Friday, December 7, 2018

Hadits Arbain 1: Ikhlas dan Pengaruhnya dalam Amal

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . 
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة] 

Dari Umar bin Khaththab rayangberkata, “Aku dengar Rasulullah sawbersabda,
Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat dan untuk setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang didapatkannya atau wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjàdi tujuan hijrahnya ” (Diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim)


Jamiul Ulum wal Hikam, Syarah Hadits Arbain oleh Ibnu Rajab (Ringkasan):

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Al-Hafidz Abul Hasan Thahir bin Mufawwiz Al Muafiri Al-Andalusi me­lantunkan syair, 
“Landasan agama menurut kami 
Adalah empat kalimat dan sabda manusia terbaik 
Yaitu jauhilah syubhat, zuhudlah, 
Tinggalkan apa yang tidak ada manfaatnya bagimu, dan berbuatlah dengan niat”

Sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat“ Di riwayat lain, “Seluruh amal perbuatan itu dengan niat“ Kedua hadits tersebut menghendaki pembatasan kebenaran (mak­sudnya, amal perbuatan itu benar dengan niat). 

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang maksud sabda Rasulullah saw, “Seluruh amal perbuatan itu dengan niat”.Banyak dari ulama-ulama khalaf (ulama setelah generasi salaf), berkeyakinan bahwa maksud sabda Rasulullah sawialah bahwa seluruh amal perbuatan itu benar, atau dianggap, atau diterima dengan niat. Menurut pengertian seperti itu, amal perbuatan yang dimaksud ialah amal perbuatan syar’iyah yang membutuhkan niat. Sedang amal perbuatan yang tidak membutuhkan niat seperti kebiasaan-kebiasa­an makan, minum, berpakaian, mengembalikan amanah, tanggungan seperti titipan dan barang yang dirampas. maka sama sekali tidak membutuhkan niat. Jadi, amal perbuatan syar’iyah tersebut dikhususkan dari kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Ulama lain berkata,“Amal perbuatan yang dimaksud hadits di atas ialah keseluruhan amal perbuatan dan tidak ada sedikit pun daripadanya yang dikhu­suskan.”Sebagian dari ulama-ulama tersebut mengatakan bahwa pendapat ini berasal dari jumhur ulama. Sepertinya yang mereka maksud dengan jumhur ulama tersebut ialah jumhur ulama salaf. Perkataan ini terlihat jelas di perkataan Ibnu Jarir Ath-Thabari, Abu Thalib Al-Makki, dan ulama-ulama salaf lainnya. Itu pula pendapat Imam Ahmad.

Imam Ahmad berkata dalam riwayat Hanbal, “Saya suka jika seseorang mengerjakan perbuatan seperti shalat, puasa, atau sedekah, atau salah satu jenis dari perbuatan baik, maka ia mendahulukan niat sebelum mengerjakannya, karena Rasulullah saw bersabda, ‘Seluruh amal perbuatan itu dengan niat. ‘Hadits tersebut berlaku pada semua urusan.”

Al Fadhl bin Ziyad berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad) tentang niat dalam amal perbuatan. Aku bertanya bagaimana niat itu?. Ia menjawab, ‘Seseorang memperbaiki dirinya jika ia ingin mengerjakan perbuatan yang dimaksudkan bukan untuk manusia’.

Ahmad bin Daud Al Harbi berkata, “Yazid bin Harun mengucapkan hadits riwayat Umar bin Khaththab ra, ‘Seluruh amal perbuatan itu dengan niat, ‘sedang Imam Ahmad sedang duduk, kemudian Imam Ahmad berkata kepada Yazid, ‘Hai Abu Khalid, hadits ini adalah leher’.”

Menurut pendapat kedua tersebut, dapat dikatakan bahwa maksud hadits di atas ialah bahwa seluruh amal perbuatan itu terjadi dengan niat. Jadi hadits tersebut menjelaskan tentang amal perbuatan sukarela bahwa amal perbuatan sukarela tersebut tidak terjadi kecuali dengan keinginan pelakunya yang merupakan sebab dan eksistensi amal perbuatan sukarelanya. Setelah itu, sabda Rasulullah saw, Dan setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan, adalah penjelasan tentang hukum syar’i bahwa kunci pelaku terhadap amal perbuatannya ialah niatnya. Jika niatnya shalih, amal perbuatannya shalih. Jika niatnya rusak, amal perbuatannya juga rusak dan ia berhak atas dosa.

Ada kemungkinan lain bahwa maksud sabda Rasulullah saw, “Seluruh amal perbuatan itu dengan niat,“ ialah bahwa seluruh amal perbuatan itu shalih, atau rusak, atau diterima, atau ditolak, diberi pahala, atau tidak diberi pahala, tergantung dengan niatnya. Jadi hadits tersebut menjelaskan tentang hukum syar’i bahwa baik tidaknya amal perbuatan seseorang itu tergantung kepada baik tidaknya niat amal perbuatan tersebut, seperti sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya amal perbuatan itu dengan penutup (akhir)” mak­sudnya, sesungguhnya baik tidaknya amal perbuatan dan diterima tidaknya itu tergantung kepada penutup (akhir) perbuatan tersebut .

Sabda Rasulullah sawsetelah itu, ”…dan untuk setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan,” adalah penjelasan bahwa seseorang tidak mendapatkan apa-apa dari amal perbuatannya kecuali apa yang ia niatkan. Jika meniatkan kebaikan, ia mendapatkannya. Jika ia meniatkan keburukan, ia menda­patkannya. Sabda Rasulullah sawtersebuttidak meng­ulangi kalimat sebelumnya, karena kalimat sebelumnya menunjukkan bahwa baik tidaknya amal perbuatan itu tergantung kepada niat yang menghendaki amal perbuatan tersebut, sedang kalimat kedua menunjukkan bahwa pahala pelaku karena amal perbuatannya itu tergantung kepada niatnya yang baik dan bahwa hukuman baginya itu sesuai dengan niatnya yang tidak baik. Jadi, baik tidaknya amal perbuatan dan pembolehannya itu tergantung kepada niat yang mendorong terjadinya amal perbuatan tersebut. Selain itu, pahala, hukuman, dan keselamatan pelaku amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan dengannya amal perbuatan menjadi baik, atau rusak, atau diperbolehkan.

Niat menurut pendapat para ulama mempunyai dua pengertian;
Pertama, untuk membedakan sebagian ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, membedakan puasa Ramadhan dengan puasa lainnya. Atau membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan, misalnya membedakan antara mandi jinabat dengan mandi untuk menyejukkan badan atau membersihkannya, dan lain sebagainya. Niat seperti inilah yang banyak sekali dijumpai di perkataan para fuqaha’ di buku-buku mereka.

Kedua, untuk membedakan yang menjadi tujuan amal perbuatan. Apakah tujuan amal perbuatan tersebut adalah Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya ataukah selain Allah? Niat seperti inilah yang dibicarakan para ulama di buku-buku mereka tentang ikhlas dan seluk beluknya. Niat itu pula yang banyak dijumpai di perkataan para generasi salaf.

Sebagian ulama membedakan antara kata niat dengan iradat (keinginan) dan maksud karena mereka menduga bahwa niat secara khusus mempunyai pengertian pertama yang disebutkan para fuqaha’. Di antara mereka ada yang berkata bahwa niat itu dikhususkan dengan amal perbuatan orang yang meniatkannya, sedang ke­inginan tidak, misalnya seseorang menginginkan Allah mengampuninya dan ia tidak meniatkannya. Padahal saya telah menjelaskan sebelumnya bahwa niat dalam sabda Rasulullah sawdan generasi salaf umat ini ialah sesuai dengan pengertian kedua dan ketika itulah niat mempunyai pengertian ke­inginan. Oleh karena itu, niat seringkali dibahasakan dengan kata iradat(keinginan/ menginginkan) di Al Qur’an, misalnya firman Allah Ta’ala,

مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۚ 

“Di antara kalian ada orang yang menginginkan dunia dan di antara kalian ada orang yang menginginkan akhirat “(Ali Imran: 152).

Atau seperti firman Allah Ta’ala,

تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ 

“Kalian menginginkan harta benda duniawiyah sedangkan Allah menginginkan akhirat.“ (Al Anfal: 67).

Atau seperti firman Allah Ta’ala,

مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ 

“Barangsiapa yang menginginkan keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itubaginya dan barangsiapa yang menginginkan keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat. “ (Asy-Syura: 20).

Atau seperti firman Allah Ta’ala,

مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا - 17:18
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا - 17:19

“Barangsiapa menginginkan kehidupan sekarang (duniawiyah), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan mema­sukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan Barangsiapa menginginkan kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.“ (Al lsra’: 18-19).

Atau seperti firman Allah Ta’ala,

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ - 11:15
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ - 11:16

“Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.“ (Huud: 15-16).

Contoh lain, Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw yang bersabda, “Sesungguhnya syuhada’ umatku yang paling banyak ialah yang meninggal di atas tempat tidur, bisa jadi orang terbunuh di antara dua barisan itu Allah lebih tahu tentang niatnya.”

Contoh lain, Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Jabir ra dari Nabi saw yang bersabda,“Manusia dikumpulkan sesuai dengan niat mereka.”

Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits dan Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda, “Sesungguhnya manusia dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.”

Contoh lain, Muslim meriwayatkan di Shahihnya hadits dari Aisyah radari Nabi  sawtentang makna hadits di atas. Di dalamnya, beliau bersabda,
“Mereka binasa dengan kebinasaan yang sama dan dibangkitkan dari sumber yang berbeda. Allah membangkitkan mereka sesuai dengan niat mereka.”

Contoh lain, Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit ra dari Nabi saw yang bersabda, “Barangsiapa dunia menjadi obsesinya, Allah memecah belah urusannya, menjadikan kefakiran di depannnya, dan dunia tidak datang kepadanya kecuali sebatas yang ditentukan baginya. Barangsiapa akhirat menjadi niatnya, Allah menyatukan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk.

Contoh lain, Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanad terputus dari Umar bin Khaththab rayang berkata, “Orang yang tidak harus itu tidak beramal. Orang yang tidak mengharapkan pahala karena amalnya di sisi Allah itu tidak mendapatkan pahala.”

Contoh lain, Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanad dhaif dari Ibnu Mas’ud rayangberkata, “Perkataan tidak bermanfaat kecuali dengan perbuatan. Perbuatan dan perkataan tidak bermanfaat kecuali dengan niat. Perbuatan dan niat tidak bermanfaat kecuali sesuai dengan Sunnah.”

Dengan penjelasan ini dapat dimengerti riwayat dari Imam Ahmad yang berkata bahwa Prinsip-Prinsip Islam ialah tiga hadits;
1.  Hadits riwayat Umar bin Khaththab, ‘Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat’
2.  Hadits riwayat Aisyah, ‘Barang siapa menciptakan hal-hal baru dalam perkara kami yang tidak berasal darinya, ia tertolak’
3.Hadits riwayat An-Nu’man bin Basyir, ‘Halal itu jelas dan haram juga jelas.’ Karena seluruh ajaran agama terfokus pada mengerjakan perintah-perintah, meninggalkan larangan-larangan, dan berhenti dari syubhat-syubhat. Itu semua dikandung hadits riwayat Nu’man bin Basyirtersebut.”

Realisasi ajaran agama bisa sempurna dengan dua hal;
1.Amal perbuatan secara lahiriyah sesuai dengan Sunnah. Inilah makna yang dikandung hadits riwayat Aisyah, ‘Barangsiapa menciptakan hal-hal baru dalam perkara kami yang tidak berasal darinya, ia tertolak.’
2.Amal perbuatan secara batiniyah dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla seperti dikandung hadits riwayat Umar bin Khaththab,‘Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat’

Tentang firman Allah Ta’ala,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ 

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. “(Al Mulk: 2).

Al Fudhail bin Iyadh berkata,“Yang dimaksud dengan kata ahsan pada ayat di atas ialah yang paling ikhlas dan paling benar. Jika amal perbuatan itu ikhlas, namun tidak benar, maka tidak diterima. Jika amal perbuatan tersebut benar, namun tidak ikhlas, maka juga tidak diterima hingga amal perbuatan tersebut ikhlas dan benar. Ikhlas ialah jika amal perbuatan tersebut karena Allah Azza wa Jalla dan benar ialah jika amal perbuatan tersebut sesuai dengan Sunnah.”

Kebenaran makna yang dikatakan Al Fudhail bin Iyadh didukung firman Allah Ta’ala,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". “(Al Kahfi: 110).

الهِجْرَةُ 

Salah seorang arif berkata, “Manusia berbeda tingkatan karena keinginan mereka dan bukan karena puasa atau shalat mereka.” Sabda Rasulullah saw:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang didapatkannya atau yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.“

Karena sebelumnya, Rasulullah sawmenyebutkan bahwa amal perbuatan itu sesuai dengan niatnya dan bahwa kunci amal perbuatan seseorang

Asalkata hijrah ialah meninggalkan negeri syirik dan pindah ke negeri Islam. Contohnya, kaum Muhajirin sebelum penaklukan Makkah, hijrah dari Makkah ke kota Nabi sawMadinah. Sebelum itu, di antara Muhajirin ada yanghijrah ke Habasyah, negeri An-Najasyi. Dengan kalimat tersebut, Rasulullah sawmenje­laskan bahwahijrah berbeda sesuai dengan perbedaanniat dan maksudnya. Barangsiapa hijrah ke negeri Islam karena cinta Allah dan Rasul-Nya, ingin mempelajari agama Islam, dan memenangkan agama-Nya yangtidak sanggup ia kerjakan di negeri syirik, sungguh iahijrah kepada Allah dan Rasul-Nya denganhijrah yanghakiki. Cukuplah baginya kebanggaan dan kemuliaan bahwa ia mendapatkan apa yang ia niatkan dalam hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, jawaban dan syarat di sabdatersebut diulang dengan kata syarat itu sendiri yaitu, “Maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya,” karena tercapainya apa yang ia niatkan dalam hijrahnya adalah puncak tujuan di dunia dan akhirat. Sedang barangsiapa hijrah dari negeri syirik ke negeri Islam untuk mencari dunia yangakan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya di negeri Islam, makahijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya. Orang pertama adalah pedagang, sedang orang kedua adalah pelamar, namunkeduanya tidak dinamakan muhajir(orang yanghijrah).

Di sabda Rasulullah saw, “Maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya,” terdapatpenghinaan terhadap dunia yangmenjadi incarannya dimana Rasulullah sawtidak menyebutkandengan kalimat yangmenjadi syaratnya, yaitu, “Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang didapatkannya atau wanita yang dinikahinya.” Selain itu, hijrahkepada Allah dan Rasul-Nya adalah satu dan tidak terbagi-bagi di dalamnya. Oleh karena itu, kalimat jawabnya, yaitu, “Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul­-Nya,” dibuat sama dengan kalimat syaratnya yaitu, “Maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.” 

Hijrah karena kepentingan dunia itu tidak bisa dihitung. Bisa jadi, seseorang berhijrah karena mencari dunia yang diperbolehkan, atau mencari dunia yang diharamkan. Orang-orang dan urusan-urusan dunia yang menjadi tujuan hijrah juga tidak terbatas. Oleh karena itu, Rasulullah sawber­sabda, “Maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya,”apa pun tujuan hijrahnya.

Tentang firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.” (Al-Mumtahanah: 10).

Sudah diketahui bersama bahwa “orang yang berhijrah kepada Ummu Qais” adalah penyebab sabda Rasulullah ra, ‘Dan Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang didapatkannya atau wanita yang dinikahinya.” Itu disebutkan ulama-ulama khalaf di buku-buku mereka, namun aku tidak melihat landasannya dengan sanad yang shahih, wallahu a’lam.

Seluruh amal perbuatan pada dasarnya seperti hijrah pada hadits di atas dimana baik tidaknya tergantung kepada niatnya yang menjadi motivator amal perbuatan tersebut, seperti jihad, haji, dan sebagainya. Rasulullah sawpernah ditanya tentang perbedaan niat orang-orang dalam jihad, riya’ yang dimaksudkan dengan jihad tersebut, memperlihatkan heroisme, fanatisme, dan lain sebagainya. Pertanyaan tersebutialah, “Manakah di antara hal-hal tersebut yang termasuk di jalan Allah?” Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, ia di jalan Allah.”Dengan jawaban tersebut, semua tujuan duniawi tidak termasuk dalam katagori di jalan Allah.

Di Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Musa Al Asy’ari bahwa seorang Arab Badui datang kepada Nabi SAWkemudian berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang berperang karena harta rampasan perang, seseorang berperang agar dikenang, dan seseorang berperang agar kedudukannya diketahui, siapakah di antara mereka yang berada di jalan Allah?”Rasulullah saw, bersabda, “Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang tentinggi, ia di jalan Allah.”

Di riwayat Muslim disebutkan, “Rasulullah saw pernah ditanya tentang orang yang berperang karena keberaniannya, berperang karena fanatisme, dan berperang karena riya, manakah di antara mereka yang berada di jalan Allah? Rasulullah sholallahu Alaihi wa Sallam bersabda seperti hadits di atas.
Di riwayat Muslim lainnya, “Seseorang berperang karena marah dan ber­perang karena fanatisme.


An-Nasai meriwayatkan hadits dan Abu Umamah ra yang berkata, “Seseorang datang kepada Nabi sawkemudian berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang karena mencari pahala dan nama, apa yang ia dapatkan?’Rasulullah sawbersabda, ‘Ia tidak mendapatkan apa-apa.’Beliau bersabda lagi, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang ikhlas dan di­maksudkan untuk mencari keridhaan-Nya’.”

Abu Daud meriwayatkan hadits dan Abu Hurairah ra yang berkata bahwa seseorang datang berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang ingin Jihad, namun ia juga mencari salah satu kekayaan dunia?” Rasulullah saw bersabda, ia tidak mendapatkan pahala. Orang tersebut bertanya lagi hingga tiga kali sedang Nabi saw tetap bersabda, “Ia tidak men­dapatkan pahala”

Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits dari Muadz bin Jabal radari Nabi sawyangbersabda, “Perang itu ada dua. Barang siapa mencari keridhaan Allah taat kepada pe­mimpin, menginfakkan harta yang baik, lunak dengan mitra usaha, dan menjauhi kerusakan, maka seluruh tidur dan tidak tidurnya adalah pahala. Sedang orang yang berperang karena sombong, riya dan sum’ah, tidak taat ke­pada pemimpin, dan berbuat kerusakan di bumi, maka ia tidak pulang dengan membawa rezki yang cukup. 

Muslimmeriwayatkan hadits dari Abu Hurairah rayang berkata, aku dengan Rasulullah sawbersabda,‘Manusia yang pertama pada hari kiamat adalah orang yang mati di medan laga. Ia didatangkan kemudian Allah mengenalkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah berfirman, Apa yang engkau lakukan dengan nilmat-nikmat tersebut?’ Orang tersebut menjawab ‘Aku berperang dijalan-Mu hingga aku gugur sebagai syahid.’ Allah berfirman, Engkau berkata bohong, namun engkau berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan betul engkau dikatakan sebagai pemberani.’ Orang tersebut diperintahkan untuk dibawa dan diseret hingga dijebloskan ke neraka. Juga orang lain yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membawa Al­Qur’an. Orang tersebut didatangkan, kemudian Allah mengenalkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah berfirman, ‘Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?’Orang tersebut men­jawab, Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an di jalan-Mu. ‘Allah berfirman, ‘Engkau berkata bohong namun engkau mempelajari ilmu agar dikatakan sebagai orang alim dan membaca Al Qur’an agar dikatakan sebagai qari’ itu betul telah dikatakan terhadapmu.’ Orang tersebut diperintahkan untuk dibawa dan diseret hingga dijebloskan ke neraka. Juga orang yang diberi kemudahan oleh Allah dan memberinya berbagai macam harta. Orang tersebut didatangkan kemudian Allah mengenalkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah berfirman, ‘Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?’ Orang tersebut menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan salah satu jalan yang engkau sukai kalau harta diinfakkan di jalan tersebut melainkan aku menginfakkan harta di jalannya. ‘Allah berfirman, engkau berkata bohong namun engkau berbuat seperti itu agar engkau dikatakan orang dermawan dan betul engkau telah dikatakan sebagai orang dermawan.‘ Orang tersebut diperintahkan untuk dibawa dan diseret hingga dijebloskan ke neraka.”

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa ketika Muawiyah diberitahu tentang hadits tersebut, ia menangis hingga pingsan. Ketika siuman, ia berkata, “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya.”Allah Azza wa Jalla  berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ - 11:15
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ - 11:16

“Barang siapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. “(Huud: 15-16).

Ada ancaman keras bagi orang yang mempelajari ilmu tidak karena meng­harap keridhaan Allah, seperti hadits yang driwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dan Abu Hurairah ra dari Nabi saw yang bersabda, “Barang siapa mempelajari ilmu yang dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah, namun ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia dengan ilmu tersebut , ia tidak mencium aroma surga namun Hari Kiamat 

Juga ada ancaman keras bagi orang yang mengerjakan amal perbuatan secara umum tidak karena Allah, seperti hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Ubai bin Ka’ab radari Nabi sawyang bersabda, “Sampaikan khabar gembira kepada umatkuketinggian, kekayaan, agama, dan kecukupan tinggal di bumi. Barangsiapa di antara mereka menger­jakan amalan akhirat untuk dunia, ia tidak mendapat bagian apa-apa di akhirat.

Ketahuilah bahwa amal perbuatan karena selain Allah itu bermacam-macam. Terkadang dalam bentuk murni riya’ dalam arti amal perbuatan tersebuthanya dimaksudkan agar dilihat manusia karena tujuan duniawiyah, misalnya shalat orang­-orang munafik, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا 

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas; mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia dan tidakkah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (An-Nisa’: 142).

Allah Ta’ala berfirman, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (Yaitu,) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya” (Al Ma’un: 4-6). 

Allah Ta’ala juga menyifati orang-orang kafir dengan sifat riya’ dalam firman­-Nya, “Janjanganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung mereka dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.“ (Al Anfal: 47).

Riya’ murni seperti itu nyaris tidak terjadi pada orang mukmin dalam ke­wajiban shalat dan puasa, namun ada kemungkinan terjadi padanya dalam zakat, haji, dan perbuatan-perbuatan lahiriyah lainnya, atau perbuatan-perbuatan yang besar manfaatnya. Membebaskan diri dan riya’ seperti itu amat sulit. Orang Mus­lim tidak ragu bahwa riya’ itu menghapus amal perbuatan dan pelakunya berhak atas kemurkaan dan hukuman dan Allah. Atau terkadang amal perbuatan itu karena Allah, namun disertai riya’. Jika amal perbuatan tersebutdisertai riya’ sejak awal, maka nash-nash shahih menun­jukkan bahwa amal perbuatan tersebut batal dan hangus.

Di Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah ra dari Nabi sawyangbersabda “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan dimana ia menyekutukan orang lain bersama-Ku di dalamnya, Aku meninggalkannya bersama seku­tunya.”

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah dan redaksinya ialah, “Aku berlepas diri darinya dan ia menjadi milik orang yang ia bersekutu (dengannya)”

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dan Syaddad bin Alis ra dari Nabi sawyang bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat agar dilihat sungguh ia telah syirik. Barangsiapa berpuasa agar dilihat sungguh telah syirik. Barangsiapa bersedekah agar dilihat sungguh ia telah syirik. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla ber­firman, ‘Aku musuh terbaik bagi orang yang menyekutukan-Ku dengan se­suatu. Sesungguhnya apa yang dikumpulkannya, yaitu amal perbuatan; sedikit dan banyak, menjadi sekutunya dan Aku tidak membutuhkannya’

Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id bin Abu Fadhalah ra - ia sahabat - yang berkata bahwa Rasulullah sawbersabda, ‘Jika Allah telah mengumpulkan orang-orang generasi pertama dan generasi terakhir pada hari yang tidak ada keraguan di dalamnya, penyeru berseru, ‘Barang siapa menyekutukan di amal perbuatan yang dikerjakannya karena Allah Azza wa Jalla, hendaklah ia meminta pahalanya dari selain sisi Allah Azza wa Jalla, karena Allah paling tidak membutuhkan sekutu.” 

Al Bazzarmeriwayatkan hadits di Musnadnya dari Adh-Dhahhak bin Qais ra dia Nabi saw yang bersabda, “Sesungguhnya Allah Azzawa Jalla berfirman, ‘Aku sekutu yang paling baik.Barangsiapa menyekutukan-Ku dengan salahseorangsekutu, ia menjadi milik sekutunya. ‘Hai manusia, ikhlaskan seluruh amal perbuatan kalian karena Allah Azza wa Jalla, karena Allah Tidak menerima amal perbuatan kecuali yang di/khlaskan karena -Nya. Janganlah kalianmengatakan, iniuntuk Allah dan sanak kerabat,’ kemudian sesuatu tersebut untuk sanak kerabat dan sedikit pun daripadanya tidak untuk Allah. Janganlah kalian mengatakan, ini milik Allah dan pemimpin kalian, ‘kemudian sesuatu tersebut menjadi milik pemimpin kalian dan tidak ada sedikitpun daripadanya yang menjadi milik Allah.”

An-Nasai meriwayatkan hadits dengan sanad yang baik dan Abu Umamah Al Bahili rabahwa seseorang datang kepada Rasulullah sawkemudian berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang karena mencari pahala dan nama?” Rasulullah saw bersabda, “Ia tidak mendapatkan apa-apa. “Orang tersebut mengulang per­tanyaannya hingga tiga kali namun Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Ia tidak mendapatkan apa-apa. “Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang ikhlas karena-Nya dan dimaksudkan untuk mencari keridhaan-Nya­. 

A1-Hakimmeriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra yang berkata, “Seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku berdiri di suatu tempat untuk menginginkan keridhaan Allah dan aku ingin tempatku dilihat (orang). Rasulullah saw tidak menyahut sedikitpun ucapan orang tersebut hingga turunlah ayat ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya ‘(Al­ Kahfi: 110).”

Niat

Adapun niat menurut definisi yang disebutkan para fuqaha’ ialah untuk membedakan ibadah-ibadah dengan adat-adat kebiasaan dan membedakan antara sebagian ibadah dengan sebagian ibadah lainnya. Menahan diri dari makan-minum terkadang terjadi untuk pencegahan terkadang karena memang tidak sanggup makan, dan terkadang karena meninggalkan syahwat karena Allah Azza wa Jalla. Dalam puasa, dibutuhkan niat untuk membedakan dengan menahan diri dari makan mi­num karena sebab-sebab tersebut. Begitu juga ibadah-ibadah seperti shalat dan puasa, di antara ibadah-ibadah tersebut ada yang fardhu dan ada yang sunnah. Ibadah-ibadah fardhu juga terbagi ke dalam beberapa jenis. shalat-shalat fardhu ialah lima shalat dalam sehari semalam. Puasa wajib bisa jadi berbentuk puasa Ramadhan, atau puasa kafarat, atau puasa nadzar. Itu semua tidak bisa dibedakan kecuali dengan niat. Begitu juga sedekah, ada sedekah sunnah dan ada sedekah wajib. Sedekah wajib ialah zakat dan sedekah kafarat. Sedekah tersebut juga tidak bisa dibedakan kecuali dengan niat. Itu semua masuk dalam cakupan sabda Rasulullah saw, ‘Dan untuk setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan.”

Di masalah niat ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama seperti telah diketahui bersama. Di antara ulama ada yang tidak mewajibkan penentuan niat di shalat fardhu (misalnya harus shalat Dhuhur), namun menurutnya, cukup dengan meniatkan fardhu waktu, kendati orang yang bersangkutan tidak ingat nama shalat fardhu tersebut pada saat pelaksanaannya. Pendapat tersebut diriwayatkan dan Imam Ahmad. Berdasarkan pendapat tersebut, jika seseorang tidak mengerjakan salah satu shalat dalam sehari-semalam dan lupa shalat apa yang belum ia kerjakan tersebut, ia wajib menggantinya dengan tiga shalat; shalat Shubuh, shalat Maghrib, dan salah satu shalat empat raka’at.

Penulis buku Al Mubdi’berkata, “Jika seseorang lupa belum mengerjakan salah satu shalat dari lima shalat fardhu dan ia lupa shalat apa yang belum ia kerjakan tersebut, ia harus mengerjakan shalat lima waktu dengan niat shalat fardhu.”

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa puasa Ramadhan tidak membu­tuhkan niat khusus, namun cukup dengan niat puasa secara mutlak, karena waktu Ramadhan tidak bisa untuk puasa selain puasa Ramadhan. Pendapat tersebut juga diriwayatkan dari Imam Ahmad. Bahkan, diriwayatkan dari sebagian ulama bahwa puasa Ramadhan secara umum tidak membutuhkan niat, karena puasa Ramadhan telah menjadi khusus dengan dirinya sendiri. Puasa Ramadhan itu seperti me­ngembalikan titipan. Diriwayatkan dan Al Auzai bahwa zakat juga seperti itu. Sebagian ulama menafsirkan ucapan Al Auzai tersebut bahwa Al-Auzai ingin mengatakan bahwa zakat sah dengan niat sedekah secara mutlak seperti haji. Abu Hanifah juga berkata, “Jika seseorang bersedekah dengan senishab dari hartanya tanpa niat, maka sedekahnya tersebut sah sebagai ganti zakat nya.”

Diriwayatkan dari Nabi sawbahwa beliau men­dengar seseorang bertalbiyah untuk haji mewakili orang lain. Beliau bersabda kepada orang tersebut, “Apakah engkau berhaji untuk dirimu sendiri?” Orang tersebutmenjawab, “Tidak.” Rasulullah sawbersabda, “Hajimu ini untuk dirimu sendiri, kemudian berhajilah untuk orang tersebut.” Keshahihan hadits tersebut dipermasalahkan, namun sesungguhnya hadits tersebut hadits shahih dari Ibnu Abbas radan lain-lain. Berdasarkan hadits tersebut, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dalam pendapat yang terkenal darinya, dan lain-lain berpendapat bahwa haji Islam (wajib) jatuh dengan niat haji secara mutlak; baik ia meniatkan haji sunnah atau lainnya. Tidak disyaratkan penentuan niat dalam haji. Barangsiapa berhaji untuk orang lain, namun ia belum berhaji untuk dirinya sendiri, berarti hajinya untuk dirinya sendiri. Begitu juga kalau orang tersebut berhaji dengan niat membayar nadzarnya atau dengan niat haji sunnah, namun ia belum berhaji dengan haji Islam (wajib), maka hajinya berubah menjadi haji Islam (wajib). Diriwayatkan dan Nabi sawbahwa pada haji wada’ beliau memerintahkan sahabat setelah mereka masuk Makkah bersama beliau, thawaf, dan sai untuk membatalkan haji mereka dan menjadikannya sebagai umrah. Di antara mereka ada yang melakukan haji qiran dan ifrad. Thawaf para sahabat pada saat kedatangan mereka ke Makkah adalah thawaf qudum (kedatangan)dan itu bukan thawaf wajib. Oleh karena itu, Rasulullah sawmemerintahkan para sahabat menjadikan thawaf mereka sebagai thawaf umrah yang merupakan thawaf wajib. Itulah pendapat Imam Ahmad tentang pembatalan haji dan ia mengamalkannya. Pendapat Imam Ahmad tersebut tidak jelas, karena ia juga mewajibkan penentuan thawaf wajib untuk haji dan umrah dengan niat. Pendapat Imam Ahmad tersebut ditentang sebagian besar fuqaha’ seperti Imam Mauk, Imam Syafi’i, dan Abu Hamfah.

Imam Ahmad membedakan antara thawaf di ihram yang telah berubah misalnya ihram yang telah dibatalkan dan diubah menjadi umrah, maka thawaf tersebut otomatis berubah karena perubahan ihramnya, sebagaimana perubahan thawaf pada ihram yang diniatkan sunnah jika orang yang bersangkutan mempunyai kewajiban melaksanakan haji Islam (wajib) karena mengikuti perubahan ihramnya sejak awal dan ihram tersebut menjadi ihram wajib (haji Islam). Ini berbeda dengan kasus jika seseorang melakukan thawaf kunjungan dengan niat perpisahan atau thawaf sunnah, maka thawaf tersebut tidak cukup baginya karena ia tidak meniat­kannya untuk thawaf fardhu dan thawaf tersebut tidak berubah menjadi thawaf fardhu mengikuti perubahan ihramnya, wallahu a ‘lam.

Termasuk dalam tema ini seseorang semasa hidup Nabi sawmenitipkan sedekah pada orang lain, kemudian anak pemberi sedekah tersebut datang dan mengambil sedekah tersebut dari orang yang diberi amanat untuk membagikan sedekah itu. Ayah anak tersebut yang merupakan pemberi sede­kah mengetahui perbuatan anaknya kemudian ia mengadukan anaknya kepada Nabi sawAyah anak tersebut berkata, “Bukan engkau yang aku inginkan.”Nabi sawbersabda kepada pemberi sedekah, “Engkau mendapatkan pahala atas apa yang engkau niatkan.”Kepada pengambil sedekah, Nabi sawbersabda,“Engkau berhak atas apa yang engkau ambil.”Hadits tersebut diriwayatkan Al Bukhari.

Imam Ahmad mengambil hadits di atas dan mengamalkannya dalam penda­pat darinya, kendati sebagian besar sahabat-sahabatnya tidak sependapat dengannya. Orang tua dilarang memberikan sedekah kepada anaknya, karena dikhawatirkan terjadi sebab memihak anaknya. Jika sedekahnya sampai pada anaknya tanpa disadarinya, kepemihakan tersebut menjadi tidak ada, karena anaknya menjadi orang yang berhak atas sedekah. Oleh karena itu, jika orang tersebut menyerahkan sedekahnya kepada orang yang ia duga miskin, padahal orang tersebut kaya, maka sedekahnya sah menurut pendapat yang benar, karena ia menyerahkan sedekah kepada orang yang ia yakini berhak atas sedekahnya dan karena kemiskinan itu sesuatu yang tidak tampak dan nyaris keadaan seseorang yang sebenarnya tidaklah diketahui.

Adapun bersuci, maka perbedaan pendapat tentang pemberian syarat niat untuk bersuci sudah diketahui bersama. Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada apakah bersuci untuk shalat itu merupakan ibadah yang berdiri sendiri ataukah salah satu syarat shalat seperti menghilangkan najis dan menutup Aurat? Ulama yang tidak mensyaratkan niat dalam bersuci menjadikan bersuci seperti syarat­-syarat shalat. Sedang ulama yang mensyaratkan niat dalam bersuci menjadikan bersuci sebagai ibadah yang berdiri sendiri (independent), oleh karena itu, karena bersuci adalah ibadah tersendiri, ia tidak sah tanpa niat. Pendapat kedua adalah pendapat jumhur ulama dan kebenaran pendapat mereka diperkuat banyak sekali nash-nash shahih dari Nabi sawbahwa wudhu itu meng­hapus dosa dan kesalahan dan bahwa orang yang berwudhu seperti yang diperin­tahkan itu bisa menghapus dosa-dosanya.

Ini menunjukkan bahwa wudhu yang diperintahkan di Al Qur’an adalah ibadah yang berdiri sendiri yang bisa menghapus dosa-dosa. Sedang wudhu tanpa niat itu sama sekali tidak menghapus salah satu dosa menurut kesepakatan ulama. Oleh karena itu, wudhu seperti itu tidak diperintahkan dan tidak sah untuk shalat. Oleh karena itu pula, tidak ada hadits tentang pahala pada salah satu dari syarat­-syarat shalat seperti pada syarat menghilangkan najis dan menutup aurat. Jika niat wudhu disertai dengan maksud mendinginkan badan, atau menghilangkan najis, atau kotoran, maka sah menurut pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan itu pula pendapat sebagian besar sahabat-sahabat Imam Ahmad, karena mak­sud seperti itu tidak haram dan tidak pula makruh. Oleh karena itu, jika seseorang menghilangkan hadats sambil bermaksud mengajarkan wudhu, maka itu tidak ada masalah, karena toh Nabi sawsendiri mengerjakan shalat sambil bermaksud mengajarkannya kepada manusia. Begitu juga haji, seperti yang disabdakan Rasulullah saw, “Ambillah manasik haji kalian dariku.”

Di antara bab-bab ilmu yang masuk dalam pembahasan niat ialah masalah sumpah. Sumpah laghwun tidak ada kafarat didalamnya, yaitu sumpah yang biasa terjadi di lidah tanpa diinginkan hati, seperti ucapan seseorang, “Tidak, demi Allah,” atau, “Betul, demi Allah,” di tengah-tengah pembicaraan. Allah Ta’ala berfirman,“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak di­maksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah) yang disengaja oleh hati kalian.” (Al Baqarah: 225). 

Dalam masalah sumpah, niat dikembalikan kepada pelakunya dan apa yang ia maksudkan dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah untuk mencerai istrinya atau memerdekakan budaknya, kemudian ia mengklaim harus dengan maksud lain yang bertentangan dengan tekstual sumpahnya, maka sumpahnya diserahkan sepe­nuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Apakah klaim orang tersebut seperti itu diterima dalam substansi hukum? Ada dua pendapat dalam hal ini di kalangan ulama seperti telah diketahui bersama dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab rabahwaseseorang dilaporkan kepadanya. Istri orang tersebut berkata kepada suaminya, “Buatkan perumpamaan tentang diriku.” Suaminya berkata, “Engkau seperti kijang. Engkau seperti burung merpati.” Istri orang tersebut berkata, “Aku tidak puas hingga berkata, ‘Engkau bebas dan dicerai’.” Suaminya pun mengatakan perkataan yang disuruh istrinya. Umar bin Khaththab berkata, “Ambil istrimu, karena ia tetap menjadi istrimu.” 

Hadits tersebut diriwayatkan Abu Ubaid. Ia berkata, “Orang tersebut ingin mengatakan unta yang diikat dan dilepaskan dari ikatannya. Jadi, unta tersebut bebas (keluar) dari ikatannya. Itulah yang dimaksudkan orang tersebut. Untuk itu, Umar bin Khaththab membebaskan orang tersebut dari penceraiannya karena niatnya.” 

Abu Ubaid menambahkan, “Hadits di atas menjadi pijakan siapa saja yang mengatakan sesuatu yang mirip dengan teks perceraian dan pemerdekaan budak, namun ia meniatkan yang lain, oleh karena itu, ucapan yang dipegang adalah apa yang ia niatkan antara dia dengan Allah. Itulah hukumnya sesuai dengan penjelasan pendapat Umar bin Khaththab ra.” 

Diriwayatkan dari Sumait As-Sadusi yang berkata, “Aku melamar wanita lalu keluarganya berkata, ‘Aku tidak menikahkanmu dengan wanita tersebut hing­ga engkau mencerai istrimu.’ Aku mencerainya dengan perceraian tiga kemudian mereka menikahkanku dengan wanita tersebut. Setelah itu, mereka melihat istriku ada di sampingku. Mereka berkata, ‘Bukankah engkau telah menceraikan istrimu dengan perceraian tiga?’ Aku jawab, ‘Aku pernah mempunyai istri si Fulanah kemudian aku mencerainya. Aku juga pernah mempunyai istri si Fulanah, kemudian aku mencerainya. Sedang istriku ini, aku tidak mencerainya.’ Setelah itu, aku datang kepada Syaqiq bin Tsaur yang ketika itu hendak pergi sebagai utusan menemui Utsman bin Affan. Aku berkata, ‘Tanyakan kepada Amirul Mukminin tentang masalah ini.’ Syaqiq pun pergi dan menanyakan masalah tersebut kepada Utsman bin Affan yang kemudian berkata, ‘(Itu tergantung) niatnya.” Hadits ini diriwayat­kan Abu Ubaid di buku Ath-Thalaq danmenyebutkan bahwa para ulama sepakat dengan pendapat tersebut.

Ishaq bin Manshur berkata, aku berkata kepada Ahmad, “Apakah engkau mengetahui hadits As-Sumaith?” Ahmad menjawab, “Ya, As-Sumaith adalah As-­Sadusi. Ia menjadikan niatnya seperti itu. Hal ini dilaporkan Syaqiq kepada Utsman bin Affan yang kemudian menjadikan wanita tersebut sesuai dengan niat orang tersebut.” Jika orang yang bersumpah itu dzalim dan meniatkan tujuan lain yang bertentangan dengan sumpahnya, maka sumpahnya tidak berguna baginya. Di Shahih Muslim disebutkan hadits dan Abu Hurairah radari Nabi sawyang bersabda, “Sumpahmu itu sesuai dengan apa yang dibenarkan oleh sahabatmu.

Di riwayat lain Muslim disebutkan, “Sumpah itu sesuai dengan niat orang yang meminta bersumpah.” Iniditafsirkan jika sumpah dilakukan orang yang dzalim. Sedang sumpah orang yang didzalimi, maka niatnya berguna baginya. Imam Ahmad dan lbnu Majah meriwayatkim hadits dan Suwaid bin Handzalah yang berkata, “Kami keluar dengan tujuan Rasulullah saw bersama Wail bin Hujr yang kemudian ditangkap musuhnya. Orang-orang tidak mau bersumpah, kemudian aku bersumpah bahwa Wail bin Hujr adalah saudaraku. Karenanya, ia dibebaskan. Ketika kami tiba di tempat Rasulullah saw, kami melaporkan kepada beliau bahwa orang-orang tidak mau bersumpah, kemudian aku bersumpah bahwa Wail bin Hujr adalah saudaraku. Rasulullah saw bersabda, ‘Engkau berkata benar, Orang Muslim itu saudara Muslim lain­nya 

Pembahasan niat juga masuk dalam masalah cerai dan memerdekakan budak. Jika cerai dan pemerdekaan budak menggunakan kata-kata kiasan yang mengan­dung penafsiran cerai dan pemerdekaan budak, maka harus disertai dengan niat. Namun, apakah kondisi yang terjadi pada pelakunya, misalnya marah, per­mintaan cerai, dan lain sebagainya itu bisa menggantikan kedudukan niat? Dalam masalah ini terdapat perbedan pendapat di kalangan ulama seperti diketahui bersama. Apakah perceraian terjadi dengan batin seseorang seperti halnya kalau ia meniatkannya? Ataukah perceraian menjadi wajib karena substansi hukum saja? Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Jika perceraian terjadi dengan kiasan yang transparan seperti cerai pasti dan lain sebagainya, apakah perceraian seperti itu termasuk perceraian ketiga atau pertama? Ada dua pendapat dalam masalah ini seperti telah diketahui bersama. Menurut pendapat Imam Ahmad, perceraian seperti itu tergolong perceraian ketiga dengan penyebutan niat. Jika pelakunya meniatkan bukan perceraian ketiga, perceraian tersebut terjadi sesuai dengan niatnya. Juga diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa perceraian seperti itu juga tergolong perceraian ketiga.

Jika suami melihat wanita yang ia kira istrinya kemudian ia mencerainya, tapi setelah itu terbukti ternyata wanita tersebut wanita asing bukan istrinya, ia wajib mencerai istrinya, karena yang ia maksud ialah mencerai istrinya. Itulah pendapat Imam Ahmad. Juga diriwayatkan pendapat lain dari Imam Ahmad bahwa istrinya tidak harus ia ceraikan. Itu pula pendapat Imam Syafi’i. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ia melihat wanita yang ia kira wanita asing bukan istrinya kemudian ia mencerainya, tapi setelah itu terbukti teryata wanita tersebut adalah istrinya, apakah istrinya harus ia cerai? Dalam masalah ini ada dua pendapat dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad. Menurut pendapat Imam Syafi’i dan lain-lain, istrinya tidak harus ia cerai.

Jika seseorang mempunyai dua istri dan melarang salah seorang dari ke­duanya keluar rumah. Setelah itu, orang tersebut melihat wanita keluar rumah dan mengira wanita tersebut istrinya yang ia larang keluar rumah, kemudian ia berkata kepada wanita tersebut, “Engkau istriku keluar? Engkau aku cerai.” Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Al Hasan berkata, “Suami tersebut harus mencerai istri yang ia larang keluar, karena wanita itulah yang ia niatkan.” Ibrahim berkata, “Kedua istrinya harus dicerai.” Atha’ berkata, ‘Tidak ada dari kedua istrinya yang harus dicerai.” Menurut madzhab Imam Ahmad di salah satu riwayat, istri yang dilarang keluar harus ia cerai, karena istri itulah yang ia niatkan dicerai.”

Ada yang berhujjah dengan hadits, “Seluruh amal perbuatan itu dengan niat dan setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan, “bahwa akad-akad yang dimaksudkan di hati kepada sesuatu yang haram itu tidak sah, seperti akad-akad jual beli yang dimaksudkan kepada pengertian riba dan lain sebagainya. Ini penda­pat Imam Malik, Imam Ahmad, dan lain-lain, karena akad seperti sesungguhnya diniatkan kepada riba dan bukan kepada jual beli, padahal Rasulullah sawbersabda,“Setiap orang tergantung kepada apa yang ia niatkan.”

Masalah-masalah niat yang terkait dengan fiqh sangat banyak dan apa yang telah disebutkan saya rasa sudah cukup. Sebelumnya telah disebutkan perkataan Imam Syafi’i tentang hadits di atas, “Hadits tersebut masuk dalam tujuh puluh bab fiqh,” wallahu a‘lam.

Hakikat Niat

Niat ialah keinginan hati, dan keinginan hati kepada salah satu ibadah itu tidak wajib diucapkan. Sahabat-sahabat Imam Syafi’i meriwayatkan pendapat dari Imam Syafi’i yang merisyaratkan pengucapan niat dalam shalat. Pendapat tersebut dipandang keliru oleh para ulama di kalangan mereka sendiri. Para ulama khalaf berbeda pendapat tentang pengucapan niat dalam shalat dan lain-lain. Di antara mereka ada yang menyunnahkannya dan ada yang memakruhkannya.

Tidak ada riwayat khusus dalam masalah-masalah seperti itu (pengucapan niat) dan para ulama generasi salaf atau para imam, kecuali dalam masalah haji saja. Mujahid berkata, “Jika seseorang harus haji, ia harus menyebutkannya dalam talbiyah.” Juga diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia berkata, “Ia menyebutkannya dalam talbiyah.” Ini tidak masuk dalam pembahasan kita, karena Nabi sawmenyebutkan ibadahnya dalam talbiyah. Beliau bersabda, “Labbaika umratan wa hajjan.” Namun pembahasan kita ialah pada ucapan seseorang jika ingin berhaji, “Ya Allah, aku harus haji atau umrah” Ucapan seperti itu disunnahkan banyak sekali para fuqaha’ dan ucapan Mujahid tidak tegas pada masalah ini. Sebagian besar generasi salaf, di antaranya Atha’, Thawus, Al Qasim bin Muhammad, dan An-Nakhai berkata, “Niatnya sah pada saat ia bertalbiyah.” Diriwayatkan dari Ibnu Umar rabahwa ia mendengar orang berkata dalam ihramnya, “Ya Allah, aku harus haji atau umrah.” Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut, “Apakah engkau memberitahu manusia? Bukankah Allah lebih tahu terhadap apa saja yang ada jiwamu?”

Imam Malik juga berpendapat seperti itu dalam arti tidak menyunnahkan penyebutan maksud ihramnya (haji atau umrah). Itu disebutkan salah seorang sahabat Imam Malik yang tidak lain adalah penulis bukuTahdzibul Mudawwanah. Abu Daud berkata, aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah engkau mengatakan sesuatu sebelum bertakbir dalam shalat?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak.” ini masuk dalam pembahasan bahwa Imam Ahmad tidak mengucapkan niat, wallahu a‘lam.

-----ooOoo--—­

No comments:

Post a Comment