Saturday, October 25, 2025

Hadits Arbain 21: Istiqamah

 

الْحَدِيثُ الْحَادِي وَالْعِشْرُونَ.
«عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ، قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ

 

Dari Sufyan bin Abdullah Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah, katakan kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Katakan, ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqamahlah”. (Diriwayatkan Muslim). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan Muslim dari riwayat Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Sufyan. Sufyan sendiri ialah anak Abdullah Ats-Tsaqafi Ath-Thaifi, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia pejabat Umar bin Khaththab di Thaif.

Hadits tersebut diriwayatkan dari Sufyan bin Abdullah dari banyak jalur dengan banyak penambahan. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari riwayat Az-Zuhri dari Muhammad bin Abdurrahman bin Maiz. Menurut versi At-Tirmidzi, hadits tersebut berasal dari Abdurrahman bin Maiz dari Sufyan bin Abdullah yang berkata,

يا رسول الله حدَّثنى بأمر أعتصِمُ به. قال : قل ربيَ الله, ثم استقم. قلتُ : يا رسول الله, ما أخْوَفُ ما تخاف عليَّ ؟ فأخذ بلسان نفسه ثم قال : هذا.

"Wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang sesuatu yang aku pegang erat-erat”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Katakan, ‘Tuhanku Allah’, kemudian beristiqamahlah”. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah sesuatu yang paling engkau khawatirkan padaku?" Nabi Shallallahu memegang lidah beliau kemudian bersabda, "Ini". (Diriwayatkan At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits tersebut hasan shahih).

Hadits bab di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad dan An-Nasai dari riwayat Abdullah bin Sufyan Ats-Tsaqafi dari ayahnya bahwa seseorang berkata,

يا رسول الله مر نى بأمر فى الاسلام لا أسأل عنه أحدا بعدك. قال : قل أمنتُ بالله ثم استقم. قلتُ : فما أتَّقي ؟ فأومَأ إلى لسانه.

"Wahai Rasulullah, perintahkan aku satu perintah dalam Islam yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau sesudahmu”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Salla bersabda, "Katakan, ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian beristiqamahlah”. Orang tersebut berkata, "Aku berkata, Apa yang harus aku jauhi?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi isyarat kepada lidahnya”. [2])

Sufyan bin Abdullah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, katakan padaku dalam Islam satu perkataan yang tidak lagi aku tanyakan kepada orang selain engkau”. Dengan berkata seperti itu, Sufyan bin Abdullah meminta Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarinya perkataan universal dan komplit tentang Islam hingga ia tidak perlu lagi menanyakannya kepada orang lain sepeninggal beliau kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Katakan, ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqamahlah”. Di riwayat lain, "Katakan, ‘Tuhanku Allah’, kemudian beristiqamahlah”. Sabda tersebut dipetik dari firman Allah Azza wa jalla, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka istiqamah, maka malaikat turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Kalian jangan takut dan janganlah sedih dan bergembiralah kalian dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian". (Fushshilat: 30).

Dan diambil dari firman Allah Azza wa jalla,

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka beristiqamah maka tidak ada kekhawatiran pada mereka dan mereka tidak berduka cita”. (Al-Ahqaaf: 13).

An-Nasai meriwayatkan di Tafsirnya hadits riwayat dari Suhail bin Abu Hazm yang berkata, Tsabit berkata kepadaku dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka beristiqamah”. (Al-Ahqaaf: 13).

Kemudian beliau bersabda, "Perkataan tersebut diucapkan manusia kemudian mereka kafir. jadi, barangsiapa meninggalkan dunia dalam keadaan perkataan tersebut, ia termasuk orang-orang yang istiqamah”.

Hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi dengan redaksi,

“Perkataan tersebut diucapkan manusia kemudian kebanyakan dari mereka kafr. Maka barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan perkataan tersebut, ia termasuk orang yang beristiqamah”.

At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan gharib (dhaif)”. [3]) Suhail dipermasalahkan tentang hapalannya.

Tentang penafsiran firman Allah Ta’ala, "Kemudian mereka beristiqamah", Abu Bakar Radhiyallahu Anhu berkata, "Mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun”. [4])

Juga diriwayatkan dari Abu Bakar yang berkata tentang penafsiran ayat tersebut, "Mereka tidak menoleh kepada Tuhan selain Allah”. [5])

Juga diriwayatkan dari Abu Bakar yang berkata tentang penafsiran ayat di atas, "Mereka beristiqamah bahwa Allah adalah Tuhan mereka”.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan sanad dhaif yang berkata tentang ayat di atas, "Ayat ini ayat yang paling ringan di Al-Qur’an. Firman Allah Ta’ala,

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka beristiqamah", maksudnya, mereka beristiqamah di atas kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. [6]) Perkataan yang sama diriwayatkan dari Anas bin Malik, Mujahid, Al-Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam, As-Sudi, Ikrimah, dan lain-lain.

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu bahwa ia membaca ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka beristiqamah", di atas mimbar kemudian ia berkata, "Mereka tidak menipu seperti serigala”. [7])

Tentang ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka beristiqamah", Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata, "Mereka istiqamah melaksanakan kewajiban-kewajiban Allah”. [8])

Tentang ayat tersebut, Abu Al-Aliyah berkata, "Mereka mengikhlaskan agama dan perbuatan karena Allah”. [9])

Tentang ayat di atas, Qatadah berkata, "Mereka istiqamah dalam taat kepada Allah”.

Jika Al-Hasan membaca ayat tersebut, ia berkata, "Ya Allah, Engkau Tuhan kami, karuniakan istiqamah kepadaku”. [10])

Barangkali orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan istiqamah di atas tauhid ialah di atas tauhid sempurna yang membuat pelakunya diharamkan dari neraka. Tauhid tersebut ialah realisasi makna laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), karena ilaah (tuhan yang berhak disembah) ialah Dzat yang ditaati tanpa dimaksiati karena takut, mengagungkan, segan, cinta, berharap, tawakkal, dan berdoa kepada-Nya. Seluruh maksiat adalah buruk dalam tauhid ini, karena maksiat ialah merespon ajakan hawa nafsu yang tidak lain adalah ajakan syetan. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Maka pernahkah kamu lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?" (Al-Jatsiyah: 23).

Al-Hasan dan lain-lain berkata, "Orang tersebut ialah orang tidak menginginkan sesuatu melainkan mengerjakannya". [11])

Jadi, mengikuti hawa nafsu itu bertentangan dengan istiqamah di atas tauhid.

Sedang hadits bab di atas menurut riwayat, "Katakan, Aku beriman kepada Allah", maka maknanya lebih jelas, karena amal shalih masuk ke dalam cakupan iman menurut generasi salaf dan para pengikut mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Maka tetaplah kamu (istiqamah) di jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa,yang kalian kerjakan”. (Huud: 112).

Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para pengikut beliau untuk beristiqamah dan tidak melampaui apa yang diperintahkan kepada mereka. Allah juga menjelaskan bahwa Dia Maha Mengetahui perbuatan mereka dan memantaunya. Allah Ta’ala berfirman,

"Maka karena itu, serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah (istiqamah) sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka”. (Asy-Syura: 15).

Qatadah berkata, "Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam diperintahkan istiqamah di atas perintah Allah". [12])

Ats-Tsauri berkata, "Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam diperintahkan istiqamah di atas Al-Qur’an”. [13])

Al-Hasan berkata, "Ketika ayat di atas turun, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam beramal dengan sungguh-sungguh hingga beliau tidak tertawa”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim). [14]

Al-Qusyairi dan lain-lain menyebutkan dari seseorang bahwa ia bermimpi melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian ia berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, engkau pernah bersabda, “Aku dibuat beruban oleh surat Hud dan lain-lain”. Apa yang membuatmu beruban karena ayat-ayat tersebut?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Yaitu firman Allah, Maka tetaplah kamu (istiqamah) di jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu". [15])

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Katakan, “Bahwa aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, diwahyukan kepadaku bahwa tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah di jalan yang lurus (istiqamah) menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya”. (Fushshilat: 6).

Allah Ta’ala memerintahkan penegakan agama secara umum, seperti yang Dia firmankan,

"Dia mensyari’atkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkan agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya”. (Asy-Syura: 13).

Allah Ta’ala juga memerintahkan penegakan shalat di banyak sekali ayat di Al-Qur’an sebagaimana Dia memerintahkan istiqamah di atas tauhid di kedua ayat di atas.

Istiqamah ialah meniti jalan lurus yang tidak lain adalah agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang darinya; ke kanan atau kiri. Istiqamah mencakup pengerjaan seluruh ketaatan; yang terlihat dan tersembunyi, dan meninggalkan seluruh yang dilarang. Jadi sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi wasiat yang menghimpun seluruh ajaran agama.

Di dalam firman Allah Ta’ala, "Maka tetaplah di jalan yang lurus (istiqamah) menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya", terdapat isyarat bahwa pasti ada kelalaian (kekurangan) dalam istiqamah yang diperintahkan kemudian dilakukan istighfar yang menghasilkan taubat dan kembali kepada istiqamah, seperti sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan lanjutkan kesalahan dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut". Sebelum itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa manusia tidak sanggup beristiqamah dengan istiqamah yang sebenarnya, seperti diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah hadits dari Tsauban Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Istiqamahlah kalian dan janganlah kalian menghitung-hitung. Ketahuilah bahwa perbuatan-perbuatan kalian yang terbaik ialah shalat dan tidak menjaga wudhu melainkan orang Mukmin”. Di riwayat Imam Ahmad, "Sadadlah (istiqamah dalam amal dan benar dalam perkataan) kalian, mendekatlah kepada sikap sadad (lurus), dan tidak menjaga wudhu melainkan orang Mukmin”.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sadadlah (istiqamah dalam amal dan benar dalam perkataan) kalian dan mendekatlah kepada sikap sadad (lurus)”. [16])

Sadad ialah hakikat istiqamah. Sadad ialah benar (tepat) dalam semua perkataan, perbuatan, dan keinginan, seperti orang yang melempar ke sasaran tertentu kemudian tepat mengenainya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan Ali bin Abu Thalib meminta sadad dan petunjuk kepada Allah Azza wa jalla. Beliau bersabda kepadanya,

"Ingatlah sadad seperti ketepatanmu di panah dan ingatlah petunjuk seperti petunjukmu di jalan”. [17])

Muqarabah ialah seseorang dekat dengan sasaran jika ia tidak tepat pada sasaran tersebut, namun dengan syarat ia berkeinginan kuat kepada sadad dan tepat sasaran agar muqarabah-nya terjadi secara tidak sengaja (disadari). Ini ditunjukkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits Al-Hakam bin Hazn Al-Kulafi,

"Hai manusia, kalian tidak akan dapat mengerjakan atau tidak sanggup melaksanakan seluruh apa yang aku perintahkan kepada kalian, namun sadadlah dan berilah kabar gembira”. [18])

Maksudnya, carilah sadad, ketepatan, dan istiqamah. Jika mereka telah istiqamah dalam seluruh amal, mereka pasti mengerjakan seluruh yang diperintahkan kepada mereka.

Asal-muasal istiqamah adalah istiqamah hati di atas tauhid seperti penafsiran Abu Bakar Ash-Shiddiq dan lain-lain tentang firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka beristiqamah”. (Al-Ahqof: 13), "bahwa mereka tidak menoleh kepada tuhan selain Allah. Jadi, jika hati telah istiqamah di atas ma’rifatullah (kenal Allah), takut kepada-Nya, mengagungkannya, segan kepada-Nya, mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, dan berpaling dari selain Dia, sungguh seluruh organ tubuh istiqamah dengan taat kepada-Nya, karena hati adalah raja bagi organ tubuh yang merupakan pasukan hati. Jika raja telah istiqamah, istiqamah pula pasukan dan rakyatnya. Firman Allah Ta’ala, "Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)”. (Ar-Ruum: 30), ditafsirkan dengan mengikhlaskan maksud dan keinginan karena Allah semata tanpa menyekutukannya dengan sesuatu apa pun.

Setelah hati, sisi yang terpenting yang harus diistiqamahi ialah lidah, karena lidah adalah penerjemah hati dan juru bicaranya. Oleh karena itu, setelah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan penjagaan lidah. Di Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Iman seorang hamba tidak istiqamah (lurus) hingga hatinya istiqamah dan hatinya tidak istiqamah hingga lidahnya istiqamah”.

Di At-Tirmidzi disebutkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu secara marfu’ dan mauquf,

Jika anak keturunan Adam berada di pagi hari, seluruh organ tubuh tunduk kepada lidah dengan berkata, Bertakwalah kepada Allah pada kami, karena kami bersamamu. Jika engkau istiqamah, kami juga istiqamah. Jika engkau menyimpang, kami juga menyimpang“. [19])

 

 



[1] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 38, Imam Ahmad 3/413, At-Tirmidzi hadits nomer 2410. Ibnu Majah hadits nomer 3972, An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf 4/20. Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 6396, 6397, Ath-Thayalisi hadits nomer 1231, dan Ad-Darimi 2/298. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 942.

[2] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/413, 4/384, 385, An-Nasai di At-Tafsir seperti terlihat di buku At-Tuhfah 4/20, dan Ath-Thabrani hadits nomer 6398. Sanad hadits tersebut shahih.

[3] Diriwayatkan An-Nasai di At-Tafsir seperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf 1/139, At-Tirmidzi hadits nomer 3250, Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 24/114, dan Abu Ya’la hadits nomer 3495. Suhail bin Abu Hazm adalah perawi dhaif. Ibnu Rajab menukil perkataan At-Tirmidzi, "Hadits tersebut hasan gharib", adalah salah dan yang benar hadits tersebut adalah gharib seperti tertulis di Ushulut Tirmidzi yang ada pada kami dan yang tertulis di dalamnya itu benar. Status hadits tersebut gharib juga tertulis di Tuhfatul Asyraaf 1/139 dan Tuhfatul Ahwadzi 4/179. Hadits tersebut disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/321 dan ia menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Adi, dan Ibnu Mardawih.

[4] Diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 326 dan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 24/114. As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/321-322 menambahkan bahwa riwayat tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq, Al-Faryabi, Said bin Manshur, Musaddad, Ibnu Sa’ad, Abdu bin Humaid, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abu Hatim.

[5] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 24/115.

[6] Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim seperti disebutkan Ibnu Katsir 7/165. Di sanadnya terdapat Hafsh bin Umar Al-Adani yang merupakan perawi dhaif.

[7] Diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 325, Imam Ahmad di Az-Zuhdu hal. 115, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 24/115 dari Yunus bin Yazid dari Az-Zuhri dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu. Perawinya adalah para perawi tepercaya, namun di dalamnya terjadi keterputusan sanad antara Az-Zuhri dengan Umar bin Khaththab.

[8] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 24/115. Ali bin Abu Thalhah tidak pernah melihat Ibnu Abbas.

[9] Disebutkan Ibnu Katsir di Tafsirnya 7/165.

[10] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 24/115.

[11] Perkataan tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 25/150 dari Qatadah.

[12] Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dan Abu Asy-Syaikh seperti terlihat di Ad-Durrul Mantsur 4/479.

[13] Diriwayatkan Abu Asy-Syaikh seperti terlihat di Ad-Durrul Mantsur 4/480.

[14] As-Suyuthi menambahkan di Ad-Durrul Mantsur bahwa riwayat tersebut juga diriwayatkan Abu Asy-Syaikh.

[15] Disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 4/398 dan menambahkan bahwa riwayat tersebut juga diriwayatkan Al-Baihaqi di Syuabul Iman hadits nomer 2439 dari perkataan Abu Ali As-Sudi.

[16] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5673. 6463 dan Muslim hadits nomer 2816. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 348.

[17] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/88, 154, Muslim hadits nomer 2725, Abu Daud hadits nomer 4225, dan An-Nasai 8/219.

[18] Hadits hasan diriwayatkan Imam Ahmad 4/212, Abu Daud hadits nomer 1096, Abu Ya’la hadits nomer 6826, dan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 3165.

[19] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2407, Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 1012, dan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shamtu hadits nomer 12. At-Tirmidzi memilih pendapat yang mengatakan hadits tersebut mauquf.

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah