Sunday, March 25, 2018

Fitnatut Takfir

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

Salah satu fenomena yang cukup menghebohkan dunia Islam saat ini adalah adanya sekelompok umat yang aktif mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, atau yang tidak berbaiat kepada imam mereka sebagai kafir, murtad dan keluar dari Islam.

Bahkan terkadang dosa-dosa yang dilakukan oleh umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar oleh mereka untuk memposisikan umat Islam di dalam kekafiran.

Lebih jauh lagi, para pemimpin negeri Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan kemungkaran. Jadi dalam pandangan mereka, tidak harus menjalankan kemungkaran, tapi sekedar mendiamkan kemungkaran pun sudah bisa membuat seseorang atau sebuah pemerintahan menjadi kafir.

Maka setiap kali berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan bicaranya itu dengan julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya dirinya saja yang berhak menganut agama Islam, sedangkan orang lain sangat rentan untuk menjadi kafir.

1. Latar Belakang Munculnya Takfir

Untuk bisa menanggapi fenomena tersebut, tidak ada salahnya bila kita coba untuk menelusuri latar belakang dan motivasi yang menyebabkan sebagian saudara kita melakukannya. Sebab dengan mengenal latar belakang dan motivasinya, kita bisa memahami alur berpikir mereka. Dan dengan itu, kita pun bisa melakukan koreksi dan memberikan masukan yang positif atas pendapat itu.

A.   Fenomena tersebarnya kekufuran, kemaksiatan serta kemurtadan di tengah masyarakat Islam memang sudah sedemikian parah. Para penyeru kebatilan menarikan tarian syetan tanpa malu dan tanpa harga diri di depan hidung kita. Mereka dengan luluasa memanfaatkan media informasi untuk menyiarkan dan menyebarkan kebatilan tanpa ada upaya pencegahan yang berarti. Seks bebas, pelacuran, pemerkosaan, pencurian, khamar, narkotika, kolusi di antara penguasa serta pelecehan hukum dan agama telah membuat darah pendukung takfir ini bergejolak untuk bertindak.

B. Tingkat toleransi dari sebagian ulama yang terlalu berlebihan mengakibatkan tidak sabarnya kelompok pentakfir untuk segera mengeluarkan vonis kafir kepada siapa saja yang dipandang keluar dari ajaran Islam.

C.   Umumnya mereka yang suka mengkafirkan orang lain itu adalah generasi muda, punya niat ikhlas, semangat membara, fitalitas yang tingggi, taat beribadah, punya semangat amar ma'ruf nahi mungkar dan punya rasa memiliki atas umat ini yang tinggi. Dan paling utama adalah rasa keprihatinan mereka atas apa yang kita saksikan termasuk kerusakan moral, akhlaq, adab Islam, kemurtadan dan tekanan kekuatan kafir. Semua problem itu demikian menyiksa batin mereka sehingga keluarlah mereka dari kearifannya dan masuk ke wilayah yang out of control.

D. Namun energi yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kemampuan syar'iyah yang mendasar. Kurangnya latar belakang kafaah syar'iyah dan pendalaman bidang hukum Islam telah membuat mereka cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat. Selain itu karena kurang luasnya wawasan mereka, sehingga seringkali mereka hanya menemukan sepotong dalil dan terluput dari dalil lainnya. Akibatnya pemahaman mereka menjadi sepotong-sepotong, tidak lengkap dan tidak komprehensif.

2. Bahaya Menuduh Kafir Kepada Seorang Muslim

Sesungguhnya perkataan tafsiq (menuduh fasiq), tabdi' (menuduh bid’ah) dan takfir (menuduh kafir) adalah kalimat kotor yang tidak akan hilang begitu saja. Bila kata-kata itu dilontarkan kepada manusia, maka akan mempunyai dampak.

"Bila seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh akan kembali ucapan itu kepada salah satu dari keduanya" (HR Bukhari VII/97 dari Abi Hurairah)

"Barangsiapa yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti membunuhnya dan barang siapa yang menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya." (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin Dhihah).

Maka jika seseorang berkata kepada saudaranya: Hai si Fasiq, hai si Kafir, hai musuh Allah, sedangkan orang itu tidak demikian, maka akan kembali ucapan itu kepada yang berkata. Seperti perkataan seseorang: Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah berfirman :

"Barang siapa menyangka kepada-Ku tidak akan mengampuni fulan, sungguh aku telah ampuni dia dan aku hapuskan amalmu." (HR Muslim IV/2023 dari Jundab)

"Bisa jadi seorang hamba berkata dengan satu perkataan yang bisa menjerumuskan dia di neraka lebih jauh antara arah timur dan barat." (HR Bukhari VII/184 dari Abi Hurairah)

Dr. Yusuf al-Qaradawi ketika menjelaskan tentang bahaya dari menuduh atau mengkafirkan seorang muslim, menjelaskan beberapa konsekuensi yang berat. Padahal setiap orang yang berikrar dan mengucapkan syahadat telah dianggap muslim, di mana nyawa dan hartanya terlindung. Dalam hal ini tidak perlu diteliti batinnya. Menuduh seorang muslim sebagai kafir, hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih berbahaya lagi.

Di antaranya ialah: bagi isterinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi isteri orang kafir.

Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan tanggungjawab orangtua. Jika orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab ummat Islam.

Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai pelajaran.

Dia harus dihadapkan kemuka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad.

Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.

Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam neraka.

Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu atau seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya. Maka, sekali lagi amat berat dan berbahaya mengafirkan orang yang bukan (belum jelas) kekafirannya.

3. Yang Berhak Dikafirkan

Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.

Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.

Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.

Al-Imam Ghazali pernah berkata, "Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur." Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, "Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam." Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.

4. Syarat Ke-Islaman: Ikrar Dua Kalimat Syahadat

Syarat utama bagi orang yang baru masuk Islam ialah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu, "Asyhadu allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah." Barangsiapa yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Dan berlaku baginya hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia mengingkari. Karena kita diperintahkan untuk memberlakukan secara lahirnya. Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil dari hal itu adalah ketika Nabi saw. menerima orang-orang yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw. tidak menunggu hingga datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).

Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang mengucapkan, "Laa ilaaha illallaah, " Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, "Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah." Usamah lalu berkata, "Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Apakah kamu mengetahui isi hatinya?"

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah saw, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi saw. bersabda, "Mereka akan melakukan (mengerjakan) sedekah dan jihad."

5. Dosa Besar Tidak Merusak ke-Islaman
Dalam paham aqidah ahlisunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir. Kecuali bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewaiban shalat, zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah shalat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban tersebut.

Jadi bila ada seorang muslim shalatnya jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa shalat itu wajib, Cuma masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari Islam.

Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah Mu`tazilah. Menurut paham ini tuhan berjanji untuk meberi pahala kepada yang berbuat baik dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan mati sebelum bertaubat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.

Dalam aqidah ahlisunnah, bila seorang berbuat dosa maka dicatat amal buruknya itu dan bila dia bertobat maka tergantugn Allah, apakah akan diterima tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia tidak menjadi kafir lantaran melakukan dosa meski sering diulangi.

6. Kafir Yang Bukan Kafir
Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu bentuk kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya adalah firman Allah taala:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا - 4:115

“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ - 9:115

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)

مَّنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا - 17:15

“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)

Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.

Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.” Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)

Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini:

”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa  karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam-pen).

Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran -pen).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).

Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu 'Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna zhulmin (kedzaliman kecil) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)

Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir), muslim mana pun sudah dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang tidak menjalankan hukum Islam.

Sedangkan dalam pemahaman aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan gugurnya status ke-Islaman dan murtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas ra berkata, "Kafir yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada Allah dan hari akhir." Hal yang sama juga dikatakan oleh Thaus.

Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafir bukanlah kafir yang sesungguhnya.

Sedangkan Ibnul-Qayyim menerangkan tentang kandungan ayat itu sebagai berikut, "Kufur itu ada dua macam. Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan kekal. Sedangkan kufur ashfghar akan menjadikan pelakukanya diazab di neraka tapi tidak abadi selamanya.

Refleksi Terhadap Fenomena Takfir

Sejarah Munculnya Fitnah Takfir bila dilihat sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan (dalam) mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam.

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12) Mereka telah berani mengkafirkan Khalifah 'Utsman bin 'Affan dan orang-orang yang bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi 'Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya 'Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani, 12/296-297)

Sebab Munculnya Fitnah Takfir Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Sejauh apa yang aku pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara: - Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama. - (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’iyyah.

Kemudian beliau berkata: “Dari sinilah banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hal. 19)

Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hal. 14)

Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam Masalah Takfir Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir.

Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan-- oleh Jamaah Takfir dari berbagai kelompok-- sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an.

Betapa mengerikan fitnah ini, padahal Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan 
dengan sabdanya:
فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي ,يَا كَافِرُ : الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ إِذَا قَالَ 
قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari shahabat Abdullah bin 'Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)

Syarah pandangan Hasan Al Banna terkait Takfir

"Kita tidak akan mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadah, mengamalkan tuntutannya dan mengerjakan fardhu-fardhunya semata-mata kerana pandangan ataupun maksiat yang dilakukannya kecuali jika dia mengatakan perkataan kufur, atau mengingkari perkara yang telah diakui sebagai asas agama, ataupun mendustakan al-Quran yang jelas, atau mentafsirkannya dengan tafsiran yang tidak dapat diterima oleh gaya bahasa Arab, ataupun beramal dengan amalan yang tidak boleh ditakwil lagi selain dari kufur."

Keterangan:

Di dalam usul ini Al-imam asy-syahid menjelaskan tentang satu masalah yang paling bahaya iaitu isu mengkafirkan orang lain.

Setengah golongan telah melampau dalam masalah ini manakala setengahnya yang lain pula cuai. Kedua-dua golongan ini dipandang hina. Sebenarnya masalah ini telah tersebar dengan meluasnya pada zaman Al-imam asy-syahid kerana berdasarkan beberapa faktor yang remeh-temeh sahaja. Orang-ramai pada masa itu telah memperkatakannya di atas mimbar-mimbar, di dalam majalah-majalah, dalam kelas- kelas pengajian dan juga ceramah-ceramah. Ini menambahkan lagi perpecahan di kalangan umat yang sememangnya telah berpecah.

Setengah yang lain pula memandang remeh perkara ini. Mereka menyaksikan kekufuran dan kemurtadan yang nyata dengan hanya bertepuk tangan terhadap golongan yang melakukan kekufuran tersebut. Seolah-olah tiada apa-apa yang telah berlaku.

Oleh itu Al-imam asy-syahid telah membawa satu pendapat yang sederhana (pertengahan), tidak melampau dan tidak juga cuai. Beliau meletakkan kaedah-kedah syara' dalam masalah ini supaya kefahaman seserang akh muslim terselamat dari sebarang penyelewengan yang membahayakan dan juga kecuaian yang merosakkan.
Sebelum membincangkan usul ini saya mahu menarik perhatian kepada dua perkara yang penting :

Pertama: Sikap Islam terhadap 'takfir'

Islam sangat berhati-hati dalam masalah mengkafirkan peribadi tanpa meyakini tentang kekafirannya. Kerana terlalu cepat untuk menghukum kufur ke atas seseorang adalah perkara yang bahaya ke atas penghukum, masyarakat dan dakwah. Berikut adalah sebahagian nas-nas yang menguatkan perkara tersebut. Sabda Rasulullah saw: Maksudnya:
"Mana-mana lelaki yang berkata kepada saudaranya: 'Wahai si kafir' maka kekafiran itu tetap akan terkena kepada salah seorang dari keduanya. (Fathul Bari: 10/531 no: 6104)

Abu Haamid Al-Ghazaali telah berkata:
"Sayugia bagi seorang muslim untuk cenderung kepada tidak mengkafirkan seseorang selagi mana beliau boleh melakukan yang demikian itu. Kerana menghalalkan darah dan harta orang-orang yang bersembahyang mengadap ke arah kiblat dan yang menyatakan tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah adalah satu kesalahan. Dan kesalahan kita kerana meninggalkan seribu orang kafir hidup adalah lebih ringan dari kesalahan menumpahkan sedikit darah (sekadar sekali berbekam) seorang muslim."
(Al Iqtisaad Fil 'I'tiqaad: 157)

Ibnu Taimiyyah pula berkata:
"Sesiapa yang telah thabit Islamnya dengan yakin, tidak hilang sifat Islam darinya dengan hanya syak sahaja. Bahkan tidak hilang melainkan selepas didirikan hujjah dan dihilangkan syubhat." (Al Fatawa: 12/466)

Kalam Al-imam asy-syahid di dalam usul ini, khusus tentang perkara yang mengeluarkan seorang muslim dari Islam, bukannya tentang perkara yang memasukkan seseorang ke dalam Islam. Perkara ini adalah masyhur dan diketahui iaitu mengucap dua kalimah syahadah.

Barangsiapa yang telah mengucap dua kalimah syahadah makathabit baginya ikatan Islam. Dan selepas itu akan datang akhlak Islam untuk menthabitkan ikrar ini atau sebaliknya.

* Ungkapan Al-imam asy-syahid: "Kita tidak mengkafirkan seseorang muslim yang telah mengucap dua kalimah syahadah, beramal dengan tuntutan-tuntutannya dan menunaikan kewajipan-kewajipan ....". Bukan bermaksud bahawa orang yang tidak melakukan tuntutan-tuntutannya dan tidak menunaikan kewajipan-kewajipannya adalah kafir dan bukan seorang muslim. Sesungguhnya ini termasuk dalam bab (Tidak dihina seorang muslim yang sangat pemurah, banyak sembahyang dan berpuasa......) Maka penghinaan juga tidak harus bagi orang yang sedikit infaq, sembahyang dan puasanya.

Maksud Al-imam asy-syahid ialah mengingkari orang-orang yang terburu-buru mengkafirkan orang lain. Mereka mengkafirkan orang yang mentauhidkan Allah, beriman dengan RasulNya, meredhai Islam sebagai agama dan menunaikan kewajipan- kewajipan yang difardhukan Allah..... Kemudian mereka dihukumkan kafir berdasarkan faktor-faktor yang amat lemah seperti kesilapan pada pandangan ijtihad atau melakukan maksiat tanpa melakukan 'kufur akbar'.

Kami akan menerangkan pula tentang anasir-anasir usul ini:

Tidak mengkafirkan dengan pandangan atau maksiat 

* Al-Quran telah menerangkan bahawa seseorang tidak kafir dengan melakukan maksiat selama mana beliau tidak melakukan syirik akbar. Bahkan sesungguhnya rahmat dan keampunan Allah melingkungi orang yang melakukan maksiat tersebut dengan kehendak Allah Taala. Firman Allah swt :
Maksudnya:
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni (dosa) orang yang menyekutuiNya (dengan sesuatu) tetapi Dia mengampunkan (dosa) yang selain dari itu.
(An Nisaa': 47)
Banyak hadis-hadis yang membawa maksud yang sama.

* Begitu juga tidak kufur seorang muslim itu dengan sebab pandangan yang silap dalam masalah ijtihadiah yang mempunyai banyak pandangan samada dalam masalah aqidah atau fiqh. Sabda Rasulullah saw :
Maksudnya:
"Sesungguhnya Allah mengangkat (tidak mengira sebagai dosa) dari umatku (perkara- perkara yang mereka lakukan dalam keadaan) tersalah dan terlupa."
(Ibnu Maajah: 1/659 no: 2045)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah membuat komentar tentang perkara ini dengan berkata : "Yang demikian itu meliputi tersalah dalam masalah ( ) Seperti dalam menghukum sesuatu hadis, dan juga dalam masalah-masalah amali. Seperti dalam masalah fiqh. Ulamak salaf sentiasa berselisih pendapat pada kebanyakan dari masalah-masalah tersebut. Walau bagaimanapun tidak ada seorang pun dikalangan mereka yang menyaksikan terhadap yang lain sebagai telah melakukan kekufuran, kefasikan dan juga maksiat."
(Al-Fatawa: 3/229)
Bilakah seorang muslim itu menjadi kafir
Al-imam asy-syahid menerangkan beberapa sebab yang kalau sesiapa melakukan salah satu daripadanya maka dia berhak untuk dikafirkan.

1. Berikrar dengan kalimah kufur

Seperti dia berkata : Bahawa dia kufur dengan Allah dan dia tidak mengakui risalah Rasulullah saw. Orang yang seperti itu telah menghukumkan kufur ke atas dirinya, maka dia bukan lagi orang Islam.

2. Mengingkari sesuatu yang ketahui dari agama dengan darurah.

Di sana terdapat perkara-perkara mutawatir Perkara yang diterima benar dari dahulu lagi, dari satu generasi ke satu generasi yang tidak mungkin ianya tidak benar. Yang qat'ie, diketahui oleh orang yang ummi (jahil) dan alim tanpa perbincangan dan ijtihad. Perkara-perkara itu seperti kewajipan sembahyang dan zakat dan pengharaman zina. Maka sesiapa yang mengingkari perkara tersebut, dia telah keluar dari lingkaran Islam.

3. Mendustakan kenyataaan Al-Quran.

Al-Quran ialah asas di dalam perundangan (hukum Islam) bagi setiap muslim. Sesiapa yang mendustakan sesuatu yang telah ditunjukkan oleh Al-Quran secara jelas dan nyata tanpa ada kesamaran. Seperti dia mengingkari bahawa di sana terdapat seorang nabi yang bernama Ibrahim atau Ismail atau Soleh atau Hud atau dia mengingkari bahawa di sana terdapat makhluk yang terdiri daripada jin dan syaitan, maka dia adalah kafir.
Penafsiran yang palsu dalam setiap keadaan.

Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, maka dengan bahasa ini sahaja ianya difahami, bukan dengan yang lain. Sesiapa yang berpaling dari penafsiran Al-Quran dengan menggunakan Al-Quran, Sunnah Rasulullah saw, kata-kata para sahabat dan bahasa Arab seterusnya dia menafsirkannya mengikut hawa nafsunya maka layaklah tempatnya di dalam api neraka. Sesiapa yang menggunakan cara ini sebagai jalan untuk mengingkari perkara yang thabit, menthabitkan perkara yang dinafikan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal maka dia adalah kafir yang mengikut hawa nafsunya dan bukan sebagai hamba kepada Allah.

* Contohya seperti dia menafsirkan kenikmatan syurga dan siksaan neraka sebagai perumpamaan, khayalan, berlaku secara ma'nawi dan roh, bukannya hakikat-hakikat yang thabit.
* Begitu juga seperti menafsirkan "penutup para Nabi" dengan tafsiran yang lain orang yang mengakhiri para Nabi. Penafsiran yang palsu dan batil ini banyak kita dapati terdapat di kalangan orang-orang yang melampau yang terdiri dari pengikut-pengikut mazhab yang dicipta oleh penjajah seperti Qaadianiah, Bahaaiyyah, sekular dan lain- lain lagi.

5. Melakukan satu perkara yang tidak boleh ditakwilkan melainkan dengan kekufuran. Demikian itu ialah seperti orang yang lari kepada golongan kuffar dan membantu
mereka melawan Islam dan umatnya. Maksudnya:
"Barangsiapa yang menjadikan mereka (golongan kuffar) sebagai wali (pemimpin atau teman) maka dia adalah dari golongan mereka. "
(Al Maaidah: 51)

Begitu juga orang yang memperolok-olokkan Allah, ayat-ayatNya, RasulNya dan Islam.
Perlu diingatkan di sini bahawa jamaah telah terdedah kepada dugaan dan bahaya yang hampir-hampir menumbangkannya, kalaulah sekiranya Allah tidak menetapkannya dan mengurniakan kepada jamaah lelaki-lelaki rabbani yang tidak terkesan dengan tribulasi sekalipun besar pada pandangan mereka. Mereka yakin dengan janji Allah swt:
Maksudnya: "Jika kamu bertaqwa kepada Allah, Allah akan menjadikan bagi kamu pembeza (kekuatan hati yang membezakan di antara yang hak dan batil)."
(Al Anfaal: 29)

Keredhaan mereka tidak membawa mereka kepada kebatilan dan kemarahan tidak menyebabkan mereka terkeluar dari kebenaran. Allah telah memelihara mereka di bawah pimpinan Mursyid `Am, Ustaz Hasan Al-Hudhaibi rahimahullah dari fitnah takfir dalam mehnah tahun 1965. Dia telah memelihara jamaah daripada tergelincir di dalam penyelewengan dengan kelebihan tarbiyyah Al-imam asy-syahid dan asas-asas yang ditanamkannya di dalam jamaah.

Ustaz Hasan Al-Hudhaibi telah membuat kajian mendalam dan teliti di dalam kitab ( ). Beliau telah meletakkan padanya batas-batas syara' yang sempurna. Cukuplah apa yang telah kita sebutkan di sini dalam memperkatakan masalah ini.

Referensi
  1. Nahnu Du’at La Qudhat oleh DR. Hassan Al Hudaibi
  2. Al-Aqa’id karya Imam Hasan Al-Banna
  3. Islam Ekstrim oleh DR. Yusuf Qordhawi

No comments:

Post a Comment