Sunday, December 16, 2018

Hadits Arbain 2: Iman, Islam, dan Ihsan



عن عُمرُ بنُ الخطَّاب رضي الله عنه، قال: بَيْنَما نحنُ جلوسٌ عند رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ذَاتَ يومٍ إذ طَلعَ عليْنا رجلٌ شَديدُ بياض الثِّياب شديدُ سوادِ الشَّعر لا يُرى عليه أثرُ السَّفَر ولا يعرفُه مِنَّا أحدٌ حتَّى جَلَسَ إلى النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - فأسْندَ رُكْبَتَيْهِ إلى رُكْبَتَيْهِ، ووَضعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيهِ وقال: يا محمَّدُ، أخبرني عن الإسلام، فقالَ رسُولُ الله - صلى الله عليه وسلم -: الإسلام أن تَشهدَ أن لا إله إلا الله وأنَّ محمَّدًا رسولُ الله وتُقيمَ الصَّلاة وتؤتيَ الزكاة وتصومَ رمضان وتَحُجَّ البيْتَ إن استطعت إليه سبيلاً. قال: صدقت، قال: فَعَجِبنا لَهُ يَسْألُه ويُصدِّقُه قال : فأخبرني عن الإيمان ؟ قال: أنْ تُؤمن باللهِ ومَلائِكَتِهِ وكتبه ورُسُلِه واليوم الآخر وتؤمن بالقدَر خَيْرِهِ وشَرِّهِ. قال: صدَقْتَ، قال: فأخبرني عن الإحسان، قال: أن تعبدَ الله كأنك تراه، فإن م تكن تَراه، فإنه يَراكَ. قال: فأخبرني عن الساعة؟ قال: ما المسؤول عنها بِأعْلَمَ من السَّائِلِ. قال: فأخبرني عن إماراتها؟قال: أنْ تَلِدَ الأمَةُ رَبَّتُها، وأنْ تَرَى الحُفَاةَ الْعُرَاةَ العالَةَ رِعاءَ الشاءِ يتَطاوَلون في البُنْيان، قال: ثم انطلَقَ، فلبِثَ مَليًّا ثم قال لي: يا عمر، أتدري مَنِ السَّائل؟ قُلْتُ: الله ورسُولُه أعلم، قال: فإنَّه جبريل أتاكم يُعلِّمُكم دينَكُمْ "رواه مسلم"

Dari Umar bin Khaththab ra yang berkata, 
“Ketika kami sedang berada di samping Rasulullah saw pada suatu hari. Tiba-tiba muncullah pada kita orang yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan, dan tidak ada seorangpun dan kami yang kenal dengannya. orang tersebut duduk di dekat Rasulullah saw, menyandarkan kedua lututnya ke lutut beliau dan meletakkan kedua tangan­nya ke kedua paha beliau. Orang tersebut berkata, ‘Hai Muhammad, terangkan Islam kepadaku. ’
Rasulullah saw bersabda, ‘Islam ialah hendaknya engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitu llah jika engkau mendapatkan jalan kepadanya.’ orang tersebut berkata, ‘Engkau berkata benar ‘Kami heran padanya; ia bertanya kepada Rasulullah saw, namun ia juga membenarkan beliau. 
Orang tersebut berkata lagi ‘Terangkan iman kepadaku.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Hendaknya engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul­-Nya, Hari Akhir dan beriman kepada takdir; baik buruknya. ’
Orang tersebut berkata, ‘Engkau berkata benar, terangkan ihsan kepadaku.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. ’
Orang tersebut berkata, ‘Terangkan hari kiamat kepadaku.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Orang yang ditanya tentang hari kiamat tidak lebih tahu dari penanya.’ 
Orang tersebut berkata, ‘Terangkan kepadaku tanda-tanda hari kiamat. ’
Rasulullah saw bersabda, ‘Budak wanita melahirkan majikannya, engkau lihat orang yang telanjang kaki, telanjang badan, fakir dan penggembala kambing saling meninggikan bangunan.’
Setelah itu, orang tersebut pergi dan aku tetap berada di tempat lama sekali hingga akhirnya Rasulullah saw bersabda kepadaku, ‘Hai Umar tahukah engkau siapa penanya tadi?’ Aku menjawab ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Orang tadi adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian “ (Diriwayatkan Muslim)

Syarah Hadis Arbain Ibnu Rajab
Hadits di atas diriwayatkan Muslim tanpa Al-Bukhari. Ia meriwayatkannya dari jalur Kahmas dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya’mar yang berkata, “Orang yang pertama kali mengingkari taqdir di Basrah adalah Ma’bad Al-Juhani. Kemudian aku dan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari berangkat haji atau umrah. Aku berkata, ‘Jika kita bertemu salah seorang sahabat sawkita bertanya kepadanya tentang qadariyah.’ Kami bertemu Abdullah bin Umar bin Khaththab yang ketika itu masuk Masjidil Haram kemudian aku dan sahabatku mendekatinya; aku di sebelah kanan Ibnu Umar sedang sahabatku di sebelah kirinya. Aku kira sahabatku akan melimpahkan pembicaraan kepadaku. Aku berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Umar), di daerah kami muncul segolongan orang yang membaca Al-Qur’an dan mencari ilmu, dan menyebutkan keutamaan lainnya, mereka meyakini bahwa Allah tidak menetapkan takdir, dan bahwa segala sesuatu itu tidak didahului takdir.’ lbnu Umar berkata, ‘Jika engkau bertemu mereka, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang dipakai sumpah oleh Ibnu Umar, seandainya salah seorang dari mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud, maka tidak diterima darinya hingga ia beriman kepada takdir.’ Ibnu Umar berkata lagi, ‘Bapakku, Umar bin Khaththab berkata kepadaku bahwa ia berkata, ‘Ketika kami sedang berada di samping Rasulullah saw pada suatu hari’ Ibnu Umar bin Khaththab menyebutkan hadits tersebut dengan utuh. ” 
Muslim juga meriwatkan hadits tersebut dari jalur lain; sebagiannya merujuk kepada Abdullah bin Buraidah dan sebagian yang lain merujuk kepada Yahya bin Ya’mar. Muslim menyebutkan bahwa di sebagian redaksi hadits tersebut terdapat penambahan dan pengurangan. 
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Hibban di Shahih-nyadari jalur Sulaiman At Taimi dan Yahya bin Ya’mar. Muslim juga meriwayatkan hadits di atas dari jalur tersebut, namun ia tidak menyebutkan kalimatnya. Di jalur tersebut terdapat banyak sekali penambahan, di antaranya tentang Islam, Rasulullah sawbersabda, 
وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ حِبَّانِ أَضَافَ إِلىَ ذَلِكَ: الاِعْتِمَارُ وَالْغُسْلُ مِنَ الْجِنَابَةِ وَإِتْمَامِ الْوُضُوْءِ. وَفِي هَذَا تَنْبِيْهٌ عَلىَ أَنَّ جَمِيْعَ الْوَاجِبَاتِ الظَّاهِرَةِ دَاخِلَهُ فِي مُسَمَّى الإِسْلاَمِ.
وَإِنَّمَا ذُكِرَ هَهُنَا أُصُوْلُ أَعْمَالِ الإِسْلاَمِ الَّتِي يَبْنِي الإِسْلاَمَ عَلَيْهَا.
وَقَوْلُهُ فِي بَعْضِ الرَّوَايَاتِ: فَإِذَا فَعَلْتَ فَأَنَا مُسْلِم ؟ قَالَ: نَعَمْ
“Dan engkau berhaji, berumrah, mandi jinabat, menyempurnakan wudhu, (dan berpuasa Ramadhan). “Orang tersebut berkata, ‘Jika aku mengerjakan hal-hal tersebut, apakah aku orang Muslim?” Rasulullah saw bersabda, “Ya. ”
Tentang iman, Rasulullah sawbersabda, “Engkau beriman kepada surga, neraka, dan timbangan. “Orang tersebut berkata, “Jika aku mengerjakan hal-hal tersebut, apakah aku orang Mukmin?” Rasulullah saw bersabda, “Ya.”
Di akhir hadits di jalur tersebut dikatakan bahwa Rasulullah sawbersabda, “Inilah Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian. Karena itu, ambillah agama darinya. Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, Jibril tidak pernah dijelmakan kepadaku sebelum ini dan aku tidak mengenalnya hingga ia pergi”
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits tersebutdi Shahih-nya masing-masing dari Abu Hurairah ra yang berkata, 
“Pada suatu hari Rasulullah saw keluar kepada manusia kemudian didatangi seseorang yang berkata, ‘Apa iman itu?’ Rasulullah saw bersabda, ‘Iman ialah hendaknya engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Nya, perte­muan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan beriman kepada kebangkitan terakhir’
Orang tersebut berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa Islam itu?’ Rasulullah bersabda, ‘Islam ialah hendaknya engkau menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat yang diwajibkan, membayar zakat yang diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.’ orang tersebut berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa ihsan itu?’
Rasulullah saw bersabda, ‘Ihsan ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. ’
Orang tersebut berkata, ‘Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?’
Rasulullah saw bersabda, ‘Orang yang ditanya tentang hari kiamat tidak lebih tahu daripada penanya, namun aku akan jelaskan kepadamu tentang tanda-tandanya, yaitu jika budak wanita melahirkan majikannya. Itulah salah satu tanda-tandanya. Jika engkau lihat orang telanjang badan, telanjang kaki menjadi pemimpin manusia, Itulah salah satu tanda-tandanya. Jika para penggembala anak-anak kambing saling meninggikan bangunan, Itulah salah satu tanda-tandanya di antara lima tanda yang tidak diketahui siapapun kecuali oleh Allah.’
Setelah itu, Rasulullah saw membaca firman Allah Ta’la,
‘Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.’ (Luqman: 34)
Kemudian orang tersebut pergi, Rasulullah saw bersabda, ‘Aku harus menemukan orang tersebut. Para sahabar berusaha memanggil orang tersebut kepada beliau, namun mereka tidak melihat apa-apa. Rasulullah saw bersabda, ‘Inilah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada manusia.
Tentang ihsan, Rasulullah sawbersabda, “Engkau takut kepada Allah seperti melihat-Nya. ”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad di Musnad -nyadan Syahr bin Husyab dari Ibnu Abbas raJuga dan Syahr bin Husyab dari Ibnu Amir atau Ibnu Umar atau Abu Malik dari Nabi sawDi hadits tersebut, perawi (Ibnu Amir atau Ibnu Umar atau Abu Malik) berkata, “Kami dengar jawaban Rasulullah sawnamun tidak melihat orang yang diajak bicara oleh beliau dan kami juga tidak mendengar suara­nya.”Hadits ini bertentangan dengan hadits Umar bin Khaththab yang diriwayatkan Muslim dan hadits Umar bin Khaththab tersebut lebih shahih. 
Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Nabi saw oleh Anas bin Malik, Jarir bin Abdullah Al Bajali, dan lain-lain. 
Ada perbedaan riwayat tentang mana yang disebutkan terlebih dahulu; Is­lam atau iman atau sebaliknya. Di hadits Umar bin Khaththab yang diriwayatkan Muslim, Malaikat Jibril memulai pertanyaannya dengan menanyakan tentang Is­lam. Di At-Tirmidzi dan lain-lain, Malaikat Jibril memulai pertanyaannya dengan bertanya tentang iman seperti terlihat di hadits Abu Hurairah. Di sebagian riwayat hadits Umar bin Khaththab disebutkan bahwa Malaikat Jibril bertanya tentang ihsan di antara pertanyaan tentang Islam dan iman. 
Tentang Islam, Nabi sawmenginterpretasikannya dengan perbuatan-perbuatan badan yang bisa dilihat seperti perkataan dan per­buatan. Perbuatan pertama ialah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Itu pekerjaan lidah. Kemudian dilanjutkan mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah bagi siapa saja yang mampu melakukan perjalanan ke Mekkah. 
Perbuatan-perbuatan yang bisa dilihat tersebut terbagi ke dalam aspek badani seperti shalat dan puasa, aspek finansial seperti membayar zakat, dan aspek yang terdiri dari kedua aspek tersebut seperti haji bagi orang yang rumahnya jauh dari Makkah. 
Di riwayat Ibnu Hibban terdapat penambahan umrah, mandi jinabat, dan menyempurnakan wudhu. Itu menandakan bahwa seluruh kewajiban yang terlihat tersebut masuk dalam definisi Islam. 
Di hadits Umar bin Khaththab ra, Rasulullah saw menyebutkan prinsip-prinsip perbuatan Islam, dan Islam dibangun di atas prinsip-prinsip tersebut seperti yang akan dijelaskan di syarah hadits Ibnu Umar ra, “Islam dibangun di atas lima.
Di sebagian riwayat disebutkan, ‘Jika aku mengerjakan hal-hal tersebut, apakah aku orang Muslim?” Rasulullah saw bersabda, “Ya.“ Itu menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan prinsip-prinsip Islam tersebut dengan baik, ia menjadi Muslim sejati, kendati orang yang mengakui dua kalimat syahadat bisa dikatakan Muslim secara hukum. Jika ia masuk Islam dengan kedua kalimat syahadat tersebut, ia diwajibkan mengerjakan ajaran-ajaran Islam lainnya. Barangsiapa tidak bersyahadat, ia keluar dari Islam. Dalam masalah keluarnya orang tersebut dari Islam karena meninggalkan shalat terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama seperti diketahui bersama . Begitu juga karena meninggalkan sebagian prinsip-prinsip Islam lainnya, seperti yang akan saya sebutkan pada tempatnya, Insya Allah. 
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa seluruh perbuatan yang terlihat itu masuk dalam definisi Islam ialah sabda Rasulullah saw
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.
“Orang Muslim ialah orang yang jika kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya.”
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr ra bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah saw,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الإِسْلامِ خَيْرٌ؟ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
 “Ajaran Islam manakah yang paling baik?” Rasulullah saw bersabda, “Engkau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal.”
Di sebutkan di Shahih Al Hakimhadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi sawyang bersabda, 
وفي صحيح الحاكم عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:" إِنَّ لِلإِسْلاَمِ ضَوْءاً وَمَنَاراً كَمَنَارِ الطَّرِيْقِ مِنْ ذَلِكَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتَسْلِيْمُكَ عَلىَ بَنِي آدَمَ إِذَا لَقِيْتَهُمْ، وَتَسْلِيْمُكَ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِكَ إِذَا دَخَلْتَ عَلَيْهِمْ؛ فَمَنْ انْتَقَصَ مِنْهُنَّ شَيْئاً فَهُوَ سَهْمٌ مِنَ الإِسْلاَمِ يَدَعَهُ وَمَنْ تَرَكَهُنَّ فَقَدْ نَبَذَ الإِسْلاَمَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ. وَكَذَلِكَ تَرْكُ الْمُحَرَّمَاتِ دَاخِلٌ فِي مُسَمَّى الإِسْلاَمِ أَيْضاً.
“Sesungguhnya Islam mempunyai tanda dan menara seperti menara jalan, di antaranya ialah engkau menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, amar ma’ruf nahi munkar salammu kepada manusia jika engkau bertemu mereka, dan salammu kepada keluarga rumahmu jika engkau masuk kepada mereka. Barangsiapa mengurangi sedikitpun daripadanya padahal hal-hal tersebut merupakan bagian Islam, ia meninggalkan Islam. Barangsiapa meninggalkan semua hal di atas, sungguh ia melemparkan Is­lam ke belakang punggungnya.”
Ibnu Mardawih meriwayatkan hadits dan Nabi sawyangbersabda,
“Islam mempunyai cahaya dan menara seperti menara jalan. Puncak dan intinya ialah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, menyempurnakan wudhu, berhukum de­ngan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, taat kepada para pemimpin, salam kalian kepada diri kalian, salam kalian kepada keluarga kalian jika kalian masuk ke rumah kalian, dan salam kalian kepada manusia jika kalian bertemu mereka.“
Di sanad hadits tersebut terdapat kelemahan. Bisa jadi, hadits tersebut mauquf. Ada hadits shahih dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufan dari Hudzaifah yang berkata, “Islam adalah delapan bagian; Islam adalah satu bagian, shalat adalah satu bagian, zakat adalah satu bagian, haji ke Baitullah adalah satu bagian, jihad adalah satu bagian, puasa Ramadhan adalah satu bagian,amar ma’ruf adalah satu bagian, dan nahi munkar adalah satu bagian. Sungguh rugi orang yang tidak mempunyai bagian dari bagian-bagian di atas.” Diriwayatkan Al Bazzar secara marfu’namun hadits tersebutlebih tepat mauquf.
Hadits di atas juga diriwayatkan sebagian ulama dari Abu Ishaq dari Al Harits dari Ali bin Abu Thalib ra dan Nabi sawHadits tersebutdiriwayatkan Abu Ya’la Al Maushili, yang paling benar, hadits tersebutmauquf dari Hudzaifah. Itu dikatakan Ad-Daruquthni dan lain-lain. 
Maksud perkataan, “Islam adalah satu bagian, ” ialah dua kalimat syahadat, karena kedua kalimat syahadat adalah simbol Islam dan dengan kedua kalimat tersebutseseorang menjadi Muslim. Meninggalkan hal-hal yang diharamkan juga masuk dalam definisi Islam seperti diriwayatkan dari Nabi sawbahwa beliau bersabda, 
مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ، تَرَكُهُ مَالا يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”
Hal tersebutdiperkuat oleh hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At­ Tirmidzi, dan An Nasai dari Al Irbadh bin Sariyah dari Nabi sawyang bersabda, 
خرجه الإمامُ أحمد والترمذي والنسائي من حديث النَّوَاسِ بْنِ سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً صِرَاطاً مُسْتَقِيماً وَعَلَى جَنْبَتَىِ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ وَعَلَى الأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعاً وَلاَ تَتَفَرَّجُوا وَدَاعِى يَدْعُو مِنْ جَوْفِ الصِّرَاطِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُفْتَحَ شَيْئاً مِنْ تِلْكَ الأَبْوَابِ قَالَ وَيْحَكَ لاَ تَفْتَحْهُ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ وْالصَّرِاطُ الإِسْلاَمُ وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ تَعَالَى وَالأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ تَعَالَى وَذَلِكَ الدَّاعِى عَلِى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالدَّاعِى مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِى قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ ».
“Allah membuat perumpamaan tentang jalan yang lurus. Di kedua sisi jalan tersebut terdapat dua tembok, di kedua tembok tersebut terdapat pintu-pintu yang terbuka, di atas pintu-pintu tersebut terdapat tirai-tirai yang diturunkan, dan di atas jalan yang lurus tersebut terdapat penyeru yang berkata, ‘Hal manusia, masuklah kalian semua ke jalan dan kalian jangan menyimpang. ‘Juga terdapat penyeru yang berseru dan dalam jalan. Jika seseorang ingin membuka salah satu dari pintu-pintu tersebut, penyeru tersebut berkata, ‘Celaka engkau, jangan buka pintu tersebut, jika engkau membukanya, engkau masuk ke dalamnya. ‘Jalan tersebut ialah Islam, kedua tembok ialah batasan-batasan Allah, pintu-pintu terbuka adalah hal-hal yang diharamkan Allah, penyeru di puncak pintu adalah Kitabullah, dan penyeru di atas pintu ialah penasihat Allah di hati setiap Muslim. “
At Tirmidzi menambahkan firman Allah Ta’ala,
زَادَ التِّرْمِذِي: [ قَوْلُهُ تَعَالَى ] وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ 
 ‘Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (Islam). ‘(Yunus: 25). ”
Pada perumpamaan yang dibuat Nabi sawdi atas terdapat penjelasan bahwa Islam adalah jalan lurus di mana Allah memerintahkan kaum Mukminin istiqamah di atasnya, melarang melanggar batasan-batasannya, dan siapa saja mengerjakan salah satu dari hal-hal yang diharamkan maka ia me­langgar batasan-batasannya. 
Sedang iman, dalam hadits di atas Nabi sawme­nafsirkannya dengan keyakinan-keyakinan batin bersabda, 
أَنْ تُؤْمِنَ باللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ: خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Hendaknya engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Kebangkitan setelah kematian, dan engkau beriman kepada takdir; baik takdirnya. ”
Di Al-Qur’an, Allah menyebutkan iman dengan kelima prinsip tersebut di banyak tempat, misalnya firman-Nya, 
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman; semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya; (mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun dari Rasul-Rasul-Nya.“ (Al-Baqarah: 285
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan Nabi -Nabi“(Al-Baqarah: 177)
“(Yaitu ) mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah ditu runkan kepadamu dari Kitab-Kitab yang telah ditu runkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya akhirat.“ (Al-Baqarah: 3-4)
Iman kepada Para Rasul menghendaki beriman kepada seluruh apa yang mereka jelaskan, misalnya penjelasan mereka tentang para Malaikat, Para Nabi, Al Kitab, Hari Kebangkitan, takdir, dan detail apa yang mereka jelaskan misalnya tentang sifat-sifat Allah Ta’ala dan sifat-sifat Hari Akhir seperti timbangan, titian (shirath), surga, dan neraka. 
Beriman kepada takdir; baik takdirnya, juga dimasukkan ke dalam iman. Karena permasalahan takdir Itulah, Ibnu Umar meriwayatkan hadits bab di atas dan berhujjah dengannya terhadap orang yang tidak mempercayai takdir dan menyangka segala sesuatu itu tidak didahului oleh takdir dari Allah Azza wa Jalla . Ibnu Umar bersikap keras terhadap orang-orang yang berpendapat seperti itu, berlepas diri dari mereka, dan menjelaskan bahwa amal perbuatan mereka tidak diterima tanpa beriman kepada takdir. 
Beriman kepada takdir mempunyai dua tingkatan; 
Pertama, beriman bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa saja yang akan di­kerjakan hamba- hamba-Nya; kebaikan, maksiat, dan ketaatan, jauh sebelum men­ciptakan mereka. Allah juga mengetahui siapa saja di antara mereka yang akan menjadi penghuni surga dan penghuni neraka. Allah juga menyiapkan pahala dan hukuman bagi mereka sebagai balasan bagi amal perbuatan mereka jauh sebelum menciptakan mereka. Allah menulis itu semua di sisi-Nya dan merincinya. Seluruh amal perbuatan hamba berlangsung sesuai dengan apa yang telah diketahui-Nya dan sesuai dengan Kitab-Nya. 
Kedua, Allah Ta’ala menciptakan seluruh amal perbuatan manusia, kekafiran, ketaatan, dan kemaksiatan, dan menghendakinya untuk mereka. Tingkatan kedua ini diakui para Ahlus Sunnah dan seluruh kaum Muslim, namun diingkari Al Qadiriyah. Sedang tingkatan pertama, diakui banyak orang dari Al Qadariyah dan ditolak orang-orang radikal di antara mereka seperti Ma’bad Al Juhani dimana Ibnu Umar pernah ditanya tentang perkataan Ma’bad Al Juhani tersebut, atau seperti Amr bin Ubaid, dan lain-lain. 
Banyak sekali ulama generasi salaf berkata, “Debatlah orang-orang Al-Qadariyah dengan ilmu. Jika mereka mengakuinya, mereka dikalahkan. Jika mereka membantahnya, mereka menjadi kafir.” Maksudnya, barangsiapa mengingkari ilmu azali tentang seluruh perbuatan manusia, bahwa Allah telah membagi mereka ke dalam orang bahagia dan orang celaka jauh sebelum menciptakan mereka, dan menulis hal tersebutdi Kitab yang ada di sisi-Nya, sungguh ia telah mendustakan Al-Qur’an dan ia menjadi kafir. Namun jika mereka mengakui hal tersebut,mem­bantah Allah menciptakan seluruh perbuatan manusia, menghendakinya, dan menginginkannya terjadi pada mereka sebagai keinginan yang bersifat alami dan takdir, sungguh mereka dihalalkan, karena apa yang mereka yakin itu menjadi hujjah bagi mereka atas apa yang mereka bantah. Tentang kekafiran Al-Qadariyah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama seperti diketahui bersama. 
Sedang orang yang tidak mengakui pengetahuan Allah terhadap segala hal sejak zaman azali, Imam Syafi’i dan Ahmad memvonisnya kafir. Begitu juga imam-imam Islam lainnya. 
Jika dikatakan, di hadits di atas, Nabi sawmembe­dakan antara Islam dengan iman dan memasukkan seluruh amal perbuatan ke dalam Islam dan bukan kepada iman? Pendapat terkenal dari para imam dan pakar hadits bahwa iman ialah perkataan, perbuatan, serta seluruh amal perbuatan masuk dalam definisi iman. Imam Syafi’i menyebutkan bahwa itu konsensus bersama para sahabat, tabi’in, dan orang-orang sepeninggal mereka yang ia temui. 
Generasi salaf mengecam keras orang yang mengeluarkan amal perbuatan dari iman. Di antara ulama salaf yang mengecam keras dan mengategorikan penda­pat seperti itu sebagai bid’ah ialah Sa’id bin Jubair, Maimun bin Mibran, Qatadah, Ayyub as Sakhtiyani, Ibrahim An-Nakhai, Az Zuhni, Yahya bin Abu Katsir, dan lain-lain. Ats Tsauri berkata, “Pendapat seperti itu (mengeluarkan amal perbuatandari iman) adalah pendapat bid’ah. Saya bertemu dengan banyak orang yang tidak berpendapat dengan pendapat seperti itu.” Al Auzai berkata, “Generasi salaf se­belum ini tidak pernah membedakan antara iman dengan amal perbuatan.”
Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada rakyatnya di seluruh pelosok negeri, 
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الإِيْمَانَ: فَرَائِضٌ وَشَرَائِعُ، فَمَنْ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيْمَانُ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمُلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلْ الإِيْمَانُ.
Sesungguhnya iman mempunyai kewajiban-ke­wajiban, syariat-syariat (hukum-hukum) dan Sunnah-Sunnah. Barangsiapa menyempurnakan kewajiban-kewajiban, syariat-syariat, dan Sunnah -Sunnah tersebut, ia menyempurnakan iman. Dan Barangsiapa tidak menyempurnakannya, ia tidak menyempurnakan iman.” (Diriwayatkan Al Bukhari di Shahihnya)
Ada yang mengatakan, permasalahan ini adalah seperti yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz, karena firman Allah berikut menunjukkan masuknya amal per­buatan ke dalam iman, 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu ) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki Yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.“ (Al-Anfal: 2-4)
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi sawbersabda kepada delegasi Abdul Qais, 
عن ابن عباس، رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم: قال لوفد عبد القيس: «آمُرُكُمْ بِأَرْبَعٍ آمُرُكُمْ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ، وَهَلْ تَدْرُونَ مَا الإِيمَانُ بِاللَّهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَإِقَامُ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ، وَتُعْطُوا مِنَ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ»
“Aku perintahkan empat hal kepada kalian; beriman kepada Allah. Tahukah kalian apa iman kepada Allah? Yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan kalian menyerahkan seperlima rampasan perang kalian.“ 
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi sawyang bersabda,
([1]):عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، أَعْلاهَا شَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ"
 “Iman adalah tujuh puluh lebih cabang atau enam puluh lebih cabang. Cabang iman yang paling utama ialah perkataan tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan cabang iman terendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk salah satu cabang iman.“
Redaksi hadits di atas menurut riwayat Muslim. 
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra dariNabi sawyang bersabda, 
عن أَبِي هُرَيْرَةَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ:لا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ , لا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ وَهُوَ مُؤْمِنٌ.
‘Pezina tidak berzina ketika ia berzina sedang ia dalam keadaan Mukmin.
Pencuri tidak mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam keadaan Mukmin.
Orang tidak minum minuman keras pada saat ia meminumnya sedang ia dalam keadaan Mukmin.”
Jika meninggalkan dosa-dosa besar di hadits di atas tidak masuk dalam definisi iman, maka nama iman pasti tidak dihilangkan dari pelaku salah satu dan dosa tersebut, karena sebuah nama tidak hilang kecuali dengan hilangnya sebagian rukun atau kewajiban cakupan nama tersebut. 
Adapun penggabungan antara nash-nash hadits di atas dengan hadits pertanyaan malaikat Jibril kepada Rasulullah sawtentang Is­lam dan iman, pemisahan oleh Nabi sawantara Islam dengan iman, dan dimasukkannya seluruh amal perbuatan ke dalam definisi Islam dan bukannya definisi iman, maka itu akan menjadi jelas dengan statement bahwadi antara nama-nama ada yang mengandung definisi yang banyak sekali jika nama tersebut disebutkan secara sendiri (menyendiri). Dan jika nama tersebutdisertakan pula dengan nama lainnya maka nama tersebutmenunjukkan sebagian definisi-definisi tersebut, sedang nama lain yang menyertainya menunjukkan kepada sebagian lain definisi-definisi tersebut. Misalnya kata fakir dan miskin. Jika salah satu dari kedua kata tersebutdisebutkan secara sendiri, maka baik fakir maupun miskin mempunyai pengertian semua orang yang kekurangan. Jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka salah satu dari keduanya menunjukkan sebagian jenis orang-orang yang berkekurangan dan kata lainnya menunjukkan sisanya. Begitu juga kata Islam dan iman, jika salah satu dari kedua kata tersebut disebutkan menyendiri, maka definisi kata satunya masuk ke dalamnya. Jika salah satu dan kedua kata tersebutdisebutkan secara terpisah, maka kata tersebut menunjukkan apa yang ditunjukkan kata lainnya yang disebutkan secara terpisah. Namun jika kedua kata tersebut disebutkan secara bersamaan, maka salah satu dari keduanya menunjukkan sebagian yang ditunjukkan olehnya secara terpisah dan kata yang satunya menunjukkan sisanya. 
Makna di atas ditegaskan sejumlah imam. Abu Bakr Al Ismailiberkata di suratnya kepada penduduk gunung, “Banyak sekali Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkata bahwa iman ialah perkataan dan perbuatan, sedang Islam ialah mengerjakan apa saja yang diwajibkan kepada manusia. Jika kedua nama tersebut disebutkan se­cara terpisah, maka mengandung makna kata yang satunya. Ada yang mengatakan bahwa kata Mukmin dan Muslimin adalah kata yang sama di mana salah satu dari keduanya dimaksudkan kepada makna yang tidak dimaksudkan kata satunya. Jika hanya salah satu saja dari kedua kata tersebut yang disebutkan, maka mencakup semua arti kedua kata tersebut. ”
Makna di atas juga disebutkan Al Khathabi di Ma’alimus Sunandan diikuti sejumlah ulama sepeninggalnya. Kebenaran tersebut ditunjukkan oleh Nabi sawyang menafsirkan iman ketika menyebutkannya secara sendiri di hadits delegasi Abdul Qais dengan penafsiran Islam yang menyertai kata iman di hadits pertanyaan Malaikat Jibril. Di hadits lainnya, beliau menafsirkan Islam dengan penafsiran iman, seperti terlihat di hadits di Musnad Imam Ahmaddari Amr bin Abasah yang berkata, 
“Seseorang datang kepada Nabi saw kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa Islam itu?’ Nabi saw bersabda, ‘Islam ialah engkau mengislamkan hatimu untuk Allah dan kaum Muslimin selamat lidah dan tanganmu. ‘Orang tersebut berkata, ‘Apakah yang paling utama dari Islam?’ Nabi saw bersabda, iman.’ orang tersebut berkata, ‘Apa iman itu?’Nabi saw bersabda, ‘Iman ialah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan kebangkitan setelah kematian.’ Orang tersebut berkata, ‘Manakah yang paling utama dari iman tersebut?’ Nabi saw bersabda, Hijrah.’ orang tersebut berkata, ‘Apa hijrah itu?’Nabi saw bersabda, hijrah ialah engkau meninggalkan ketakdiran.’ orang tersebut berkata, ‘Manakah yang paling utama dan hijrah tersebut?’Nabi saw bersabda, jihad’
Pada hadits di atas, Nabi sawmenjadi kan iman lebih utama daripada Islam dan memasukkan seluruh amal perbuatan ke dalamnya. Dengan rincian seperti itu, terlihat kesimpulan pembahasan tentang Islam dan iman; apakah keduanya satu paket atau berbeda?
Ahlus Sunnah wal Jama ‘ah serta ahli hadits berbeda pendapat dari mereka menulis sejumlah buku tentang masalah ini. Di antara mereka ada yang mengaku bahwa jumhur Ahlus Sunnah berpendapat kedua kata tersebutadalah satu paket. Di antara mereka yang berpendapat seperti itu ialah Muhammad bin Nashr Al Marwazi dan Ibnu Abdul Bahr. 
Pendapat tersebut diriwayatkan dari Sufyan bin Ats Tsauri dan riwayat Ayyub bin Suwaid Ar Ramli darinya, namun Ayyub bin Suwaid Ar Ramli termasuk perawi lemah. Di antara mereka, seperti Abu Bakr as Sam’ani dan lain-lain, menyebutkan bahwa Ahlus Sunnah memisahkan kedua kata tersebut. Pendapat yang memisahkan kedua kata tersebut diriwayatkan dari banyak sekali generasi salaf, di antaranya Qatadah, Daud bin Abu Hindun, Abu Ja’far AlBaqi r, Az-Zuhni, Hammad bin Zaid, Ibnu Mahdi, Syunaik, Ibnu Abu Dzi’bu, Ahmad bin Hanbal, Abu Khaitsamah, Yahya bin Mum, dan lain-lain, kendati mereka juga berbeda pendapat tentang sifat pemisahan kedua tersebut. Sementara Al Hasan dan Ibnu Sinin mengatakan, “Mus­lim” dan memanggilnya dengan sebutan “Mu’min”. 
Dengan penjelasan di atas, perbedaan pendapat menjadi tuntas. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jika masing-masing kata Islam dan iman disebutkan secara terpisah, maka tidak ada perbedaan arti di antara keduanya saat itu. Namun jika kedua kata tersebut disebut secara bersama an, maka kedua kata tersebutmem­punyai perbedaan arti. 
Bentuk konkrit perbedaan arti antara kata Islam dan iman ialah bahwa iman ialah pembenaran, pengakuan dan pengetahuan oleh hati. Sedang Islam ialah pe­nyerahan diri seorang hamba, kerendahan dan ketundukannya kepada Allah dengan amal perbuatandan Itulah agama, sebagaimana Allah Ta’ala menamakan Islam di Kitab-Nya sebagai agama, sedang Nabi sawdi hadits menamakan Islam, iman, dan ihsan, sebagai agama. Ini juga menunjukkan bahwa jika salah satu dari kedua kata tersebutdisebutkan secara terpisah tanpa disertai kata yang satunya, maka makna kata yang satunya tersebut masuk ke dalam makna­nya dan arti kedua nama tersebut dibedakan jika keduanya disebutkan secara bersama an. Jadi, jika iman dan Islam disebutkan secara bersama an, maka yang dimaksud iman pada saat itu ialah jenis pembenaran oleh hati, sedang Islam ialah jenis amal perbuatan. 
Di Musnad Imam Ahmaddisebutkan hadits dan Anas bin Malik ra dari Nabi sawyang bersabda, 
“Islam adalah terang-terangan, sedang iman berada dihati 
Itu karena amal perbuatan itu terlihat terang-terangan, sedang pembenaran di hati tidak terlihat. Jika menyalati mayit, Nabi saw berkata dalam doa beliau, 
“Ya Allah, siapa saja dari kami yang Engkau hidupkan, maka hidupkan dia dalam keadaan Islam. Dan siapa saja di antara kami yang Engkau matikan, maka matikan dia dalam keadaan iman.
Itu karena amal perbuatan dengan organ tubuh itu bisa dimantapkan semasa hidup. Sedang pada saat kematian, maka tidak ada yang tersisa selain pembenaran dengan hati. Dan sini, para ulama berkata bahwa setiap orang Mukmin adalah orang Muslim dan barangsiapa merealisir iman dan memantapkannya di hatinya, ia telah melakukan amalan-amalan Islam, seperti disabdakan Nabi saw:
“Ketahuilah bahwa di tubuh terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh menjadi baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh menjadi rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah hati. 
Iman di hati akan terealisasi dengan sempurna jika anggota badan tergerak mengerjakan amalan-amalan Islam. Para ulama juga berkata bahwa tidak seluruh orang Muslim itu orang Mukmin, karena bisa jadi iman orang tersebut lemah. Jadi, hati dengan iman seperti itu tidak bisa merealisasikan keimanan secara sempurna kendati organ tubuh mengerjakan amalan-amalan Islam. Ia menjadi Muslim namun tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, seperti difirmankan Allah Ta’ala, 
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman, ‘katakanlah, ‘Kalian belum beriman, tetapi katakan, kami telah berislam, karena iman belum masuk ke dalam hati kalian.“ (Al-Hujurat: 14)
Kendati demikian, orang-orang Arab Badui tidak menjadi orang-orang munafik secara umum menurut penafsiran yang paling benar. Itulah pendapat Ibnu Abbas dan lain-lain. Namun iman mereka lemah. Itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
“Jika kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalan kalian.”(Al-Hujurat: 14)
Maksudnya, pahala amal perbuatan kalian tidak dikurangi. Itu menandakan bahwa mereka memiliki iman dan karena keimanan mereka tersebut, amal perbuatan mereka diterima. Begitu juga sabda Nabi sawkepada Sa’ad bin Abu Waqqash ketika Sa’ad bin Abu Waqqash berkata kepada beliau, “Kenapa engkau tidak memberikan sesuatu kepada si Fulan, padahal ia orang Mukmin?”, “Bukan­kah ia orang Muslim?”Sabda Nabi sawtersebut meng­isyaratkan bahwa orang tersebutbelum menduduki posisi iman, namun baru men­duduki posisi Islam yang memang bisa dilihat. Tidak diragukan bahwa jika iman di batin seseorang lemah, maka lemah pula perbuatan-perbuatan organ tubuh yang bisa dilihat, namun nama iman dihapus dan orang yang meninggalkan salah satu dari kewajibannya, seperti terlihat di sabda Rasulullah saw, “Pezina tidak berzina ketika ia berzina sedang ia dalam keadaan Mukmin.”
Ahlus Sunnah berbeda pendapat, apakah orang seperti itu dikatakan Mukmin yang kurang iman, ataukah bukan Mukmin, namun Muslim? Ada dua pendapat dalam masalah ini dan kedua riwayat tersebutdiriwayatkan dari Imam Ahmad. 
Sedang nama Islam, maka tidak hilang dengan tidak dikerjakannya sebagian kewajibannya, atau pelanggaran terhadap sebagian hal-hal yang diharamkannya. Nama Islam baru akan hilang dengan mendatangkan apa saja yang bisa meniadakan/ membatalkan Islam secara keseluruhan. Dalam hadits yang shahih tidak ada dalil yang menyebutkan penghapusan nama Islam dan orang yang tidak mengerjakan salah satu dari kewajiban-kewajibannya, sebagaimana iman dihapus dan orang yang tidak mengerjakan salah satu dari kewajibannya, kendati terdapat vonis kafir secara mutlak terhadap orang yang mengerjakan salah satu hal yang diharamkan dan vonis munafik secara mutlak. 
Para ulama juga berbeda pendapat, apakah pelaku dosa besar divonis kafir dengan kekafiran kecil atau munafik dengan kemunafikan kecil? Sepengetahuan saya, tidak ada seorangpun dari para ulama yang membolehkan secara mutlak menghilangkan nama Islam dan pelaku dosa besar. Namun diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata, “Orang yang meninggalkan zakat (tidak membayarnya) itu bukan Muslim.” Ada kemungkinan Ibnu Mas’ud memandang orang tersebut kafir karena meninggalkan zakat (tidak membayarnya) dan keluar dari Islam. 
Begitu juga diriwayatkan dan Umar bin Khaththab tentang orang-orang yang mampu berhaji, namun ia tidak berhaji, maka Umar bin Khaththab mengatakan­nya bukan Muslim. Yang terlihat bahwa Umar bin Khaththab meyakini kekafiran orang seperti itu. Oleh karena itu, Umar bin Khaththab mewajibkan pembayaran jizyah kepada orang-orang yang mampu berhaji namun tidak berhaji, “Mereka belum masuk Islam.” Mereka terus-menerus dikenakan pembayaran jizyah. 
Jika sudah jelas bahwa nama Islam tidak hilang kecuali dengan keberadaan sesuatu yang bisa membatalkan/meniadakannya dan seseorang dikeluarkan dari agama secara total, jika nama Islam dimutlakkan atau disatukan dengan pujian, maka seluruh arti iman masuk ke dalamnya, seperti pembenaran oleh hati dan lain sebagainya seperti terlihat di hadits Amr bin Abasah.
An-Nasaimeriwayatkan hadits dari Uqbah bin Malik bahwa Nabi sawmengirim sariyyah (detasemen) kemudian sariyyah tersebutmenyerang salah satu kaum. Salah seorang dari kaum tersebut berkata, “Aku Mus­lim,” orang tersebut dibunuh salah seorang dari anggota sariyyah. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Rasulullah sawkemudian beliau bersabda dengan keras mengenai kejadian tersebut. Pembunuh orang tersebutberkata, “Orang tersebutberkata seperti itu untuk menghindar dari pembunuhan.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menghen­dakiku membunuh orang Mukmin.” Beliau bersabda seperti itu hingga tiga kali. 
Jika iman dan pembenaran terhadap lima prinsip tidak masuk ke dalam kata Islam yang diucapkan seseorang, maka orang yang berkata, “Aku Muslim,” tidak bisa menjadi Mukmin hanya sekedar dengan perkataan tersebutpadahal AllahTa’ala menjelaskan tentang Ratu Saba’ yang masuk Islam dengan kalimat berikut ini, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat dzalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta Alam.” (An-Naml: 44). Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Yusuf berdoa agar beliau dimatikan dalam keadaan Muslim. Ini semua menunjukkan bahwa makna yang dicakup iman berupa pengakuan/pembenaran juga masuk ke dalam Islam yang mutlak. 
Di Sunan Ibnu Majah disebutkan hadits dari Adi bin Hatim yang berkata, Rasulullah saw bersabda kepadaku, “Hai Adi masuk Islamlah, niccaya engkau selamat. “Aku berkata, “Apa Islam itu?”Rasulullah saw bersabda, “Yaitu engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, bensaksi bahwa aku utusan Allah, dan beriman kepada seluruh takdir; baik takdirnya dan manis pahitnya.”
Hadits di atas menegaskan bahwa beriman kepada takdir termasuk Islam. Mengucapkan dua kalimat syahadat juga termasuk muatan-muatan Islam tanpa perdebatan di dalamnya. Pengucapan dua kalimat syahadat yang dimaksud bukanlah sekedar pengucapan tanpa diiringi dengan pembenaran terhadap keduanya. Dari sini, bisa diketahui bahwa pembenaran terhadap dua kalimat syaha­dat juga masuk ke dalam Islam. Tentang kata Islam di firman Allah Ta’ala, 
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.“ (Ali Imran: 19)
Sejumlah generasi salaf, misalnya Muhammad bin Ja’far bin Az Zubair, menafsirkannya dengan kata tauhid dan pembenaran. Sedang jika iman tidak diakui dari seseorang dan Islam ditetapkan padanya, seperti orang-orang Arab Badui yang dijelaskan Allah Ta’ala, makayang dimaksud ialah iman tidak kuat di hati orang tersebutdan keterlibatannya dalam amalan­-amalan Islam yang terlihat diakui bersama an dengan adanya suatu jenis iman yang mensahkan amal perbuatannya. Sebab jika tanpa keberadaan sejumlah/kadar iman tersebut, ia tidak menjadi orang Muslim. Iman dihapus darinya, karena tidak mera­sakan iman yang hakiki dan mengurangi sebagian kewajibannya. Ini didasarkan oleh kenyataan bahwa pembenaran di hati itu bertingkat- tingkat. Itulah yang benar dan merupakan dua riwayat dari Ahmad yang paling benar, karena keimanan orang-orang yang benar (Ash shiddiqin) dimana keghaiban terlihat di hati mereka seperti Alam nyata dan mereka tidak mempan oleh upaya peragu-raguan itu tidak sama dengan keimanan orang-orang selain mereka yang tidak sampai pada tingkatan mereka dan jika ia dibuat keragu-raguan maka ia pasti ragu-ragu. Oleh karena itu, Nabi sawmeletakkan posisi ihsan ialah ibadahnya seorang hamba kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Itu tidak terjadi pada keumuman kaum Mukmin in. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Abu Bakar tidak meng­ungguli kalian dengan puasa dan shalat yang banyak, namun dengan sesuatu yang bersemayam di hatinya.”
Ibnu Umar ra pernah ditanya, “Apakah para sahabat juga tertawa?” Ibnu Umar menjawab, “Ya, dan iman di hati mereka seperti gunung.” Bagaimana keimanan seperti itu bisa dibandingkan dengan keimanan orang di hatinya yang hanya sebenar biji sawi atau sehelai nambut, misalnya orang-orang bertauhid yang keluar dari neraka? Orang-orang seperti itu bisa dikatakan sebagai orang-orang yang iman tidak masuk ke hati mereka karena lemahnya iman pada mereka. 
Permasalahan ini, maksudnya permasalahan tentang Islam, iman, kekafiran, dan kemunafikan adalah permasalahan yang amat urgen, karena Allah Ta’ala mengaitkan kebahagiaan, kecelakaan, masuk surga, dan neraka dengan kata-kata tersebut. Perbedaan pendapat tentang definisi kata-kata tersebut adalah perbedaan pendapat yang pertama kali terjadi di tubuh umat ini, yaitu penentangan kaum Khawarij terhadap panasahabat. Kaum Khawarij mengeluarkan orang-orang bertauhid yang bermaksiat dari Islam secara total, memasukkan mereka ke lingkaran kafir, memperlakukan mereka seperti orang-orang kafir, menghalalkan darah dan harta mereka. Sepeninggal kaum Khawarij, terjadi penentangan kaum Mu’tazilah dari pendapat mereka tentang posisi di antara dua posisi, dilanjutkan penentangan kaum Murji’ah dari pendapat mereka bahwa orang fasik itu sempurna imannya.
Banyak sekali ulama dulu dan sekarang yang menulis buku-buku tentang masalah mi. Di antara imam-imam dan generasi salaf yang menulis buku tentang iman ialah Imam Ahmad, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Abu Bakr bin Abu Syaibah, dan Muhammad bin Aslam Ath Thusi. Sepeninggal mereka, banyak sekali buku-buku tentang tema tersebutditu lis oleh berbagai Aliran. Di sini, saya sebutkan titik yang menghimpun prinsip-prinsip tema tersebutdan perbedaan pendapat di dalamnya. Itu sudah cukup, insya Allah. 
Sebelumnya telah dibahas bahwa amal perbuatan masuk dalam definisi Is­lam dan definisi iman. Saya juga telah menyebutkan amal-amal perbuatan tubuh yang terlihat yang masuk dalam definisi tersebut dan amal-amal perbuatan tubuh yang tidak terlihat yang masuk dalam definisi amal perbuatan yang terlihat. 
Yang termasuk dalam amal-amal Islam ialah mengikhlaskan agama karena Allah, memberi nasihat karena Allah kepada hamba- hamba-Nya, membersihkan hati untuk mereka dan tipu-daya, dengki, iri, dan jenis-jenis gangguan yang lain.
Yang termasuk dalam definisi iman ialah ketakutan hati karena dzikir kepada Allah, kekhusyukan hati ketika mendengar dzikir kepada-Nya dan Kitab-Nya, penambahan iman dengan mendengar dzikir kepada-Nya dan Kitab-Nya, merealisa­sikan tawakkal kepada-Nya, takut kepada-Nya pada saat sendirian atau ramai, meridhai Allah sebagai Rabb, meridhai Islam sebagai agama, meridhai Muhammad sawsebagai Rasul, memilih kerusakan badan dengan benbagai siksaan daripada kekafiran, merasakan kedekatan Allah dengan hamba, terus-menerus merasakan kehadiran Allah, mengutamakan mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada mencintai selain keduanya, cinta dan benci karena Allah, memberi karena Allah, tidak memberi karena-Nya, bergerak dan diam karena-Nya, merelakan diri taat dengan harta dan badannya, senang mengerjakan kebaikan dan bahagia dengannya, tidak suka mengerjakan dosa dan sedih karenanya, kaum Mukmin in lebih mengutamakan Rasulullah sawdaripada diri dan harta mereka, pemalu, berakhlak mulia, mencintai apa yang ia cintai untuk saudara-saudaranya sesama kaum Mukmin in, membantu kaum Mukmin in terutama tetangga, membela dan menolong mereka, serta sedih dengan apa saja yang membuat mereka sedih. 
Sekarang saya sebutkan nash-nash tentang hal-hal di atas. Tentang masuknya perbuatan-perbuatan ke dalam definisi Islam. Di AlMusnad Imam Ahmad dan An rasaidiriwayatkan hadits dari Muawiyah bin Haidah yang berkata, aku berkata, 
فَفِي مُسْنَدِ الإِمَامِ أَحْمَدَ وَالنَّسَائِي عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ حِيْدَةَ قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله فَبِالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا الَّذِى بَعَثَكَ بِهِ قَالَ « الإِسْلاَمُ ». قَالَ وَمَا الإِسْلاَمُ قَالَ « أَنْ يُسْلمَ قَلْبُكَ لِلَّهِ تَعَالَى وَأَنْ تُوَجِّهَ وَجْهَكَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَتُصَلِّىَ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّىَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ ([2])
وَفِي رِوَايَةٍ [ لَهُ ] قُلْتُ: وَمَا آيَةُ الإِسْلاَمِ ؟ قَالَ: " أَنْ تَقُوْلَ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ للهِ، وَتَخَلَّيْتُ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَكُلُّ مُسْلِمٍ عَلىَ مُسْلِمٍ حَرَامٌ " .
“Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, apa yang engkau diutus untuk membawanya?”Nabi saw bersabda, “Islam.“ Aku bertanya, “Apa Islam itu?” Nabi saw bersabda, “Islam ialah hendaknya engkau menyerahkan hatimu kepada Allah, menghadapkan wajahmu kepada-Nya, mengerjakan shalat wajib, dan membayar zakat. “Di riwayat lain, aku bertanya, “Apa tanda -tan­da Islam?” Nabi saw bersabda, “Engkau berkata, ‘Aku serahkan wajahku kepada Allah dan melepaskan dia, mendirikan shalat, membayar zakat, dan setiap Muslim adalah haram atas Muslim lainnya.”
Di Sunan-sunandisebutkan hadits dari Jubair bin Muth’im ra dari Nabi sawbahwa beliau bersabda di khutbah di Al Khaif di Mina, 
وَفِي السُّنَنِ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَتِهِ بِالخَيْفِ مِنْ مِنَى: " ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ ؛ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأُمُورِ، وَلُزُومُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ ؛ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Ada tiga hal yang membuat orang Muslim tidak dengki dengannya, yaitu mengikhlaskan amal karena Allah, menasihati para pemimpin, dan selalu berada di jama’ah kaum Muslimin, karena doa mereka menjaga/memagari dari belakang mereka.”
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Musa Al Asy’ari ra dari Nabi saw yang ditanya, 
وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الْمُسْلِمِينَ أَفْضَلُ قَالَ « مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ».
“Siapakah kaum Muslimin yang paling baik?” Nabi saw bersabda, “Yaitu orang Muslim yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya.”
Di Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi sawyang bersabda, 
وَفِي صَحِيْحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّي صلى الله عليه وسلم قَالَ: " الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لا يَظْلِمُهُ وَلا يَخْذُلُهُ، وَلا يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا يُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ([3])
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak boleh mendzaliminya, menelantarkannya, dan menghinanya. Cukuplah ketakdiran bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim terhadap Muslim lainnya adalah haram darah, harta, dan kehormatannya.”
Sedang contoh masuknya amal perbuatan ke dalam definisi iman ialah firman Allah Ta’ala, 
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu ) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.“ (Al-Anfal: 2-4)
Atau firman AllahTa’ala, 
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras.“ (Al-Hadiid: 16)
Atau firman Allah Ta’ala, ‘Dan kepada Allah, hendaknya orang-orang beriman bertawakkal.“ (Ali Imran: 122)
Atau firman Allah Ta’ala, ‘Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar benar orang yang beriman.“ (Al-Maidah: 23).Atau firman Allah Ta’ala, “Tetapi takutlah kepadaku, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)
Di Shahih Muslim disebutkan hadits dari Al Abbas bin Abdul Muththalib ra dari Nabi saw yang bersabda, 
وَفِي صَحِيْحِ مُسْلِمٍ عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، يَقُولُ: ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا
“Akan merasakan kelezatan iman orang yang meridhai Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul.”
 Meridhai kerububiyahan Allah Ta’ala mengandung ridha untuk menyembah­-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meridhai pengaturan­-Nya terhadap hamba, dan pilihan yang Allah tetapkan untuknya. Meridhai Islam sebagai agamanya, menuntut untuk memilih Islam atas seluruh agama yang ada. Meridhai Muhammad sawsebagai Rasul menuntut untuk ridha terhadap seluruh apa yang beliau bawa dari sisi AllahTa’ala dan me­nerimanya dengan pasrah dan lapang dada, seperti difirmankan Allah Ta’ala, 
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka men jadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatandalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.“ (An Nisa’: 65)
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra dari Nabi sawyang bersabda, 
وَفِي الصَّحِيحَيْنِ: عَنْ أَنَس عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " ثَلَاث مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَة الْإِيمَان: أَنْ يَكُون اللَّه وَرَسُوله أَحَبّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا , وَأَنْ يُحِبّ الْمَرْء لَا يُحِبّهُ إِلَّا لِلَّهِ , وَأَنْ يَكْرَه أَنْ يَعُود فِي الْكُفْر بَعْد أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّه مِنْهُ , كَمَا يَكْرَه أَنْ يُقْذَف فِي النَّار "
“Ada tiga hal; Barangsiapa ketiga hal tersebut ada padanya, ia menemukan kemanisan iman dengannya, yaitu orang yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, ia tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamat­kannya darinya sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. “Di riwayat lain disebutkan, “Ia menemukan rasa iman dengannya.“Di sebagian riwayat disebutkan, “Ia menemukan rasa iman dan kemanisannya.”
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra dari Nabi sawyang bersabda, 
وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَنَس أَيْضًا عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " لَا يُؤْمِن أَحَدكُمْ حَتَّى أَكُون أَحَبّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِده وَوَلَده وَالنَّاس أَجْمَعِينَ "
“Seseorang dari kalian tidak beriman hingga aku menjadi lebih dicintai daripada anak dan orang tuanya, serta seluruh manusia. ‘Di riwayat lain disebutkan, ‘Daripada keluarga dan hartanya, serta seluruh manusia.”
Di Musnad Imam Ahmaddisebutkan hadits dari Abu Razin Al Uqaili yang menyatakan, aku berkata, 
وَفِي مُسْنَدِ الإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ أَبِي رَزِيْنِ العُقَيْلِي، قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإِيْمَانِ ؟ قَالَ « أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ تُحْرَقَ فِى النَّارِ أَحَبُّ إِلَيْكَ مِنْ أَنْ تُشْرِكَ بِاللَّهِ وَأَنْ تُحِبَّ غَيْرَ ذِى نَسَبٍ لاَ تُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا كُنْتَ كَذَلِكَ فَقَدْ دَخَلَ حُبُّ الإِيمَانِ فِى قَلْبِكَ كَمَا دَخَلَ حُبُّ الْمَاءِ لِلظَّمْآنِ فِى الْيَوْمِ الْقَائِظِ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ لِى بِأَنْ أَعْلَمَ أَنِّى مُؤْمِنٌ قَالَ « مَا مِنْ أُمَّتِى - أَوْ هَذِهِ الأُمَّةِ - عَبْدٌ يَعْمَلُ حَسَنَةً فَيَعْلَمُ أَنَّهَا حَسَنَةٌ وَأَنَّاللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَازِيهِ بِهَا خَيْراً وَلاَ يَعْمَلُ سَيِّئَةً فَيَعْلَمُ أَنَّهَا سَيِّئَةٌ وَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مِنْهَا وَيَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يَغْفِرُ إِلاَّ هُوَ إِلاَّ وَهُوُ مُؤْمِنٌ ».
“Wahai Rasulullah, apa iman itu?” Nabi saw bersabda, “Yaitu engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya lebih engkau cintai daripada selain keduanya, engkau terbakar di neraka itu lebih engkau cintai daripada engkau menyekutukan Allah, dan engkau tidak mencintai selain nasab melainkan karena Allah. Jika engkau berada dalam keadaan seperti itu, biji iman telah masuk ke hatimu sebagaimana air masuk kepada orang yang kehausan di Hari Yang panas. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara aku mengetahui bahwa aku orang Mukmin?” Nabi saw bersabda, “Tidak lah seorang hamba di antara umatku atau umat ini yang mengerjakan kebaikan kemudian ia mengetahui bahwa hal tersebut adalah kebaikan, dan bahwa Allah Azza wa Jalla akan memba­lasnya dengan balasan yang baik dan tidak lah hamba yang mengerjakan kesalahan kemudian ia mengetahui bahwa hal tersebut adalah kesalahan, lalu meminta ampunan kepada Allahlah kesalahan tersebut dan mengetahui bahwa tidak ada yang bisa memberi ampunan kecuali, melainkan ia orang Mukmin.”
Di Musnad Imam Ahmaddan lain-lain disebutkan hadits dari Umar bin Khaththab ra dari Nabi sawyang bersabda, 
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ([4])
“Barangsiapa dibuat senang oleh kebaikannya dan dibuat susah oleh kesalahannya, ia orang mukmin.”
Di Musnad Baqi bin Mukhalladdisebutkan hadits dari seseorang yang mendengar Rasulullah sawbersabda, 
وَفِي مُسْنَدِ بَقِيِّ بْنِ مُخْلِد عَنْ رَجُلٍ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " صَرِيْحُ الإِيْمَانِ إِذَا أَسَأْتَ أَوْ ظَلَمْتَ أَحَداً: عَبْدَكَ أَوْ أمَتَكَ أو أَحَداً مِنَ النَّاسِ صُمْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ، وَإِذَا أَحْسَنْتَ اسْتَبْشَرْتَ " . 
“Kemurnian iman jika engkau berbuat salah atau mendzalimi seseorang, budak laki-lakimu, atau budak wanitamu, atau salah seorang dari manusia, lalu engkau berpuasa atau bersedekah, jika engkau berbuat baik, engkau senang.”
Di Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Abu Sa’id ra dan Nabi sawyang bersabda, 
وَفِي مُسْنَدِ الإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُؤْمِنُونَ فِى الدُّنْيَا عَلَى ثَلاَثَةِ أَجْزَاءٍ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِى يَأْمَنُهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ثُمَّ الَّذِى إِذَا أَشْرَفَ عَلَى طَمَعٍ تَرَكَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
 “Kaum Mukmin in di dunia itu terbagi ke dalam tiga bagian; orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka, dan orang yang manusia merasa aman dengannya terhadap harta dan jiwa mereka, kemudian orang yang jika ingin tamak maka ia meninggalkannya karena Allah Azza wa Jalla.” 
Di Musnad Imam Ahmadjuga disebutkan hadits dari Amr bin Abasah ra yang berkata, aku berkata, 
وفيه أيضاً عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ تَبِعَكَ عَنْ هَذَا الأَمْرِ ؟ قَالَ: حُرٌّ وَعَبْدٌ، قَالَ: قُلْتُ: وَمَا الإِسْلامُ ؟ قَالَ: طِيبُ الْكَلامِ، وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ قَالَ: قُلْتُ: مَا الإِيمَانُ ؟ قَالَ: الصَّبْرُ وَالسَّمَاحَةُ قَالَ: قُلْتُ: فَأَيُّ الإِيمَانِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ قَالَ: قُلْتُ: أَيُّ الإِيمَانِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: خُلُقٌ حَسَنٌ
“Wahai Rasulullah, apa Islam itu?” Rasulullah saw bersabda, “Yaitu perkataan yang baik dan memberi makan. “Aku berkata, “Apa iman itu?” Rasulullah saw bersabda, “Sabar dan tolerans. ‘Aku berkata, “Apakah yang terbaik dari Islam?’ Nabi saw bersabda, “Yaitu orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya.“ Aku berkata, “Apakah yang terbaik dari iman?” Nabi saw bersabda, “Akhlak yang baik. ”
Tentang sabar dan tolerans tersebut, Hasan Basri menafsirkan, “Yaitu sabar dari hal-hal yang diharamkan Allah dan tolerans dengan mengerjakan hal-hal yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla.”
Di At Tirmidzidan lain-lain disebutkan hadits dari Aisyah ra dan Nabi sawyang bersabda, 
وَفِي التِّرْمِذِي وَغَيْرِهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya ialah siapa yang paling baik akhlaknya di antara mereka. ”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Daud dan lain-lain dari Abu Hurairah ra. Al Bazzar meriwayatkan di Musnadnya hadits dari Abdullah bin Muawiyah Al Chadhiri dari Nabi saw yang bersabda, 
وخرج البزار في مسنده من حديث عبد الله بن معاوية الغاضري عن النبي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: " ثلاث من فعلهن فقد طعم الإيمان: من عند الله وحدهُ وأنَّه لا إله الا الله . وأعطى زكاة مالة طيبة بها نفسُه، رافدة عليه فثي كل عام . وذكر الحديث ([5]) وفي آخره: فقال رجلُ: فما تزكية المرء نفسهُ يا رسول الله ؟ قال: " أن يَعَلمَ أنَّ الله معه حيث كان " .
“Tiga hal barangsiapa mengerjakannya, ia merasakan rasa iman; Barangsiapa menyembah Allah saja bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, memberikan zakat hartanya dengan hati ridha setiap tahun, dan seterusnya. Di akhir hadits disebutkan bahwa seseorang berkata, “Apa yang dimaksud dengan pembersihan seseorang terhadap dirinya, Wahai Rasulullah?” Nabi saw bersabda, “Ia mengetahui bahwa Allah bersama dirinya dimanapun ia berada.”
Abu Daud meriwayatkan hanya permulaan hadits tersebut dan tidak me­riwayatkan akhir darinya. Ath Thabrani meriwayatkan hadits dari Ubadah bin Ash Shamit ra dari Nabi saw yang bersabda, 
وَخَرَّجَ الطَّبْرَانِي مِنْ حَدِيْثِ عُبَادَة بْنِ الصَّامِتِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ أَفْضَلَ الإِيْمَانِ أَنْ تَعْلَمَ أَنْ اللهَ مَعَكَ حَيْثُ كُنْتَ "
“Iman yang paling baik ialah engkau mengetahui bahwa Allah bersama mu di mana saja engkau berada.’
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abdullah bin Umar ra dari Nabi sawyang bersabda,
وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ؛ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: " الحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ .
 “Malu termasuk dan iman.“
Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Al Inbadh bin Saniyah dari Nabi saw yang bersabda, 
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الأَنِفِ حَيْثُمَا قُيِدَ انْقَادَ " .
“Sesungguhnya orang Mukmin itu seperti unta yang patuh, dimanapun ia diikat, maka ia tunduk (penurut).”
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu damaikan antara dua saudara kalian.“ (Al-Hujurat: 10)
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari An Nu’man bin Basyirra dari Nabi saw yang bersabda, 
وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنِ الشَّعْبِىِّ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ:« مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى »
“Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta, simpati, dan kasih sayang mereka seperti satu tubuh; jika salah satu dari organ tubuh ada sakit, seluruh tubuh mengeluh panas dan tidak bisa tidur karenanya.“ Diriwayat Muslim disebutkan, “Orang-orang mukmin itu seperti satu orang. ‘Di riwayat Muslim juga disebutkan, “Kaum Muslimin itu seperti satu orang ; Jika matanya sakit maka seluruh tubuhnya sakit dan jika kepalanya sakit maka seluruh tubuhnya sakit.”
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Musa Al Asy’ari ra dari Nabi sawyang bersabda, 
« الْمُسْلِمُونَ كَرَجُلٍ وَاحِدٍ إِنِ اشْتَكَى عَيْنُهُ اشْتَكَى كُلُّهُ وَإِنِ اشْتَكَى رَأْسُهُ اشْتَكَى كُلُّهُ ».
‘Orang Mukmin terhadap orang Mukmin lainnya adalah seperti satu ba­ngunan yang sebagiannya menguatkan sebagian lainnya. ‘Rasulullah saw bersabda seperti itu sambil merapatkan jari-jari beliau.”
Di Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Sahl bin Sa’ad ra dari Nabi saw yang bersabda, 
وَفِي مُسْنَدِ الإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ سَهْلٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"الْمُؤْمِنُ مِنْ أَهْلِ الإِيمَانِ، بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ، يَأْلَمُ الْمُؤْمِنُ لأَهْلِ الإِيمَانِ، كَمَا يَأْلَمُ الْجَسَدُ لِمَا فِي الرَّأْسِ" 
“Orang Mukmin terhadap golongan kaum beriman adalah seperti kepala dengan tubuh orang Mukmin merasa sakit untuk golongan kaum beriman seperti seluruh tubuh merasa sakit karena apa yang diderita kepala.”
 Di Sunan Abu Daud disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda, 
وفي سنن أبي داود عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ ». ([6])
“Orang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya dan orang Mukmin adalah saudara orang Mukmin. Orang Mukmin itu menjaga pekarangan saudaranya dan melindunginya dari belakang.
Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra dan Nabi saw yang bersabda, 
وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah seorang dari kalian tidak beriman hingga ia mencintai untuk saudara­nya sesuatu yang ia cintai untuk hatinya.”
Dari Abu Hurairah ra, bahwai Nabi sawbersabda, 
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَقَالَ: وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْجَارُ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قَالُوا: وَمَا بَوَائِقُهُ؟ قَالَ: شَرُّهُ.
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, dan demi Allah tidak beriman. “Para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, “Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.”
Al Hakim meriwayatkan hadits dan Ibnu Abbas ra dan Nabi saw yang bersabda, 
وخرَّجَ الْحَاكِمُ مِنْ حَدِيْثِ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ يُبَخِّلُ ابْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:« لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِى يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ»
“Bukan orang Mukmin orang yang kenyang, sedang tetangganya kelaparan.”
Imam Ahmad dan At Tirmidzi meriwayatkan hadits dan Sahl bin Muadz Al Juhami dari ayahnya dari Nabi saw yang bersabda, 
وخرَّج الإمام أحمد والترمذي عَنْ سَهْلِ بن مُعَاذِ بن أَنَسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَن ْرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:"مَنْ أَعْطَى لِلَّهِ، وَمَنَعَ لِلَّهِ، وَأَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَبْغَضَ لِلَّهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ إِيمَانَهُ"
“Barangsiapa memberi karena Allah, tidak member karena-Nya, mencintai karena-Nya, membenci karena-Nya. Imam Ahmad menambahkan, “Meni­kahkan karena Allahsungguh ia telah menyempurnakan imannya.”
Di riwayat Imam Ahmad dikatakan bahwa ayah Sa’ad bin Muadz Al Juhari bertanya kepada Nabi sawtentang iman yang paling baik, kemudian beliau bersabda, ;
وَفِي رِوَايَةٍ لِلإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ سَهْلِ بن مُعَاذِ بن أَنَسٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَفْضَلِ الإِيمَانِ؟ قَالَ:"أَفْضَلُ الإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ لِلَّهِ، وَتُبْغِضَ لِلَّهِ، وَتُعْمِلَ لِسَانَكَ فِي ذِكْرِ اللَّهِ"، قَالَ: وَمَاذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:"وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ، وَأَنْ تَقُولَ خَيْرًا أَوْ تَصْمُتَ"
 “Engkau mencintai karena Allah, membenci karena-Nya, dan menggunakan lidahmu untuk dzikir kepada Allah. “Ayah Sahl bin Muadz berkata, “Apa lagi wahai Rasulullah?” Nabi saw bersabda, “Engkau mencintai untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu dan membenci untuk mereka apa yang engkau benci untuk dirimu. ‘Di riwayat Imam Ahmad disebutkan, “Engkau berkata baik atau diam.”
Di hadits di atas disebutkan bahwa banyak berdzikir kepada Allah termasuk iman yang paling baik.
 Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Amr bin Al Jamuh ra bahwa ia mendengar Rasulullah sawbersabda, 
مِنْ حَدِيْثِ عَمْرِو بْنِ الْجَمُوحِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ « لاَ يَحِقُّ الْعَبْدُ صَرِيحَ الإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلَّهِ تَعَالَى وَيَبْغَضُ لِلَّهِ فَإِذَا أَحَبَّ لِلَّهِ تَبَارَك وَتَعَالَى وَأَبْغَضَ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَقَدِ اسْتَحَقَّ الْوَلاَءَ مِنَ اللَّهِ وَإِنَّ أَوْلِيَائِى مِنْ عِبَادِى وَأَحِبَّائِى مِنْ خَلْقِى الَّذِينَ يُذْكَرُونَ بِذِكْرِى وَأُذْكَرُ بِذِكْرِهِمْ ».
“Seorang hamba tidak berhak atas kemurnian iman hingga ia mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya. Jika ia mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya, ia berhak atas perlindungan (kewalian) dari Allah Ta’ala.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Al Banna’ bin Azib radari Nabi sawyang bersabda, 
مِنْ حَدِيْثِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ أَوْثق عُرَى الإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ فِى اللَّهِ وَتُبْغِضَ فِى اللَّهِ.
“Sesungguhnya tali iman yang paling kokoh ialah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya.”
Ibnu Abbas ra berkata,
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَحِبَّ فِي اللَّهِ , وَأَبْغِضْ فِي اللَّهِ , وَوَالِ فِي اللَّهِ , وَعَادِ فِي اللَّهِ , فَإِنَّهُ لا تُنَالُ وِلايَةُ اللَّهِ إِلا بِذَلِكَ , وَلا يَجِدُ رَجُلٌ طَعْمَ الإِيمَانِ وَإِنْ كَثُرَتْ صَلاتُهُ وَصِيَامُهُ حَتَّى يَكُونَ كَذَلِكَ , وَصَارَتْ مُؤَاخَاةُ النَّاسِ فِي أَمْرِ الدُّنْيَا , وَإِنَّ ذَلِكَ لا يَجْزِي عَنْ أَهْلِهِ شَيْئًا.
“Cintailah di jalan Allah, bencilah di jalan-Nya, bertemanlah di jalan-Nya, dan musuhilah di jalan-Nya, karena perlin­dungan Allah didapatkan dengan itu semua. Seorang hamba tidak akan merasakan rasa iman kendati shalat dan puasanya banyak hingga keadaannya sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Umumnya persaudaraan manusia sekarang terjadi karena kepentingan dunia padahal itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi orang-orang yang bensangkutan.” Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath Thabari dari Muhammad bin Nashr Al Marwazi.
Ihsan
Sedang Ihsan,kata ini seringkali disebutkan di Al-Qur’an di banyak tempat ; terkadang disebutkan bersama dengan iman, terkadang disebutkan bersama dengan Islam, dan terkadang disebutkan bersama dengan takwa atau amal perbuatan. 
Penyebutan ihsanbersama dengan iman, misalnya firman Allah Ta’ala, 
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shalih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shalih, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka bertakwa dan berbuat kebaikan dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 93)
Atau firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا 
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shalih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan dengan baik.“ (Al-Kahfi: 30)
Contoh penyebutan ihsan dengan Islam, misalnya firman Allah Ta’ala,
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak bersedih hati.“ (Al-Baqarah: 112)
Atau firman Allah Ta’ala, 
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.“ (Luqman: 22)
Contoh penyebutan ihsan dengan takwa, misalnya firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.“ (An Nahl: 128)
Terkadang Allah Ta’ala menyebutkan kata ihsan secara sendiri tanpa kata lain, misalnya firman Allah Ta’ala, 
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.“(Yunus: 26)
Di Shahih Muslim disebutkan hadits dari Nabi sawyang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata tambahan di ayat di atas ialah melihat wajah Allah Azza wa Jalla di surga. Itu tepat sebagai balasan bagi orang yang berbuat ihsan, karena ihsan ialah orang Mukmin menyembah Tuhannya di dunia dengan merasa diawasi Allah. Ia seperti melihat Allah dengan hatinya dan me­lihat-Nya pada saat ia beribadah kepada-Nya. Maka balasan baginya ialah melihat Allah dengan terang-terangan di akhirat. 
Kebalikannya ialah penjelasan Allah tentang balasan bagi orang-orang kafir di akhirat, 
“Sekali-kali tidak , sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dan (melihat) Tuhan mereka.“ (Al-Muthaffifin: 15)
Itu sebagai balasan atas keadaan mereka di dunia, yaitu akumulasi kekaratan di hati mereka hingga akhirnya hati mereka terhalang tidak bisa mengenal Allah dan tidak merasa diawasi Allah di dunia. Untuk itu, balasan mereka karena keadaan mereka seperti itu ialah mereka dihalang-halangi dari melihat Allah di akhirat. 
Sabda Rasulullah sawketika beliau mendefinisikan kata ihsan,“Engkau menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, dan seterusnya,” mengisyaratkan bahwa seorang hamba menyembah Allah dalam keadaan seperti itu, berarti merasakan kedekatan Allah dan bahwa ia berada di depan Allah seolah-­olah melihatnya. Hal ini menghasilkan rasa takut, segan, dan mengagungkan Allah, seperti terlihat di riwayat Abu Hurairah ra
 أَنْ تَخْشَى اللهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ
“Hendaknya engkau takut kepada Allah seolah-olah Engkau melihatnya.”
Ibadah seperti itu juga menghasilkan ketulusan dalam ibadah dan berusaha keras untuk memperbaiki dan menyempurnakannya. Itu pula yang diwasiatkan Rasulullah sawkepada sejumlah sahabat seperti diriwayatkan Ibrahim Al Hijridari Abu Al Ahwash dari
Abu Dzar ra yang berkata, 
وَقَدْ وَصَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَاعَةً مِنْ أَصْحَابِهِ بِهَذِهِ الْوَصِيَّةِ كَمَا رَوَىَ إبْرَاهِيْمُ الْهِجْرِي، عَنْ أَبشي الأَحْوَصِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ: " أَوْصَانِي خَلِيْلِي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَخْشَى اللهَ كأنِّي أَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ أَكُنْ أَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَانِي " .
“Orang yang aku cintai Rasulullah saw, berwasiat kepadaku agar aku takut kepada Allah seolah-olah aku melihat-Nya dan jika aku tidak melihat-Nya Maka Dia melihatku.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar rayang berkata, 
وَرَوَى عَنِ ابْنِ عُمَرٍ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: " أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ جَسَدِي فَقَالَ: أَعْبُدُ اللهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ "
“Rasulullah saw memegang salah satu tubuhku kemudian bersabda, ‘Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihatnya.“ 
Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam secara marfu’ dan mauqul
مِنْ حَدِيْثِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَْ مَرْفُوْعاً وَمَوْقُوْفاً: " كُنْ كَأَنَّكَ تَرَى اللهَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَا كَ
 ‘jadilah engkau seolah-olah melihat Allah, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Ath Thabrani meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik ra bahwa seseorang berkata, 
وَخَرَّجَ الطَّبْرَانِي مِنْ حَدِيْثِ أنَسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: " أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ! حَدَّثْنِي بِحَدِيْثٍ وَاجْعَلْهُ مُوْجِزاً ؟ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلِّ صَلاةَ مُوَدِّعٍ، فَإِنَّكَ إِنْ كُنْتَ لا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، وَأْيَسْ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ تَكُنْ غَنِيًّا، وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْه
“Wahai Rasulullah, berikan hadits kepadaku dan jadikan hadits tersebut ringkas.“ Nabi saw bersabda, “Shalatlah seperti shalat orang yang akan berpisah. Sesungguhnya jika engkau tidak melihat Allah, Dia melihatmu.”
Di hadits Haritsah yang terkenal hadits tersebut diriwayatkan secara mursal dan muttashil (tidak terputus), namun yang benar hadits tersebutdiriwayatkan secara        mursalNabisawbersabda kepadanya, 
أَنَّهُ مَرَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ: " كَيْفَ أَصْبَحْتَ يَا حَارِثُ ؟ " قَالَ: أَصْبَحْتُ مُؤْمِنًا حَقًّا، فَقَالَ: " انْظُرْ مَا تَقُولُ ؟ فَإِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ حَقِيقَةً، فَمَا حَقِيقَةُ إِيمَانِكَ ؟ " فَقَالَ: قَدْ عَزَفَتْ نَفْسِي عَنِ الدُّنْيَا، وَأَسْهَرْتُ لِذَلِكَ لِيَلِي، وَاطْمَأَنَّ نَهَارِي، وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى عَرْشِ رَبِّي بَارِزًا، وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ الْجَنَّةِ يَتَزَاوَرُونَ فِيهَا، وَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَهْلِ النَّارِ يَتَضَاغَوْنَ فِيهَا، فَقَالَ: " يَا حَارِثُ عَرَفْتَ فَالْزَمْ " , ثَلاثًا.([7])
“Bagaimana khabarmu pada pagi ini hal Haritsah?” Haritsah berkata, “Pagi ini aku dalam keadaan Mukmin sejati“ Nabi saw bersabda,“Pikirlah apa yang engkau ucapkan, karena setiap ucapan mempunyai hakikat.”Haritsah berkata, “Wahai Rasulullah, jiwaku lari dari dunia kemudian aku tidak tidur di malamku dan melaparkan siangku. Aku seperti melihat Arasy Tuhanku terlihat. Aku seperti melihat penghuni surga di surga bagaimana mereka saling mengunjungi di dalamnya. Aku juga seperti me­lihat penghuni neraka di neraka bagaimana mereka saling minta tolong di dalamnya. “Nabi saw bersabda, “Engkau telah tahu maka jagalah. hamba yang Allah menyinari iman di hatinya.
Diriwayatkan dari Abu Umamah ra bahwa Nabisawmenasihati seseorang dan bersabda kepadanya, 
وَرَوَى مِنْ حَدِيْثِ أَبِي أُمَامَة رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَّى رَجُلاً فَقَالَ لَهُ: " اسْتَحْيِ مِنَ اللهِ اسْتِحْيَاءِكَ مِنْ رَجُلَيْنِ مِنْ صَالِحِي عَشِيْرَتِكَ لاَ يُفَارِقَانِكَ
“Malulah kepada Allah seperti engkau malu kepada dua orang di antara orang-orang shalih keluargamu yang tidak pernah meninggalkanmu.”
Hadits di atas juga diriwayatkan dari jalur lain secara mursal. Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra bahwa Nabi saw berwasiat kepadanya ketika beliau mengutusnya ke Yaman. 
Beliau bersabda, 
عَنْ مُعَاذِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَّاهُ لَمَّا بَعَثَهُ إِلىَ الْيَمَنِ فَقَالَ: " اسْتَحْيِ مِنَ اللهِ كَمَا تَسْتَحْيِ مِنْ رَجُلٍ ذِي هَيْبَةٍ مِنْ أَهْلِكَ
“Malulah kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada orang yang berwibawa di antara keluargamu.
Nabi sawpernah ditanya tentang membuka aurat ketika menyendiri hingga telanjang, kemudian beliau bersabda, 
وَسُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَشْفِ الْعَوْرَةِ خَالِياً فَقَالَ " اللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ
“Allah lebih layak disikap malu karenanya.”
Abu Ad Darda’ memberi wasiat kepada seseorang dengan berkata kepadanya, “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihatnya.”
Urwah bin Az Zubair melamar putri Ibnu Umar pada saat keduanya sedang thawaf, namun Ibnu Umar tidak memberikan jawaban kepadanya. Pada kesempatan lain, Ibnu Umar bertemu Urwah bin Az Zubair kemudian ia meminta maaf kepadanya sambil berkata, “Dulu kita sedang thawaf dan pada saat itu kita membayangkan Allah ada di depan kita.” (Diriwayatkan Abu Nu’aim dan lain-lain)
Tentang sabda Nabi saw, ‘Jika engkau tidak dapat melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu,“ ada yang mengatakan bahwa sabda tersebut merupakan penjelasan sabda sebelumnya bahwa jika seorang hamba diperintahkan merasa diawasi Allah dalam ibadah dan merasakan kedekatan Allah dengan hamba-Nya hingga hamba tersebut seolah-olah melihatnya, maka bisa jadi hal tersebut sulit baginya. Untuk itu, hamba tersebut menggunakan imannya bahwa Allah melihat dirinya, mengetahui rahasianya, yang diperlihatkannya, batinnya, luarnya, dan tidak ada sedikitpun dari dirinya yang tidak diketahui-Nya. Jika hamba tersebut merealisasikan posisi seperti itu, maka mudah baginya untuk beranjak ke posisi kedua yaitu terus-menerus melihat kedekatan Allah dengan hamba-Nya dan kebersama an-Nya dengan hamba-Nya, hingga hamba tersebut seperti melihatnya. 
Ada yang mengatakan bahwa sabda Nabi sawdi atas adalah sinyal bahwa barangsiapa merasa sukar baginya untuk menyembah Allah seolah-olah melihatnya, hendaklah ia menyembah Allah dalam keadaan bahwa Allah melihat dan memperhatikannya, kemudian ia malu terhadap penglihatan Allah kepadanya seperti dikatakan salah seorang arif, “Bertakwalah kepada Allah. Jangan sampai Dia menjadi pihak yang paling rendah di antara orang-orang yang melihatmu.”
Orang arif lainnya berkata, “Takutlah kepada Allah sebesar kodrat-Nya terhadapmu dan malulah kepada-Nya sebesar kedekatan-Nya denganmu.”Salah seorang wanita arif dari generasi salaf berkata, “Barangsiapa beramal karena Allah seperti melihatnya, ia orang arif. Barangsiapa beramal dengan me­nyadari dilihat Allah, ia orang ikhlas.” Wanita arif tersebut menyebutkan dua kedu­dukan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu ; 
1.    Ikhlas, yaitu seorang hamba beramal dengan menyadari dilihat Allah, dipantau oleh-Nya, dan Dia dekat dengannya. Jika seorang hamba meng­hadirkan itu semua dalam amalnya dan beramal seperti itu, ia orang ikhlas, karena jika ia menghadirkan itu semua dalam amalnya, maka itu semua akan bisa mencegahnya dari keberpalingan kepada selain Allah dan dari yang ditujukan kepada selain -Nya melalui amal perbuatannya. 
2.    Musyahadah, yaitu seorang hamba beramal dalam keadaan seperti menyak­sikan Allah dengan hatinya, maksudnya hatinya bersinar dengan iman dan mata hatinya menembus ke dalam ma’rifah hingga sesuatu yang ghaib seolah-­olah terlihat. 
Itulah hakikat kedudukan ihsan yang diisyaratkan di hadits Malaikat Jibril as.Orang-orang yang berada di kedudukan ihsan itu berbeda antara satu orang dengan yang lainnya sesuai dengan kadar kekuatandaya tembus mata hatinya. Tentang firman Allah Ta’ala, 
“Dan bagi-Nya sifat Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi “ (Ar Rum: 27)
Sejumlah ulama menafsirkan kata Almatsalul a‘la seperti makna di atas. Perumpamaan yang sama ialah firman Allah Ta’ala, 
“Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang Yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar “(An-Nun: 35)
Maksudnya, perumpamaan cahaya Allah di hati orang Mukmin. Itu dika­takan Ubai bin Ka’ab dan lain-lain dan generasi salaf. 
Sebelumnya telah disebutkan hadits, “Iman yang paling baik ialah engkau mengetahui bahwa Allah bersama mu di mana saja engkau berada. “Juga hadits, “Apa yang dimaksud dengan pembersihan seseorang terhadap dirinya, Wahai Rasulullah?”Nabi saw bersabda, “Ia mengetahui bahwa Allah bersama dirinya dimanapun ia berada. ”
Ath Thabrani meriwayatkan hadits dari Abu Umamah ra dari Nabi sawyang bersabda, 
“Tiga orang berada dalam naungan Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; orang yang dimana saja ia berada mengetahui Allah bersama nya, dan seterusnya.”
Makna di atas ditunjukkan Al-Qur’an di banyak tempat, misalnya firman Allah Ta’ala, 
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku ini dekat; Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada -Ku.“ (Al-Baqarah: 186)
Atau firman Allah Ta’ala, “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimanapun kalian berada.“ (Al-Hadiid: 4)
Dan firman Allah Ta’ala, ‘Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia yang keempatnya dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dia yang keenamnya dan tidak ada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada.“ (Al-Mujadilah: 7)
Atau firman Allah Ta’ala
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.“ (Yunus: 61)
Atau firman Allah Ta’ala, ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.“ (Qaaf: 16)
Atau firman Allah Ta’ala,
وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ
“Dan mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka.” (An Nisa’: 108)
Banyak sekali hadits yang menganjurkan ingat kedekatan Allah dengan hamba ketika melakukan ibadah-ibadah, misalnya sabda Nabi saw
وَقَدْ وَرَدَتْ الأَحَادِيْثُ الصَّحِيْحَةُ بِالنَّدْبِ إِلَى اسْتِحْضَارِ هَذَا الْقُرْبُ فِي حَالِ الْعِبَادَاتِ كَقَوْلِهِ r: "إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ رَبُّهْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ".
“Sesungguhnya jikasalah seorang dari kalian berdiri mengerjakan shalat, maka ia bermunajat kepada Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dengan kiblat.”
Atau sabda Nabi saw
إِنَّ اللهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى
“Sesungguhnya Allah berada di arah wajahnya ketika ia mengerjakan shalat.”
Atau sabda Nabi saw,
فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ
 “Sesungguhnya Allah memasang wajah-Nya untuk wajah hamba-Nya dalam shalatnya selagi ia tidak menoleh. 
Atau sabda Nabi sawkepada orang-orang yang bersuara keras ketika berdzikir, 
وَقَوْلُهُ لِلَّذِيْنَ رَفَعُوْا أَصْوَاتَهُمْ بِالذّكْرِ: إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli dan tidak ada, namun engkau berdoa kepada Dzat yang Maha Mendengar dan Dekat.
 “Di riwayat lain disebutkan
وَهُوَ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ
“Dia lebih dekat dengan salah seorang dari kalian daripada leher hewan kendaraannya.“
 Diriwayat lain disebutkan
وَ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
‘Dia lebih dekat dengan salah seorang dari kalian daripada urat lehernya.”
Atau sabda Nabi saw
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا مَعَ عَبْدِي إِذَا [ هُوَ ] ذَكَرَنِي وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ
“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku bersama hamba-Ku jika ia ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.”
Atau seperti sabda Nabi saw,
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْته فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْته فِي مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْت إلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْت إلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْته هَرْوَلَةً }
 “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku bersama dugaan hamba-Ku terhadap­-Ku dan Aku bersamanya di mana saja ia dzikir kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam dirinya, Akupun ingat kepadanya dalam diri-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam kelompok, Akupun ingat kepadanya dalam kelom­pok yang lebih baik dari kelompoknya. Jika ia merdekat kepada-Ku sejengkal, Aku merdekat kepadanya sehasta. Jika ia merdekat kepada-Ku sehasta, Aku merdekat kepadanya selengan. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku datang kepadanya dengan setengah berlari.” 
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Adham yang berkata, “Tmgkatan paling tinggi yaitu engkau habiskan waktumu untuk (beribadah) kepada Rabb-mu, engkau merasa tenteram kepada-Nya dengan hati, akal, dan seluruh organ tubuhmu hingga engkau tidak mengharapkan apa-apa kecuali Tuhanmu saja, tidak takut kecuali kepada dosamu, dan cinta kepada-Nya menguat di hatimu hingga engkau tidak mendahulukan cinta kepada-Nya atas cinta yang lain. Jika engkau bisa seperti itu, engkau tidak peduli lagi ketika engkau berada di daratan, atau lautan, atau tanah datar, atau gunung, kerinduanmu untuk bertemu dengan Allah adalah seperti kerinduan orang yang kehausan kepada air dingin atau seperti kerinduan orang kelaparan kepada makanan lezat, dan dzikir kepada Allah bagimu lebih nikmat daripada madu dan lebih manis daripada air tawar murni bagi orang yang kehausan di hari yang panas.”
Al Fudhail berkata, “Berbahagialah orang yang merasa gelisah ketika berkumpul dengan orang lain, dan Allah menjadi teman duduknya.”
Abu Sulaiman berkata, “Aku tidak tentram kecuali dengan Allah selama-lamanya.”
Ma’ruf berkata kepada seseorang, “Bertawakallah kepada Allah hingga Allah menjadi teman duduk dan sahabat karibmu, serta tempat pengaduanmu.”
Dzun Nun berkata, “Di antara tanda orang-orang yang mencintai Allah ialah ia tidak tentram dengan selain Dia dan tidak merasa sendirian bersama-Nya.”
Dzun Nun juga berkata, “Jika cinta kepada Allah Ta’ala menempati hati, hati tersebut tentram dengan-Nya, karena Allah Ta’ala lebih agung untuk dicintai orang-orang arif daripada selain Dia. ”
Perkataan ulama tentang tema ini sangat panjang sekali dan apa yang telah saya sebutkan itu sudah memadai, Insya Allah. 
Sekarang kita membahas hari kiamat yang disebutkan di hadits di atas. 
Pertanyaan Malaikat Jibril as tentang hari kiamat kemudian Nabi sawbersabda, “Orang yang ditanya tentang hari kiamat tidak lebih tahu dari penanya,“ maksudnya bahwa seluruh pengetahuan makhluk tentang waktu hari kiamat adalah sama. Ini sinyal bahwa Allah Ta’ala sendiri yang mengetahui waktunya. Oleh karena itu, di hadits Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda tentang lima hal yang tidak diketahui siapapun kecuali oleh Allah Ta’ala kemudian beliau membaca firman Allah Ta’ala, 
“Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.“(Luqman: 34)
AllahAzza wa Jalla berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapan terjadinya?’ Katakan, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia, Kiamat itu amat berat yang di langlt dan di bumi. Kiamat tidak akan datang kepada kalian melainkan dengan tiba-tiba.“ (Al-A’raf: 187)
Di Shahih Al Bukhari disebutkan hadits dari Ibnu Umar ra dari Nabi sawyang bersabda, 
“Kunci-kunci hal ghaib itu lima dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.“ Setelah itu, Nabi saw membaca firman Allah, sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat dan Dia yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “ (Luqman: 34. 93
Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad dengan redaksi bahwa Nabi sawbersabda, 
“Aku diberi kunci-kunci segala sesuatu kecuali lima hal. “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Imam Ahmad meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata, “Nabi kalian sawdiberi kunci-kunci segala hal kecuali lima. “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Pertanyaan Malaikat Jibril as, “Terangkan kepadaku tanda-tanda hari kiamat, maksudnya, terangkan kepadaku tanda-tanda yang menjelaskan dekatnya kedatangan hari kiamat. Di hadits Abu Hurairah radisebutkan bahwa Nabi sawbersabda, “Aku akan menje­laskan kepadamu tentang tanda-tandanya. ”
Di hadits di atas (hadits bab 1), Nabi sawmenyebutkan dua tanda hari kiamat ; 
Pertama, budak wanita melahirkan majikannya, yang dimaksud dengan kata rabbataha(majikannya) di hadits di atas ialah majikan dari pemilik budak wanita tersebut.Di hadits Abu Hurairah ra disebutkan, “Rabbaha,” (mak­sudnya, pemilik budak wanita tersebut). Ini mengisyaratkan penaklukan sejumlah negeri dan banyaknya perolehan budak hingga budak -budak wanita banyak dan dengan sendirinya anak-anak yang lahir dari budak wanita tersebut menjadi banyak, kemudian sang ibu anak-anak tersebutadalah budak wanita milik pemiliknya, se­dang anak-anak yang dilahirkan budak wanita tersebut sama kedudukannya dengan ayahnya, karena anak-anak sayyid (pemilik budak ) itu sama kedudukannya dengan sayyid tersebut. Jadi anak budak wanita tersebut sama kedudukannya dengan pemilik budak wanita tersebut. 
Al Khathabimenyebutkan bahwa hadits di atas dijadikan hujjah oleh orang yang berpendapat bahwa ummul walad (budak wanita yang digauli pemiliknya kemudian melahirkan anak) dimerdekakan karena anaknya yang mendapatkannya sebagai warisan dari ayahnya. Ummul walad tersebutpindah tangan kepada anak-anaknya dengan cara pewarisan kemudian dimerdekakan. Namun sebelum kema­tian pemiliknya, ummul walad tersebut dijual. Hujjah seperti itu perlu diteliti. 
Saya katakan, justru sebagian ulama berhujjah sebaliknya dengan hadits di atas bahwa ummul walad tidak boleh dijual dan ia dimerdekakan dengan kematian pemiliknya seketika itu juga, karena ulama tersebutmenjadikan anak ummul walad tersebutsebagai pemiliknya. Seolah-olah, anaknya itulah yang memerdekakan ummul walad kemudian pembebasan dirinya dinisbatkan kepada anaknya, karena anaknya menjadi penyebab kemerdekaan dirinya. Jadi seolah-olah anaknya menjadi seperti pemilik dirinya. Ini seperti diriwayatkan dari Nabi sawbahwa beliau bersabda tentang ibu dari anak beliau, Mariyah, ketika melahirkan Ibrahim,“Ia dimerdekakan oleh anaknya.”
Imam Ahmad juga berhujjah seperti itu. Imam Ahmad berkata di riwayat Muhammad bin Al Hakam darinya, “Budak wanita melahirkan majikannya,“ mak­sudnya,ummul walad itu sangat banyak. Imam Ahmad berkata lagi, “Jika budak wanita melahirkan anak karena digauli pemiliknya, ia dimerdekakan karena anaknya tersebut. Itu menjadi dalil bahwa para ummul walad itu tidak boleh dijual.”
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi saw, “Budak wanita melahirkan majikannya,“ ialah budak laki-laki banyak sekali diperoleh hingga anak perempuan didatangkan kemudian dimerdekakan, kemudian ibu anak perempuan tersebut didatangkan lalu dibeli oleh anak perempuan tersebut dan menjadikannya sebagai pembantu karena tidak tahu bahwa wanita tersebutadalah ibunya. Hal ini pernah terjadi pada zaman Islam. 
Tentang sabda Nabi sawada lagi yang menafsirkan bahwa para budak wanita melahirkan para raja. Waki’ berkata, “Makna hadits di atas ialah orang non Arab melahirkan orang Arab.” Dan orang-orang Arab adalah raja bagi orang-orang non Arab dan pemilik mereka. 
Kedua, “Engkau lihat orang yang telanjang kaki, telanjang badan, fakir.” Yang dimaksud dengan kata Al alah dihadits di atas ialah fakir, seperti firman Allah Ta’ala, 
“Dan Dia mendapatimu sebagai orang fakir, lalu Dia memberikan kecu­kupan.“ (Adh-Dhuha: 8)
Sabda Nabi saw, ‘Dan penggembala kambing saling meninggikan bangunan.” Itu yang terlihat di hadits Umar bin Khaththab. Maksud­nya, orang-orang kelas bawah di antara manusia menjadi pemimpin dan harta mereka banyak hingga mereka saling berlomba dengan mempertinggi bangunan, meng­hiasi, dan mempercantiknya.
Di hadits Abu Hurairah ra disebutkan tiga tanda, “Di antaranya, orang telanjang kaki dan telanjang badan menjadi pemimpin­-pemimpin manusia. Di antara tanda lainnya, para penggembala hewan saling meninggikan bangunan.”
Hadits tersebut diriwayatkan Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Burai­dah. Di hadits tersebut, Nabi sawbersabda, 
“Engkau lihat orang tuli, bisu, buta, telanjang kaki dan para penggembala saling meninggikan bangunan dan menjadi raja-raja manusia. “Seseorang berdiri kemudian pergi. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, siapa mereka yang engkau sifatkan tadi?” Nabi saw bersabda, ‘Mereka orang-orang Arab kecil.”
Kalimat terakhir diriwayatkan Ali bin Zaid dari Yahya bin Ya’man dari Ibnu Umar, sedang kalimat pertama shahih berasal dan hadits Abu Hurairah ra yang semakna dengannya. Sabda Nabi saw, “Engkau lihat orang tuli, bisu, buta, dan seterusnya, “ mengisyaratkan kebodohan orang-orang tersebut, ketiadaan ilmu pada mereka, dan ketidakpahaman mereka. 
Tentang makna tersebut banyak sekali hadits Imam Ahmad dan At Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Hudzaifah ra dari Nabi sawyang bersabda, 
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكُونَ أَسْعَدَ النَّاسِ بِالدُّنْيَا لُكَعُ ابْنُ لُكَع
“Hari Kiamat tidak terjadi hingga manusia yang paling bahagia di dunia ialah Luka‘ bin Luka‘.”
Di Shahih Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra dari Nabi sawyang bersabda, 
لاَ تَنْقُضُ الدُّنْيَا حَتَّى تَكُوْنَ عِنْدَ لُكَعِ بنِ لُكَعٍ
“Dunia tidak habis hingga ada pada Luka‘ bin Luka’
Ath Thabrani meriwayatkan hadits dari Abu Dzar ra dari Nabi saw yang bersabda, 
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حتَّى يَغْلِبَ عَلىَ الدُّنْيَا لُكَعِ بنُ لُكَعٍ
“Hari Kiamat tidak terjadi hingga yang berkuasa di dunia ialah Luka‘ bin Luka
Imam Ahmad dan Ath Thabrani meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radari Nabi saw yang bersabda, 
وَخَرَّجَ الإِمَامُ أَحْمَدَ وَالطَّبْرَانِي مِنْ حَدِيْثِ عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ سِنِينَ خَوَادِعًا، يُتَّهَمُ فِيهَا الأَمِينُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيَكْذِبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُصَدِّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ النَّاسِ الرُّوَيْبِضَةُ"، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ:"السَّفِيهُ يَنْطِقُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ".
“Sebelum hari kiamat terjadi terdapat tahun-tahun penipuan; pada tahun-tahun tersebut, orang tepercaya dituduh, orang tertuduh dipercayai dan ar ruwaibidhah berbicara. “Para sahabat berkata, “Apa ruwaibidhah itu?” Nabi saw bersabda, “Yaitu orang bodoh yang berbicara tentang urusan manusia.” Di riwayat lain disebutkan, “Yaitu orang fasik yang berbicara tentang urusan manusia.
Di riwayat Imam Ahmad disebutkan, 
وَفِي رِوَايَةِ الإِمَامِ أَحْمَدَ: "إِنَّ بَيْنَ يَدَي الدَّجَّالِ سِتُّوْنَ خدَّاعَةٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ، وَيُكذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ، وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنَ، وَيُؤتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ، وَذَكَرَ بَاقِيْهِ
“Sesungguhnya sebelum Dajjal muncul terdapat tahun-tahun penipuan. Pada tahun-tahun tersebut, pendusta dibenarkan, orang jujur didus­takan, orang tepercaya dituduh khianat, dan pengkhianat dipercaya dan seterusnya seperti riwayat sebelumnya.
Kesimpulan dari tanda-tanda hari kiamat di hadits tadi ialah semua urusan dilimpahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya seperti disabdakan Nabi sawkepada orang bertanya kepada beliau tentang hari kiamat,
 إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَة
“Jika urusan dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat.”
Karena jika orang yang telanjang kaki, telanjang aurat, dan para penggembala kambing yang nota bene orang-orang bodoh dan kasar menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan orang-orang kaya hingga mereka saling meninggikan bangunan, sistem agama dan dunia menjadi rusak berantakan karenanya, sebab jika yang memimpin manusia adalah orang fakir, otomatis ia menjadi raja manusia; baik kerajaannya bersifat umum atau khusus di sebagian urusan. Dan ia bisa diperkirakan ia nyaris tidak memberikan hak-hak kepada manusia dan justru mengutamakan diri mereka sendiri daripada manusia karena kekayaan yang dikuasainya. Salah seorang generasi salafberkata, “Jika engkau menengadahkan tangan kepada ular naga kemudian naga tersebut mematahkan tanganmu itu lebih baik bagimu daripada engkau me­nengadahkan tangan kepada tangan orang kaya yang bisa memperbaiki kemiskinan.” Jika bersama itu, orang tersebut bodoh dan keras, maka agama menjadi rusak karenanya, sebab ia tidak punya keinginan untuk memperbaiki agama manusia atau mengajari mereka, namun keinginannya ialah menarik harta dari mereka, menyim­pannya, tidak peduli dengan agama manusia yang rusak, dan orang-orang miskin di antara mereka yang terlantar. 
Di hadits lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda, 
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَسُوْدَ كُلَّ قَبِيْلَةٍ مُنَافِقُوْهَا
“Hari Kiamat tidak terjadi hingga orang-orang munafik setiap kabilah men­jadi pemimpin disetiap kabilah.”
Jika raja dan pemimpin manusia seperti itu, seluruh urusan menjadi jungkir balik. Akibatnya, pembohong dipercayai, orang jujur didustakan, pengkhianat di­beri amanah, orang tepercaya dikhianati, orang bodoh bicara, orang alim diam, atau dilarang bicara secara umum, seperti diriwayatkan dari Nabi sawbahwa beliau bersabda, 
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَرْفَعَ الْعِلمُ، ويَظْهَرَ الْجَهْلُ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Hari Kiamat ialah ilmu diangkat dan kebodohan tersebar.”
Nabi sawjuga bersabda, 
عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بن عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالا، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا".
“Sesungguhnya ilmu dicabut dengan dicabutnya ulama hingga jika ulama tidak ada yang tersisa maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin, kemudian para pemimpin tersebut ditanya, lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.”
Asy Sya’bi berkata, “Hari Kiamat tidak terjadi hingga ilmu menjadi kebo­dohan dan kebodohan menjadi ilmu.”
Itu semua karena carut-marutnya segala hal dan jungkir baliknya semua urusan di akhir zaman. 
Di Shahih Al Hakim disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr rasecara marfu’, 
" إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُوْضَعَ الأَخْيَارِ، وَيُرفَعَ الأَشْرَارُ ([8]
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat ialah orang-orang pilihan direndahkan, sedang orang-orang jahat diangkat.”
Sabda Nabi saw, “Saling meninggikan bangunan.” adalah bukti tercelanya sikap saling membanggakan diri dan sombong, terutama meninggikan bangunan. Meninggikan bangunan tidak dikenal pada zaman Nabi sawdan sahabat-sahabat beliau, namun rumah mereka rendah/pendek sesuai dengan kebutuhan. Abu Az-Zanad meriwayatkan hadits dari Al A’raj dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulullah sawbersabda, 
“Hari Kiamat tidak terjadi hingga manusia saling meninggikan bangunan.” (Diriwayatkan Al Bukhari )
Abu Daud meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi saw keluar kemudian melihat kubah tinggi. Beliau bersabda, “Milik siapa kubah ini?”Orang-orang berkata, “Milik si Fulan, salah seorang dari kaum Anshar.”Pemilik kubah tersebut datang kemudian mengu­capkan salam kepada Rasulullah sawnamun beliau me­malingkan muka darinya. Rasulullah sawberbuat seperti itu hingga beberapa kali, kemudian orang tersebut meruntuhkan kubahnya. 
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath Thabrani dari jalur lain dari Anas bin Malik ra.Menurut riwayat Ath Thabrani, kemudian Nabi sawbersabda, “Setiap bangunan (sambil mengisyaratkan tangan seperti ini ke kepala) yang lebih tinggi dari ini adalah petaka.”
Harits bin As Saib berkata dari Al Hasan, “Aku masuk ke rumah-rumah para istri Nabi sawpada masa kekhalifahan Utsman bin Affan ra kemudianaku memegang atapnya dengan tanganku.”
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra bahwa ia menulis surat yang isinya, “Janganlah kalian meninggikan bangunan kalian, karena itu hari-hari kalian yang paling buruk.”
Yazid bin Abu Ziyad berkata, Hudzaifah berkata kepada Salman, “Bagaimana kalau kami membangun rumah untukmu, Wahai Abu Abdillah?” Salman berkata, “Kenapa engkau ingin menjadikanku sebagai raja?” Hudzaifah berkata, “Tidak , namun aku hanya akan membangun rumah untukmu dan qashab (tumbuh-­tumbuhan berbuku dan beruas) dan memberinya atap dari buluh. Jika engkau ber­diri, atapnya nyaris menyentuh kepalamu. Jika engkau tidur, rumah tersebut nyaris menyentuh kedua ujung badanmu.” Salman berkata, “Sepertinya engkau berada dalam diriku.”
Ammar bin Abu Ammar berkata, “Jika seseorang meninggikan bangunannya di atas tujuh hasta, ia dipanggil, ‘Hai orang fasik yang paling fasik, engkau akan pergi ke mana?” Itu semua diriwayatkan Ibnu Abu Ad Dunya. 
Ya’qub bin Syaibah berkata di Musnad-nya, aku dengar dari lbnu Aisyah yang berkata, Ibnu Abu Syumailah berkata kepadaku bahwa kaum Muslimin berhenti di sekitar masjid di Basrah di kemah-kemah dan dedaunan, kemudian seringkali terjadi pencurian pada mereka. Mereka menulis surat kepada Umar bin Khaththab kemudian Umar bin Khaththab mengizinkan mereka membuat kemah dari buluh. Merekapun membangun kemah dari buluh, namun kebakaran kerap terjadi pada mereka. Mereka menulis surat lagi kepada Umar bin Khaththab yang kemudian mengizinkan mereka membuat kemah dari tanah liat dan melarang orang meninggikan atapnya lebih dan tujuh hasta. Umar bin Khaththab berkata, “Jika kalian membangun rumah-rumah kalian dari tanah liat, bangunlah masjid juga dan tanah liat.” Ibnu Aisyah berkata, “Utbah bin Ghazwan membangun masjid Basrah dari buluh dan berkata, “Barangsiapa mengerjakan shalat di masjid dari buluh, itu lebih baik daripada orang yang mengerjakan shalat di masjid dari batu bata. Dan barangsiapa mengerjakan shalat di masjid dari batu bata, itu lebih baik daripada orang yang mengerjakan shalat di masjid dan ubin.”
Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik ra dari Nabi saw yang bersabda, 
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ قَالَ: " لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
“Hari Kiamat tidak terjadi hingga manusia bermegah-megahan di masjid.”
Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra dari Nabi saw yang bersabda, 
ومن حديث عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « أَرَاكُمْ سَتُشَرِّفُونَ مَسَاجِدَكُمْ بَعْدِى كَمَا شَرَّفَتِ الْيَهُودُ كَنَائِسَهَا وَكَمَا شَرَّفَتِ النَّصَارَى بِيَعَهَا ».
 “Aku lihat kalian akan menghias masjid-masjid kalian sepeninggalku seperti orang-orang Yahudi menghiasi biara-biaranya dan seperti orang-orang Kristen menghiasi gereja-gerejanya.”
Ibnu Abu Ad Dunya meriwayatkan dengan sanadnya dari Ismail bin Mus­lim dari Al Hasan ra yang berkata bahwa ketika Rasulullah sawmembangun masjid, beliau bersabda, “Bangunlah masjid seperti atapnya Nabi Musa.”Ditanyakan kepada Al Hasan, “Apa yang dimaksud dengan atap Nabi Musa?” Al Hasan menjawab, “Jika Musa mengangkat tangan, tangannya mencapai atap.”


([1])         البخاري في كتاب الإيمان: باب أمور الإيمان 1/51 . ومسلم في كتاب الإيمان: باب بيان عدد شعب الإيمان 1/63 .
([2])         أخرجه أحمد في المسند 5/3، 4،5 _ حلبي ) . من طرق بسياقه مطولاً وانظر الفتح الرباني 1/68-69 وفيه: أن الحاكم صححه واقره الذهبي وسنن النسائي 5/4-5 .
([3])         هذا جزء حديث أخرجه مسلم في البر: باب تحريم ظلم المسلم 4/1986 باختلاف يسير .
([4])         في هـ، م: " حسناته وسيئاته " وما أثبتناه موافق لما في المسند 1/204 205 " المعارف " وهو جزء حديث أخرجه أحمد بإسناد صحيح على ما ذكر محققه العلامة الشيخ ذاكر .
([5])         تمام الحديث في أبي داود: 
            ولا يعطي الهرمة ولا ا لدرنة ( الجرباء ) ولا المريضة ولا الشَّرط ( صغار المال وشراره ) والا اللئيمة ( البخيلة باللين ) ولكن من وسط أموالكم . فإن الله لم يسألكم خيره، ولم يأمركم بشره " .
            وما ذكر ابن رجل أنه آخر الحديث فهو عند البزار كما سيشير ابن رجب، وهذا هو الحديث الوحيد الذي رواه عبد الله بن معاوية الغاضري عن النبي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كما ذكر ابن حجر في التهذيب وقد أخرجه أبو داود في كتاب الزكاة: باب زكاة السائمة 2/249 240 .
([6])         الحديث في سنن أبي داود كتاب الأدب: باب النصيحة والحياطة 5/218 .
            وقد ذكر المناوى في التيسير 2/451 أن إسناده حسن .
([7])         يتصايحون وفي الطبراني والمجمع 1/57 يتضاغون وكلاهما بمعنى .
             أورده الغزالي في الإحياء 4/190 وعلق عليه العراقي بقوله: أخرجه البزار من حديث أنس، والطبراني من حديث الحارث بن مالك وكلا الحديثين ضعيف .وهو عند الطبراني في الكبير 3/266- 267 رواية عن محمد ابن عبد الله الحضرمي، عن أبي كريب، عن زيد بن الحباب، عن أبن لهيعة، عن خالد بن يزيد السكسكي، عن سعيد بن أبي هلال، عن محمد بن أبي الجهم عن الحارث بن مالك الأنصاري أنه مر برسول الله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقال له: كيف أصبحت يا حارثة ؟ . . الحديث وقد أورده الهيثمي في مجمع الزوائد 1/57 عن الطبراني في هذا الموضع بنحوه، وقال: وفيه ابن لهيعه، وفيه من يحتاج إلى الكشف عنه .
            = وهو عند البزار في مسنده 1/6 ( من الكشف ) ح 32 من طريق أحمد بن محمد الليثي، عن يوسف بن عطية، عن ثابت، عن أنس: أن النبي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لقي رجلاً يلاق له حارثة . . . الحديث بمعناه وعقب عليه بقوله: تفرد به يوسف وهو لين الحديث . 
([8])         

No comments:

Post a Comment