Friday, March 1, 2019

Hadits Arbain 13: Ukhuwah Yang Benar

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamyang bersabda, "Salah seorang dari kalian tidak beriman hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya". (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). [1]

Hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nyamasing-masing dari Qatadah dari Anas bin Malik. Redaksi Muslim ialah,

حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ أَوْ لِأَخِيهِ"

"… hingga ia mencintai untuk tetangganya atau saudaranya …”Ada keragu-raguan antara saudara dengan tetangga.

Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad dan redaksinya ialah,

لَا يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيقَةَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ

"Seorang hamba tidak mencapai hakikat iman hingga ia mencintai kebaikan untuk manusia seperti yang ia cintai untuk dirinya".

Riwayat Imam Ahmad tersebut menjelaskan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa yang dimaksud dengan tidak beriman ialah tidak mencapai hakikat dan puncak iman, karena iman seringkali dianggap tidak ada karena ketiadaan rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Pezina tidak berzina ketika berzina sedang ia dalam keadaan Mukmin, pencuri tidak mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin, dan orang tidak minum minuman keras ketika ia meminum keras sedang ia dalam keadaan Mukmin'.[2])Dan seperti sabda beliau yang lain,"Tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari gangguan-gangguannya".[3])

Para ulama berbeda pendapat tentang pelaku dosa-dosa besar; apakah ia dinamakan Mukmin yang kurang beriman atau tidak dikatakan Mukmin? Ada yang mengatakan, ia Muslim dan bukan Mukmin menurut salah satu dari dua pendapat dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad.

Sedang orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil, iman tidak hilang dari dirinya secara total, namun ia orang Mukmin yang kurang beriman dan imannya berkurang sesuai dengan kadar dosa kecil yang ia kerjakan.

Pendapat bahwa pelaku dosa-dosa besar itu Mukmin yang kurang beriman diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan sekaligus pendapat Ibnu Al-Mubarak, Ishaq, Abu Ubaid, dan lain-lain. Sedang pendapat bahwa pelaku dosa-dosa besar itu Muslim dan bukan Mukmin diriwayatkan dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali. Sebagian ulama menyebutkan bahwa pendapat itulah (bahwa pelaku dosa-dosa besar itu Muslim bukan Mukmin) adalah pendapat pilihan Ahlus-Sunnah.

Ibnu Abbas berkata, "Cahaya iman dicabut dari pezina". [4])

Abu Hurairah berkata, "Iman dicabut dari pezina kemudian iman berada di atasnya seperti naungan. Jika ia bertaubat, iman kembali kepadanya".

Abdullah bin Ruwahah dan Abu Ad-Darda' berkata, "Iman itu seperti baju kemeja. Terkadang seseorang memakainya dan terkadang melepasnya".

Hal yang sama dikatakan Imam Ahmad dan lain-lain. [5]) Maknanya, jika seseorang menyempurnakan sifat iman, ia mengenakannya. Jika ada yang kurang dari imannya, ia melepasnya. Ini semua sinyal bahwa iman yang sempurna ialah iman yang tidak kurang satu pun dari kewajiban-kewajiban.

Maksudnya, di antara sifat iman yang wajib ialah seseorang mencintai untuk saudaranya yang Mukmin apa yang ia cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, imannya berkurang. Diriwayatkan datang hadits bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, "Cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi Muslim”. (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). [6]

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Muadz bin Jabal bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang iman yang paling utama kemudian beliau bersabda, "Iman yang paling utama ialah engkau mencintai dan membenci karena Allah dan menggunakan lidahmu dalam dzikir kepada Allah”. Muadz bin jabal berkata, "Apa lagi, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau cintai untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, membenci untuk mereka apa yang engkau benci untuk dirimu, dan berkata dengan benar, atau diam".[7])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menomerkan masuk surga bagi orang yang memiliki sifat tersebut. Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Yazid bin Asad Al-Qasri yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku, "Apakah engkau ingin masuk surga?" Aku menjawab, "Ya”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Cintailah untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu".[8])

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, hendaklah ia dijemput kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serta datang kepada manusia dengan membawa sesuatu yang ia sukai didatangkan kepadanya".[9]

Dalam Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Dzar RadhiyallahuAnhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku, "Hai Abu Dzar, sungguh aku lihat engkau orang lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku. Engkau jangan memimpin dua orang dan jangan pula memegang harta anak yatim".[10])

RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam melarang Abu Dzar mengerjakan dua hal tersebut, karena beliau melihat Abu Dzar orang lemah dan beliau mencintai hal tersebut pada seluruh orang lemah. Beliau memimpin manusia, karena Allah membuat beliau kuat menjalankannya dan memerintahkan beliau mengajak manusia taat kepada beliau, mengelola agama dan dunia mereka.

Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku, "Aku ridha untukmu apa yang aku ridhai untuk diriku dan membenci untuk dirimu apa yang aku benci untuk diriku. Engkau jangan membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub, ruku’ dan sujud".[11])

Muhammad bin Wasi” menjual keledai miliknya kemudian seseorang berkata kepadanya, "Apakah engkau meridhai keledai ini untukku?" Muhammad bin Wasi” berkata, "Jika aku meridhainya, aku tidak menjualnya”. Ini isyarat Muhammad bin Wasi” bahwa ia tidak meridhai untuk saudaranya kecuali apa yangia ridhai untuk dirinya. Ini termasuk nasihat untuk kaum Muslimin secara umum yang notabene termasuk bagian dari ajaran agama seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Sebelumnya saya sebutkan hadits An-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta, simpati, dan kasih sayang mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu dari organ tubuh ada yang sakit, seluruh tubuh mengeluh panas dan tidak bisa tidur karenanya"(Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim di Shahihnya masing-masing). [12]

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang Mukmin terganggu oleh apa saja yang mengganggu saudaranya yang Mukmin dan sedih oleh apa saja yang membuat saudaranya sedih.

Hadits Anas bin Malik yang kita bahas sekarang menunjukkan bahwa orang Mukmin dibuat gembira oleh sesuatu yang membuat gembira saudaranya yang Mukmin dan menginginkan kebaikan untuk saudaranya yang Mukmin seperti yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Ini semua terjadi karena kesempurnaan hati dari dengki, penipuan, dan iri hati. Dengki membuat pelakunya tidak mau diungguli siapa pun dalam kebaikan atau diimbangi di dalamnya, karena ia senang lebih unggul atas seluruh manusia dengan seluruh kelebihannya dan ia sendiri yang memilikinya tanpa siapa pun dari manusia. Sedang iman menghendaki kebalikannya, yaitu agar ia diikuti seluruh kaum Mukminin dalam kebaikan yang diberikan Allah kepadanya tanpa mengurangi sedikit pun kebaikannya.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang tidak ingin sombong dan membuat kerusakan di bumi. Allah Ta’ala berfirman, "Negeri akhirat Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat-kerusakan di bumi, dan kesudahanitu bagi orang-orang yang bertakwa"(Al-Qashash: 83).

Ibnu Jarir dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Seseorang pasti ingin tali sandalnya lebih baik daripada tali sandal saudaranya, akibatnya, ia masuk dalamfirman Allah, Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkandiri dan berbuat kerusakan di bumi, dan kesudahan itu bagi orang-orang yang bertakwa".[13])

Perkataan yang sama tentang ayat di atas diriwayatkan dari Al-Fudhail bin Iyadh. Ia berkata, "Ia tidak ingin sandalnya lebih baik dari sandal orang lain dan tidak ingin tali sandalnya lebih baik daripada tali sandal orang lain”.

Ada yang mengatakan bahwa pemakaian sandal seperti itu termasuk sombong karena pelakunya bermaksud sombong dan tidak hanya bermaksud berhias. [14])Ikrimah dan para pakar tafsir lainnya berkata tentang ayat di atas, "Yang dimaksud dengan kata al-uluwwu fi ardhi ialah sombong, mencari kehormatan dan kedudukan pada pemiliknya. Al-Fasad yang dimaksud ialah mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan”.[15])

Ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang ingin tidak disaingi orang lain dalam ketampanan itu tidak berdosa. Imam Ahmad dan Al-Hakim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan ketika itu Malik bin Mirarah Ar-Rahawi berada di tempat beliau. Aku dapati Malik bin Mirarah Al-Rahawi berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah diberi ketampanan seperti engkau lihat, oleh karena itu, aku tidak ingin salah seorang manusia mengungguliku dengan tali sandal dan selebihnya, apakah itu termasuk kedzaliman?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak. Itu tidak termasuk kedzaliman, namun kedzaliman ialah orang yang sombong”. Atau beliau bersabda, “Namun kedzaliman ialah orang yang menolak kebenaran dan menghina manusia”.[16])

Abu Daud [17]) meriwayatkan hadits semakna dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di haditsnya disebutkan kata al-kibru(sombong) dan bukannya kata al-baghyu(kedzaliman).

Pada hadits di atas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengatakan ketidaksukaan Malik bin Mirarah Ar-Rahawi untuk disaingi siapa pun dalam ketampanan sebagai bentuk kedzaliman atau kesombongan. Beliau juga menafsirkan kesombongan dan kedzaliman dengan arti merendahkan kebenaran yang tidak lain adalah sombong terhadapnya dan menolak menerima kebenaran karena sombong jika kebenaran tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Dari sinilah, salah seorang dari generasi salaf berkata, "Tawadhu’ ialah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya kendati yang membawanya adalah anak kecil. Jadi, barangsiapa menerima kebenaran dari siapa pun yangmembawanya; anak kecil, atau orang dewasa, orang yang dicintainya, atau orang yang dibencinya, ia orang yangtawadhu’. Dan barangsiapa menolak menerima kebenaran karena sombong terhadapnya, ia orang yang sombong”.

Menghina manusia dan merendahkan mereka itu bisa terjadi dengan cara seseorang melihat pribadinya sebagai orang sempurna dan melihat orang lain sebagai orang tidak sempurna.

Kesimpulannya, orang Mukmin harus mencintai untuk kaum Mukminin apa yang ia cintai untuk dirinya dan tidak menyukai untuk mereka apa yang tidak ia sukai untuk dirinya. Jika ia melihat kekurangan di aspek agama pada saudaranya, ia berusaha memperbaikinya. Salah seorang shalih dari generasi salaf berkata, "Orang-orangyang mencintai Allah melihat dengan cahaya Allah, merasa kasihan kepada orang-orang yang bermaksiat kepada Allah, membenci perbuatan-perbuatan mereka, merasa kasihan kepada mereka dengan cara menasihati mereka untuk melepaskan mereka dari perbuatan mereka, dan menyayangkan badan mereka sendiri jika sampai terkena neraka”. Seorang Mukmin tidak menjadi Mukmin sejati hingga ia ridha untuk manusia apa yang ia ridhai untuk dirinya. Jika ia melihat orang lain mempunyai kelebihan atas dirinya, ia berharap mempunyai kelebihan yang sama. Jika kelebihan tersebut merupakan masalah-masalah keagamaan, itu sangat baik, karena NabiShallallahu Alaihi wa Sallam sendiri mengharapkan dirinya mendapatkan kedudukan syahid. [18])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda, "Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang; orangyang diberi harta oleh Allah kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang dan orang yang diberi Al-Qur’an oleh Allah kemudian ia membacanyadi pertengahan malam dan pertengahan siang".[19])

Tentang orang yang melihat orang lain menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah kemudian ia berkata, "Jika aku mempunyai harta, niscaya aku berbuat seperti yang ia perbuat," Rasulullah Shallallahu Alaihr” wa Sallam bersabda, "Pahala kedua orang tersebut sama”. [20])

Jika kelebihan pada aspek-aspek duniawi, maka tidak baik menginginkan kelebihan seperti itu, karena Allah Ta’ala berfirman,"Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya, berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. “Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Kecelakaan besar bagi kalian, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan pahala tidak diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar". (Al-Qashash: 79-80).

Tentang firman Allah Ta’ala, "Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain”. (An-Nisa’: 32).

Yang dimaksud dengan ayat di atas ialah hasad, yaitu orang menginginkan keluarga atau harta seperti yang diberikan kepada saudaranya, dan berharap semua itu berpindah tangan kepadanya. Ayat di atas juga ditafsirkan dengan keinginan yang dilarang syar’i dan melawan takdir, misalnya wanita ingin menjadi laki-laki, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan agama seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki misalnya jihad, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihanduniawi seperti dimiliki kaum laki-laki seperti warisan, akal, kesaksian, dan lain sebagainya. Ada lagi yang mengatakan bahwa ayat di atas merangkum itu semua.

Kendati demikian, orang Mukmin harus sedih karena tidak mempunyai kelebihan-kelebihanagama. Oleh karena itu, dalam masalah agama, orang Muslim diperintahkan melihat kepada orang yang di atasnya dan berkompetisi di dalamnya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, seperti difirmankan Allah Ta’ala, "Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba". (Al-Muthaffifin: 26).

Orang Muslim tidak boleh benci diikuti orang lain dalam masalah agama. Justru, ia menyukai seluruh manusia terlibat dalam persaingan dalam kelebihan-kelebihanagama dan menganjurkannya. Itulah puncak kesempurnaan pemberian nasihat kepada saudara-saudara seiman. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Jika engkau senang agar manusia seperti dirimu, maka engkau belum menunaikan nasihat untuk Tuhanmu, lebih-lebih lagi jika engkau senang agar manusia itu berada di bawahmu". Perkataan Al-Fudhail bin Iyadh di atas menunjukkan bahwa pemberian nasihat kepada manusia ialah hendaknya orang Mukmin suka kalau manusia berada di atas kedudukannya. Ini kedudukan dan derajat tinggi dalam nasihat, namun tidak diwajibkan. Namun yang diperintahkan dalam syar’i ialah hendaknya orang Mukmin suka kalau manusia seperti dirinya. Kendati demikian, jika ada orang yang mengungguli dirinya dalam kelebihan keagamaan, ia berusaha keras mengejarnya, sedih atas kelalaian dirinya, dan gundah atas ketertinggalannya dari menyusul orang-orang yang lebih dahulu dalam kebaikan. Ia tidak dengki kepada manusia atas apa yang diberikan Allah kepada mereka berupa kelebihan agama tersebut, namun ia bersaing dengan mereka di dalamnya, ingin seperti mereka tanpa menginginkan hilangnya kelebihan tersebut dari mereka, sedih atas kelalaiannya dan ketertinggalannya dari kedudukan orang-orang yang lebih dahulu dalam kebaikan.

Orang Mukmin harus terus-menerus melihat dirinya lalai dari kedudukan tinggi, karena sikap seperti itu menghasilkan dua hal yang berharga;
Pertama,ia berusaha keras mencari keutamaan-keutamaan dan meningkatkannya.
Kedua, ia melihat dirinya sebagai orang yang kurang sempurna. Sikap seperti ini membuatnya menyukai kaum Mukminin menjadi seperti dirinya atau bahkan lebih baik daripada dirinya karena ia tidak ridha mereka seperti dirinya sebagaimana ia tidak ridha dengan keadaan dirinya dan ia berjuang keras memperbaiki dirinya. Muhammad bin Wasi” berkata kepada anaknya, "Adapun ayahmu, mudah-mudahan Allah tidak memperbanyak orang seperti dia di kaum Muslimin”. [21])

Barangsiapa tidak ridha kepada dirinya sendiri, bagaimana ia ridha kaum Muslimin seperti dirinya seperti itu ketika ia menasihati mereka? Tidak, justru ia suka kaum Muslimin menjadi lebih baik daripada dirinya dan ia suka dirinya lebih baik daripada kondisinya ketika itu.

Jika orang tahu Allah memberi kelebihan khusus kepada dirinya dan kelebihan tersebut tidak diberikan Allah kepada orang lain kemudian ia menceritakannya kepada orang lain untuk kemaslahatan agama, ia menceritakannya dalam konteks menyebutkan nikmat, dan melihat dirinya lalai melakukan syukur, itu diperbolehkan, karena Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku tidak tahu ada orang yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an daripada aku”. Namun ini tidak menghalangi Ibnu Mas’ud untuk menyukai manusia ikut serta dalam kelebihan khusus yang diberikan Allah kepadanya.

Ibnu Abbas berkata, "Aku membaca salah satu ayat Al-Qur’an kemudian ingin seluruh manusia mengetahuinya seperti yang aku ketahui”.

Imam Syafi’i berkata, "Aku ingin manusia mempelajari ilmu ini tanpa menisbatkan sedikit pun dari padanya kepadaku”. [22])

Jika Utbah Al-Ghulam ingin berbuka puasa, ia berkata kepada orang yang melihat perbuatannya, "Keluarkan air atau kurma untuk aku pakai berbuka puasa, agar engkau mendapatkan pahala sepertiku”. [23])


[1]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 13, Muslim hadits nomer 45, Imam Ahmad 3/176, 251, 272, 289, At-Tirmidzi hadits nomer 5215, Ibnu Majah hadits nomer 66, dan An-Nasai 8/115. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 234 dan 235. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[2]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/376, Al-Bukhari hadits nomer 2475, dan Muslim hadits nomer 57. Hadits tersebut di-shahih-kan Ibnu Hibban hadits nomer 168.
[3]Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6016, Muslim hadits nomer 46, dan Imam Ahmad 2/288.
Dari Abu Syuraih Al-Ka'bi, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6016 dan Imam Ahmad 4/31.
Dari Anas bin Malik, hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 510.
[4]Diriwayatkan Al-Ajuri di Asy-Syariathal. 115.
[5]Sufyan Ats-Tsauri juga berkata seperti itu seperti terlihat di buku Al-Hilyah 7/32.
[6]Telah ditakhrij sebelumnya.
[7]Diriwayatkan Imam Ahmad 5/247 dan di sanadnya terdapat Zuban bin Faid dan Ibnu Lahi'ah yang keduanya merupakan perawi dhaif.
[8]Diriwayatkan Imam Ahmad di Al-Musnad 4/70. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim4/168 dan menshahihkannya dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/186 dan berkata, "Para perawinya adalah para perawi tepercaya. Hadits tersebut mempunyai penguat yaitu hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/310 dan At-Tirmidzi hadits nomer 2305, namun di sanadnya terdapat perawi tidak dikenal."
[9]Shahih Muslim hadits nomer 1844. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/161, Abu Daud hadits nomer 4248, An-Nasai 7/153, dan Ibnu Majah hadits nomer 3956.
[10]Shahih Muslim hadits nomer 1826. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Daud 2868 dan An-Nasai 6/255.Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5564. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[11]Hadits di atas dengan redaksi seperti itu diriwayatkan Ad-Daruquthni 1/118-119 dari Abu Musa Al-Asy’ari. Di sanadnya terdapat Abu Nu'aim An-Nakha’i yang nama aslinya ialah Abdurrahman bin Hani'. Tentang dirinya, Imam Ahmad berkata, "Ia tidak ada apa-apanya." Yahya menuduhnya sebagai pendusta. Al-Hafidz lbnu Hajar menganggapnya sebagai pendusta di At-Talkhish1/241.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 2836 dari Ali dan sanadnya sangat dhaif, karena di dalamnya terdapat perawi Al-Hasan bin Imarah yang tidak bisa dijadikan hujjah, Abu Ishaq As-Subai'i yang telah bercampur-baur, dan Al-Harits Al-A'war yang dhaif.
Telah mencukupi hadits di atas dengan hadits yang diriwayatkan Malik 1/80, Abdurrazzaq hadits nomer 2833, dan Muslim hadits nomer 480 serta hadits dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1895 dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangku membaca Al-Qur’an dalam keadaan rukudan sujud”. 
Imam Ahmad 1/83, 84, 107, 124, 134, At-Tirmidi hadits nomer 46, Abu Daud hadits nomer 229, An-Nasai 1/144, dan Ibnu Majah hadits nomer 594 meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membacakan Al-Qur’an kepada kami dalam semua keadaan selagi beliau tidak dalam keadaan junub”. At-Tirmidziberkata, "Hadits tersebut hasan shahih." Hadist tersebut dishahihkan Al-Hakim l/104 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[12]Telah ditakhrij sebelumnya.
[13]Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 20/122 dan di sanadnya terdapat perawi Asy'ats As-Saman, dia itu matruk.
[14]Al-Hafidz Ibnu Katsir berpendapat seperti itu di Tafsirnya 6/269.
[15]Baca Tafsir Ath-Thabari 20/122 dan Ad-Durrul Mantsur6/444.
[16]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/385 dari Ismail dari Ibnu Aun dari Amr bin Sa'id dari Humaid bin Abdurrahman yang berkata bahwa Ibnu Mas'ud dan seterusnya. Para perawi hadits di atas adalah para perawi tepercaya, namun ada hal yang tidak jelas tentang mendengar tidaknya Humaid dari Ibnu Mas'ud. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 4/182 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[17]Di As-Sunan hadits nomer 4092 dan sanadnya shahih.
[18]Al-Bukhari hadits nomer 36 redaksi hadits menurut versinya, Muslim hadits nomer 1876, Imam Ahmad 2/424, dan Ibnu Majah hadits nomer 2753 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Kalaulah aku tidak khawatir memberatkan umatku, aku tidak duduk (tidak berangkat) di belakang detasemen, Sungguh, aku ingin dibunuh di jalan Allah kemudian hidup lagi, kemudian aku dibunuh, kemudian hidup lagi, lalu dibunuh"Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4736.
[19]Dari Ibnu Mas'ud, hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad 1/358, Al-Bukhari hadits nomer 73, Muslim hadits nomer 816, dan Ibnu Majah hadits nomer 4208. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 90.
Dari Abu Hurairah, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5026.
Dari Ibnu Umar, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5025, Muslim hadits nomer 815, dan Ibnu Majah hadits nomer 4209. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 125 dan 126.
[20]Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5026 dari Abu Hurairah.
[21]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 2/350.
[22]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 9/119. Baca juga Siyaru A’lamin Nubala'10/55.
[23]Diriwayatkan Abu Nu'aim di Al-Hilyah 6/235.

No comments:

Post a Comment