Friday, August 24, 2018

Kaidah ke-19: Amar Makruf Nahi Mungkar Salah Satu Kewajiban Umat

Amar makruf nah mungkar merupakan karakteristik utama umat Islam dan merupakan tanda kebaikan umat ini. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” Untuk merealisasikan kualitas unggulan ini maka Al-Qur’an memberi statemen dalam surah Ali Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.”

Amar makruf nahi mungkar merupakan petunjuk akan hidupnya keimanan seorang dalam hati, serta bukti yang jelas akan adanya keterkaitan yang nyata antara seorang muslim penyeru kebaikan dengan agamanya. Amar makruf nahi mungkar merupakan bukti nyata bahwa seseorang serius dan komitmen terhadap agamanya.

A.   Amar makruf nahi mungkar secara terminology dan epistomologi

Makruf (kebaikan) secara Bahasa adalah apa yang dipandang baik oleh manusia, sedangkan mungkar adalah apa yang diingkari dan dicela oleh manusia. Adapun secara syar’i, al-ma’rufadalah apa yang dipandang baik oleh manusia dan syariat, sedangkan kemungkaran adalah apa yang diingkari dan dicela oleh manusia serta dilarang dalam agama. Terkadang sebuah kebaikan di mata manusia adalah keburukan atau kemungkaran di mata syariat, dan sebuah kemungkaran di mata manusia merupakan kebaikan dalam timbangan agama. Ketika syariat Allah tidak ditemukan dalam sebuah komunitas masyarakat maka muncullah kebaikan atau tradisi jahiliyah yang menggeser nilai-nilai dan timbangan akhlak serta kebaikan. Kita dapatkan banyak dari masyarakat muslim menjadikan kemungkaran sebagai kebaikan dengan cara menyokongnya dengan materi dan moralitas palsu. Kemungkaran itu juga dijaga oleh sistem, aturan, dan hukum positif. Inilah hasil yang buruk dari nenek moyang kita, di mana mereka bersekutu dengan kemungkaran dan membuka peluang besar kepada para penyeru kebatilan di semua lini kehidupan. 

B.   Amar makruf nahi mungkar menjadi tanggung jawab Bersama

Amar makruf nahi mungkar bukan tanggung jawab beberapa individu dalam masyarakat Islam saja, melainkan merupakan tanggung jawab Bersama yang didasari taklif dari syariat Islam yang berlaku untuk semua orang. Rasulullah bersabda, “Man ra’a minkum munkaran falyughayyirhu.” Barangsiapa salah seorang dari kalian melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya. Kata man berlaku untuk umum, untuk setiap muslim yang beriman kepada Allah. Siapa saja yang mengaku Allah sebagai Tuhannya dan Islam sebagai agamanya terbebani secara syariat untuk beramar makruf nahi mungkar. Seseorang tersebut tidak berhak mendapatkan kecintaan dari Allah dan rasulnya sebelum ia menegakkan kewajiban ini. Allah swt berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar. (At-Taubah/71)

Menegakkan amar makruf nahi mungkar merupakan kewajiban dalam syariat Islam, bahkan ia merupakan pokok dari kewajiban syariat, berlaku di setiap waktu dan kondisi, entah muslim tersebut kaya atau miskin, kuat atau lemah, sendirian atau berjamaah, berilmu banyak atau sedikit. Yang berbeda hanya dalam tingkatan dan derajatnya sesuai dengan waktu serta kondisi. Derajat tertinggi dalam nahi mungkar adalah dengan tangannya, sedangkan derajat paling rendah adalah mengingkarinya dengan hati.

C.   Amar makruf nahi mungkar, mana yang didahulukan ?

Dalam Al-Qur’an dan hadits, amar makruf nahi mungkar sering disebut secara beriringan, di mana hal itu mengisyaratkan agar keduanya sama-sama ditegakkan. Tetapi terkadang penyebutan nahi mungkar juga disebut secara tersendiri di beberapa tempat, seperti dalam firman Allah swt kepada bani Israil dalam surat Al-Maidah ayat 78-78:
Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

Penegakan nahi mungkar secara khusus juga tersebut dalam hadits Rasulullah:
Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan itulah derajat iman yang paling lemah. (HR. Muslim)

Variasi dalam penyebutan amar makruf nahi mungkar ini menunjukkan bahwa masing-masing merupakan ketentuan yang berlaku dalam keadaan dan kondisi tertentu, yang ditegakkan sesuai kondisi. Keduanya terkadang dilakukan secara bersamaan dan kadang ditegakkan secara terpisah. Standar yang menjadi ukuran mana yang harus dilakukan terlebih dahulu di antara amar makruf atau nahi mungkar adalah tergantung  pada keberadaan salah satu unsur tersebut di dalam masyarakat. Bila sebuah kemungkaran eksis dalam sebuah masyarakat seperti di Mekkah sebelum masa-masa hijrah atau seperti di beberapa bagian masyarakat Islam modern maka amar makrif mengambil perannya dalam rangka mengubah kondisi masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila kebaikan mendominasi dalam suatu wilayah masyarakat maka nahi mungkar mengambil perannya untuk menyikapi permasalahan yang muncul di dalamnya, seperti yang terjadi ketika kaum muslimin sudah hijrah menuju Madinah di mana masyarakat muslim yang madani benar-benar tercermin di dalamnya, atau di tengah masyarakat yang menerima syariat Islam sebagai asas hukum yang diberlakukan.

D.   Karakteristik amar makruf

Karakter dari amar makruf adalah disampaikan dengan penuh hikmah, kecintaan, kasih saying, kebaikan, serta selalu melihat dan menumbuhkembangkan sisi positif dari keperibadian seseorang. Tidak kalah penting dari hal-hal di atas adalah adanya qudwah hasanahatau public figureyang menjadi percontohan dalam bertindak. Sebab, amar makruf tidak akan terwujud kecuali dilakukan oleh orang yang berperilaku baik pula, di mana kebaikan orang tersebut terlihat dengan jelas di mata masyarakat dan orang-orang  sekelilingnya. Oleh karena itu, dakwah secara suluk dan perilaku lebih didahulukan dari dakwah secara lisan.

E.    Karakteristik nahi mungkar

Nahi mungkkar dilakukan dengan perlawanan, supremasi, dan spirit menentang segala bentuk keburukan. Nahi mungkar harus mempunyai daya paksa dan pengaruh yang kuat, karena kemungkaran mengandung unsur kebodohan, ucapan yang tercela, perilaku bejat, moral yang rendah serta menerjang segala bentuk tradisi kebaikan. Dari sini kita tahu bahwa nahi mungkar lebih berat dan lebih bahaya daripada amar makruf.

F.    Proses perubahan yang terjadi dalam amar makruf

Amar makruf diawali dengan semangat cinta dan kasih saying, tanpa tendensi kebencian atau balas dendam, tidak pula dengan perlawanan atau keras kepala. Kata-kata yang diucapkan hedaklah merupakan hal logis dan mempunyai landasan yang kuat. Oleh karena itu, untuk memulai perubahan dalam sebuah tatanan masyarakat harus diawali dengan beberapa langkah berikut ini.

1.    Tahap pertama

Ketika sebuah ucapan atau perilaku kebaikan disampaikan kepada masyarakat yang penuh dengan kemungkaran maka ucapan atau perilaku itu pada mulanya akan memancing respon negative berupa hinaan atau celaan, dan memang seperti inilah tahapan awalnya, karena mata batin, hati, pendengaran, dan rasa pelaku kemungkaran belum terbiasa dengan nuansa santun dan kebaikan dari ucapan atau perilaku kita. Untuk itu, tidak heran jika mereka hanya bisa mencela dan menghina, sebagai timbal balik dari kebiasaan yang bertentangan dengan kondisi mereka. Fenomena ini merupakan hal wajar bagi sebuah tatanan yang baru. Hal itu juga dialami oleh Rasulullah ketika mendirikan shalat di tengah masyarakat jahiliyah. Respons orang-orang Mekkah waktu itu juga meremehkan dan mencelanya.

2.    Tahap kedua

Ketika kebaikan itu disampaikan secara berlanjut dan terus menerus maka tahap keduapun akan dimulai, yaitu adanya ketidakrelaan dan rasa kesal di dada disertai diskusi dan perdebatan. Dari sinilah dimulai tahap membela kebenaran, selalu menjaganya, tanpa bosan menanam benih kebaikan, serta merawatnya secara militant. Hal itu dilakukan hngga nilai-nilai kebaikan itu dirasa terbiasa oleh orang-orang pelaku kemungkaran.

3.    Tahap ketiga

Ketika para pembela kebenaran tanpa hentinya memperjuangan kebenaran, meletakkan fondasi-fondasinya, mengencangkannya, menetapkan symbol-simbol kebaikan, menampakkan kebaikan-kebaikannya dan mereka sabar dengan hal itu, tabah akan cobaan dalam menegakkan kebaikan, dan memperbaiki tata cara menampilkannya maka kondisi akan berbalik; dari seruan kebaikan menjadi penolakan dan sikap acuh.

4.    Tahap keempat

Ketika ucapan dan perbuatan makruf terus menerus diserukan maka akan terjadi proses rekonsiliasi dan pembiasaan, hingga kebaikan tersebut benar-benar menjadi asas dalam masyarakat dan kokoh di dalamnya. Dengan kerja yang konsisten maka kebaikan akan beralih ke tahap penerimaan dan keridhaan.

5.    Tahap kelima

Tahap selanjutnya adalah lahirnya ruh keimanan, semangat, kemenangan, dan penguatan.

Tahapan-tahapan seperti di atas merupakan tahapan yang wajar dan logis ketika hendak menanamkan nilai kebaikan ke dalam jiwa masyarakat. Adanya peralihan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya merupakan sesuatu yang positif bagi dakwah. Perlu diperhatikan bahwa perubahan itu tidak bisa serta merta terwujud secara cepat, tidak pula bisa dicapai dalam satu langkah saja. Sukses atau tidaknya amar makruf tidak bisa dinilai dari adanya perubahan spektakuler atau tidak. Oleh karena itu, fathu Mekkah dan masuknya penduduk Mekkah ke dalam agama Islam secara berbondong-bondong tidak terwujud dalam satu tahapan saja, akan tetapi melewati beberapa fase yang berkesinambungan, dimulai dari awal pengutusan Nabi Muhammad. 

Adapun proses kemungkaran adalah kebalikan dari proses amar makruf di atas. Pelaku kemungkaran sudah puas dengan sedikit perubahan yang terus bertahap, sebelum akhirnya kemungkaran itu mengakar di benak manusia.

G.   Proses mencegah kemungkaran

Ketika kemungkaran sudah merebak dalam masyarakat maka kita harus waspada dengan hal-hal berikut ini.
1.    Terpatrinya kemungkaran dalam masyarakat dan adanya institusi-institusi yang memegang kendali untuk menjaga serta membela kemungkaran yang terorganisir tersebut.
2.    Rusaknya nilai-nilai moral, perasaan, tradisi dan adat istiadat.
3.    Pelaku kemungkaran akan tampil layaknya pelaku kebenaran yang mempunyai otoritas dalam peraturan dan undang-undang. Sebaliknya, orang yang mencegah kemungkaran justru akan terlihat ganjil dan dipandang keluar dari norma aturan yang ada.

Memakai kekuatan dalam menghadapi kemungkaran sosial hanya bunuh diri saja dan membuang-buang tenaga. Sebab masyarakat seperti itu akan menggunakan seluruh sumber kekuatan dan institusi-institusi yang menaunginya guna melawan pencegah kemungkaran, merusak citra dirinya, menghancurkannya, dan akan dianggap sebagai tindakan makar hingga harus ditindak tegas. Oleh karena itu, pencegahan kemungkaran dengan kekuatan hanya dilakukan dalam dua kondisi, yaitu (1) dilakukan oleh pemerintah muslim atau amir muslim, dan (2) dilakukan oleh individu muslim di dalam masyarakat islami dalam sejumlah kasus. Dalam hal ini, seorang muslim berhak untuk memecahkan botol khamar dan membuangnya atau membunuh seekor babi jika khamar atau babi tersebut dikonsumsi atau berada di tangan seorang muslim. Tapi ia tetap tidak berhak membunuh pelaku kemungkaran. Hendaklah urusan perkaranya diserahkan kepada pemerintah.

H.   Bagaimana cara mengingkari kemungkaran dalam masyarakat kita ?

Ketika kita tidak punya banyak ruang untuk mengubah kemungkaran dengan tangan, tidak lantas berarti hal itu meninggalkan kewajiban nahi mungkar. Sebab, kita bisa menegakkannya dengan lisan. Pun kalau tidak memungkinkan maka kita menegakkannya dengan hati, sekalipun hal itu merupakan tanda keimanan yang paling lemah.

1.    Mengubah kemungkaran dengan lisan

Mengubah kemungkaran dengan lisan mempunyai beberapa syarat dan standar, sebagai berikut:
a.    Mengubah kemungkaran dengan lisan dilakukan secara bertahap. Kita memulainya dengan menggunakan kata-kata dan ungkapan yang diharapkan bisa membawa hasil baik. Dimulai dengan kata-kata yang lembuh dan penuh ekspresi cinta, menggunakan redaksi yang umum, dan tanpa menyebut nama pelaku kemungkaran, sebagaimana yang dicontohkan oleh sunah nabi sekaligus lebih efektif. Kemungkaran yang bisa diatasi dengan ucapan yang lembut dan sederhana tidak perlu dilakukan dengan keras dan kasar. Bisa jagi mengingkari sesuatu dengan sembunyi-sembunyi terkadang lebih efektif ketimbang secara terang-terangan.
b.    Pelaku nahi mungkar dengan lisan harus menghindari penyebutan nama dan identitas orang-orang atau adegan tertentu, karena bisa terkena delik hukum.
c.    Ada sejumlah praktek kemungkaran yang oleh masyarakat juga ditentang dan dihindari. Nahi mungkar terhadap perilaku-perilaku tersebut akan diterima oleh masyarakat, seperti zina, khamar, sabu-sabu, atau ikhtilath. Bila kita angkat suara terhadap hal-hal seperti ini maka kita akan mendapat banyak pendukung, yaitu masyarakat yang memang benci dan mengharap agar kemungkaran seperti itu dihilangkan.
d.    Kalau seorang dai bisa mengumpulkan data statistic, keterangan-keterangan, laporan atau berita yang berkaitan dengan kemungkaran yang akan ditentang maka ia akan memperoleh alasan penguat dalam memerangi kemungkaran-kemungkaran yang ada.
e.    Benar-benar menyaring informasi dan memastikan orisinalitasnya merupakan dasar utama untuk merealisasikan target. Sedangkan bohong dan sikap hiperbolis akan membuat seorang dai kehilangan martabat dan kejujuran dalam dakwahnya.

2.    Mengubah kemungkaran dengan hati

Dalam hadits, mengingkari sebuah kemungkaran dengan hati masih masuk dalam penilaian. Tapi apabila dengan hati saja tidak ada pengingkaran terhadap hal yang mungkar maka tidak ada keimanan sedikitpun pada diri seseorang. Sebab, pengingkaran dalam hati merupakan kaidah dasar yang melandasi pengingkaran kemungkaran dengan lisan atau tangan. Siapa saja yang mengingkari kemungkaran dengan tangan maka sudah pasti dalam hati juga mengingkarinya, dan barangsiapa mengingkari kemungkaran dengan lisannya sudah pasti dalam hati juga mengingkarinya. Mengingkari sesuatu dengan hati maksudnya adalah merasa kesal dengan pelaku kemungkaran, ada perasaan benci dan merasa jijik terhadapnya. Barang siapa membenci sesuatu dan hatinya selalu ingkar terhadap hal itu maka sudah semestinya kebencian yang ia rasakan berubah menjadi amalan nyata yang positif, yang berekspresikan melalui ungkapan kata-kata, gerakan dan bahkan dalam diam. Karena perasaan dan naluri yang peka merupakan sumber dari gerakan dan perilaku seseorang. Mengingkari kemungkaran dengan hati merupakan tingkatan yang umum dimiliki setiap orang dan selalu dirasakan oleh muslim di setiap tempat dan waktu. Wujud dari pengingkaran itu adalah tidak adanya kerelaan dan adanya rasa benci serta murka atas pelaku kemungkaran dan perbuatan mungkar itu sendiri. Adapun tingkatan paling rendah dalam hal ini adalah mengasingkan diri dari kemungkaran dan menjauh darinya.

I.     Fokus dalam berusaha


Ucapan dan perbuatan yang paling baik adalah yang ditujukan untuk mengokohkan tingkatan makruf paling tinggi, yaitu berhuku dengan syariat Allah dan menegakkan bendera agama-Nya. Itulah yang seharusnya menjadi fokus utama setiap muslim siang dan malam. Bila usaha yang dilakukan benar-benar fokus maka buahnya akan dapat dirasakan, dan itu akan menjadi pelindung paling efektif untuk amar makruf nahi mungkar.

No comments:

Post a Comment