DA'I ADALAH MUBALIG ANDAL
Berdakwah tidak jauh berbeda dengan mempromosikan suatu barang. Kita yakin
si pemilik barang akan menggunakan sarana, gaya dan pendekatan yang paling
optimal dan yang paling luas pengaruhnya demi memenuhi kepuasan publik dengan
barangnya. Bahkan jalan yang ditempuh untuk mengefektifkan promosinya digunakan
komentar, gambar dan hadiah serta sarana-sarana lainnya. Dan Allah telah
menjadikan penyampaian yang menyentuh (balagh) sebagai misi para Rasul dan
Nabinya
فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ
إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ(35)
maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang. (QS. An-nahl : 35)
Allah mensifati البلاغ
(penyampaian) dengan المبين (terang)
Juga Allah berfirman :
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ
رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ
وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا(39َ
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut
kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada
Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al-Ahzab : 39)
Dan ketika manusia berpaling dari keimanan disitulah ditegaskan bahwa para
nabi telah sampai kepada tingkat penyampaian yang optimal. Allah berfirman :
فَتَوَلَّى عَنْهُمْ
وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ
وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ(79)
Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku
sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah
memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi
nasehat".(QS. Al-A’raf : 79)
Kalimat بَلَغَ bermakna
وصل أو قارب على الوصول, sampai atau
hampir mengenai sasaran. Berkata Ibnu Faris : بَلَغَ adalah الوصول إلى الشيء, sampai
kepada sesuatu, contoh : بلغت , المكان إذا وصلت اليه, demikianlah
penyampaian yang bagus karena kefasihan lisan, sehingga tepat mengenai sasaran
yang diinginkan. Berkat Al-Azhary : “Orang Arab mengatakan untuk satu
pemberitaan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain, lalu orang itu
tidak merespon dan menindaklanjutinya, maka hal ini sikap tersebut dianggap
jelek dengan istilah سمعُ لا بلْغُ atau سمعاً لا بلغا, mendengar tapi tak sampai, atau mendengarkannya tapi tidak sampai mengenai
sasaran.
Itulah bukti
penggunaan kalimat yang efektif dan menyentuh yang memiliki karakter
الوصول والانتهاء, sampai
dan optimal.
SEORANG DAI HARUS MENCAPAI LEVEL MUBALIG
Tidak mengapa bagi seorang da'i bila terus menerus dalam
penyampaian efektif dan menyentuh, seseungguhnya Allah telah memperingatkan
Nabinya untuk senantiasa melakukan hal itu, sebagaimana firman-NYA :
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ
بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ
رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ(67)
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah :
67)
Berkata Imam Qurtuby : “Hal itu adalah pengajaran untuk Nabi dalam
mengemban ilmu pengetahuan untuk umatnya, agar tidak menyembunyikan sedikitpun
dari syariat Allah SWT”. Karena bukanlah yang dimaksud dengan penyampaian/ البلاغ
itu dengan pemberitahuan dan pemberitaan, tetapi maksudnya adalah sampai
risalah-NYA kepada manusia.
SEORANG DAI HARUS MENYAMPAIKAN RISALAH DENGAN BAIK
Di antara tuntutan penyampaian adalah
kesadaran da’i tentang apa yang disampaikannya, karena tidak ada penyampaian
tanpa dibarengi kesadaran, sebagaiman sabda Nabi SAW :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً
سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ
إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ
إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ
جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
"([1]).
“Allah telah memberi kenikmatan wajah yang berseri-seri kepada sesorang
yang mendengar sabdaku lalu Ia menyadarinya, menghafalnya dan
menyampaikannya. Bisa jadi orang menerima ilmu itu lebih memahami dari pada yang
menyampaikannya. Ada tiga hal yang
tidak merusak hati seorang muslim: Pertama : Ikhlas beramal karena
Allah, menasehati pemimpi-pemimpin kaum Muslimin, dan komitmen dengan jamaah
mereka, karena dakwah senantiasa membentang di belakang mereka.
Berkata Al-Khitaby dalam syarah hadits ini : “نَضَّر الله, artinya Allah mendoakannya dengan
“nadharah”, yaitu kenikmatan dan wajah yang berseri-seri, “nadharah” ini
merupakan pengaruh dari penyampaian seorang da’i, maka para penyampai dakwah
adalah : أصحاب الوجوه الناضرة في الدنيا والآخرة,
pemilik wajah nan cerah di dunia dan di akhirat.
Al-Khitaby mengambil faidah pelajaran dari hadits ini karena khawatir bagi
orang yang kurang mendalaminya akan menyedehanakan hadits ini, karena itu ma’na
menyadari dalm hadits tersebut adalah menghafal teksnya dan melaksanaknnya
seperti apa yang disabdakan. Hendaknya seseorang yang mendalaminy harus
menguasai makna-makna hadots yang dapat diambil faidah pelajarannya. Isyarat
pada hadits tersebut menyangkut periwayatannya dan matan atau isinya berupa
mengetahuan dan penjelasannya.
UNSUR BALAGAH HARUS DIPERHATIKAN OLEH SEORANG MUBALIG
Penyampaian
menuntut perkataan yang berbekas / البلاغة
Keindahan untaian kata dijelasakan oleh
Allah SWT dalm firmann-NYA :
أُولَئِكَ
الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ
وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا(63)وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا(63)
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran,
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS.
Ann-Nisa : 63)
Hendaknya seorang da’i menyampaikan kata-katanya dengn lafadz yang baik
dengan makna yang indah, mencakup الترغيب والترهيب والتحذير والإنذار والثواب والعقاب, kata-kata yang menyenangkan, menakutkan, memperingatkan,
mengingatkan, motivasi pahala dan ancaman siksa. Karena kata-kata bila
disampaikan dengan “balaghah”, akan besar pengaruhnya menghunjam ke dalam hati,
tapi bila kata-katanya terlalu ringkas, tekanannya lemah dan maknanya kering,
tidak akan berpengaruh pada hati sama sekali.
Di dalam kitab Al-Lisan dijelaskan bahwa yang disebut رجل بليغ :
adalah orang yang memiliki keindahan kata dan kefasihannya, apa yang
disampaikannya itulah yang ada dalam hatinya. Karena itu “balaghah” bukan
berarti menyampaikan kata-kata yang sulit dimengerti, pendekatan bahasa yang
rumit dan jelimet, karena itu seorang da’i dalam menyampaikan dakwahnya harus
mengetahui bahasa arab dan gaya bahasanya agar dapat memberikan penyampaian
yang berbekas. Semua itu menuntut kemauan untuk mengkaji dan menelaah bahsa
arab, meliputi ilmu, bacaan, penulisan maupun percakapannya, serta melihat
sastranya . baik puisi dan syairnya, dalam struktur ayat Al-Qur’an ada yang
maknanya hanya satu pengertian ada juga yang dapat diartikan dengan beberapa
makna. Oleh karena itu para da'i sekarang ini sangat perlu menguasai bahasa
arab, dan tidak ada alasan untuk mengurangi perhatiannya terhadap hal ini.
AL-QUR'AN MENEKANKAN KEFASIHAN DAN KELANCARAN BERBICARA
Sebagaimana yang telah difirmankan Allah kepada
nabi Musa AS. :
وَاحْلُلْ
عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي(27)يَفْقَهُوا قَوْلِي(28)
dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya
mereka mengerti perkataanku, (QS. Thaha : 27-28)
Nabi Musa AS telah menyadari bahwa kelancaran berbicara dan kefasihannya
menjadi salah satu sebab membekasnya penyampaian dan kokohnya argumentasi.
Berkata imam Ar-Razy : “Ulama berbeda pendapat dalam hal Nabi Musa meminta agar
dilepaskan kekakuan lidahnya dalam beberapa versi”. Versi pertama : Agar tidak
mengalami kesalahan fatal dalam menyampaikan risalah, versi kedua : untuk
menghindari agar orang tidak lari, karena kekakuan dalam berbicara akan
menyebabkan audien meremehkan pembicara dan tidak fokus memperhatikan
pembicaraannya. Versi ketiga : meminta kemudahan dalam berbicara, karena
menghadapi Firaun yang arogan dan sombong bisa jadi sangat menyulitkan
pembicaraan, sebab kalau bicara sudah kesulitan sejak awal biasnya akan terus
berlanjut hingga ajhirnya, karena itulah Musa As memohon kepada Allah diberikan
kemudahn dan keringanan dalam berbicara.
Faedah pelajaran yang dapat dipetik dari kaidah tersebut adalah bahwasanya
da’i harus membiasakan dirinya berbicara tepat dan benar, kalau ternyata
dirinya kaku dan kelu dalam berbicar bisa meminta bantuan kepada yang lebih
fasih dan membantu kelancaran misi dakwahnya. Hal ini agar dakwahnya sampai
kepada kualitas yang lebih berbekas dan jelas. Inilah pula yang diminta lagi
oleh Nabi Musa kepada allah SWT :
هَارُونَ
أَخِي(30)اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي(31)وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي(32)
(yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia
kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, (QS. Thaha : 30-32)
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا
يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ(34)
Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya
daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan
(perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku". (QS.
Al-Qashash : 34)
Kata-kata رِدْءًا adalah
sebutan untuk apa saja yang dpat dimintakan bantuannya. Sedangkan Imam Ar-Razy
dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian يُصدقني bukan
berarti bila Nabi Harun cukup mengatakan
kepada nabi Musa : صدقت, engkau benar!, atau orang akan mengatakan : “صدق موسى “
, benar apa yang dikatakan Musa. Akan tetapi yang dimaksud adalah Nabi Harun
membantu dengan lisannya yang fasih mengemukakan beberapa argumentasi, menjawab
hal-hal rumit dan sulit dimengerti, serta untuk mengcounter apa yang
dikemukakan oleh orang-orang kafir. Inilah yang dimaksud dengan ُصدقني yaitu
التصديق المفيد pembenaran
yang membawa faedah, bukan hanya mengatakan engkau benar, kalau hanya itu
kefasihan nabi harun tidak terlalu dibutuhkan.
PENTINGNYA TEMAN DALAM KESUKSESAN DAKWAH
Di antara yang dapat
membantu seorang da’i dalam menjelaskan dan menyampaikan dakwahnya, maka perlu
didampingi oleh ikhwah lainnya, karena karena pendampingan mereka akan
menguatkan dirinya dan memberikan rasa tenang di sisi yang lain. Akan tetapi
hal ini diperlukan hanya untuk menghadapi objek dakwah yang besar, karena bila
objek dakwah melihat bahwa sang da’i tidak sendiri tetapi disertai dengan para
pendamping dan penolongnya, maka mereka akan memperhitungkan bahwa dakwah ini
begitu besar pengaruhnya di masyarakat, dan menunjukan begitu kuatnya fikroh
yang terdapat dalam dakwah ini.
Allah SWT berfirman :
قَالَ
سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ
Allah berfirman: "Kami akan
membantumu dengan saudaramu (QS. Al-Qashash : 35)
Allah juga
berfirman melalui lisan Nabi Musa :
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا
مِنْ أَهْلِي(29)هَارُونَ أَخِي(30)اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي(31)وَأَشْرِكْهُ فِي
أَمْرِي(32)
dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun,
saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam
urusanku, (QS. Thaha : 29-32)
Mengenai ayat ini Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “Ketahuilah bahwa
meminta pendamping dengan alasan apakah karena seseorang khawatir dengan
kelemahan dirinya untuk melaksanakan tugas dakwah atau semata-mata memenadang
bahwa saling tolong menolong dalam hal agama dan upaya memperjuangkannya,
dibarengi dengan cinta yang ikhlas dan menghilangkan prasangka, adalah
keistimewaan yang mulia dalam urusan da’wah kepada Allah. Karena itulah Nabi
Isa berkata :
مَنْ أَنْصَارِي إِلَى
اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ
"Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan
agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah
penolong-penolong agama Allah", (QS. As-Shaf : 14)
Dan Allah juga berfirman kepada Nabi Muhammad :
حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنني
“Cukuplah Allah bagimu (Muhammad) dan orang-orang yang
mengikutimu”. (QS.
AGAR SAMPAI KE LEVEL MUBALIG DIBUTUHKAN SARANA PENDUKUNG
1. Rasulullah juga menggunakan sarana seperti ini
Nabi sendiri membutuhkan bantuan sarana presentasi,
sebagaimana sabdanya
أخرج البخاري عن ابن عمر ـ رضي الله عنهما ـ قال : "
كنا عند النبي r فأتى بجُمَار([2]) فقال : إن في الشجر
شجرة مَثَلُها كمثل المسلم، فأردت أن أقول: هي النخلة فإذا أنا أصغر القوم ،
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar RA, Ia
berkata : “Kami pernah bersama Nabi,
lalu beliau datang dengan membawa Jammar (yang terdapat di atas pucuk batang
kurma, rasanya manis dan baik untuk dikonsumsi), Lalu Rasul bersabda :
Sesungguhnya di dalam pohon terdapat pohon serupa seperti seorang muslim”,
kemudian aku berkata : “Apakah itu pohon kurma?, kalau begitu aku adalah orang
yang paling muda usia, Nabi terdiam, kemudian beliau bersabda : “Ya, itu adalah
pohon kurma”. Demikianlah Nabi bertanya tentang pohon yang menyerupai seorang muslim
dan seorang muslim yang men yerupainya, ketika bertanya, beliau sambil makan jammar. Berkata Ibnu
Hajar : “Tatkala Nabi mengemukakan satu pertanyaan sambil memperlihatkan
jammar, barulah Ibnu Umar paham bahwa yang ditanyakan itu adalah tentang pohon
kurma”.
Al-Qur’an menceritakan kepada kita bagaimana Ibrahim AS
menggunakan sarana Bantu presentasi ketika hendak mendakwahi kaumnya untuk
beribadah kepada Allah dan mengalihkan mereka dari menyembah bintang dan bulan.
Allah berfirman :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ
هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ(76)فَلَمَّا رَأَى
الْقَمَرَ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي بَازِغًا قَالَ هَذَا
رَبِّي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ(77)فَلَمَّا رَأَى
الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ
يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ(78)إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا
أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ(79)
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah
bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang
itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam Kemudian tatkala dia melihat bulan
terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu
terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka
tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
(QS. Al-An’am : 76 – 79)
Itulah gaya berdialag dengan objek dakwah secara
bertahap, sehingga dapat meruntuhkan keyakinan dan ideologinya dan mengokohkan
argumentasi terhadapnya. Berlindung kepada Allah bahwa semua itu tidak menggambarkan keyakinan
Nabi Ibrahim. B erkata Ar-Razy dalam tafsirnya : “Peristiwa tersebut terjadi
karena pengamatan Nabi ibrahim terhadap kaumnya”, hal ini dibuktikan dalam
firman Allah :
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا ءَاتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى
قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ(83)
Dan itulah hujjah Kami yang Kami
berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al-An’am : 83)
Oleh karena itu Allah mengatakan على قومه bukan
على نفسه, Allah maha Tahu bahwa diskursus yang
berlangsung denga kaumnya tersebut, hanya bertujuan untuk mengarahan dan
menunjukan mereka kepada Iman dan Tauhid. Adapun ketika dalam dialog tersebut
Nabi Ibrahim mengatakan هذا ربي, maksudnya menjelaskan kebiasaan pengakuan dan keyakinan
kaumnya, bukan keyakinan dirinya, sama halnya seperti Nabi Musa AS, ketika
berkata kepada Samiri :
وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا
لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا(97)
dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu
tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh
akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan) (QS. Thaha :
97)
Sesungguhnya Nabi Musa tidak
sedikitpun menjustifikasi keyakinan mereka, tapi menceritakan pengakuan dan
keyakinannya, juga ketika Allah berfirman :
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ
الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ(62)
Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata:
"Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?" (QS.
Al-Qashash : 62)
Sekutu-sekutu yang dimaksud pada ayat tersebut adalah sebatas pengakuan
orang-orang musyrik dan keyakinan mereka, bukan berarti Allah menyatakan adanya
sekutu-sekutu baginya. Deikian pula nabi Ibrahim menghancurkan akidah mereka
dalam gambaran ibadah yang berubah-rubah, setelah itu ditetapkan dan dikukuhkan
pada Ibadah kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kekal, yang tidak terdapat
pada-NYA kekurangan dan perubahan.
Contoh lain terdapat dalam firman Allah :
وَ مِنْ
شِنِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ(83)إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ(84)إِذْ قَالَ
لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ(85)أَئِفْكًا ءَالِهَةً دُونَ اللَّهِ
تُرِيدُونَ(86)فَمَا ظَنُّكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ(87)فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي
النُّجُومِ(88)فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ(89) فَتَوَلَّوْا عَنْهُ
مُدْبِرِينَ(90)فَرَاغَ إِلَى ءَالِهَتِهِمْ فَقَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ(91 مَا لَكُمْ لَا تَنْطِقُونَ(92) فَرَاغَ
عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِين93
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah)
ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu? Apakah
kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah
dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta
alam?" Lalu ia memandang sekali
pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya aku
sakit".Lalu mereka berpaling daripadanya dengan membelakang. Kemudian ia
pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata:
"Apakah kamu tidak makan”? Kenapa kamu tidak menjawab?" Lalu
dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya
(dengan kuat). (QS. Asshaffat : 83 – 91)
Kita juga dapat menyimpilkam bahwasanya Nabi Ibrahim AS telah menggunakan
cara, sehubungan dengan cara mereka yang selalu merawat inap orang yang sakit
di samping berhala dengan harapan mendapat kesembuhan. Lihatlah bagaimana
Ibrahim kemudian menghancurkan patung-patung yang kecil sementara membiarkan
sebuah patung besar. Hali bertujuan agar mereka kembali kepada patung besarnya.
Nabi Ibrahim ingin membuat kesan bahwa yang melakukan penghancuran
berhala-berhala lainnya adalah patung yang paling besar, untuk menguatkan hal
itu sengaja Ibrahim AS mengalungkan kapak di kepalanya, kisah ini tergambar
jelas dalam firman Allah :
قَالَ بَل رَبُّكُمْ رَبُّ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ
الشَّاهِدِينَ(56)وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا
مُدْبِرِينَ(57)فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ
إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ(58)قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ
الظَّالِمِينَ(59)قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ
إِبْرَاهِيمُ(60)قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَشْهَدُونَ(61)قَالُوا ءَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا
يَاإِبْرَاهِيمُ(62)قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ
كَانُوا يَنْطِقُونَ(63)فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ
أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ(64)ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا
هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ(65)قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا
يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ(66)أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(67)
Ibrahim
berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah
menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas
yang demikian itu”. (56) Demi Allah,
sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah
kamu pergi meninggalkannya (57) Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur
berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain;
agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (58) Mereka berkata:
"Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami,
sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. (59) Mereka berkata:
"Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang
bernama Ibrahim (60) Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia dengan
cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (61) Mereka
bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan
kami, hai Ibrahim”? (62) Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar
itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka
dapat berbicara.” (63) Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan
lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang
menganiaya (diri sendiri).” (64) kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu
berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa
berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (66) Ibrahim berkata: "Maka
mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi
manfa`at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu”?. (67)
Cara
yabg dugunakan Nabi Ibrahim menyebabkan orang-orang musyrik memvonis diri
mereka sendiri dengan kebodohan, mereka manyatakan kelemahan tuhan-tuhan mereka
dalam melindungi dirinya sendiri, atau mendatangkan kebaikan dan menolak
kemudaratan, apalagi melakukannya untuk yang lain.
HARUS DICARI BERAGAM CARA DAN UPAYA AGAR BISA SAMPAI KE LEVEL MUBALIG
Untuk sampai pada tingkat pembicaraan yang
membekas, harus membalik cara dan mendiversifikasinya.
Pembicaraan yang tidak
efektif bila disampaikan secara terbuka, terkadang menjadi efektif dengan cara rahasia, tidak efektif pada malam hari
efektif di siang hari, tidak tertanam pada hati yabg sibuk mudah membekas pada
hati yang rehat, tidak berpengaruh pada orang yang sehat, terkadang berpengaruh
pada orang yang sakit. Dalam surat Nuh terdapat implementasi yang utuh tentang
prinsip-prinsip di atas, sebagaimana Allah berfirman melalui lisan Nabi Nuh AS
:
قَالَ
رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا(5)فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي
إِلَّا فِرَارًا(6)وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا
أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا
وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا(7)ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا(8)ثُمَّ
إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا(9)فَقُلْتُ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا(10)
Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam
dan siang”. (5) maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran) (6) Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman)
agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam
telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari)
dan menyombongkan diri dengan sangat. (7) Kemudian sesungguhnya aku telah
menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, (8) kemudian
sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan
diam-diam, (9) maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada
Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”. (10) (QS. Nuh 5 – 10)
Berkata Imam Qurtuby : perkataan Nabi Nuh pada
ayat tersebut adalah مبالغة في الدعاء
وتلطف بالاستدعاء optimalisasi
da’wah dan kelembutan dalam berdakwah. Ibnu Katsir berkata : “ Nabi Nuh
memvariasikan dakwahnya agar lebih efektif, beliau mendakwahkan kaumnya pada
malam hari, sehingga terciptanya suasana yang tenang dan penyimakan yang baik.
Juga mendkawahkan mereka di siang hari
pada saat sibuk, pertemuan, percakapan dan ............?. Mereka
bersikap menentang ketika didakwahi, tapi Nabi Nuh tidak meninggalkannya, tetapi
terus mendakwahinya, sementara mereka semakin kuat menenatang sampai mereka
meletakkan jari-jari mereka ke telinga mereka dan menitup wajah dengan baju
mereka. Namun Nuh tetap bersuara keras mendakwahi mereka agar terdengar oleh
mereka. Setelah terdengar oleh mereka, lalu Nuh mulai mendakwahkan mereka
secara sembunyi-sembunyi”.
Berkata Imam Qurtuby : “وأسررت لهم” , artinya أتيتهم في منازلهم , aku
datangi mereka ke rumah-rumah mereka. Ini merupakan wawasan yang baik pada Imam
Qurtuby, bahwa mengkondisikan mad’u dari banyak orang lebih optimal
pengaruhnya di banding mendakwahkan
seseorang di samping orang banyak, sesungguhnya itulah yang menyulitkan
mad’u, karena biasanya musuh-musuh Islam
akan menakut-nakuti hubungan dakwah yang khusus. Ketika mad’u tersebut belum
mantap fikrahnya, ia akan cenderung untuk tidak merespon atau menangguhkan
penerimaan (berfikir ulang untuk menerimanya).
UNTUK SAMPAI KE LEVEL MUBALIG, SEORANG DAI HARUS MENYAMPAIKAN PESAN DAKWAH DENGAN LEMBUT, TIDAK DENGAN KERAS
Jika Allah saja menyuruh Nabi Musa As mendakwahkan
Fir’aun dengan lemah lembut, maka terlebih lagi dakwah kepada yang lainnya
harus selalu menjunjung tinggi syiar kelembutan, ان يكون الين شعار كل دعوة, hendaknya kelemahlembutan senantiasa menjadi syiar setiap
langkah dakwah. Firman allah ta’ala :
اذْهَبَا إِلَى
فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى(43)فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى(44)
Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya
dia telah melampaui batas (43) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (44)
Kelemah lembutan jauh dari sikap menakutkan dan
lebih kuat mentransfer kata-kata ke dalam hati, sebab banyak para da’i
menadapatkan kesulitan di jalan dakwah disebabkan kata-katanya yang menyinggung
perasaan mad’unya. Berdakwah dengan bijak dan nasehat yang baik akan membuat
mad’u langsung merasa nyaman dengan dakwah, sebaliknya sikap kasar membuat
mad’u berpaling dari dakwah. Sebagaimana musuh-musuh Islam menebar kendala di
jalan dakwah , tanpa disadari umat islam juga membuat kendala yang sama di
jalan dakwah, masaahnya adalah keburukan prilaku, kegundahannya, keputusasaannya,
kepicikan pandangannya dan kesmpitan dadanya. Adapaun da’i yang sukses adalah
yang tidak pernah kehilangan ketepatan dan keseimbangannya apapun kondisinya.
Berkata Imam Ar-Razy : “Ketahuilah bahwasanya
da’wah kepada aliran dan pemikiran harus dibangun di atas argumentasi dan
pengetahuan, yang dimaksud dengan menyebutkan argumentasi adalah baik
menegaskan aliran atau keyakinan tersebut ke dalam hati audien, atau maksudnya
mengikat lawan bicara dan menundukannya.
Para da’i ilallah senantiasa menupayakan
penyampaian kebenaran dan petunjuk kepada hati setiap makhluk, mereka bukan
orang yang ada dalam kantong pertarungan yang hanya mencari kemenangan dalam
mendebat lawan bicara, dan juga bukan hanya ingin mengukuhkan keunggulan mereka
dan berargumentasi.
Imam Ar-Razy cenderung berpendapat bahwa Da,wah
dengan bijak dan nasehat yang baik akan mudah memperoleh pengikut, sedangkan
perdebatan yang konstruktif adalah pilihan terakhir yang ditujukan hanya untuk
menegakan argumentasi terhadap lawan bicara, sebagaimana firman Allah :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
إِلَى سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ(125)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl : 125)
Pada prinsipnya
ayat tersebut menjelaskan bahwa da’wah dibatasi hanya dengan dua
pendekatan (بالحكمة والموعة الحسنة.).
Adapun perdebatan tidak masuk dalam kategori dakwah, tetapi maksudnya bertujuan
untuk membela dakwah dengan menekan dan menundukan lawan bicara. Karena itu
Allah tidak berfirman : ادع إلى سبيل ربك
بالحكمة والموعظة الحسنة والجدل الأحسن, Allah memisahkan perintah berdakwah
dengan perintah berdebat, hal ini menegaskan bahwa da’wah dan debat adalah dua
hal berbeda, perdebatan memiliki
tujuannya sendiri.
No comments:
Post a Comment