Sunday, August 26, 2018

Kaidah ke-20: Melawan Maksud dan Tujuan Al-Qur’an Lebih Berbahaya Daripada Meninggalkannya

Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai kitab suci penuh petunjuk yang menghidupkan jiwa-jiwa yang mati dan gersang, mengatur semua lini kehidupan, mengajak manusia menuju jalan yang lurus, dan mewujudkan kesenangan dunia serta akhirat. Peran seperti ini sudah dibuktikan kepada para sahabat, tabi’in, dan tabitu tabi’in, yang merupakan gerakan perubahan paling mencengangkan yang pernah disaksikan oleh sejarah. Orang-orang mungkin bertanya, tapi kenapa peran Al-Qur’an seperti itu tidak terwujud di kehidupan manusia sekarang ?. Bukankah Al-Qur’an yang sekarang merupakan kitab suci yang dulunya juga pernah diturunkan kepada nabi Muhammad ?. Bukankah Al-Qur’an sekarang merupakan rentetan surat, ayat dan huruf-hurufnya yang dahulu ?. Ya, dia adalah kitab suci yang dijaga oleh Allah dari perubahan dan penyelewengan. Kitab itulah dokumentasi yang paling otentik yang pernah disaksikan dalam sejarah manusia. Tapi ternyata persoalannya bukan terletak pada Al-Qur’an, karena yang sebenarnya terjadi adalah karena ketimpangan kita dalam memahami Al-Qur’an. Sebagian umat Islam tidak lagi memahami kandungan Al-Qur’an sebagaimana saat ia diturunkan dulu. Mereka tidak lagi berinteraksi dengan ayat-ayatnya secara focus sesuai makna yang dikehendaki, sehingga sekarang ini, seorang muslim menggunakan sebuah ayat di tempat yang bukan semestinya.

Sebagai contoh adalah firman Allah swt, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya” (Al-Baqarah/272). Orang muslim tahu keberadaan ayat ini, entah ia terpelajar, entah buta huruf. Kebanyakan mereka menggunakannya sebagai peredam ketika ada perbedaan pendapat dalam membahas suatu tema. Atau, dengan ayat itu, mereka berharap agar seorang dai berhenti saja dari dakwahnya dengan dalih pendengaran mereka sudah ditulikan, manusia sudah tidak lagi tertarik akan kebaikan, atau karena zaman orang saleh sudah berakhir sebagaimana berakhirnya peran orang yang membela kebaikan dan memberi petunjuk. Ayat ini kadang juga dijadikan alasan bagi orang-orang yang keras kepala dan menyombongkan diri untuk melegalkan kedunguan dan kesombongan mereka. Orang-orang yang enggan memikul amanah dakwah dengan entengnya berkicau, “Biarkan saja, Syekh. Bukan kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk”. 

Cara memahami dan mengambil kesimpulan dari dalil Al-Qur’an seperti inilah yang bertentangan dengan maksud serta tujuan Al-Qur’an, hingga menyebabkan malapraktik dalam menjalankan perintah atau larangan Al-Qur’an. Menyelisihi maksud dan menentang tujuan Al-Qur’an merupakan bentuk pengabaian Al-Qur’an yang terparah. Lebih dari itu, mereka menjadikannya sebagai alasan pembenaran atas kemalasan, berdiam diri dan menafikan amalan-amalan Islam.

Kalau saja kita memperhatikan ayat di atas beserta kontekstualisasinya dengan ayat sebelum dan sesudahnya maka akan jelas bagi kita peran dari ayat tersebut dalam membangkitkan semangat yang luar biasa, menghidupkan gairah kerajinan, dan menggelorakan jihad yang membara dalam menegakkan dakwah Allah.

Ayat lain yang disalahartikan sebagian umat Islam adalah, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (Al-Qashash/56).

Ayat di atas turun setelah pembicaraan tentang kisah Nabi Musa dan Fir’aun. Keterangan dari apa yang termuat dalam kisah tersebut merupakan penjelasan yang paling tepat untuk menjelaskan bagaimana kondisi sebenarnya orang-orang yang keras kepala dan sombong. Akan tetapi, sejelas apapun kesaksian, petunjuk, dan bukti nyata, di mana hal-hal itu menguatkan akan kemukjizataan Nabi Musa, Fir’aun dan komplotannya masih terus menutup telinga dari suara-suara kebenaran. Petunjuk sudah ditampakkan oleh Nabi Musa kepada Fir’aun dengan begitu terangnya, akan tetapi Fir’aun dan bala tentaranya memilih untuk menutup semua pintu hidayah itu sendiri. Mereka mengunci hati dari petunjuk yang disampaikan. Fenomena seperti ini selalu terulang sepanjang sejarah. Selama 13 tahun di Mekkah, Nabi Muhammad selalu memberikan petunjuk yang begitu gamblangnya, dengan cara yang mudah, perantara yang santun dan lembut, dengan penuh rasa cinta dan kasih saying. Pribadi Rasulullah merupakan akumulasi dari keterangan yang jelas, mukjizat, kemuliaan, keagungan, hati yang penyayang serta cinta yang murni. Dengan kata lain, Rasulullah adalah sosok yang dalam dirinya terkumpul semua faktor dan sebab-sebab yang menjadikan seseorang masuk Islam dengan dakwahnya. Tapi dengan segala modal seperti itu, ternyata tidak bisa menjadikan paman tercintanya, Abu Thalib, mengikuti hidayah dan petunjuk dari beliau. Padahal paman beliau adalah orang yang selalu menolongnya, yang santun dengan keimanan orang-orang muslim dan dakwah Islam.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa ketika datang ajal Abu Thalib, saat Rasulullah mendatanginya, terlihat oleh beliau ada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin Mughirah. Rasulullah kemudian bersabda, “Wahai Paman, katakanlah La ilaaha illallah, kalimat yang akan menjadi saksiku di sisi Allah nanti”. Kemudian berkatalah Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau rela meninggalkan agama Abdul Muthalib?”. Rasulullah pun tak henti-hentinya menawarkan dan mengajari syahadatain kepadanya. Beliau selalu mengulangi kalimat syahadat tersebut hingga Abu Thalib memberikan pernyataan terakhir kepada para pelayatnya, “Sesungguhnya aku bersama agama Abdul Muthalib.” Ia menolak mengucapkan la ilaaha illallah.” Lantas Rasulullah bersabda, “Demi Allah, aku akan meminta ampunan untukmu kalau saja aku tidak dilarang melakukan itu.” Lalu Allah menurunkan ayat 113 surat At-Taubah, “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang berimana memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” Allah menurunkan ayat lain berkenaan dengan Abu Thalib di dalam surat Al-Qashash ayat 56 yang sudah tersebut di atas, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”

Sungguh sangat mengherankan ketika Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, salah satu putra pembesar Mekkah sekaligus dedengkot yang frontal melawan Islam ternyata malah menerima cahaya keimanan dalam hatinya, sementara Abu Thalib, paman Nabi sendiri yang menjadi pembelanya, yang menginfakkan harta dan jiwanya untuk membela jalan yang ditempuh Rasulullah, dimana oleh Ibnu Katsir digambarkan sebagai pelindung Rasulullah, pembelanya, yang berdiri di barisan shaf Rasulullah, yang mencintainya dengan segenap naluri yang ada, ternyata dimatikan dalam keadaan tidak beriman.

Lalu, dimanakah letak persoalannya ?. Apakah lantas berarti Allah menghendaki agar Abu Hudzaifah beriman dan tidak berkehendak atas paman Nabi, Abu Thalib ?. Apakah firman Allah, “Tetapi Allah memberikan petunjuk-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, “ mempunyai arti bahwa Allah memalingkan keimanan seseorang dari makhluknya dan memberikannya kepada yang lain?. Hati-hati dengan hal ini, karena ini merupakan pemahaman jabariyah yang bertentangan dengan kasih sayang Allah bagi hambanya, di mana Allah swt berfirman, “Dan Tuhanmu tidak akan pernah berbuat zhalim kepadamu” (Al-Kahfi/49). Sesungguhnya ayat 56 surah Al-Qashash di atas tidak berhubungan dengan hal ini, tetapi konteksnya lebih dari itu, yakni untuk menerangkan keagungan Allah dan kesempurnaan kemampuan-Nya. Dialah zat yang Maha Esa dan Mahamampu untuk menjadikan seluruh manusia dalam satu agama atau dalam satu madzhab. Jika Allah berkehendak, Dia akan menjadikan mereka semua sebagai orang mukmin; jika berkehendak, Dia akan menjadikan mereka kafir; jika berkehendak, Dia akan menjadikan kita umat yang satu; dan jika Dia berkehendak, Dia akan membinasakan mereka semua. Yang perlu digarisbawahi, konteks ayat di atas membicarakan tentang kehendak dan kemampuan Allah, bukan tentang apa yang telah benar-benar dilakukan oleh Allah kepada ciptaan-Nya. Hal ini bisa kita analogikan, ketika seorang direktur mampu dan punya kewenagan untuk memutus kontrak kerja semua karyawannya, apakah lantas seorang direktur tersebut lalu melakukannya karena ia memang mampu dan mempunyai wewenang untuk melakukannya ?. Atau apakah ini berarti pernyataan bahwa seorang direktur memiliki hak seperti itu ?. Jawabannya adalah, pernyataan yang menggambarkan tentang sifat, kemampuan dan hak seseorang berbeda dengan pernyataan yang menjelaskan tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Tidak semua orang yang memiliki sifat dan kewenangan tertentu mempraktekkan kewenangan dan sifat-sifat itu dalam tindakannya. Seseorang baru dikatakan beriman kepada Allah bila ia berkeyakinan bahwa Allahlah satuanya-satunya dzat yang menganugerahkan kehidupan ini, menciptakan semua orang dan semua yang ada di jagat raya, dan akhirnya, hanya Dialah yang berhak memberikan petunjuk.

Perbincangan di atas adalah contoh bagaimana Rasulullah benar-benar mempunyai keinginan dan usaha keras untuk paman tercintanya. Ia terlalu iba dengan keadaannya, seolah-olah beliau berkata, “Bagaimana mungkin seorang paman yang begitu dia cintai, mati dalam keadaan tidak berimana ?”. Jawaban atas keluh kesah itu adalah, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah hamba Allah seperti hamba-hamba lainnya, engkau diperintahkan untuk menyampaikan dan menerangkan agama, tidak ada kekuasaan padamu atas hati manusia. Engkau hanya berkuasa menerangkan kepada kaummu. Engaku juga mampu membaca Al-Qur’an dan melantunkannya untuk orang-orang sekelilingmu. Akan tetapi engkau tidak mempunyai kekuasaan untuk mengubah hati siapa saja, tidak pula menanamkan benih iman kepada mereka. Karena maqammu sebagai seorang hamba harus disadari bahwa kamu tidak bisa memberikan petunjuk kepada siapa yang engkau cintai sekalipun dia adalah pamanmu yang engkau kasihi. 

Oleh karena itu, semua orang harus sadar bahwa siapa pun tidak memiliki kekuasaan atas seseorang, karena kekuasaan dan hukum itu hanya milih Allah. Tauhid hanya akan terwujud ketika seseorang mengimani bahwa Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah dengannya. Kepunyaan Allah adalah sifat-sifat yang Maha Tinggi. 

Dari ayat ini kita bisa memahami ayat-ayat lain yang di dalamnya terkandung pernyataan bahwa sesungguhnya Allah memberikan kesesatan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah-lah satu-satunya dzat yang di tangan-Nya terkumpul segala urusan. Konsekuensi dari itu semua adalah kita harus mencintai-Nya, beribadah kepada-Nya, dan meminta hanya kepada-Nya. Janganlah pemahaman yang salah membuat kita tergelincir di pusaran jabariyah yang sangat  fatal; mematikan ikhtiar manusia, membuat pasif usaha-usahanya, dan bahkan menafikan harapan serta do’a-do’a seorang hamba kepada Tuhannya.

Hal penting lainnya yang harus disadari adalah, ayat-ayat seperti di atas merupakan bentuk harmonisasi seorang hamba dengan amalannya, sehingga seseorang tidak lagi berkata, “Coba lihat Rasulullah, berusaha sepanjang hari selam 9 tahun agar pamannya yang tercinta menerima dakwahnya, tapi akhirnya toh sama saja, ia tidak beriman kepadanya.” Atau jangan sampai seorang dai beranggapan bahwa seolah-oleh dakwahnya tidak membuahkan hasil apa-apa dan hanya sia-sia layaknya tiupan terompet di bentangan gua dan bukit-bukit pegunungan; taka da yang menyapanya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti ini maka Allah mencoba memberi penjelasan kepada Rasulullah bahwa apa-apa yang harus beliau lakukan adalah menyampaikan dakwah saja, sedangkan keimanan seseorang bukanlah wewenang yang harus dia capai. Dan dia tidak harus memaksakannya kepada orang lain, karena keimanan adalah pernyataan di dalam hatinya, dan pernyataan ini merupakan rahasia yang mana orang lain tidak bisa mengetahuinya kecuali Allah. Seseorang tidak akan bisa mencampuri urusan dan pernyataan atau pilihan orang lain. Siapa saja yang mengira bahwa dirinya mampu akan hal itu maka sejatinya ia telah menyatakan dirinya sebagai Tuhan atas manusia. Apa yang kami sampaikan ini tidak bertentangan dengan imu Allah yang azali atau qadim tentang semua muara yang akan dituju oleh manusia, dan ilmu yang sempurna merupakan sifat Allah. Ilmu seperti ini menuntut pengetahuan bahkan sebelum terjadinya sesuatu, dan pengetahuan akan siapa saja yang mendapat petunjuk atau kesesatan merupakan objek yang diketahui oleh Allah. Namun penyebab-penyebab adanya petunjuk atau kesesatan merupakan objek lain, dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang diberi petunjuk. 

Akhirnya, yang diharapkan dari seoang muslim adalah usaha keras secara terus menerus tak kenal Lelah, tidak menyerah dalam keputus asaan, dan tidak pula terlena dengan berlindung di balik tameng takdir bahwa ‘Allah memang telanjur menginginkan hal ini atau itu’. Yang dibutuhkan umat Islam sekarang adalah memurnikan makrifat dan ketauhidannya serta menjauhkannya dari paham jabariyah yang melemahkan manusia.

Sumber: Dr. Hammam Abdurrahim Said, Qowa’idud Da’wah Ilallah

1 comment: