Friday, August 17, 2018

Kaidah ke-18: Antara Pemahaman yang Mendominasi Umat dan Pemahaman yang Seharusnya

Banyak kaum muslim yang tidak memahami Al Qur’an. Krisis seperti ini jauh lebih berbahaya dan lebih kronis dibanding perlawanan dari musuh-musuh mereka. Sebab, pemahaman yang salah telah melahirkan sejumlah firqah yang mencerai-beraikan Islam dan persatuannya. 

Pada kaidah ke-18 ini kami akan membahas tentang pemahaman yang mendominasi umat dengan pemahaman yang seharusnya. Apa yang berkembang dan mencuat di tengah umat saat ini adalah cara berfikir yang egois, individual, dan bertopeng kedok pragmatis. Hal ini sangat membahayakan diri dan komunitasnya, di mana kita melihat masyarakat yang selalu disibukkan oleh kepemilikan pribadi mereka, dan mereka merasa geram ketika muncul sebuah proyek yang mengedepankan kemashalatan Bersama. Lantas dakwah pun jatuh kepada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan individu saja atau pemahaman yang lebih sempit lagi. Alasan mereka bersandar pada ayat 105  surah Al-Maidah, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”.

Dari ayat ini mereka memahami bahwa manusia hendaklah memperhatikan perkara dan kemaslahatan pribadi mereka dan mengabaikan hubungan serta interaksi dengan orang lain. Mereka mengulang-ulang ayat itu sambil mendengungkan jargon seperti, “Kami berada di akhir zaman,” sebagai bentuk keputusasaan dan pelegalan akan keegoisan mereka. Padahal, pemahaman seperti ini menyelesihi maksud dan tujuan Al-Qur’an. Al-Qur’an datang membawa rahmat bagi alam semesta untuk memperbaiki individu maupun golongannya. Di sisi lain, Al-Qur’an juga menyeru kepada setiap muslim agar mandiri dalam dakwah dan jihad serta tidak Bersama orang-orang yang berselisih, tidak pula duduk berpangku tangan dengan orang-orang yang malas. Ayat dan tujuan Al-Qur’an sama sekali tidak saling bertentangan. Halangan dan rintangan tidak bisa dijadikan alasan untuk mengalihkannya dari mencapat tujua. Sebab kalau demikian halnya, maka jihad tidak perlu disyariatkan dan diwajibkan. Allah telah menyeru agar kita berjuang untuk menghadapi fitnah dalam segala bentuknya.

Abu Bakar r.a. telah menyadari akan bahaya dari pemahaman yang pasif dan kontraproduktif ini. Imam Ahmad dalam musnadnya dan Imam Tirmidzi dalam Jami’nya meriwayatkan dari jalur Tabi’in Qais bin Abi Hazim berkata:

Abu Bakar berdiri kemudian memberikan puja-puji kepada Allah. Setelah itu ia berkata, “Wahai manusia sekalian, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apabila kamu telah mendapat petunjuk,’ tapi kalian tidak memahaminya secara tepat. Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Apabila ada seseorang yang melihat sebuah kemungkaran kemudia ia tidak mengubahnya, maka Allah hampir saja akan menimpakan hukumannya kepada semua manusia.”

Kalau saja Abu Bakar r.a. memahami ayat ini dengan pasif, tidak mungkin ia berkemauan keras untuk memerangai orang-orang yang menahan zakat mereka, tidak pula ia meninggalkan orang-orang yang murtad kembali ke zaman jahiliyah mereka. 

Imam Abu Isa At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Jami’nya dengan sanad yang sampai pada Abu Umayyah As-Sya’bani berkata, “Aku mendatangi Abu Tsa’labah Al-Khusyaini dan aku berkata kepadanya, ”Bagaimana kamu memahami ayat ini ?”. Ia bertanya, “Ayat yang mana?”. Aku berkata, “Firman Allah, hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang-orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” Abu Tsa’labah menjawab, “Demi Allah, hal itu pernah aku tanyakan kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda:

Tetap beramar makruf dan bernahi mungkarlah. Ketika engkau mendapati seorang yang pelit tapi ditaati, hawa nafsu yang diikuti, orang-orang yang terpedaya dunia, dan takjubnya seseorang dengan fikirannya sendiri maka ketika itu cukuplah engau menjadi dirimu. Tinggalkan kumpulan manusia, karena akan ada zaman setelah kalian di mana kesabaran ketika itu seperti memegang batu panas. Orang yang beramal di masa seperti itu seperti pahala 50 orang yang beramal seperti amalan kalian.

Dari riwayat di atas Abu Tsa’labah telah menerangkan maksud ayat 105 surat Al-Maidah, dan bahwa mengurus diri sendiri adalah di waktu ketika manusia berada dalam sifat-sifat yang telah disebutkan, yaitu ketika orang yang bakhil sudah dita’ati. Syukh sekalipun mempunyai arti pelit tapi dia lebih umum dari sekadar bakhil, karena syukh merupakan kebakhilan atau kepelitan dalam harta dan lainnya, maka tak heran bila ia menjadi prinsip yang diikuti oleh banyak orang. Sedangkan mengikuti hawa nafsu ialah mengikuti segala yang dikehendaki jiwa ini. Takjubnya seseorang dengan fikirannya sendiri adalah karena ia enggan untuk bermusyawarah dan mengabaikan kemufakatan. 

Mungkin akan ada yang menganggap bahwa sifat-sifat seperti itu sudah merebak di masyarakat. Kita bisa melihat dengan mudah perihal kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan semua sifat tercela lainnya. Oleh karena itu, ayat 105 surah Al-Maidah pun sudah tepat untuk masa kita sekarang, dan masyarakat kitalah yang digambarkan dalam hadits tersebut. Tapi anggapan seperti ini tidak bisa dibenarkan, karena yang dimaksud dengan hadits Rasulullah di atas adalah ketika karakter itu sudah menjadi karakter umum di dalam sebuh masyarakat. Padahal faktanya, di dalam masyarakat kita saat ini masih terdapat banyak kebaikan. Masih ada orang-orang saleh, bertakwa, mulia, dan terhormat. Mereka adalah wali-wali Allah yang berburu akhirat. Mereka adalah orang yang mencari dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. 

Sekali lagi, yang dimaksud oleh hadits Rasulullah di atas bukan ketika sebagian orang dalam sebuah masyarakat mempunyai sifat tercela seperti itu. Sebab jika demikian, keberadaan orang yang pelit merupakan hal yang pasti ada di setiap zaman dan tempat. Keberadaan orang yang takjub akan fikirannya sendiri serta bangga akan kesalahannya merupakan sesuatu yang jamak terjadi di semua masa. Bahkan, ada yang mengatakan kalau perilaku seperti itu juga sudah terdapat di masa sahbat yang mulia dan masa tabi’in yang cemerlang. Justru itulah yang kemudian membingungkan Abu Umayyah Asy-Sya’bani, sehingga ia bergegas menemui Abu Tsa’labah Al-Khusyani, lalu Abu Tsa’labah menepis kemungkinan akan terjadinya hal itu pada masa sahabat, lalu menjelaskan bahwa ayat 105 surat Al-Maidah itu baru benar-benar bisa dilaksanakan ketika masyarakat dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah di dalam hadits tersebut.

Patut kami sampaikan bahwa maa itu belumnya terwujud. Ia baru akan terjadi pada detik-detik sebelum hari kiamat, karena kiamat tidak akan terjadi kecuali di zaman sejelek-jeleknya manusia. Ketika sifat-sifat tercela di atas sudah menjadi karakter umum sebuah masyarakat maka kehidupan sudah tidak ada gunanya, karena tidak ada lagi kebaikan di dalamnya. Pada saat itulah kiamat akan terjadi.

Perlu kami sampaikan juga bahwa sifat-sifat tercela sebagaimana yang tercantum pada sabda Rasul di atas merupakan tanda rusaknya fitrah manusia. Rasulullah telah memberi tahu kita tentang zaman di mana pada saat itu tobat tidak lagi diterima. Sebagaimana Al-Qur’an juga memberi tahu kita aka masa di mana seseorang tidak lagi diterima kesaksian dan keimanannya.

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hijrah tidak akan pernah terputus hingga terputusnya tobat, dan tobat tidaklah terputus hingga matahari terbit dari barat” (HR. Abu Daud). Pintu tobat senantiasa terbuka bagi yang mencarinya. Tobat terbuka bagi semua manusia. Tentu jika umat manusia tetap konsisten dalam beramat makruf  nahi mungkar, tidak berputus asa, tetap menegakkan kewajiban, tetap memberi peringatan, dan menyampaikan dakwah. Akan tetapi, ketika pintu tobat sudah tertutup dengan munculnya tanda-tanda kiamat kubra yang mana tidak lagi bermanfaat keimanan seseorang ketika itu maka peringatan dan dakwah tidak lagi bermanfaat kecuali atas pelakunya sendiri. Inilah yang menjadikan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an ada tafsiranya dan sebagian lain tidak ada tafsirannya. 

Pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas adalah, seorang muslim hendaklah selalu menjadi diri dan mencegahnya dari perangkat keburukan. Seorang muslim harus menunaikan dua hal dan konsisten terhadapnya. Pertama, memperbaiki diri sendiri, dan kedua, memperbaiki orang lain. Bahaya yang mengancam diri datang dari dalam dan luar. Ketika seseorang tidak menjaganya serta mengacuhkannya maka pengaruh luar akan masuk dan akan merusaknya. Ayat di atas menyeru kaum mukmin agar menjaga diri mereka dari pengatuh-pengaruh ini, sebagaimana firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, di mana manusia dan batu merupakan bahan bakarnya” (At-Tahrim:6). Yang dimaksud dengan jagalah diri kalianadalah ‘jagalah kaum kalian’, sebagaimana tersebut dalam firman Allah, “Dan berilah salam kepada diri kalian” (An-Nur:61), atau “Janganlah kalian mengolok-olok diri kalian” (Al-Hujurat:11). Yang dimaksud dengan diri kalian pada ayat-ayat ini adalah, jagalah diri kalian dan orang-orang yang seagama dengan kalian.

Ringkasnya, ayat 105 surah Al-Maidah di atas maksudnya justru memotivasi kita agar terus beramal dan tanggap akan kemaslahatan umat, bukannya malah bersikap pasif sehingga menyebabkan kemunduran dengan hanya memerhatikan kemaslahatan pribadi.

Sumber: Dr. Hammam Abdurrahim Said, Qawa’idud Da’wah Ilallah

No comments:

Post a Comment