Di antara pilar kekuatan masyarakat Islam adalah tasyri' atau qanun (hukum dan perundangundangan) yang bersumber pada syari'at (lslam) dan memutuskan perkara dengannya.
Syari'at adalah minhaj (pedoman)
yang telah dibuat oleh Allah SWT untuk mengatur kehidupan yang Islami sesuai
dengan Al Qur'an dan As-Sunnah. Sebuah masyarakat tidak bisa dikatakan sebagai
masyarakat yang Islami kecuali apabila menerapkan syari'at dan merujuk
kepadanya dalam seluruh aspek kehidupannya, baik yang bersifat ibadah ataupun
muamalah. Maka tidak masuk akal, bila seorang Muslim mengambil perintah Allah
untuk berpuasa yang berbunyi Kutiba 'alaikumush-shiyaam, sementara dia tidak
mengambil perintah Allah untuk melaksanakan hukum qishash sebagaimana
diperintahkan, Kutiba 'alaikumul qishash. Dan tidak logis pula jika ia menerima
ayat-ayat yang mewajibkan shalat. sementara itu menolak ayar-ayat haramnya
riba. Tema ini akan kita bahas dalam beberapa point sebagai berikut:
PENTlNGNYA TASYRI' RABBANI
BAGI MASYARAKAT
Hukum merupakan salah satu
kekuatan utama bagi masyarakat. Maka masyarakat manapun selalu memerlukan hukum
atau undang-undang yang mengatur hubungan sesama mereka. Hukum memberikan
sanksi kepada orang yang menyimpang dari kaidah-kaidahnya, baik hukum tersebut
berasal dari langit (wahyu) atau buatan manusia. Karena hati nurani dan
motivasi saja tidak cukup untuk makhluk secara umum dalam memelihara
keselamatan berjamaah, menjaga eksistensinya baik yang bersifat materi atau
moral dan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu
Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk menentukan dan
mengatur perjalanan hidup dengan benar. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnnya Kami telah
mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Demikian juga Allah SWT telah
menurunkan kitab-Nya yang abadi untuk menghukumi manusia, bukan sekedar untuk
dibacakan kepada orang-orang yang sudah mati dan bukan pula untuk hiasan
dinding. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu..."
(An-Nisa': 105)
Ayat-ayat Al Qur'an jelas sekali
dalam mewajibkan kita untuk berhukum pada kitab yang diturunkan Allah SWT.
Allah berfirman: "Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan syari'at (aturan)
dan minhaj (jalan yang terang). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuannya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu, dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kami terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dan hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnnya Allah menghendaki dan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesunggahnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?" (Al Maidah: 48- 50)
Dalam ayat tersebut ada beberapa
catatan penting sebagai berikut:
Pertama, Ayat tersebut datang
setelah ayat-ayat yang berbicara tentang Ahli kitab yang dua, yaitu Taurat dan
injil, yang di dalamnya terdapat firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang hendak
berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir." (Al Maidah: 44)
"Dan barangsiapa yang tidak
berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)
"Dan barangsiapa yang tidak
berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik." (Al Maidah: 47)
Maka tidak sepantasnya bagi Allah
SWT yang telah menghukumi kepada Ahlul Kitab dengan kekufuran, kezhaliman dan
kefasikan atau dengan ketiganya, apabila mereka tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah. Kemudian mema'afkan kaum Muslimin yang melakukan kesalahan
serupa. Karena sesungguhnya keadilan Allah itu tetap dan berlaku sampai kapan
pun atas semua makhluk-Nya. Telah datang hukum Al Qur'an dengan katakata yang
bersifat umum, maka tidak ada alasan bagi orang yang tidak mau melaksanakan untuk
mengatakan bahwa ayat-ayat di atas hanya untuk Ahlul Kitab bukan untuk kaum
Muslimin13).
Kedua, Sesungguhnya kita tidak
diperkenankan meninggalkan satu bagian dari kitab yang diturunkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya. Allah memperingatkan hal itu dengan ungkapan yang keras
sebagai berikut:
"Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah
kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik." (Al Maidah: 49)
Ketiga, Sesungguhnya manusia itu
berada di antara dua hukum, tidak ada yang ketiganya. Yakni hukum Allah atau
hukum jahiliyah. Maka barangsiapa tidak rela untuk menerima yang pertama,
berarti ia terjerumus pada yang kedua, tidak mungkin tidak dan begitu pun
sebaliknya. Karena itu Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin?" (Al Maidah: 50)
Sesungguhnya tasyri' (hukum
Allah) itulah yang mentransfer taujiihaat (arahan-arahan) agama dan akhlaq pada
undang-undang yang berlaku dan memberikan sanksi apabila ditinggalkan.
Hajat manusia akan tasyri'
Rabbani yang itu demi menjamin keselamatan manusia dari kekurangan dan jerat
hawa nafsunya. Dia merupakan hajat utama (primer) yang tidak bisa diwujudkan
kecuali oleh tasyri' islami (hukum Islam). Karena hukum inilah yang akan membawa
kepada hidayah Allah yang terakhir kepada manusia dan tidak ada di bumi ini
tasyri' Rabbani selainnya. Seluruh sumber dari langit telah terkena
penyimpangan dan perubahan, sebagaimana telah ditegaskan oleh para peneliti
lama maupun modern terhadap Taurat dan Injil. Maka sumber langit satu-satunya
yang masih terpelihara tanpa ada yang menambahi atau mengurangi dan tanpa
adanya penyimpangan atau perubahan adalah Al Qur'an.
Sesungguhnya manusia memerlukan
taujih Ilahi yang dapat menjauhkan mereka dari kesesatan dalam berfikir, dan
penyimpangan dalam berbuat, karena kebanyakan yang membuat akal manusia
tertutup adalah dosa-dosa besar dan penyelewengan yang dahsyat. Sehingga kita
dapatkan bangsa "Asbarithah" dahulu pernah membunuh anak-anak mereka
yang lemah fisiknya, bangsa Arab di zaman jahiliyah juga pernah mengubur
hidup-hidup setiap bayi atau bahkan anak wanitanya, kemudian bangsa lndia,
Rumawi, Persi serta bangsa lainnya telah membagi manusia dalam kasta-kasta,
yang membolehkan bagi level (tingkatan) tertentu sesuatu yang tidak boleh bagi
yang lainnya, bahkan sebagian membunuh yang lain secara sengaja tanpa ada
pembalasan.
Kita dapatkan pada zaman kita
sekarang ini ada orang yang memperbolehkan homoseks (perkawinan laki-laki
dengan laki-laki) dan bahkan dikeluarkan undang-undang resmi dengan disetujui
oleh sebagian pendeta di Barat saat ini.
Betapapun dangkalnya akal manusia
jika dibanding dengan ilmu Allah, kita dapatkan bahwa sesungguhnya manusia
telah diberi bekal untuk bisa membedakan antara petunjuk dengan kesesatan,
antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya, antara yang hitam dengan yang
putih. Namun demikian, seringkali mereka dikalahkan oleh hawa nafsu dan syahwat
mereka atau mengikuti kemauan orang-orang yang mempunyai pengaruh dan
kepentingan khusus dari mereka. Sehingga yang terjadi kemudian adalah mereka
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang seharusnya halal bagi mereka.
Barangkali contoh yang paling
jelas untuk itu adalah sikap pemerintah Amerika Serikat yang sempat
mengharamkan khamr dan kemudian mencabut kembali pengharaman tersebut, meskipun
sudah jelas terbukti bahayanya terhadap individu, rumah tangga dan masyarakat,
baik secara moral maupun material. 13) Kami telah menjelaskan perkataan itu
dalam juz kedua Kitab 'Fatawa Mu'ashirah' Bab 'Berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah', hal.697-714
TASYRI' TIDAK HANYA TERBATAS
PADA HUKUM PIDANA
Tasyri' (hukum) Islam tidak hanya
terbatas pada hudud (hukum pidana) sebagaimana difahami oleh kebanyakan orang
atau dilakukan oleh sebagian orang. Sesungguhnya hukum Islam berfungsi untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan sesamanya;
antara keluarga dan masyarakatnya; antara pemerintah dengan rakyatnya; antara
orang-orang kaya dan para fakir; antara pemilik modal dengan pelaku usaha dan
lain sebagainya, baik dalam keadaan damai ataupun perang. Ia merupakan undang-undang
(aturan) modern dan administratif, ia merupakan dustur daulah selain juga
merupakan hukum agama. Dia adalah hukum yang menjangkau seluruh aspek dan segi
kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu Fiqih Islam itu
meliputi ibadah dan muamalah, hukum nikah dan waris, peradilan dan dakwaan,
had, qishash dan ta'zir, jihad dan mu'ahadaat (perjanjian), halal dan haram,
sunnah dan adab. Ia mengatur kehidupan manusia dari mulai tata cara buang hajat
bagi seseorang, hingga bagaimana menegakkan khilafah dan imamah 'uzhma (imam
yang agung) bagi ummat.
Sesungguhnya hudud (hukuman dalam
Islam) itu hiasan, ia menandakan bahwa masyarakat Islam menolak perbuatan
kriminal, kapan pun dan dalam keadaan apa pun.
Hudud, sebagaimana disyari'atkan
oleh Islam bukanlah perbuatan kejam dan sadis (di luar perikemanusiaan)
sebagaimana difahami atau digambarkan oleh orang-orang Kristen dan kaum
Orentalis.
Sesungguhnya orang-orang Barat
menganggap hukuman itu suatu kekejaman dari dua sebab. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Al Maududi dalam pembahasannya tentang hukuman bagi pezina
dalam kitabnya "Al Hijab." Beliau mengatakan:
"Sesungguhnya hati nurani
orang Barat itu menjadi terkejut (ngeri) terhadap hukuman seratus cambukan. Hal
ini tidak disebabkan mereka tidak suka untuk menyakiti fisik manusia. Tetapi
sebab yang sebenarnya adalah lebih karena kekurang sempurnaan pertumbuhan
akhlaq mereka, yang semula zina itu dianggap suatu kehinaan yang kotor sekarang
telah dianggap permainan yang menyenangkan, di mana dua insan bila mengumbar
syahwatnya dalam waktu sesaat. Perbuatan itu dimanfaatkan dan tidak dihisab
(diperhitungkan) kecuali jika perbuatan tersebut melanggar kebebasan orang lain
atau terkena hak-hak secara hukum mereka. Bahkan ketika terjadi demikian pun,
perzinaan itu tidak mendapat hukuman kecuali di anggap kesalahan kecil yang
tidak mempengaruhi hak-hak seseorang, sehingga cukup diberikan sanksi ringan
atau denda.
Wajar bahwa kalau orang memahami
zina dengan cara seperti itu merasa jika hukuman seratus jilid dianggap suatu
kezhaliman dan kekejaman. Kalau saja syu'ur akhlaq (kepekaan akhlaq) dan rasa
sosial mereka meningkat dan mengetahui bahwa sesungguhnya zina -baik di lakukan
dengan suka rela atau terpaksa, baik dengan wanita yang sudah menikah atau yang
masih gadisadalah merupakan kriminalitas sosial yang bahayanya akan kembali
pada masyarakat dengan seluruh keluarganya, niscaya pandangan mereka tentang
hukuman itu akan berubah dan mengakui wajibnya melindungi masyarakat dari
bahaya tersebut. Karena faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat zina itu
kuat sekali, bahkan mengakar dalam tabiat hewani mereka, sehingga tidak mungkin
karakter itu dihilangkan hanya dengan hukuman tahanan dan denda. Tidak akan ada
hasilnya memberantas zina dengan menggunakan berbagai aturan itu semua. Adalah
sesuatu yang tidak diragukan bahwa melindungi berjuta-juta manusia dari
berbagai bahaya penyakit moral dengan menyakiti satu orang atau dua orang
dengan keras itu lebih baik daripada memanjakan para pelaku kriminal dengan
menjerumuskan seluruh ummat pada bahaya yang tak terhingga besarnya, bahkan
diwarisi oleh generasi yang akan datang yang mereka tidak turut berbuat dosa.
Ada lagi sebab yang membuat
mereka menganggap bahwa hukuman seratus cambukan itu sebagai hukuman yang kejam
dan zhalim. Yakni bahwa peradaban Barat, sebagaimana telah kami terangkan,
lebih mementingkan individu daripada masyarakat, dan unsur-unsur yang ada
padanya terangkai dengan persepsi yang berlebihan terhadap hak-hak individu.
Meskipun kezhaliman individu terhadap kelompok dan masyarakat telah demikian
terasa dan Barat sendiri tidak mengingkari semua fakta ini, tetapi setiap ada
sanksi yang ditetapkan atas individu yang berbuat salah demi untuk memelihara
hakhak masyarakat, maka mereka justru merasa khawatir dan tidak rela. Sehingga
seluruh nasihat dan semangat mereka adalah atas nama individu, bukan
masyarakat.
Kemudian yang menjadi ciri khas
orang-orang jahiliyah Barat sebagaimana pada setiap zaman adalah bahwa mereka
itu lebih memperhatikan hal-hal yang bisa dilihat, daripada perhatian mereka
terhadap hal-hal yang logis meski tidak terlihat. Oleh karena itu mereka
menganggap kejam bahaya yang menimpa kepada individu karena terlihat di depan
mata mereka dengan gambaran yang nyata, tetapi mereka tidak mampu memahami
bahaya besar yang akan menimpa masyarakat dan generasi mendatang secara merata,
dalam ruang lingkup yang luas."
Saya ingin mengingatkan di sini
bahwa sesungguhnya Islam bersikap tegas dalam menghukumi kriminalitas dengan
kekerasan yang luar biasa, terutama dalam masalah zina. Namun itu pun di zaman
Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin tidak langsung ditetapkan kecuali dengan adanya
iqrar (pengakuan) dari pelakunya. Sebagaimana dibuka kesempatan untuk
bertaubat, maka barangsiapa yang taubatnya sungguh-sungguh maka gugurlah
darinya hukuman menurut pendapat rajih (terkuat). Gugurnya hukuman bukan
berarti menggugurkan hukuman secara keseluruhan, karena bisa jadi berpindah
menjadi ta'zir (hukuman yang mendidik) yang sesuai.
ISLAM MENUTUPI MASALAH-MASALAH
HUKUMAN (HUDUD)
Pada poin yang ketiga ini saya
ingin mengingatkan di sini akan hakikat yang urgen dalam masalah hukuman, yaitu
bahwa sesungguhnya Islam tidak bergerak di balik pelaksanaan hukuman, dan tidak
menunggu pelaksanaan hukuman itu pada orang yang melakukan sesuatu yang
menyebabkan dia berhak dihukum. Serta tidak memasang peralatan untuk mengintai
orang-orang yang berbuat maksiat atau memasang kamera rahasia yang dapat
merekam mereka ketika berbuat demikian. Tidak juga memerintahkan polisi
kriminal atau mata-mata untuk mencari-cari aurat (kesalahan) manusia yang
melanggar syari'at, sehingga mereka tertangkap ketika melaksanakannya.
Bahkan kita dapatkan bahwa
taujihaat Islam sangat memperhatikan penjagaan kehormatan manusia secara khusus
dan haramnya tajassus atau mencari-cari aurat mereka. Tidak dari perorangan dan
tidak pula dari pemerintah yang berkuasa.
Imam Hakim meriwayatkan dari
Abdurrahman bin Auf bahwa pada suatu malam ia berjaga bersama Umar di Madinah.
Ketika mereka sedang berjalan ada yang menyalakan api di rumah, maka keduanya
bergegas menuju ke sana, sehingga ketika sudah dekat dengan rumah tersebut,
ternyata pintunya terkunci. Di dalamnya terdengar ada suara keras, maka Umar
berkata sambil memegang tangan Abdur Rahman, "Tahukah kamu rumah siapakah
ini?" Abdurrahman menjawab, "Tidak" Umar berkata, "Ini
rumah Rabitah bin Umayah bin Khalaf, mereka sekarang minum khamr, bagaimana
pendapatmu? "Abdurrahman berkata, "Saya berpendapat bahwa kita telah
mendatangi sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, Allah telah melarang kita
dengan firman-Nya, "Walaa Tajassasuu," sementara kita telah
bertajassus, kemudian Umar pergi meninggalkan mereka." (HR. Hakim)
Dari Zaid bin Wahb, ia berkata,
"Ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas'ud, kemudian bertanya,
"Maukah engkau melihat Walid bin 'Uqbah yang jenggotnya meneteskan khamr
?," maka Ibnu Abbas berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kita
untuk bertajassus, tetapi jika nampak di hadapan kita maka kita bertindak
(untuk menghukumnya) (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Dari empat sahabat; Jubair bin
Nafir, Katsir bin Murrah Miqdam bin Ma'di Karib dan Abi Umamah Al Baahili ra,
dari Nabi SAW beliau bersabda, "Sesungguhnya amir (seorang pemimpin) itu
apabila mencari keraguan pada manusia maka akan merusak mereka." (HR. Abu
Dawud)
Bahkan ajaran Rasulullah SAW
sangat mendorong agar setiap Muslim menutupi aurat dirinya dan aurat orang
lain. Dalam suatu riwayat disebutkan sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya
Rasulullah SAW setelah melaksanakan hukuman (had) pada Ma'iz bin Malik Al
Aslami, beliau berdiri, kemudian bersabda, "Jauhilah kotoran ini yang
telah Allah larang, maka barangsiapa yang terjerumus dalam perbuatan ini maka
hendaklah meminta tutup dengan tutup Allah, dan hendaklah bertaubat kepada
Allah, karena barangsiapa membuka kepada kami lembaran (kesalahan)-nya maka
kami berlakukan kepadanya Kitab (hukum) Allah." (HR. Hakim)
Rasulullah SAW telah melaksanakan
had untuk Ma'iz, setelah dia datang kepada Rasulullah SAW sebanyak empat kali
dengan mengakui kesalahannya dan setelah Nabi SAW berupaya untuk menjauhkan
tuduhan darinya dan mengajarinya yang itu menunjukkan upaya agar tidak memenuhi
rukun-rukun dosa (zina), tetapi ia (Ma'iz) masih tetap bersikeras. Peristiwa
itu kemudian disusul dengan kasus serupa oleh wanita Ghamidiyah.
Diriwayatkan dari Abi Burdah,
dari ayahnya, ia berkata, "Kami adalah sahabat Nabi SAW kami
berbincang-bincang bahwa seandainya Ma'iz dan orang wanita itu tidak datang
yang keempat kalinya maka Rasulullah tidak akan menuntut kepadanya." (HR.
Hakim)
Nabi SAW pernah bersabda kepada
Hazal, yaitu orang yang mendorong Ma'iz untuk mengaku di hadapan Nabi
SAW"Jika seandainya kamu menutupinya dengan bajumu niscaya akan menjadi
kebaikan untukmu." (HR. Hakim)
Dari Abi Hurairah ra, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menutupi saudaranya Muslim di
dunia maka Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat." (HR. Abu
Dawud)
Dari Abi Hurairah ra, dan Nabi
SAW; beliau bersabda, "Tidaklah seorang hamba menutupi hamba yang lain di
dunia kecuali Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat." (HR. Hakim)
Jika hadits-hadits tersebut
menjelaskan pahala orang yang menutupi saudaranya Muslim, maka hadits berikut
ini bersifat umum:
Dari Katsir pembantu 'Uqbah bin
'Amir, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melihat aurat,
lalu menutupinya, maka ia seperti orang yang menghidupkan kembali anak
perempuan yang dikubur secara hiduphidup dari kuburnya." (HR. Abu Dawud
dan Hakim)
Demikian juga kita dapatkan
berbagai taujihat Islami yang jelas dalam menekankan untuk memaafkan dan
berlapang dada dalam kaitannya dengan hukuman-hukuman yang berkaitan dengan
hak-hak manusia sebagai hamba Allah, seperti mencuri, dengan syarat tidak sampai
pada kekuasaan hukum, maka di sana tidak ada kesempatan untuk dimaafkan atau
ditolong.
Dalam hal ini ada hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar sebagai berikut:
"Saling memaafkanlah di
antara kamu dalam kaitannya dengan hukuman, karena apa-apa (keputusan) yang
telah sampai kepadaku dari hukuman berarti wajib (dilaksanakan)." (HR. Abu
Dawud dan Nasa'i)
Ibnu Mas'ud berkata:
"Sesungguhnya aku akan menyebutkan pertama kali orang yang dipotong
(tangannya) oleh Rasulullalh SAW "Adalah didatangkan seorang yang mencuri
maka diperintahkan untuk dipotong, tetapi seakan wajah Rasulullah SAW nampak
menyesal, maka sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau
tidak suka memotongnya, " Nabi bersabda, "Tidak ada yang menghalangi
aku, janganlah engkau menolong syetan atas saudara kamu, karena tidak pantas
bagi seorang imam apabila telah sampai padanya hukuman kecuali harus
melaksanakannya, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, cinta untuk mengampuni,
Allah berfirman, "Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (An-Nuur: 22)" (HR. Hakim).
Ada seorang laki-laki yang datang
kepada Rasulullah SAW kemudian mengaku bahwa ia telah melakukan sesuatu yang
mewajibkan harus dihukum, maka Nabi tidak bertanya kepadanya tentang hukuman
itu, apa hukumannya dan bagaimana ia melakukan, melainkan beliau menganggap
pengakuannya itulah yang menyebabkan ia dihukum sebagai taubat dari dosanya dan
penyesalan atas kelengahannya, ini menjadi kaffarah (penghapus dosa) baginya,
karena tidak akan terjadi hukuman yang demikian apabila ia shalat bersama
Rasulullah SAW.
Abu Dawud telah meriwayatkan
dalam bab "Seseorang yang mengaku dengan hukuman dan tidak menyebutkan
namanya." Dari Abi Umamah, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang datang
kepada Nabi SAW lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
berbuat (sesuatu) yang harus dihukum, maka hukumlah aku." Nabi bersabda,
"Apakah kamu berwudhu ketika kamu datang (ke mari)," laki-laki itu
menjawab, "Ya," Nabi bersabda, "Apakah kamu shalat bersama kami
ketika kami shalat?" Orang itu berkata, "Ya," Nabi bersabda,
"Pergilah, sesungguhnya Allah SWT telah memaafkan kamu." (HR. Muslim,
Abu Dawud dan Nasa'i).
Karena itu ada di antara ulama
salaf yang berpendapat bahwa di antara hak imam dan qadhi adalah menggugurkan
had (hukuman) dengan taubat apabila kelihatan tanda-tandanya. Inilah pendapat
yang ditarjih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Dan ini pula
yang saya pilih ketika kita menerapkan hukum had pada zaman kita ini.
MENOLAK HUDUD DENGAN ADANYA
SYUBUHAT
Sesungguhnya di antara sesuatu
yang disamakan dengan apa yang telah kami sebutkan yaitu tentang kecintaan
Islam menutupi dan memaafkan dalam masalah hukuman adalah apa yang populer
dalam fiqih Islam -dengan berbagai madzahib yang diikuti- sebagai "Dar'ul
Hudud bisy-syubahaat" (menolak hukuman dengan adanya syubuhat
(kemungkinan-kemungkinan untuk membatalkan).
Ada hadits yang menerangkan hal
itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dan dianggap shahih."Nabi
bersabda:
"Tolaklah hudud itu dari
kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang
Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam
memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam menghukum." (HR. Hakim)
Benar bahwa Al Hafidz Adz-Dzahabi
telah menolak pentashihan Hakim terhadap hadits ini, tetapi hadits-hadits yang
kami kemukakan memperkuat riwayat ini.
Demikian juga riwayat shahih dari
Al Faruq Umar bin Khattab RA, yaitu sabda Rasulullah SAW.
"Tolaklah hudud itu dengan
syubuhat." (Ibnu Hazm menyebutkan di dalam "Al Muhalla")
Adapun sesuatu yang ditetapkan
dari perbuatan Umar ra, seperti memberhentikan hukuman potong tangan pada tahun
kelaparan karena adanya syubuhat (alasan) keperluan, dan persetujuan para
sahabat termasuk para fuqaha' dan ahlul ilmi dan fatwa terhadap Umar tentang
masalah tersebut, seperti ini dianggap salah satu bentuk dari ijma' (konsensus)
Karena sesungguhnya mereka tidak
diam terhadap kebathilan dan mereka tidak bersepakat di atas kesesatan.
Ini tidak termasuk menggugurkan
hukuman sebagaimana disebutkan oleh sebagian orang, tetapi pada dasarnya had
belum wajib karena belum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.
Contoh lain yang mirip adalah
satu riwayat yang menjelaskan bahwa Umar tidak menghukum dua pembantu yang
mengambil harta juragannya, karena Umar berpendapat bahwa kedua pembantu itu
tidak mencuri kecuali karena kezhaliman sayyid-nya dan karena tidak diberi
kecukupan dari keperluan pokoknya.
Tidak heran jika Umar memaafkan
keduanya sesuai dengan kondisinya, kemudian Umar memperingatkan kepada
juragannya bahwa tangan juragannya akan dipotong jika sampai kedua pembantu
terpaksa mencuri lagi. Siapa yang membaca kitab-kitab fiqih akan mendapatkan di
dalamnya berbagai persoalan dan jawaban yang disebutkan oleh para fuqaha', yang
dimasukkan syubhat (alasan-alasan) yang menolak terlaksananya hukuman.
Sebagiannya dianggap dibuat-buat atau mengaku-aku, tetapi mereka melihat bahwa
keraguan yang paling ringan dapat memberi keterangan untuk kemaslahatan orang
yang tertuduh.
MASYARAKAT TIDAK DITEGAKKAN
DENGAN HUKUM BELAKA
Sesungguhnya Islam bukanlah
sekedar hukum dan perundang-undangan belaka, tetapi Islam adalah aqidah yang
menafsirkan kehidupan, ibadah yang mendidik jiwa, akhlaq yang membersihkan
jiwa, pemahaman yang menjernihkan persepsi, nilai-nilai yang mengangkat martabat
manusia dan adab yang memperindah kehidupan.
Ayat-ayat hukum tasyri' tidak
sampai sepersepuluh dari Al Qur'an, itu pun dikumpulkan dengan ayat-ayat
tentang aqidah dan hati yang disertai juga dengan janji dan ancaman berkaitan
erat dengan seluruh arahan-arahan Al Qur'an.
Seperti misalnya hukum
kerumah-tanggaan dalam firman Allah SWT:
"Talak (yang dapat dirujuki)
dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduannya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukam Allah mereka itulah orang-orang yang
zhalim." (Al Baqarah: 229)
Ini bukan hukum yang kering
seperti kandungan hukum yang ada, tetapi ini merupakan tasyri', dakwah, taujih,
tarbiyah, targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman). Bacalah firman Allah SWT
dalam menjelaskan ahkamul hudud:
"Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri
itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya
Allah menerima taubatnya Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.
Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al Maidah:
38-40)
Di dalam ayat ini kita dapatkan
tasyri' yang menakutkan, disertai dengan janji dan ancaman, memuat
menakut-nakuti dan menggetarkan, taujih dan tarbiyah, dorongan untuk bertaubat
dan memperbaiki, mengingatkan nama-nama Allah yang baik, Maha 'Aziz (kuasa) untuk
melarang dan memerintah, Yang Bijaksana dalam menentukan hukum, Maha Pengampun
dan Penyayang bagi orang yang bertaubat dan mau memperbaiki diri, Yang Merajai
alam semesta, Yang menciptakan dan Memerintah dan Yang Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Inilah susunan hukum dalam Al
Qur'an, sebagaimana juga dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Dengan demikian
maka bukan semata-mata tasyri' (hukum yang membangun masyarakat Islam),
melainkan juga memerlukan dua sarana lain yang tidak kalah penting, yaitu dakwah
dan pemberian pemahaman (taui'yah), kemudian ta'lim dan tarbiyah di samping
perundang-undangan dan hukum, bahkan semua itu diletakkan sebelum
perundangundangan dan hukum.
Karena itulah Islam memulai
dengan marhalah Makkiyah -yaitu marhalah da'wah dan tarbiyah- sebelum marhalah
madaniyah yang merupakan marhalah tasyri' dan tanzhim (perundang-undangan dan
strukturisasi). Dalam marhalah kedua inilah kita melihat tasyri' disertai
dengan tarbiyah, sebagaimana bergabungnya jasad dengan ruh.
Sesungguhnya dengan sekedar
merubah hukum saja tidak cukup untuk mewujudkan sebuah masyarakat Islam.
Merubah apa-apa yang ada di dalam jiwa seseorang itulah sebenarnya yang paling
asasi. Dan yang paling besar dalam hal ini adalah terdapatnya keimanan yang
mampu membentuk manusia menjadi makhluq yang sempurna. Keimanan itulah yang
akan memberikan motivasi dan menjadi standar nilai serta hasil dari seluruh
amalnya berupa pembalasan di dunia dan di akhirat.
Islam merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisah-pisah, maka jika kita ingin memerangi kriminalitas yang
mengharuskan dihukum tidaklah hanya dengan melaksanakan hukuman saja. tidak
pula dengan tasyri' saja. Melainkan bahwa had itu merupakan langkah terakhir
dalam mengupayakan suatu perbaikan.
Sesungguhnya sanksi itu hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang melanggar. Orang- orang ini bukanlah
mayoritas dan umat ini, bukan pula basis utama masyarakat, tetapi mereka adalah
orang-orang yang tidak termasuk dalam basis, karena telah keluar dari basis
tersebut.
Islam datang bukan untuk
mengobati orang-orang yang menyimpang, tetapi Islam datang untuk memberi
pengarahan kepada orang-orang yang baik dan memelihara mereka untuk tidak
menyimpang.
Dalam pandangan Islam hukuman
bukanlah variabel terbesar dalam memberantas kriminalitas. Tetapi memelihara
dari itu semua dengan mengeliminir sebab-sebabnya, itulah variabel terbesar.
Pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.
Jika kita melihat suatu tindak
kriminalitas seperti zina, maka kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya Al
Qur'an telah menyebutkan tentang hukumannya dalam satu ayat pada awal surat
An-Nur, yaitu firman Allah SWT:
"Perempuan yang berzina
dengan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap orang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu dari (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
kiamat..." (An Nuur: 2)
Tetapi di dalam surat An-Nuur itu
sendiri memuat berpuluh-puluh ayat lain yang mengarahkan untuk memelihara dari
dosa itu sebagai berikut:
Pertama, Ancaman Allah bagi
orang-orang yang menyebarkan perbuatan keji itu dengan adzab di dunia dan
akhirat, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang
yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di
akhirat..." (An-Nuur: 19)
Kedua, Aturan berziarah dan
adabnya serta memelihara kehormatan rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin
dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar
kamu (selalu) ingat." (an-Nuur: 27).
Ketiga, Adab meminta izin bagi
para pembantu dan anak-anak yang belum mencapai usia baligh, Allah SWT
berfirman:
"Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan
anak-anak yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali
(dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian
(luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat isya' (itulah) tiga aurat..."
(An-Nuur: 58)
Keempat, Mendidik laki-laki dan
perempuan mukmin untuk memelihara dan menjaga diri dengan selalu menahan
pandangan dan memelihara kemaluan. Yaitu firman Allah SWT:
"Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dan padanya. Dan hendaklah mereka menutupkkan kain kerudung
(jilbab) ke dadanya..." (An Nuur: 30-31)
Kelima, Melarang wanita tampil
menarik (tabarruj) di hadapan kaum laki-laki, membangkitkan keinginan dan
khayalan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Dan Janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orangorang yang beriman supaya
kamu beruntung." (An-Nuur: 31)
Arti dari ayat tersebut
menunjukkan wajibnya membersihkan masyarakat dari sebab-sebab fitnah dan
rayuan, serta menutup segala celah yang menuju terjadinya kerusakan.
Keenam, Yang lebih penting dari
itu semua adalah menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau beristeri dari
laki-laki atau pun wanita dan menyerukan yang demikian kepada seluruh
masyarakat, karena mereka ikut bertanggung jawab. Allah SWT berfirman:
"Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (kawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."
(An-Nuur: 32)
Tanggung jawab masyarakat di
sini, terutama kalangan pemerintah, adalah memudahkan segala sarana komunikasi
yang halal, selain menutup pintu-pintu haram. Demikian itu dilaksanakan dengan
menghilangkan kendala-kendala materi atau sosial di hadapan orangorang yang
ingin menikah. Seperti mahalnya maskawin, berlebihan dalam memberikan hadiah-hadiah,
undangan, walimah, serta perabot rumah dan lain-lain. Dan membantu mereka baik
secara materi maupun moril untuk membentuk rumah tangga yang Islami.
Maka bukanlah menegakkan hukum
(had) itu yang memecahkan problem, karena kenyataannya had tidak mungkin
ditegakkan dengan syarat-syaratnya yang syar'i kecuali dalam keadaan iqrar di
majelis qadha' sebanyak empat kali sebagaimana pendapat sejumlah imam. Atau
dengan persaksian empat saksi yang adil bahwa mereka melihat perbuatan dosa itu
dengan melihat langsung di tengah-tengah mengerjakan. Bukankah hal itu sangat
sulit, maka seakan-akan tujuannya di sini adalah dilarang berterus terang dalam
masalah dosa. Adapun orang yang diuji dengan perbuatan itu kemudian tidak
ketahuan maka tidak termasuk kena hukuman dunia maka ini kembali kepada Allah
di akhirat nanti.
DIANTARA KEWAJIBAN MASYARAKAT
ISLAM ADALAH BERHUKUM KEPADA SYARI'AT ALLAH
Merupakan hak setiap masyarakat
untuk berhukum pada Syari'at yang diyakini akan keadilannya, keunggulannya dan
ketinggiannya atas syari'at-syari'at yang lainnya. Bagi masyarakat Islam itu
merupakan suatu kewajiban, bukan sekedar hak baginya.
Oleh karena itu tidak layak bagi
seseorang untuk mengingkari sebagian masyarakat Islam saat ini yang menyeru
untuk berhukum kepada syari'at Islam. Karena dialah satu-satunya Syari'at yang
terang dan dapat dipertanggungjawabkan tentang aqidahnya, nilai-nilainya,
adab-adabnya dan yang memiliki pandangan dengan jelas tentang alam dan
penciptannya, manusia dan akhir kehidupannya, kehidupan dan risalahnya. Berbeda
dengan aturan-aturan lainnya yang dibuat oleh manusia yang cenderung
menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah, seperti khamr (minuman keras),
perbuatan zina dan riba. Atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang dihalalkan
oleh Allah seperti thalaq (perceraian), poligami, serta mengabaikan apa yang
diwajibkan oleh Islam seperti menunaikan zakat, melaksanakan had (hukuman) dan
beramar ma'ruf nahi munkar Mereka mengganti hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya
dengan hukum-hukum lainnya yang diadopsi dari Barat atau Timur.
Memang bahwa hukum positif yang
saat ini diterapkan di berbagai negara Islam itu tidak semuanya bertentangan
dengan syari'at Islam. Bahkan sebagian besar di antaranya diambil dari fiqih
Islam terutama Fiqih Maliki, tetapi di sini saya hendak mengingatkan beberapa
masalah pokok sebagai berikut:
Pertama, Sesungguhnya hal-hal
yang bertentangan dengan Syari'at Islam dari undangundang positif (buatan
manusia), meskipun tidak terlalu banyak, namun penting untuk dilihat dari jenis
dan fungsinya. Seperti misalnya pengharaman riba dalam undang-undang pemerintah
di mana Al Qur'an dan As-Sunnah bersikap keras dalam memberikan ancaman bagi
orang yang melakukan. Atau seperti melaksanakan hukuman atas
kesalahan-kesalahan tertentu yang telah ditentukan hukumannya oleh Islam.
Demikian itu karena termasuk dalam hukum-hukum ini dan yang serupa dengannya.
Itulah yang membedakan peradaban ini dengan peradaban lainnya, yang membedakan
ummat dengan ummat yang lainnya.
Pengharaman riba itu, sebagaimana
mengeluarkan zakat, adalah merupakan ciri khas dari sistem ekonomi Islam yang
membedakannya dengan sistem lainnya. Keduanya (pengharaman riba dan kewajiban
zakat) memang merupakan salah satu ciri khas ekonomi Islam.
Seperti juga pengharaman zina dan
perbuatan keji, baik yang zhahir maupun yang bathin dan segala sesuatu yang
mengarah pada perbuatan itu, dan ketetapan hukuman atasnya. Atau dalam
pengharaman atas minuman keras, baik seseorang itu sebagai konsumen, distributor
ataupun produsen dan wajibnya hukuman atasnya. Atau yang lain-lainnya dari
berbagai peradaban yang tidak menganggap masalah dalam memperbolehkan zina,
selama sama-sama suka. Dalam memperbolehkan kelainan seksual, meskipun
bertentangan dengan fithrah yang sehat dan sifat kejantanan yang mulia, serta
penyelewengan-penyelewengan yang lain.
Kedua, Sesungguhnya tidak cukup
bahwa hukum positif itu sesuai dengan hukum-hukum syari'at Islam, karena
sekedar sesuai secara kebetulan tidak memberikan warna Islam dan tidak akan
menambah nilai Syari'at Islam.
Tetapi yang seharusnya adalah
mengembalikan kepada syari'at di mana segala sesuatu bertolak darinya. Dia
terikat dengan falsafah Islam dan orientasi syari'ah secara universal. Dia
disandarkan pada dalil-dalil syar'i yang bersifat spesifik dari berbagai bahan
hukum sesuai dengan dasar-dasar yang terjaga menurut para fuqaha' kaum muslimin
seluruhnya.
Dengan demikian maka hukum-hukum
tersebut benar-benar sah dan suci bagi seseorang baik individu atau masyarakat
Islam. Mereka bisa tunduk terhadap hukum itu secara sadar dan dengan penuh
ketaatan. Karena dengan menerima hukum itu dan tunduk kepadanya berarti mereka
telah beribadah kepada Allah.
Ketundukannya khalayak terhadap
aturan hukum itu bukan berarti tunduk kepada perlemen yang mereka buat, bukan
pula kepada pemerintahan yang mereka tetapkan. Tetapi sematamata karena taat
kepada Allah yang telah membuat aturan itu untuk kebaikan hamba-hambaNya.
Ketundukan kepada aturan itu merupakan bukti keimanan dan keridhaannya kepada
hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya jawaban
orang-orang mukmin, bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar, dan
kami patuh. "Dan mereka itulah orangorang yang beruntung." (An-Nuur:
51)
Adalah perbedaan yang besar
antara komitmen seorang Muslim dengan mewajibkan akad yang hal itu berdasarkan
pemikiran fulan (seseorang) atau karena filosofi fulan tersebut yang
mengatakan, "Sesungguhnya akad (perjanjian jual beli) itu Syari'at orang-orang
yang terlihat," dengan akad yang berdasarkan komitmennya kepada hukum
Allah, karena Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang
beriman, penuhilah janji-janji (mu)."(Al Maidah: 1)
"Penuhilah janji(mu),
sesungguhnnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya." (Al Isra':
34)
Pada suatu hari Mursyid kedua
Ikhwanul Muslimin Ustadz Hasan Al Hudhaibi pernah ditanya, "Mengapa kalian
sangat mengingkari hukum-hukum wadh'iyah (buatan manusia), padahal sebagian
besar mirip-mirip dengan hukum syar'iyah (hukum Allah)? Maka beliau menjawab,
"Karena kita dituntut untuk melaksanakan hukum-hukum Syari'at (Islam),
bukan yang mirip dengannya. Allah berfirman:
"Hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa-apa yang diturunkan Allah... " (Al
Maidah: 49).
Ketiga, Sesungguhnya syari'at
Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah, maka tidak boleh
mengambil sebagian, dan meninggalkan sebagian yang lain. Walaupun yang
ditinggal itu hanya satu persen atau seper sepuluh persen atau bahkan seper seribu
sekalipun. Karena Allah SWT berfirman:
"Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, supaya mereka tidak memalinglan
kamu dan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.. ." (Al Maidah:
49)
Karena itulah Al Qur'an sangat
mengingkari Bani Israil dalam pengambilan mereka terhadap agama secara parsial,
mengambil sebagian hukum dari kitab mereka dan menolak sebagian yang lainnya,
maka Allah SWT berfirman mengingatkan mereka:
"Apakah kamu beriman kepada
sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?"
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia dan di hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dan apa yang kamu perbuat. " (Al Baqarah:
85)
Sebagaimana juga tidak dapat
diterima dari seorang Muslim untuk menolak sesuatu - meskipun sedikit- dari Al
Qur'an Al Karim. Dalam hal ini dia dianggap kafir. Demikian juga tidak diterima
dari seorang Muslim untuk menolak hukum qath'i mana pun yang permanen dari
hukum-hukum syari'at, sesuatu yang telah diketahui secara pasti dari agama ini.
Penolakannya terhadap hal ini juga termasuk kafir terhadap Islam dan
mengeluarkan dirinya dari millah (agama) ini serta terisolir dari ummat. Dia
berhak untuk dihukumi murtad, karena dia telah bersikap lancang dan sok tahu di
hadapan Allah SWT dan menuduh kepada Allah sebagai kekurangan ilmu,
kebijaksanaan dan krisis dari rahmat-Nya, Maha Suci Allah terhadap apa yang
mereka katakan dan Maha Tinggi Dia.
Keempat, Sesungguhnya
negara-negara Islam yang ada berbeda-beda, dengan perbedaan yang jauh dalam
menyikapi hukum Islam.
Ada di antara mereka yang komit
untuk berhukum pada syari'at Islam dari segi mabda' (prinsip), meskipun ada
yang banyak atau sedikit dari sisi penerapan (aplikasi).
Ada juga di antara mereka yang
berupaya mengambil hukum negaranya dari sumber syari'at Islam dan fiqihnya yang
luas, tetapi hukum pidananya masih kebarat-baratan.
Ada lagi yang berani melawan
(melanggar) hukum-hukum kerumahtanggaan atau"AI Ahwal
Asy-Syakhshiyah." Sampai-sampai ada negara Arab memperbolehkan zina dan
tidak diberi sanksi, selama saling suka sama suka. Di saat yang sama pernikahan
malah di anggap suatu perbuatan dosa yang harus di beri sanksi.
Inilah yang membuat salah seorang
yang cerdik di negara itu di sebelah utara Afrika. Ia telah menikah dengan
isteri kedua dengan pernikahan yang sah secara syar'i, tetapi menjadi tidak
dikuatkan oleh undang-undang secara wajar, ketika dilacak di rumah isterinya
itu dia mengatakan, "Sesungguhnya ia pacarku. Akhirnya mereka memisahkan
dengan menyesal, karena mereka mengira itu isterinya!"
Negara tersebut telah menyerahkan
perceraian itu di tangan wanita, dan merubah sanksi hukuman dalam masalah orang
yang mendapatkan isterinya berkhianat kepadanya di rumahnya, ternyata bersama
laki-laki lain di kamar tidurnya, sehingga membuatnya cemburu dan membunuhnya.
Maka ia kemudian dihukum lima tahun sesuai dengan kondisinya, lalu diubah
menjadi hukuman mati. (Ini yang terjadi di Tunis, Radio London, bulan Juli
1993).
BERHUKUM KEPADA SYARI'AT ITU
MEMBUKTIKAN ASHALAH DAN KEBEBASAN KITA
Apabila hukum (syari'at) menurut
kita, kaum Muslimin, merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari agama
kita, maka tidak sempurna keimanan kita kecuali dengan berhukum dengannya dan
melaksanakan hukum tersebut dan tidak ada alternatif selain itu bagi kita.
Apalagi setelah kita beriltizam kepada Islam dan rela untuk menjadikan Islam
sebagai dien, syari'at dan pedoman hidup. Allah SWT berfirman:
"Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al
Ahzab: 36)
Sesungguhnya berhukum pada
syari'at itu terkait erat dengan ashalah (keaslian identitas) kita dan
kebangsaan kita. Sedangkan hukum positif yang sekarang kita pakai di
negara-negara Arab dan Islam adalah hukum asing yang diadopsi ke tengah-tengah
kita. Dia tidak akan pernah bisa tumbuh di bumi kita, karena bukan diambil dari
aqidah dan nilai-nilai dasar kehidupan kita. Dia bukan tradisi yang benar-benar
bisa diterima oleh masyarakat kita. Oleh karena hukum tersebut telah
menghalalkan apa yang kita yakini sebagai sesuatu yang haram dan telah
menggugurkan apa yang kita anggap wajib.
Kembali pada hukum syari'at
berarti membebaskan diri dari sisa penjajahan di dalam bidang
perundang-undangan dan kembali pada sumber kita yang asli yang kita jadikan
sebagai sumber rujukan. Di dalamnya kita dapatkan hidayah (petunjuk) Allah dan
keaslian warisan pendahulu kita yang sesuai dengan kepribadian dan aspirasi
kita. Yang rnenampilkan hakikat arah tujuan kita serta yang merealisasikan
tujuan dan hajat kita.
Masuknya hukum positif ke negeri
kita hampir sama dengan masuknya bangsa Yahudi ke tanah Palestina. Semula
mereka masuk secara pelan-pelan dan rahasia, lalu merampas secara pelan-pelan
dan rahasia, tetapi kemudian berakhir dengan merampas secara terang-terangan.
Sesungguhnya siapa yang membaca
bagaimana hukum positif itu masuk ke negara seperti Mesir yang mendahului yang
lainnya dalam hal ini akan mendapatkan contoh keanehan yang nyata. Bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi dengan mudah sehingga menimbulkan murka Allah yang
Halim. Undang-undang itu dibuat hanya oleh seorang yang wawasan ilmiahnya atau
profesinya tidak sampai tingkatan menengah, dia adalah seorang pengacara dari
Armenia. Dia selesaikan undang-undang tersebut dalam waktu yang sangat singkat,
cukup untuk membuat buku kecil sekali.
Bahkan sebenarnya ia tidak
membuat hukum, sebab seluruhnya dikutip secara harfiyah dari sana-sini.
Sebagaimana di katakan oleh "Ustadz" Musena salah seorang penasehat
hukum dari Italy di berbagai Mahkamah di Mesir. Dikatakannya bahwa apa yang disebut
sebagai hukum itu hanyalah rangkuman dari sana sini tanpa memperhatikan
prinsip-prinsip peletakan (pembuatan) hukum sesuai dengan keperluan masyarakat
dan kemaslahatannya.
Musena juga mengatakan,
"Sesungguhnya Syabah, kepala madrasah tarikhiyah "Savini,"
sungguh bergetar tubuhnya karena membayangkan transfer atas hutang ummat akan
syari'at untuk mengatur kehidupannya."
Hukum itu didatangkan atau
dipinjam dari orang lain yang sebenarnya ummat tidak membutuhkannya. Juga tanpa
ada permintaan dari masyarakat. Ummat pun tidak diajak bermusyawarah.
Seakan-akan ini semua tidak ada kaitannya dengan kehidupan ummat, sehingga tidak
dipandang perlu mendengarkan aspirasi mereka.
Hukum itu tidak akan pernah masuk
atau tidak akan pernah diberlakukan seandainya saja penjajah tidak
memasukkannya dan mensosialikan secara paksa dengan ketajaman tombaknya.
Saat ini bangsa Arab dan ummat
Islam menuntut kebebasan dan kemerdekaan untuk kembali kepada hukum syari'atnya
sendiri. Ini merupakan sesuatu yang juga diserukan oleh para pakar atau ahli
hukum positif itu sendiri yaitu bagi mereka yang memiliki kesempatan untuk
mempelajari fiqih syari'ah dan menelaah sebagian sumber khasanah Islam.
Di antara mereka adalah ahli
hukum dari Arab Dr: Abdur Razzaq As Sanhuri yang telah mengumumkan kesempurnaan
nilai fiqih Islam dan orisinalitasnya serta kemampuannya dalam mengatur
kehidupan di dalam buku dan ceramah-ceramahnya. Terutama pada masamasa terakhir
dari usianya, yaitu setelah beliau mendalami berbagai sumber referensi fiqih,
kemudian beliau menulis sebuah kitab yang populer yaitu, "Mashadirul haq
fil fiqhil islami."
Dalam sebuah ceramah yang teksnya
diedarkan oleh surat kabar "Al Ahram" pada tgl: 1/1/1937, beliau
berkata, "Sesungguhnya aku menyarankan kepada kalian untuk mendapatkan di
dalam simpanan syari'ah Islamiyah, yaitu berupa dasar-dasar dan teori-teori
yang sangat bernilai dan sangat kuat di mana ia merupakan dasar-dasar teori
terbaru dan paling maju dalam fiqih Internasional."
SYARI'AT DALAM ARTI YANG LUAS
BUKANLAH MADZHAB TERTENTU
Sesungguhnya hukum Islam yang
dicita-citakan itu bukan berarti fiqih salah satu madzhab pada masa tertentu,
tetapi yang di maksud di sini adalah kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang pokok
yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an dan Sunnah, dan hidup di bawah naungan
fiqih yang subur sejak masa sahabat, kemudian generasi setelahnya yang dicatat
oleh kitabkitab madzahib yang beraneka ragam dan kitab-kitab hadits serta fiqih
perbandingan madzhab.
Kekayaan khasanah yang besar ini
dari berbagai ijtihad merupakan asas yang kuat yang tidak boleh direndahkan dan
tidak boleh dilupakan bagi ijtihad modern mana pun. Tidak bisa diterima bahwa
harus berijtthad lagi mulai dari nol, tanpa menyandarkan yang baru kepada yang
lama. Akan tetapi rincian-rincian fiqih ini tidak menjadi keharusan bagi kita
kecuali berdasarkan dalil-dalil syar'i yang kuat, baik secara nash atau kaidah.
Di antara kaidah yang ditetapkan
yang tidak ada khilaf --minimal dari segi teori--adalah, sesungguhnya fatwa itu
bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan.
Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh sejumlah dari muhaqqiqin dari ulama
madzahib yang diikuti, seperti Al Qarafi, Ibnul Qayyim, dan Ibnu 'Abidin 14).
Kaidah tersebut pada dasarnya
adalah Al Qur'an, Sunnah, petunjuk sahabat dan amalan ulama salaf dan banyak
diterapkan pada masa kita sekarang ini. Seperti masalah batas maksimal masa
hamil yang diperselisihkan ulama dalam hal ini. Ada sebagian mereka yang
mengatakan sampai empat tahun, bahkan lima tahun, bahkan ada yang tujuh tahun,
demikian itu karena mereka tidak mengerti "hamil bohong" yang
seakan-akan benar-benar hamil.
Karena itulah maka tidak boleh
kita membatasi diri kita untuk beriltizam kepada satu madzhab dalam setiap
permasalahan. Karena boleh jadi madzhab tersebut lemah alasannya dalam sebagian
permasalahan atau tidak bisa mewujudkan tujuan syari 'at dan kemaslahatan
manusia, maka tidak dosa bagi kita untuk meninggalkan madzhab seperti itu untuk
beralih pada madzhab-madzhab yang lain. Karena syari'at Islam itu sangat luas,
seperti masalah wajibnya janji, jual beli murabahah (membagi laba) zakatnya
sesuatu yang keluar dari bumi, zakatnya harta yang dimanfaatkan, sumpah dalam
talak, talaknya orang mabuk dan marah, talak tiga kali dengan satu kata, batas
maksimal orang hamil dan sebagainya. 14) Al Qurafi dalam Kirab Al Ihkam, Ibnu
Qayyim dalam I'lam Al Mauqi'in. Ibnu Abidin dalam Risalah Nasyral 'Urf.
HARUS ADA IJTIHAD BARU YANG
TEPAT
Sesungguhnya hukum Islam yang
dicita-citakan adalah tegak berdasarkan ijtihad saat ini yang benar, baik itu
ijtihad yang bersifat menyeleksi atau bersifat baru sama sekali. Saya telah
berbicara tentang standar ijtihad ini dalam bidang yang lain 15).
Tetapi di sini saya perlu
mengingatkan dua hal atau dua kelompok manusia, yakni ada di antara mereka yang
ingin memperlakukan Islam agar mengikuti zaman dan menjadikan Islam itu seperti
"adonan roti" yang lunak yang siap untuk dibentuk menjadi apa saja
dan mereka tidak mau memakai dasar Al Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qias. Seperti
mereka yang saat ini berupaya menghalalkan bunga bank padahal seluruh lembaga
dan Muktamar llmiyah Islamiyah telah mengharamkan bunga itu.
Ada juga kelompok lain yang
menginginkan Islam itu beku seperti batu, ini dilakukan oleh orang-orang
sebelum kita karena sesuai dengan zaman mereka, tetapi tidak sesuai dengan
zaman kita. Mereka itu sendiri ada dua macam:
Pertama, Orang-orang yang taklid
dan fanatik terhadap madzhabnya, mereka tidak ingin keluar sehelai rambut pun,
terutama dari kalangan mutaakhkhiriin.
Kedua, Orang-orang yang tidak
terikat oleh madzhab, yang saya istilahkan sebagai "Zhahirriyah model
baru."
Mereka semua itulah yang
mempublikasikan "pedang terorisme" kepada setiap ulama yang mempunyai
pendapat baru atau bertentangan dengan orang sebelumnya, meskipun dari kalangan
ulama besar dan guru besar yang telah menghabiskan usianya berenang dan
mengarungi babtera ilmu keislaman dan memiliki karya yang terkenal di seluruh
penjuru dunia.
Saya sebutkan bahwa seorang ulama
faqih yang mulia seperti Syaikh Imam Muhammad Abu Zahrah rahimahullah pernah
berada dalam salah satu acara seminar beliau mengumumkan tentang pandangan
fiqih yang baru baginya. Beliau mengatakan, "Sesungguhnya aku menyimpan
pendapatku ini sejak dua puluh tahun atau lebih, sekarang saya telah terlepas
dari tanggungan saya."
Bukan sesuatu yang penting apakah
pendapat itu benar atau salah, tetapi yang penting di sini dan yang benar-benar
menyakitkan hati beliau adalah seorang ulama besar yang menyembunyikan
pendapatnya dan merahasiakan ijtihadnya selama dua puluh tahun atau lebih
karena tidak mendapat kesempatan atau keberanian untuk menulis dengan tulisan
dan menyampaikan secara lesan, karena takut diserang oleh orang-orang keras
yang memiliki pisau yang tajam dan anak panah yang melukai. Mereka menyalahkan
dengan secepat kilat pada setiap pendapat yang berbeda dengan pendapat mereka,
dengan demikian matilah berbagai pendapat itu dari pemiliknya dan tidak ada
jalan keluar lagi untuk mengutarakan. 15) Lihat kitab saya Al Ijtihad fii
Asy-Syari'ati Al Islamiyati', hal 173-184
IJTIHAD BUKAN ASAL TAJDID,
BUKAN PULA TABDID
Sesungguhnya seruan untuk
berijtihad dewasa ini bukan sekedar asal-asalan dan membuka pintunya kepada
setiap orang yang mengaku dengan lantang padahal belum terpenuhi syaratsyarat
utama dalam ijtihad.
Sesungguhnya sebagian da'i atau
aktivis Tajdid (pembaharuan) dan 'Ath-Thawwur', (perkembangan) ada yang
menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu
mereka. Allah SWT berfirman:
"Andaikan kebenaran itu
menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang
ada di dalamnya. ." (Al Mu'minun: 71)
Hawa nafsu mereka itu dipengaruhi
oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari pengetahuan Barat dengan pemahaman
yang dangkal atau sudah dikaburkan dari orisinalitas Islam.
Mereka tidak mampu memisahkan
antara sisi keislaman yang memiliki sifat konstan dan tetap selamanya dalam
hukum Islam dan ajarannya dengan sisi, fleksibel yang berkembang dan yang
berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tempat dan kondisi.
Mereka mengkritik fiqih dan
menganggapnya sebagai sekedar sudut pandang yang menggambarkan pendapat orang
tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu. Sehingga apabila
teriadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya maka
dibolehkan untuk membuat fiqih baru yang menggambarkan perubahan masa, tempat
dan orangnya.
Ini memang benar jika dilihat
dari rincian pendapat sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha' dalam berbagai
ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari fiqih secara keseluruhan sebagai
khasanah kekayaan hukum yang besar yang telah dibangun oleh orang-orang yang
berakal cerdas dimulai dari para sahabat, kemudian generasi setelahnya
sepanjang masa dengan berpedoman pada Al Qur'an Al Karim dan Sunnah Muthaharah.
Saya tidak tahu dan saya kira
tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah ummat yang membuang warisannya
berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat
undang-undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa mau mengambil faedah dari
sejarah masa lalunya. Apatah lagi terhadap warisan fiqih yang memancar dari
sumber Rabani (dari Allah).
Jika kita serahkan mereka dalam
hal-hal yang berkaitan dengan fiqih dan fuqaha' maka kita akan mendapatkan
mereka itu melompat dengan lompatan lain, yang dengan itu mereka ingin menolak
Sunnah Nabawiyah yang berfungsi sebagai penjelas Al Qur'an baik secara teori
ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah mewajibkan kepada kita untuk taat
kepadaNya dan kepada Rasul-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
"Katakanlah, "Taatilah
Allah dan taatilah Rasul...." (An Nuur: 54)
Allah menjadikan taat kepada
Rasul-Nya itu sebagai taat kepada-Nya:
"Barangsiapa taat kepada
Rasul maka ia kepada Allah." (An-Nisa':80)
Tidak heran jika kita menemukan
di antara mereka ada yang mengajak untuk cukup dengan Al Qur'an dan menolak
seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah hadits mutawatir saja sementara
meniadakan hadits-hadits ahad, padahal sebagian besar hadits adalah hadits
ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil hadits-hadits, fi'liyah saja,
sementara menolak hadits-hadits qauliyah, padahal perputaran Sunnah itu banyak
berkisar pada hadits-hadits qauliyah.
Termasuk kebodohan mereka adalah
bahwa dengan itu sebenarnya mereka telah bertentangan dengan Al Qur'an itu
sendiri dan keluar dari ijma' ummat serta mengingkari sesuatu yang sudah
menjadi kepastian dari agama.
Jika kita biarkan mereka dan kita terima
kata-kata mereka yang mardud yaitu tentang Sunnah, maka mereka akan segera
melangkah dengan langkah yang lebih berani dan lebih keji, yaitu berani untuk
menolak Al Qur'an itu sendiri dan juga menolak hukum-hukum Al Quran yang
permanen dan pasti.
Tidak heran jika kita dapatkan di
antara mereka ada yang menulis tanpa mempunyai perasaan malu dengan maksud
ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa perintah atau
larangan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Semua itu mereka
lakukan dengan alasan mengikuti perkembangan zaman dan atas nama
"reaktualisasi" dengan memelihara ruh Islam bukan bentuk zhahirnya.
Ada salah seorang di antara
mereka yang memiliki kesempatan untuk menulis di surat-surat kabar dan
majalah-majalah dengan semaunya ia mengatakan dalam tulisannya,
"Sesungguhnya Al Qur'an itu tidak diturunkan untuk mengatur era ruang
angkasa, tetapi untuk mengatur masyarakat primintif jahiliyah." Ini
merupakan tuduhan kepada Allah yang Maha Agung akan dangkalnya ilmu-Nya, seakan
Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh makhluk-Nya setelah satu masa
ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa
ayat tentang hukum potong tangan itu diturunkan sekedar untuk menakut-nakuti
orang yang mencuri onta orang Arab di padang pasir jazirah Arab karena di atas
unta itu terdapat benda-benda berharga dan kehidupannya.
Seandainya orang yang menuduh
seperti itu memiliki sedikit pengetahuan tentang sejarah bangsa Arab pada masa
kenabian pasti akan mengetahui bahwa tidak ada pencurian terhadap unta mereka
pada saat itu. Bahkan dibiarkan bebas di daratan pun tidak ada yang mau
mengambil. Padahal bersamanya ada terumpah dan minumannya. Adapun kasus
pencurian pada saat itu tidak ada kaitannya dengan unta.
Kita mengajak untuk berijtihad
dan bukan asal-asalan, untuk tajdid (pembaharuan) dan bukan perusakan, untuk
fiqih yang terjaga orisinalitasnya dan bukan saling tuduh yang tanpa dasar.
ISLAM BUKANLAH AJARAN YANG
LABIL
Sesungguhnya prinsip-prinsip umum
yang kita dakwahkan itu jelas dan nyata, sebagaimana telah kita jelaskan di
dalam pembahasan dan kitab-kitab lainnya.
Sebagian orang yang meragukan
atau menentang dakwah untuk terlaksanannya syari'at Islam itu menulis dengan
salah faham, mereka mengira bahwa syari'at Islam yang didakwahkan merupakan
sesuatu yang labil, tidak memiliki kriteria dan batasan yang pasti, sehingga
setiap hakim (penguasa) atau setiap kelompok memberikan penafsiran
sendirisendiri, semaunya.
Sehingga kita dapatkan ada yang
mengatakan, "Islam yang manakah yang kalian dakwahkan kepada kita dan yang
kalian tuntut kami untuk melaksanakannya? Kita telah melihat Islam yang
sebagian penguasa mengaku menerapkannya saat ini adalah berbeda-beda satu
negara dengan negara lainnya. Di sana ada Islam Sudan, Islam Iran, Islam
Pakistan dan Islam Libya!! Atau sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang
dengan istilah; Islam Numairi, Islam Khumaini, Islam Dhiya'ul Haq dan Islam
Qadafi. Islam yang manakah yang kalian maksud?"
Maka kita katakan kepada mereka,
"Sesungguhnya Islam adalah Islam, tanpa disandarkan kepada seseorang atau
suatu golongan kecuali kepada pembuatnya atau yang menyampaikannya. Itulah
Islam versi Al Qur'an dan As-Sunnah. Tidak dikaitkan dengan nama seseorang,
kecuali nama Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah sebagai pembawa khabar
gembira, memberi peringatan kepada manusia serta mengajak mereka ke jalan
Allah. Maka menjadilah ia ibarat pelita yang terang.
Meskipun terdapat banyak
penafsiran (interpretasi) dan praktek pengamalan syari'at Islam yang
berbeda-beda satu sama lain, namun di sana tetap ada suatu substansi dan esensi
yang sama dalam masalah-masalah yang ushul (pokok). Hal ini menunjukkan adanya
kesatuan (keseragaman) dalam hal aqidah, prinsip, perasaan dan perilaku bagi
ummat. Itulah lingkup Al Qath'iyat (hal-hal yang bersifat aksiomatis) di mana
ummat bersepakat baik secara teori (konsep, maupun secara pelaksanaan, dan
telah meresap di dalam fikiran dan hati serta kehidupan mereka selama beberapa
kurun (empat belas abad) yang telah dilalui oleh mereka.
Banyak hal yang bersifat
aksiomatis dalam masalah aqidah dan pemikiran, dalam ibadah dan syi'ar, dalam
hukum dan perundang-undangan, dalam akhlaq dan tata kehidupan, semua itu
termasuk sesuatu yang tidak diperselisihkan dan tidak berbenturan di antara kaum
Muslimin.
Hal-hal seperti inilah yang
menjadi asas syari'at dan intinya. Itulah yang dapat menentukan arah dan
tujuan, dan menggambarkan sistem dan metodenya serta menentukan gambaran dan
pengelompokannya.
Adapun masalah-masalah yang tidak
qath'i (tidak bersifat aksiomatis) dari hukum-hukum dan aturan-aturan, itu pun
tidak dibiarkan untuk dijadikan permainan hawa nafsu yang menguasai, atau
kerancuan pemikiran yang menyerang, atau kesewenang-wenangan penguasa yang ada
untuk memahami semaunya dan menafsirkan seenaknya, tanpa landasan yang benar
dan bukti yang kuat.
Tidak, tetapi di sana ada
"Ushul" dan "Kaidah-kaidah" yang dibuat oleh para imam
untuk memperkuat adanya nash syarti terlebih dahulu, kemudian memahami maknanya
dan selanjutnya beristinbath (mengeluarkan hukum dan menyimpulkan) permasalahan
yang tidak ada nashnya.
Oleh karena itu di sana terdapat
ilmu ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqih ushulul hadits, ushuluttafsir dan yang
lainnya dari berbagai bidang ilmu yang menjadi perangkat untuk memahami dan
menyimpulkan.
Tidak mengapa bahwa di sana
terdapat banyak lembaga dan madzhab dalam memahami dan menyimpulkan
permasalahan, selama dia berdasarkan pada prinsip-prinsip dan sistematika
keilmuan yang mapan, serta berdasarkan dalil dan bukan atas dasar hawa nafsu
atau taklid buta.
Barangkali perbedaan pendapat di
sini juga berfungsi sebagai sumber pengayaan khasanah pemikiran Islam dan amal
Islami apabila diletakkan dalam kerangka yang benar.
KEMESTIAN ADANYA TADARRUJ
(TAHAPAN)
Sesungguhnya tadarruj (tahapan)
itu merupakan salah satu Sunnah (ketetapan) Allah yang berlaku pada seluruh
makhluk ciptaan-Nya. Sungguh Allah telah menciptakan manusia dalam beberapa
fase, yaitu dari segumpal darah, kemudian segumpal daging, lalu diberi tulang
dan seterusnya. Allah juga menciptakan dunia selama enam hari, Allah Maha
Mengetahui terhadap setiap hari dari enam-hari tersebut berapa lamanya?
Sebagaimana Allah telah
memerintahkan dengan yang wajib dan melarang dari yang haram dengan proses dan
tahapan. Yang demikian ini karena mempertimbangkan kelemahan manusia dan karena
kasih sayang kepada mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa
syari'at Islam itu telah sempurna, akan tetapi penerapannya pada saat ini
memerlukan pengkondisian dan persiapan, untuk dapat mengarahkan masyarakat
menuju iltizam (komitmen) kepada keislaman yang shahih, setelah sekian waktu mereka
tenggelam dalam kehidupan yang kebarat-baratan.
Beberapa negara telah mulai
melaksanakan sebagian dari hal tersebut, sementara sebagaian yang lain masih
tetap konsisten dengan atribut kejahiliyahannya. Ini semua memerlukan usaha dan
kesungguhan yang maksimal, sehingga kita mampu menghilangkan kendalakendala dan
meredam goncangan-goncangan. Untuk kemudian berupaya mewujudkan alternatif
pengganti dan mendidik kader-kader pelaksana yang terpercaya, yang tergabung
padanya antara kekuatan dan amanah (kepercayaan), karena untuk memperoleh
keduaduanya pada diri manusia itu sungguh sulit dan langka. Sebagaimana
dirasakan oleh pendahulu kita, sampai Umar RA pernah berkata (berdoa):
"Ya Allah, sesungguhnya aku
mengadu kepada-Mu akan lemahnya orang yang bisa dipercaya dan kuatnya orang
yang fajir (tidak bisa dipercaya dan banyak dosa)."
Oleh karena itu tidak terlarang
menggunakan tahapan dalam menerapkan (suatu hukum), karena demi menjaga kondisi
manusia dan dalam rangka mengikuti taujih Rasulullah SAW sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah
mencintai kelembutan (sikap lemah lembut) dalam segala sesuatu."
Sebagaimana hal seperti ini
pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz RA.
Ahli sejarah menceriterakan dari
Umar bin Abdul Aziz, bahwa anaknya yang bernama Abdul Malik pernah berkata
kepadanya, "Wahai bapakku, mengapa engkau tidak melaksanakan hukuman
(untuk mereka)? Demi Allah saya tidak peduli meskipun periuk mendidih merebus
saya dan engkau selama dalam kebenaran."
Ini adalah ungkapan seorang
pemuda yang bertaqwa dan penuh semangat. Dia berpikir bahwa bapaknya telah
dikaruniai oleh Allah kekuasaan (kepemimpinan) atas orang-orang yang beriman,
sehingga dapat menghukum dan memberantas segala bentuk kezhaliman dan kerusakan
secara spontan tanpa pelan-pelan. Sehingga untuk itu dia siap menerima segala
resiko yang akan menimpa. Maka bagaimana jawaban sang ayah sebagai seorang
khalifah yang bijaksana sekaligus seorang mujtahid yang faqih?
Umar bin Abdul 'Aziz berkata,
"Jangan engkau tergesa-gesa wahai anakku, sesungguhnya Allah pernah
mencela khamr dalam Al Qur'an dua kali dan mengharamkannya pada kali yang
ketiga. Aku khawatir jika membawa kebenaran ini kepada manusia secara spontan,
maka mereka pun menolaknya secara spontan pula, sehingga dari sinilah akan
muncul fitnah."
Tampak di sini bahwa khalifah
ingin menyelesaikan sesuatu dengan bijaksana dan bertahap, dengan mengambil
petunjuk dari manhaj Allah Ta'ala yang telah mengharamkan khamr kepada
hamba-hamba-Nya dengan cara bertahap. Lihatlah alasannya yang benar dan tepat
yang membuktikan betapa beliau sangat mendalam kefahamannya dalam hal fiqih
Siyasah Syar'iyah, "Sesungguhnya aku khawatir jika aku membawa kebenaran
pada manusia secara spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan juga,
sehingga dari sinilah munculnya fitnah." Maksudnya beliau ingin memberi
minum kepada mereka seteguk demi seteguk dan membawa mereka untuk menuju
kebenaran itu selangkah demi selangkah.
Pada kesempatan yang lain anaknya
pernah masuk kerumahnya dengan semangat keimanan yang membara, ia berkata
sambil emosi, "Wahai Amirul Mukminin! Apa yang akan engkau katakan kepada
Tuhanmu besok jika Dia bertanya kepadamu, dengan firman-Nya, "Kamu melihat
bid'ah tapi kamu tidak membunuhnya, atau mengetahui sunnah, tetapi kamu tidak menghidupkannya?"
Ayahnya berkata, "Semoga Allah merahmati kamu dan semoga membalas kamu
dengan kebaikan, wahai anakku! Sesungguhnya kaummu telah mengikat hal itu satu
ikat satu ikat, dan ketika aku ingin memaksa mereka untuk melepaskan sesuatu
yang ada di tangan mereka, saya tidak aman jika merebutnya dengan keras, karena
akan semakin banyak mengeluarkan darah. Demi Allah lenyapnya dunia lebih ringan
bagiku daripada penumpahan darah, yang disebabkan karena aku. Apakah kamu tidak
rela jika tidak datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini
kecuali dia telah membunuh bid'ah dan menghidupkan sunnah pada han itu."
Bertahap dengan arti seperti ini
bisa diterima dan dia termasuk Sunnah kauniyah sekaligus Sunnah syar'iyah.
Segala sesuatu yang kita tegaskan di sini hendaklah tidak menjadi alasan untuk
menunda-nunda dan menyegerakan beramal terhadap syari'at Islam. Apalagi sampai
mematikan tema (persoalan penting) itu sepanjang zaman atas nama tadarruj
(bertahap). Yang wajib bagi kita adalah mengikuti siasat Umar bin Abdul Aziz,
yaitu hendaklah jangan melewatkan satu hari kecuali sebuah bid'ah akan mati dan
sebuah Sunnah hidup pada hari itu. Dengan demikian terwujudlah sebuah tahapan
yang baik. Dari sinilah maka esensi tadarruj sesungguhnya adalah menentukan
tujuan, menyiapkan perencanaan (planning), menentukan fase dan tahapannya dan
memperkuat kemampuan untuk berkhidmah pada tujuan yang telah dicita-citakan.
Oleh karena itu kita dituntut
untuk membuat perencanaan dan persiapan agar dapat menciptakan perubahan. Baik
dalam aspek pendidikan maupun publisistik (pers dan informatika), secara
keilmuan atau sosial kemasyarakatan. Dengan memulai dari sesuatu yang tidak
memerlukan tahapan dan tidak pula memerlukan persiapan, tetapi memerlukan
keshahihan orientasi dan kebenaran tekad, ketika tekad sudah bulat maka jalan
pun menjadi terang.
TIDAK BISA MENERAPKAN ISLAM
DENGAN BENAR KECUALI ORANG YANG MENGIMANINYA
Sesungguhnya syari'at Islam tidak
mungkin diterapkan dengan penerapan yang sebenarnya kecuali oleh orang-orang
yang beriman (percaya) terhadap kesuciannya, Rabbaniyah sumbernya, keadilan
hukumnya, ketinggian tujuannya, dan orang-orang yang beribadah kepada Allah
dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada-Nya. Inilah yang membuat mereka
bersemangat untuk memahaminya dengan pemahaman yang detail, memahami
hukum-hukumnya dan tujuannya secara mendalam. Kemudian mereka berlomba untuk
menghilangkan hambatan-hambatan yang ada di hadapannya, sebagaimana mereka
senang untuk menjadi contoh yang baik terhadap pelaksanaan prinsip-prinsipnya
dan teladan yang baik bagi orang-orang yang belum puas terhadapnya, sehingga
orang lain bisa melihat mereka dalam keimanan, akhlaq dan perilakunya. Dengan
begitu orang-orang yang melihat mereka akan mencintai syari'at, karena telah
melihat sendiri pengaruhnya yang nyata dalam kehidupan.
Demikianlah para sahabat dan kaum
Muslimin generasi awal dahulu. Manusia mencintai Islam setelah Islam mencintai
mereka. Kemudian mereka berbondong-bondong masuk ke dalam Islam karena tertarik
dengan keindahan akhlaq dan keikhlasan para shahabat. Sungguh para shahabat
adalah ibarat Qur'an yang hidup dan berialan di tengah-tengah mereka.
Sesungguhnya kebanyakan dari
kendala yang dihadapi dewasa ini dalam menerapkan syari'at Islam--yang menjadi
sasaran kritik dan pelecehan dari orang-orang yang mengkritik-- adalah karena
syari'at itu dinisbatkan, diserukan dan dipraktekkan oleh orang-orang yang
bukan ahlinya. Yang saya maksud "bukan ahlinya" di sini adalah mereka
yang tidak memahami hakikat (esensi) dari syari'at Islam tersebut dan orang
yang memahami namun melalaikannya. Rasa memiliki (sense of belonging) tidak
lagi ada pada mereka, sehingga tidak bersemangat dan tidak beriltizam terhadap
syari'at itu sendiri.
Sesungguhnya risalah yang besar
memerlukan pemelihara dan pendukung yang kuat pula, mereka itulah yang pertama
kali bertanggung jawab terhadap penyebaran dan pelaksanaan nilai-nilai dan
ajarannya di tengah kehidupan masyarakat. Tanpa begitu, maka penerapan syari'at
hanyalah sekedar lahirnya saja, dan tak akan sampai bisa merubah pola hidup
masyarakat dari akarnya dan tidak bisa menerobos kebaikan itu dari dasarnya.
SYARI'AT BERLAKU UNTUK RAKYAT
SEBAGAlMANA UNTUK PEMERINTAH
Sesungguhnya penerapan syari'at
bukanlah khusus diberlakukan atas para penguasa saja, meskipun mereka adalah
orang yang pertama kali dituntut karena mereka memegang kekuasaan di tangannya,
sehingga bisa banyak melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh yang
lainnya. Dahulu ulama salaf mengatakan, "Seandainya kita memiliki doa yang
dikabulkan maka kita akan berdoa untuk penguasa, karena sesungguhnya Allah
memperbaiki makhluknya yang banyak dengan kebaikan penguasa itu."
Ini dilakukan di saat kendali
pendidikan, penerangan dan sarana hiburan tidak berada di tangan penguasa
seperti sekarang ini.
Selain itu kita katakan bahwa
sesungguhnya bagi rakyat ada tanggung jawab untuk melaksanakan syari'at dalam
banyak hal yang tidak memerIukan campur tangan pemerintah.
Sesungguhnya kebanyakan dari
hukum halal dan haram dan hukum-hukum yang menentukan hubungan individu dengan
individu yang lain, seseorang dengan rumah tangganya dan seseorang dengan
masyarakatnya telah diabaikan oleh kaum Muslimin. Bahkan mereka menentang
perintah Allah dan melanggar ketentuan-Nya, padahal mereka tidak akan
memperoleh kebaikan kecuali kalau mereka mau melaksanakan hukum Allah dan
beriltizam terhadap perintah dan larangan-Nya dengan kesadaran dari diri mereka
sendiri dan perasaan mereka untuk senantiasa muraqabah (merasakan adanya
pengawasan) Allah terhadap mereka.
Wajib bagi para da'i, pemikir dan
pendidik untuk mencurahkan segenap usaha mereka agar ummat sadar dan mau
melaksanakan kewajibannya dalam menjalankan syari'at Allah. Bukan sekedar
memusatkan perhatian mereka dalam menuntut pemerintah untuk menerapkan syari'at
Islam, yang seakan-akan dengan tuntutan seperti itu berarti mereka telah melaksanakan
seluruh kewajiban mereka.
No comments:
Post a Comment