Salah satu fenomena yang cukup menghebohkan
dunia Islam saat ini adalah adanya sekelompok umat yang aktif mengkafirkan
kelompok lainnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di luar
kelompoknya, atau yang tidak berbaiat kepada imam mereka sebagai kafir, murtad
dan keluar dari Islam.
Bahkan terkadang dosa-dosa yang dilakukan
oleh umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar oleh mereka untuk memposisikan
umat Islam di dalam kekafiran.
Lebih jauh lagi, para pemimpin negeri Islam
dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan kemungkaran.
Jadi dalam pandangan mereka, tidak harus menjalankan kemungkaran, tapi sekedar
mendiamkan kemungkaran pun sudah bisa membuat seseorang atau sebuah
pemerintahan menjadi kafir.
Maka setiap kali berbeda pendapat dengan
orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan bicaranya itu dengan julukan
kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya dirinya saja yang berhak menganut agama
Islam, sedangkan orang lain sangat rentan untuk menjadi kafir.
1.
Latar Belakang Munculnya Takfir
Untuk bisa menanggapi fenomena tersebut,
tidak ada salahnya bila kita coba untuk menelusuri latar belakang dan motivasi
yang menyebabkan sebagian saudara kita melakukannya. Sebab dengan mengenal
latar belakang dan motivasinya, kita bisa memahami alur berpikir mereka. Dan
dengan itu, kita pun bisa melakukan koreksi dan memberikan masukan yang positif
atas pendapat itu.
A. Fenomena tersebarnya kekufuran, kemaksiatan serta kemurtadan di tengah
masyarakat Islam memang sudah sedemikian parah. Para penyeru kebatilan
menarikan tarian syetan tanpa malu dan tanpa harga diri di depan hidung kita.
Mereka dengan luluasa memanfaatkan media informasi untuk menyiarkan dan
menyebarkan kebatilan tanpa ada upaya pencegahan yang berarti. Seks bebas,
pelacuran, pemerkosaan, pencurian, khamar, narkotika, kolusi di antara penguasa
serta pelecehan hukum dan agama telah membuat darah pendukung takfir ini
bergejolak untuk bertindak.
B. Tingkat toleransi dari sebagian ulama yang terlalu berlebihan mengakibatkan
tidak sabarnya kelompok pentakfir untuk segera mengeluarkan vonis kafir kepada
siapa saja yang dipandang keluar dari ajaran Islam.
C. Umumnya mereka yang suka mengkafirkan orang lain itu adalah generasi muda,
punya niat ikhlas, semangat membara, fitalitas yang tingggi, taat beribadah,
punya semangat amar ma'ruf nahi mungkar dan punya rasa memiliki atas umat ini
yang tinggi. Dan paling utama adalah rasa keprihatinan mereka atas apa yang
kita saksikan termasuk kerusakan moral, akhlaq, adab Islam, kemurtadan dan
tekanan kekuatan kafir. Semua problem itu demikian menyiksa batin mereka
sehingga keluarlah mereka dari kearifannya dan masuk ke wilayah yang out of
control.
D. Namun energi yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kemampuan syar'iyah
yang mendasar. Kurangnya latar belakang kafaah syar'iyah dan pendalaman bidang
hukum Islam telah membuat mereka cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang
mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat. Selain itu karena kurang luasnya
wawasan mereka, sehingga seringkali mereka hanya menemukan sepotong dalil dan
terluput dari dalil lainnya. Akibatnya pemahaman mereka menjadi
sepotong-sepotong, tidak lengkap dan tidak komprehensif.
2.
Bahaya Menuduh Kafir Kepada Seorang Muslim
Sesungguhnya perkataan tafsiq (menuduh fasiq), tabdi' (menuduh bid’ah) dan takfir (menuduh kafir) adalah kalimat
kotor yang tidak akan hilang begitu saja. Bila kata-kata itu dilontarkan kepada
manusia, maka akan mempunyai dampak.
"Bila seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh
akan kembali ucapan itu kepada salah satu dari keduanya" (HR Bukhari
VII/97 dari Abi Hurairah)
"Barangsiapa yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti
membunuhnya dan barang siapa yang menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran,
maka ia seperti membunuhnya." (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin
Dhihah).
Maka jika seseorang berkata kepada
saudaranya: Hai si Fasiq, hai si Kafir, hai musuh Allah, sedangkan orang itu
tidak demikian, maka akan kembali ucapan itu kepada yang berkata. Seperti
perkataan seseorang: Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah berfirman :
"Barang siapa menyangka kepada-Ku tidak akan mengampuni fulan, sungguh
aku telah ampuni dia dan aku hapuskan amalmu." (HR Muslim IV/2023
dari Jundab)
"Bisa jadi seorang hamba berkata dengan satu perkataan yang bisa
menjerumuskan dia di neraka lebih jauh antara arah timur dan barat." (HR Bukhari
VII/184 dari Abi Hurairah)
Dr. Yusuf al-Qaradawi ketika menjelaskan
tentang bahaya dari menuduh atau mengkafirkan seorang muslim, menjelaskan
beberapa konsekuensi yang berat. Padahal setiap orang yang berikrar dan
mengucapkan syahadat telah dianggap muslim, di mana nyawa dan hartanya
terlindung. Dalam hal ini tidak perlu diteliti batinnya. Menuduh seorang muslim
sebagai kafir, hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya
lebih berbahaya lagi.
Di antaranya ialah: bagi isterinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan
mereka harus dipisahkan. Seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi isteri orang
kafir.
Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena
dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan
tanggungjawab orangtua. Jika orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab
ummat Islam.
Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang
harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia
harus dijauhi sebagai pelajaran.
Dia harus dihadapkan kemuka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya, karena
telah murtad.
Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di
pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat
laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam
neraka.
Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan
bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu atau seseorang
sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya. Maka, sekali lagi
amat berat dan berbahaya mengafirkan orang yang bukan (belum jelas)
kekafirannya.
3.
Yang Berhak Dikafirkan
Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan
undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka
itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah
candu bagi masyarakat.
Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang menolak
secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah
dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.
Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah,
Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan
sekitarnya.
Al-Imam Ghazali pernah berkata,
"Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, "Mereka lebih kafir daripada
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada
landasan Islam." Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu
yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan
yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya
adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
4. Syarat Ke-Islaman:
Ikrar Dua Kalimat Syahadat
Syarat utama bagi orang yang baru masuk
Islam ialah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu, "Asyhadu
allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah." Barangsiapa
yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisannya, maka dia menjadi orang
Islam. Dan berlaku baginya hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia
mengingkari. Karena kita diperintahkan untuk memberlakukan secara lahirnya.
Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil dari hal itu adalah ketika
Nabi saw. menerima orang-orang yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan
mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw. tidak menunggu hingga
datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).
Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw,
membunuh orang yang sedang mengucapkan, "Laa ilaaha illallaah, " Nabi
menyalahkannya dengan sabdanya, "Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan
Laa ilaaha illallaah." Usamah lalu berkata, "Dia mengucapkan Laa ilaaha
illallaah karena takut mati." Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
"Apakah kamu mengetahui isi hatinya?"
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan,
ketika kaum Tsaqif masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah
saw, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi
saw. bersabda, "Mereka akan melakukan (mengerjakan) sedekah dan
jihad."
5. Dosa Besar Tidak
Merusak ke-Islaman
Dalam paham aqidah ahlisunnah wal jamaah,
dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan berulang-ulang tidak
membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir.
Kecuali bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewaiban shalat,
zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah shalat atau
tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban tersebut.
Jadi bila ada seorang muslim shalatnya
jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa shalat itu wajib, Cuma
masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari
Islam.
Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar
lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah Mu`tazilah.
Menurut paham ini tuhan berjanji untuk meberi pahala kepada yang berbuat baik
dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak ada ampun lagi
selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan mati sebelum bertaubat, maka dia
akan kekal selamanya di neraka.
Dalam aqidah ahlisunnah, bila seorang
berbuat dosa maka dicatat amal buruknya itu dan bila dia bertobat maka
tergantugn Allah, apakah akan diterima tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia
tidak menjadi kafir lantaran melakukan dosa meski sering diulangi.
6. Kafir Yang Bukan
Kafir
Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu
adalah suatu bentuk kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya
adalah firman Allah taala:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا - 4:115
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti
selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam
kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ - 9:115
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang
harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)
مَّنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا - 17:15
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
(Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan di
dalam meninggalkan thalabul ilmi dan
mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur.
Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan
sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari
kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat
udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan
kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk
mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.
Juga seseorang yang tidak sadar atas apa
yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun
yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia
berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah
berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.”
Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang
mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena
adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan
oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)
Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir menggunakan ayat
Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini:
”Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum
Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar
adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran,
kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya
berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong
kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari
Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari
Islam-pen).
Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum
dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu
adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka
kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan
jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam
memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh
ke dalam salah satu dari jenis kekafiran -pen).” (Madarijus Salikin,
1/336-337).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum
dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai
bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia
berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah
tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang
pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).
Beliau juga berkata tentang tafsir Surat
Al-Maidah ayat 45: “Ibnu 'Abbas berkata: Kufrun
duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun
duna zhulmin (kedzaliman kecil) dan fisqun
duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman) di saat ada
unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa
besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan
halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)
Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir), muslim mana pun sudah
dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum Allah dalam kehidupan
sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang tidak
menjalankan hukum Islam.
Sedangkan dalam pemahaman aqidah Ahli
Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan gugurnya status
ke-Islaman dan murtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas ra
berkata, "Kafir yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar
dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada Allah dan hari akhir." Hal
yang sama juga dikatakan oleh Thaus.
Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafir bukanlah kafir
yang sesungguhnya.
Sedangkan Ibnul-Qayyim menerangkan
tentang kandungan ayat itu sebagai berikut, "Kufur itu ada dua macam.
Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang
mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan kekal. Sedangkan kufur ashfghar akan menjadikan pelakukanya diazab di neraka tapi
tidak abadi selamanya.
Refleksi
Terhadap Fenomena Takfir
Sejarah Munculnya Fitnah Takfir bila dilihat
sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan (dalam) mengkafirkan seorang
muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat
pertama dalam Islam.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang
diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang
dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12) Mereka telah berani
mengkafirkan Khalifah 'Utsman bin 'Affan dan orang-orang yang bersamanya,
mengkafirkan orang-orang yang memerangi 'Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal
dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim
(termasuk di dalamnya 'Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa
saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani, 12/296-297)
Sebab Munculnya Fitnah Takfir Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Sejauh apa yang aku
pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara: - Dangkalnya ilmu dan kurangnya
pemahaman tentang agama. - (Ini yang terpenting), memahami agama tidak
dengan kaidah syar’iyyah.
Kemudian beliau berkata: “Dari sinilah
banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena
mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan
akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Qur'an dan As-Sunnah,
yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan
akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun
di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hal. 19)
Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan
(ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada
tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hal. 14)
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jamaah
dalam Masalah Takfir Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang
sangat berhati-hati dalam masalah takfir.
Fenomena takfir pun ternyata masih
berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan orang-orang
awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang
salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah
kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan
kualitas militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan-- oleh Jamaah Takfir dari
berbagai kelompok-- sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum
muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di
negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an.
Betapa mengerikan fitnah ini, padahal Rasulullah jauh-jauh
hari telah memperingatkan
dengan sabdanya:
فَإِنَّهَا
تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي ,يَا كَافِرُ : الرَّجُلُ
لِصَاحِبِهِ إِذَا قَالَ
قِيْلَ لَهُ
كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh
perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu
memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun bila tidak,
hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari shahabat
Abdullah bin 'Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya
terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)
Syarah pandangan Hasan Al Banna terkait Takfir
"Kita tidak akan mengkafirkan seorang
muslim yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadah, mengamalkan tuntutannya
dan mengerjakan fardhu-fardhunya semata-mata kerana pandangan ataupun maksiat
yang dilakukannya kecuali jika dia mengatakan perkataan kufur, atau mengingkari
perkara yang telah diakui sebagai asas agama, ataupun mendustakan al-Quran yang
jelas, atau mentafsirkannya dengan tafsiran yang tidak dapat diterima oleh gaya
bahasa Arab, ataupun beramal dengan amalan yang tidak boleh ditakwil lagi
selain dari kufur."
Keterangan:
Di dalam usul ini Al-imam asy-syahid
menjelaskan tentang satu masalah yang paling bahaya iaitu isu mengkafirkan
orang lain.
Setengah golongan telah melampau dalam
masalah ini manakala setengahnya yang lain pula cuai. Kedua-dua golongan ini
dipandang hina. Sebenarnya masalah ini telah tersebar dengan meluasnya pada
zaman Al-imam asy-syahid kerana berdasarkan beberapa faktor yang remeh-temeh
sahaja. Orang-ramai pada masa itu telah memperkatakannya di atas mimbar-mimbar,
di dalam majalah-majalah, dalam kelas- kelas pengajian dan juga ceramah-ceramah.
Ini menambahkan lagi perpecahan di kalangan umat yang sememangnya telah
berpecah.
Setengah yang lain pula memandang remeh
perkara ini. Mereka menyaksikan kekufuran dan kemurtadan yang nyata dengan
hanya bertepuk tangan terhadap golongan yang melakukan kekufuran tersebut.
Seolah-olah tiada apa-apa yang telah berlaku.
Oleh itu Al-imam asy-syahid telah membawa
satu pendapat yang sederhana (pertengahan), tidak melampau dan tidak juga cuai.
Beliau meletakkan kaedah-kedah syara' dalam masalah ini supaya kefahaman
seserang akh muslim terselamat dari sebarang penyelewengan yang membahayakan
dan juga kecuaian yang merosakkan.
Sebelum membincangkan usul ini saya mahu
menarik perhatian kepada dua perkara yang penting :
Pertama: Sikap Islam terhadap 'takfir'
Islam sangat berhati-hati dalam masalah
mengkafirkan peribadi tanpa meyakini tentang kekafirannya. Kerana terlalu cepat
untuk menghukum kufur ke atas seseorang adalah perkara yang bahaya ke atas penghukum,
masyarakat dan dakwah. Berikut adalah sebahagian nas-nas yang menguatkan
perkara tersebut. Sabda Rasulullah saw: Maksudnya:
"Mana-mana lelaki yang berkata
kepada saudaranya: 'Wahai si kafir' maka kekafiran itu tetap akan terkena
kepada salah seorang dari keduanya. (Fathul Bari: 10/531 no: 6104)
Abu Haamid Al-Ghazaali telah berkata:
"Sayugia bagi seorang muslim untuk
cenderung kepada tidak mengkafirkan seseorang selagi mana beliau boleh
melakukan yang demikian itu. Kerana menghalalkan darah dan harta orang-orang
yang bersembahyang mengadap ke arah kiblat dan yang menyatakan tiada Tuhan
melainkan Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah adalah satu kesalahan. Dan
kesalahan kita kerana meninggalkan seribu orang kafir hidup adalah lebih ringan
dari kesalahan menumpahkan sedikit darah (sekadar sekali berbekam) seorang
muslim."
(Al Iqtisaad Fil 'I'tiqaad: 157)
Ibnu Taimiyyah pula berkata:
"Sesiapa yang telah thabit Islamnya
dengan yakin, tidak hilang sifat Islam darinya dengan hanya syak sahaja. Bahkan
tidak hilang melainkan selepas didirikan hujjah dan dihilangkan syubhat." (Al Fatawa: 12/466)
Kalam Al-imam asy-syahid di dalam usul
ini, khusus tentang perkara yang mengeluarkan seorang muslim dari Islam,
bukannya tentang perkara yang memasukkan seseorang ke dalam Islam. Perkara ini
adalah masyhur dan diketahui iaitu mengucap dua kalimah syahadah.
Barangsiapa yang telah mengucap dua
kalimah syahadah makathabit baginya ikatan Islam. Dan selepas itu akan datang
akhlak Islam untuk menthabitkan ikrar ini atau sebaliknya.
* Ungkapan Al-imam asy-syahid: "Kita
tidak mengkafirkan seseorang muslim yang telah mengucap dua kalimah syahadah,
beramal dengan tuntutan-tuntutannya dan menunaikan kewajipan-kewajipan
....". Bukan bermaksud bahawa orang yang tidak
melakukan tuntutan-tuntutannya dan tidak menunaikan kewajipan-kewajipannya
adalah kafir dan bukan seorang muslim. Sesungguhnya ini termasuk dalam bab
(Tidak dihina seorang muslim yang sangat pemurah, banyak sembahyang dan
berpuasa......) Maka penghinaan juga tidak harus bagi orang yang sedikit infaq,
sembahyang dan puasanya.
Maksud Al-imam asy-syahid ialah
mengingkari orang-orang yang terburu-buru mengkafirkan orang lain. Mereka
mengkafirkan orang yang mentauhidkan Allah, beriman dengan RasulNya, meredhai Islam
sebagai agama dan menunaikan kewajipan- kewajipan yang difardhukan Allah.....
Kemudian mereka dihukumkan kafir berdasarkan faktor-faktor yang amat lemah
seperti kesilapan pada pandangan ijtihad atau melakukan maksiat tanpa melakukan
'kufur akbar'.
Kami akan menerangkan pula tentang
anasir-anasir usul ini:
Tidak mengkafirkan dengan pandangan atau
maksiat
* Al-Quran telah menerangkan bahawa
seseorang tidak kafir dengan melakukan maksiat selama mana beliau tidak
melakukan syirik akbar. Bahkan sesungguhnya rahmat dan keampunan Allah
melingkungi orang yang melakukan maksiat tersebut dengan kehendak Allah Taala.
Firman Allah swt :
Maksudnya:
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
(dosa) orang yang menyekutuiNya (dengan sesuatu) tetapi Dia mengampunkan (dosa)
yang selain dari itu.
(An Nisaa': 47)
Banyak hadis-hadis yang membawa maksud
yang sama.
* Begitu juga tidak kufur seorang muslim
itu dengan sebab pandangan yang silap dalam masalah ijtihadiah yang mempunyai
banyak pandangan samada dalam masalah aqidah atau fiqh. Sabda Rasulullah saw :
Maksudnya:
"Sesungguhnya Allah mengangkat
(tidak mengira sebagai dosa) dari umatku (perkara- perkara yang mereka lakukan
dalam keadaan) tersalah dan terlupa."
(Ibnu Maajah: 1/659 no: 2045)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah membuat
komentar tentang perkara ini dengan berkata : "Yang demikian itu meliputi
tersalah dalam masalah ( ) Seperti dalam menghukum sesuatu hadis, dan juga
dalam masalah-masalah amali. Seperti dalam masalah fiqh. Ulamak salaf sentiasa
berselisih pendapat pada kebanyakan dari masalah-masalah tersebut. Walau
bagaimanapun tidak ada seorang pun dikalangan mereka yang menyaksikan terhadap
yang lain sebagai telah melakukan kekufuran, kefasikan dan juga maksiat."
(Al-Fatawa: 3/229)
Bilakah seorang muslim itu menjadi kafir
Al-imam asy-syahid menerangkan beberapa
sebab yang kalau sesiapa melakukan salah satu daripadanya maka dia berhak untuk
dikafirkan.
1. Berikrar dengan kalimah kufur
Seperti dia berkata : Bahawa dia kufur
dengan Allah dan dia tidak mengakui risalah Rasulullah saw. Orang yang seperti
itu telah menghukumkan kufur ke atas dirinya, maka dia bukan lagi orang Islam.
2. Mengingkari sesuatu yang ketahui dari
agama dengan darurah.
Di sana terdapat perkara-perkara
mutawatir Perkara yang diterima benar dari dahulu lagi, dari satu generasi ke
satu generasi yang tidak mungkin ianya tidak benar. Yang qat'ie, diketahui oleh
orang yang ummi (jahil) dan alim tanpa perbincangan dan ijtihad.
Perkara-perkara itu seperti kewajipan sembahyang dan zakat dan pengharaman
zina. Maka sesiapa yang mengingkari perkara tersebut, dia telah keluar dari
lingkaran Islam.
3. Mendustakan kenyataaan Al-Quran.
Al-Quran ialah asas di dalam perundangan
(hukum Islam) bagi setiap muslim. Sesiapa yang mendustakan sesuatu yang telah
ditunjukkan oleh Al-Quran secara jelas dan nyata tanpa ada kesamaran. Seperti
dia mengingkari bahawa di sana terdapat seorang nabi yang bernama Ibrahim atau
Ismail atau Soleh atau Hud atau dia mengingkari bahawa di sana terdapat makhluk
yang terdiri daripada jin dan syaitan, maka dia adalah kafir.
Penafsiran yang palsu dalam setiap
keadaan.
Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab,
maka dengan bahasa ini sahaja ianya difahami, bukan dengan yang lain. Sesiapa
yang berpaling dari penafsiran Al-Quran dengan menggunakan Al-Quran, Sunnah
Rasulullah saw, kata-kata para sahabat dan bahasa Arab seterusnya dia
menafsirkannya mengikut hawa nafsunya maka layaklah tempatnya di dalam api
neraka. Sesiapa yang menggunakan cara ini sebagai jalan untuk mengingkari perkara
yang thabit, menthabitkan perkara yang dinafikan, menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal maka dia adalah kafir yang mengikut hawa nafsunya dan
bukan sebagai hamba kepada Allah.
* Contohya seperti dia menafsirkan
kenikmatan syurga dan siksaan neraka sebagai perumpamaan, khayalan, berlaku
secara ma'nawi dan roh, bukannya hakikat-hakikat yang thabit.
* Begitu juga seperti menafsirkan
"penutup para Nabi" dengan tafsiran yang lain orang yang mengakhiri
para Nabi. Penafsiran yang palsu dan batil ini banyak kita dapati terdapat di
kalangan orang-orang yang melampau yang terdiri dari pengikut-pengikut mazhab
yang dicipta oleh penjajah seperti Qaadianiah, Bahaaiyyah, sekular dan lain-
lain lagi.
5. Melakukan satu perkara yang tidak
boleh ditakwilkan melainkan dengan kekufuran. Demikian itu ialah seperti orang
yang lari kepada golongan kuffar dan membantu
mereka melawan Islam dan umatnya.
Maksudnya:
"Barangsiapa yang menjadikan mereka
(golongan kuffar) sebagai wali (pemimpin atau teman) maka dia adalah dari
golongan mereka. "
(Al Maaidah: 51)
Begitu juga orang yang memperolok-olokkan
Allah, ayat-ayatNya, RasulNya dan Islam.
Perlu diingatkan di sini bahawa jamaah
telah terdedah kepada dugaan dan bahaya yang hampir-hampir menumbangkannya,
kalaulah sekiranya Allah tidak menetapkannya dan mengurniakan kepada jamaah
lelaki-lelaki rabbani yang tidak terkesan dengan tribulasi sekalipun besar pada
pandangan mereka. Mereka yakin dengan janji Allah swt:
Maksudnya: "Jika kamu bertaqwa
kepada Allah, Allah akan menjadikan bagi kamu pembeza (kekuatan hati yang
membezakan di antara yang hak dan batil)."
(Al Anfaal: 29)
Keredhaan mereka tidak membawa mereka
kepada kebatilan dan kemarahan tidak menyebabkan mereka terkeluar dari
kebenaran. Allah telah memelihara mereka di bawah pimpinan Mursyid `Am, Ustaz
Hasan Al-Hudhaibi rahimahullah dari fitnah takfir dalam mehnah tahun 1965. Dia
telah memelihara jamaah daripada tergelincir di dalam penyelewengan dengan
kelebihan tarbiyyah Al-imam asy-syahid dan asas-asas yang ditanamkannya di
dalam jamaah.
Ustaz Hasan Al-Hudhaibi telah membuat
kajian mendalam dan teliti di dalam kitab ( ). Beliau telah meletakkan padanya
batas-batas syara' yang sempurna. Cukuplah apa yang telah kita sebutkan di
sini dalam memperkatakan masalah ini.
Referensi
- Nahnu Du’at La Qudhat oleh
DR. Hassan Al Hudaibi
- Al-Aqa’id karya Imam Hasan
Al-Banna
- Islam Ekstrim oleh DR. Yusuf
Qordhawi
No comments:
Post a Comment