Saturday, September 1, 2018

Kaidah ke-21: Amal ‘Am adalah Asas Amal Khas

Allah mengutus Nabi Muhammad kepada seluruh umat manusia. Untuk itu, setiap umat menjadi objek bagi dakwah. Allah kemudian melimpahkan amanah tabligh ini kepada para dai. Merekalah yang mewarisi tugas para rasul dan nabi.

Berangkat dari hal ini, seorang dai harus aktif di tengah masyarakat, karena merekalah orang-orang yang akan dijadikan sasaran dakwah. Sejauh kita menjalin hubungan dengan mereka, sejauh itu pula fondasi dakwah kita akan tertanam secara kuat. Dari dakwah itu pula akan terwujud capaian-capaian secara materi atau immateri.

Para musuh Islam sudah lama mengetahui akan bahayanya dakwah yang selalu berinteraksi dengan khalayak masyarakat. Mereka juga menyadari peran masyarakat dalam menolong dan mengokohkan dakwah. Untuk itu, musuh-musuh Islam selalu menghembuskan isu dan fitnah di tengah masyarakat dengan tuduhan-tuduhan keji terhadap dakwah. Mereka memasang label teroris atau ekstremis kepada para dai. Tujuan mereka hanyalah untuk menjelek-jelekkan dai di mata manusia. Semua ini mereka lakukan agar para aktivitis dakwah terkesan seolah kelompok tersendiri yang menyimpang dari masyarakat. Dengan opini ini, antara dai dan umat menjadi terpisah; antara suka citanya tidak lagi saling mengerti dan memahami.

A.   Reaksi

Bisa jadi, saat tekanan dakwah terasa begitu berat, seorang dai akan memandang masyarakatnya dengan pandangan yang meremehkan posisi dan pengaruh mereka terhadap suatu kasus yang sedang terjadi. Terkadang sebagian dai malah menggunakan kata-kata yang mewakili prasangka negative mereka, seperti mengatakan mereka sebagai rakyat jelata, rakyat pinggiran, atau masyarakat yang termarginalkan. Sesungguhnya, hasil dari kata-kata miring tersebut sangat merugikan dakwah dan dai itu sendiri, dan keberuntungan justru beralih kepada para musuh Islam dan dakwah, yaitu orang-orang kafir atau sekte-sekte menyimpang yang selalu ingin menghancurkan fondasi-fondasi Islam.

B.   Respon yang seharusnya

Seharusnya pada dai sadar bahwa dirinya bukan makhluk yang datang dari planet lain. Mereka tidak terlahir langsung menjadi dai. Mereka merupakan bagian dari khalayak masyarakat. Bisa jadi, para dai sebelum mengawali dakwahnya juga pernah dicap dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan, hingga kemudian mereka berubah dan dianugerahi kematangan ilmu yang dapat mendekatkan diri mereka dengan masyarakat, bukannya malah merasa lebih istimewa dari masyarakat, karena Allah swt berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 94, “Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu.” Ketika para dai sadar bahwa dulu pun sebelum dianugerahi ilmu oleh Allah dan menjadi dai mereka juga menjadi masyarakat awan, kenyataan ini hendaklah menyadarkan mereka bahwa masyarakat adalah bagian dari dakwah itu sendiri. Kebaikan itu tidak akan pernah putus dan berhenti kepada siapa saja, termasuk masyarakat dengan segala tipenya.

Sedangkan ungkapan-ungkapan yang mengeneralisir dan menghakimi sebuah daerah, kota, atau keluarga tertentu dengan hal-hal yang jelek dan tercela maka hal itu merupakan kerusakan dan keburukan bagi diri dai sendiri. Tidaklah harus dikatakan bahwa penduduk kota ini semuanya rusah, atau golongan ini tidak ada kebaikan sama sekali. Ungkapan seperti inilah yang akhirnya mengacaukan masyarakat, sampai-sampai kita tidak menemukan seseorang kecuali pasti menjelek-jelekkan penduduk atau lingkungan suatu desa dan kota tadi. Penyikapan seperti ini atau menggeneralisir suatu golongan sangat mungkin dilakukan oleh siapa saja, entah seseorang itu belum mengenal dakwah atau sesudah mengenalnya.

C.   Orang Paling Celaka

Rasulullah mengajari kita bagaimana membuka dan mengetuk hari seorang hamba, jauh dari justifikasi miring atau ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati. Untuk menghindari semua itu, beliau bersabda:
Bila ada seseorang berkata, “Celakalah manusia,” maka dialah yang paling mendapatkan kecelakaan. (HR. Muslim)
Abu Ishaq sebagai salah seorang rawi mengomentarinya dengan, “Aku tidak tahu apakah ahlakahum (maka benar-benar celakalah mereka), atau ahlakuhum (dialah yang paling mendapatkan kecelakaan).” Abu Nuaim juga meriwayatkannya dalam Hilyatul Auliya’ yang disebutkan, “Maka dialah yang celaka.” Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Jika mendengar seseorang berkata, ‘Celakalah manusia’, maka dialah yang akan celaka, dan Allah berkata, “Sesungguhnya dialah yang celaka,”

Entah hadits ini maksudnya adalah orang yang berkata tadi merupakan penyebab atas kecelakaan yang menimpa manusia karena ia tidak menjalankan tanggung jawabnya untuk menasihati masyarakat, memperhatikan mereka, membiarkan saja kebodohan dan kejahatan mereka, atau entah bahwa orang yang berkata tadilah yang paling mendapat kecelakaan dari lainnya; apapun itu, hadits tadi mengisyaratkan perihal kehancuran dan kelemahannya sendiri.

D.   Dakwah di jalan Allah adalah kemaslahatan manusia

Di saat muncul beragam seruan dan ide pemikiran di tengah masyarakat, dimana semuanya berlomba untuk merebut hati masyarakat, ketahuilah bahwa hanya seruan kepada Allah saja yang benar-benar untuk kebaikan masyarakat. Dakwah Islam tidak ingin menjadikan masyarakat laksana sapi perah untuk kepentingan individu, golongan, atau kelompok tertentu. Dakwah kepada Allah sajalah yang akan memberikan derajat tertinggi kemanusiaan dan tingkatan paling mulia kepada siapa saja yang beriman kepada Allah sebagai Tuhannya, mengakui Islam sebagai agamanya dan sebagai jalan hidupnya, terlepas dari warna kulitnya, suku, atau bahasanya. Seharusnya pada dai mendekatkan hatinya untuk mencintai para mad’u hingga cinta itu benar-benar bersemayam di lubuk hati paling dalam. Naluri dan rasa itu akhirnya berubah menjadi cerminan dalam perilakunya yang terwujud dengan cinta dan kasih sayang, sehingga pada akhirnya masyarakat pun tahu akan karakteristiknya yang penuh dengan cinta damai terhadap manusia, totalitas dalam mengabdi untuk masyarakatnya, selalu terjaga demi mewaspadai rongrongan pemahaman sesat dan praktik-praktik yang menyimpang. Mari kita perhatikan bagaimana sikap Rasulullah ketika memasuki Mekkah setelah lama eksodus darinya. Lihatlah bagaimana Rasulullah mengembangkan sayap perlindungannya justru kepada mereka yang mengusirnya, yang menganiaya sahabat-sahabatnya, yang membunuh mereka dan membunuh orang yang paling dia cintai, Hamzah r.a. Tidaklah keluar dari ucapan beliau kecuali, “Pergilah, kalian semua aku bebaskan.”

E.    Kekecewaan di masa lalu

Seorang dai tidak boleh berbaur di tengah masyarakat dengan masih mengungkit-ungkit kekecewaannya. Hal demikian harus dijauhi, karena kebanyakan manusia yang menyimpan kekecewaan tersebut dalam alam fikir dan hatinya justru akan memalingkan manusia dari dirinya. Sampai-sampai perasaan kecewa ini mengkristal dalam kenangan buruk yang terwarisi oleh beberapa generasi. Dampaknya adalah, ketika ada orang yang berlaku sombong ia pun meresponnya dengan kesombongan. Ketika ada orang yang berlaku buruk, ia pun meladeninya dengan keburukan serupa. Hal itu terjadi karena pribadi mereka tumbuh jauh dari nilai Islam. Jiwa dan alam fikir mereka tidak mencerminkan kedamaian yang diajarkan oleh agamanya. Yang ada adalah semangat fanatic terhadap golongan dan kesukuan ketika berinteraksi dengan masyarakat. Jadilah seorang individu beradaptasi dengan lingkungan dengan tata cara yang tidak islami. Satu hal yang penting bagi seorang dai adalah bagaimana membawa para mad’u jauh dari kenangan-kenangan buruk di masa lalu. Tak jarang seorang dai mendapatkan perlawanan dari orang yang paling ia cintai karena tidak memperhatikan kemungkinan adanya rasa iri dengki yang muncul dari orang tersebut. Dalam hal ini hendaklah ia bersabar terhadap perlawanan-perlawanan seperti ini.

F.    Menyusun langkah efektif

Langkah yang efektif di tengah masyarakat tidak akan terlepas dari dua unsur utama, yaitu pengetahuan dan perilaku. Peluang dan sumber sebuah ilmu pengetahuan sangat banyak, begitu pula medan serta tempat perilaku seseorang. Dibutuhkan sebuah perencanaan matang dan agenda-agenda yang tersusun rapi agar seorang dai bisa mencapai hasil yang positif.

1.    Ilmu dan Pengetahuan tentang Mad’u

Ilmu lebih didahulukan sebelum amal, karena ia merupakan pelita yang menerangi dan membuka medan amal dan perjuangan. Ilmu atau pengetahuan yang dimaksud di sini bisa distandarisasikan sebagai berikut:

a.    Mengumpulkan informasi

Syarat pertama yang harus dilakukan seorang dai adalah tahu segala hal yang berhubungan dengan masyarakatnya, entah masyarakatnya merupakan komunitas kecil seperti institusi dan daerah tertentu, entah komunitas besar, seperti negara atau benua. Pengetahuan akan hal ini bisa dicapai dengan banyak mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan komunitas tadi. Sedangkan rambu-rambu utama dalam mengumpulkan informasi adalah waspada serta hati-hati, sehingga maksud yang ingin dicapai oleh seseorang dai tadi tidak berubah menjadi mengumbar aurat atau aib masyarakatnya, tetapi untuk mengenali karakteristik maskuarakat, corak pemikiran, atau golongan-golongan yang ada di dalamnya serta seberapa jauh parameter atau jarak mereka terhadap dakwah.
Syarat kedua adalah menjadi objektivitas informasi atau detil berita yang ia kumpulkan, karena sikap yang berlebihan dalam menilai sebuah objek bisa menimbulkan justifikasi yang kurang berimbang dan tidak objektif sebagai dampak kesalahan dalam mengukur keabsahan informasi tadi. Tak jarang seorang dai menempatkan salah satu mad’unya dalam kategori musuh dakwah lantaran beberapa tindak-tanduk yang kurang berkenan bagi dai. Dengan cara pandangn seperti ini, dimana ia mengaitkan perilaku yang kurang berkenan lalu menvonis maka jadilah prasangka buruk dan generalisasinya menyebabkan semakin bertambahnya musuh-musuh dakwah. Yang harus disadari adalah, tidak semua perilaku yang mencurigakan atau tindak tanduk yang parsial menunjukkan keterkaitan seseorang dengan sebuh pemikiran atau manhaj yang membahayakan. Tidak semua orang yang berbicara dengan Bahasa Arab merupakan orang asli Arab. Demikian halnya, tidak semua orang yang berbicara tentang kapitalisme merupakan orang kapitalis.

Syarat ketiga adalah memperhatikan metode dalam mentransfer sebuah informasi. Jangan mengambil informasi kecuali dari orang-orang yang jujur dan tepat dalam menyebarkan berita. Perlu diperhatikan juga bahwa sebagian orang yang jujur terkadang tidak detil dalam memindahkan suatu berita disebabkan orang-orang yang meneruskan berita darinya atau menambah-nambahi dari yang sudah ada. Kalau saja kita mengabaikan metode sederhana dalam mentransfer sebuah informasi ini maka justifikasi dan penilaian yanga ada melampaui batas dan jauh dari prinsip objektif.

Syarat keempat, me-review ulang informasi yang didapat dari pihak yang dianggak musuh-musuh pemikiran, agar terlepas dari pengaruh yang membuatnya berlebihan dalam menghukumi sesuatu atau berprasangka buruk dengan keadaan. Demikian juga agar ia memerhatikan para pengusung paham dari beberapa mazhab tentang apa saja yang terjadi dalam perubahannya, entah negatif atau positif.

b.    Observasi

Dalam mencari pengetahuan jangan sampai kita berhenti pada tataran aliran, mazhab, atau kegiatan masyarakat saja. Tapi lebih dari itu, kita juga harus mengenal setiap individu dari masyarakat tersebut, mengenal kebutuhan mereka, apa yang membuat mereka bahagia dan apa yang membuat mereka dalam kesedihan. Kita pun harus tahu apa saja yang telah menimpa mad’u, entah musibah atau nikmat, dan anugerah apa saja yang pernah ia dapatkan.

Jika salah seorang mad’u mendapat karunia seorang anak maka hendaklah dai tersebut yang pertama kali memberi ucapan selamat serta syukur atas kelahiran buah hati. Jika salah seorang di antara mereka mempunyai anak yang sukses di sekolah atau kuliah, ia pun harus menjadi orang yang pertama mengungkapkan kebahagiaan itu dan memberi semangat. Seorang dai harus merasa bahwa mad’u adalah saudara dekatnya. Demikian halnya, bila kegundahan melanda mad’u, seperti kehilangan seseorang yang sangat dia cintai, mendapat cobaan sakit atau tertimpa musibah hendaklah seorang dai menjadi orang yang pertama kali menghiburnya, mengulurkan tangan, serta membuka pintu hati keceriaan.

Melihat betapa luasnya objek yang harus diketahui oleh seorang dai, mungkin terlintas dalam benaknya betapa sulit dan berat beban yang harus ia pikul untuk memenuhi hal di atas. Akan tetapi, kesulitan ini akan sirna dengan sendirinya ketika kita membagi atau mengklasifikasikan masyarakat menjadi komunitas daerah tersendiri, atau secara institusi, kemudian setiap dai yang ditempatkan mempunyai karakteristik dan spesialisasi tersendiri berkaitan dengan kondisi yang ia tempati. Dengan demikian, informasi dan pengetahuan perihal mad’u bisa diatasi.

c.    Klasifikasi

Tahapan ini dilakukan setelah adanya pengumpulan informasi. Setelah itu, dai mulai mengklasifikasikan setiap individu dari masyarakatnya ke beberapa kategori.

Golongan pertama adalah para penolong, pembela, kerabat dekat, garis keturunan dan orang-orang yang mencintai dakwah. Mereka bisa merasakan kebahagiaan Bersama dakwah. Mereka tidak segan-segan untuk membantunya secara materi atau immateri ketika seorang dai membutuhkan sesuatu untuk kelancaran kepentingan dakwah.

Golongan kedua adalah musuh pemikiran. Mereka membawa faham pemikiran yang berlawanan dengan Islam. Mereka berusaha untuk menyebarkannya serta menganggap para dai sebagai rintangan orang yang menghalangi jalan mereka. Dalam hal ini kecerdasan seseorang dai dituntut bagaimana mengeluarkan kemampuannya untuk meredam mereka sebagai pengusung faham yang berlawanan. Perlu menyesuaikan langkah dan cara bagaimana mereka melakukan perlawanan dan bagaimana mengambil simpati masyarakat.

Golongan ketiga adalah orang-orang netral yang tidak mendukung kelompok manapun. Seorang dai hendaklah menempatkan golongan seperti ini sebagai kelompok penolong, karena keberadaan mereka tidak membawa corak pemahaman baru seperti golongan kedua, tidak pula mengadopsi sekte yang melakukan perlawanan kepada Islam dan kaum muslimin.

2.    Prinsip Umum dalam Berperilaku dan Berinteraksi dengan Masyarakat

Prinsip umum dalam berperilaku dan berinteraksi dengan masyarakat adalah sebagai berikut.

a.    Konsisten terhadap informasi

Informasi yang sudah didapat oleh seorang dai hendaklah dijadikan parameter dalam berinteraksi dengan masyarakat. Jangan menjadikannya komoditas umum atau dengan tujuan agar dia tersohor. Dai yang mempunyai integritas menjaga informasi (entah aib atau prestasi seseorang) untuk dirinya sendiri tanpa harus disebarkan ke khalayak ramai, ia selalu berusaha untuk menyembunyikan apa saja yang ia ketahui di dalam dadanya, tanpa harus menyebarkan dengan lisannya atau ekspresi-ekspresi ketidaksukaan dari wajahnya. Dengan hal itu, ia juga turut berperan dalam menjaga sifat malu masyarakatnya. Ia pun hidup di tengah masyarakat tanpa merasa terdiskrimisasikan dan terasingkan dari mereka.

b.    Seni interaksi

Agar seorang dai bisa bergerak di tengah masyarakatnya dengan luwes maka ia harus tahu bagaimana menggunakan seni dalam interaksinya. Ia harus tahu bagaimana berbasa-basi dan menghibur masyarakat. Seni seperti ini merupakan sunah yang terpuji dan dicontohkan oleh Rasulullah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa suatu ketika seorang laki-laki meminta izin kepada Rasulullah maka Rasul pun bersabda, “Izinkanlah dia, alangkah jeleknya anak keturunan suku ini,” atau beliau bersabda, “Betapa buruknya saudara suku ini.” Tetapi ketika lelaki itu masuk ke dalam, Rasulullah memperpelan ucapannya. Sayyidah Aisyah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah mengucapkan apa yang engkau ucapkan. Tapi sekarang engkau pelankan ucapanmu tentangnya.” Rasulullah kemudian menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang paling jelek di sisi Allah adalah seseorang yang ditinggalkan masyarakatnya karena menghindari keburukannya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya dia adalah orang yang munafik. Aku berbasa-basi atas kemunafikannya. Aku takut orang lain yang sepertinya akan menggangguku.”

Dari hadits di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa Nabi Muhammad tahu akan pribadi lelaki itu, sehingga beliau mencela dan menyebutkan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi, saat lelaki itu masuk, beliau melirihkan suaranya dan sekedar mendesis saja. Beliau tidak mencela secara frontal dan terang-terangan karena tahu bahwa sikap seperti itu justru merupakan keburukan tersendiri, yang hanya menghasilkan permusuhan, pemutusan silaturahmi, dan memicu api dalam sekam.

Mari kita perhatikan ungkapan seorang sahabat agung Abu DArda r.a. ketika berkata, “Ada saatnya kita tertawa riang di hadapan suatu kaum, tapi sebenarnya kita mengutuk mereka.” (HR. Bukhari)

Para ulama yang agung memahami hal seperti ini sebagai salah satu prinsip dan seni berinteraksi. Untuk itu, Ali bin Khalaf bin Bathal, salah seorang pensyarah Shahih Bukhari (w. 449 H) berkata, Al-Mudarah(adalah istilah lain untuk berbasa-basi, yaitu salah satu seni dalam berinteraksi di mana seseorang dimungkinkan untuk menunjukkan sikap yang baik, tapi dalam hati sebenarnya mengingkarinya) merupakan salah satu akhlak kaum muslimin. Ia merupakan bentangan sayap kasih sayang bagi manusia, lembut dalam perkataan, serta menghindari ungkapan buruk, dan yang demikian merupakan salah satu faktor dalam menjinakkan sesuatu.”

Mungkin terbersit dalam diri kita bahwa sikap basa-basi (al-mudarah) merupakan bagian dari sikap al-mudahanah(adalah menampakkan sesuatu tetapi menyimpan sesuatu yang lain yang sebenarnya berlawanan dengan apa yang ia tampakkan – kemunafikan) atau kemunafikan, dan oleh karena itu banyak ulama menolak penyikapan seperti tadi. Mareka memakai prinsip tegas dan apa adanya dalam mengungkapkan kebenaran serta kebatilan. Mereka memahami ini sebagai melantangkan kebenaran di hadapan pemimpin yang lalim (kalimatu haqqin ‘inda sulthanin ja’ir). Tapi sikap seperti ini sebenarnya bukan pada tempatnya. Imam Ibnu Hajar ketika mensyarah Shahih Bukhari berkata, menukil Qadi Iyadh ketika mengomentari hadits di atas bahwa perbedaan antara mudarahdenganmudahanahadalah mudarahberarti mengupayakan dunia untuk kemaslahatan dunia, agama atau kedua-duanya secara bersamaan. Hal itu diperbolehkan, atau bahkan dianjurkan. Sedangkan mudahanah adalah mengabaikan agama demi mengejar kemaslahatan dunia. Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah mengupayakan dunianya dengan kata-kata baik dan ungkapan yang diterima oleh manusia, akan tetapi beliau tidak lantas memujinya dengan kata-kata. Perkataan beliau juga tidak bertentangan dengan perilakunya, karena apa yang ia nyatakan adalah ucapan kebenaran, sedangkan perilakunya adalah kebaikan dalam bermu’amalah. Dengan penjelasan ini jelaslah apa yang dimaksud dengan hadits diatas, alhamdullah. 

Singkat kata, mudahanan adalah berinteraksi dengan orang yang fasiq dan menunjukkan keridhaan atas apa yang dilakukannya serta menganggap baik jalan yang ia tempuh tanpa mengingkarinya sama sekali. Dengan begitu, berarti ia telah mengganti agamanya untuk kepentingan dunia dengan penuh kerelaan. Adapun dai yang mengupayakan sesuatu dari dunianya untuk seseorang maka hal ini merupakan hal terpuji. Kita hendaklah bersikap dermawan dalam urusan dunia, tapi terhadap agama, jangan sampai kita berkompromi terhadapnya. Jadi, kita diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk menghormati seseorang yang tidak kita ridhai agama dan keyakinannya, demi menundukkan hati orang tersebut. Inilah ungkapan yang dimaksud oleh Qadhy Iyadh ketika mengatakan bahwa mudarah adalah mengupayakan dunia demi kemaslahatan dunia, agama, atau kedua-duanya. 

Oleh karena itu, sangat penting bagi dai untuk memahami hal ini. Dengan mempraktekkannya, seorang dai bisa menarik hati manusia secara paksa tapi tanpa menyakiti hatinya. Kekecewaan dan sakit hati seseorang tidak pernah memberikan apa-apa kecuali merugikan. Sedangkan naluri yang tersakiti tidak bisa dipaksakan dengan sesuatu kecuali melewati pengorbanan, dan ikatan jiwa jika sudah terputus tidak akan bisa tersambung lagi keculi dengan usaha yang keras.

c.    Menebarkan salam

Menebarkan salam merupakan sarana utama sekaligus yang paling afdal dalam mewujudkan silaturahmi antara dai dan masyarakatnya. Dengan ucapan salam inilah seorang dai memasuki relung hati masyarakat melewati kata-kata berpayung, cinta, janji manis dan keikhlasan. Allah telah menghendaki perantara dan sarana yang mendekatkan antar masyarakat sebagai bentuk ibadah yang darinya bisa mendekatkan diri kepada Allah, kemudian di menjadikan perantara ini sebagai bagian dari cabang-cabang keimanan dan ciri-cirinya. Marilah kita mendengar sabda Rasulullah ketika seorang laki-laki bertanya kepadanya, “Islam bagimanakah yang baik?”. Rasulpun menjawa, “Engkau memberikan makanan dan menebarkan salam kepada orang engkau kenal atau tidak kau kenal” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini merupakan nash yang mejelaskan pentingnya mengucapkan salam serta usaha harus diupayakan kaum muslim. Ketika mensyarahi hadits ini Imam berkata, “Bedasar hadits ini kita dianjurkan untuk mengucapkan salam kepada orang yang kita kenal atau orang yang tidak kita kenal; ikhlas kepada Allah dalam beramal serta tidak berpura-pura, tidak pula karena menjilat. Dengan salam itu terwujud pula perilaku rendah hati, serta dengannya syiar umat Islam bisa ditegakkan.” Ibnu Hajar (Fathul Bari, 56/1) juga berkata, “Janganlah mengkhususkan seseorang dengan salam, jangan pula mengucapkannya dengan sombong atau dibuat-buat. Tapi ucapkan salam karena memang ingin menegakkan syiar Islam serta menjaga ukhuwah kaum muslim.”

Ucapan salam juga merupakan hak yang harus ditunaikan oleh seorang muslim. Rasulullah bersabda, “Hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah 5 perkata, yaitu membalas salam, mendoakan yang bersin, memenuhi panggilan, menjenguk yang sakit, dan mengiringi jenazah” (HR. Muslim)

Selama ucapan salam juga merupakan syiar islam maka seorang dai hendaklah memberikan salam tersebut kepada semua orang, tanpa kebosanan dan tidak hentinya-hentinya. Dengan salam yang sering-sering diberikan sudah sewajarnya akan menghasilkan perkenalan dan mengeratkan hubungan. Dari ucapan-ucapan tadilah sesuatu berubah menjadi perilaku dana amalan Bersama.

Seorang dai mengira bahwa Islam tidak pantas dipeluk oleh sebagian orang karena perilaku atau sifatnya yang mungkin tercela. Tapi perlu diketahui bahwa prasangka seperti ini justru akan berdampak negative bagi dakwah, karena seakan ada pembagian kasta dalam Islam. Pun tidak secara langsung , hal tersebut mendidik generasi setelahnya untuk mengasingkan dan memisahkan diri dari masyarakat. Selain itu, dengan hal ini seorang dai pun tidak luput dari tuduhan sombong dan besar kepala. 

Janganlah seorang dai mengkhususkan salam hanya kepada orang-orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat. Hendaklah ia mengucapkan salam kepada rakyat jelata dan anak-anak atau balita. Bahkan, memberi salam kepada anak-anak atau balita bisa memberi pengaruh yang baik, dalam dirinya, karena anak-anak sejatinya tidak mempunyai hak dalam pujian atau penghormatan, sehingga ketika ada orang yang menghormati dan memuji mereka, orang itulah yang akan mendapatkan keuntungan, dan mereka pun akan berpihak kepadanya. Imam Muslim meriwayatkan dari Sayyar berkata, “Suatu hari aku berjalan Bersama Tsabit Al-Bunani dan kami melewati sekelompok anak-anak, iapun mengucapkan salam kepada mereka. Suatu ketika Anas Bersama Rasulullah juga melewati sekelompok anak-anak, beliaupun memberikan salam kepada mereka.”

Dai yang sukses tidak pernah lupa dengan tujuannya dalam menggapai hati manusia dari golongan atau kasta mana pun. Setiap hari ia merangkak dan mendekati target-targetnya, dan ketika manusia lupa akan tujuan besarnya serta lebih disibukkan dengan tujuan perseorangan dalam jangka pendek maka seorang dai tidak seperti itu. Ia akan selalu memutar otak, bekerja keras dalam perencanaan agar sampai pada tujuan-tujuan besarnya. Apabila seorang dai melihat anak kecil maka ia memandangnya sebagai seorang pemuda di masa depan; seorang pekerja yang miskin sebagai sosok penuh tanggung jawab yang besar. Yang sedikitakan menjadi banyak, yang kecil akan tumbuh besar, dan hasil maksimal hanya bagi mereka yang memulai, sabar, dan tekun.

d.    Adab terhadap masyarakat

Seorang dai sudah pasti akrab dan mengakrabkan sesama manusia. Hal itu terbentuk dari integritas diri serta cerminan tingkah laku dan pemikiran. Hal itu merupakan artikulasi dari luasnya wawasan dan jauhnya cara pandang. Semakin hari semakin erat anara dirinya dengan masyarakat. Orang pun berbondong-bondong menemuinya, karena mereka merasakan adanya perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Itulah kekuatan yang menyatakannya, bukan kekuatan yang membuat orang lain bertolak ke belakang. 

Keakraban ini hendaklah dimulai dari hati, disertai niat tulus dan meninggalkan kerasnya hati. Dari situ niscaya muncul kelemahlembutan dan rasa kasih sayang, dan inilah apa yang dititahkan Allah kepada Nabi Muhammad, sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya: 
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mreka dalam urusan itu.” (Ali Imran/159)

Fadhyang dimaksud adalah hati yang keras serta perilaku yang keji, sedangkan ghalidhadalah hati yang tidak bisa dipengaruhi oleh sesuatu. Bisa jadi seseorang tidak berperilaku buruk tidak pula menyakiti orang lain, tetapi hatinya tidak memberikan kasih sayang dan lemah lembut (Ar-Razi, Tafsir Al-Kabir, 64/9).

Seorang pedagang paham bahwa barang dagangannya akan laris bila ia mengerti kejiwaan para pembeli dan bersikap ramah serta lemah lembut kepada mereka. Begitu pula halnya dengan seorang dai yang menjajakan dagangan keimanan. Imam Ar-Razi berkata, “Maksud dari diutusnya rasul adalah menyampaikan semua yang dibebankan Allah kepada manusia. Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali ketika hati mereka tertarik dengannya dan jiwa mereka merasa tenang di hadapannya. Tujuan ini juga takkan tercapai kecuali bila ia berperilaku mulia dan penuh kecintaan, memaklumi kesalahan dan dosa mereka serta memaafkan perilaku buruh mereka, bermuamalah dengan berbagai macam kebaikan, kemuliaan, dan kasih sayang. Oleh karena itu, seorang rasul harus terlepas dari perilaku buruk, sebagaimana ia harus jauh dari sifat keras hati. Sebaliknya, ia harus banyak menolong orang-orang yang lemah, selalu membantu orang-orang fakir miskin dan selalu memaafkan perilaku buruk orang lain.”

Karena pentingnya sikap lemah lembut dalam agama Allah ini, ia pun dijadikan menjadi salah satu kewajiban. Qadhi Iyadh berkata, “Kelemahlembutan adalah salah satu kewajiban dalam agama, rukun dalam syariatnya serta aturan menyeluruh dalam Islam.” (An-Nawawi, Syarh Muslim, 11/2) Beberapa hal yang menyebabkan timbulnya rasa kasih sayang dan keakraban adalah sikap wara’ dan amanah. Oleh karena itu, ia menjadi pengair antara menebar slaam dan shalat malam ketika orang-orang tidur terpejam. Dari Abdullah bin Salam r.a. berkata, “Ketika Rasulullah pertama kali datang maka orang-orang pun berbondong menemuinya. Aku termasuk salah seorang yang berbondong menuju kepadanya. Ketika aku tahu wajahnya aku pun tahu bahwa wajahnya bukanlah seorang pembohong. Hal yang pertama kali aku dengar darinya adalah, “Tebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah silaturahmi kalian, dan sholat malamlah saat orang lain tidur terpejam, nisaya engkau akan masuk surge dengan kedamaian” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Shalat di malam hari menghubungkan seorang hamba dengan Penciptanya, sehingga Dia ridha kepadanya, dan ketika Allah ridha terhadap seorang hamba, hamba itu pun ridha kepada-Nya. Dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Ketika Allah mencintai seorang hamba, Jibril pun berseru bahwa Allah mencintai seseorang sehingga Allah menjadikannya dicintai oleh Jibril dan Jibril pun mencintainya. Jibril pun berseru kepada penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai seseorang maka cintailah ia.’ Para penduduk langit pun mencintainya, kemudia dia mendapat kerelaan di hati penduduk bumi” (HR. Bukhari). 

Sekalipun seorang dai mempunyai argumentasi yang kuat serta kecerdasan yang brilian, ia akan tetap lemah ketika dihadapkan dengan tidak adanya taufik serta ridha dari Allah.

Beberapa hal yang menyebabkan tumbuhnya rasa akrab dan kasih sayang terhadap masyarakat adalah tidak berlomba dalam urusan duniawi yang bersangkutan dengan mereka, atau berkomperisi dalam sebuah jabatan. Inilah zuhud yang mempunyai manfaat atau zuhud atas apa yang ada di mata manusia. Lebih dari itu, seorang dai akan mendahulukan orang lain sekalipun sebenarnya ia mempunyai kebutuhan yang sama. 

Hal yang perlu diketahui juga untuk mewujudkan sifat itu adalah berlaku baik. Sebab, seorang dai seharusnya selalu berfikir bagaimana membahagiakan masyarakat dan memberi kebaikan kepada mereka sekalipun dengan kata-kata baik. Jika saja seseorang mempunyai sifat dan perilaku seperti ini, niscaya ia akan dijauhkan dari sifat buruk dan celaka.

Sifat-sifat seperti itu akan muncul dalam diri seseorang apabila ia membiasakan diri untuk gemar bersedekah dengan makanan, di mana di dalamnya terdapat pengaruh yang signifikan terhadap jiwa seseorang. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits, “Berilah atau bersedekahlah dengan makanan.”. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a. berkata bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnay surge itu mempunyai ruangan-ruangan, dari dalam akan terlihat bagian luar, dan dari luar akan terlihat bagian dalamnya.” Abu Musa yang mendengar lantas bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Rasul pun menjawab, “Untuk orang-orang yang melembutkan ucapan, menyedekahkan makanan, serta bermalam dengan Allah menegakkan shalat saat orang lain tidur terpejam” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Ada salah seorang sahabat Nabi, yaitu Shuhaib ra yang sering menyedekahkan makanannya. Melihat hal itu sahabat Umar r.a. mengulangi sabda Nabi seraya berkata, “Sedangkan ucapanmu tentang sedekah makanan maka sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, ‘Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang menyedekahkan makanan dan menjawab salam’ (HR. Ahmad).

Rasa akrab akan muncul dengan saling memberi hadiah. Pemberian hadiah mempunyai daya pikat tersendiri di hati seseorang. Hadiah seperti ini juga merupakan bukti kecintaan seorang dai serta bentuk penghargaan kepada orang yang diberi. Ketika pemberian hadiah diperbolehkan kepada orang muslim, musyrik, bahkan mereka yang memerangi Islam maka hal tersebut lebih baik lagi diberikan antara orang-orang muslim sendiri. 

Disebutkan dalam sebuah riwayat yang shahih bahwa sahabat Umar r.a. melihat sebuah jubah dengan hiasan yang dijual di pasar. Ia pun berkata kepada Rasulullah, “Belilah ini dan pakailah di hari Jumat atau ketika suatu rombongan diutus kepadamu.” Tapi Rasul bersabda, “Sesungguhnya orang yang memakainya maka di akhirat kelak tidak akan mendapat keberuntungan, karena hiasan tersebut terbuat dari sutra.” Kemudian suatu ketika Rasulullah dihadiahi beberapa jubah, dan sebagian jubah itu beliau kirimkan kepada sahabat Umar ra. Umar ra lantas berkata, “Bagaimana mungkin aku memakainya sedangkan engkau telah bersabda demikian?”. Rasul menjawab, “Aku tidak memakaikannya kepadamu agar engkau pakai, tapi juallah atau pakaikan kepada orang lain. Kemudian Umar pun mengirimkan jubah tersebut kepada saudaranya di Mekkah yang belum masuk Islam” (HR. Bukhari). Rasulullah sendiri menerima hadiah serta menyatakan pahala kepada orang yang memberinya. 

Betapa banyak tali yang terputus bisa tersambung kembali dengan adanya pemberian hadiah. Betapa pula ia dapat mengubah sebuah sikap. Semua orang tahu peran atau fungsi dari pemberian dalam mewujudkan cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, seorang dai lebih pantas memakai sarana yang tergolong efektif ini dan mempraktekkannya untuk menyambung tali silaturahminya kepada masyarakat.

e.    Berbaur dengan masyarakat dan sabar atas segala cobaannya

Seorang dai harus mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan ia terima sebelum membayangkan kemungkinan terbaiknya. Ia harus memaklumi masyarakatnya ketika memiliki perilaku tercela atau tabiat yang buruk. Sebab, sudah sangat lama mereka tidak mengenyam ajaran dan tarbiyah Islamiyah, sehingga rusaklah dimensi psikologis dan sosial mereka. Kebiasaan mereka sudah beralih dari islami menjadi kebiasaan berbuat makar, ghibah, adu domba, dan sebagainya.

Dalam kasus seperti ini, seorang dai yang bijak hendaklah bermuamalah dengan mereka layaknya seorang dokter yang penuh kasih sayang terhadap pasiennya. Oleh karena itu, seorang dai diperintahkan supaya sabar dan tabah dalam menunggu hasil dakwahnya, tanpa harus berputus asa atau lemah harapan. Pegangannya dalam hal itu tidak lain adalah sabda Rasulullah saw, “Seorang mukmin yang berbaur dengan manusia dan sabar atas cobaan yang ia dapat dari mereka lebih baik dari mukmin yang tidak berbaur dan tidak pula bersabar atas cobaan yang ia dapatkan” (Ad-Adab al-Mufrad). 

Ketika seorang dai mencapai tingkatan yang tinggi seperti memaafkan kesalahan perilaku masyarakatnya dan memaklumi keterbatasan mereka maka hal itu akan meringankan beban yang ditanggung, yaitu beban yang disebabkan dari iri dengki dan amarah.

Panutan seorang dai dalam hal itu adalah Rasulullah, dimana beliau dikenal dengan lapang dada serta pandai menahan amarahnya. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Suatu ketika Nabi Muhammad membagi harga rampasan, lalu berkatalah seseorang lelaki Anshar dengan nada menghujat, “Demi Tuhan, yang seperti ini bukanlah pembagian yang diridhai Allah.” Abdullah bin Mas’ud kemudian berkata, “Sungguh aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah. Akupun mendatangi beliau yang sedang Bersama para sahabat yang lain. Ia terlihat jengkel mendengar aduan itu. Mimik wajahnya berubah dan beliau pun marah. Sampai aku berharap kalau aku tidak memberitahunya saja. Lantas Rasul bersabda, “Nabi Musa lebih disakiti oleh kaumnya, tapi ia bersabar” (HR. Bukhari)

f.     Seorang dai tidak mengibiri hak manusia, tidak pula enggan mengakui keutamaan orang lain

Seorang dai hendaklah tidak mengibiri hak manusia dan tidak pula enggan mengakui keutamaan mereka. Sebab, menyembunyikan hak seseorang dan berbesar diri atas manusia merupakan sifat orang-orang yang sombong, yaitu orang yang enggan melihat orang lain berada di atasnya. Hal itu hanya akan menyebabkan timbulnya sifat iri dengki dan keinginan untuk menyembunyikan keutamaan seseorang atau ilmu seorang ulama. Seorang dai seharusnya jauh dari abi seperti ini. Ia harus mengakui setiap orang dengan keutamaan yang dimilikinya, mengedepankan objektivitas dalam berinteraksi dengan mereka, dan mengikuti sunnah Nabi yang telah bersabda, “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hantinya terdapat sebutir kesombongan.” Lalu seseorang berkata, “Bagaimana dengan orang yang ingin memakai baju bagus dan sandal yang bagus?” Rasul menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. Sedangkan sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

Menolak kebenaran yang dimaksud adalah enggan terhadap kebenaran dan mengingkarinya karena merasa lebih tinggi dan mulia dari penyampai kebenaran tadi. Sedangkan meremehkan manusia adalah menghinakan orang lain. Berhati-hati dalam bersikap seperti inilah yang akan menjadikan seorang dai bisa mewujudkan kedamaian antara dirinya dan semua orang. Hal itu akan mempermudah dalam dakwah ke dalam hati, dan akan membangun jembatan perantara untuk mencapai tujuannya.

g.    Menyambung silaturahmi

Seorang dai harus antusias dalam menjaga hubungannya dengan masyarakat, karena hal itu merupakan salah satu kewajiban dalam agama dan tuntunan dari Rasulullah. Silaturahmi merupakan sarana untuk mewujudkan hubungan yang harmonis dengan masyarakat setempat, karena orang-orang di sekitarnya sendiri mempunyai harapan agar seorang dai tersebut benar-benar bisa mereka jangkau karena adanya rasa kedekatan yang terjalin. Masyarakat akan enggan dengan dai yang karakternya suka memutus silaturahmi. Dai yang cerdas adalah dai yang menyambangi para mad’unya di sela-sela interaksi keseharian dengan mereka. Hal itu bertujuan agar dai tadi bisa menyampaikan nilai-nilai dakwahnya setelah ia berbakti dengan kebaikan kepada mereka.

Rasulullah sendiri telah memerintahkan umatnya untuk berkenalan dengan sanak saudaranya, bukan karena fanatisme jahiliyah dalam bersuku, tapi karena hal itu merupakan kewajiban yang dibebankan atas orang-orang tersebut. Beliaupun bersabda, “Kenalilah sanak saudara dan kerabatmu sekalian, dan sambunglah silaturahmi di antara kalian, karena silaturahmi merupakan hal yang dicintai oleh anggota keluarga, yang dapat memperbanyak harta, memanjangkan umur, serta mendatangkan keridhaan bagi Tuhan” (HR> Tirmidi dan Ahmad)

Allah memilih Muhammad saw sebagai nabi, di mana beliau selalu menyambung tali silaturahmi dengan semua rumah penduduk arab. Terdapat banyak dalil yang mengisyaratkan pentingnya mengetahui nasb dan kerabat, karena hal itu merupakan pertimbangan untuk menunaikan hak-hak merena sesuai martabatnya masing-masing. Ibnu Hazm membahas dalam bukunya Jumharatu Anasabil Arab, khususnya ketika mengkounter orang yang berkata bahwa sesungguhnya imu tentang nasab adalah pengetahuan yang tidak bermanfaat, dan kebodohan akannya pun tidak memberi mudharat. Ibnu Hazm membantah klaim ini dengan mengatakan bahwa pengetahuan tentang nasab memberikan manfaat, dan kebodohan akan nasab pun bisaa membahayakan. Perlu diketahui bahwa di antara para sahabat nabi ada yang menekuni ilmu tentang nasab, seperti Abu Bakar Ash-Shidiq, Abul Jahm binHuzaifah, dan jabir bin Muth”im. Abu Bakar adalah orang yang paling teliti dalam ilmu tentang nasab semua orang-orang Arab. Bahkan Nabi Muhammad menyuruh Hasan bin Tsabit agar mempelajari apa kiranya yang dibutuhkan dari ilmu nasab orang-orang Quraisyad dari Abu Bakar Ash-Shidiq. 

Banyak dai yang meremehkan pencarian nasab mereka karena mengira bahwa hal itu merupakan adat jahiliyah semata. Karena sebagaimana kita tahu, jahiliyah adalah semua yang brerkaitan dengan kesombongan dan fanatisme. Padahal Al-Quran menjadikan pemutusan silahturahmi sebagian bagian tak perisahkan dari bebuat kerusakan di bumi, sebagaimana firman Allah dalam surat Muhammad ayat 22, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?”.  Saking antusiasnya agama Islam dalam menjaga ikatan silaturahmi bahkan memerintahkan untuk tetap menyambung silaturahmi kepada orang-oang musyrik. Diriwayatkan dari Nabi, “Sesungguhnya keluarga bani fulan bukanlah wali-waliku, karena waliku adalah Allah dan orang-orang shalih lagi beriman, akan tetapi mereka tetap mendapatkan tali silaturahmi yang harus ditunaikan” (HR. Bukari)

Silaturahmi itu berlaku bagi orang mukmin atau bukan mukmin, jauh atau dekat, karena silaturahmi merupakan syujnah (adalah urat dari cabang pohon yang saling terkait) Bahwa dari Allah, seperti yang pernah dikabarkan oleh malaikat Jibril kepada Rasulullah, “Sesungguhnya Ar-Rahim adalah bagian dari Yang Maha Penyayang maka Allah pun berfirman, ‘Siapa saja yang menyambungmu maka rahmat Allah juga akan menyambung kepadanya, siapa yang memutus silaturahmi maka rahmat Allah pun terputus darinya’”. (HR. Bukhari, 417/10)

Allah juga mengharamkan surge bagi orang yang memutus silaturahmi, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah, “Orang yang memutus silaturahmi tidak akan masuk surge” (HR. Bukhari).

Hasil dari silaturahmi adalah berkah di dalam rezeki dan umur, sebagaimana sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan diberkahi umurnya hendaklah ia menyambung silaturahmi” (HR. Bukhari)

Bentuk silaturahmi bisa dengan harta benda bagi yang mampu dengan hal itu, bisa juga dengan memberi pertolongan saat orang lain membutuhkan keperluan, menghindarkan bahaya, mengembangkan wajah dengan senyuman atau dengan doa. Ringkas kata, silaturahmi dilakukan dengan memberikan segala bentuk kebaikan dan menghindarkan segala bentuk keburukan sesuai dengan kemampuan. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 418/10)

Pemutuhan silaturahmi semakin marak di zaman kita sekarang, sampai-sampai setiap orang cenderung menyendiri dan saling menjauh dari orang lain, apalagi menyambung silaturahmi yang sudah terputus dengan kerabat buah dari hal buruk yang diperbuat. Kalau orang lain bisa membebaskan diri dari perilaku seperti ini maka bagi seorang dai, ini merupakan keharusan yang mesti dijalankan dan dilaksanakan. Ibadah seseorang kepada Allah tidak dapat mencapai batas kesempurnaan kecuali dengan perilaku tadi.

Rasulullah telah memberi tahu bahwa menyambung tali silaturahmi tidak berlaku bagi yang memang sudah terjalin ikatan. Tentang hal ini beliau bersabda, “Bukanlah seseorang disebut penyambung silaturahmi bagi orang yang sudah terjalin ikatannya, tapi penyambung silaturahmi adalah orang yang menyambung sebuah ikatan silaturahmi yang terputus.” (HR. Bukhari, 423/10)

Maksud dari hadits di atas adalah silaturahmi tidak dipersyaratkan harus terjadi secara timbal balik. Tapi ia hukumnya wajib bahkan terhadap orang yang memutus tali silaturahmi. Barang siapa menginginkan tersambungnya sebuah ikatan, hendaklah ia memulai menyambungnya dengan orang yang memutus hubungan dengannya, memberi kepada orang yang justru tidak mau memberi kepadanya, dan menerima perbuatan yang buruk dengan perbuatan yang baik. Kalau seseorang hanya menunggu tersambungnya silaturahmi dari pihak lain, bukan dari dirinya maka predikat penyambung silaturahmi tidak lagi berlaku baginya.

Al-arham (kekerabatan) mempunyai tingkatan tersendiri sesuai dengan jauh dekatnya dalam nasab, serta jauh dekatnya dalam pandangan agama. Silaturahmi dimulai dari orang yang paling dekat hingga yang paling jauh, sedangkan berbuat baik itu sendiri merupakan kewajiban di setiap keadaan. Berkaitan dengan kecintaan maka harus dibedakan kepada siapa ia memberikan cinta dan loyalitasnya; orang fasiq, kafir atau bahkan musuh? Allah swt berfirman:
“Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yan tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Mumtahanah/8-9)

Dari ayat 8 di atas kita mengambil kata kunci: berbuat baiklah, sedangkan di ayat 9 kata kuncinya adalah saling mencintai. Imam Ar-Razi berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bolehnya berbuat baik antara kaum muslim dan musyrik, sekalipun mereka dilarang dalam hal cinta dan loyalitas.” Kalau saja seorang dai paham akan pembahasan ini maka sesungguhnya di depannya terbuka lebar medan juang dalam berdakwah. Ia menjalin hubungan baik dengan semua orang, sehingga berduyunlah orang-orang silaturahmi. Hal ini merupakan prestasi yang dipanen oleh para dai.

h.    Lemah lembut 

Karakter yang harus ada pada seorang dai adalah lemah lembut terhadap seluruh manusia. Lembah lembut yang dimaksud adalah santun dalam ucapan dan perbuatan dan lebih memilih hal yang mudah. Lemah lembut merupakan lawan dari keangkuhan. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Mahalembut dan Dia menyukai kelembutan. Allah memberikan kepada orang yang berlaku lembah lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang berlaku angkuh.”

Dari watak lemah lembuat inilah seoran dai memungkinkan untuk berfikir tenang serta mengambil keputusan dengan benar, karena hal yang demikian tidak bisa dicapai dengan keangkuhan dan ketergesa-gesaan. Berapa banyak uangkapan yang dikeluarkan oleh seorang dai dan kemudian terasa oleh dia ungkapan tersebut membawa dampak negative yang menjadikan masyarakatnya menyibukkan diri dan mengorbankan waktunya hanya untuk memperbaiki apa yang telah dirusah oleh sifat angkuh dan tergesa-gesa tadi. Berapa banyak perilaku yang kurang berkenan di mata masyarakat yang dicerminkan oleh orang yang terindikasi dengan aktivis dakwah atau seorang dai yang justru menghambat laju dakwah dan dai itu sendiri. 

Bisa jadi problematika dan penyakit yang menjangkiti dakwah dan para dai adalah adanya propaganda dalam mendidik keangkuhan dan menggunakan kekuatan atau menimpakan hukuman terhadap semua orang yang menyelisihinya. Perilaku seperti inilah yang justru menghancurkan sendi-sendi dakwah dan unsur terpentingnya. Inilah yang selama ini dikerjakan oleh musuh-musuh Islam sepanjang siang dan malam.

Selama ini yang diajarkan oleh nabi adalah berlemah lembut terhadap semua orang. Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Anas bin Malik r.a., “Suatu ketika ada seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Para sahabat pun hampir saja menghampirinya (untuk menghardik). Tapi Rasul berkata, “Jangan engkau tahan dia dari kencingnya,” kemudian beliau memerintahkan agar didatangkan seember air, kemudian disiramkan di atasnya.”

Dalam riwayat Imam Tirmidzi disebutkan bahwa suatu ketika ada seorang Arab Badui yang memasuki masjid ketika Rasulullah duduk di dalamnya. Setelah menyelesaikan shalat, orang Badui tadi berkata, “Ya Allah, kasihilah aku dan Nabi Muhammad, dan jangan kasihi selain kami.” Mendengar hal ini Rasul pun menoleh kepadanya seraya berkata, “(dengan ucapanmu tadi) Engkau telah membatasi rahmat yang luas.” Tidak berselang lama, tiba-tiba lelaki itu kencing di dalam masjid. Para sahabat yang melihat pun segera mendatanginya untuk mencegah. Akan tetapi Rasulullah melarang mereka dan segera berkata, “Siramlah (bekas kencingnya) dengan seember air.” Setelah itu Rasulullah kembali bersabda, “Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah suatu perkara, bukan untuk mempersulitnya.” (HR. Tirmidzi, 276/1)

Dengan kejadian ini terbukti betapa sempurna tingkatan kelemah lembuatan Rasululllah, dan betapa indahnya apabila para dai mempunyai uswah dengan akhlak yang sempurna. Seorang dai seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap tabiat manusia serta adat istiadatnya; bahwa mereka adalah kumpulan manusia yang tidak berperilaku sama, banyak corak dan gaya hidup yang beragam, dan hal semacam ini sudah semestinya ia perhatikan. Orang bodoh mempunyai tidak tanduk tersendiri; orang desa atau pedalaman mempunyai adat istiadat tersendiri; orang perkotaan mempunyai tingkah laku serta karakteristik tersendiri. 

Tabiat dan karakteristik tersebut berbeda sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Ada suatu pelosok daerah yang tabiatnya terbiasa dengan selera humor dan canda tawa; ada pelosok daerah lain yag memiliki tabiat sebaliknya, yakni mempunyai selera ketegasan dan kesungguhan. Ada bangsa yang mempunyai karakter basa-basi (mujamalah) dan lembut bertutur kata, sedangkan bangsa lain berkarakter frontal dalam berinteraksi dan kaku dalam berperilaku. Dai sukses adalah yang menguasai tabiat beragam seperti ini. Disebutkan dalam hadits, “Barangsiapa mengabaikan kelemah lembutan maka dia akan diharamkan atas semua bentuk kebaikan.”

Salah satu karakter yang tak bisa berlepas dari sifat lemah lembuat bagi seorang dai adalah menghindari berlaku buruk dan keji. Perbuatan keji adalah segala sesuatu yang di luar ukuran, hingga terasa menjijikkan. Seorang dai menghindari kekejian dalam lisannya, tidak pula membalasa kekejian dengan kekejian serupa, tidak pula mengumbar cacian dan laknat. Semua ini dilakukan karena seseorang dai memiliki kelapangan data, jeli dalam melihat suatu hal, dan jauh dalam cara pandang. Kalaupun ada orang yang dengan cepat merespon amarahnya, hal itu disebabkan cara pandang yang dangkal serta kerdilnya pemahaman dalam memandang sebuah permasalahan. Dai tidak boleh berlaku seperti itu, karena hakikatnya dari bekerja untuk memperbaiki tabiat yang buruk dan mendidik perilaku culas. Memang diakui bahwa konsekuensi dari tugas ini sangatlah berat. 

i.     Menghargai pemuka dan tokoh agama

Seorang dai tidak harus memandang sinis terhadap orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam sebuah masyarakat. Sebaliknya, seorang dai hendaklah menemui mereka, dan dengan kemampuan berinteraksi yang baik serta ketajaman mata hati, seorang dai hendaklah bisa menggunakan para pemuka dan tokoh masyarakat tersebut sebagai jalan untuk memperbanyak pembela dakwah.

Hal ini perlu ditegaskan karena tak jarang sebagian dai tidak bisa menghindari ungkatan-ungkapan yang menyudutkan para mad’u yang termasuk dalam golongan ini. Padahal yang demikian termasuk menyelisihi sunnah Rasulullah dalam bermuamalah dengan para pembesar dan orang terpandang sebuah masyarakat. Bahkan Al-Qur’an sendiri mengelompokkan mereka ke dalam salah satu golongan yang berhak menerima zakat, yaitu golonga al-mu’allafah qulubuhum. Demikian karena mereka adalah tokoh-tokoh yang mempengaruhi pergerakan dan aktivitas masyarakat secara masal. Oleh karena itu, orang yang benar-benar ingin menjunjung Islam akan memanfaatkan momen ini agar para pembesar tersebut berhenti menghalangi dakwah Islam.

Sebagian dari tokoh dan pemuka masyarakat terdapat orang-orang yang cerdas, bijak dan santun. Orang seperti mereka harus dimanfaatkan keteladanan dan kelebihannya. Nabi Muhammad bahkan bersabda kepada Asyaj Abdul Qais, “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, yaitu kecerdasan dan kehati-hatian.” Tapi terkadang ada tokoh dan pemuka masyarakat yang bodoh namun diikuti oleh masyarakat. Tipe seperti ini harus dijauhi sisi-sisi keburukannya dan perlu menyiasti dalam berinteraksi dengan mereka, seperti dengan konsep mudarahyang pernah kita bahas dalam bab sebelumnya. Tapi harus hati-hati, karena antara mudarahdan mudahanahatau kemunafikan mempunyai perbedaan yang tipis.

Terdapat riwayat dari Imam Bukhari dalam shahihnya bahwa suatu ketika seorang laki-laki meminta izin untuk masuk menemui Rasulullah. Ketika melihat siapa yang akan datang bertemu, Rasulullah berkata, “Alangkah jeleknya anak keturunan suku ini, atau betapa buruknya saudara suku ini.” Namun setelah lelaki itu sampai di tempat Rasulullah dan duduk Bersama, beliau menyambut hangat dan tersenyum dengan wajah berseri. Setelah lelaki itu pergi, Sayyidah Aisyah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, saat melihatnya, engkau mengatakan apa yang engkau katakana, tapi setelah ia di sisimu, engkau tersenyum ramah dan menyambutnya hangat.” Rasulullah kemudian menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang paling jelek di sisi Allah adalah seseorang yang ditinggalkan masyarakatnya karena menghindari keburukannya.”

Lelaki yang dimaksud oleh hadits di atas adalah Uyainah bin Hisn Al-Fazary, di mana Rasulullah mengatakannya sebagai ‘orang bodoh yang ditaati’. Bermula dari kejadian ketika Rasulullah bersama Aisyah sebelum diwajibkannya hijab. Saat melihat Sayyidah Aisyah, waktu itu Uyainah bertanya, “Siapa ini?”, Rasul menjawab, “Dia adalah ummul mukminin.” Uyainah kemudian berkata, “Wahai Muhammad, maukah kamu aku berikan yang lebih cantic darinya?” Mendengar hal itu Aisyah pun marah dan bertanya, “Siapa lelaki ini, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Dia adalah orang bodoh.” (Fathul Bari, riwayat dari Said bin Manshur)

Memuliakan seorang pemuka masyarakat merupakan pemuliaan terhadap masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, semuanya akan mempunyai timbal balik kepada dakwah atau dai itu sendiri. Ketika salah seorang dari mereka melakukan suatu kekeliruan maka seorang dai hendaklah memaafkan kekeliruannya tersebut. Seorang dai juga dianjurkan untuk menunjukkan rasa simpati ketika salah seorang dari pemuka masyarakat tersebut dalam kondisi terhina. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Maafkan kekeliruan para pemuka yang memiliki wibawa, keceuali bila kekeliruan itu berkaitan dengan hudud yang wajib ditunaikan.”

j.     Membantu kebutuhan orang lain serta menyelesaikan masalah mereka

Dai sukses adalah dai yang membantu kebutuhan orang lain, membantu menjaga ghirah dan obsesi mereka, Bersama dalam keluh kesah dan suka cita mereka, serta membela mereka dalam memperjuangkan kebenaran. Seorang dai hendaklah tidak menyimpan tenaganya dalam hal meringankan beban yang mungkin bisa ia pikul. Inilah yang digambarkan oleh Khadijah kepada Rasulullah, ketika Rasulullah mendatangi Khadijah untuk menenangkan hati. Saat itu Khadijah berkata, “Sekali-kali Allah tidak akan menghinakanmu, karena engkau telah menyambung silaturahmi, menanggung bebanmu sendiri, mengais rezeki dari ketiadaan, menghormati tamu, serta membantu siapa saja yang membutuhkan pertolonganmu.” (HR. Bukhari, 22/1)

Ibnu Hajar berkata, “Khadijah memberikan dukungan moril seperti itu setelah menyimpulkan bahwa kebaikan yang selama ini beliau lakukan selalu menghindarkannya dari kehinaan. Ia katakana bahwa segala perilaku beliau sama sekali tiak bertentangan dengan akhlak yang mulia. Semua kebaikan itu terkumpul dalam sifat yang disebutkan Khadijah kepada Rasulullah.” Demikian pula ungkapan Ibnu Dughnah kepada Abu Bakar ketika keluar Mekkah untuk hijrah, “Demi Allah, sesungguhnya engkau telah berbuat baik kepada keluarga, membantu yang membutuhkan, dan berbuat kebaikan, mengais rezeki dari ketiadaan, maka pulanglah karena engkau salah satu tetangga kami.” Kejadian ini memberikan kita gambaran yang jelas tentang bagaimana seorang dai berhubungan dengan masyarakatnya, dan bagaimana ia memosisikan diri di tengah masyarakat yang terhimpit masalah dan musibah. 

Seorang dai tidak pernah merasa bosan dengan kebaikan yang ia perbuat, dan ia mengerahkan segala kemampuannya untuk hal itu. Ia tahan terhadap derita. Ia selalu memenuhi panggilan yang memintanya bantuan dan mengeluh kesakitan. Hal ini berbeda dari pemahaman sebagian orang yang mengira bahwa campur tangan dalam urusan manusia untuk menjadi penengah perselisihannya merupakan perbuatan yang sia-sia. Karena sesungguhnya Rasulullah telah menyatakan bahwa keputusan yag adil dalam sebuah perselisihan adalah sedekah, dan menolong orang yang kesulitan juga merupakan sedekah. Ia pun bersabda, “Setiap persendian manusia itu ada hak untuk disedekahkan setiap hati ketiak matahari terbit, berlaku adil di antara dua orang, dan kalimat thayyibah adalah sedekah” (HR. Bukhari-Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap muslim diwajibkan dengan sedekah.” Para sahabat bertanya, “Kalau mereka tiak menemukan sesuatu untuk disedekahkan?” Rasul menjawab, “Makai a bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat untuk dirinya dan mampu bersedekah.” Para sahabat berkata, “Kalau ia tidak mampu dan tidak bekerja?” Rasul menjawab, “Ia membantu orang yang sengsara yang membutuhkan.”

Dai yang sukses tidak kikir terhadap orang yang membutuhkan dorongan dan bantuan. Jika seseorang meminta untuk Bersama memenuhi kebutuhannya, seorang dai pun bersegera melaksanakannya. Memberikan pertolongan kepada orang lain jelas merupakan sunah yang terpuji dari Rasulullah, sebagaimana sabda beliau, “Janganlah engkau enggan menolongku, niscaya kalian akan diberikan sebuah imbalan. Ketetapan Allah berlaku dengan perantaraan lisan Nabi-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.” Membantu orang lain tidak berarti menggugurkan seseorang dari kwajiban-kewajibannya. Akan tetapi maksudnya adalah menyampaikan suatu hak kepada empunya. Dari sana akan lahir kebaikan yang muaranya kembali kepada dai dan dakwah itu sendiri.

G.   Membentuk qiyadah jamahiriyah

Dakwah tidak seharusnya sepi dari qiyadah jamahiriyah. Sebab, hal itu justru akan memberi kesempatan kepada gerakan lain untuk mengisi dan mengendalikan public. Jangan sampai karena sisi-sisi negatif amal jamahiri membuat kita lupa akan dimensi positif yang terkandung di dalamnya. Di antara sisi negative yang mungkin timbul dari qiyadah Jamahiriyah adalah membuat seseorang lupa diri, angkuh, menjadi terlalu hubbud dunya, egois dan memunculkan potensi figuritas, di mana yang lebih dominan bukan lagi fikrah, melainkan figure tertentu. Akan tetapi, sisi-sisi negative ini baru kemungkinan saja, sedangkan bila qiyadah jamahiriyah bisa dipegang, atas pertolongan Allah, hal ini akan menjadi jalan bagi kemenangan dakwah, insya Allah.

Untuk membentuk qiyadah jamahiriyah hendaklah melakukan observasi dan seleksi terlebih dahulu, yaitu dengan cara memilih unsur-unsur dai yang kapabel untuk menjadi qiyadah dilihat dari posisi sosial sebuah keluarga, keilmuan, atau finansial bila memungkinkan. Sebab, nasab, martabat, dan harta merupakan variable penting dalam membentuk qiyadah di era modern ini. Pertimbangan-pertimbangan yang terkesan materialistis ini akan selalu ada hingga suatu saat Islam menjadi ukuran pakem dalam akidah, perilaku dan aturan kehidupan. Manusia itu laksana barang tambang. Orang terbaik pada masa jahiliyah juga akan menjadi orang yang terbaik di dalam Islam jika mereka memahaminya.

Qiyadah Jamahiriyah membutuhkan modal yang banyak. Untuk itu siapa saja yang dipromosikan untuk memegang jabatan qiyadah jamahiriyah hendaknya dibela, dibantu dan diperjuangkan, baik kebutuhan maknawi maupun materi. Dari segi maknawi, para compatriot dan pendukung hendaklah selalu melingkupinya dengan pertolongan, perhatian serta menunjukkan rasa simpati akan keberadaannya, menyebutkan kebaikan-kebaikannya, rasa hormat serta salam takzimnya. Sedangkan dari sisi segi materi, hal itu bisa diwujudkan dengan melapangkan rezekinya, memudahkan kehidupannya, serta menanggung utang atau beban materi lainnya.

Harus ada tarbiyah wa’iyah kepada para qiyadah ini Misalnya mempelajari ra’yul am yang berkembang di masyarakat dan mempelajari langkah-langkah serta unsur-unsur pembentuknya. Hal yang tidak kalah penting adalah tahu akan kondisi psikologis masyarakat yang menjadi lahan dakwah, aliran-aliran yang berkembang di tengah masyarakat, pembelajaran tentang adat-istiadat dan tradisi yang berlaku. Seyogyanya, para qiyadah jamahiriyah melek akan hukum dan sistem yang sedang berlangsung, karena mereka berinteraksi dengan beragam pihak dan institusi. 

1.    Qiyadah jamahiriyah adalah qiyadah mutakhassisah

Semua hal di atas tidak akan terwujud kecuali bila para qiyadah jamairiyah memang berkonsentrasi di bidangnya, di mana harus diketahui bahwa peran dalam kepemimpinan public memang berbeda dan tidak bisa disamakan dengan peran tarbawiyah serta tanzhimiyah. Apalagi, kita sekarang hidup di zaman yang serba spesialis, yang menuntut perluasan cakrawala pengetahuan atas kompleksitas permasalahan dalam kehidupan. Proyek sosial mempunyai medan dan pelatihan tersendiri, proyek Pendidikan juga mempunyai lahan dan garapan tersendiri; begitu juga yang berlaku dalam dunia pemerintahan. Pemimpin masyarakat hidup di tengah-tengah masyarakat, menghabiskan siang malamnya untuk memecahkan problematika yanga ada serta berkenalan dengan kondisi mereka. Ketika semua itu dilakukan oleh seorang murabbi atau munazzim, ia akan mengorbankan tarbiyah dan tanzhim yang mestinya ia garap.

2.    Urgensi amal niqabi

Asosiasi profesi (niqabah mihniyah) telah menjadi semacam pusat gravitasi di masyarakat. Di banyak negara, asosiasi-asosiasi semacam ini turut andil dalam memilih agenda perpolitikan dan ekonomi, serta memiliki pengaruh dalam bidang hukum. Beberapa asosiasi – apa pun bentuknya entah LSM atau badan perwakilan lain – seperti ini telah memasuki negara-negara Islam dan lantas menguasainya. Jasa yang mereka bawa aadlah mazhab semparan dan ideologi impor dari luar. Hal itu disebabkan hilangnya unsur Islam yang kurang berasosiasi dan bergerak di dalamnya. Perkiraan yang berkembang luasa adalah asosiasi atau jalinan hubungan kerja dengan ‘pihak luar’ seperti ini tidak mungkin menyatu dengan Islam, atau ada yang mengira kerja sama dengan asosiasi ini justru merendahkan Islam sendiri. Seiring berjalannya waktu, perkiraan itu terbukti salah ketika banyak institusi dan beberapa negara yang menjalankan proyek dengan asosiasi ini, dan terkadang kaum muslimin merasakan dampak buruk akan keberadaan asosiasi-asosiasi ini, karena keberadaan sebuah asosiasi merupakan perwujudan kekuatan masyarakat yang ikut di dalamnya. Kekuatan-kekuatan seperti itu bila tidak berasosiasi atau berpihak untuk dakwah makai a akan menjelma menjadi kekuatan dan peran yang merugikan dakwah. Kalau tidak ada pihak yang memanfaatkannya sebagai jalan menuju hidayah makai a akan digunakan menuju jalan kesesatan dan penyesatan. 

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ia tadi tidak sejalan dengan akidah Islam dan syariatnya maka pendapat ini sama sekali tertolak, karena masyarakat muslim sedari dulu telah mengenal Lembaga-lembaga atau institusi sosial semacam ini. Di beberapa negara muslim, sebutan yang menunjukkan tentang perkumpulan pedagang atau pandai besi masih dikenal. Dalam perkumpulan itu hak dan kewajiban para anggota juga telah diatur. Jika keberadaan undang-undang atau aturan dalam asosiasi dipandang tidak sesuai dengan Islam maka hal ini disebabkan oleh para eksekutor dalam asosiasi tersebut, di mana mereka telah menyetir institusi dan Lembaga mereka sesuai prinsip dan ideologi yang mereka miliki. Dalam hal ini seorang muslim dituntuk untuk bisa mengubah semua peraturan tentang apa pun itu yang bertentangan dengan prinsip Islam dan syariatnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa amal niqabimerupakan salah satu wujud dan proses karbitan maka hal itu tidak dapat diterima, karena pembentukan masyarakat muslim itu tidak datang dari ruang hampa dan dari atas, tetapi melalui orientasi-oientasi individu dan masyarakatnya. 

Kalau cara pandang individu dan masyarakat tidak sejalan dengan cara pandang Islam maka hasilnya adalah masyarakat yang tidak Islami. Sedangkan jika cara pandang mereka sejalan dengan koridor nilai-nilai serta ajaran Islam maka hasilnya adalah mayarakat yang islami. Kalau kita terlena dengan ucapan para penyeru kebaikan era klasik yang hanya menanti datangnya kekuatan sihir dengan fenomena yang luar biasa hingga bisa mengubah segala sesuatu maka kaum muslimin niscaya merasakan zona nyaman dalam berpaham dan berperilaku yang lebih dibanding apa yang sedang mereka rasakan saat ini, rigid, terkungkung dan kaku. Selama kehidupan ini, seorang muslim dituntut untuk bisa menghadapi realita tertentu dalam kehidupannya. Ia dituntut untuk bisa menyinerdikan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam realita dalam yang dihadapinya. Kalau ia hanya malas-malasan berpangku tangan dan menunggu semua elemen umat Islam maka dia termasuk orang yang berdosa. Sebab secara tidak langsung ia telah memberikan legalitas atas nilai dan hukum yang bertentangan dengan prinsipnya, padahal ia mampu mencegahnya.

Jika seorang menggunakan akalnya maka ia tidak akan memberikan pernyataan agar meninggalkan sebuah asosiasi hanya karena asosiasi tersebut melakukan praktek riba, dengan alasan bahwa usaha menghilangkan riba hanya usaha sia-sia saja, karena menghilangkannya tidak akan lantas menghilangkan seluruh pelanggaran agama. Kalau seorang muslim mampu ikut serta dalam sebuah Lembaga yang dengannya ia bisa memerangi miras dan faktor-faktor pemikiran yang sekuler serta ateis, tapi kemudian ia mundur dari hal itu maka ia termasuk orang yang memecundangi Allah dan Rasul-Nya beserta jamaah kaum muslimin. 

Sumber: Qawa’idud Da’wah Ilallah, Dr. Hamman Abdurrrahim Said, Era Adicitra Intermedia

No comments:

Post a Comment