Allah yang Maha Agung menghendaki agar dakwah dilakukan dengan
seluruh sarana kemanusiaan. Seorang da’i harus mampu mencari berbagai
celah demi kepentingan dakwahnya. Rasulullah SAW menyambung malamnya dengan
siangnya untuk mencari berbagai celah dengan mengunakan pendekatan yang sesuai
dengan jamannya. Oleh karenanya Rasulullah SAW tidak selalu berkata : “Hal ini
telah diwahyukan kepadaku”, tetapi
terkadang beliau berkata : “aku
punya cara dan ide lain”.
Kita akan banyak dapati dalam sirahnya implementasi
yang luas terhadap prinsip tersebut.
Pada saat perang uhud sebagian sahabat berbeda pendapat dengan Nabi
(dalam hal taktis dan strategi perang), walaupun Nabi berada di tengah-tengah
mereka dan wahyu turun kepada beliau.
Firman
Allah لا
يكلف الله نفساً إلا وسعها , bahwa Allah tidak membebani seseorang di
luar kemampuannya (QS.Al-Baqarah : 286), adalah penjelasan yang menguatkan
prinsip tersebut, pembebanan adalah perkara yang menyulitkan dan pembebanan di
sini tergantung dengan kemampuan. Imam Qurtuby berkata : “Allah menggariskan
bahwa Dia tidak akan membebani hambanya - sejak ayat ini diturunkan - dengan
amalan-amalan hati atau anggota badan, sesuai dengan kemampuan orang tersebut.
Dengan demikian umat Islam terangkat kesulitannya, artinya Allah tidak
membebani apa-apa yang ter lintas dalam
perasaan dan tercetus dalam hati .
PEMAHAMAN KELIRU
Banyak orang
sekarang ini memahami ayat ini, dengan mengatakan bahwa kemampuan yang dimaksud
dalam ayat ini adalah batasan minimal kemampuan seseorang, oleh karena itu
kemampuan dapat berubah-rubah tergantung dengan motivasi. Terkadang seorang muslim mengaku hanya mempunyai waktu kosong satu jam saja, kemudian mengatakan, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Kemudian dengan kesungguhan, dia mampu melakukan hingga dua jam, maka dia mengatakan, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Ternyata kemudian dia mampu bekerja hingga tiga jam, maka dia pun mengatakan, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.". Perubahan standar yang masih dalam satu kondisi dan waktu seperti ini menunjukkan bahwa pengakuan pertama tidaklah benar. Dia belum mengerahkan segala kemampuan ada waktu pertama, kedua dan ketiga.
Sebagian orang hanya melakukan jerih payah sedikit saja, namun sudah berharap hasil yang besar. Perlu diketahui bahwa misi dakwah sangatlah besar dan luas. Kita juga tidak lupa bahwa manusia mempunyai kemampuan dan kesungguhan yang berbeda. Kadar kualitas mereka pun berbeda-beda. Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah seorang dai harus mengerahkan segala kemampuannya sekuat mungkin, dan jerih payahnya harus semakin bertambah seiring dengan bertambahnya hari. Sesungguhnya kemampuan besar seorang dai akan menjadi sia-sia apabila tidak digunakan untu jalan kebenaran dan jalan dakwah. Jumlah personel yang banyak tapi jika bekerja hanya setengah-setengah, justru hanya akan menghambat perjalanan. Persis seperti antrean truk yang memadati jalan, padahal masing-masing hanya memuat sedikit muatan.
Allah menciptakan manusia dan membekalinya dengan banyak potensi. Kita mungkin pernah membaca kisah hidup para dedengkot pelaku kriminal. Mereka mengerahkan segala jerih payahnya untuk menjalankan keahliannya itu. Mereka selalu berusaha siang dan malam, menempuh perjalanan yang sangat jauh, menahan diri dan bersabar atas beban yang ada pada mereka yang membuat orang bergeleng-geleng kepala, dan menantang bahaya yang sangat menakjubkan. Hal yang perlu diketahui di sini, orang yang mampu melakukan keburukan, dia juga mampu melakukan kebaikan. Orang yang mampu menantang bahaya untuk melakukan kebatilan, dia juga mampu melakukan hal tersebut demi berjuang di jalan kebaikan dan kebenaran.
PARA SAHABAT
KOMITMEN DENGAN KAPASITAS KEMAMPUAN
Manakala kita
membaca sirah sahabat – semoga Allah merdhoi mereka, kita dapati kebanyakan
mereka wafat di luar negeri. Abu Ayub Al-Anshari wafat di benteng
konstantinopel, Ummu Haram binti Milhan berakhir hidupny di pulau Qobros
(Yunani), Uqbah bin Amir meninggal di Mesir, Bilal dimakamkan di Syria.
Demikianlah mereka mengembara ke pelosok negeri untuk meninggikan panji Islam,
dan mengerahkan sesuatu yang mahal dan berharga di jalan dakwahnya. Beginilah
semestinya memahami ayat :.
لا
يكلف الله نفساً إلا وسعها.
Pada perang Uhud para sahabat tetap memenuhi seruan Allah
untuk mengejar orang-orang musyrik. Usaid bin Hudhair RA berkata : “سمعاً
وطاعة لله ولرسوله”, Ia langsung menyiapkan senjatanya,
padahal Ia baru saja akan mengobati tujuh buah luka yang bersarang pada tubuhnya. Bahkan dalam peperangan
“Hamra Al asad”, empat puluh orang sahabat masih tetap keluar ikut berperang
meski mereka masih dalam keadaan terluka, diantaranya adalah Thufail bin Nu’man
dengan 13 luka di tubuhnya dan Kharrasy bin As-Simmah dengan 10 luka di
tubuhnya. Semua menunjukan bahwa :
"الإرادة
القوية تبذل من الجهد ما يتحدى المصاعب والآلام. وأن الإرادة الضعيفة عاجزة حتى مع
وجود الوسائل والإمكانيات."
“Kemauan yang kuat akan mengerahkan
seluruh kesungguhan walau menghadapi banyak kesulitan penderitaan, sebaliknya
kemauan yang lemah menjadi tak berdaya
meskipun sarana dan waktu tersedia”
Karena itulah Allah menyebutkan sikap
mereka dalam Al-Qur’an :
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ
مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ
عَظِيمٌ(172)
(Yaitu) orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan
Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala
yang besar. (QS. Ali-Imron : 172)
KEMAMPUAN DAN KEINGINAN
Patut disebutkan bahwa kemampuan dalam berdakwah dan
berjihad adalah dorongan kehendak jiwa,
dan mlaksanakan realisasinya atas izin Allah, bila dorongan itu tidak ada pada
diri seseorang, maka Ia menjadi tak berdaya. Karena itu Nabi mengajarkan kita
untuk berdo’a :
" اللهم
إني أعوذ بك من الهم والحزن وأعوذ بك من العجز والكسل، وأعوذ بك من الجبن والبخل،
وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال"
Juga Rasulullah bersabda :
" للمؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفي كل
خير، احرص على ما ينفعك
واستعن
بالله ولا تعجز"
“Mu’min
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mu’min yang lemah,
segala sesuatunya lebih baik, tamakalah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu
dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau menjadi tak berdaya”
(HR.Muslim)
Sesungguhnya
perasaan tak berdaya dan tidak adanya kemampuan yang selalu diucapkan berulang
kali oleh para da’i – atau barangkalai mereka berkata seperti itu hanya dari
sisi tawadhu saja – hanya akan meredupkan kekuatan Islam dan lambatnya laju
kendaraan dakwah ini. Dan bila seoarang da’i tidak berani membangun dakwahnya
tanpa ada perasaan
takut bahwa hal itu akan menghancurkan dakwahnya, serta tidak tahan menghadap
kritikan, maka Ia tidak akan pernah maju dan tidak akan sampai pada kemampuan
memberikan arahan (taujih) dan perubahan (taghyir)
BATAS-BATAS
KEMAMPUAN KAPASITASNYA
Terkadang
ada orang yang bertanya : “Apakah batasan kemampuan itu?”
Jawabannya
terkandung dalam beberapa fitman Allah berikut :
وَالَّذِينَ
ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا
وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ(74)
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang
benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia.
(QS. Al-Anfal : 74)
الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَائِزُونَ(20)
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di
jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya
di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah
: 20)
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ(15)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujurat : 15)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ
أَلِيمٍ(10)تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ(11)
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?(10)
(yaitu) kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.
Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya (11),
انْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(41َ
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun
merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. At-Taubah : 41)
Maksud dari firman Allah : انفروا خفافاً وثقالاً, sama saja apakah
kalian dalam keadaaan ringan untuk pergi berjihad atau dalam keadaan berat.
Keadaan ini mengandung beberapa pengertian. Pertama : ringan, karena
bersemangat untuk keluar berjihad, berat, karena merasa sulit untuk berangkat. Kedua
: ringan, karena sedikit sedikit keluarga yang ditinggalkan, berat, karena
banyaknya keluarga yang ditinggalkan. Ketiga : ringan, persenjataan yang
dibawa, sebaliknya berat, karena beratnya persenjataan yang dibawa. Keempat
: ringan, karena berkendaraan. Berat, karena berjalan kaki. Kelima :
ringan, karena masih muda. Berat, karena telah uzur usia. Keenam : ringan,
karena bobot badan yang kurus. Berat, karena kelebihan bobot berat badan. Ketujuh
: ringan, karena sehat dan fit. Berat, karena sakit atau kurang enak
badan.
Dari paparan yang telah disebutkan di atas, seuruhnya
tercakup, karena sifat tersebut (ringan atau berat) meliputi berbagai aspek.
Sesungguhnya kebanyakan para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini dengan
penegertian yang mutlak (apa saja yang menjadikan seseorang ringan atau berat).
Mujahid berkata : Sesungguhnya abu Ayub turut menyaksikan peperangan Badar
bersama Rasulullah SAW, dan beliau belum pernah absen dari pepperangan. Ia
berkata : Allah telah berfirman : انفروا
خفافاً وثقالاً, maka itu
artinya aku dapati diriku dalam keadaan ringan atau berat. Dari Shofwan bin
Amr, Ia berkata : Ketika aku menjadi gubernur Homs (Syria), aku menjumpai
seorang Bapak tua warga Syria yang telah turun kedua alisnya, Ia berada di atas
kendaraannya bersiap-siap hendak ikut berperang. Lalu aku berkata kepadnya : يا عم؛ أنت معذور عند
الله “Wahai pamanda, engkau didimaklumi oleh
Allah” (untuk tidak ikut berperang). Seraya mengangkat kedua alisnya, Bapak tua
tersebut berkata : يا ابن أخي، استنفرنا الله خفافاً وثقالاً،
ألا إن من أحبه الله ابتلاه. “Hai nak, Allah telah menyuruh kita keluar
baik dalm keadaan ringan maupun berat, ketahuilah sesungguhnya Allah selalu
menguji orang yang dicintainya.
Diriwayatkan oleh Imam Az-Zuhry : Suatu ketika Said bin Al-Musayyib RA keluar
untuk berperang, sedangkan salah satu matanya tidak dapat melihat. Lalu Ia
berkata : “Allah meminta kita untuk keluar berperang, baik terasa ringan atau
berat, فإن عجزت عن الجهاد كثرتُ السواد، وحفظت المتاع.jika aku tak berdaya untuk
berjihad, maka berarti aku telah
memperbanyak pasukan musuh dan aku hanya menjaga harta bendaku.. Juga ketika
Al-Miqdad bin Al-Aswad ketika dikatakan kepadanya pada saat beliau hendak
berperang : أنت معذور engkau dimaklumi. Lalu
Ia berkata : أنزل
الله علينا في سورة براءة: }انفروا
خفافاً وثقالاً{([1]).
DAKWAH ADALAH MANUVER DI JALAN ALLAH
الدعوة نُفرة في سبيل
الله
Adapun maneuver di jalan Allah, tidak hanya berperang,
tetapi lenih luas dan umum dari itu. Dakwah dengan segala bentuknya adalah
bentuk maneuver di jalan Allah. Oleh karena itu dalam surat At-taubah disebutkan :
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ(122)
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi
semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah : 122)
Imam Ar-Razy berkata : “Kewajiban berdakwah bagi para
sahabat terbagi menjadi dua golongan, satu golongan keluar untuk berperang,
golongan lainnya tetap tinggal bersama Rasulullah SAW. Golongan yang berperang
mewakili golongan yang tidak ikut serta. Yang tidak ikut serta mewakili yang
berperang dalam hal mendalami ilmu pengetahuan (tafaqquh). Dengan cara inilah
urusan agama dapat terselesaikan secara sempurna.
Bila kita analisa ada dua keterkaitan yang erat pada ayat
tersebut, keterkaitan anata maneuver tafaqquh (dirasah) dan manuver indzar
(dakwah). Karena itu seorang Muslim dituntut untuk memaksimalkan ksungguhannya
dan ditanya tentang beban kemampuan
dirinya untuk membela agama Islam dengan
bentuk jihad yang beraneka macam. Diawali dengan da’wah penuh hikmah dan
nasihat yang baik Apabila Islam tidak menuntut sesuatu yang berbahaya dengan
mengedepankan apa yang bias
Seorang mu’min menyadari bahwa setiap kesungguhan yang
dikerahkan di bidang ketaqwaan, adalah kesungguhan yang disesuaikan dengan
kemungkinan-kemungkinan manusiawinya yang lemah dan tidak akan sampai pada
derajat dan tingkatan yang sesuai dengan keagungan Allah SWT. Karena itu para
mufassirin berpendapat bahwa firman Allah :
اتقوا الله حق تقاته “bertaqwalah engkau kepada
Allah dengan sebenar-benarnya
taqwa”
(QS. Ali-Imron :
102), dihapus (mansukh) dengan ayat : فاتقوا الله ما
استطعتم , “bertaqwalah
kepada Allah semampu kalian”. Hal ini didasari oleh keterangan dalam
asbabunnuzul, bahwasanya tatkala ayat pertama tadi turun kaum muslimin merasa
keberatan, karena sebenar-benarnya taqwa berarti tidak boleh bermaksiat sekejap
matapun, harus selalu bersyukur, tidak boleh kufur, harus selalu diingat, tidak
boleh lupa. Tiada seorang hambapun mampu melakukannya.
Bila tidak sependapat bahwa ayat tersebut mansukh, maka
harus dikatakan –wallahu a’lam- ada dua kapasitas ketaqwaan, kapasitas yang
hanya pantas untuk Allah SWT dan kapasitas ketaqwaan yang sesuai dengan
kemampuan seorang hamba. Kapasitas yang sesuai dengan kemampuan seseorang
adalah kapasitas individu yang berbeda dengan individu lainnya, dan berbeda
pada satu kondisi dengan kondisi lainnya. Seyogyanya seorang mu’min harus
senantiasa berada diantara dua kapasitas tersebut, berusaha mengarah kepada
keagungan Allah SWT, karena itu hari esok seorang mu’min harus lebih baik dari
hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Juga hendaknya
seorang Mu’min harus meningkatkan level ketaqwaannya bersamaan dengan
bertambahnya pengetahuan, atau dengan kenikmatan yang diperolehnya atau dengan
bertambahnya usia.
Bila seorang memahami dengan baik hal tersebut di atas,
pasti dirinya akan merasa takut jika belum mengerahkan kemampuan sesuai yang
dituntut kepadanya dan semakin berhati-hati dalam melaksanakannya. Seorang
Mu’min yang paham akan hal ini selalu tidak puas dan rido dengn amalnya, juga
dengan kesungguhna yang telah dikerahkannya, khawatir telah mengabaikan
tuntutan yang diminta dari seorang Mu,min. Itulah keadaan orang-orang yang
beriman, sebagimana yng telah disbutkan sifatnya oleh Allah SWT dalam
firman-NYA :
إِنَّ
الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ(57)وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ
رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ(58)وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا
يُشْرِكُونَ(59)وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا ءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ(60)أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ(61)وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا
كِتَابٌ يَنْطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ(62)
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut
akan (azab) Tuhan mereka, (57) Dan
orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, (58) Dan orang-orang
yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), (59) Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka, (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan
merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (61) Kami tiada membebani
seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab
yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (62) (QS. Al-Mu’minun :
57 – 62).
KEHATI-HATIAN DAN RASA TAKUT
Sifat otang-orang Mu’min telah
disebutkan pada ayat tersebut di atas, diantaranya adalah
الإشفاق والوجل kehati-hatian dan rasa takut, kehati-hatian mencakup
kekahawatiran bersamaan dengan semakin lemah dan tak berdaya. Imam Ar-Razy
berkata : “Di antara mereka ada yang cenderung mengartikan Isyfaq dari
presfektif pengaruhnya, yaitu :
الدوام في الطاعة, ketaatan yang qontinyu, dan ma’na ayat tersebut menjadi :
الذين
هم من خشية ربهم دائمون في طاعته , orang-orang
yang taat secara qontinyu karena takut
kepada Tuhan mereka, dan berobsesi mencapai keridhaannya. Jelasnya bahwa bila
seseorang sampai pada perasaan takut yang membawanya pada sikap kehati-hatian.
Kesempurnaan rasa takut adalah puncak ketakutan akan murka Allah dan adzab
akhirat, sehingga Ia selalu menghindari maksiat. Maka barangsiapa yang memiliki
kesempurnaan rasa takut kepada Allah. Ia akan memenuhi perintah Allah unuk berdakwah,
menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya Sedangkan keadaan mereka yang memberikan apa yang telah mereka berikan
dengan hati yang takut, maksudnya adalah komitmen menyampaikan setiap
kebenaran. Oleh karena itu barangsiapa yang beribadah dan Ia marasa takut dari
sikap lalai dan salah, disebabkan oleh kekurangan atau yang lainnya, maka demi
rasa takut tersebut, Ia akan bersungguh-sungguh menunaikan ibadahnya.
Rasa takut terhadap kekuarangan yang
menyebabkan seseorang mengerahkan kesungguhannya dalam bertaqwa, adalah level
para Shiddiqin (orang yang konsisten). Sesungguhnya Allah telah menjelaskan
bahwa sebab rsa takut itu muncul karena mereka akan kembali kepada Allah SWT.
Beruntunglah orang yang memiliki sifat luhur sperti itu, dan menjadikan jiwa
mereka bersih dari riya dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang) serta
mengarahkan keinginan-keinginan kepada optimalisasi amal.
Setelah arahan tersebut diatas mendorong peningkatan
kapasitas dan kapabilitas seseorang, maka Ia dapat berhujjah : ولا
نكلف نفساً إلا وسعها , dan
tampaklah keterpaduan antara seseorang yang memberikan tanggung jawab sesuai
denagn kemampuan dan Allah yang senantiasa mengtahui hakekat kemampuan yang
diawasi dan dihisabnya. Sampainya seorang da’i ke tingkat rasa takut dan
hati-hati akan sampai pada kebenaran dan ketepatan dalam menentukan batas
kemampuan
No comments:
Post a Comment