum muslimin untuk memahaminya secara tuntas.[2]
Kembali lagi pada masalah kewaspadaan terhadap kaum pendengki, dalam surah Yusuf ayat 4 dan 5 ini pun di isyaratkan bahwa kaum pendengki itu tidak selalu berasal dari kalangan eksternal, tapi mungkin juga datang dari kalangan internal.
Walaupun memiliki hubungan darah, saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam ternyata merasa cemburu, iri, dan dengki, sehingga tega merencanakan makar dengan didasari kepentingan yang sama. Mereka merekayasa tipu daya, kebohongan, bersandiwara, dan mengajukan bukti-bukti palsu demi untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Yusuf ‘alaihis salam. Bahkan saking dengkinya, diantara saudara-saudara Yusuf ada yang mengusulkan upaya pembunuhan terhadap Yusuf.
Perhatikanlah untaian surah Yusuf ayat 8 – 18 berikut ini,
“(yaitu) ketika mereka berkata: ‘Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.'”
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.”
“Seorang diantara mereka berkata: ‘Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.'”
“Mereka berkata: ‘Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.”
“Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya.”
“Berkata Ya’qub: ‘Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah dari padanya.'”
“Mereka berkata: ‘Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi (pengecut/tidak berarti).'”
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan Yusuf), dan (di waktu Yusuf sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: ‘Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.'”
“Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis.”
“Mereka berkata: ‘Wahai ayah Kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang Kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.'”
“Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: ‘Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.””
Kedua, pelajaran tentang pentingnya menghadirkan kesabaran dalam menghadapi makar musuh.
Di jalan dakwah ini, seorang aktivis harus memiliki kesiapan mental untuk menghadapi makar para pendengki dan musuh dakwah. Karena makar itu adakalanya mencoreng kehormatan dan menjadikan mereka terhina. Namun yakinilah, selama mereka ikhlash dalam melangkah, Allah Ta’ala akan senantiasa membimbing dan menolong mereka. Apalagi cobaan itu hanyalah untuk sementara waktu saja sifatnya.
Kisah dalam surah Yusuf ‘alaihis salam mengajarkan bahwa harus ada kesabaran di atas kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan. Yusuf ‘alaihis salam setelah dimasukkan ke dalam sumur dan dipungut oleh kafilah dagang, dijadikan budak belian yang begitu terhina. Bahkan di ayat 20 disebutkan, beliau dijual dengan harga yang murah,

وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”
Sesungguhnya kesabaran itu akan menggiring kita pada kebangkitan. Makar para pendengki kadang menjadi kesempatan bagi para da’i untuk mengkonsolidasikan kekuatan. Ia menjadi wahana tarbiyah rabbaniyyah dalam rangka mematangkan kesiapannya mengarungi medan yang lebih luas.
Lihatlah Yusuf ‘alaihis salam, karena kesabarannya,  Allah Ta’ala kemudian menyiapkan untuknya seorang pembeli dari Mesir yang akan memperhatikan dan memuliakannya. Yusuf ‘alaihis salam ditempatkan oleh Allah Ta’ala di negeri Mesir lalu dikuatkanlah ia dengan hikmah dan ilmu,

وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ ۚ وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. Dan tatkala dia cukup dewasa, kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf, 12: 21 – 22).
Tentang ayat ini Sayyid Qutb rahimahullah berkata, “Inilah Yusuf! Saudara-saudaranya menghendaki sesuatu terhadapnya, tetapi Allah menghendaki sesuatu yang lain untuknya. Karena Allah itu berkuasa atas segala urusan-Nya. Sedangkan saudara-saudara Yusuf, mereka tidak berkuasa atas urusan mereka sehingga Yusuf dapat lepas dari tangan mereka dan bebas dari apa yang mereka kehendaki terhadapnya…”
Jadi, makar kaum pendengki kadang malah jadi penghantar menuju kemenangan dan kemuliaan dari Allah Ta’ala. Makar yang mereka rencanakan dijadikan jalan oleh Allah Ta’ala untuk menggenapkan rencana-rencana-Nya.

وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

“Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml, 27: 50)
Allahu Akbar wa lillahil hamd!
Ketiga, pelajaran tentang kesadaran akan keniscayaan ujian yang akan datang silih berganti. 
Karena ujian adalah sunnatullah yang pasti berlaku dan tidak mungkin dihindari.
Di jalan dakwah ini para da’i pasti mengalami ujian berupa hambatan, rintangan, dan godaan. Semuanya akan datang berturut-turut silih berganti.
Yusuf ‘alaihis salam pun mengalami hal itu. Setelah sejenak bernafas lega dapat tinggal di istana, datanglah godaan menghampirinya: godaan wanita!

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ۖ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ ۚ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntungSesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf, 12: 23 – 24)
Namun dengan bekal keimanan, Yusuf ‘alaihis salam mampu menghindarkan dirinya dari perbuatan tercela itu. Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Yusuf punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah Ta’ala tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Potongan ayat ini menamkan pelajaran yang berharga kepada para pengemban dakwah, bahwa mereka harus selalu waspada pada setiap godaan dunia. Mereka harus selalu memperkuat sikap ihsan. Jangan sampai mengalami disorientasi dalam kehidupan. Dengan demikian mereka perlu melakukan tazkiyatu nafs secara berkesinambungan agar tidak mudah tergoda dunia.
Penolakan Yusuf ‘alaihis salam terhadap Zulaikha ternyata berbuntut panjang. Wanita penggoda Yusuf ‘alaihis salam itu menimpakan kecelakaan berikutnya dengan melemparkan tuduhan keji kepadanya. Jadilah Yusuf ‘alaihis salam tertuduh.

وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ ۚ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلَّا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: ‘Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?’ (QS. Yusuf, 12: 25)
Inilah konsekwensi yang harus dihadapi jika kita bersikap konsisten pada kebenaran. Bersiaplah dengan fitnah-fitnah yang akan datang. Bersabarlah. Bertahanlah dalam kebenaran. Allah Ta’ala pasti menolong hambanya yang berpegang teguh pada kebenaran dalam situasi sesempit apa pun.
Lihatlah Yusuf ‘alaihis salam, dalam keadaan terpojok dengan tuduhan keji dan berusaha membela diri, ternyata Allah Ta’ala berkenan membelanya dengan cara mendatangkan orang-orang yang adil dan bersikap objektif. Bahkan orang yang menjadi pembela tersebut berasal dari lingkungan keluarga wanita penuduh itu sendiri.

قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي ۚ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَإِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Yusuf berkata: ‘Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.’ (QS. Yusuf, 12: 26-27).
Yusuf ‘alaihis salam kemudian diminta merahasiakan kejadian yang memalukan itu,

يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَٰذَا ۚ وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ ۖ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ

“Yusuf, berpalinglah dari ini, dan (kamu hai isteriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah” (QS. Yusuf, 12: 29)
Tetapi tetap saja berita itu tersebar luas di masyarakat. Meskipun ia tidak bersalah, namun gosip itu tetap saja membuatnya tidak nyaman.

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ ۖ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا ۖ إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dan wanita-wanita di kota berkata: ‘Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.’ (QS. Yusuf, 12: 30).
Gosip-gosip tidak sedap adalah bentuk lain dari ujian dan cobaan. Setiap da’i harus menghadapinya dengan sabar. Kadang ada segelintir orang yang merekayasa gosip-gosip tidak sedap itu, bahkan sampai pada upaya pemutarbalikan fakta. Inilah yang terjadi kepada Yusuf.

ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الْآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّىٰ حِينٍ

“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu.” (QS. Yusuf, 12: 35)
Tentang ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka memenjarakannya (Yusuf) setelah tersiar berita yang mengesankan seolah-olah Yusuflah yang merayu istri Al-Aziz.”
Begitulah, ujian datang bertubi-tubi. Yusuf ‘alaihis salam kemudian dipenjara, meskipun ia tidak bersalah. Ruang geraknya dibatasi demi melindungi aib istri pejabat yang tengah terpikat dan bergelora cintanya. Yusuf ‘alaihis salam tetap bersabar. Di satu sisi ia pun bersyukur karena Allah Ta’ala telah mengabulkan do’anya,

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 12: 33).
Ya, penjara baginya lebih baik daripada terganggu oleh godaan wanita yang tetap bernafsu untuk menundukkannya.

قَالَتْ فَذَٰلِكُنَّ الَّذِي لُمْتُنَّنِي فِيهِ ۖ وَلَقَدْ رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ ۖ وَلَئِنْ لَمْ يَفْعَلْ مَا آمُرُهُ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُونًا مِنَ الصَّاغِرِينَ

“Wanita itu berkata: ‘Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina'”. (QS. Yusuf, 12: 32)
Keempat, pelajaran tentang dakwah yang tidak kenal henti. 
Dalam situasi sesulit apa pun, dan kondisi yang sempit, dakwah tetap harus dikobarkan.
Bersama Yusuf ‘alaihis salam masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. Keduanya meminta kepada Yusuf  ‘alaihis salam untuk mentakwilkan mimpi mereka, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.” dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” Dua orang pemuda itu adalah pelayan-pelayan raja; seorang pelayan yang mengurusi minuman raja dan yang seorang lagi tukang buat roti.
Perhatikanlah bagaimana Yusuf ‘alaihis salam memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan dakwahnya,

قَالَ لَا يَأْتِيكُمَا طَعَامٌ تُرْزَقَانِهِ إِلَّا نَبَّأْتُكُمَا بِتَأْوِيلِهِ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَكُمَا ۚ ذَٰلِكُمَا مِمَّا عَلَّمَنِي رَبِّي ۚ إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

“Yusuf berkata: ‘Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian.”

وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ ۚ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya). 

 يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa

 مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf, 12: 37- 40).
Ayat-ayat ini menggambarkan kepiawaian Yusuf ‘alaihis salam dalam berkomunikasi dakwah. Sayyid Qutb rahimahullah berkata, “Tampak sekali metode pembicaraan Yusuf yang halus dalam memasuki jiwa orang tersebut. Tampak pula kecerdasan dan kecerdikannya di dalam mengungkapkan kalimat yang halus dan lembut.”
Mula-mula Yusuf ‘alaihis salam menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa dia akan mentakwilkan mimpi mereka karena Tuhannya telah mengajarinya ilmu. Namun dengan kepiawaiannya Yusuf ‘alaihis salam mulai menggiring pembicaraan untuk mengenalkan ajaran tauhid yang diyakininya. Setelah seruannya selesai, barulah ia menjelaskan takwil mimpi yang diminta kedua temannya itu.
Sayyid Qutb rahinahullah kembali berkomentar, “Ini merupakan cara masuk yang halus…selangkah demi selangkah…penuh kehati-hatian dan lemah lembut…Kemudian ditanamkan ke dalam hati mereka lebih banyak dan lebih banyak lagi. Dan dijelaskanlah kepada mereka akidahnya dengan sejelas-jelasnya, Disingkapkannya kerusakan akidah mereka dan kaum mereka, serta keburukan realitas kehidupan yang mereka jalani…”
Kisah Yusuf di atas mengajarkan kepada para da’i, bahwa dalam kondisi apa pun dakwah harus tetap dijalankan. Tak kenal henti.  Ayat-ayat di atas mengisyaratkan pula bahwa para da’i harus memiliki visi yang jelas dalam dakwahnya; memiliki target dan memahami prioritas dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan para mad’u (objek dakwah).
Ditegaskan di dalam kisah ini bahwa prioritas dakwah adalah seruan kepada tauhid. Kisah Yusuf mengajarkan kepada para da’i untuk tidak terjebak atau membatasi diri  pada hal-hal populis dalam seruan dakwahnya, sementara lupa pada misi utama yang diembannya.
Satu hal lagi yang diajarkan dalam ayat-ayat ini, bahwa upaya-upaya untuk keluar dari kesempitan harus terus dilakukan. Yusuf melakukan hal itu dengan meminta kepada temannya untuk menyampaikan hal dirinya kepada Raja Mesir. Hal ini diharapkan dapat menjadi jalan kebebasannya.

وَقَالَ لِلَّذِي ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِنْهُمَا اذْكُرْنِي عِنْدَ رَبِّكَ فَأَنْسَاهُ الشَّيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ فِي السِّجْنِ بِضْعَ سِنِينَ

“Dan Yusuf Berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: ‘Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.’ Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf, 12: 42).
Kelima, pelajaran tentang pentingnya para da’i memiliki keunggulan ilmu. 
Keunggulan ilmu, mutlak dibutuhkan oleh para da’i. Dengan keunggulan itu mereka dapat memberi dan menawarkan solusi kepada umat. Begitulah kisah Yusuf ‘alaihis salam mengajarkan kepada kita. Saat Raja dibingungkan oleh mimpinya yang aneh Yusuf ‘alaihis salam kemudian mampu menjelaskannya. Ia dapat memprediksi masalah-masalah yang akan menimpa masyarakat dan sekaligus mampu memberikan solusinya.
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): ‘Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat mena’birkan mimpi.'”
“Mereka menjawab: ‘(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta’birkan mimpi itu.”
“dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: ‘Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena’birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).'”
“(setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): ‘Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.'”
“Yusuf berkata: ‘Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.'”
“Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.”
“Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur.”
Ayat-ayat ini harus menjadi renungan bagi para da’i masa kini. Sudahkah mereka mampu memberi dan menawarkan solusi pada masyarakat?
Harus difahami bahwa pekerjaan da’i hendaknya tidak hanya terbatas pada urusan perbaikan akidah dan ibadah. Kontribusi mereka hendaknya tidak terbatas pada urusan moral semata. Di dalam kisah ini Allah Ta’ala menyampaikan pesan, bahwa seorang da’i pun harus mampu berbicara tentang ‘masalah dunia’ yang ada dalam realita masyarakatnya.
Oleh karena itu jama’ah dakwah hari ini, harus mampu menghimpun bibit unggul, menyiapkan iron stock, sebagai upaya turut serta dalam memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Keenam, pelajaran tentang perlunya melakukan upaya rehabilitasi citra diri dan dakwah.
Simaklah ayat-ayat berikut ini,

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ ۖ فَلَمَّا جَاءَهُ الرَّسُولُ قَالَ ارْجِعْ إِلَىٰ رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ مَا بَالُ النِّسْوَةِ اللَّاتِي قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ ۚ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيمٌ

“Raja berkata: ‘Bawalah dia kepadaku’. Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: ‘Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha Mengetahui tipu daya mereka'”.

قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ ۚ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ ۚ قَالَتِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ الْآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ

“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): ‘Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?’ Mereka berkata: ‘Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya’. Berkata isteri Al Aziz: ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar'”.

ذَٰلِكَ لِيَعْلَمَ أَنِّي لَمْ أَخُنْهُ بِالْغَيْبِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ

“(Yusuf berkata): ‘Yang demikian itu agar dia (Al Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.”

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Surat Yusuf ayat 50 – 53 ini menginformasikan bagaimana upaya Yusuf ‘alaihis salam merahabilitasi nama baiknya. Ia telah digosipkan melakukan rayuan kepada majikannya untuk berbuat serong sehingga ia dipenjara. Saat Raja memanggilnya untuk menghadap, Yusuf menolak, ia meminta terlebih dahulu agar Raja melakukan penyelidikan terhadap kasus yang dituduhkan kepadanya. Dengan upayanya itu, tersingkaplah kebenaran. Nama baiknya kembali pulih. Wanita penggoda Yusuf  pun mengakui kesalahannya.
Sikap Yusuf seperti itu dipuji oleh Rasaulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hal itu menunjukkan keutamaan dan kesabaran Yusuf. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لَوْ كُنْتُ أَنَا لأَسْرَعْتُ الإِجَابَةَ, وَمَا ابْتَغَيْتُ العُذْرَ

“Jika yang dipenjara itu aku, niscaya aku akan bergegas memenuhi ajakan utusan itu dan tidak akan meminta alasan.” (HR. Ahmad).[3]
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah perlunya para da’i mengupayakan rehabilitasi atas citra buruk yang disematkan musuh-musuh kepada dirinya dan dakwah. Mereka harus berupaya menutup celah-celah yang mungkin dimanfaatkan oleh para pendengki di kemudian hari.
Citra yang baik sangat dibutuhkan dalam dakwah. Karena ia dapat meningkatkan kepercayaan dan dukungan.
Ketujuh, pelajaran tentang pentingnya kesiapan para da’i berkontribusi dan memikul tanggung jawab kenegaraan. 
Saat Raja meminta Yusuf ‘alaihis salam untuk membantu pemerintahannya, Yusuf ‘alaihis salam menawarkan diri untuk mengisi jabatan bendaharawan negara. Hal ini disebutkan dalam ayat 54 – 55,

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku’. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami’.

 قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan’.
Sayyid Qutb rahimahullah menjelaskan bahwa Yusuf ‘alaihis salam hanya meminta jabatan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakininya akan melindungi orang-orang dari kematian, melindungi negara dari kehancuran dan kelaparan.
Yusuf tidak meminta kedudukan demi kepentingan diri sendiri, sesungguhnya tugas mencukupi kebutuhan makanan suatu bangsa yang dilanda kelaparan selama tujuh tahun berturut-turut, tidak seorang pun mengatakannya sebagai keberuntungan. Sesungguhnya tugas ini merupakan beban yang dihindari oleh setiap orang.[4]
Point ketujuh ini memperkuat apa yang sudah dijelaskan sebelumnya pada point kelima, bahwa para da’i harus memiliki keunggulan ilmu, dengan begitu ia akan mampu memberikan kontribusi dan siap memikul tanggung jawab demi kemaslahatan masyarakat.
Ayat ini mengisyaratkan, hendaknya para da’i mau mempersiapkan diri dan tidak segan menjadi pengelola negeri. Siap mengemban tugas negara untuk memberikan kebaikan kepada masyarakat secara luas tanpa melihat latar belakang mereka, apa pun suku, agama, dan ras mereka. Karena tugas para da’i adalah beramal saleh, menebarkan seruan Islam, dan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Allah Ta’ala tidak menuntut kita untuk berhasil secara total mengislamkan masyarakat seluruhnya, walaupun itu harus kita upayakan dengan sangat keras. Ketahuilah, sesungguhnya urusan hidayah adalah urusan Allah Ta’ala semata.
Itulah yang dilakukan Yusuf di negeri Mesir. Ia berkontribusi, beramal, dan berusaha menyelamatkan masyarakat dari kelaparan; menyelamatkan negara dari kehancuran. Agama raja dan masyarakatnya yang jauh dari ajaran tauhid tidak menghalanginya untuk menebarkan kebaikan.
Tentu saja dengan kekuasaannya, Yusuf ‘alaihis salam terus berusaha menyeru masyarakatnya kepada tauhid, tetapi sekali lagi, urusan hidayah adalah urusan Allah Ta’ala. Al-Qur’an bahkan menyebutkan bahwa Yusuf  ‘alaihis salam ‘gagal’ menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat Islam secara menyeluruh.
Allah Ta’ala mengungkapkan hal ini dengan firman-Nya,

وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا هَلَكَ قُلْتُمْ لَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ مِنْ بَعْدِهِ رَسُولًا ۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُرْتَابٌ

“Dan sesungguhnya Telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: ‘Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya.’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu.” (QS. Mu’min, 40: 34)
Ini adalah kalimat yang disampaikan oleh anak paman Fir’aun yang beriman kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Ia menyatakan ini untuk mengingatkan Fir’aun tentang ajaran tauhid yang pernah diserukan di negeri Mesir dahulu kala.[5]
Jadi, Yusuf ‘alaihis salam  telah mengajak mereka beriman dan memberikan bukti-bukti kerasulannya yaitu ajaran-ajaran tentang iman kepada Allah Ta’ala dan berbuat baik, serta mu’jizat-mu’jizat yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Akan tetapi mereka tetap tidak mau percaya kepadanya. Mereka hanya mematuhinya sebagai seorang menteri atau pembesar negara.[6]
Kenyataan seperti ini menjadi penegasan kepada para da’i bahwa mereka berdakwah semata-mata karena Allah Ta’ala. Mereka berkontribusi dan berbuat kebaikan kepada negara semata-mata karena ibadah kepada-Nya. Jihad siyasi yang dilakukan para da’ai saat ini adalah sebuah ikhtiar agar mereka mampu beramal lebih banyak dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa Islam itu adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Kedelapan, pelajaran tentang keharusan berbuat baik dan memaafkan kesalahan kaum pendengki.
Ayat 58 – 101 dari surah Yusuf mengisahkan episode terakhir kisah Yusuf ‘alaihis salam. Bagaimana Yusuf ‘alaihis salam setelah diberikan kedudukan yang mulia mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Bahkan ia tidak hanya memberikan manfaat kepada rakyat Mesir saja, akan tetapi meluas sampai ke negeri-negeri di sekitarnya.
Disini diceritakan bahwa saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam dari negeri tetangga datang memohon pertolongan. Disinilah Yusuf ‘alaihis salam diuji kembali kesabarannya. Apakah ia tetap sabar atau melampiaskan kemarahannya atas perilaku zalim saudara-saudaranya itu sebelumnya?
Yusuf ternyata memilih untuk bersabar, berbuat baik, dan memaafkan saudara-saudaranya itu.

قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”. (QS. Yusuf, 12: 92).
Begitulah seharusnya seorang mu’min. Begitulah seharusnya para pengemban dakwah bersikap. Kelak ketika mereka diberikan kemuliaan oleh Allah Ta’ala berupa kekuasaan dan kehormatan, ia harus mampu tetap berbuat baik dan memaafkan orang-orang yang pernah mendengki dan mencelakakannya.
Itu pula yang dilakukan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam saat peristiwa Fathu Makkah. Beliau berseru kepada orang-orang Quraisy, “Wahai orang-orang Quraisy, menurut kalian, bagaimana tindakanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kebaikan. Saudara yang mulia. Keponakan yang mulia.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah kalian. Sekarang kalian adalah orang-orang yang merdeka.”[7]
Terakhir, marilah kita renungkan do’a yang dipanjatkan Yusuf ‘alaihis salam kepada Tuhannya,

رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ ۚ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf, 12: 101)
Demikianlah diantara mutiara-mutiara hikmah yang dapat digali dari kisah yang terbaik ini. Semoga Allah Ta’ala senantiasa mencurahkan hidayah dan bimbingan-Nya kepada kita semua dalam mengarungi jalan dakwah ini. Amin Ya Rabbal ‘Alamin…

 Maraji’

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, Gema Insani Press.
Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid VI, Sayyid Qutb, Gema Insani Press.
Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, Kementerian Agama RI.
Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah.
Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Cahaya Press.

Catatan Kaki:


[1] Lihat terjemah Fi Zhilalil Qur’an, Gema Insani Pressjilid 6 hal. 301 – 303.
[2] Lihat: Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Hal. 91 – 93, Cahaya Press.
[3] Lihat: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Gema Insani Press, hal. 862
[4] Lihat: Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid VI, Gema Insani Press,  hal. 366-367
[5] Para ulama berbeda pendapat tentang nama anak paman Fir’aun ini. Al-Khazin dan An-Nasafi menyebutnya bernama Sam’an atau Habib, sementara ada yang menyebutnya bernama Kharbil atau Hazbil. (lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 530).
[6] Lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 536.
[7] Lihat: Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah, hal. 477.
Sumber: https://tarbawiyah.com/2018/05/31/manhaj-dakwah-dalam-kisah-nabi-yusuf-alaihis-salam/

No comments:

Post a Comment