Friday, March 1, 2019

Hadits Arbain 11: Agar Engkau Tidak Hidup dalam Kesedihan dan Kegelisahan

 

عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ سِبْطِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ» رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَسَنٌ صَحِيحٌ.

 

Dari Al-Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan orang kesayangan beliau, yang berkata bahwa aku hapal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Tinggalkan apa saja yang meragukanmu menuju apa saja yang tidak meragukanmu". (Diriwayatkan An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih"). [1]

 

Hadits bab di atas diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Hibban di Shahih-nya, dan Al-Hakim dari Buraid bin Abu Maryam dari Abu Al-Haura' dari Al-Hasan bin Ali. Hadits tersebut dishahihkan At-Tirmidzi. Tentang Abu Al-Haura' As-Sa'di, para ulama berkata, "Nama aslinya Rabi'ah bin Syaiban". Ia dianggap sebagai perawi tepercaya oleh An-Nasai dan Ibnu Hibban. [2]) Imam Ahmad tidak berpendapat nama Abu Al-Haura' adalah Rabi'ah bin Syaiban, malah ia cenderung memisahkan di antara keduanya. Al-Jauzajani berkata, "Abu Al-Haura' tidak diketahui". [3])

 

Hadits di atas merupakan penggalan dari hadits panjang tentang qunut di shalat witir. Di riwayat versi At-Tirmidzi dan lain-lain terdapat tambahan, yaitu,

 

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالكَذِبَ رِيْبَةٌ.

"Karena sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keraguan".

 

Redaksi Ibnu Hibban ialah,

 

فَإِنَّ الخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ.

 

"Karena sesungguhnya kebaikan adalah ketentraman dan keburukan adalah keraguan".

 

Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak dikenal dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tinggalkan olehmu apa saja yang meragukanmu menuju apa saja yang tidak meragukanmu".

 

Imam Ahmad [4]) juga meriwayatkan hadits tersebut dari jalur lain yang lebih baik, namun hadits tersebut berasal dari ucapan Anas bin Malik dan bukan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

 

Hadits di atas juga diriwayatkan Ath-Thabrani dari riwayat Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ad-Daruquthni berkata, "Perkataan tersebut diriwayatkan dari Ibnu Umar, Umar, dan Malik". [5])

 

Ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits di atas dengan sanad dhaif dari Utsman bin Atha' Al-Khurasani - perawi dhaif - dari ayahnya dari Al-Hasan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda kepada seseorang, "Tinggalkan olehmu apa saja yang meragukanmu menuju apa saja yang tidak meragukanmu". Orang tersebut berkata, "Bagaimana aku bisa mengetahui hal tersebut?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Jika engkau menginginkan sesuatu, letakkan tanganmu di dadamu, karena hati itu terguncang karena sesuatu yang haram dan tenang karena sesuatu yang halal. Sesungguhnya orang Muslim yang wara' itu meninggalkan dosa kecil karena takut dosa besar".

 

Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Atha' Al-Khurasani secara mursal.

 

Hadits bab di atas juga diriwayatkan Ath-Thabrani dengan sanad dhaif dari Watsilah bin Al-Asqa' dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan tambahan di dalamnya, "Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, 'Siapakah orang wara?' Nabi Shallallahu Alaihii wa Sallam bersabda, 'Yaitu orang yang berhenti di hal-hal yang syubhat'. [6])

 

Perkataan seperti itu juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, di antaranya Umar bin Khaththab, Ibnu Umar, dan Abu Ad-Darda'. Ibnu Mas'ud berkata, "Kenapa engkau menginginkan sesuatu yang meragukanmu, padahal di sekitarmu terdapat empat ribu yang tidak meragukanmu?"

 

Umar bin Khaththab berkata, "Tinggalkan oleh kalian riba dan keraguan". Maksudnya, tinggalkan apa saja yang kalian ragu-ragu di dalamnya, kendati kalian belum dapat memastikan hal tersebut riba.

 

Makna hadits bab di atas ialah berhenti dari hal-hal yang syubhat dan menjauhinya, karena halal murni itu tidak menimbulkan keraguan di hati orang Mukmin. Keraguan adalah semacam kekalutan dan kegoncangan. Justru, jiwa terasa damai dengan halal murni dan tentram dengannya. Adapun hal-hal syubhat, maka menimbulkan kekalutan dan kegoncangan di hati dan membuatnya ragu-ragu.

 

Abu Abdurrahman Al-Amri berkata, "Jika seorang hamba wara', ia meninggalkan apa saja yang meragukannya menuju apa saja yang tidak meragukannya".

 

Al-Fudhail berkata, "Manusia mengira bahwa wara' itu sulit, padahal jika datang dua pilihan pada diriku, aku mengambil mana yang lebih sulit di antara keduanya. Tinggalkan apa saja yang meragukanmu menuju apa saja yang tidak meragukanmu".

 

Hassan bin Abu Sinan berkata, "Tidak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku daripada wara’. Jika sesuatu membuatmu ragu, tinggalkan sesuatu tersebut". Wara' terasa mudah bagi orang seperti Hassan bin Abu Sinan.

 

Ibnu Al-Mubarak berkata bahwa budak Hassan bin Abu Sinan mengirim surat kepada Hassan bin Abu Sinan dari Al-Ahwaz. Di suratnya, budak tersebut berkata, "Sesungguhnya tebumu terkena penyakit, karenanya, belilah gula sesuai dengan kemampuanmu". Hassan bin Sinan pun membeli gula dari seseorang kemudian ia tidak datang beberapa lama kepada penjual gula, ternyata dari gula yang ia beli itu ia mendapatkan keuntungan sebesar tiga puluh ribu. Hassan bin Abu Sinan datang kepada pemilik gula dan berkata, "Hai si Fulan, budakku kirim surat kepadaku, namun aku tidak memberitahukannya kepadamu. Oleh karena itu, batalkan apa yang telah aku beli darimu". Penjual gula berkata kepada Hassan bin Abu Sinan, "Sekarang engkau telah memberitahukannya dan aku merelakannya". Setelah itu, Hassan bin Abu Sinan pulang, namun hatinya tidak tahan kemudian ia datang lagi kepada penjual gula dan berkata kepadanya, "Hai si Fulan, aku tidak melakukan hal ini dengan semestinya, karena itu, aku ingin engkau meminta kembali jual-beli ini". Hassan bin Abu Sinan terus-menerus berkata seperti itu, hingga akhirnya ia mengembalikan gula kepada penjualnya.

 

Jika Yunus bin Ubaid dimintai perhiasan dan perhiasan tersebut telah habis, ia mengirim orang untuk membelinya dan berkata kepada orang yang disuruhnya, "Katakan kepada penjualnya bahwa perhiasan telah diminta".

 

Hisyam bin Hassan berkata, "Muhammad bin Sirin meninggalkan uang empat puluh ribu yang tidak kalian permasalahkan sekarang ini".

 

Al-Hajjaj bin Dinar mengirim makanan ke Basrah bersama seseorang dan ia memerintahkan orang tersebut untuk menjualnya di Basrah jika telah tiba di sana dengan harga hari itu juga. Setelah itu, surat orang tersebut tiba di Al-Hajjaj bin Dinar dan ia berkata di suratnya, "Aku telah tiba di Basrah dan mendapati makanan tidak disukai, karena itu, aku menahannya. Beberapa hari kemudian, harga makanan menjadi mahal lalu aku menambah harganya sekian dan sekian". Al-Hajjaj bin Dinar membalas surat orang tersebut dan berkata di suratnya, "Engkau mengkhianatiku dan mengerjakan sesuatu yang tidak aku perintahkan kepadamu. Jika suratku ini sampai di tanganmu, sedekahkan semua hasil penjualan makanan tersebut kepada orang-orang fakir Basrah. Ah, seandainya aku masuk Islam ketika engkau berbuat seperti itu".

 

Yazid bin Zuray'i tidak mau menerima warisan ayahnya uang sebesar seratus ribu. Ayahnya adalah pejabat (sultan), sedang ia sendiri bekerja sebagai pembuat jahe dari daun kurma dan makan dari hasil kerjanya hingga ia meninggal dunia.

 

Al-Miswar bin Makhramah menimbun banyak sekali makanan. Pada suatu hari, ia melihat awan di musim gugur dan ia pun tidak menyukainya. Ia berkata, "Ketahuilah bahwa sesuatu diperlihatkan kepadaku. Aku telah membenci sesuatu yang bermanfaat bagi kaum Muslimin". Kemudian ia bersumpah untuk tidak mengambil sedikit pun keuntungan dari makanannya. Hal tersebut, ia laporkan kepada Umar bin Khaththab yang kemudian berkata kepadanya, "Semoga Allah memberi balasan yang baik kepadamu".

 

Berdasarkan kisah di atas, penimbun barang harus menjauhi keuntungan barang yang ditimbunnya secara ilegal. Imam Ahmad menegaskan bahwa orang harus menjauhi keuntungan barang yang tidak masuk dalam jaminannya sebab keuntungan tersebut masuk dalam katagori keuntungan barang yang tidak ia jamin. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri melarangnya. [7]) Imam Ahmad berkata di riwayat darinya tentang keuntungan uang mudharabah (bagi hasil) jika debitur menyalahi kesepakatan di dalamnya, "Ia menyedekahkan keuntungan tersebut". Imam Ahmad berkata di riwayat darinya dalam masalah jika seseorang membeli buah yang belum matang dengan syarat buah tersebut ditebang, tapi kemudian orang tersebut membiarkan buah tersebut hingga matang, "Ia harus menyedekahkan kelebihannya". Beberapa sahabatku menafsirkan bahwa itu adalah sunnah, karena bersedekah dengan sesuatu yang syubhat adalah sunnah.

 

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa ia ditanya tentang hukum makan hewan buruan bagi orang yang sedang ihram kemudian ia menjawab, "Haji ialah beberapa hari, oleh karena itu, apa saja yang meragukanmu, tinggalkanlah". Maksudnya, apa saja yang tidak jelas bagimu; apakah hal tersebut halal atau haram, tinggalkanlah. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya makan hewan buruan bagi orang yang sedang ihram jika bukan dia sendiri yang memburu hewan buruan tersebut.

 

Hadits bab di atas dijadikan dalil bahwa menghindari dari perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah lebih baik, karena lebih jauh dari syubhat. Namun beberapa ulama dari sahabat-sahabat kami dan selain mereka berpendapat bahwa itu bukan secara mutlak, karena di antara masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat di dalamnya ada yang merupakan rukhshah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tanpa ada dalil lain yang menentangnya. Jadi menerima rukhshah lebih utama daripada menjauhinya. Jika rukhshah tidak sampai pada sebagian ulama kemudian ia menolaknya, ia seperti orang yang yakin mempunyai wudhu namun ragu-ragu apakah ia telah batal atau belum. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda, "Ia jangan keluar (dari shalat) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya'. [8])

 

Terutama jika keragu-raguan terjadi di waktu shalat, maka pelakunya tidak boleh menghentikan shalatnya karena ada hadits shahih yang melarangnya, kendati sebagian ulama ada yang mewajibkannya menghentikan shalat.

 

Jika rukhshah tersebut mempunyai dalil lain yang menentangnya, misalnya hadits lain atau umat mengerjakan kebalikannya, maka yang lebih utama ialah tidak mengerjakan rukhshah tersebutBegitu juga jika rukhshah tersebutdikerjakan orang-orang yang sesat sedang umat pada zaman sahabat di pelosok negeri Islam mengerjakan kebalikannya, maka mengambil yang dikerjakan mayoritas umat lebih utama, karena umat ini dilindungi Allah dari kemungkinan pengikut kebatilan pada mereka bisa mengalahkan pengikut kebenaran pada mereka. Jadi amal perbuatan apa saja yang terjadi pada tiga generasi pertama yang mendapatkan keutamaan adalah kebenaran dan selain amal perbuatan tersebut adalah kebatilan.

 

Di sini, ada permasalahan yang harus dipahami dengan cerdas bahwa berhenti dari syubhat layak dikerjakan orang yang seluruh kondisi dirinya telah lurus dan seluruh amal perbuatannya sama dalam takwa dan wara'. Sedang bagi orang yang menerjang hal-hal yang diharamkan yang terlihat kemudian ia ingin menjauhi salah satu dari hal-hal syubhat, ia pantas berbuat demikian, bahkan hendaknya ia diingkari, seperti dikatakan Ibnu Umar kepada orang dari Irak yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk, "Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh Husain. Aku dengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Keduanya (Hasan dan Husain) adalah seperti parfumku dari dunia'". [9])

 

Seseorang bertanya kepada Bisyr bin Al-Harits tentang suami yang disuruh ibunya mencerai istrinya kemudian Bisyr bin Al-Harits menjawab, "Jika suami tersebut telah berbuat baik kepada ibunya dalam segala hal dan tidak ada lagi kebaikan yang mesti ia lakukan untuk ibunya kecuali dengan mencerai istrinya, silahkan ia kerjakan. Jika ia berbuat baik kepada ibunya dengan mencerai istrinya kemudian pergi kepada ibunya dan memukulnya, ia jangan mencerai istrinya".

 

Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keraguan", maksudnya, sesungguhnya kebaikan itu menentramkan hati, sedang keburukan membuat hati serba ragu dan tidak tentram. Ini sinyal untuk kembali kepada hati jika terjadi sesuatu yang tidak jelas. Pembahasan masalah ini akan saya ulas dengan panjang lebar di pembahasan hadits An-Nuwas bin Sam'an, Insya Allah. [10])

 

Ibnu Jarir Ath-Thabari [11]) meriwayatkan dengan sanadnya dari Qatadah dari Basyir bin Ka'ab bahwa ia membaca ayat,

 

فَامْشُوا فِى مَنَاكِبِهَا.

 

'Maka berjalanlah kalian di segala penjurunya". (Al-Mulk: 15).

 

Kemudian ia berkata kepada budak wanitanya, "Jika engkau tahu apa yang dimaksud dengan kata manaakibuha pada ayat di atas, engkau merdeka karena Allah". Budak wanita tersebut berkata, "Yang dimaksud dengan manaakibuha ialah gunung-gunungnya". Basyir bin Ka'ab merasa seperti wajahnya tertampar dan ia ingin menikahi budak wanita tersebut. Untuk itu, ia bertanya kepada sejumlah ulama. Ada ulama yang memerintahkannya dan ada ulama yang melarangnya. Akhirnya, ia bertanya kepada Abu Ad-Darda' yang kemudian berkata, "Kebaikan adalah ketentraman dan keburukan adalah keragu-raguan. Tinggalkan olehmu apa saja yang meragukan menuju apa saja yang tidak meragukanmu".

 

Di riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keragu-raguan", menunjukkan bahwa orang tidak boleh berpatokan kepada ucapan setiap orang seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits Wabishah, "Kendati manusla memberi fatwa kepadamu", Namun ia harus berpatokan kepada ucapan orang yang berkata dengan benar dan tanda kebenaran ialah hati merasa tentram dengannya, sedang tanda dusta ialah timbulnya keragu-raguan di hati. Jadi, hati tidak tentram dengan dusta dan malah lari darinya.

 

Oleh karena itu, ketika orang-orang cerdas pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar ucapan beliau dan apa yang beliau dakwahkan, mereka tahu bahwa beliau benar dan datang dengan membawa kebenaran. Sebaliknya, ketika mereka mendengar perkataan Musailamah Al-Kadzdzab, mereka tahu bahwa ia pendusta dan datang dengan membawa kebatilan. Diriwayatkan dari Amr bin Al-Ash bahwa sebelum ia masuk Islam, ia mendengar perkataan Musailamah Al-Kadzdzab, "Hai kelinci, hai kelinci, engkau mempunyai dua telinga dan dada. Engkau sendiri mengetahui hal ini hai Amr". Amr bin Al-Ash berkata kepada Musailamah Al-Kadzdzab, "Demi Allah, aku tahu engkau pendusta".

 

Salah seorang salaf berkata, "Bayangkan apa saja di hatimu dan pikirkan lalu bandingkan dengan kebalikannya. Jika engkau mampu membedakan di antara keduanya, engkau bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dan antara kejujuran dengan kebohongan. Engkau bayangkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan pikirkan Al-Qur'an yang beliau bawa, misalnya firman Allah Ta'ala, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan'. (Al-Baqarah: 164). Kemudian engkau bayangkan kebalikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallamengkau mendapati bahwa kebalikan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tersebut ialah Musailamah Al-Kadzdzab. Renungkan apa yang ia bawa, engkau akan membaca,

 

'Ketahuilah, hai wanita pemilik kamar,

Tempat tidur telah disiapkan untukmu.'

 

Itu dikatakan Musailamah kepada Sajah [12]) ketika ia menikah dengannya. Engkau lihat Al-Qur'an, ternyata ia kokoh, menakjubkan, melekat di hati, dan enak didengar. Kemudian engkau perhatikan ucapan Musailamah di atas, ternyata ia dingin dan kotor. Dengan demikian, engkau tahu bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah benar yang diberi wahyu, sedang Musailamah pendusta yang diberi kebatilan".

 



[1] Hadits di atas shahih diriwayatkan Abdurrazzaq di Al-Mushannaf hadits nomer 4984, Imam Ahmad 1/200, At-Tirmidzi hadits nomer 2518, An-Nasai 8/327, Ath-Thayalisi hadits nomer 1178, Ad-Darimi 2/245, Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 2708 dan 2711, Abu Nu'aim di Al-Hilyah 8/264, dan Al-Baghawi di Syarhus Sunnah hadits nomer 2032. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 722 dan AI-i lakim 2/ 13 dan 4/99.

[2] Abu Al-Haura' juga dianggap sebagai perawi tepercaya oleh Al-Ajli, Ibnu Khalfun, Ad-Dzahabi, dan Ibnu Hajar.

[3] Di riwayat dari Al-Jauzajani di atas terdapat catatan, karena saya tidak menemukan perkataannya di bukunya Ahwaalur Rijal. Kalau pun perkataannya benar, ia tidak mencemarkan nama baik Abu Al-Haura', karena ia dikenal dan dianggap sebagai perawi tepercaya oleh orang yang lebih pandai daripada Abu Al-Jauzajani.

[4] 3/153.

[5] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Mu’jam Ash-Shaghir hadits nomer 284. Di sanadnya terdapat perawi Abdullah bin Abu Ruman yang haditsnya dhaif dan meriwayatkan sejumlah hadits munkar.

Hadits di atas juga diriwayatkan Abu Asy-Syaikh di Al-Amtsal hadits nomer 40. Abu Nu'aim di Akhbaru Ashbahan 2/243 dan Al-Hilyah 6/352, Al-Qudha'i di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 645, dan Al-Khathib di Tarikhu Baghdad 2/220, 387, dan 6/386.

[6] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir 22 (197). Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 10/294, "Di sanadnya terdapat perawi Ismail bin Abdullah Al-Kindi yang merupakan perawi dhaif".

[7] Hadits tersebut diriwayatkan Abu Daud di As-Sunan hadits nomer 3504 dari jalur Ayyub dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ibnu Qayyim berkata dalam Tadzib Sunan 5/153. Larangan tersebut juga terlihat di hadits Abdullah bin Umar yang berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Aku menjual unta di Al-Baqi' seharga beberapa dirham namun aku menerima uang dinar. Aku menjual dengan uang dinar kemudian menerima uang dirham. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Itu tidak ada masalah jika engkau mengambil uang hasil penjualan unta tersebut dengan harga hari itu dan kalian berdua (penjual dan pembeli) telah berpisah tanpa ada perasaan apa-apa di antara kalian berdua".

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memperbolehkan jual-beli seperti itu dengan dua syarat;

1.     Ibnu Umar mengambil uang hasil penjualan dengan harga hari transaksi agar ia tidak mendapatkan keuntungan di dalamnya dan tanggungannya tetap berlaku.

2.     Ibnu Umar dan pembeli telah berpisah setelah mengadakan serah-terima barang, karena serah-terima barang termasuk syarat keabsahan transaksi agar jual beli tersebut tidak termasuk riba nasi'ah.

[8] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 137 dan Muslim hadits nomer 361 dari Abdullah bin Zaid bin Ashim Al-Mazini Al-Anshari yang berkata, "Dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa seseorang dibayangkan seperti merasakan sesuatu di shalatnya kemudian beliau bersabda, ‘Ia jangan keluar hingga mendengar suara (kentut) atau mencium baunya'.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Muslim hadits nomer (362) dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dengan redaksi, "Jika salah seorang dari kalian merasakan sesuatu di perutnya kemudian tidak jelas baginya; apakah ada sesuatu yang keluar darinya atau tidak?, ia tidak boleh keluar dari masjid hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya".

[9] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3753 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6969. Baca kelanjutan takhrijnya di buku tersebut.

[10] Hadits kedua puluh tujuh buku ini.

[11] Di Jamiul Bayan 29/7Ibnu Al-Jauzi berkata di Zaadul Masir 8/321, "Tentang kata manaakibuha di firman Allah Ta'ala, "Maka berjalanlah kalian di segala penjurunya". (Al-Mulk: 15).

Terdapat tiga penafsiran;

1.     Manaakibuha ialah jalan-jalannya. Ini diriwayatkan Al-Aufi dari Ibnu Abbas. Itulah pendapat Mujahid.

2.     Manaakibuha ialah gunung-gunungnya. Ini diriwayatkan Ibnu Abu Thalhah dari Ibnu Abbas. Itu pendapat Qatadah dan dipilih Az-Zajjaj yang berkata, "Makna ayat di atas ialah kalian dipermudah berjalan di atas bumi. Jika kalian mampu berjalan di gunung-gunungnya, itu puncak penundukan bumi".

3.     Manaakibuha ialah sisi-sisinya. Ini dikatakan Muqatil, Al-Fara', Abu Ubaidah, dan dipilih Ibnu Qutaibah yang berkata, "Mankabaar rajuli ialah kedua sisi orang tersebut".

[12] Sajah di atas ialah Sajah binti Al-Harits At-Tamimiyah yang mengaku menjadi nabi pada masa kemurtadan dan diikuti salah satu kaum. Is berdamai dengan Musailamah yang kemudian menikahinya. Setelah Musailamah terbunuh, ia kembali kepada Islam, masuk Islam, dan hidup hingga masa kekhalifahan Muawiyah. Ia meninggal dunia di Basrah dan dishalati Samurah bin jundab, gubernur Basrah pada masa Muawiyah. Baca buku Al-Ishabah 4/331 dan Syarhul Maqamaat Asy-Syarisyi 4/35-36.

No comments:

Post a Comment