Friday, April 5, 2019

Hadits Arbain 15: Iman Kepada Allah Adalah Kehormatan dan Penghormatan


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari banyak jalur dari Abu Hurairah. Di sebagian redaksinya disebutkan, "Maka ia jangan menyakiti tetangganya”. Di sebagian redaksi lainnya disebutkan, "Hendaklahia baik dalam memuliakan tamunya”. Di sebagian redaksinya lagi disebutkan, "Hendaklah iamenyambung kerabatnya", menggantikan penyebutan tetangga.

Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits semakna dari hadits Abu Syuraih Al-Khuzai dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.[2])

Hadits bab di atas juga diriwayatkan dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam oleh Aisyah [3])Ibnu Mas’ud [4]) Abdullah bin Amr [5]), Abu Ayyub Al-Anshari [6]), Ibnu Abbas [7]), dan sahabat-sahabat lainnya.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia mengerjlakan ini dan itu", menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut termasuk sifat-sifat iman. Sebelumnya dijelaskan bahwa amal perbuatan masuk ke dalam iman. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menafsirkan iman dengan kesabaran dan toleransi. [8]) Al-Hasan berkata, "Yang dimaksud dengan sabar dari seluruh kemaksiatan dan toleransi dengan taat”. [9])

Perbuatan-perbuatan iman terkadang terkait dengan hak-hak Allah, seperti mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Termasuk dalam cakupan perbuatan-perbuatan iman ialah mengatakan yang baik dan diam dari yang jelek.

Perbuatan-perbuatan iman juga terkadang terkait dengan hak-hak hamba Allah, misalnya memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan tidak menyakitinya. Ketiga hal tersebut diperintahkan kepada orang Mukmin; salah satunya dengan mengatakan yang baik dan diam dari perkataan yang jelek. Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Aswad bin Ashram Al-Muharibi yang berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah, berilah aku nasihat”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah engkau mengendalikan lidahmu?" Aku menjawab, "Aku tidak mengendalikan jika aku tidak memiliki lidah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, "Apakah engkau mengendalikan tanganmu?" Aku berkata, "Aku tidak mengendalikan jika aku tidak mempunyai tangan”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan berkata dengan lidahmu kecuali kebaikan dan jangan menjulurkan tanganmu kecuali kepada kebaikan”. [10])

Disebutkan di hadits bahwa lidah yang lurus termasuk sifat iman, seperti disebutkan di Al-Musnad[11]) dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Iman seseorang tidak lurus hingga hatinya lurus dan hatinya tidak lurus hingga lidahnya lurus”.

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Seorang hamba tidak mencapai hakikat iman hingga ia melarang lidahnya bicara".[12])

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Engkau senantiasa selamat selama engkau diam. Jika engkau bicara, maka kebaikan atau keburukan ditulis untukmu”.[13])

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-AshRadhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa diam, ia selamat".[14])

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dariNabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata, ia tidak menyangka bahwa ucapannya menyebabkan ia tergelincir di neraka lebih jauh daripada jauhnya antara timur dengan barat".[15])

Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Sesungguhnya, seseorang mengatakan satu kalimat yang ia lihat tidak ada apa-apanya, namun dengan sebab kalimat tersebut, ia jatuh selama tujuh puluh tahun ke dalam neraka”.[16])

Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Sesungguhnya seseorang mengatakan kalimat yang diridhai Allah dania tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan Allah mengangkatnya beberapa derajat. Sesungguhnya seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan sebab kalimat tersebut ke jahannam".[17])

Imam Ahmad meriwayatkan hadits Sulaiman bin Suhaim dari ibunya yang berkata, aku dengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,“Sesungguhnya seseorang dekat dengan surga hingga jarak antara dirinya dengan surga cuma beberapa hasta, kemudian ia mengatakan satu kalimat, lalu ia dijauhkan darinya lebih jauh daripada Shan’a".[18])

Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasai meriwayatkan hadits Bilal bin Al-Harits yang berkata, aku dengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya salah seorang dari kalian mengatakan suatu kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak mengiranya sampai di tempatnya, ternyata karena kalimat tersebut Allah menulis keridhaan-Nya hingga hari Dia bertemu dengannya. Sesungguhnya salah seorang dari kalian mengatakan suatu kalimat yangdimurkai Allah, dan ia tidak mengiranya sampai di tempatnya, ternyata karena kalimat tersebut, Allah menulis kemurkaan-Nya hingga hari Dia bertemu dengannya”.[19])

Sebelumnya saya sebutkan hadits Ummu Habibah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Seluruh perkataan anak keturunan Adam atasnya (dicatat sebagai keburukan) dan bukan untuknya (dicatat sebagai kebaikan) kecuali amar ma”ruf nahi munkar dan dzikir kepada Allah Azza wa jalla”.[20])

Sedang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam", adalah perintah untuk berkata baik dan diam dari keburukan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perkataan yang sama kalau diucapkan dan tidak diucapkan. Namun bisa jadi perkataan itu baik, karenanya, diperintahkan diucapkan. Dan bisa jadi, perkataan tersebut tidak baik, karenanya, perkataan tersebut diperintahkan tidak diucapkan. Hadits Muadz bin Jabal dan Ummu Habibah menunjukkan hal ini.

Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu dan teksnya bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Hai Muadz, semoga ibumu kehilangan dirimu (kalimat yang menunjukkan keheranan). Engkau tidak mengucapkan perkataan melainkan perkataan tersebut untukmu (dicatat sebagai kebaikan) atau atasmu (dicatat sebagai keburukan)”.

Allah Ta’ala berfirman, "(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satunya duduk di sebelah kanan, dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 17-18).

Para salafush shalih sepakat bahwa malaikat di sebelah kanan orang itu mencatat kebaikan-kebaikan, sedang malaikat di sebelah kirinya mencatat kesalahan-kesalahan. Hal ini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam oleh Abu Umamah dengan sanad yang dhaif.[21])

Dalam Shahih Bukhari disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Jika salah seorang dari kalian shalat, ia bermunajat kepada Tuhannya, sedang malaikat berada di sebelah kanannya”.[22])

Juga diriwayatkan hadits Hudzaifah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Sesungguhnya di sebelah kanannya terdapat penulis semua kebaikan.[23])

Para ulama berbeda pendapat apakah malaikat menulis apa saja yang dikatakan seseorang atau hanya menulis perkataan yang di dalamnya terdapat pahala dan hukuman? Ada dua pendapat dalam masalah ini. Ali bin Abu Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, "Seluruh kebaikan dan keburukan yang diucapkan seseorang ditulis hingga ucapannya, “Aku makan, minum, pergi, dan datang”, juga ditulis. Pada hari Kamis, ucapan dan perbuatannya diperlihatkan kemudian Allah menetapkan perkataan dan perbuatan yang di dalamnya terdapat kebaikan atau keburukan dan membuang sisanya. Itulah firman Allah Ta’ala, Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahftrah)”. (ArRa”du: 39). [24]

Yahya bin Abu Katsir berkata, "Seseorang menaiki keledai kemudian jatuh terperosok. Ia berkata, “Keledai ini celaka”. Malaikat di sebelah kanan berkata, “Itu bukan kebaikan, jadi, aku tidak menulisnya.” Malaikat di sebelah kiri berkata, “Itu bukan keburukan, jadi, aku tidak menulisnya.” Allah memberi wahyu kepada malaikat di sebelah kiri, “Malaikat di sebelah kanan tidak meninggalkan sesuatu apa pun, jadi, tulislah perkataan tadi.” Kemudian malaikat di sebelah kiri menulis perkataan, “Keledai ini celaka,” di daftar kesalahan-kesalahan". [25])

Terlihat bahwa sesuatu yang tidak baik itu berarti kesalahan kendati pelakunya tidak diberi hukuman karenanya, karena sebagian kesalahan bisa jadi pelakunya tidak diberi hukuman karenanya. Bisa jadi kesalahan tersebut dihapus karena pelakunya menjauhi dosa-dosa besar, namun pelakunya merasakan kerugian karena waktunya hilang secara sia-sia, akibatnya ia sedih pada Hari Kiamat. Kesedihan tersebut sudah merupakan hukuman.

Imam Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tidaklah satu kaum berdiri dari satu majlis tanpa dzikir kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka seperti berdiri dari bangkai keledai dan mereka mendapatkan kesedihan”.[26])

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits tersebut dengan teks, "Tidaklah satu kaum duduk di satu majlis tanpa dzikir kepada Allah di dalamnya dan tanpa bershalawat kepada nabi mereka, melainkan mereka mendapatkan kesedihan. jika Allah berkehendak, Dia menyiksa mereka. Dan jika Dia berkehendak, Dia mengampuni mereka”.[27])

Menurut riwayat Abu Daud dan An-Nasai, "Barangsiapa duduk di tempat duduk tanpa dzikir kepada Allah di dalamnya, ia mendapatkan kesedihan dari Allah. Barangsiapa berbaring di pembaringan tanpa dzikir kepada Allah di dalamnya, ia mendapatkan kesedihan dari Allah”.

An-Nasai menambahkan, "Dan barangsiapa berdiri di tempat berdiri tanpa dzikir kepada Allah di dalamnya, ia mendapatkan kesedihan dari Allah”.[28])

An-Nasai juga meriwayatkan hadits di atas dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tidaklah satu kaum duduk di satu tempat duduk (majlis) tanpa dzikir kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka mendapatkan kesedihan pada Hari Kiamat, kendati mereka masuk surga".[29])

Mujahid berkata, "Tidaklah satu kaum duduk di salah satu tempat duduk kemudian berpisah sebelum berdzikir kepada Allah, melainkan mereka berpisah dalam keadaan lebih busuk daripada bau bangkai dan tempat duduk mereka tersebut memberi kesaksian untuk mereka tentang kelalaian mereka. Tidaklah satu kaum duduk di satu tempat duduk kemudian dzikir kepada Allah sebelum berpisah, melainkan mereka berpisah dalam keadaan lebih wangi daripada aroma kesturi dan tempat duduk mereka tersebut bersaksi untuk mereka tentang dzikir mereka”.

Salah seorang generasi salaf berkata, "Pada Hari Kiamat, saat-saat umur diperlihatkan kepada anak keturunan Adam kemudian setiap saat yang tidak ada dzikir kepada Allah di dalamnya membuat dirinya sedih”.

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda, "Tidaklah waktu berjalan pada anak keturunan Adam dan ia tidak berdzikir kepada Allah dengan baik di dalamnya, melainkan ia sedih karenanya pada Hari Kiamat".[30])

Dari sini, bisa diketahui bahwa jika perkataan tidak baik, maka diam (tidak mengucapkannya) lebih baik daripada mengucapkannya, kecuali jika dibutuhkan dengan sangat. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang berkata, "Hendaklah kalian meninggalkan perkataan yang berlebihan. Cukuplah seseorang dengan kadar kebutuhannya”. Diriwayatkan dari An-Nakhai yang berkata, "Manusia binasa karena harta dan perkataan yang berlebihan”.

Juga bisa diketahui bahwa banyak bicara padahal tidak diperlukan membuat hati keras, seperti diriwayatkan di At-Tirmidzidari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,“Janganlah kalian banyak bicara tanpa dzikir kepada Allah, karena banyak bicara tanpa dzikir kepada Allah itu mengeraskan hati dan sesungguhnya manusia yang paling jauh dari Allah ialah hati yang keras”.[31])

Umar bin KhAth-Thab Radhiyallahu Anhuberkata, "Barangsiapa banyak bicara, ia banyak kesalahannya. Barangsiapa banyak kesalahannya, ia banyak dosa-dosanya. Barangsiapa banyak dosa-dosanya, neraka menjadi tempat yang paling layak baginya”. [32])

Al-Uqaili [33]) menyebutkan perkataan di atas dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamdengan sanad dhaif.

Muhammad bin Ajlan berkata, "Perkataan itu ada empat; engkau dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, bertanya tentang ilmu kemudian engkau menjelaskannya, dan berbicara tentang urusan dunia yang penting bagimu”.

Seseorang berkata kepada Salman, "Berilah aku nasihat”. Salman berkata, "Engkau jangan bicara”. Orang tersebut berkata, "Orang yang hidup di tengah-tengah manusia tidak bisa untuk tidak bicara”. Salman berkata, "Jika engkau bicara, bicaralah dengan benar atau diamlah”. [34])

Abu Bakar Ash-Shiddiq memegang lidahnya sambil berkata, "Lidah inilah yang dapat membuatku berada di tempat-tempat yang membinasakan”. [35])

Ibnu Mas’ud berkata, "Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, di atas bumi ini tidak ada yang layak dipenjara hingga lama sekali selain lidah”. [36])

Wahb bin Munabbih berkata, "Orang-orang bijak sepakat bahwa puncak hikmah ialah diam”. [37])

Syumaith bin Ajlan berkata, "Hai anak keturunan Adam, jika engkau diam, engkau selamat. Jika engkau bicara, waspadalah, karena bisa jadi pahala ditulis untukmu atau dosa ditulis untukmu”. [38])

Tema ini sangat luas.

Maksud dari semua hal di atas bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan bicara dengan baik dan diam (tidak mengatakan perkataan yang tidak ada kebaikan di dalamnya). Imam Ahmad dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits Al-Barra” bin Azib Radhiyallahu Anhu bahwa seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, ajari aku perbuatan yang memasukkanku ke surga”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan hadits dan di dalamnya beliau bersabda, "Berilah makan orang yang kelaparan, berilah air orang yang kehausan, perintahkan kebaikan, dan laranglah kemungkaran. Jika engkau tidak sanggup melakukannya, jagalah lidahmu kecuali dari kebaikan”.[39])

Bicara dan diam tidak diperintahkan secara mutlak, namun mengucapkan kebaikan dan diam dari keburukan itu harus dilakukan. Generasi salaf seringkali memuji sikap diam dari keburukan dan diam dari apa saja yang tidak penting karena sangat sulit dilakukan jiwa. Saking sulitnya, banyak sekali manusia gagal melakukannya. Generasi salaf memperbaiki jiwa mereka dan mengusahakannya diam dari apa saja yang tidak penting bagi mereka.

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Haji, menjaga daerah perbatasan, dan jihad tidak lebih berat daripada menjaga lidah. Jika engkau dibuat sedih oleh lidahmu, engkau berada dalam kesedihan yang mendalam”.

Al-Fudhail bin Iyadh juga berkata, "Penjara lidah adalah penjara orang Mukmin. Jika engkau dibuat sedih oleh lidahmu, engkau berada dalam kesedihan yang mendalam”. [40])

Ibnu Al-Mubarak pernah ditanya tentang perkataan Luqman kepada anaknya, "Jika perkataan adalah perak, diam adalah emas," Ibnu Al-Mubarak berkata, "Maksud perkataan tersebut ialah jika perkataan karena taat kepada Allah adalah perak, maka diam dari maksiat kepada Allah adalah emas”. Ini disebabkan karena menahan diri dari kemaksiatan lebih utama daripada mengerjakan ketaatan. Pembahasan hal ini telah disebutkan sebelumnya dengan memadai.

Orang-orang berdiskusi di samping Al-Ahnaf bin Qais tentang mana yang lebih baik antara bicara dengan diam. Mereka berkata, "Diam lebih baik daripada bicara”. Al-Ahnaf bin Qais berkata, "Bicara lebih baik daripada diam, karena keutamaan diam hanya dirasakan pelakunya, sedang perkataan yang baik dirasakan siapa saja yang mendengarnya”. [41])

Salah seorang ulama berkata di sisi Umar bin Abdul Aziz, "Orang yang diam atas dasar ilmu adalah seperti orang yang bicara atas dasar ilmu”. Umar bin Abdul Aziz berkata, "Sungguh orang yang bicara atas dasar ilmu lebih baik kondisinya pada Hari Kiamat, karena manfaatnya dirasakan manusia, sedangkan diamnya orang atas dasar ilmu itu manfaatnya untuk dirinya sendiri”. Ulama tersebut berkata kepada Umar bin Abdul Aziz, "Wahai Amirul Mukminin, bagaimana dengan fitnah perkataan?" Ketika itulah, Umar bin Abdul Aziz menangis keras.

Pada suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkhutbah hingga manusia sedih dan menangis. Umar bin Abdul Aziz pun menghentikan khutbahnya. Ditanyakan kepadanya, "Bagaimana kalau engkau melanjutkan perkataanmu karena kami berharap Allah menjadikannya bermanfaat?" Umar bin Abdul Aziz berkata, "Sesungguhnya perkataan adalah fitnah dan berbuat itu lebih utama bagi orang Mukmin daripada perkataan”.

Sejak lama, aku bermimpi melihat Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu Anhu dan mendengarnya bicara tentang masalah ini. Aku pikir aku berbicara dengannya dalam masalah ini dan dari ucapannya aku paham bahwa mengatakan kebaikan itu lebih baik daripada diam. Aku juga berkeyakinan bahwa di tengahtengah pembicaraan masalah ini terlintas nama Sulaiman bin Abdul Malik dan menyatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata seperti di atas kepadanya. Diriwayatkan [42]) dari Sulaiman bin Abdul Malik bahwa ia berkata, "Diam adalah waktu tidurnya akal sedang bicara adalah saatnya akal terjaga. Satu kondisi tidak sempurna kecuali dengan kondisinya”. Maksudnya, diam dan bicara harus dilakukan.

Sungguh indah apa yang dikatakan Ubaidillah bin Abu Ja’far, faqih penduduk Mesir pada masanya dan salah seorang yang bijak, "Jika seseorang bicara di salah satu majlis dan bangga dengan bicaranya, hendaklah ia diam. Jika ia diam dan bangga dengan diamnya, hendaklah ia bicara”. [43])Ini sangat baik, karena orang yang bisa seperti itu, maka diam dan bicaranya karena melawan hawa nafsunya dan karena melawan kekaguman terhadap dirinya sendiri. Barangsiapa bisa seperti itu, ia layak mendapatkan bimbingan Allah dalam diam dan bicaranya, karena bicara dan diamnya untuk mengharap ridha Allah Azza wa jalla.

Dalam hadits-hadits mursal Al-Hasan, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Allah Azza wa Jalla yang berfirman, "Tanda kesucian ialah apabila hati hamba digantungkan kepada-Ku. jika telah seperti itu, hamba tersebut tidak lupa kepada-Ku di semua kondisi. Tika telah seperti itu, Aku memberinya nikmat dalam bentuk sibuk dengan-Ku agar ia tidak lupa kepada-Ku jika ia lupa kepada-Ku, Aku gerakkan hatinya. Jika ia berkata, ia berkata karena Aku. Jika ia diam, ia diam karena Aku. Orang itulah yang didatangi pertolongan dari-Ku”. (Diriwayatkan Ibrahim bin Al-Junaid).

Kesimpulannya, selalu diam secara mutlak, atau menganggap diam sebagai bentuk taqarrub secara mutlak, atau menganggap diam sebagai taqarrub di sebagian ibadah seperti haji, i”tikaf, dan puasa itu dilarang. Diriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang puasa dengan cara diam. Al-Ismaili meriwayatkan hadits Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kami diam dalam i”tikaf”.

Dalam Sunan AbuDaud[44]) disebutkan hadits Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tidak boleh diam pada siang hari hingga malam hari”.

Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata kepada wanita yangberhaji dengan diam, "Diam tidak boleh, karena termasuk perbuatan jahiliyah”. [45])

Diriwayatkan dari Ali bin Al-Husain bin Zainal Abidin yang berkata, "Puasa diam itu haram”.

Masalah kedua yang diperintahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada kaum Mukminin pada hadits bab di atas ialah memuliakan tetangga. Di sebagian riwayat disebutkan, "Larangan dari mengganggu tetangga”.Jadimengganggu tetangga adalah haram, karena mengganggu tanpa alasan yang benar itu diharamkankepada semua orang dan pengharamannya lebih keras jika ditujukan kepada tetangga. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkanhadits Ibnu Mas’ud RadhiyallahuAnhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang pernah ditanya, "Dosa apakah yang paling besar?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu”. Ditanyakan, "Kemudian dosa apa lagi?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia makan bersamamu”.Ditanyakan, "Kemudian dosa apa lagi?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu".[46])

Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Al-Miqdad Radhiyallahu Anhu yangberkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Apa yang kalian katakan tentang zina?" Para sahabat berkata, "Haram yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Zina tersebut haram hingga Hari Kiamat”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “jika seseorang berzina dengan sepuluh wanita maka itu lebih ringan baginya daripada ia berzina dengan istri tetangganya”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda lagi, “Apa yang kalian katakan tentang pencurian?" Para sahabat berkata "Diharamkan Allah dan Rasul-Nya. jadi, pencurian itu haram”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika seseorang mencuri dari sepuluh rumah maka itu lebih ringan baginya daripada ia mencuri dari tetanggan ya”.[47])

Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Abu Syuraih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda,"Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman”. Ditanyakan, “Siapa wahai Rasulullah?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya".[48])

Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad dan lain-lain dari Abu Hurairah.

DalamShahih Muslim disebutkan hadits dari Abu HurairahRadhiyallahu Anhudari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda, "Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”.[49])

Imam Ahmad dan Al-Hakim meriwayatkanhadits Abu HurairahRadhiyallahu Anhu yangberkata, "Dikatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita si Fulanah shalat di malam hari dan berpuasa di siang hari, namun lidahnya tajam suka menyakiti tetangganya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada kebaikan pada wanita tersebut. Ia masuk neraka”. Dikatakan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Sesungguhnya wanita si Fulanah mengerjakan shalat-shalat wajib, berpuasa di bulan Ramadhan, bersedekah dengan keju padahal ia tidak mempunyai apa-apa selain keju tersebut, dan tidak menyakiti tetangganya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia masuk surga". Redaksi Imam Ahmad,“Wanita tersebut tidak menyakiti tetangganya dengan lidahnya”.[50])

Al-Hakim meriwayatkan hadits Abu Juhaifah yang berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam guna mengeluhkan tetangganya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Lemparkan perabotanmu di jalan”.Setiap kali orang-orang berjalan melewati pemilik perabotan tersebut, mereka melaknat tetangganya. Orang tersebut datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak berani bertemu manusia”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kenapa engkau tidak berani bertemu mereka?” Orang tersebut berkata, Mereka melaknatku”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Sungguh engkau telah dilaknat Allah sebelum (dilaknat) manusia”. Orang tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mengulanginya lagi”.[51])

Hadits semakna diriwayatkan Abu Daud [52]) dari Abu Hurairah tanpa kalimat, "Sungguh engkau telah dilaknat Allah sebelum (dilaknat) manusia”.

Al-Kharaithi meriwayatkan hadits dari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha yang berkata, "Seekor kambing milik tetangga kami masuk, kemudian aku mengambil pisau yang berkeluk ujungnya. Setelah itu, aku berjalan ke arah kambing tersebut dan menyeretnya di antara kedua jenggotnya (mulutnya) kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada (istilah) sedikit dalam menyakiti tetangga".[53])

Sedang memuliakan tetangga dan berbuat baik kepadanya, maka itu diperintahkan. Allah Azza wa jalla berfirman,"Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya kalian; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (An-Nisa”: 36).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala mengumpulkan hak-Nya terhadap manusia dengan hak-hak manusia terhadap manusia. Selain itu, Allah Ta’ala menyebutkan orang-orang yang diperintahkan disikapi dengan baik. Mereka adalah lima kelompok;
1.     Orang-orang yang masih dalam hubungan kekerabatan. Allah menyebutkan orang tua secara khusus di antara mereka, karena keduanya memiliki keistimewaan atas seluruh sanak kerabat dan tidak ada satu pun dari mereka yang mempunyai keistimewaan tersebut bersama keduanya, karena keduanya menjadi sebab keberadaan anak, mempunyai hak mendidik, mengasuhnya, dan lain-lain.
2.     Orang-orang lemah dan membutuhkan bantuan. Mereka terdiri dari dua kelompok; Pertama, orang-orang yang membutuhkan bantuan karena badan mereka lemah, yaitu anak-anak yatim. Kedua, orang-orang yang membutuhkan bantuan karena harta mereka sedikit, yaitu orang-orang miskin.
3.     Orang-orang yang mempunyai hak kedekatan dan interaksi. Mereka terdiri dari tiga kelompok; Pertama, tetangga dekat. Kedua,tetangga jauh. Ketiga, teman sejawat.
Para pakar tafsir berbeda pendapat tentang penafsiran ayat di atas. Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan tetangga dekat ialah tetangga yang masih ada hubungan kekerabatan dan tetangga jauh ialah orang asing (yang bukan kerabatnya). Ada ulama yang memasukkan wanita ke dalam tetangga dekat. Ada ulama yang memasukkan wanita ke dalam tetangga jauh. Ada ulama yang memasukkan teman seperjalanan ke dalam tetangga jauh.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda dalam doa beliau, "Aku berlindung diri kepada-Mu dari tetangga jahat di rumah tetap, karena tetangga di lembah itu berubah-ubah”.[54])
Ada ulama yang berkata bahwa tetangga dekat ialah tetangga Muslim sedangtetangga jauh ialah orang kafir. Dalam Musnad Al-Bazzar disebutkanhadits Jabir dari Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam yang bersabda,
"Tetangga ada tiga; tetangga yang mempunyai satu hak dan ia adalah tetangga yang paling rendah haknya, tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang mempunyai tiga hak yang merupakan tetangga yang paling baik haknya. Tetangga yang mempunyai satu hak ialah tetangga musyrik yang bukan kerabat dan ia berhak atas hak ketetanggaan. Sedang tetangga yang mempunyai dua hak ialah tetangga Muslim; ia berhak atas hak Ilslam dan hak ketetanggaan. Sedang tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang masih sanak kerabat; ia mempunyai hak Islam, hak ketetanggaan, dan hak sanak kerabat”.[55])
Hadits di atas diriwayatkan dari jalur lain yang tidak terputus sanadnya dan mursal, namun semuanya tidak lepas dari catatan.
Ada ulama yang berkata bahwa tetangga dekat ialah orang yang dekat ketetanggaannya dan tetangga jauh ialah orang yang jauh ketetanggaannya.
Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata, aku berkata,
"Wahai Rasulullah, aku mempunyai dua tetangga; siapa di antara keduanya yang harus aku beri hadiah? “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tetangga yang paling dekat pintunya denganmu”.[56])
Sejumlah generasi salaf berkata, "Batas ketetanggaan ialah empat puluh rumah”. Ada lagi yang mengatakan, "Batas ketetanggaan ialah dikelilingi empat puluh rumah dari segala penjuru”.
Dalam hadits-hadits mursal Az-Zuhri disebutkan bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam guna mengeluhkan tetangganya kemudian beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk berseru, "Ketahuilah bahwa empat puluh rumah adalah tetangga”. Az-Zuhri berkata, "Empat puluh seperti ini, empat puluh seperti ini, empat puluh seperti ini, dan empat puluh seperti ini”. Maksudnya, di depan, di belakang, di sebelah kanan, dan di sebelah kirinya. [57])
Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yangmemasak makanan satu periuk di rumah musafir dan di rumah tersebut terdapat sekitar tiga puluh atau empat puluh orang yang tinggal bersamanya. Imam Ahmad menjawab, "Orang tersebut memulai dengan dirinya dan orang-orang yang ia tanggung. Jika makanannya lebih, ia berikan kepada orang yang paling dekat dengannya. Bagaimana mungkin ia bisa memberi mereka semua?" Dikatakan kepada Imam Ahmad, "Barangkali tetangga tersebut hanya memasak makanan sebanyak satu periuk dan tidak mempunyai tempat lain? Oleh karena itu, ia tidak mengirimkannya kepada orang-orang tersebut?"
Sedang teman sejawat, maka ada sejumlah ulama yang menafsirkannya istri. Ulama lainnya di antaranya Ibnu Abbas, menafsirkannya teman seperjalanan. Mereka tidak ingin mengeluarkan teman sejawat di tempat mukim dari makna berkawan/persahabatan, namun menginginkan bahwa pertemanan di perjalanan itu sudah cukup dianggap sebagai pertemanan. Jika demikian, tentu pertemanan terus-menerus di tempat mukim itu lebih utama. Oleh karena itu, Sa’id bin Jubair berkata, "Teman sejawat ialah teman yang shalih”. Zaid bin Aslam berkata, "Ia teman dudukmu di tempat tetap dan temanmu di perjalanan”. Ibnu Zaid berkata, "Ia orang yang kenal denganmu agar engkau mendapatkan manfaat darinya”. Dalam Musnad Imam Ahmad dan At-Tirmidzidisebutkan hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Teman yang paling baik di sisi Allah ialah siapa di antara mereka yang paling baik kepada temannya. Tetangga-tetangga yang paling baik di sisi Allah ialah siapa di antara mereka yang paling baik kepada tetangganya”.[58])
4.     Orang yangdatang kepada seseorang dan tidak menetap padanya, yaitu musafir, jika berhenti di salah satu daerah. Ada ulama yang menafsirkannya tamu, maksudnya jika musafir singgah sebagai tamu pada seseorang.
5.     Budak. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seringkali menasihati kaum Muslimin agar mereka berbuat baik kepada budak-budak mereka. Diriwayatkan bahwa wasiat terakhir Nabi Shallallahu Alaili wa Sallam sebelum beliau wafat ialah, "Shalat dan budak-budak kalian”.[59]Sebagian generasi salaf memasukkan ke dalam ayat tersebut yaitu apa saja yang dimiliki seseorang, misalnya hewan ternak.
Kita kembali pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu tentang memuliakan tetangga. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkanhadits dari Aisyah dan Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, ”Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku tentang tetangga hingga aku kira tetangga akan mewarisi".[60])

Di antara bentuk berbuat baik kepada tetangga ialah membantunya jika ia membutuhkan bantuan. Dalam Al-Musnad disebutkan hadits dari Umar bin KhAth-ThaRadhiyallahu Anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Orang Mukmintidak akan kenyang sendirian tanpa tetangganya”.[61])

Al-Hakim meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tidaklah disebut Mukmin jika ia kenyang, sedangtetangganya kelaparan”.[62])

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tidaklah beriman orang yang semalaman kenyang, sedang tetangganya kelaparan”.[63])

Dalam Al-Musnaddisebutkan hadits dari Uqbah bin AmirRadhiyallahu Anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda, "Dua orang yang pertama kali bermusuhan pada Hari Kiamat ialah dua orang yang bertetangga”.[64])

Dalam Al-Adab Al-Mufrad Al-Bukhari disebutkanhadits dariIbnu UmarRadhiyallahu Anhuma dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda, "Betapa banyak tetangga yang tergantung oleh tetangganya di Hari Kiamat kemudian tetangganya berkata, “Tuhanku, tetanggaku ini menutup pintunya bagiku dan menahan kebaikannya”.[65])

Al-Kharaithidan lain-lain meriwayatkan dengan sanad dhaifhadits Atha’Al-Khurasan dari Amr bin Syu”aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda, "Barangsiapa menutup pintunya bagi tetangganya karena mengkhawatirkan keluarga dan hartanya, ia bukan Mukmin. Bukan Mukmin orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya. Tahukah engkau apa hak tetangga? Jika ia meminta pertolonganmu, bantulah dia. Jika ia meminta pinjaman kepadamu, pinjamilah dia. Jika ia membutuhkan engkau mengunjunginya. jika ia sakit, engkau menjenguknya. Jika ia mendapatkan kebaikan, engkau mengucapkan selamat kepadanya. Jika ia mendapatkan musibah, engkau menghiburnya. Jika ia meninggal dunia, engkau mengantar jenazahnya. janganlah engkau meninggikan bangunan dari bangunannya karena itu menghalangi udara kecuali dengan izinnya, engkau jangan menyakitinya dengan bau periukmu kecuali engkau memberikan sebagian daripadanya. Jika engkau membeli buah-buahan, berilah ia hadiah. jika engkau tidak dapat melakukannya, masukkan buah-buahan tersebut dengan rahasia. janganlah anakmu keluar dengan buah-buahan tersebut untuk membuat marah anaknya”[66])

Mengatasnamakan perkataan tersebut kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamadalah munkar dan bisa jadi perkataan tersebut adalah penafsiran Atha’ Al-Kharaithi sendiri.

Hadits semakna diriwayatkan dari Atha’ dari Al-Hasan dari Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Hak tetangga yang paling rendah ialah engkau tidak menyakitinya dengan aroma periukmu kecuali engkau memberikan sebagian darinya kepada tetangga tersebut”.[67])

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Kekasihku, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, memberi wasiat kepadaku, Jika engkau memasak kuah, perbanyaklah airnya kemudian lihatlah keluarga tetanggamu lalu berikan sebagiannya kepada mereka dengan baik :"Di riwayat lain Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Hai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah, perbanyaklah airnya dan berikan sebagiannya kepada tetangga-tetanggamu”.[68])

Dalam Al-Musnad dan At-Tirmidzi disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhuma bahwa ia menyembelih seekor kambing kemudian berkata, "Apakah kalian menghadiahkan sebagiannya kepada tetangga kami yang Yahudi?" - Ia berkata seperti tiga kali -. Ia berkata lagi, aku dengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jibril terus menerus berwasiat kepadaku tentang tetangga hingga aku kira tetangga akan mewarisi”.[69])

Dalam Shahih Al-Bukhari dan ShahihMuslim disebutkan hadits dari Abu HurairahRadhiyallahu Anhu dari NabiShallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,"Salah seorang dan kalian jangan sekali-kali melarang tetangganya menancapkan kayu di temboknya”. Setelah itu, Abu Hurairah berkata, "Kenapa kalian aku lihat kalian berpaling dari nasehat tersebut? Demi Allah, aku pasti melemparkan kayu tersebut ke pundak-pundak kalian”.[70])

Pendapat Imam Ahmad ialah hendaknya seseorang mengizinkan tetangganya meletakkan kayu di temboknya jika membutuhkannya dan itu tidak merugikan orang berdasarkan hadits di atas. Dzahirnya, perkataan Imam Ahmad ialah seseorang wajib membantu tetangganya dengan kelebihan yang dimilikinya yang tidak merugikannya jika tetangganya membutuhkannya. Al-Marwazi berkata kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad), "Aku dengar pengemis di jalan berkata, “Aku lapar“. Abu Abdullah berkata, "Bisa jadi pengemis tersebut berkata benar dan berkata bohong”. Al-Marwazi katakan, "Jika aku mempunyai tetangga dan aku tahu ia kelaparan?" Abu Abdullah berkata, "Engkau membantunya”. Al-Marwazi berkata, "Jika makananku hanya dua roti?" Abu Abdullah berkata, "Engkau memberinya sebagian dari roti tersebut”. Setelah itu, Abu Abdullah berkata, "Orang yang disebutkan di hadits adalah tetangga”.

Al-Marwazi bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad), "Apakah orang-orangkaya diwajibkan membantu?" Abu Abdullah berkata, "Jika suatu kaum meletakkan sesuatu di atas sesuatu, bagaimana mereka tidak diwajibkan membantu?" Al-Marwazi bertanya, "Jika seseorang mempunyai dua gamis atau dua jubah, apakah ia diwajib dibantu?" Abu Abdullah (Imam Ahmad) berkata, "Jika ia membutuhkan memiliki kelebihan”.

Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Abu Musa Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Berilah makan orang yang kelaparan, jenguklah orang sakit, dan bebaskan para tawanan“.[71])

Dalam Al-Musnad dan Shahih Al-Hakim disebutkan hadits dari Ibnu Umar RadhiyallahuAnhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda,"Penduduk tempat mana saja jika salah seorang dan mereka kelaparan di keesokan harinya, maka tanggungan Allah Azza wa Jalla terlepas dari mereka”.[72])

Madzhab Imam Ahmad dan Imam Malik melarang seseorang mempergunakan apa saja miliknya yang mengganggu tetangganya. Menurut keduanya, seseorang wajib menahan diri dari mengganggu tetangganya dalam bentuk ia dilarang mempergunakan barang miliknya yang mengganggu tetangganya. Imam Ahmad mewajibkan orang tersebut memberi apa yang dibutuhkan tetangganya dan pemberiannya tersebut tidak merugikannya. Puncaknya, ia bersabar terhadap gangguan tetangganya dan tidak membalasnya dengan balik menganggunya. Al-Hasan berkata, "Ketetanggaan yang baik bukanlah menahan diri dari mengganggu, namun ketetanggaan yang baik ialah bersabar terhadap gangguan”. Diriwayatkan dari hadits Abu Dzar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Sesungguhnya Allah mencintai orang yang mempunyai tetangga dan ia disakiti oleh tetangganya tersebut kemudian ia bersabar terhadap gangguannya hingga keduanya dipisahkan kematian atau dengki”. (Diriwayatkan Imam Ahmad). [73]

Dalam hadits-hadits mursal Abu Abdurrahman Al-Hambali disebutkan bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengeluhkan tetangganya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tahanlah gangguanmu terhadapnya dan bersabarlah terhadap gangguannya. Cukuplah kematian itu memisahkan”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya). [74]

Masalah ketiga yang diperintahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits bab di atas kepada kaum Mukminin ialah memuliakan tamu. Maksudnya, menjamunya dengan baik. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkanhadits Abu Syuraih Radhiyallahu Anhu yang berkata, kedua mataku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kedua telingaku mendengar ketika beliau bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya dengan memberinya hadiah (untuk bekal perjalanan)”. Para sahabat bertanya, "Apa hadiahnya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "(Untuk bekal perjalanan) sehari semalam”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda lagi, “Jamuan untuk tamu ialah tiga hari dan selebihnya adalah sedekah”.[75])

Muslim juga meriwayatkan hadits Abu Syuraih Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Jamuan untuk tamu adalah tiga hari dan hadiah (untuk bekal perjalanan) untuk sehari semalam. Apa yang ia infakkan setelah itu adalah sedekah. Tamu tidak halal menetap di rumah seseorang kemudian membuatnya berdosa”. Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana ia membuatnya berdosa?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tamu tersebut menetap padanya, namun tuan rumah tidak mempunyai sesuatu untuk memuliakannya”.[76])

Imam Ahmad meriwayatkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda seperti itu hingga tiga kali. Para sahabat berkata, "Bagaimana memuliakan tamu, wahai Rasulullah?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tiga hari, jika tamu tetap berada di rumah setelah itu maka itu sedekah (dari tuan rumah)”.[77]

Dalam hadits-hadits di atas dijelaskan bahwa hadiah bagi tamu ialah untuk bekal perjalanan sehari semalam dan jamuan ialah tiga hari. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membedakan antara hadiah untuk tamu dan jamuan, bahkan menegaskan hadiah untuk tamu. Ada hadits-hadits lain yang menegaskan pemberian hadiah untuk bekal perjalanan bagi tamu. Abu Daud meriwayatkan hadits Al-Miqdam bin Ma’di karib dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Malam tamu adalah hak bagi setiap Muslim. Barangsiapa keesokan harinya berada di halamannya, itu merupakan hutang baginya, jika iamau, ia menagihnya. Jika ia mau, ia tidak menagihnya”. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah dengan teks, "Malam tamu adalah hak setiap Muslim”.[78])

Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits Al-Miqdam bin Ma’dikarib dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Siapa saja menjamu salah satu kaum kemudian keesokan harinya mereka tidak diberi apa-apa, maka menolong mereka adalah hak setiap Muslim hingga ia mengambil jamuan semalam dari tanaman dan harta orang tersebut”.[79])

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu yang berkata, kami berkata, "Wahai Rasulullah, engkau mengirim kami kemudian kami singgah di kaum yang tidak menjamu kami, bagaimana pendapatmu?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada kami, Jika kalian singgah di salah satu kaum, perintahkan mereka memberikan untuk kalian apa yang layak diterima tamu dan terimalah. Jika mereka tidak melakukannya, ambillah dari mereka hak tamu yang harus mereka berikan”.[80])

Imam Ahmad dan Al-Hakim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Jika tamu berhenti di satu kaum kemudian keesokan harinya tidak diberi apa-apa, ia berhak mengambil sebanyak jamuannya dan itu tidak apa-apa baginya".[81])

Abdullah bin Amr berkata, "Barangsiapa tidak menjamu tamu, ia tidak termasuk pengikut Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Nabi Ibrahim Alaihis Salam”.

Abdullah bin Al-Harits bin Jaz’i berkata, "Barangsiapa tidak memuliakan tamunya, ia tidak termasuk pengikut Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Nabi Ibrahim Alaihis Salam”.

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata kepada kaum yang ia singgah di tempat mereka kemudian meminta mereka menjamunya, namun mereka tidak menjamunya. Setelah itu, ia menjauh dari mereka, singgah di tempat lain, dan mengundang mereka kepada makanannya, namun mereka tidak memenuhi undangannya, "Kalian tidak menjamu tamu dan tidak memenuhi undangan. Kalian tidak berada di atas Islam sedikit pun”. Abu Hurairah dikenal salah seorang dari kaum tersebut kemudian orang tersebut berkata kepada Abu Hurairah, "Singgahlah, semoga Allah memberi kesehatan kepadamu”. Abu Hurairah berkata, "Ini juga keburukan dan keburukan. Kalian tidak menjamu kecuali orang yang kalian kenal?"

Kisah yang sama diriwayatkan dari Abu Ad-Darda’, hanya saja, Abu Ad-Darda’ berkata kepada orang-orang, "Kalian tidak berada di atas agama kecuali seperti ini”. Abu Ad-Darda’ berkata seperti itu sambil memberi isyarat kepada rumbai-rumbai bajunya.

Nash-nash di atas menunjukkan kewajiban menjamu tamu selama sehari semalam. Itu pendapat Al-Laits dan Imam Ahmad. Imam Ahmad berkata, "Tamu berhak menuntut jamuan jika tuan rumah tidak memberinya, karena jamuan hak wajib baginya”. Apakah tamu tersebut diperbolehkan mengambil harta tuan rumah jika tuan rumah menolak menjamunya atau melaporkannya kepada penguasa setempat? Ada dua riwayat dari Imam Ahmad.

Humaid bin Zanjawih berkata, "Malam tamu adalah wajib dan tamu tidak boleh mengambil jamuan dari tuan rumah dengan paksa, kecuali jika tamu tersebut merupakan musafir untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin dan tidak untuk kemaslahatan pribadi”.

Al-Laits bin Sa’ad berkata, "Jika tamu berhenti di tempat seorang budak, maka budak tersebut menjamunya dengan harta yangada di tangannya dan tamu berhak memakan hidangan kendati ia tidak tahu tuan budak tersebut mengizinkannya, karena jamuan untuk tamu adalah wajib”.

Itu analogi perkataan Imam Ahmad, karena ia mengatakan bahwa sah-sah saja memenuhi undangan budak yang diberi izin untuk berdagang oleh tuannya. Diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka memenuhi undangan makan seorang budak. Itu juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.[82]Jika budak diperbolehkan mengundang manusia kepada makanannya, dan memenuhi undangannya juga diperbolehkan, maka jamuan terhadap tamu yang datang kepadanya sudah barang tentu hal ini diperbolehkan.

Imam Malik, Imam Syafi’i, dan lain-lain melarang memenuhi undangan budak tanpa izin tuannya. Ali bin Sa’ad meriwayatkan dari Imam Ahmad dan riwayat tersebut menunjukkan kewajiban menjamu para tentara selama tiga hari bagi orang-orang yang mereka lewati, namun riwayat yang terkenal dari ImamAhmad ialah yang pertama yaitu kewajiban menjamu setiap tamu yang singgah di salah satu kaum.

Ada perbedaan pendapat tentang pendapat Imam Ahmad, apakah menjamu tamu itu wajib bagi penduduk kota dan desa, atau khusus wajib bagi penduduk desa dan orang-orang di jalan yang dilalui para musafir? Ada dua riwayat dari Imam Ahmad.

Yang diriwayatkan dari Imam Ahmad ialah menjamu tamu itu wajib bagi orang Muslim dan orang kafir. Banyak sekali sahabat-sahabat Imam Ahmad yang mengkhususkan kewajiban tersebut bagi orang Muslim sebagaimana nafkah kerabat yang berbeda agama itu tidak diwajibkan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Sedang dua hari lainnya bagi tamu, yaitu hari kedua dan ketiga, itu puncak menjamu tamu. Yang diriwayatkan dari Imam Ahmad ialah bahwa menjamu tamuhanya diwajibkan pada hari pertama. Imam Ahmad berkata, "Telah dibedakan antara hadiah untuk tamu dengan jamuan untuknya dan hadiah untuknya itu lebih ditekankan”. Di antara sahabat-sahabat kami, di antaranya Abu Bakr Abdul Aziz, Ibnu Abu Musa, dan Al-Amidi, ada yang mewajibkan menjamu tamu selama tiga hari dan sesudahnya adalah sedekah. Sebagian manusia mengira bahwa menjamu tamu tigahari adalah sesudah sehari semalam pertama. Imam Ahmad menentang perkiraan tersebut dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jamuan untuk tamu adalah tiga hari dan selebihnya adalah sedekah”.[83])Kata Imam Ahmad,“Jika jamuan tersebut seperti yang diduga manusia, pastilah menjamu tamu itu selama empat hari”.

Saya katakan, masalah yang sama dengan masalah tersebut ialah firman Allah Ta’ala, "Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa, dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? Yang demikian itulah Tuhan semesta alam”. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, memberkahinya, dan menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa”.(Fushshilat: 910).

Yang dimaksud ayat di atas ialah bahwa Allah menentukan padanya kadar makanan-makanan pada hari keempat.

Hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad telah disebutkan sebelumnya yaitu hadits Abu Syuraih. Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yangbersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menjamu tamunya dengan baik”. Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, bagaimana menjamu tamu itu?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tga hari dan selebihnya adalah sedekah”[84])

Humaid bin Zanjawih berkata, "Pada siang dan malam pertama, tuan rumah harus membebani dirinya mengeluarkan makanan yang lebih enak daripada yang ia dan keluarganya makan. Pada hari ketiga, ia memberinya makan dari makanannya yang ia makan”. Ada catatan mengenai pendapat tersebut dan akan saya sebutkan hadits Salman tentang larangan membebani diri menjamu tamu. Asyhab menukil dari Imam Malik yang berkata, "Hadiah untuk tamu ialah siang dan malam. Pada masa tersebut, tuan rumah memuliakan tamu, memberinya hadiah, dan menjamunya secara khusus, serta tiga hari jamuan makan”. Ibnu Umar melarang makan dari harta tuan rumah setelah tiga hari dan ia memerintahkan tamu memberi uang dari hartanya kepada tuan rumah”. [85]) Setelah tiga hari, tuan rumah juga berhak menyuruh tamu pindah dari rumahnya, karena ia telah menunaikan kewajibannya. Hal tersebut dikerjakan Imam Ahmad.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Tamu tidak halal tinggal di rumah tuan rumah kemudian menyulitkannya, "maksudnya, tamu berada di rumah tuan rumah kemudian membuatnya kesulitan. Namun, apakah hal tersebut terjadi di tiga hari atau hari-hari sesudahnya? Jika itu terjadi pada hari yang tidak diwajibkan, maka jelas tanpa ada keraguan dalam pengharamannya. Jika itu terjadi di hari yang diwajibkan, yaitu hari dan malam pertama, maka di sini ada pertanyaan; apakah menjamu diwajibkan atas orang yangtidak mempunyai apa-apa, ataukah menjamu tamu hanya diwajibkan atas orang yang mempunyai sesuatu untuk menjamu tamunya? Jika dikatakan bahwa menjamu tamu tidak diwajibkan kecuali atas orang yang mempunyai sesuatu untuk menjamu ini pendapat sejumlah ulama hadits, di antaranya Humaid bin Zanjawih maka tamu tidak boleh meminta dijamu oleh orang yang tidak bisa menjamunya. Diriwayatkan dari Salman yangberkata, "RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam melarang kami membebani diri untuk tamu dengan sesuatu yang tidak kami miliki”. [86]) Jika tuan rumah dilarang membebani diri untuk tamu, dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ini menunjukkan bahwa tuan rumah tidak wajib membantu tamunya kecuali dengan sesuatu yang dimilikinya. Jika tuan rumah tidak mempunyai sesuatu apa pun, ia tidak wajib memberi tamunya. Namun, jika tuan rumah mengutamakan tamunya daripada dirinya sendiri seperti yang dilakukan orang-orang Anshar, di mana ayat berikut diturunkan tentang mereka, "Dan mereka mengutamakan (orang-orangMuhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”. (Al-Hasyr: 9). [87]Maka itu hal yang baik dan mulia, tapi tidak wajib.

Jika tamu mengetahui tuan rumah tidak menjamunya kecuali dengan makanannya dan makanan anak-anaknya, serta bahwa anak-anak menderita karenanya, maka tamu tidak boleh meminta dijamu tuan rumah tersebut karena mengamalkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Tamu tidak halal tinggal di rurnah tuan rumah kemudian menyulitkannya”. [88])

Selain itu, menjamu tamu adalah infak yang sifatnya wajib. Jadi, infak tersebut hanya diwajibkan kepada orang-orang yang makanan dirinya dan makanan orang-orangyangditanggungnya lebih, seperti infak kepada sanak kerabat dan zakat fitrah. Al-Khathabi menolak penafsiran kata membuatnya berdosa di hadits di atas dengan penafsiran tamu berada di rumah tuan rumah namun tuan rumah tidak mempunvai sesuatu apa pun untuk menjamunya. Al-Khathabi berkata, "Aku kira pendapat tersebut tidak benar, sebab bagaimana tuan rumah berdosa, padahal ia tidak dapat menjamu tamunya dan tidak mendapatkan jalan untuk menjamunya? Namun ia diperintahkan sesuai dengan kemampuannya. Penafsiran hadits tersebut ialah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyukai tamu berada di rumah tuan rumah setelah tiga hari, agar dada tuan rumah tidak sesak karena keberadaan dirinya di rumah, kemudian ia bersedekah dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti penerimanya. Jika itu terjadi, maka pahalanya batal”. Ada catatan tentang perkataan Al-Khathabi tersebut, karena penafsirannya tentang hadits justru benar dengan penolakannya. Penjelasan hadits tersebut ialah bahwa jika tamu berada di rumah tuan rumah, sedang tuan rumah tidak mempunyai apa-apa untuk menjamunya, maka bisa jadi itu membuat dadanya sesak dan mengantarkannya kepada dosa dalam perkataan dan perbuatannya. Jadi, maksudnya bukan berarti tuan rumah berdosa karena ia tidak menjamu tamu karena ketidak-mampuannya, wallahu a’lam.



[1]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/267, 433, 463, Al-Bukhari hadits nomer 6018, 6136, 6475, Muslim hadits nomer 47, Abu Daud hadits nomer 5154, dan At-Tirmidzi hadits nomer 2500. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 506. 516. Takhrij hadits tersebut secara lengkap, silahkan baca di buku tersebut.
[2]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6019. 6175, 6476. dan Muslim hadits nomer 48. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5278. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[3]Diriwayatkan Imam Ahmad 6/69. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/167. Ia berkata, "Para perawi hadits tersebut adalah para perawi tepercaya."
[4]Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10442. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 8/169-170, "Di sanadnya terdapat perawi Mush'ab bin Siwar yang merupakan perawi yang tidak bisa dipakai."
[5]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/174. Di sanadnya terdapat Ibnu Lahiah yang hapalannya jelek. Al-Haitsami menyebutkan hadits tersebut di Majmauz Zawaid 8/167 dan berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani. Ia menghasankan sanad hadits tersebut.
[6]Diriwayatkan Ath-Thabrani hadits nomer 3873 dan Al-Baihaqi 7/309. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu 1Iibban hadits nomer 5597 dan Al-Hakim 4/289 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[7]Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10843 dan Al-Bazzar hadits nomer 1926. Di sanadnya terdapat Mandal bin Ali dan Abu Shalih Badzam di mana keduanya merupakan perawi dhaif.
[8]Telah ditakhrij sebelumnya.
[9]Ibid.
[10]Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 818. Al-Haitsami menyebutkan hadits tersebut di Majmauz Zawaid 10/300dan menghasankan sanadnya.
[11]Al-Musnad 3/198. Di sanadnya terdapat perawi Ali bin Mas'adah yang merupakan perawi dhaif.
[12]Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath danAsh-Shaghir hadits nomer 964Al-Haitsamiberkata di Majmauz Zawaid l0/302,"Di sanadnya terdapat perawi Daud bin Hilal". Ibnu Abu Hatim juga menyebutkan hadits tersebut tanpa menyebutkan kelemahan di dalamnya. Para perawi lainnya perawi Bukhari."
[13]Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir 20/137.Al-Haitsami menyebutkan hadits tersebut di Majmauz Zawaid 10/300dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani dengan dua sanad dan para perawi salah satu dari kedua sanadnya adalah para perawi tepercaya."
[14]Hadits shahih yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/159, 177.Hadits tersebut juga diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2501Ad-Darimi 2/299,Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 385dan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu hadits nomer 10.
[15]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6477dan Muslim hadits nomer 2988Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5707Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[16]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/355, 533 dan At-Tirmidzi hadits nomer 2314. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5706.
[17]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6478.
[18]Diriwayatkan Imam Ahmad 4/64. Di sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Ishaq yang merupakan perawi mudallis.
[19]Diriwayatkan Imam Ahmad 3/469, At-Tirmidzi hadits nomer 2319, Ibnu Majah hadits nomer 3969, dan An-Nasai di Al-Kabirseperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf 2/103. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan shahih." Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 280,281 dan Al-Hakim 1/45-46.
[20]Telah ditakhrij sebelumnya.
[21]Diriwayatkan Ath-Thabrani hadits nomer 7765, 7787, 7971. Teksnya ialah, "Malaikat di sebelah kanan adalah malaikat tepercaya bagi malaikat di sebelah kiri. Jika seseorang mengerjakan kebaikan, malaikat di sebelah kanan menulis kebaikan tersebut. Jika orang tersebut mengerjakan kesalahan, malaikat di sebelah kanan berkata kepada malaikat di sebelah kiri, 'Tunggulah enam jam lagi'. Jika orang tersebut meminta ampunan, kesalahan tersebut tidak ditulis untuknya. Jikaorang tersebut tidak meminta ampunan, kesalahan tersebut ditulis untuknya."
Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/208. Ia berkata, ”Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani dengan banyak sanad dan para perawi salah satu sanadnya ialah para perawi tepercaya. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/595 dan berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Mardawih dan Al-Baihaqi di Syuabul Iman hadits nomer 7049 dan 7050.
[22]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 1686, Al-Bukhari hadits nomer 416 dari jalur tersebut, dan Al-Baghawi hadits nomer 490. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2269.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 3/24 dan Abu Daud 480. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Khuzaimah hadits nomer 880 dan Ibnu Hibban hadits nomer 2270.
[23]Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 2/364 dengan sanad shahih.
[24]Disebutkan Ibnu Katsir di Tafsirnya7/377. Juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-DurrulMantsur 7/593 dan ia berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
[25]Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 13/575, Abu Nu'aim di Al-Hilyah 6/76, dan Al-Husain Al-Marwazi di tambahan-tambahanAz-Zuhdu karangan Ibnu Al-Mubarak hadits nomer 1013 dari Hassan bin Athiyah.
[26]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/494, 527, Abu Daud hadits nomer 4855, dan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 403. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 1/492. Juga baca Ibnu Hibban hadits nomer 590-592, dan 853.
[27]Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3380.
[28]Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4856 dan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 404.
[29]Diriwayatkan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 409 dan 410. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 592 dari hadits Abu Hurairah.
[30]Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/80. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Amr bin Al-Hushain Al-Uqaili merupakan perawi yang matruk."
Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 1/363 dan berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya dan Al-Baihaqi.
[31]Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2411 dari jalur Ibrahim bin Abdullah bin Hathib dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. At-Tirmidzi berkata, "Hadits di atas hasan gharib dan aku tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ibrahim."
Saya katakan, sejumlah perawi meriwayatkan hadits dari Ibrahim. Ibnu Hibban menyebutkan Ibrahim di Ats-Tsiqaat 6/14 Abdullah bin Dinar adalah perawi tepercaya dan termasuk perawi kutubus sittah.
Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Malik di Al-Muwaththa' 2/986 dari ucapan Isa bin Maryam Alaihis Salam dan teksnya ialah, "Aku diberi tahu bahwa Isa bin Maryam Alaihis Salam berkata, 'Janganlah kalian banyak bicara tanpa dzikir kepada Allah, karena itumengeraskan hati kalian dan sesungguhnya hati yang keras itu jauh dari Allah, namun kalian tidak mengetahuinya. Dan janganlah kalian melihat dosa-dosa manusia dalam posisi kalian seperti majikan, namun lihatlah dosa-dosa kalian dalam posisi kalian seperti budak. Sesungguhnya manusia ada yang sakit dan sehat. Oleh karena itu, sayangilah orang-orang yang sakit dan pujilah Allah atas kesehatan (kalian)'“.
[32]Diriwayatkan Al-Qudha'i di Musnad Asy-Syihabhadits nomer 374 dan Ibnu Hibban di Raudhatul Uqala'hal. 44. Perkataan tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid10/ 302 dan ia berkata bahwa perkataan tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath.
[33]Di Adh-Dhuafa'3/384. Perkataan di atas juga diriwayatkan Al-Qudha'i hadits nomer 372-374 dan Abu Nu'aim di Al-Hilyah3/74. Abu Nu'aim berkata, "Hadits tersebut hadits gharib”. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid10/302 dan ia berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Al-Haitsami berkata, "Di sanadnya terdapat perawi-perawi dhaifyang dianggap sebagai perawi-perawi tepercaya”.
[34]Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtuhadits nomer 44.
[35]Diriwayatkan Imam Malik 2/988, Abdullah bin Ahmad di tambahan Az-Zuhduhal. 112, Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtuhadits nomer 13, dan Abu Nu'aim di Al-Hilyah1/33.
[36]Diriwayatkan Ibnu Hibban di Raudhatul Uqala'hal. 48 dan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 87448747. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid10/303. Ia berkata, "Hadits ini diriwayatkan Ath-Thabrani dengan banyak sanad dan para perawinya adalah para perawi tepercaya”.
[37]Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtuhadits nomer 619.
[38]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 3/129dan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu hadits nomer 623.
[39]Diriwayatkan Imam Ahmad 4/299dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer374Takhrij hadits tersebut secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[40]Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu hadits nomer 651dan Abu Nu'aim d i Al-Hilyah8/110.
[41]Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya diAsh-Shamtu hadits nomer 712.
[42]Ibid., hadits nomer 696.
[43]Ibid., hadits nomer 97 dan 269.
[44]Hadits nomer 2873. Hadits tersebut hadits hasan dan disebutkan di Syarhu Musykilil Atsar hadits nomer 658.
Al-Khathabi berkata di Ma'alimus Sunan, ”Di antara bentuk ibadah orang-orang Jahiliyah ialah diam. Salah seorang dari mereka beri'tikaf dari siang hari hingga malam hari dengan diam tanpa bicara. Kaum Muslimin dilarang seperti itu dan mereka diperintahkan berdzikir dan berkata dengan baik”.
[45]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3834 dan Ad-Darimi 1/71.
[46]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4477, 7520 dan Muslim hadits nomer 86. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4415. Takhrijnya secara lengkap. silahkan baca buku tersebut.
[47]Diriwayatkan Imam Ahmad di Al-Musnad6/8. Sanadnya kuat. Hadits tersebut.juga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 103 dan Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/605. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/168. Ia berkata, "Para perawinya adalah para perawi tepercaya”.
[48]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/288, 336 dan Al-Bukhari hadits nomer 6016.
[49]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 46. Hadits tersebutjuga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 121.
[50]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/440 dan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufradhadits norner 119. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 4/166 dengan disetujui Adz-Dzahabi, padahal di sanadnya terdapat perawi Abu Yahya mantan budak Ja'dah binti Hubairah di mana tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya kecuali Al-A’masy.
[51]Diriwayatkan Al-Hakim 4/166, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 125, dan Al-Bazzar hadits nomer 1903. Di sanadnya terdapat perawi yang hapalannya jelek dan tidak diketahui. Kendati demikian, hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Riwayat Abu Daud setelah itu dan sanadnya menguatkan hadits tersebut.
[52]Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 5153. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukharidi Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 124. Sanad hadits tersebut hasan. 1ladits tersebut dishahihkan [bnu Hibban hadits nomer 520 dan Al-Hakim 4/160 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[53]Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 23/535dan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 10/27darinya tanpa kisah tentang kambing tersebut. Al-Haitsami menyebutkan hadits di atas diMajmauz Zawaid 8/170. Ia berkata, "Para perawinya adalah para perawi tepercaya”. Baca hadits Aisyah di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 120.
[54]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/346. Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 117, dan An-Nasai 8/274. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1033 dan Al-Hakim 1/532 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[55]Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 1896 dan Abu Nu'aim di Al-Hilyah5/207 dari jalur Al-Hasan Al-Bashri dari Jabir, namun Al-Hasan Al-Bashri tidak mendengarnya dari Jabir. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/164. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Al-Bazzar dari syaikhnya, Abdullah bin Muhammad Al-Haritsi, yang merupakan pemalsu hadits”.
[56]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2259, 2595, dan 6020. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Makarimul Akhlaq hadits nomer 335.
[57]DiFathul Bari 10/447.Ada perbedaan pendapat mengenai batasan ketetanggaan. Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Barangsiapa mendengar seruan, ia adalah tetangga”. Ada yang mengatakan, "Barangsiapa shalat Shubuh bersamamu di masjid, maka ia tetanggamu”. Diriwayatkan dari Aisyah yang berkata, "Batas ketetanggaan ialah empat puluh rumah dari segala penjuru”. Pendapat yang sama diriwayatkan dari Al-Auzai.
Al-Bukhari meriwayatkan di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 109hadits yang sama dari Al-Hasan. Menurut Ath-Thabrani dengan sanad dhaif dariKa'ab bin Malik dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Ketahuilah bahwa empat puluh rumah adalah tetangga”. Ibnu Wahb meriwayatkan dari Yunus dari Ibnu Syihab, "Empat puluh rumah dari sebelah kanannya, empat puluh rumah dari kirinya, empat puluh rumah dari belakangnya, dan empat puluh rumah dari depannya”. Ada kemungkinan yang dimaksud ialah pembagian, jadi jumlah rumah ialah sepuluh di setiap penjuru.
[58]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/167, 168,At-Tirmidzi hadits nomer 1944dan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 115. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 519 dan Al-Hakim 2/101 dan 4/164 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[59]Dari Anas bin Malik, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 3/17 dan Ibnu Majah hadits nomer 2697. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6605. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[60]Dari Aisyah, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6014, Muslim hadits nomer 2624, Imam Ahmad 6/52, Abu Daud hadits nomer 5151, At-Tirmidzi hadits nomer 1942, dan Ibnu Majah hadits nomer 3673. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 511.
Dari Ibnu Umar, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6015 dan Muslim hadits nomer 2625.
[61]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/55 dan juga Al-Hakim 4/167 dari jalur Imam Ahmad. Sanadnya dhaif karena terputus.
[62]Hadits shahih diriwayatkan Al-Hakim 4/167, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 112, Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 12741, Abu Ya'la hadits nomer 2699, dan Ibnu Abu Ad-Dunya di Makarimul Akhlaq hadits nomer 346. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakimdengan disetujui Adz-Dzahabi. Al-Mundziri berkata di At-Targhib wat-Tarhib 3/358,"Para perawinya adalah para perawi tepercaya”. Ini seperti dikatakan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/167. Hadits tersebut diriwayatkan Al-Hakim 2/12 dari hadits Aisyah.
[63]Diriwayatkan Ibnu Adi di Al-Kamil2/637.Di sanadnya terdapat perawi Hakim bin Jubair yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut mempunyai penguat yaitu hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 751Di sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Sa'id Al-Atsram yang dianggap sebagai perawi dhaif olehAbu Zur'ah dan haditsnya tidak dipakai Abu Hatim. Abu Hatim berkata, "Haditsnya munkar”.
Hadits tersebut juga mempunyai jalur lain yang diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 119. Di sanadnya terdapat Ali bin Zaid bin Jud'an yang merupakan perawi dhaif namundianggap hasan oleh Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/168.Al-Mundziri juga menghasankan hadits tersebut di At-Targhib wat-Tarhib 3/358.
[64]Diriwayatkan Imam Ahmad 4/151dan Ath-Thabrani di Al-Kabir 1/852dengan sanad hasan. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di 17/836dengan sanad lain. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/170. Ia berkata, ”Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Ath-Thabrani. Perawi salah satu sanad Ath-Thabrani adalah para perawi shahih”.
[65]Diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 111. Di sanadnya terdapat perawi Laits alias Ibnu Abu Sulaim yang merupakan perawi dhaif.
[66]Diriwayatkan Al-Kharaithi di Makarimul Akhlaq hadits nomer 104.
[67]Sanadnyadhaif, karena Al-Hasan tidak mendengar hadits tersebut dari Jabir.
Hadits tersebut diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 1901 dan Ath-Thabrani di Al-Ausath dengan teks, "Jika salah seorang dari kalian memasak di periuk, perbanyaklah kuahnya kemudian hendaklah ia memberikan sebagiannya kepada tetangganya”. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 8/165166, "Di sanadnya terdapat perawi Ubaidillah bin Sa’id penuntun Al-A’masyyang dianggap sebagai perawi tepercaya oleh Ibnu Hibban dan dianggap sebagai perawi dhaif oleh selain Ibnu Hibban, sedang para perawi lainnya adalah para perawi tepercaya”.
[68]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2625, Imam Ahmad 5/149, dan Al-Bukhari di Al-AdabAl-Mufrad hadits nomer 113, 114. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 513 dan 514.
[69]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/160, Abu Daud hadits nomer 5112, At-Tirmidzi hadits nomer 1943, dan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 105. Sanad hadits tersebut shahih. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan gharib”.
[70]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2463, 5627, 5628, Muslim hadits nomer 1609, Imam Ahmad 2/396, Abu Daud hadits nomer 3634, At-Tirmidzi hadits nomer 1353, dan Ibnu Majah hadits nomer 2335. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 515.
[71]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3046, 5174, 5373, 5649, 7173, Imam Ahmad 4/394, 406, dan Abu Daud hadits nomer 3105. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3324.
[72]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/33. Ibnu Abu Syaibah 6/104, dan Al-Bazzar hadits nomer 1311 dari Yazid bin Harun yang berkata, Ashbagh bin Zaid berkata kepadaku, Abu Bisyr berkata kepadaku dari Abu Az-Zahiriyah dari Katsir bin Murah Al-Hadhrami (di Al-Bazzar tertulis, dari Amr bin Dinar. Itu tidak benar) dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa menimbun makanan selama empat puluh malam, sungguh ia terlepas dari tanggungan Allah Ta’ala. Penduduk tempat mana saja jika salah seorang dari mereka kelaparan di keesokan harinya, maka tanggungan Allah Ta’ala terlepas dari mereka”.
Hadits tersebut dibahas pakar hadits, Ahmad Syakir dalam komentarnya terhadap Al-Musnad hadits nomer 4880 dan ia mengshahihkannya. Jadi, baca buku tersebut.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 2/11-12 dari jalur Amr bin Al-Hushain Al-Uqaili yang berkata, Ashbagh bin Zaid Al-Juhaini berkata kepadaku dari Abu Az-Zahiriyah. Di sanadnya tidak tertulis, "Abu Bisyr berkata kepadaku”.
[73]Di Al-Musnad 5/151.Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Al-Ahmas yang tidak dikenal.
[74]Di Makarimul Akhlaq hadits nomer 327. Di sanadnya terdapat perawi Rusydin bin Sa’ad yang merupakan perawi dhaif.
[75]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6019 dan Muslim hadits nomer 48.
[76]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 48.
[77]Diriwayatkan Imam Ahmad 3/76 dengan teks seperti itu dari jalur Ibnu Lahiah dari Daraj dari Abu Al-Haitsam dari Abu Sa’id. Sanad hadits tersebut dhaif, karena Ibnu Lahiah adalah perawi yang hapalannya jelek dan Daraj dhaif di riwayatnya dari Abu Al-Haitsam.
Hadits tersebut dengan redaksi, "Jamuan untuk tamu itu tiga hari," dan seterusnya juga diriwayatkan Imam Ahmad 3/8, 21, 37. 64, 86. Abu Ya’la hadits nomer 1244, 1287, dan Al-Bazzarhadits nomer 1931, 1932. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5281. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/I76. Ia berkata, ”Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dengan panjang dan pendek dengan banyak sanad, Abu Ya’la, dan Al-Bazzar. Perawi salah satu sanad adalah perawi tepercaya”.
[78]Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 3750, Ibnu Majah hadits nomer 3677, dan Imam Ahmad 4/130, 132-133. Sanad hadits tersebut shahih.
[79]Diriwayatkan Imam Ahmad 4/131, 133 dan Abu Daud hadits nomer 3751. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 4/132 dengan disetujui Adz-Dzahabi padahal di sanadnya terdapat perawi Sa’id bin Abu Al-Muhajir yang tidak dikenal.
[80]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2461, 6137 dan Muslim hadits nomer 1727. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5288. Takhrij hadits tcrsebut secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[81]Diriwayatkan Imam Ahmad 2/380. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 4/132 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut seperti diriwayatkan Imam Ahmad dan Al-Hakim. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/157. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan para perawinya adalah para perawi tepercaya”.
[82]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2092 dan Muslim hadits nomer 2041 dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa seorang penjahit mengundang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada makanan yang dimasaknya dan seterusnya.
[83]Telah ditakhrij sebelumnya.
[84]Ini adalah kesalahan pena dari Ibnu Rajab Rahimahullah. Redaksi Al-Bukhari di hadits nomer 6136 dan 6138 ialah, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tamunya”. Redaksi yang disebutkan Ibnu Rajab di atas diriwayatkan Al-Kharaithi di Makarimul Akhlaq seperti terlihat di Al-Jami’ Al-Kabir 2/826.
[85]Ibnu Abu Syaibah 12/478 meriwayatkan dari jalur Jarir dari Al-A’masy dari Nafi’ yang berkata, "Ibnu Umar singgah di salah satu kaum. Ketika tiga hari telah berlalu. ia berkata kepada Nafi’, “Hai Nafi’, berilah infak untuk kami, karena kami tidak butuh diberi sedekah lagi”. Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/311juga meriwayatkan hadits yang semakna dengan hadits tersebut.
[86]Diriwayatkan Imam Ahmad 5/441 dan Ath-Thabrani di Al-Kabirhadits nomer 6083, 6084, 6085, dan 6187. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid8/179, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Ath-Thabrani di Al-Kabirdan Al-Ausath. Perawi di salah satu sanad di Al-Kabiradalah para perawi Bukhari.
[87]Al-Bukhari hadits nomer 4889 meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, aku lapar”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallampergi ke salah seorang istri beliau namun beliau tidak mendapatkan apa-apa padanya. Beliau bersabda, “Adakah orang yang bisa menjamu orang ini pada malam ini, mudah-mudahan Allah merahmatinya?” Salah scorang dari kaum Anshar berdiri kemudian berkata, “Aku wahai Rasulullah”. Orang tersebut pergi kepada keluarganya dan berkata kepada istrinya, “Ada tamu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, oleh karena itu, janganlah engkau menyimpan sesuatu apa pun darinya.”Istri sahabat tersebut berkata, “Demi Allah, aku tidak mempunyai apa-apa kecuali makanan untuk bayi perempuan kita”. Sahabat tersebut berkata, “Jika bayi perempuan tersebut ingin makan malam, tidurkan dia kemudian engkau kemari dan matikan lampu kemudian kita lipat perut kita pada malam ini”. Istri sahabat tersebut pun mengerjakan perintah suaminya. Pagi harinya, sahabat tersebut pergi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian beliau bersabda, “Sungguh Allah kagum atau tertawa karena si Fulan dan si Fulanah”. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”. Hadits tersebut juga diriwayatkan Muslim hadits nomer 2054.
[88]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6135, Muslim hadits nomer 48, Abu Daud hadits nomer 3748, At-Tirmidzi hadits nomer 1968, Ibnu Majah hadits nomer 3675, dan Imam Ahmad 4/31 dari hadits Abu Syuraih Al-Khuzai.

No comments:

Post a Comment