Friday, April 5, 2019

Hadits Arbain 14: Islam Tidak Melindungi Jiwa Pezina


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,"Darah orang Muslim tidak halal kecuali karena salah satu dari tiga sebab; orang yang telah menikah yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishas), dan orang yang meninggalkan agamanya sekaligus keluar dari Al-jamaah”. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya masing-masing dari riwayat Al-A’masy dari Abdullah bin Murah dari Masruq dari Ibnu Mas’ud. [2]) Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Dan orang yang meninggalkan Islam", sebagai pengganti kalimat, "Dan orang yang meninggalkan agamanya”. 

Banyak sekali hadits yang semakna dengan hadits di atas. Muslim meriwayatkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam semakna dengan hadits Ibnu Mas’ud di atas.

At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits Utsman dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Darah orang Muslim tidak halal kecuali karena salah satu dari tiga sebab; orang kafir setelah Islam, atau zina setelah menikah, atau membunuh orang tanpa alasan”. Menurut riwayat An-Nasai, "Orang yang berzina setelah menikah wajib dirajam, atau orang yang membunuh dengan sengaja wajib diqishas, atau murtad setelah Islam wajib dibunuh”.[3])

Hadits semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam oleh Ibnu Abbas [4]), Abu Hurairah, Anas bin Malik [5]), dan lain-lain.

Saya telah menyebutkan hadits Anas bin Malik dan di dalamnya terdapat penafsiran bahwa ketiga hal tersebut adalah hak Islam di mana dengannya darah orang yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah menjadi halal. Pembunuhan karena salah satu dari ketiga hal tersebut disepakati kaum Muslimin.

Adapun orang yang telah menikah yang berzina, kaum Muslimin telah mengadakan ijma” (konsensus) bahwa hadnya (hukumannya) ialah dirajam hingga mati. Buktinya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam merajam Maiz dan wanita dari Al-Ghamidi. [6]) Di Al-Qur’an yang teksnya telah dinasakh (dihapus) disebutkan, “jika orang laki-laki tua dan wanita tua berzina, rajamlah keduanya dengan tegas sebagai hukuman dari Allah dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.[7])

Ibnu Abbas mengambil hukum rajam dari firman Allah Ta’ala,"Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak (pula yang) dibiarkannya, sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan”. (Al-Maidah: l5).

Ibnu Abbas berkata, "Barangsiapa tidak mempercayai hukum rajam, ia kafir kepada Al-Qur’an tanpa ia sadari”. Setelah itu, Ibnu Abbas membaca ayat di atas. Ia berkata lagi, "Hukum rajam termasuk hal-hal yang disembunyikan Ahli Kitab”. Diriwayatkan An-Nasai dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata, "Sanad hadits ini shahih". [8])

Hukum rajam juga diambil dari firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orangYahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang-orangalim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya, karena itu janganlah kalian takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan hargayang sedikit; barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang yang kafir. Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya; barangsiapa melepaskan (hak qishas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang yang dzalim. Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang yang fasik Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu, untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang; sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan satu umat, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah kalian berbuat kebajikan; hanya kepada Allah kembali kalian semuanya lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan. Dan hendaklah kamu putuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu; jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (Al-Maidah: 44-49).

AzZuhri berkata, "Disampaikan kepada kami bahwa ayat-ayat di atas turun tentang dua orang Yahudi yang dirajam NabiShallallahu Alaihi wa Sallam. Beliaubersabda, Aku putuskan sesuai dengan apa yangada di At-Taurat.” Beliau pun memerintahkan kedua orang Yahudi tersebut dirajam".[9])

Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya hadits Al-Barra” bin Azib tentang kisah perajaman dua orang Yahudi. Al-Barra” bin Azib berkata di haditsnya,"Kemudian Allah menurunkan ayat, Hai Rasul, janganlah hendaknya engkau disedihkan oleh orang-orang yang bersegera kepada kekafiran, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi yangamat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya; mereka mengatakan, Jika diberikan ini (yang sudah dirubah oleh mereka) kepada kalian maka terimalah dan jika kalian diberi yang bukan ini maka hati-hatilah”.Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah; mereka orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka; mereka memperoleh kehinaan di dunia dan akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar”. (Al-Maidah: 41).Allah Ta’ala juga menurunkan ayat, Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44).Allah menurunkanayat-ayat tersebut tentang seluruhorang-orang kafir”.

Hadits di atas diriwayatkanImam Ahmad. [10])Menurut redaksi Imam Ahmad,"Kemudian Allah menurunkan ayat, “Hai Rasul, janganlah hendaknya engkau disedihkan oleh orang-orang yang bersegera kepada kekafiran, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman”,  padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi; yang amat suka mendengar (berita berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya; mereka mengatakan, jika diberikan ini (yang sudah dirubah oleh mereka) kepada kalian maka terimalah dan jika kalian diberi yang bukan ini maka hati-hatilah”.Orang-orang Yahudi berkata, Datanglah kepada Muhammad, jika dia memberi fatwa kepada kalian dalam bentuk penghitaman wajah dengan arang dan cambuk, terimalah. Jika dia memberi fatwa kepada kalian dalam bentuk rajam, hati-hatilah. “Kemudian Allah menururtkan ayat, “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat)bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya; barangsiapa melepaskan (hak qishas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka orang-orang yang dzalim. “Ayat tersebut turun tentang orang-orang Yahudi”.

Kisah perajaman dua orang Yahudi juga diriwayatkan di hadits Jabir. Di haditsnya, Jabir berkata, "Kemudian Allah menurunkan ayat, Mereka orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram; jika mereka (orang-orangYahudi) datang kepadamu, maka putuskanlah di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi madzarat kepadamu sedikit pun dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. (Al-Maidah42). [11]

Pada awalnya, Allah Ta’ala memerintahkan penahanan wanita-wanita yang berzina hingga mereka mati atau Allah memberi jalan keluar bagi mereka kemudian Allah memberi jalan keluar bagi mereka. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhudari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda, "Ambillah dariku. Ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar bagi mereka (wanita-wanita yang berzina); jejaka dengan gadis dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun dan orang laki-laki yang telah menikah dengan wanita yang telah menikah dicambuk seratus kali dan dirajam”.[12])

Ada sejumlah ulama mengambil tekstual hadits di atas dan mewajibkan cambuk seratus kali bagi tsayyib(orang laki-laki atau wanita yang telah menikah) kemudian dirajam seperti diperbuat Ali bin Abu Thalib terhadap Syurahah Al-Hamdaniyah. Ali bin Abu Thalib berkata, "Aku mencambuknya dengan Al-Qur’an dan merajamnya dengan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam".[13])Ali bin Abu Thalib mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an menetapkan hukuman cambuk bagi semua pezina tanpa membedakan pelakunya sudah menikah atau belum, sedang sunnah menetapkan hukuman rajam bagi pezina yang telah menikah secara khusus, di samping Ali bin Abu Thalib juga mengambil hukum tersebut dari Al-Qur’an. Ini pendapat terkenal dari Imam Ahmad yang tidak lain pendapat Al-Hasan dan selumlah generasi salaf.

Sejumlah ulama generasi salaf berkata, "Jika kedua pelaku zina adalah tsayyib yangsudah tua, keduanya dirajam dan dicambuk. Jika keduanya tsayyib tetapi masih muda, keduanya dirajam saja tanpa dicambuk, karena dosa orang usia lanjut itu lebih buruk, terutama dosa zina". Ini pendapat Ubai bin Ka”ab. Perkataan tersebut diriwayatkan darinya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun itu tidak benar. Pendapat tersebut juga diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Ishaq.

Sedang makna jiwa dengan jiwa ialah jika orang mukallafmembunuhjiwa tanpa hak (alasan yang benar) dan disengaja, ia dibunuh karenanya. Al-Qur’an sendiri menunjukkan hal ini, misalnya firman Allah Ta’ala, "Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa”. (Al-Maidah: 45).

Atau firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita”. (Al-Baqarah:178).

Ada banyak bentuk pembunuhan yang dikecualikan dari firman Allah Ta “ala, "Jiwa (dibalas) dengan jiwa", yaitu;
  1. Jika ayah membunuh anaknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ayah tidak dibunuh karena pembunuhannya terhadap anaknya. Ini diriwayatkan dengan shahih dari Umar bin KhAth-Thab. Hadits tentang hal ini dari banyak jalur diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan ada catatan pada sanadsanadnya.[14]) Imam Malik berkata, "Jika ayah membunuh anaknya secara sengaja dengan kesengajaan yang tidak diragukan di dalamnya, misalnya ia menyembelih anaknya, ayah tersebut dibunuh karenanya. Jika ia melempar anaknya dengan pedang atau tongkat, ia tidak dibunuh karenanya.
  2. Jika orang merdeka membunuh budak, sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang merdeka tidak dibunuh karena pembunuhannya terhadap budak. Banyak sekali hadits dalam hal ini, namun di semua sanadnya terdapatcatatan. [15]) Ada yang mengatakan bahwa orang merdeka dibunuh jika ia membunuh budak orang lain. Ini pendapat Abu Hanifah dan sahabat sahabatnya. Ada lagi yang berpendapat bahwa orang merdeka dibunuh karena membunuh budaknya sendiri dan budak orang lain. Ini riwayat dari Ats-Tsauri dan sejumlah ulama hadits, karena hadits Samurah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa membunuh budaknya, kami membunuhnva. Barangsiapa memotong hidung budaknya, kami memotong hidungnya”.[16])Imam Ahmad dan lain-lain memberi cacatan terhadap hadits tersebut. Para ulama sepakat tidak ada qishas di antara para budak dengan orang-orang merdeka dalam penderaan organ tubuh. Ini menunjukkan bahwa hadits di atas (hadits Samurah) tidak bisa diamalkan. Ini juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala, “Jiwa (dibalas) dengan jiwa", ialah jiwa orang-orang merdeka (bukan budak), karena setelah ayat tersebut dilanjutkan dengan penyebutan qishas di penderaan organ tubuh yang hanya berlaku secara khusus pada orang-orang merdeka.
  3. Orang Muslim membunuh orang kafir. Jika orang kafir tersebut orang kafir yang harus diperangi, orang Muslim tidak dibunuh (qishas) tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, karena membunuh orang kafir yang wajib diperangi diperbolehkan tanpa ada keragu-raguan di dalamnya. Jika orang kafir tersebut orang kafir dzimmi (orang kafir yang berada dalam perlindungan Islam dengan membayar jizyah) atau mu”ahad(orang yang terikat perdamaian dengan kaum Muslimin), maka jumhur ulama berpendapat bahwa orang Muslim tidak dibunuh (qishash) karena membunuh orang kafir seperti itu. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits Ali bin Abu ThalibRadhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam yang bersabda, "Orang Muslim tidak dibunuh karena (membunuh) orang kafir”.[17]) . Abu Hanifah dan sejumlah fuqaha’ Kufah berkata, "Orang Muslim dibunuh karena membunuh orang kafir”. Dalilnya, Rabi”ah meriwayatkan dari Ibnu Al-Bayalmani dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau membunuh salah seorang dari ahlul kiblat (orang Muslim) karena membunuh seorang dari orang-orang dzimmiBeliau bersabda, “Aku orang yang paling berhak memenuhi tanggungannya”.[18]) Namun hadits ini mursal dan dhaif.Imam Ahmad, Abu Ubaidah, Ibrahim Al-Harbi, Al-Jauzajani, Ibnu Al-Mundzir, dan Ad-Daruquthni men-dhaifkan hadits tersebut. Imam Ahmad berkata, "Ibnu Al-Bayalmani adalah perawi dhaif yangtidak bisa dijadikan hujjah jika ia menyambungkan sanad hadits. Maka apalagi jika ia memursalkannya?" Al-Jauzajani berkata, "Rabi”ah mengambil hadits tersebut dari Ibrahim bin Abu Yahya dari Ibnu Al-Munkadir dari Ibnu Al-Bayalmani, sedang Ibrahim bin Abu Yahya adalah perawi yang haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah”. Di Al-Marasil Abu Daud[19]disebutkan hadits mursal lainnyabahwa di Perang Khaibar, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membunuh orang Muslim karena membunuh orang kafir. Orang Muslim tersebut membunuh orang kafir dengan tipu muslihat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Aku orang yang paling berhak memenuhi tanggungannya”. Ini pendapat Imam Malik dan penduduk Madinah bahwa pembunuhan dengan tipu muslihat tidak disyaratkan adanya penyetaraan status (antara pembunuh dengan korban). Jadi, orang Muslim dibunuh karena membunuh orang kafir dengan tipu muslihat. Mereka menafsirkan hadits Al-Bayalmani seperti itu jika diasumsikan hadits tersebut shahih.
  4. Orang laki-laki membunuh wanita. Jadi, orang laki-laki tersebut dibunuh karena pembunuhannya terhadap wanita tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di surat Amr bin Hazm dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam disebutkan bahwa orang laki-laki dibunuh (qishas) karena membunuh wanita. [20]Diriwayatkan dengan shahih bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membunuh orang Yahudi yang membunuh budak wanita. [21])Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang diserahkan kepada keluarga orang laki-laki tersebut. Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib bahwa ia membayar separoh diyat kepada keluarga orang laki-laki tersebut [22]), karena diyat wanita adalah separoh diyat orang laki-laki. Ini pendapat Abu Hanifah, sejumlah generasi salaf, dan Imam Ahmad di riwayat darinya.
Sedang yang dimaksud dengan orang yang meninggalkan agama sekaligus Al-jamaah ialah orang yang meninggalkan Islam, murtad, dan meninggalkan jama’ah kaum Muslimin, seperti dijelaskan dengan tegas pada hadits Utsman bin Affan. Utsman bin Affan mengecualikan orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dari orang-orang yang darahnya dihalalkan dengan pertimbangan status dirinya sebelum murtad dan hukum Islam tetap berlaku padanya setelah kemurtadannya. Oleh karena itu, orang-orang tersebut disuruh bertaubat dan diminta kembali kepada Islam. Tentang wajib tidaknya orang yang tadinya murtad mengganti ibadah-ibadah yang tidak ia kerjakan selama murtad maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’.

Termasuk meninggalkan Islam dan meninggalkan jama”ah kaum Muslimin kendati mengakui dua kalimat syahadat dan mengklaim Muslim ialah orang yangmenolak salah satu rukun-rukun Islam, atau mencaci Allah atau Rasul-Nya, atau kafir kepada sebagian malaikat atau sebagian nabi atau sebagian kitab yang disebutkan di Al-Qur’an padahal ia mengetahuinya. Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa menukar agamanya, bunuhlah dia".[23])

Ketentuan tersebut berlaku pada orang laki dan wanita menurut sebagian besar ulama. Di antara ulama ada yangberkata, "Jika wanita murtad, ia tidak dibunuh sebagaimana wanita di negeri kafir harbi tidak boleh dibunuh dalam pertempuran, namun yang boleh dibunuh ialah orang laki-laki mereka". Ini pendapat Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya. Mereka (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya) menyamakan antara kekafiran baru (murtad) dengan kekafiran sejak awal. Sedang jumhur ulama membedakan keduanya dan menjadikan kekafiran baru (murtad) lebih berat karena sebelumnya masuk Islam. Oleh karena itu ia tetap dibunuh jika murtad, adapun penduduk negeri kafir harbi ada yang tidak boleh dibunuh seperti orang lanjut usia, orang sakit, dan orang buta.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan orang yang meninggalkan agamanya sekaligus keluar dari Al-jama”ah", menunjukkan bahwa bahwa jika orang tersebut bertaubat dan kembali kepada Islam, ia tidak dibunuh, karena ia tidak lagi meninggalkan agamanya setelah kembali kepadanya dan tidak lagi meninggalkan jama”ah kaum Muslimin.

Jika dikatakan, justru dikecualikannya orang yangmengucapkan dua kalimat syahadat dari orang yang dilindungi darahnya itu menunjukkan bahwa ia juga dibunuh (jika ia murtad) kendati mengakui dua kalimat syahadat, sebagaimana pezina muhshan (yang telah menikah) dan pembunuh jiwa wajib dibunuh. Ini juga menunjukkan bahwa taubatnya orang murtad tidak diterima seperti diriwayatkan dari Al-Hasan, atau pengecualian tersebut dikonotasikan kepada orang yang murtad dari orang-orang yang Muslim sejak kecil maka taubatnya tidak diterima, namun yang diterima ialah taubatnya orang yang tadinya kafir kemudian masuk Islam kemudian murtad. Ini pendapat sejumlah ulama, di antaranya Al-Laits bin Sa’ad, Imam Ahmad di satu riwayat darinya, dan Ishaq.

Ada yang mengatakan bahwa pengecualian tersebut bagi kaum Muslimin karena pertimbangan keadaan diri mereka sebelum meninggalkan jama”ah seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi, menurutnya orang yang meninggalkan agama sekaligus meninggalkan jama”ah itu tidak sama dengan tsayyib yang berzina dan pembunuh, karena pembunuhan keduanya adalah hukuman atas kejahatan keduanya dan hukuman tersebut tidak bisa dihindari.

Sedang orang murtad, ia dibunuh dikarena sifat pada dirinya, yaitu meninggalkan agamanya dan jama”ah. Jika ia kembali kepada agamanya (Islam) dan bersatu dengan jama”ahnya, maka sifat yang membuat darahnya dihalalkan menjadi hilang. Jadi, penghalalan darahnya menjadi tidak ada, wallau a’lam.

Jika ada yang berkata bahwa An-Nasai [24])meriwayatkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Darah orang Muslim tidak halal kecuali karena salah satu dari tiga sebab; pezina muhshan itu dirajam, orang yang membunuh dengan sengaja itu dibunuh, dan orang yang keluar dari Islam dan memerangi Allah dan Rasul-Nva itu dibunuh, atau disalib, atau diasingkan dari negeri”.

Menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan orang yang meninggalkan agama ialah orang yang murtad sekaligus memerangi Allah dan Rasul-Nya.

Jawabnya, Abu Daud [25])meriwayatkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha tersebut dengan redaksi lain, yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Darah orang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah itu tidak halal kecuali karena salah satu dari tiga sebab; pezina muhshan itu dirajam, orang yang keluar dalam keadaan memerangi Allah dan Rasul-Nya itu dibunuh atau disalib atau diasingkan dari negeri, dan orang yang membunuh jiwa itu dibunuh”.

Hadits tersebut menunjukkan bahwa barangsiapa di antara kaum Muslimin pada dirinya terdapat sifat memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka imam (penguasa) diberi kebebasan memilih bertindak terhadapnya secara mutlak seperti dikatakan ulama penduduk Madinah, yaitu Imam Malik dan lain-lain. Riwayat pertama (riwayat An-Nasai) bisa dikonotasikan bahwa yang dimaksud dengan keluarnya orang tersebut dari Islam ialah keluarnya orang tersebut dari hukum-hukum Islam dan bisa juga dikonotasikan kepada tekstualnya. Ini dijadikan dalil oleh orang yangberpendapat bahwa ayat muharabah(ayat memerangi Allah dan Rasul-Nya, yaitu Al-Maidah: 33) itu hanya khusus diberlakukan kepada orang-orang murtad. Jadi, menurutnya, barangsiapa murtad dan memerangi Allah dan Rasul-Nya, ia diperlakukan seperti di ayat tersebut. Sedang orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, namun tidak murtad, maka hukum-hukum kaum Muslimin seperti qishas dan pemotongan tangan bagi pencuri diberlakukan terhadapnya. Ini riwayat dari Imam Ahmad, namun riwayat tersebut tidak terkenal darinya. Sejumlah generasi salaf, di antaranya Abu Qilabah dan lain-lain, berkata, "Ayat muharabahkhusus diberlakukan kepada orang-orang murtad”.

Tapi yang jelas, redaksi hadits Aisyah tidak sama; ada yang diriwayatkan darinya secara marfu’ dan ada juga yang diriwayatkan darinya secara mauquf. Sedang redaksi hadits Ibnu Mas’ud tidak ada perbedaan di dalamnya, kuat, dan keshahihannya disepakati para ulama. Namun kendati demikian, dapat dikatakan bahwa ada hadits-hadits yang menjelaskan tentang pembunuhan orang Muslim karena selain ketiga hal di atas (tsayyibyang berzina, orang yang membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agama sekaligus meninggalkan jama’ah), di antaranya;
  1. Liwath(sodomi). Diriwayatkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Bunuhlah pelaku dan obyeknya".[26]). Pendapat tersebut dianut banyak sekali ulama, di antaranya Imam Malik dan Imam Ahmad. Mereka berkata, "Hadits tersebut mengharuskan pembunuhan dalam kondisi apa pun; baik pelakunya muhshan atau bukan muhshan"Diriwayatkan dari Utsman bin Affan bahwa ia berkata, "Darah orang Muslim tidak halal kecuali karena empat hal". Utsman bin Affan menyebutkan ketiga hal di atas kemudian ia menambahkan, "Dan orang yang mengerjakan seperti perbuatan kaum Luth”. [27]).
  2. Orang laki-laki yang menikah dengan wanita mahramnya. Ada riwayat yang memerintahkan pembunuhan orang laki-laki tersebut. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau membunuh orang yang menikah dengan wanita mantan istri ayahnya. [28]). Pendapat tersebut dianut sejumlah ulama. Mereka mewajibkan pembunuhan orang tersebut secara mutlak; baik muhshan atau bukan muhshan.
  3. Penyihir. Di At-Tirmidzi disebutkan hadits Jundab [29]) secara marfu”, "Hukuman bagi penyihir ialah pukulan dengan pedang". At-Tirmidzi menyebutkan bahwa yang benar hadits tersebut mauquf dariJundab. Pendapat tersebut adalah pendapat sejumlah ulama, di antaranya Umar bin Abdul Aziz, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq. Namun mereka berkata, "Penyihir dianggap kafir karena sihirnya, jadi, hukum dirinya seperti hukum orang-orangmurtad”.
  4. Pembunuhan orang yangmenggauli hewan. Ada hadits marfu”[30]tentang hal ini dan itu pendapat sejumlah ulama.
  5. Orang yang meninggalkan shalat. Ia dibunuh menurut banyak sekali ulama, kendati mereka berkata, "Ia tidak kafir". Pembahasan masalah ini telah disebutkan sebelumnya.
  6. Peminum minuman keras pada kali keempat. Perintah pembunuhannya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari banyak sekali jalur. [31])Pendapat ini dianut Abdullah bin Amr bin Al-Ash [32]) dan lain-lain. Namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa pembunuhan peminum minuman keras telah dihapus. Buktinya, diriwayatkan bahwa peminum minuman keras pada kali keempat didatangkan kepada Nabi Shallallahu Alaili wa Sallam, namun beliau tidak membunuhnya. [33])Di Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa seseorang didatangkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena meminum minuman keras lalu orang tersebut dilaknat seseorang sambil berkata, "Betapa seringnya orang ini didatangkan kepada beliau". Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan melaknatnya, karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya". Beliau tidak membunuh peminum minuman keras tersebut. [34])
  7. Diriwayatkan bahwa pencuri pada kali kelima dibunuh. [35]) Ada yang mengatakan bahwa sebagian fuqaha’ berpendapat seperti itu.
  8. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Jika dua khalifah dibaiat, bunuhlah khalifah terakhir (kedua)”.(Diriwayatkan Muslim dari hadits Abu Sa’id) [36]Al-Uqaili mendhaifkan seluruh hadits tentang masalah ini.
  9. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa datang kepada kalian sedang ketika itu urusan kalian ada pada satu orang kemudian ia ingin membelah tongkat kalian atau memecah belah jama”ah kalian, bunuhlah dia”. Di riwayat lain, "Pukullah kepalanya dengan pedang; siapa pun dia”. (Diriwayatkan Muslim dari riwayat Arafjah). [37]
  10. Orang yang menghunus pedang. An-Nasai meriwayatkan hadits Ibnu Az-Zubair dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Barangsiapa menghunus pedang kemudian meletakkannya, maka darahnya tidak ada perhitungan”. Hadits tersebut diriwayatkan dari Ibnu AzZubair secara marfu” dan mauquf. Al-Bukhari berkata, "Hadits tersebut mauquf".[38]). Imam Ahmad pernah ditanya tentang makna hadits di atas kemudian ia menjawab, "Aku tidak tahu apa makna hadits tersebut”. Ishaq bin Rahawih berkata, "Yang dimaksud Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah orang yang menghunus pedang kemudian meletakkannya pada manusia hingga ia membunuh mereka tanpa bertanya kepada salah seorang dari mereka. Dengan begitu, pembunuhan dirinya dihalalkan”. Itu pendapat Al-Haruriyah yang membunuh kaum laki-laki, kaum wanita, dan anak-anak. Namun ada riwayat dari Aisyah yang bertentangan dengan penafsiran Ishaq bin Rahawih. Al-Hakim meriwayatkan hadits dari riwayat Alqamah bin Abu Alqamah dari ibunya bahwa seorang budak menghunus pedang pada majikannya pada masa gubernur Sa’id bin Al-Ash kemudian meloncat kepadanya, namun ia ditahan orang-orang. Pemilik budak tersebut menemui Aisyah yang kemudian berkata, "Aku dengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Barangsiapa memberi isyarat dengan pisau kepada salah seorang dari kaum Muslimin karena hendak membunuhnya, maka darahnya wajib”. Kemudian pemilik budak tersebut mengambil budaknya lalu membunuhnya. Al-Hakim berkata, "Hadits tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim". [39]). Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa dibunuh karena mempertahankan hartanya, ia syahid”.[40]Di riwayat lain, "Barangsiapa dibunuh karena membela darahnya, ia syahid”.[41]). Jika harta seseorang atau darahnya diincar orang lain, orang tersebut (pemilik harta dan darah tersebut) membela diri untuk mematahkan musuhnya dengan resiko yang paling ringan. Ini pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Apakah ia harus berniat tidak membunuh orang yang mengincar harta dan darahnya atau tidak? Ada dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai masalah ini. Sejumlah ulama berpendapat bahwa barangsiapa mengincar harta dan darah seseorang, orang tersebut diperbolehkan dibunuh sejak awal. Dikisahkan bahwa pencuri masuk ke rumah Ibnu Umar kemudian Ibnu Umar mendekat kepadanya dengan membawa pedang yang mengkilap tajam. Jika saja manusia tidak memisahkan Ibnu Umar dengan pencuri tersebut, Ibnu Umar pasti membunuhnya. [42]). Al-Hasan pernah ditanya tentang pencuri yang masuk ke rumah seseorang dengan memegang pisau. Al-Hasan menjawab, "Bunuhlah pencuri tersebut dengan pembunuhan apa saja yang sanggup engkau lakukan". Sejumlah ulama, di antaranya Ayyub As-Sikhtiyani, memperbolehkan pembunuhan pencuri kendati pencuri tersebut melarikan diri tanpa berhasil melakukan kejahatan. Imam Ahmad meriwayatkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,"Rumah adalah tempat sucimu. Barangsiapa masuk ke tempat sucimu, bunuhlah dia".[43]). Namun di sanad hadits di atas terdapat perawi dhaif
  11. Pembunuhan mata-mata Muslim yang memata-matai kaum Muslim untuk orang-orang kafir. Imam Ahmad memilih tidak berpendapat dalam masalah ini. Sejumlah sahabat-sahabat Imam Malik dan Ibnu Aqil dari sahabat-sahabat kami memperbolehkan pembunuhan mata-mata Muslim jika melakukan mata-mata untuk orang-orang kafir secara berulang-ulang. Mereka berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Hathib bin Abu Balta”ah yang menulis surat untuk penduduk Makkah. Di suratnya, Hathib bin Abu Balta”ah memberi tahu penduduk Makkah tentang keberangkatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada mereka dan menyuruh mereka siap siaga. Untuk itu, Umar bin KhAth-Thab meminta izin kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk membunuh Hathib bin Abu Balta”ah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia (Hathib bin Abu Balta”ah) ikut Perang Badar". [44]). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak bersabda, "Hathib bin Abu Balta”ah tidak patut dibunuh karena perbuatannya", namun beliau menyebutkan adanya alasan yang membuat Hathib bin Abu Balta”ah tidak boleh dibunuh, yaitu kesertaannya di Perang Badar dan ampunan Allah bagi seluruh Mujahidin Perang Badar. Dan alasan yangmenghalangi pembunuhan tersebut tidak ada lagi pada orang selain Hathib bin Abu Balta”ah.
  12. Abu Daud meriwayatkan di Marasilnya[45]hadits riwayat Sa’id bin Al-Musayyib bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapamemukul ayahnya, bunuhlah dia”. Hadits di atas diriwayatkan dari jalur lain, namun tidak shahih. [46]). Ketahuilah bahwa di antara hadits-hadits yang disebutkan tentang tema ini ada yang tidak shahih dan orang yang mengatakannya tidak diketahui, misalnya hadits, "Barangsiapa memukul ayahnya, bunuhlah dia”. Dan hadits, "Pencuri dibunuh pada kali kelima".[47]Nash-nash lainnya bisa dikembalikan pada hadits Ibnu Mas’ud, karena haditsnya mencakup bahwa darah orang Muslim tidak bisa dihalalkan kecuali karena salah satu dari tiga sebab; meninggalkan agamanya sekaligus berpisah dari jama”ah, atau berzina padahal ia telah menikah, atau membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.

Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa pembunuhan orang Muslim tidak diperbolehkan kecuali karena salah satu dari tiga sebab; meninggalkan agama, menumpahkan darah yang haram ditumpahkan, dan melanggar kemaluan yang diharamkan. Hanya ketiga sebab itulah dan tidak ada sebab lainnya yang membuat darah orang Muslim menjadi halal.

Sedang melanggar kemaluan yang diharamkan, maka disebutkan di hadits tersebut bahwa yang dimaksud ialah zina setelah pelakunya menikah. Ini,wallahu a’lam, sebagai perumpamaan bahwa muhshan (orang yang telah menikah) telah menikmati hubungan suami istri dengan jalan pernikahan. Oleh karena itu, jika sesudahnya, ia mendapatkan kenikmatan hubungan suami istri dari vagina yang diharamkan baginya, darahnya dihalalkan. Bisa jadi, syarat telah menikah tidak ada, namun diganti syarat lainnya, yaitu vagina (kemaluan) tidak dihalalkan baginya apa pun alasannya secara mutlak seperti sodomi, atau demi kepentingan pelakunya misalnya seseorang menggauli wanita yang masih mahramnya dengan akad pernikahan atau tidak. Apakah syarat seperti itu bisa menggantikan syarat telah menikah? Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, namun hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa syarat tersebut menggantikan syarat telah menikah (muhshan) dan bisa dijadikan alasan untuk menghalalkan darah seseorang.

Sedang penumpahan darah yang diharamkan, apakah syarat tersebut bisa digantikan dengan syarat lainnya, misalnya menimbulkan fitnah-fitnah yang bisa menimbulkan pertumpahan darah, misalnya memecah belah jamaa”ah kaum Muslimin, membaiat imam kedua, dan membeberkan rahasia-rahasia kaum Muslimin kepada orang-orang kafir? Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama. Ada riwayat dari Umar KhAth-Thab yang menunjukkan pembolehan pembunuhan karena sebab tersebut.

Begitu juga menghunus pedang untuk membunuh, apakah itu bisa dijadikan sebagai pembunuhan yang menyebabkan darah menjadi halal atau tidak? Ibnu Az-Zubair dan Aisyah berpendapat bahwa menghunus pedang bisa dijadikan sebagai pembunuhan hakiki.

Begitu juga merampok di jalanan, apakah bisa menghalalkan darah atau tidak? Karena perampokan di jalanan memicu penumpahan darah yang diharamkan? Firman Allah Ta’ala, "Barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi; maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (Al-Maidah: 32).

Menunjukkan bahwa pembunuhan jiwa diperbolehkan karena dua sebab;
Pertama, pembunuhan jiwa.
Kedua, membuat kerusakan di bumi. Termasuk dalam kategori membuat kerusakan di bumi ialah memerangi Allah dan Rasul-Nya, murtad, dan zina, karena semua itu termasuk kerusakan di muka bumi. Begitu juga, terus-menerus minum minuman keras, maka itu memicu penumpahan darah yang diharamkan. Para sahabat pada masa kekhalifahan Umar bin KhAth-Thab sepakat menghukum orang yang terus-menerus minum minuman keras dengan hukuman delapan puluh cambuk. Mereka menjadikan mabuk (teler) sebagai pemicu kebohongan dan menuduh orang lain berzina yang menyebabkannya dicambuk delapan puluh kali. [48])Ketika delegasi Abdul Qais datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau melarang mereka dari minum minuman keras, beliau bersabda, "Sesungguhnya salah seorang dari kalian pasti mendekat kepada anak pamannya dari jalur ayah jika ia telah minum minuman keras kemudian ia membunuhnya”. Di antara mereka terdapat seseorang yang terluka karena pemukulan tersebut dan ia sengaja dirahasiakan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena malu kepada beliau. [49]Ini menunjukkan penghalalan darah karena kasus pembunuhan sebab ada dugaan kuat pembunuhan tersebut dalam bentuk aslinya, namun apakah hal tersebut dihapus ataukah hukumnya masih berlaku? Itulah letak perbedaan pendapat para ulama.

Sedang makna meninggalkan agama dan berpisah dengan jama”ah kaum Muslimin ialah murtad dari agama kaum Muslimin, kendati mengakui dua kalimat syahadat. Jika seseorang melecehkan Allah dan Rasul-Nya, kendati ia mengakui dua kalimat syahadat, darahnya dihalalkan, karena ia telah meninggalkan agama dengan pelecehannya tersebut.

Begitu juga, jika seseorang menghina Al-Qur’an, atau melemparkannya ke kotoran, atau menolak sesuatu yang telah diketahui secara pasti dalam agama, misalnya shalat dan lain-lain, ia keluar dari agama.

Apakah meninggalkan salah satu rukun Islam juga bisa diartikan meninggalkan agama? Apakah orang yang bersangkutan keluar dari agama secara total karena meninggalkan salah satu rukun Islam tersebut atau tidak? Ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam itu telah keluar dari agama, maka kedudukan orang tersebut seperti meninggalkan dua kalimat syahadat dan menolaknya. Sedang ulama yang tidak melihatnya sebagai bentuk keluar dari agama maka mereka berbeda pendapat apakah orang tersebut disamakan dengan hukuman orang yang meninggalkan agama yaitu dibunuh karena ia telah meninggalkan salah satu pilar Islam atau tidak karena ia tidak keluar dari agama?

Termasuk dalam tema ini ialah apa yang dikatakan para ulama tentang eksekusi mati untuk orang-orang yang mengajak kepada bid’ah, karena perbuatan bid’ah mirip dengan keluar dari agama dan pengantar menuju kepadanya. Jika penyeru bid’ah merahasiakan diri dan tidak mengajak orang lain, ia seperti orang-orang munafik yang merahasiakan diri. Jika ia mengajak kepada bid’ah, dosanya amat berat karena ia merusak agama umat. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan memerangi orang-orang Khawarij dan membunuh mereka. [50]) Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang-orangKhawarij.

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa orang-orang Khawarij adalah orang-orang kafir, jadi, mereka dibunuh karena kekafiran mereka”.

Ada ulama yang berpendapat bahwa orang-orang Khawarij dibunuh karena ulah mereka membuat kerusakan di bumi dengan cara menumpahkan darah kaum Muslimin dan mengkafirkan kaum Muslimin. Ini pendapat Imam Malik dan sejundah orang dari sahabat-sahabat kami. Para ulama yang berpendapat seperti itu membolehkan memulai memerangi orang-orang Khawarij dan membunuh siapa saja di antara mereka yang terluka.

Ada ulama yang berpendapat bahwa jika orang-orang Khawarij mengajak manusia kepada ajaran mereka maka mereka diperangi dan jika mereka memperlihatkan ajaran mereka namun tidak mengajak manusia kepadanya maka mereka tidak diperangi”. Ini pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Pendapat tersebut didasarkan pada pembolehan memerangi orang-orang yang mengajak kepada bid’ah yang berat.

Ada ulama yang berpendapat untuk tidak memulai memerangi orang-orangKhawarij hingga mereka sendiri yang memulai peperangan yang menyebabkan mereka boleh diperangi, misalnya mereka menumpahkan darah dan lain sebagainya, seperti diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib. [51]) Ini pendapat Imam Syafi’i dan banyak sekali dari sahabat-sahabat kami.

Diriwayatkan dari banyak sekali jalur dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan pembunuhan orang yang tadinya shalat. Beliau bersabda, “Jika orang tersebut telah terbunuh, ia merupakan fitnah pertama dan terakhir”. Diriwayat lain, “Jika orang tersebut telah dibunuh, dua orang dari umatku tidak berselisih hingga dajjal keluar". Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan lain-lain. [52]) Hadits tersebut dapat dijadikan hujjah tentang pembolehan pembunuhan ahli bid’ah jika pembunuhan dirinya bisa menghentikan kejahatannya terhadap kaum Muslimin dan meredam bibit-bibit fitnah.

Ibnu Abdul Barr dan lain-lain meriwayatkan dari madzhab Imam Malik yang membolehkan pembunuhan orang yang mengajak kepada bid’ah.

Semua nash-nash tentang pembunuhan kembali pada hadits Ibnu Mas’ud dengan takaran seperti itu, alhamdulillah.

Tentang nash-nash yang telah saya sebutkan tadi, banyak ulama berkata bahwa nash-nash tersebut dihapus dengan hadits Ibnu Mas’ud. Ada dua catatan tentang pendapat seperti itu;
  1. Tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa hadits Ibnu Mas’ud datangnya belakangan dari nash-nash tersebut, apalagi Ibnu Mas’ud termasuk kaum Muhajirin generasi pertama, sedang nash-nash tersebut diriwayatkan orang-orang yang masuk Islam belakangan seperti Abu Hurairah, Jarir bin Abdullah, dan Muawiyah. Mereka (orang-orang yang masuk Islam belakangan) meriwayatkan hadits tentang pembunuhan peminum minuman keras pada tahap keempat.
  2. Sesuatu yang khusus tidak bisa dihapus dengan sesuatu yang umum, kendati sesuatu yang umum tersebut datang belakangan dari sesuatu yang khusus menurut pendapat yang benar di kalangan jumhur ulama, karena makna sesuatu yang khusus menurut maknanya dengan nash, sedang makna sesuatu yang umum menurut maknanya dengan sesuatu yang dzahir menurut kebanyakan para ulama. jadi, sesuatu yangdzahir tidak bisa membatalkan hukum nash. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan pembunuhan orang yang berbohong atas nama beliau semasa hidup beliau. Orang tersebut berkata kepada penduduk perkampungan Arab, "Sesungguhnya Rasulullah mengirimku dan menyuruhku memutuskan tentang darah dan harta kalian”. Hadits tersebut diriwayatkan dari banyak sekalijalur, namun semuanya dhaif. Disebagian jalur disebutkan bahwa orang tersebut pernah melamar salah seorang wanita perkampungan tersebut pada masa jahiliyah, namun penduduk perkampungan tersebut menolak menikahkannya dengan wanita yang ia inginkan. Ketika orang tersebut berkata seperti itu kepada penduduk itu, mereka mempercayainya. Setelah itu, orang tersebut singgah di wanita yang pernah dilamarnya kemudian berzina dengannya dengan dalih bahwa itu diperbolehkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini jelas kekafiran dan murtad dari agama.

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alailu” wa Sallam memerintahkan Ali bin Abu Thalib membunuh orang Mesir yang masuk ke rumah ibu anak beliau, Mariyah. Orang-orang pun membicarakan hal tersebut. Ketika Ali bin Abu Thalib mendapati orang Mesir tersebut orang yang dikebiri, ia membiarkannya. Sebagian ulama menafsirkan bahwa orang Mesir tersebut belum masuk Islam dan jika orang yang terikat dalam perjanjian dengan kaum Muslimin melakukan perbuatan yang menyakiti kaum Muslimin, maka perjanjiannya menjadi batal. Bagaimana jika ia menyakiti Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam? Sebagian ulama lainnya berkata bahwa orang Mesir tersebut telah masuk Islam dan dilarang dari memasuki rumah Mariyah, namun ia tidak mau berhenti hingga karenanya orang-orang membicarakan ranjang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Menyakiti Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam dengan mengusik ranjang beliau membuat darah pelakunya menjadi halal. Namun, karena terbukti kebersihan orang Mesir tersebut (ia orang yang dikebiri), maka kebersihan Mariyah menjadi terlihat oleh manusia. Oleh karena itu, sebab yang membolehkan pembunuhan menjadi hilang.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berhak menghukum mati siapa saja karena selain tiga sebab yang disebutkan di hadits Ibnu Mas’ud dan orang selain beliau tidak berhak berbuat seperti itu. Ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam boleh memutuskan pembunuhan jika itu mendatangkan kemaslahatan, karena beliau dilindungi dari kedzaliman dan ketidakadilan. Sedang orang selain beliau tidak boleh memutuskan menghukum mati, karena ia tidak bisa dijamin dari tidak berbuat berlebih-lebihan dengan hawa nafsunya. Abu Daud [53])berkata, aku dengar Imam Ahmad pernah ditanya tentang hadits Abu Bakar Radhiyallahu Anhu, "hukum mati tidak dibenarkan bagi siapa pun sepeninggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "kemudian ia menjawab, "Abu Bakar tidak boleh menghukum mati seorang pun melainkan karena salah satu dari tiga hal, sedang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam boleh menghukum mati (karena selain ketiga sebab tersebut)". Hadits Abu Bakar yang dimaksud ialah bahwa seseorang berkata kepada Abu Bakar dengan keras kemudian Abu Barzah berkata kepada Abu Bakar, "Wahai khalifah Allah, bolehkah aku membunuhnya?" Abu Bakar menjawab, "Itu tidak dibenarkan kepada siapa pun sepeninggal Nabi Shallallahu Alailu” wa Sallam".[54])

Atas dasar ini, menjadi legallah hadits perintah hukum mati bagi orang Mesir dan hadits hukum mati bagi pencuri jika hadits tersebut shahih, karena di dalamnya disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan hukum mati bagi pencuri yang baru sekali mencuri kemudian orang-orang meminta beliau mengkaji ulang perintah tersebut lalu beliau memotong pencuri tersebut. Setelah itu, pencuri tersebut mencuri lagi hingga empat kali lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan hukum mati bagi dirinya. Beliau mengkaji kembali perintah tersebut lalu pencuri tersebut dipotong hingga kedua tangan dan kakinya terpotong. Akhirnya, pencuri tersebut dihukum mati setelah ia mencuri kelima kalinya, wallahu a’lam.


[1]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6878, Muslim hadits nomer 1676, Imam Ahmad 1/382, 428, 444, Abu Daud hadits nomer 4352, At-Tirmidzi hadits nomer 1402, An-Nasai 7/90-91, dan Ibnu Majah hadits nomer 2534. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4408. Takhrij hadits tersebut secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[2]Diriwayatkan Muslim hadits nomer (1676) (26) namun tidak mengetengahkan teksnya, Abu Daud hadits nomer 4353, dan An-Nasai 7/91, 101, 102.
[3]Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2158 dan ia menghasankannya, An-Nasai 7/91-92, 103, 104, dan Ibnu Majah hadits nomer 2533.
[4]Al-Hafid Ibnu Hajar di Fathul Bari 2/202 menisbatkan hadits tersebut kepada An-Nasai.
[5]Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 1/25-26 dan ia menisbatkannya kepada Ath-Thabrani di Al-Ausath. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Amr bin Hasyim Al-Bairuti yang dianggap sebagai perawi tepercaya oleh sebagian besar ulama."
[6]Baca Shahih Muslim hadits naner 1694, 1695, Abu Daud hadits nomer 1694, dan Ibnu Hibban hadits nomer 4438.
[7]Dari Ibnu Mas'ud, hadits tersebut diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 13363. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4428, 4429 dan Al-Hakim 2/415 dan disetujui Adz-Dzahabi.
[8]Diriwayatkan An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf 5/178dan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 11609 dan 11610. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 4/359 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[9]Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari hadits nomer 12008 dan Abu Daud hadits nomer 4450.
[10]DiAl-Musnad 4/286 dan sanadnya shahih.
[11]Diriwayatkan Al-Humaidi di Musnadnyahadits nomer 1294 dan di sanadnya terdapat Mujalid bin Sa'id yang merupakan perawi dhaif.
[12]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 1690 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4426 dan 4427. Takhrij hadits tersebut, silahkan baca buku tersebut.
[13]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/93, Ali bin Al-Ja'du hadits nomer 505. Al-Hakim 4/364-365. dan Al-Baihaqi 8/220.
Saya katakan, disebutkan di Fathu Bari 12/119, "Imam Ahmad, Ishaq, Daud, dan Ibnu Al-Mundzir berpendapat bahwa pezina muhshan (yang telah menikah) dicambuk kemudian dirajam". Jumhur ulama berpendapat pendapat tersebut juga diriwayatkan dari Imam Ahmad, "Kedua hukuman tersebut tidak diberlakukan kepada pezina muhshan".Mereka menyebutkan bahwa hadits Ubadah bin Ash-Shamit dinasakh (dihapus) dan yang menasakhnyaialah hadits tentang kisah Maiz bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam merajamnya dan tidak disebutkan bahwa beliau mencambuknya. Imam Syafi'i berkata, "Sunnah menunjukkan bahwa hukuman cambuk diberlakukan kepada bikr (pelaku zina; laki-laki atau perempuan yang belum menikah) dan dihapus dari tsayyib.Dalilnya, kisah tentang Maiz itu terjadi setelah hadits Ubadah bin Ash-Shamit. Jadinya, hadits Ubadah bin Ash-Shamit menasakh hukuman penahanan para wanita di rumah-rumah yang disyariatkan sejak awal kemudian hukuman penahanan dihapus dengan hukuman cambuk Untuk tsayyib diberi hukuman tambahan yaitu rajam. Itu terlihat jelas di hadits Ubadah bin Ash-Shamit kemudian hukuman cambuk bagi tsayyib dinasakh (dihapus) berdasarkan hukuman bagi Maiz yang hanya dalam bentuk rajam saja.
[14]Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 1/22, 23, 49, Ibnu Abu Syaibah 9/410. At-Tirmidzihadits nomer 1400, Ibnu Majah hadits nomer 2662, Ibnu Abu Ashim di Ad-Diyat hal. 65, Ad-Daruquthni 3/140, 141, 143, Ibnu Al-Jarud hadits nomer 788, dan Al-Baihaqi 8/38 dari banyak jalur dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Khaththab yang berkata, aku dengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Seorang ayah tidak diqishas karena (membunuh) anaknya”. Sanad hadits tersebut hasan.
Hadils tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 1/16 dari Aswad bin Amir yang berkata, Ja'far Al-Ahmar berkata kepadaku dari Mutharrif dari Al-Hakam dari Mujahid dari Umar bin Khaththab. Para perawi hadits tersebut para perawi tepercaya, namun Mujahid tidak mendengar dari Umar bin Khaththab.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 2/216 dan 4/368 dari jalur Umar bin Isa Al-Qurasyi dari Ibnu Juraij dari Atha' bin Abu Rabah dari Ibnu Abbas dari Umar bin Khaththab. Hadits Isa bin Umar adalah munkar.
Dari Ibnu Abbas, hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 1401. Ibnu Majah hadits nomer 2661, Ad-Darimi 2/190, Al-Hakim 4/369, Ad-Daruquthni 3/141, dan Al-Baihaqi8/39. Sanad hadits tersebut dhaif.
Dari Suraqah, hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 1399 dan Ad-Daruquthni3/142. At-Tirmidzi berkata, "Sanad hadits tersebut tidak shahih”.
Baca Nashbur Rayah 4/339-341 dan Talkhishul Habir 4/16-17.
[15]Dari Ibnu Abbas, hadits tersebut diriwayatkan Ad-Daruquthni 3/133 dan Al-Baihaqi 8/35. Di sanadnya terdapat perawi Juwaibir yang merupakan perawi yang sangat dhaif.
Dari Ali bin Abu Thalib, hadits tersebut diriwayatkan Ad-Daruquthni 3/133-134 dan Al-Baihaqi8/34-35. Di sanadnya terdapat Jabir Al-Ja'fi yang merupakan perawi dhaif. Baca Talkhishul Habir 3/16.
[16]Diriwayatkan Imam Ahmad 5/10, 11, 12, 18, 19, Abu Daud hadits nomer 4515-4517, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1414. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan gharib." Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 2663 dari riwayat Al-Hasan dari Samurah. Imam Ahmad di Al-Musnad 5/11berkata, "Al-Hasan tidak mendengar hadits tersebut dari Samurah."
[17]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 6915. Hadits tersebut juga diriwayatkan At-Tirmidzihadits nomer 1412 dan An-Nasai 8/23.
[18]Diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 18514, Abu Daud di :Al-Marasilhadits nomer 250, Ad-Daruquthni 3/135, dan Al-Baihaqi 8/30.
[19]Hadits nomer 251. Hadits tersebut mursal dan dhaif.
[20]Diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 6559, Al-Hakim 1/395-397, dan Al-Baihaqi 4/89-90. Di sanadnya terdapat Sulaiman bin Arqam yang merupakan perawi dhaif. Pembahasan hadits tersebut secara lengkap silahkan baca buku Shahih Ibnu Hibban.
[21]Diriwayatkan Imam Ahmad 3/170, Al-Bukhari hadits nomer 2413, Muslim hadits nomer 1672, Abu Daud hadits nomer 5429, An-Nasai 8/22, dan Ibnu Majah hadits nomer 2666. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5991-5993.
[22]Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 9/297.
[23]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3017, Imam Ahmad 1/217. Abu Daud hadits nomer 4351, At-Tirmidzi hadits nomer 1458, An-Nasai 7/105, dan Ibnu Majah hadits nomer 2535. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4475 dan 4476.
[24]7/101-102. Sanad haditsnya tersebut shahih
[25]Hadits nomer 4353.
[26]Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4462, At-Tirmidzi hadits nomer 1456. dan Ibnu Majah hadits nomer 2561. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 4/355 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[27]Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 9/414. Para perawi hadits tersebut para perawi tepercaya, namun sanadnya terputus.
[28]Imam Ahmad 4/295, Abu Daud hadits nomer 4457, At-Tirmidzi hadits nomer 1362, Ibnu Majah hadits nomer 2607, dan An-Nasai 6/109 meriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib yang berkata, "Aku bertemu pamanku dari jalur ibu, Abu Burdah, yang membawa panji perang. Aku berkata, ‘Engkau hendak pergi ke mana?' Ia menjawab, 'Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutusku pergi kepada orang yang menikahi wanita mantan istri ayahnya untuk membunuhnya atau memenggal lehernya". Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4112 redaksi hadits menurut versinya dan Al-Hakim 2/191 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[29]Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 1460, Al-Hakim 4/360, dan Ad-Daruquthni 3/114 dari jalur Ismail bin Muslim dari Al-Hasan dari Jundab. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini tidak saya ketahui secara marfu' kecuali dari jalur tersebut." Ismail bin Muslim dianggap dhaif dalam hadits karena hapalannya lemah. Yang benar, hadits tersebut mauqufdariJundab.
[30]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/269, Abu Daud hadits nomer 4462, At-Tirmidzi hadits nomer 1454, Ibnu Majah hadits nomer 2564, dan Al-Hakim 4/355 dari jalur Amr bin Abu Amr dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapakalian temukan menggauli hewan, bunuh dia dan hewan tersebut”. Redaksi tersebut menurut versi At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits tersebut tidak saya ketahui kecuali dari hadits Amr bin Abu Amr.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ashim dari Abu Razin dari Ibnu Abbas yang berkata, "Barangsiapa menggauli hewan, maka tidak ada had(hukuman) baginya." Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Hadits ini lebih shahih daripada hadits pertama (hadits marfu') dan itu pendapat Imam Ahmad dan Ishaq."
Tentang hadits marfu' di atas. Abu Daud berkata, "Hadits tersebut tidak kuat." Setelah itu, Abu Daud meriwayatkan dengan sanadnya hadits Ibnu Abbas yang mauquf. Abu Daud berkata, "Hadits Ashim melemahkan hadits Amr bin Abu Amr." Baca Talkhishul Habir 4/55.
[31]Dari Muawiyah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 4/93, Abu Daud hadits nomer 4482, At-Tirmidzi hadits nomer 1444, dan Ibnu Majah hadits nomer 2573. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4446 dan Al-Hakim 4/93.
Dari Ibnu Umar, hadits tersebut diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4483 dan An-Nasai8/313.
Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/291, Abu Daud hadits nomer 4484, An-Nasai 8/314, dan Ibnu Majah hadits nomer 2572. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban 4447 dan Al-Hakim 4/371.
Dari Abu Sa'id, hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 4445.
[32]Baca Al-Mustadrak 1/3031 dan Ibnu Hibban hadits nomer 5357.
[33]Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4885 dari hadits Qabishah bin Dzu'aib dan hadits tersebut mursal. Qabishah bin Dzu'aib lahir pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tidak mendengar sabda tersebut dari beliau. Baca Fathul Bari 12/80.
[34]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6780.
[35]Dari Jabir, hadits tersebut diwayatkan Abu Daud hadits nomer 4410 dan An-Nasai 8/ 9091. Di sanadnya terdapat perawi Mush'ab bin Tsabit bin Abdullah yang merupakan perawi dhaif. An-Nasai berkata, ”Hadits tersebut munkar". Hadits tersebut juga dianggap dhaif olehIbnu Rajab.
Dari Al-Harits bin Hathib, hadits tersebut diriwayatkan An-Nasai 8/89-90. Baca Talkhishul Habir 4/68-69.
[36]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 1853.
[37]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 1852.
[38]Diriwayatkan secaramarfu' oleh An-Nasai 7/117 dengan dishahihkan Al-Hakim 2/159 menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi.
Hadits tersebut juga diriwayatkan secara mauquf olehAn-Nasai 7/117. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata seperti dinukil darinya oleh Al-Manawi di Al-Faudhu6/160, "Orang yang menyambung sanad hadits tersebut perawi tepercaya".
[39]Diriwayatkan Imam Ahmad 6/266 dan Al-Hakim 1/158-159. Al-Hakim menshahihkan hadits tersebut sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi, kendati ibu Alqamah yang namanya ialah Marjanah tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh selain Ibnu Hibban dan hanya anaknya yang meriwayatkan hadits darinya, namun hadits tersebut diperkuat hadits Ibnu Az-Zubair sebelumnya.
[40]Dari Abdullah bin Amr, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2480, Abu Daud hadits nomer 4771, At-Tirmidzi hadits nomer 1419, An-Nasai 7/114-115, dan Ibnu Majah hadits nomer 2581.
[41]Dari Sa'id bin Zaid, hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad 1/190. Abu Daud hadits nomer 4772, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1421.
[42]Diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 18557 dan 18818 dengan sanad shahih.
[43]Diriwayatkan Imam Ahmad 5/326. Al-Haitsami menyebutkan hadits tersebut di Majmauz Zawaid 6/245 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari. Al-Haitsami berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Katsir As-Sulami yang merupakan perawi dhaif”.
[44]Dari Ali bin Abu Thalib, hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad 1/79, Al-Bukhari hadits nomer 3007, 2474, Muslim hadits nomer 2494, Abu Daud hadits nomer 2650, dan At-Tirmidzihadits nomer 3305. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6499.
[45]Hadits nomer 485 dan para perawinya adalah para perawi tepercaya.
[46]Diriwayatkan Al-Kharaithi di Masawiul Akhlaq seperti terlihat di Al-Jami' Al-Kabir 2/798 dari Sa'id bin Al-Musayyib dari ayahnya.
[47]Telah ditakhrij sebelumnya.
[48]Diriwayatkan Imam Malik 2/842. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Syafi'i 2/90 dari Imam Malik dari Tsaur bin Zaid Ad-Daili dari Umar bin Khaththab. Sanad hadits tersebut terputus, karena Tsaur bin Zaid tidak pernah bertemu Umar bin Khaththab. Hadits tersebut tidak dibuat terputus oleh Al-Hakim di Al-Mustadrak 4/375-376 dari jalur Tsaur bin Zaid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Al-Hakim menshahihkan hadits tersebut dengan disetujui Adz-Dzahabi. Baca Talkhishul Habir 4/75-76.
[49]Dari Abu Sa'id Al-Khudri, hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad 3/22 dan Muslim hadits no. 18.
[50]Dari Ali bin Abu Thalib, hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad 1/81, 113, 131, Al-Bukharihadits nomer 3611, 5057, 6930, Muslim hadits nomer 1066, Abu Daud hadits nomer 4767, dan An-Nasai 7/119. Hadits di atas dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6739.
[51]Redaksi pertama diriwayatkan Imam Ahmad 5/42 dari Abu Bakrah. Al-Haitsami menyebutkannya di Majmauz Zawaid 6/225 dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Ath-Thabrani. Para perawi Imam Ahmad adalah para perawi Bukhari."
Redaksi kedua diriwayatkan Abu Ya'la hadits nomer 90, 4143 dan di sanadnya terdapat perawi Hud bin Atha'. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 6/226, "Ia (Hud bin Atha') matruk." Abu Ya'la juga meriwayatkan hadits tersebut hadits nomer 3668 dan di sanadnya terdapat perawi Abu Ma'syar yang merupakan perawi dhaif.
[52]Dari hadits Buraidah, hadits di atas diriwayatkan Ath-Thahawi di Musykilul Atsaar hadits nomer 378, 379. Ibnu Adi di Al-Kamil 4/1371-1372. dan dari jalur tersebut oleh Ibnu Al-Jauzi di mukaddimah Al-Maudhu'at 1/55-56. Di sanadnya terdapat perawi Shalih bin Hayyan Al-Qurasyi yang merupakan perawi dhaif.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Al-Jauzi 1/56 dari Abdullah bin Az-Zubair. Di tema ini, juga terdapat hadits dari Abdullah bin Amr. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid1/145, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath". Di sanadnya terdapat perawi Atha' bin As-Saib dari salah seorang dari kabilah Aslam dari sahabat-sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menurut Ath-Thabrani di Al-Kabir. Al-Haitsami berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Abu Hamzah Ats-Tsimali yang merupakan perawi dhaif."
[53]DiAs-Sunan 4/531danMasailul Imam Ahmad hal. 226-227.
[54]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/9, Abu Daud hadits nomer 4363, dan An-Nasai 7/110. Hadits tersebut shahih.

No comments:

Post a Comment