Friday, March 1, 2019

Hadits Arbain 12: Jadilah Orang Yang Baik Keislamannya

عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ " حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا  .

Dari Abu Hurairah radari Nabi sawyang bersabda, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya. “(Diriwayatkan At Tirmidzi dan lain-lain). Hadits di atas hadits hasan li ghairihi diriwayatkan At Tirmidzi hadits nomer 2317, Ibnu Majah hadits nomer 3976, dan Ibnu Hibban hadits nomer 229. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu hadits nomer 108 dan Sa’ad bin Zanbur dari Abdurrahman bin Abdullah Al-Amri (dia itu matruk) dan Suhailbin Abu Shalih dari ayahnya dariAbu Hurairah. Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Dzar, Zaid bin Tsabit, Al-Harits bin Hisyam, dan Ali bin Abu Thalib. Baca buku Syarhuth Thahawiyah 1/342 yang diterbitkan Muassasah Ar­-Risalah.

Syarah Hadits

Hadits di atas di riwayatkan At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari riwayat Al­ Khuzai dari Qurnah bin Abdurrahman dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. At Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut gharib. “Namun hadits tersebut dihasankan Syaikh An-Nawawi, karena para perawinya adalah para perawi tepercaya. Qurrah bin Abdurrahman bin Huyawail dianggap sebagai perawi tepercaya oleh salah satu kelompok dan dianggap dhaif oleh kelompok lainnya. lbnu Abdul Barr berkata, “Hadits tersebut diriwayatkan dari Az-Zuhri dengan sanad seperti itu dan riwayat para perawi tepercaya.” ini sesuai dengan penghasanan hadits tersebut oleh Syaikh An-Nawawi. 

Sedang sebagian besar imam, mereka berkata, “Hadits tersebut tidak diriwayatkan dengan sanad seperti itu, namun diriwayatkan dari Az-Zuhri dari Ali bin Husain dari Nabi saw secara mursal. Hadits tersebut juga diriwayatkan sejumlah perawi tepercaya dari Az-Zuhri, misalnya Imam Malik di Al Muwaththa[1],Yunus, Ma’mar, dan Ibrahim bin Sa’ad. Namun Ibrahim bin Sa’ad berkata bahwa hadits tersebut ber­bunyi, “Di antara keimanan seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya.”

Di antara ulama yang berkata bahwa hadits tersebut tidak shahih kecuali dari Ali bin Husain secara mursal ialah Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Al Bukhari, dan Ad-Daruquthni. Para perawi dhaif keliru besar mensanadkan hadits tersebut pada Az-Zuhri. Yang benar hadits tersebut mursal.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdullah bin Umar Al Amri dari Az­-Zuhri dari Ali bin Husain dari ayahnya dari  Nabi sawAbdullah bin Umar Al Amri menyambungkan sanad hadits tersebut dan menjadikannya salah satu dari Musnad Al Husain bin Ali.

Hadits tersebutjuga diriwayatkan Imam Ahmad di Musnad-nya[2] dari jalur seperti di atas. Abdullah bin Umar Al Amri bukan hafidz hadits. Imam Ahmad[3] juga meriwayatkan hadits di atas dari jalur lain dari Al Husain dari Nabi sawnamun hadits tersebut di-dhaifkan Al Bukhari di Tarikh-nya dari jalur tersebut. Al Bukhari berkata, “Hadits tersebut tidak shahih kecuali dari Ali bin Husain secara mursal.“ Hadits di atas juga diriwayatkan dari Nabi saw dari banyak jalur, namun semuanya dhaif.

Hadits bab di atas adalah salah satu prinsip etika yang agung. Imam Abu Amr bin Ash-Shalah meriwayatkan dari Abu Muhammad bin Abu Zaid, imam sa­habat-sahabat Imam Malik pada zamannya, yang berkata, “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits:
  1. Sabda Nabi saw, ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata dengan baik atau hendaklah ia diam.’
  2. Sabda Nabi saw, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya.’
  3. Sabda Nabi saw kepada orang yang beliau bersabda kepadanya dengan ringkas, ‘Engkau jangan marah.’
  4. Sabda Nabi saw, ‘Orang Mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya”
Makna hadits bab di atas ialah bahwa di antara bentuk kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak penting bagi­nya. Pengertian kata ya’nihi di hadits tersebut ialah perhatiannya (inayah) tertuju kepadanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Inayah ialah perhatian ekstra terhadap sesuatu. Orang tersebut meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan tuntutan jiwa, namun karena pertimbangan syariat dan Islam. Oleh karena itu, Nabi saw menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya. Jadi, jika keislaman seseorang baik, ia meninggalkan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak penting baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajibaan-kewajibaan seperti telah dijelaskan pada hadits Jibril Alaihis Salam.

Meninggalkan hal-hal yang diharamkan juga masuk dalam keislaman yang sempurna dan terpuji, seperti disabdakan Nabi saw, “Or­ang Muslim ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya.” Jadi, jika keislaman seseorang baik, ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, hal-hal syubhat, hal-hal makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak ia butuhkan, karena itu semua tidak pen­ting bagi orang Muslim jika keislamannya telah baik dan mencapai tingkatan ihsan yang tidak lain ialah ia menyembah Allah seolah-olah melihat Nya dan jika ia tidak bisa melihat Nya maka Allah melihatnya. Jadi, barangsiapa menyembah Allah dengan mengingat kedekatan Allah dan penglihatan kepada-Nya dengan hatinya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang penting baginya. Kedua sifat tersebut menghasilkan sifat malu kepada Allah dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya, sebagaimana diwa­siatkan Nabi saw kepada seseorang agar ia malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada salah seorang dari keluarganya yang baik yang tidak pernah berpisah darinya. Di Al Musnad dari At Tirmidzi disebutkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Nabi saw yang bersabda, ‘Malu kepada Allah Ta’ala ialah engkau menjaga kepala dan apa saja yang dikandungnya, perut dan apa saja yang di muatnya, ingat mati dan musibah. Barang siapa berbuat seperti itu, sungguh ia malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya.[4]

Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Malulah kepada Allah sesuai dengan kedekatan Dia kepadamu dan takutlah kepada-Nya sesuai dengan kekua­saan-Nya terhadapmu.”

Salah seorang arif berkata, “Jika engku berbicara, ingatlah pendengaran Allah terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu.” Hal ini diisyaratkan Al Qur’an di banyak tempat, misalnya firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya; satu duduk disebelahnya dan yang lain duduk disebelah kiri. Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf: 16-18).

Atau firman Allah Ta’ala, “Engkau tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur‘an dan engkau tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu pada waktu engkau melakukannya; tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar dzarrah (atom) di bumi atau di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) di kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). “(Yunus: 61).

Atau seperti firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka kira Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar) da utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat disisi mereka. “(Az-Zukhruf: 80). 

Sesuatu tidak penting yang paling sering diinginkan orang Muslim untuk ia tinggalkan ialah perkataan yang tidak berguna seperti diisyaratkan permulaan su­rat Qaaf. Di Al Musnad disebutkan hadits dari Al Husain dari Nabi saw yang bersabda, “Sesungguhnya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah sedikit menga­takan sesuatu yang tidak penting baginya.’[5]

A1-Kharaithi meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata, “Seseorang datang kepada Nabi saw kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku ditaati di kaumku, apa yang mesti aku perintahkan kepada mereka?’Nabi saw bersabda kepada orang tersebut,‘Perintahkan mereka menyebarkan salam dan sedikit bicara kecuali dalam hal-hal yang penting bagi mereka [6]

Dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Dzar ra dari Nabi saw yang bersabda, “Di shuhuf-shuhuf Ibrahim as tertulis, ‘Orang berakal selama akalnya tidak dikalahkan wajib mempunyai waktu-waktu; waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, waktu untuk mengevaluasi dirinya, waktu untuk memikirkan ciptaan Allah, dan waktu yang ia gunakan untuk meme­nuhi kebutuhannya; makanan dan minuman. Orang berakal wajib tidak beranjak kecuali untuk tiga hal; mencari bekal untuk Hari Akhir, atau memper­baiki kehidupannya, atau mencari kenikmatan pada hal-hal yang tidak diharamkan. Orang berakal wajib melihat waktunya, menangani urusannya, dan menjaga lidahnya. Barangsiapa membandingkan antara ucapannya dan amal perbuatannya, ia sedikit bicara kecuali terhadap hal-hal yang penting baginya.”[7]

Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata, “Barangsiapa membandingkan antara ucapannya dan amal perbuatannya, niscaya ucapannya sedikit kecuali dalam hal-hal yang penting baginya.”Begitulah kurang lebih ucapan beliau. Banyak ma­nusia tidak membandingkan antara ucapannya dengan amal perbuatannya, akibat­nya, ia bicara ngawur dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui Muadz bin Jabal ra ketika ia bertanya kepada Nabi saw, “Apakah kita juga akan dihukum karena apa yang kita katakan?” Nabi saw bersabda, “Semoga ibumu kehilangan Anda, tidak ada yang membuat manusia terjungkir di neraka, melainkan karena hasil lidah mereka.”[8]

Allah Ta’ala menegaskan tidak adanya kebaikan di seluruh bisikan manusia sesama mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan dikebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-­bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan pendamaian di antara manusia. “(An-Nisa’: 114). 

At Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Ummu Habibah ra dari Nabi saw yang bersabda, “Seluruh perkataan anak keturunan Adam atasnya (dicatat sebagai kebu­rukan) dan bukan untuknya (dicatat sebagai kebaikan) kecuali amar ma’ruf nahi munkar dan zikir kepada Allah Azza wa Jalla.”[9]

Salah satu kaum menunjukkan keheranannya dengan hadits di atas kepada Sufyan, kemudian Sufyan berkata kepada mereka, “Kalian merasa heran dengan ha­dits ini? Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Tidak ada kebaikan di kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. ‘ (An-Nisa’: 114). Bukankah Allah Ta’aljuga telah berfirman, ‘Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf mereka tidak bicara kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah dan ia mengucapkan kata yang benar ‘(An-Naba’: 38).”

At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik ra yang berkata, “Salah seorang sahabat Nabi saw wafat kemudian seseorang berkata, ‘Bergembirah ia dengan surga.‘Rasulullah saw bersabda, ‘tidakkah engkau tidak tahu, barangkali orang yang meninggal ini pernah mengatakan sesuatu yang tidak penting baginya atau ia bakhil dengan sesuatu yang tidak ia butuhkan.’ “[10]

Hadits yang semakna diriwayatkan dari Nabi saw dari banyak jalur. Di sebagian jalur disebutkan bahwa orang tersebut mati syahid. Abu Al Qasim Al Bagawi meriwayatkan di Mu’jam-nya hadits dari Syihab bin Malik yang datang kepada Nabi saw bahwa seorang wanita berkata kepada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak mengucapkan salam kepada kami?” Nabi saw bersabda, “Engkau termasuk wanita -wanita yang menyedikitkan sesuatu yang banyak, menolak memberikan sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan bertanya tentang sesuatu yang tidak penting baginya.”[11]

Al Uqaili meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda, “Orang yang paling banyak dosanya ialah orang yang paling banyak bicara dalam hal-hal yang tidak penting baginya.”[12]

Amr bin Qais Al Malai berkata, “Seseorang berjalan melewati Luqman yang ketika itu sedang bersama orang-orang, kemudian Luqman berkata kepada orang tersebut, ‘Bukankah engkau budak si Fulan?’ Orang tersebut menjawab, ‘Betul.’ Luqman berkata kepada orang tersebut , ‘Engkau menggembalà di gunung ini dan itu?’ Orang tersebut menjawab, ‘Betul.’ Luqman berkata, ‘Apa yang menyebabkan engkau menjadi orang seperti yang aku lihat?’ Orang tersebut berkata, ‘Berkata de­ngan benar dan banyak diam terhadap apa saja yang tidak penting bagiku’.”

Wahb bin Munabih berkata,“Di Bani Israil terdapat dua orang yang ibadah keduanya sampai puncak hingga keduanya bisa berjalan di atas air. Ketika keduanya sedang berjalan di atas laut, tiba-tiba keduanya melihat seseorang berjalan di udara kemudian keduanya berkata kepada orang tersebut , ‘Hai hamba Allah, dengan apa engkau bisa mencapai kedudukan seperti ini?’ Orang yang berjalan di udara tersebut menjawab, ‘Dengan sesuatu yang sedikit dari dunia ini; aku menyapih diriku dari seluruh syahwat, menjaga lidahku dari apa saja yang tidak penting bagiku, senang kepada apa saja yang diserukan kepadaku, dan selalu diam. Jika aku bersumpah dengan nama Allah, Dia mengabulkannya. Jika aku meminta sesuatu kepada-Nya, Dia memberiku’.”

Beberapa orang masuk ke salah seorang sahabat Nabi saw yang sakit namun wajahnya berseri-seri. Mereka bertanya kepada sahabat tersebut penyebab wajahnya berseri-seri seperti itu? Sahabat tersebut menjawab, “Tidak ada amal perbuatan yang lebih kuat bagiku daripada dua hal; aku tidak bicara di dalam hal-hal yang tidak penting bagiku dan hatiku ridha kepada kaum Muslimin.”

Muwarriq Al Ajli berkata, “Ada sesuatu yang aku cari, namun sudah sekian tahun aku tidak menemukannya, namun terus akan mencarinya tidak putus asa.” Orang-orang bertanya, “Apa sesuatu tersebut ?” Muwarriq Al Ajli berkata, “Menahan diri dari apa saja yang tidak penting bagiku.” (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya).

Asad bin Musa meriwayatkan, Abu Ma’syar berkata kepadaku dari Muhammad bin Ka’ab yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang pertama kali mendatangi kalian ialah seseorang dari penghuni surga.“ Setelah itu, datanglah Abdullah bin Salam lalu orang-orang mendekat kepadanya dan menceritakan sabda Nabi saw tersebut kepadanya. Mereka berkata, “Ceritakan kepada kami tentang amal perbuatanmu yang paling kuat dalam dirimu. “Abdullah bin Salam berkata, ‘Amal perbuatanku lemah, namun sesuatu terkuat yang aku harapkan ialah lapang dada dan aku bisa meninggalkan apa saja yang tidak penting bagiku.’[13]

Abu Ubaidah meriwayatkan dari Al Hasan yang berkata, “Di antara bukti Allah Ta’la berpaling dari seorang hamba ialah Allah menyibukkan orang tersebut pada hal-hal yang tidak penting baginya sebagai bentuk penghinaan dari-Nya.”

Sahl bin Abdullah At Tusturi berkata, “Barangsiapa mengatakan hal-hal yang tidak penting baginya, ia terhalang dari kebenaran.”

Ma’ruf berkata, “Perkataan seorang hamba terhadap sesuatu yang tidak penting baginya adalah penghinaan dari Allah Azza wa Jalla  kepada dirinya.”

Hadits bab di atas menunjukkan bahwa meninggalkan hal-hal yang tidak penting adalah bukti keislaman orang tersebut baik. Jika ia meninggalkan apa saja yang tidak penting baginya dan mengerjakan hal-hal yang penting baginya, sungguh kebaikan keislamannya telah sempurna. Banyak sekali hadits tentang keutamaan orang yang keislamannya baik, kebaikan-kebaikan pelakunya dilipat gandakan, dan kesalahan-kesalahannya dihapus. Kelihatannya, banyaknya pelipatgandaan kebaikan itu sangat ditentukan baik tidaknya keislaman seseorang. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang ia kerjakan ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat dan setiap kesalahan yang dilakukannya ditulis dengan kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allah Azza wa Jalla.’[14]

Satu kebaikan dilipatkan hingga sepuluh kali lipat adalah suatu keniscaya­an. Pelipatgandaan kebaikan tersebut sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal perbuatan tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang­-orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan. Hal ini diperkuat riwayat dari Athiyah dari Ibnu Umar yang berkata, “Ayat berikut turun, ‘Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, ‘(Al An’am: 160), diturunkan tentang orang-orang Arab Badui.” Ditanyakan kepada Ibnu Umar, “Apa yang didapatkan kaum Muhajirin?” Ibnu Umar menjawab, “Mereka mendapatkan yang lebih banyak lagi.” 

Setelah itu, Ibnu Umar membaca firman Allah Ta’ala, ‘Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat ganda­kannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar “ (An-Nisa’: 40).

An-Nasai meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudni ra dari Nabi saw yang bersabda, ‘Jika seorang hamba masuk Islam kemudian kelslamannya baik, baginya Allah menulis setiap kebaikan yang ia kumpulkan dan dihapus darinya setiap kesalahan yang ia kumpulkan. Setelah itu, yang terjadi ialah qishas; satu kebaikan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat dari nilai kebaik­annya hingga tujuh ratus lipat dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama kecuali jika Allah memaafkannya.”[15]

Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menun­jukkan bahwa seseorang diberi pahala karena kebaikan-kebaikannya sebelum Is­lam jika ia masuk Islam dan kesalahan-kesalahannya dihapus darinya jika ia masuk Islam, namun dengan syarat keislamannya baik dan menjauhi kesalahan-kesalahan tersebut pasca keislamannya. Ini ditegaskan Imam Ahmad. Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim dan Ibnu Mas’ud ra  yang berkata, kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami dihukum karena apa yang kami kerjakan pada masa jahiliyah?”Nabi saw bersabda, “Barang siapa diantara kalian berbuat baik dimasa Islam, ia tidak dihukum karena kesalahan yang ia kerjakan sebelum Islam. Dan Barangsiapa berbuat tidak baik, ia dihukum karena perbuatannya pada masa jahiliyah dan masa Islam.”[16]

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Amr bin Al Ash yang berkata kepada Nabi saw ketika ia masuk Islam, “Aku ingin membuat persyaratan.Nabi saw ber­kata, “Engkau mensyaratkan apa?”Aku menjawab, “Aku diampuni. “Nabi saw bersabda, “Tidakkah engkau tahu bahwa Islam menghapus apa saja sebelum Islam.” 

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dan teksnya ialah, “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya.” Itu dengan asumsi Islam yang sempurna dan baik menurut hadits tersebut dan hadits lbnu Mas’ud sebelumnya. Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Hakim bin Hizam yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang aku kerjakan pada masa jahiliyah, misalnya sedekah, memerdekakan budak, atau silaturahim, apakah aku mendapatkan pahala di dalamnya?” Rasulullah saw bersabda, “Engkau masuk Islam dengan kebaikan yang telah engkau lakukan.” Di riwayat lain disebutkan, “Aku (Hakim bin Hizam) berkata, ‘Demi Allah, aku tidak meninggalkan apa pun yang pernah aku kerjakan pada masa jahiliyah melainkan aku mengerjakan semisalnya pada masa Islam.”

Ini menunjukkan bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir jika ia masuk Islam itu diberi pahala seperti di­tunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri sebelumnya. Ada yang mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan orang kafir diganti dengan kebaikan-kebaikan dan diberi pahala berdasarkan firman Allah Ta’ala, ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina; Barangsiapa melakukan yang demikian, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa. Akan dilipatgandakan adzab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . “(Al Furqan: 68-70).

Para pakar tafsir berbeda pendapat mengenai penggantian tersebut. Ada dua penafsiran dalam hal ini;
1.     Ada yang mengatakan bahwa penggantian tersebut terjadi di dunia dalam arti Allah mengganti kekafiran dan kemaksiatan orang yang masuk Islam dan bertaubat kepada-Nya dengan iman dan amal shalih. Penafsiran ini diriwayatkan Ibrahim Al Harbi di Gharibul Hadits dari sebagian besar pakar tafsir, di antaranya Ibnu Abbas, Atha’, Qatadah, As-Sudi, dan Ikrimah. Saya katakan, penafsiran ini juga berasal dari Al Hasan. Ada yang mengatakan bahwa Al Hasan, Abu Malik, dan lain-lain berkata, “Penggantian tersebut secara khusus terjadi pada orang-orang musyrik dan tidak terjadi pada orang-orang Islam.” Saya katakan, ucapan ini benar dengan syarat bahwa penggantian tersebut terjadi di akhirat seperti akan disebutkan. Jika dikatakan bahwa penggantian tersebut terjadi di dunia , orang kafir yang masuk Islam dan orang Muslim yang bentaubat itu sama saja, bahkan jika orang Muslim bertaubat, ia lebih baik daripada orang kafir jika masuk Islam.

2.    Ulama lain berkata bahwa penggantian tersebut terjadi di akhirat. Makna ayat itu bahwa Aku (Allah) mengganti setiap kesalahan dengan kebaikan untuk mereka. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini ialah Amr bin Maimun, Makhul, Sa’id bin Al  Musayyib, dan Ali bin Al Husain. Al Harbi berkata, “Pendapat ini ditentang Abu Al Aliyah, Mujahid, dan Khalid Sablan, karena memang di pendapat kedua ini terdapat alasan untuk menolaknya.” Setelah itu, Al Harbi menyebutkan pendapatnya yang kesimpulannya bahwa pendapat kedua mengharuskan orang yang banyak kesalahannya menjadi lebih baik daripada orang yang sedikit kesalahannya, karena setiap kesalahan diganti dengan kebaikan. Kata Al Harbi, jika orang berkata sesungguhnya Allah menyebutkan bahwa Dia mengganti kesalahan-kesalahan dengan ke­baikan-kebaikan tanpa menyebutkan jumlah bagaimana kesalahan-kesalahan tersebut diganti dengan kebaikan-kebaikan. Maka makna penggantian berarti barangsiapa mengerjakan satu kesalahan dan bertaubat darinya maka kesa­lahannya diganti dengan seratus ribu kebaikan dan barangsiapa mengerjakan seribu kesalahan maka seribu kesalahannya diganti dengan seribu kebaikan. Jika makna pendapat tersebut seperti itu, tentu orang yang sedikit kesalah­annya itu lebih baik.

Saya katakan, pendapat kedua ditentang Abu Al Aliyah. Abu Al Aliyah membaca firman Allah Ta’ala, “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh. “(Ali Imran: 30).

Pendapat kedua juga ditentang ulama lain dengan berpatokan kepada firman Allah Ta’la, ‘Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya.“ (Az-Zalzalah: 8).

Dan berpatokan kepada firman Allah Ta’ala, ‘Dan diletakkanlah kitab lalu kamu lihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) didalamnya dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya, ‘dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis) dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun.“ (Al Kahfi: 49).

Namun tentang hal ini bisa dijawab balik bahwa orang yang bertaubat di­hentikan pada kesalahan-kesalahannya kemudian kesalahan-kesalahannya diganti dengan kebaikan-kebaikan. Abu Utsman An-Nahdi berkata, “Orang Mukmin diberi buku catatan amalnya yang tertutup dari Allah Azza wajalla kemudian ia membaca kesalahan-kesalahannya. Jika ia telah membacanya, warna kulitnya berubah hingga ia membaca tentang kebaikan-kebaikannya. Ia baca kebaikan-kebaikannya hingga warna kulit kembali seperti semula. Ia melihat lagi, ternyata kesalahan-kesalahannya telah diganti dengan kebaikan-kebaikan. Ketika itulah, Allah Ta’ala berfirman, ‘Ambillah, bacalah kitabku (ini).‘ (Al Haaqqah: 19).” Perkataan tersebut diriwayatkan sebagian ulama dan Abu Utsman dari Ibnu Mas’ud. Ulama lain berkata, perkataan tersebut dari Abu Utsman dan Salman.

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Dzar ra dari Nabi saw yang bersabda, “Sungguh aku tahu penghuni surga yang terakhir masuk surga dan penghuni neraka yang terakhir kali keluar dari neraka. Pada Hari Kiamat, seseorang didatangkan kemudian dikatakan, ‘Perlihatkan kepada orang ini dosa-dosa kecilnya dan angkat dosa-dosa besar darinya. ‘Allah menampakkan kepada orang tersebut dosa-dosa kecilnya kemudian dikatakan kepadanya, ‘Engkau melakukan ini dan itu pada hari ini Engkau melakukan ini dan itu pada hari ini ‘Orang tersebut berkata, ‘Ya. ‘Ia tidak dapat memungkirinya karena takut kalau dosa-dosa besarnya diperlihatkan kepadanya. Dikatakan kepada orang tersebut , ‘Engkau berhak atas penggantian setiap kesalahan dengan ke­baikan. ‘Orang tersebut berkata, ‘Tuhanku, aku telah melakukan banyak hal, tapi tidak melihatnya di sini’ “Abu Dzar berkata, “Aku lihat Rasulullah saw tertawa hingga gigi geraham beliau terlihat.’[17]

Jika kesalahan-kesalahan diganti dengan kebaikan-kebaikan bagi orang yang disiksa karena dosa-dosanya di neraka, maka pemberlakuan penggantian bagi orang yang kesalahan-kesalahannya dihapus dengan Islam dan taubat tentu lebih utama, karena penghapusan kesalahan-kesalahan dengan Islam dan taubat lebih disukai Allah daripada dihapus dengan siksa. Al Hakim meriwayatkan hadits dari jalur Al Fudhail bin Musa dari Abu Al Anbas dari ayahnya dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulullah sawbersabda,  “Pastilah kaum-kaum mendambakan menjadi orang-orang yang paling banyak kesalahan-kesalahannya. “Para sahabat berkata, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Karena mereka orang-orang yang kesalahan-kesalahan mereka diganti Allah dengan kebaikan.” Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Hatim[18] dari jalur Sulaiman bin Abu Daud Az-Zuhri dari Abu Al Anbas dari ayahnya dari Abu Hurairah secara mauquf.. Yang benar hadits tersebut marfu’.

Pendapat pendapat kedua di atas juga diriwayatkan sebagai pendapat Al­-Hasan Al-Basri dan itu bertentangan dengan pendapatnya sebelum ini, karena juga diriwayatkan darinya bahwa ia berpendapat bahwa penggantian kesalahan dengan kebaikan itu terjadi di dunia. Adapun yang disebutkan Al Harbi tentang penggantian kesalahan dengan kebaikan, orang yang sedikit kesalahannya ditambah kebaikan-kebaikannya, dan orang yang banyak kesalahan-kesalahanya itu kebaikan-kebaikannya disedikitkan, maka hadits Abu Dzar di atas secara tegas membantahnya dan yang benar ialah setiap kesalahan diganti dengan kebaikan.

Sedang perkataan Al Harbi bahwa pendapat kedua mengharuskan orang yang banyak kesalahannya menjadi lebih baik daripada orang yang sedikit kesa­lahannya, maka dapat dikatakan bahwa penggantian kesalahan dengan kebaikan itu berlaku  bagi orang yang menyesali kesalahan-kesalahannya dan meletakkannya di kedua pelupuk matanya. Jika ia ingat kesalahan-kesalahannya, ia semakin takut, malu kepada Allah, bersegera mengerjakan amal-amal yang bisa menghapus kesa­lahan seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . “(Al Furqan: 70)).

Semua yang telah saya sebutkan masuk dalam amal shalih. Barangsiapa keadaannya seperti itu, ia lebih mampu meneguk pahitnya penyesalan dan kesedihan atas dosa-dosanya daripada merasa kemanisan kesalahan-kesalahan ketika ia mengerjakannya dan setiap dosanya menjadi penyebab amal shalih yang menghapus kesalahan. Setelah ini, penggantian dosa-dosa (kesalahan-kesalahan) dengan ke­baikan-kebaikan tidak dapat diingkari.

Banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa jika orang kafir masuk Islam dan keislamannya baik, kesalahan-kesalahannya pada zaman syirik diganti dengan kebaikan-kebaikan. Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Abdurrahman dari Jubair bin Nufair dari Abu Farwah Syathab bahwa ia datang kepada Nabi sawkemudian berkata,  “Bagaimana pendapatamu tentang orang yang mengerjakan seluruh dosa, tidak meninggalkan kebutuhan besar dan kebutuhan besar, apakah taubatnya diterima?” Nabi saw bersabda, “Apakah engkau sudah masuk Islam?”Abu Farwah Syathab menjawab, “Sudah. “Nabi saw bersabda, “Kerjakan kebaikan-kebaikan dan tinggalkan kesalahan-kesalahan, niscaya Allah menjadikan kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kebaikan-kebaikan untukmu. “Abu Farwah Syathab berkata, “Termasuk pengkhianatan dan kejahatanku? ”Nabi saw bersabda, “Ya. “Abu Farwah terus-menerus bertakbir hingga meng­hilang.[19]

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani21 dari jalur lain dengan sanad dhaif dari Salamah bin Nufail dari Nabi sawIbnu Abu Hatim meriwayatkan hadits semisal dengan hadits di atas dari Makhul secara mursal. Al Bazzan meriwayatkan hadits di atas dan menurutnya, “Dan Abu Thawil Syathab (bukan Abu Farwah) bahwa ia datang kepada Nabi sawdan seterusnya yang semakna dengan hadits di atas.”

Hadits di atas juga diriwayatkan Abu Al Qasim Al Baghawi di Mu’jam­nya. Ia menyebutkan , yang benar hadits di atas dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair secara mursal bahwaseorang laki-laki thawi syathb (tinggi) datang kepada Nabi saw. Syathb artinya memanjang. Sebagian perawi salah tulis dan mengira kalimat itu nama orang laki-laki tersebut .22


[1]2/903
[2]Al Musnad 1/201
[3]lbid, 1/201.
[4]Hadits dhaif diriwayatkan Imam Ahmad (3/387), At Tirmidzi hadits nomer 2458, Al­Hakim 4/3 23, dan Al Marwazi di Ta ‘dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 450 dan jalur Aban bin Ishaq dan Ash-Shabah bin Muhammad (di Al Mustadrak terdapat kesalahan penulisan di mana di dalamnyatertulis Ash-Shabah bin Muharib) dan Murah Al Hamdani dar Abdullah bin Mas’ud.Sanad tersebut dhaifkarena tidak ada yang meriwayatkan dari Ash-Shabah bin Muhammad kecuali Aban bin Ishaq. Ibnu Hibban berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari para perawi tepercaya.” Al Uqaili menyebutkan Ash-Shabah bin Muhammad dalam Adh Dhuafa, “Di haditsnya terdapat kekeliruan di mana ia menjadikan hadits mauquf sebagai haditsmarfu‘.“ Se­telah menyebutkan hadits tersebut , At Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut gharib (dhaif), karena kami mengetahui hadits tersebut dengan jalurnya dari Aban bin Ishaq dari Ash-Shabah bin Muham­mad.” A1-Mundziri berkata di At Targhib wat Tarhib 3/400, “Ash-Shabah bin Muhammad dipermasalahkan karena ia menganggap hadits tersebut dariNabi sawpadahal para ulama berkata bahwa yang benar hadits tersebutmauquf”
Ibnu Hajar berkata di At Taqrib, “Ash-Shabah bin Muhammad adalah perawi dhaif” Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan, “Ash-Shabah bin Muhammad menganggap dua hadits berasal dari Nabi sawpadahal hadits tersebut adalah ucapan Abdullah.” Saya katakan, dua hadits yang dimaksud ialah hadits di atas dan hadits lain di Al Musnad sesudahnya.
Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 494 dan di dalamnya terdapat tiga perawi yang dhaif dan sanad hadits tersebut terputus.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al Ausath dari Aisyah dan di sanadnya terdapat perawi Ibrahim bin Ismail bin Abu Habibah dan dia itu matruk seperti disebutkan dalam Majmauz Zawaid 10/284.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al Kabir hadits nomer 3192 dan Al­Hakam bin Umain dan di sanadnya terdapat perawi Isa bin Ibrahim Al Qurasyi. Al Bukhari berkata, “Haditsnya munkar.” Yahya bin Mu’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya.” Abu Hatim dan An-Nasai berkata, “Ia ditinggalkan (tidak bisa dijadikan hujjah).”
[5]Diriwayatkan Imam Ahmad 1/201 dan Ath-Thabrani di Al Kabir hadits nomer 2886
dan Ash-Shaghin 2/11. Hadits tersebut hasan li ghairihi.
[6]Di Makaarimul Akhlaq (196) dan di sanadnya terdapat perawi As-Siri bin Ismail Al­Kufi, sahabat Asy-Sya’bi. Ibnu Al Qaththan berkata, “Terlihat dengan jelas olehku kebohongan As-Siri bin Ismail di satu majlis.” An-Nasai dan lain-lain berkata, “latidak bisa dijadikan hujjah.”
[7]Diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 361 dari hadits panjang. Hadits tersebut sangat dha(f karena di sanadnya terdapat Ibrahim bin Hisyam bin Yahya Al Ghassani Ad­Dimasyqi. La dianggap pendusta oleh Abu Hatim dan Abu Zun’ah. Adz-Dzahabi berkata, “Ia matruk.”
[8]Hadits panjang yang akan disebutkan di hadits nomer kedua puluh sembilan buku ini.
[9]Diriwayatkan At Tinmidzi hadits nomer 2412 dan Ibnu Majah hadits nomer 3974. At­Tinmidzi berkata, “Hadits tersebut hasan kendati di sanadnya terdapat Ummu Shalih yang tidak dikenal.”
[10]Diriwayatkan At Tirmidzi hadits nomer 2316 dan Abu Nu’aim di Al Hilyah 5/55-56 dan jalur Al A’masy dan Anas bin Malik. para perawinya adalah para perawi tepercaya, hanya saja A1-A’masy tidak mendengar hadits tersebut dari Anas bin Malik. Al Mundziri berkata, “Para perawi hadits tersebut adalah para perawi tepercaya.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’ Ia di Musnad-nya hadits nomer 4017 dan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtuhadits nomer 109 dari jalur Abdurrahman bin Shalih Al Azdi yangberkata, Yahya bin Ya’la Al-Aslami berkata kepadaku dari Al A’masy dari Anas bin Malik rayangberkata, “Salah seorang anak muda di kalangan kami gugur dalam Pe­rang Uhud kemudian di atas perutnya ditemukan batu yang terikat (dengan perutnya) untuk menahanlapar. Ibunya mengusap tanah dan wajah anak muda tersebut sambil berkata, Selamat surga untukmu, hai anakkku. ‘Nabi saw bersabda, Engkau tidak tahu barangkali anak tersebut pernah mengatakan sesuatu yang tidak penting baginya dan menolak memberi sesuatu yang tidak mendatangkan kerugian padanya’.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’la dari Al Baihaqi dari Abu Hurairah rayangberkata, “Seseorang gugur pada zaman Rasulullah sawkemudian seorang wanita menangisinya sambil berkata, ‘Duhai syahidku.’ Nabi sawbersabda, ‘Engkau tidak tahu kalau ia syahid, karena barangkali ia pernah me­ngatakan sesuatu yang tidak penting baginya atau bakhil dengan sesuatu yang tidak mengu­ranginya’.”
Al Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 10/302-303, “Di sanadnya terdapat perawi Isham bin Thaliq yang merupakan perawi dhaif.”
[11]Di sanadnya terdapat perawi yang tidak dikenal. Hadits tersebut disebutkan Al­-Hafidz Ibnu Hajar di Al Ishabah 2/155 dan ia juga menisbatkannya kepada Ali bin Sa’id Al Askari dan Ibnu Qani’.
[12]Disebutkan Al Hafidz As-Suyuthi di Al Jami ‘Al Kabir 1/137.
[13]Sanad hadits tersebut dhaif Abu Ma’syar yang nama aslinya ialah Najih bin Abdur­rahman As-Sindi ialah perawi dhaif.
Saya katakan, Imam Ahmad 1/169, 182 meriwayatkan hadits dengan sanad hasan dari Sa’ad bin Abu Waqqash bahwa Nabi sawdiberi semangkok tsarid(roti yangdiremuk dan direndam dalam kuah) kemudian beliau memakannya. Makanan tersebut tersisa, lalu Nabi sawbersabda, “Dari jalan di antara gunung ini akan masuk sa­lah seorang dari penghuni surga yang akan memakan sisa Makanan ini.” Sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Aku tinggalkan saudaraku, Umair bin Abu Waqqash, untuk bersiap-siap menghadap Nabi sawdan aku sangat berharap kiranya dia yang dimaksud oleh Nabi sawSetelah itu, ternyata Abdullah bin Salam datang kemudian memakan sisa Makanan Nabi sawtersebut .” Hadits ini dishahihkan Al Hakim 3/ 416 dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[14]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 129.
[15]8/105-106dari jalur Shafwan bin Shalih yang berkata, Al Walid berkata kepadaku, Malik berkata kepadaku dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasan dari Abu Sa’id Al Khudni. Sanad tersebut shahih.
[16]Diriwayatkan Al Bukhari hadits nomer 6921 dan Muslim hadits nomer 120.
[17]Diriwayatkan Muslim hadits nomer 190.
[18]Hadits tersebut disebutkan Ibnu Katsir di Tafsir-nya 6/138 dari Ibnu Abu Hatim dari ayahnya dari Hisyam bin Ammar yang berkata, Sulaiman bin Musa Abu DaudAz-Zuhri mengisahkan hadits tersebut dengan sanad seperti ini. Pada Sulaiman bin Musa terdapat kelemahan.
[19]Diriwayatkan Ath-Thabnani di Al Kabir hadits nomer 7235. Al Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 1/32 dan 10/202, “Menurut kedua buku tersebut , hadits di atas berasal dari Abu Thawil.” Jadi, bukan dan Abu Farwah.
Hadits di atasjuga diriwayatkan Ath-Thabrani dari Al Bazzar hadits nomer 3244. Para perawi Al Bazzar adalah para perawi Bukhari, kecuali Muhammad bin Hanun bin Nasyith dan dia itu merupakan perawi tepercaya.
Hadits di atas juga disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar di Al Ishabah 2/149 dan juga menis­batkannya kepada Al Baghawi, Ibnu Zubar, Ibnu As-Sakn, dan Ibnu Abu Ashim. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hadits tersebut sesuai dengan syarat Shahih Al Bukhari.”
Saya temukan jalur lain tentang hadits di atas. Ibnu Abu Ad-Dunya berkata di Husnudz Dzan hal 146, Ubaidillah bin Jarin berkata kepada kami, Muslim bin Ibrahim berkata kepada kami, Nuh bin Qais berkata kepada kami dari Asy’ats bin Jabir Al Hadani dan Makhul dari Amr bin Absah yang berkata, “Orang tua datang kepada Nabi sawyangketika itu sedang bersandar di tongkat. Orang tua tersebut berkata, ‘Wahai Nabi Allah,aku mem­punyai sejumlah pengkhianatan dan kejahatan, apakah engkau mengampuniku?’ Nabi sawbersabda, Engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.’ Orang tua tersebut berkata, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Nabi sawbersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengampuni seluruh pengkhianatan dan kejahatanmu.’ Setelah itu, orang tersebut pergi sambil berkata, ‘Allahu akbar, Allahu akbar’.” Di hadits tersebut tidak ada yang terputus antara Makhul dengan Amr bin Absah.

No comments:

Post a Comment