Banyak
Da’i merasa putus asa ketika berdakwah, mereka menggunakan sekian banyak
argumentasi dan dalil, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sambutan yang besar
dari objek da’wah. Perasaan putus asa itu muncul akibat hilangnya salah satu
unsur penting dalam proses dakwah, yaitu waktu. Hal yang harus kita sadari
adalah bahwa kita berinteraksi dengan realitas individu yang tidak Islami, yang
dibentuk dengan berbagi faktor yang banyak, faktor dominannya adalah pengaruh
materialisme destruktif, yang telah merasuk ke setiap individu. Seorang Da’i
selalu berinteraksi dengan pribadi buruk di bawah kebobrokan pemikiran dan
moral, hal ini biasanya menjadi penghalang bagi da’i untuk berkumunikasi dengan
mad’unya, atau dengan kata lain Da’i berada di satu alam sedangkan mad’u berada
di alam yang lain, di antara keduanya terjadi kesenjangan nilai. Karena itu
terjadinya respon yang cepat yang bukan yang tidak proporsional dan wajar,
bertentangan tabiat segala sesuatu.
Sesungguhnya
kata-kata yang diucapkan oleh sang Da’i tidak akan sia-sia, pasti merasuk ke
dalam pikiran mad’u dan akalnya kelak akan memilih dan menjadi akumulasi
pengalaman yang baik. Sesungguhnya pengaruh kata-kata yang diucapkan beberapa tahun
sebelumnya akan membuahkan sikap yang membuatnya kembali mengenang
pengalamannya, kemudian apa yang diucapkan sang da’i akan didapati oleh da’i
yang lain setelah beberapa tahun berikut. Seringkali terjadi ketika kita
berbicar dengan seseorang lalu Ia berkata : “Ini adalah seseuatu yang pernah
saya dengar dari fulan”
Sesungguhnya
memilih waktu dalam berdakwah adalah masalah tujuan kepentingan, ada waktu di
mana seseorang sedang menyendiri, sehingga tidak siap menerima pemikiran.
Bahwasanya dakwah akan berpengaruh dalam suasan dan kondisi yang kondusif baik pada Da’i maupun Mad’unya, oleh karena
itu hendaknya Da’i memilih waktu yang paling cocok dengan kendala dan hambatan
yang minim. Ibnu Mas’ud RA berkata : “Rasulullah pernah beberapa saat tidak
memberi nasehat, karena khawatir kami merasa bosan”. Da’i tidak boleh terlalu
lama mengajarkan mad’unya, sehingga membuatnya gelisah dan bosan. Memberi
materi dalam waktu yang tidak terlalu lama, akan membuat mad’u marasa rindu
ingin menyempurnakan pelajaran dan bahkan menginginkan tambahan. Sikap
emosional terhadap mad’u akan berdampak buruk, apakah Ia menolak atau menerima,
keduanya berbahaya bila terjadi sebelum waktunya. Mad’u bersikap menerima atau
menolak lebih dominan karena paksaan bukan pilihan.
Ketika
mad’u menyatakan menolak, sesungguhnya Ia tergesa-gesa mengambil sikap, sebelum
menerima gambaran dakwah secara utuh, penolakannya adalah sikapnya terhadap
dakwah, dan tidak mudah untuk merubah sikapnya, karena biasanya seseorang kukuh
dengan pendiriannya. Hal ini disebabkan oleh Da’i yang terburu-buru memetik
buah sebelum tiba masa panennya.
Sebaliknya
mad’u yang terlalu cepat menerima, tidak lama setelah itu akan mendapati
dirinya tidak mampu memikul beban dan kewajiban yang tidak pernah
diperhitungkan sebelumnya, padahal bila saja Ia menunggu sebentar, ia tidak kan
buru-buru mengambil sikap tersebut, sehingga menjadi jelas mana sikap yang
normal mana yang prematur, munculnya sifat dusta dan munafik karena faktor
tergesa-gesa (Isti’jal). Seandainya dibuka terlebih dahulu kesempatan berfikir
dan merenung, pasti Ia akan mengambil
sikap yang mendasar dan orisinil. Jalan yang terbaik adalah janganlah kita
emosional dalm mengeluarkan pernyataan, akan tetapi kita meminta kepada mad’u
agar tidak terlalu cepat mengambil sikap, seraya berterus terang kepadanya
tentang tantangan dan konsekwensi menerima dakwah secara positif dan realistis.
Sesungguhnya
waktu merupakan unsur yang dapat meringankan intensitas da’i dan mengantisipasi
sikap putus asa yang terkadang menimpa mereka, juga membuka pintu cita-cita,
yang demikian itu bila mereka benar-benar memahami peran waktu, sebagaimana
seorang dokter tidak berkata kepada pasiennya bahwa anda akan sembuh seketika,
tetapi Ia akan berkata anda akan sembuh beberapa hari lagi.
No comments:
Post a Comment