Seorang da’i tidak akan terpisah dari
da’wahnya, korelasi antara da’i dan da’wahnya selalu melekat dalam pikiran
ummat. Da’i sendiri adalah bukti bagi da’wahnya, bukti itulah yang dapat
mempengaruhi orang untuk menerima dakwah, bahkan menyebabkan mereka menolak dan
menentangnya. Sedangkan orang-orang yang berinteraksi dengan nilai-nilai
prinsip keislaman secara langsung (praktis) sangatlah sedikit di setiap zaman
dan tempat, tetapi kebanyakan orang hanya berinteraksi dengan prinsip yang
hanya menjadi slogan semata. Semakin besar nilai sebuah prinsip maka semakin
kuat komitmen seorang da’i kepadanya. Untuk sampai kepada komitmen yang kuat
lebih sulit, dan penderitaan dalam menunaikan kewajiban dan memikul beban, hal
ini meyebabkan kesungguhan mencapai tingkat komitmen tersebut menjadi satu
kontinyuitas yang tak boleh berhenti (futur) dan keberlangsungan yang tak boleh
terputus.
Ketika sang da’i jauh dari komitmen
kewajiban keislamannya, maka hal itu menjadi bencana yang akan memalingkan
banyak orang karena akhlaknya dari agama Allah, dan membegal orang di tengah
jalan, maka pantaslah kalau da’i seperti itu disebut pembegal (قاطع الطريق
), bahkan lebih buruk dari itu. Oleh karena itu setiap da’i hendaknya selalu
berdoa :
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ
الظَّالِمِينَ(85) َ
Ya Tuhan kami; janganlah Engkau
jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim (QS. Yunus : 85)
Imam Ar-Razy menafsirkan ayat ini :
Ya Tuhan kami, janganlah engkau berikan peluang kepada mereka untuk menggiring
kami dengan zalim dan paksaan, agar kami berpaling dari agama yang haq yang telah kami terima
(dengan baik)”. Demikianlah ornag-orang kafir ketika berkuasa atas umat Islam,
maka kekuasaan mereka seolah-olah berada di atas kebenaran dan umat Islam di
atas kebatilan. Maka kekuasaan mereka terhadap umat Islam dan penindasan mereka
terhadap orang-orang beriman adalah bencana yang akan memalingkan mereka dari
keimanannya. Begitupula seorang da’i yang akhlaknya menyalahi nilai-nilai
Islam, maka akhlaknya yang buruk itu dapat memalingkan umatnya dari keimanan.
CONTOH KONSISTEN
Para sahabat Nabi adalah contoh
konsisten dalam dakwah dan keislaman mereka. Hasan Al-Bashry mengomentari sifat
mereka bahwa : “tampak pada diri mereka tanda-tanda kebaikan dalam aura, ciri,
petunjuk, kebenaran, bersahaja dalam tampilan pakaian, tawadu ketika berjalan,
kata-kata dibarengi dengan perbuatan, makan minum dari rizki yang baik,
ketundukan mereka dalam taat kepada Allah, senantiasa mengusung kebenaran baik
terkait dengan hal-hal yang mereka sukai ataupun tidak, memancarkan kebenaran
dari diri mereka sendiri, haus kerongkongan mereka, lelah jasad mereka, berlapang
dada terhadap amarah makhluk demi mengharapkan ridho Allah, sibuk lisan mereka
dengan dzikir, mereka korbankan darah mereka jika diperlukan, mereka korbankan
harta mereka jika dibutuhkan, akhlak mereka baik dan segala urusan mereka
menjadi mudah.
Para sahabat telah mempersembahkan bagi agama ini sebuah
gambaran bimbingan dan arahan
kemanusiaan, mereka tegar menghadapi ujian dan cobaan, mereka tinggalkan
beberapa rukhsah agar tidak menyebabkan
orang-orang kafir menimpakan fitnah terhadap kaum muslimin.
Abdullah bin Hudzafah as-Sahmy pernah
menjadi tawanan Romawi, lalu Raja Romawi berkata kepadanya : “Engkau akan bebas
bila engkau bersedia bergabung denganku”, tetapi Abdullah menolaknya. Lalu Ia
disalib dan dieksekusi dengan lemparan anak panah tetapi Ia tidak takut
sedikitpun, kemudian diturunkan dari tiang salib, Raja menyuruh disediakan air
tungku dan dimasak hingga mendidih, lalu Ia dimasukan kedalamnya, hingga
terkelupas kulitnya, setelah itu diangkatnya lagi, dan masih ditawarkan
kepadanya untuk bebas, tetapi Abdullah malah menangis. Sang Raja kaget dan
bertanya kepadanya ; “Kenapa engkau menangis”?, Iapun menjawab : “Aku berharap
memiliki seratus nyawa, yang ditimpakan seperti ini di jalan Allah”. Raja
sangat terkejut mendengarkan jawabannya.
Ketika penduduk negeri menyaksikan
konsistensi para sahabat Nabi, ketegaran mereka di atas akidahnya dan
pelaksanaan mereka terhadap aturan agama mereka, maka merekapun akhirnya
memeluk Islam. Ibnu Qayyim Al-Jauzy berkata : “Tatkala kaum Nasrani melihat perilaku
sahabat, kebanyakan mereka kemudian beriman karena pilihan dan kerelaan
sendiri, lalu mereka berkomentar : “Mereka lebih utama dari para sahabat Nabi
Isa AS”. Kemudian Ibnu Qoyyim melanjutkan komentarnya : “Sungguh, kami telah
berdakwah kepada kebanyakan ahlul kitab, lalu mereka mengatakan bahwa apa yang
menghalangi mereka masuk islam adalah perilaku orang-orang yang menisbahkan
dirinya kepada Islam”. Komentar Ibnu Qayyim ini terjadi pada abad delapan hijriyah, bagaiman jadinya bila
beliau hidup di abad kita sekarang ini, di mana banyak orang Isalm yang
menghadirkan gambaran yang paradoks dengan ajaran agamanya sendiri.
Da’i bisa baik di mata umatnya bisa
juga buruk. Apabila sang da’i dikenal dengan keistiqomahannya dan kewaro’annya,
maka kata-katanya akan sampai ke lubuk hati umatnya, dan mempengaruhi orang
menjadi mudah menerima dakwah. Tetapi bila da’i kering komitmen dan
integritasnya, maka perkataannya akan
lewat begitu saja seperti anak panah yang melenceng tidak mengenai sasaran.
KEBAIKAN PERKATAAN ADA PADA
REALISASINYA
Imam Mawardy berkata dalam kitab
Adabuddunya waddin mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib : “Sesungguhnya
sia-sianya manusia menuntut Ilmu, ketika mereka sedikit mengambil manfaat dari
ilmu yang diamalkannya, karena kebaikan perkataan ada pada realisasinya,
kebenaran ada pada kata-katanya dan kebaikan ilmu ada pada yang membawanya.
Orang bijak berkata :
العلم
يهتف بالعمل ، فإن أجابه نفع وإلا ارتحل
“Ilmu senantiasa memanggil amal, bila dipenuhi
(dengan amal) maka ilmu itu akan bermanfaat, jika tidak maka ia akan berlalu
begitu saja".
Berkata sebagian ulama : Sempurnanya
Ilmu dengn amal, sempurnanya amal keihlasannya, jika kredibilitas da’i buruk di
hadapan audiennya, maka perkataannya akan menggantung dan ngambang, diterima
tidak ditolak juga tidak, sehingga mereka
patut mempertanyakannya, tetapi bila audien mengetahui kredibilitas
da’inya, maka apa yang disampaikannya akan diterima dan berpengaruh, bila
tidak, maka audien yang kurang dapat menangkap dan mengambil pelajaran (ibroh).
Dan kehidupan seorang da’i baik
khassah (halaqah) maupun ammah (sya’biyah) adalah pusat perhatian, mata manusia
terhadapnya seperti kaca pembesar, sebelum dia menuntut manusia meninggalkan
gibah maka dia harus menahan diri dari berbuat gibah dan menuduh tanpa alasan
dan menjaga kehidupannya baik yang bersifat khusus maupun umum dari hal-hal
yang dapat menodainya.
No comments:
Post a Comment