Wednesday, October 29, 2025

Tafsir Surah Al Mumtahanah

Pengantar

Surat ini merupakan salah satu episode dari silsilah tarbiah (pendidikan) iman, penataan sosial kemasyarakatan, dan sistem negara dalam masya­rakat berbudaya dan modern. Ia merupakan salah satu episode dari silsilah yang panjang atau bagian dari manhaj Ilahi yang terpilih bagi kaum muslimin yang terpilih pula. Allah telah memilih mereka se­bagai orang-orang yang ditugaskan untuk merea­lisasikan manhaj-Nya yang dikehendaki-Nya atas seluruh manusia, dalam bentuk praktisnya yang nyata. Hal ini demi tegaknya suatu sistem di atas bumi ini yang memiliki tanda-tanda dan batasan-batasan serta pribadi-pribadi yang istimewa dan berbeda.

Kadangkala manusia mencapai prestasi dalam penegakan sistem, dan kadangkala belum mencapainya. Namun, tugas penegakan itu masih terus tergantung di atas pundak mereka dalam usaha mencapainya. Dan, di hadapan mereka ada contoh praktis dan nyata dari gambarannya, yang suatu hari akan terwujud kembali di atas bumi ini. Oleh karena itu, hal ini membutuhkan persiapan yang panjang dalam beberapa langkah dan periode. Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang ter­jadi di sekitar lingkup masyarakat Islam atau yang berkaitan dengannya merupakan salah satu materi di antara materi-materi dalam rangka persiapan itu. Materi itu telah ditakdirkan dalam ilmu Allah yang di atasnya kemudian terbangun materi-materi lain yaitu penafsiran, penjelasan, komentar, dan peng­arahan.

Dalam huru-hara kejadian-kejadian dan peris­tiwa-peristiwa serta dalam arus kehidupan yang terus mengalir, pembentukan jiwa-jiwa menjadi sempurna untuk mewujudkan manhaj Ilahi itu di atas bumi ini. Di sana tidak ada pengasingan apapun bentuknya, melainkan hanya pengasingan dalam bentuk persepsi iman yang baru dan agar jangan sampai dicampur-aduk dengan sesuatu yang aneh dan asing darinya ketika pembentukan jamaah itu diintensifkan.

Pendidikan yang terus-menerus dilakukan ada­lah bertujuan untuk membentuk persepsi keiman­an yang khusus dan istimewa. Ia memiliki ciri khas tersendiri dalam hakikat dan tabiatnya yang terpisah dan asing dari persepsi-persepsi yang ada di dunia pada saat itu, dan di jazirah Arab secara khu­sus. Namun, orang-orang yang telah terbentuk dalam dirinya persepsi yang istimewa dan khusus ini, mereka tidak terasing dari kehidupan nyata serta kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang kacau-balau yang terjadi. Bahkan, mereka selalu terkait dan berkecimpung dalam kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa itu hari demi hari dan berkali-kali. Keterlibatan mereka dalam suatu urusan berkali-kali terjadi dan di bawah berbagai macam peng­aruh. Karena, Allah yang telah menciptakan jiwa-jiwa ini Maha Mengetahui bahwa bukanlah semua jiwa dapat membekas dengan suatu pengaruh dan sentuhan. Tidak semua jiwa dapat merespons dan kemudian terbentuk sesuai dengan yang diingin­kan hanya dengan satu sentuhan. Namun, adakala­nya membutuhkan pengaruh dan sentuhan yang berkali-kali.

Allah Maha Mengetahui bahwa sisa-sisa tradisi masa lalu, dorongan insting-insting manusia, kelemahan manusia, pengaruh-pengaruh kejadian, dominasi tradisi dan adat, semua itu bisa menjadi halangan dan rintangan yang kuat sehingga dapat mengalahkan faktor-faktor tarbiah dan pengarahan berkali-kali. Oleh karena itu, untuk menghadapinya diperlukan peringatan yang berturut-turut dan ke­terlibatan yang terus-menerus. Jadi, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa datang dan terjadi berturut-turut sebagaimana yang telah dirancang dalam takdir Allah. Karena itu, nasihat-nasihatpun datang berulang-ulang. Di sam­ping itu, ada peringatan tentang kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa itu serta pengarahan de­ngan hidayah yang tersirat di dalamnya berkali-kali.

Rasulullah selalu berada dalam kesadaran dan ilham yang cerdas dengan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa serta kesempatan-kesempatan dalam setiap peluang yang terbuka. Kemudian pelajaran itu diberdayakan dengan bijaksana dalam membangun jiwa-jiwa orang-orang yang beriman. Wahyu dan ilham selalu mendukung Rasulullah dan memperkuat diri beliau sehingga komunitas kaum muslimin yang terpilih itu membuat prestasi dengan tuntunan dari Allah, dengan taufik dari-Nya dan di bawah bimbingan Rasulullah.

Surat ini merupakan episode dari silsilah per­siapan yang panjang itu. Ia membawa misi untuk membangun alam dan nuansa Rabbani yang penuh dengan nilAl nilai ketuhanan yang normal dan ikhlas dalam jiwa-jiwa setiap mukmin. Suatu alam dan dunia yang dikendalikan oleh keimanan kepada Allah semata-mata. Alam dan dunia itu memperkuat orang-orang yang beriman dan mendorong mereka menuju lingkaran iman itu dengan satu ikatan yang tidak akan terputus. Iman ini membebaskan me­reka dari segala fanatisme lain; fanatisme bangsa, fanatisme jenis, fanatisme tanah air, fanatisme ke­rabat atau keluarga. Semua ikatan dan fanatisme itu dikesampingkan dan diletakkan di atasnya satu-satunya ikatan. Yaitu, ikatan iman kepada Allah, bernaung di bawah panji Allah di dalam partai dan kelompok tentara Allah.

Sesungguhnya alam dan dunia yang dikehen­daki oleh Islam adalah alam yang Rabbani dan insani (manusiawi) sekaligus. Rabbani yang ber­makna bahwa setiap tiang-tiang dan tuntunan-tun­tunannya terambil dari pengarahan Allah dan ke­bijakan-kebijakan hukum-Nya. Dan, ia mengarah kepada Allah dengan segala persepsi dan perbuat­annya.

Sementara itu, insani bermakna bahwa ia me­liputi seluruh jenis manusia dalam wawasan aqidah. Di dalamnya terkikislah segala perbedaan-perbeda­an jenis, negeri, bahasa, dan garis keturunan. Juga terkikislah segala faktor ikatan lain yang membuat manusia terpisah dari lainnya selain ikatan iman. Inilah alam yang tinggi dan layak untuk ditempati oleh manusia yang mulia di mata Allah karena tubuhnya mengandung tiupan ruh dari Allah.

Tanpa membangun alam dan dunia seperti itu, di sana terdapat berbagai macam rintangan dan halangan. Di dunia Arab saat itu dan hingga di se­luruh dunia saat ini terdapat berbagai macam problematika seperti fanatisme terhadap rumah tangga, keluarga, suku dan kaum, jenis, dan negeri. Di samping itu, di sana ada juga fanatisme terhadap kepentingan-kepentingan pribadi, hawa nafsu, tamak, rakus, bakhil, cinta yang berlebihan kepada diri sendiri (egois), sombong, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya. Juga berbagai macam warna dari kandungan-kandungan negatif yang terdapat dalam nurani. Islam membawa misi untuk mengatasi segala problematika di atas dalam masyarakat muslim yang dipersiapkan untuk merealisasikan manhaj Allah di bumi ini dalam gambaran praktik yang nyata. Gambaran episode yang ada dalam surat ini merupakan salah satu episode dari solusi dan usaha terapi sosial yang panjang itu.

Sebagian kamu Muhajirin yang telah meninggal­kan negeri, harta benda, dan keluarga mereka di atas  jalan mempertahankan aqidah mereka, jiwa-­jiwa mereka masih terikat dengan sebagian dari apa yang telah mereka tinggalkan di Mekah, berupa keturunan, isteri, dan kerabat. Walaupun mereka telah menemui dan menghadapi beberapa bentuk penyiksaan dan kesulitan dari Quraisy, masih tetap ada sebagian dari mereka yang menginginkan antara mereka dan penduduk Mekah terjadi jalinan hubungan yang lebih baik dan ikatan kasih sayang. Mereka menginginkan berakhirnya permusuhan dan perang yang kejam, sehingga mereka harus menanggung beban memerangi keluarga dan kerabat mereka. Hal itu membuat segala ikatan dan hubungan antara mereka dengan kerabat dan keluarga menjadi terputus.

Allah menginginkan agar jiwa-jiwa kaum Muha­jirin menjadi bersih dan murni dari segala ikatan-ikatan. Sehingga, jiwa-jiwa itu hanya tertuju untuk agama-Nya, aqidah-Nya, dan manhaj-Nya. Allah Maha Mengetahui tentang beratnya tekan­an yang dipikul oleh jiwa-jiwa itu berupa dorongan­dorongan insting dan sisa-sisa tradisi jahiliah. Orang Arab biasanya adalah orang-orang yang sangat memegang tabiat mereka dan fanatisme golongan, fanatisme kaum, fanatisme kerabat dan rumah tangga mereka. Maka, Allah mengikis hal itu dengan terapi puncak yang me­liputi kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa ber­sama komentar-komentar dan arahan-arahannya. Tujuannya agar terapi itu benar-benar terjadi lewat pentas kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa. Juga agar jalan-jalan dan rel-rel mereka menjadi kokoh dan membaja.

Riwayat-riwayat menyebutkan kejadian tertentu berkenaan dengan sebab turunnya ayat-ayat permulaan dari surat ini. Bisa jadi riwayat-riwayat itu sahih yang berkenaan dengan sebab nuzul yang langsung. Namun, jangkauan teks-teks Al Qur'an selalu lebih jauh daripada kejadian langsung yang terjadi pada saat itu. Disebutkan dalam kejadian itu bahwa Hatib bin Balta'ah termasuk salah seorang dari kelompok Muhajirin. Dia juga termasuk salah seorang dari tentara yang mengikuti pasukan Rasulullah dalam Perang Badar. Dia memiliki anak-anak dan harta benda yang tertinggal di Mekah. Tetapi, dia bukan­lah termasuk dari suku Quraisy, namun dia terikat perjanjian persekutuan dengan Utsman. Setelah Rasulullah bermaksud menyerang dan menakluk­kan kota Mekah karena orang-orang Quraisy me­langgar perjanjian Hudaibiyah, maka beliaupun memerintahkan kepada setiap kaum muslimin agar bersiap-siap untuk berperang. Rasulullah berdoa,

"Ya Allah, tutuplah berita ini atas mereka (Quraisy).

Rasulullah memberitakan kepada sekelompok dari sahabat tentang sasaran serangan beliau, di antaranya adalah Hatib bin Balta'ah. Kemudian dengan sengaja Hatib menulis surat dan mengirim­kannya bersama seorang wanita musyrik (konon katanya dari Muzainah, dia datang ke Madinah untuk mencari nafkah dan bantuan harta). Hatib mengirim surat kepada penduduk Mekah untuk memberitahukan mereka tentang persiapan Rasulullah untuk memerangi mereka. Dengan demi­kian, dia akan mendapat pertolongan dari mereka. Allah memberikan ilham kepada Rasulullah se­bagai bentuk pengabulan dan ijabah dari doa beliau di atas. Juga sebagai persetujuan-Nya dan pelaksaanan takdir-Nya dalam menaklukkan Mekah. Maka, Rasulullahpun mengutus beberapa sahabat untuk me­ngejar wanita itu dan merampas surat itu darinya. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhari dalam bab Maghazi (perang), dan diriwayatkan oleh Mus­lim dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut

Dari Hushain bin Abdurrahman, dari Sa'ad bin Ubaidah, dari Abi Abdirrahman As Sulami, dari Ali ra bahwa ia berkata, "Aku diutus oleh Rasulullah bersama Abu Murtsid dan Az Zubair ibnul Awwam (kami semua adalah penunggang kuda). Rasulullah menitahkan,

'Bertolaklah kalian hingga sampai ke kebun Khakh, karena sesungguhnya di sana terdapat seorang wanita musyrik dan bersamanya terdapat sepucuk surat dari Hatib bin Balta'ah yang ditujukan buat orang-orang musyrik.

Kamipun mengejarnya dan mendapatinya se­dang menunggang unta sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah. Maka, kami mengintro­gasinya, 'Mana surat yang kamu bawa?' Dia men­jawab, Tidak ada sepucuk suratpun bersamaku. , ' Lalu kami memerintahkan untanya untuk men­derum, lalu kami mencari surat itu. Namun, kami tidak melihat sepucuk surat pun. Kami berkata, "Rasulullah tidak mungkin berdusta. Jadi, keluar­kanlah surat itu atau kami akan menelanjangimu!' Setelah dia melihat kesungguhan kami, maka diapun luluh kemudian menurunkan tangannya ke tali pinggangnya. Dia memakai tas pinggang dari kain. Kemudian dia mengeluarkan surat itu darinya.

Maka, kami kembali pulang membawanya me­nuju Rasulullah. Lalu Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Maka, biarkanlah aku untuk menebas lehernya. ' Lalu Rasulullah bertanya kepada Hatib, 'Apa yang men­dorongmu untuk melakukan hal ini?' Hatib men­jawab, "Demi Allah, sesungguhnya aku tidak ber­buat apa-apa melainkan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku ingin mendapatkan bantuan dari kaum kafir Quraisy, yang dengannya Allah melin­dungi keluargaku dan harta bendaku. Dan, tidak seorangpun dari sahabatmu, melainkan dia me­miliki di sana sanak famili yang dengannya Allah melindungi keluarganya dan harta bendanya. '

Rasulullahpun bersabda, Dia benar dan jujur, maka janganlah kalian mengatakan sesuatu kepadanya melainkan perkara yang baik. Lalu Umar berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah meng­khianati Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang ber­iman. Maka, biarkanlah aku untuk menebas leher­nya. ' Maka, Rasulullahpun bertanya kepadanya, Bukankah Hatib termasuk ahli Badar (pasukan Rasulullah dalam Perang Badar). ' Lalu Rasulullah me­nyambung sabdanya, 'Sesungguhnya Allah telah mengenal ahli Badar, dan berfirman kepada mereka, 'Berbuatlah sekehendak kalian, karena sesungguhnya surga itu telah pasti untuk kalian (Atau Aku telah mengampuni kalian). "Maka, Umarpun menangis dan berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. "

Bukhari menambah dalam kitab Al Maghazi, "Lalu Allah menurunkan surat Al Mumtahanah ayat 1, 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. . . . "

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa yang diutus oleh Rasulullah adalah Ali, Zubair, dan Miqdad.

Kita renungi sejenak kasus ini dan apa yang terjadi di sekitarnya, yang tidak mengeluarkan kita dari "nuansa Al Qur'an", pendidikan dengannya serta dengan kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, komentar-komentar dari Rasulullah sebagai pe­mimpin dan pendidik (murobbi) yang agung.

Hal pertama yang harus direnungkan oleh orang-orang adalah kelakuan Hatib, yaitu seorang muslim yang telah berhijrah. Dia termasuk salah seorang yang diberitakan kepadanya tentang rahasia misi dan penyerangan ke Mekah. Di sana terdapat fak­tor-faktor yang menyingkap tentang penyimpang­an-penyimpangan jiwa manusia yang sangat me­nakjubkan. Kadangkala jiwa manusia walaupun telah sampai kepada kesempurnaan dan kekuatan puncaknya, namun pada kondisi-kondisi tertentu menjadi lemah karena kelemahannya sebagai ma­nusia. Dan, tidak ada yang dapat menjaganya dalam kondisi-kondisi demikian, melainkan hanya Allah semata-mata yang dapat menolongnya.

Kemudian sekali lagi manusia melihat keagung­an Rasulullah. Beliau tidak tergesa-gesa memutus­kan hukuman hingga Beliau bertanya kepada Hatib, "Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal ini?" Beliau bertanya dengan penuh kelapangan dada dan dengan kasih sayang terhadap kondisi kele­mahan yang menimpa Hatib, karena beliau diilhami oleh Allah bahwa dia jujur. Oleh karena itu, beliau melarang para sahabatnya untuk mencela dan meng­hardiknya, "Dia benar dan jujur, maka janganlah kalian mengatakan sesuatu kepadanya melainkan per­kara yang baik. " Beliau ingin membantunya dan membangkit­kannya kembali dari ketergelincirannya. Rasulullah sama sekali tidak mengusirnya dengan perbuat­annya itu, dan tidak membiarkan seorangpun mengusirnya karenanya.

Dalam fenomena lain, kita menemukan keimanan yang sungguh-sungguh, tajam, dan kokoh dalam diri Umar, "Sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Maka, biarkanlah aku untuk menebas lehernya. " Namun, Umar hanya melihat kepada peng­khianatan dan ketergelincirannya saja. Sehingga, hal itu membangkitkan perasaannya yang tegas dan imannya yang kokoh. Sedangkan, Rasulullah me­lihat kepada kasus ini dari sela-sela pengetahuannya yang luas dan mencakup terhadap jiwa manusia secara hakiki dan dari segala sisi-sisinya. Bersama dengan itu, beliau juga sangat kasih dan terhormat di mana hal itu diilhami oleh makrifahnya yang sempurna dan total. Itulah seharusnya sikap pen­didik (murobbi) yang mulia, penuh kasih sayang, berhati-hati, dan melihat segala aspek dan kondisi.

Kemudian orang-orang berhenti sejenak mere­nungi perkataan Hatib ketika dia berada dalam kondisi lemahnya. Namun, pandangannya tentang takdir Allah perihal sebab-sebab duniawi adalah terambil dari pandangan iman yang benar. Hal itu ketika dia berkata, "Aku ingin mendapatkan ban­tuan dari kaum kafir Quraisy, yang dengannya Allah melindungi keluargaku dan harta bendaku. " Jadi dia tetap menyandarkan perlindungan ke­pada Allah. Dan, tangan-tangan yang membantu dari Quraisy itu tidak dapat melindungi keluarganya dengan dirinya semata-mata. Namun, Allah yang melindungi keluarganya dengan tangan-tangan mereka. Persepsi ini diperkuat oleh sisa ungkapan­nya ketika dia berkata, 'Tidak seorangpun dari sahabatmu, melainkan dia memiliki di sana sanak famili yang dengannya Allah melindungi keluarga­nya dan harta bendanya. "

Jadi Allah itu selalu hadir dalam persepsi dan gambaran iman Hatib. Jadi Allahlah yang melindungi, bukan keluarga mereka. Sesungguhnya keluarga itu hanyalah alat yang dipergunakan oleh Allah untuk melindungi keluarga mereka. Perasaan Rasulullah yang diilhami oleh Allah telah merasakan dan mempertimbangkan persepsi iman yang benar dan hidup ini dalam pernyataan Hatib. Inilah salah satu sebab dari sabda Rasulullah,

'Dia benar dan jujur, maka janganlah kalian mengata­kan sesuatu kepadanya melainkan perkara yang baik.

Akhirnya, manusia berhenti sejenak merenung­kan takdir Allah dalam peristiwa dan kasus ini. Yaitu, bahwa Hatib termasuk kelompok kecil yang dipercayai dan diamnanahkan oleh Rasulullah untuk menyimpan rahasia penyerangan ke Mekah. Dan, kelemahan manusiawi juga menimpanya walaupun dia termasuk kelompok kecil yang terpilih dalam seleksi Rasulullah.

Kemudian takdir Allah berlaku bahwa Dia men­cegah bahaya dari kondisi kelemahan sesaat itu yang bisa saja terjadi kepada orang-orang yang ber­iman. Seolah-olah Allah ingin mengungkapkan dan menyelesaikan kasus tersebut. Kemudian tidak boleh ada teguran dan kritikan dari orang-orang yang tidak termasuk ke dalam kelompok kecil pilihan itu atas kejadian yang telah terjadi. Lalu tidak boleh seorang menggembar-gemborkan, "Ini orang yang telah diberi amnanah rahasia, namun dia mengkhianatinya. Seandainya kita yang diberi amnanah rahasia itu, pasti kita tidak akan mengkhianatinya. " Pernyataan seperti itu tidak timbul sama sekali. Hal itu menunjukkan betapa tingginya adab orang-orang yang beriman terhadap pemimpin mereka, dan kerendahan hati mereka dalam berprasangka terhadap diri mereka sendiri. Mereka mengambil pelajaran dari kasus yang terjadi pada saudara mereka.

Kasus ini diriwayatkan dengan mutawattir. Se­dangkan, turunnya ayat-ayat berkenaan dengan peristiwa dan kasus ini hanya ada dalam riwayat Bukhari. Kami tidak meragukan keabsahan riwayat Bukhari ini, namun kandungan isi teks (nash) Al Qur’an adalah lebih jauh jangkauan dan sasar­annya. Dan, ia lebih tepat tuntunannya bahwa ia memberikan solusi bagi kondisi kejiwaan yang lebih luas daripada kasus Hatib raja, yang telah diriwayatkan dengan mutawattir. Hanya saja turun­nya Al Qur'an ini jelas berkaitan dengan peristiwa kasus itu seperti yang menjadi ciri khas dari Al Qur’an sendiri.

Al Qur'an ini mengatasi segala ikatan-ikatan ke­kerabatan, fanatisme yang kerdil, dan ketamakan nafsu terhadap peninggalan-peninggalan yang turun-temurun dan melekat. Tujuannya agar manusia keluar dari kesempitan dan tekanan ruang yang sempit menuju ke ruangan yang lebih tinggi dan luas.

Al Qur'an membentuk dalam diri manusia per­sepsi baru, norma baru, nilai-nilai baru, serta pemikiran baru tentang alam semesta dan kehidupan manusia. Juga tugas orang-orang yang beriman di atas bumi ini dan puncak tujuan dari manusia. Seolah-olah Al Qur’an itu menghimpun tumbuh-­tumbuhan yang kecil dan berserakan di bawah naungan Allah agar Dia mengajarkan dan men­cerahkan mereka tentang hakikat keberadaan mereka dan tujuan hidup mereka. Dengan demi­kian, Allah membuka mata mereka terhadap segala sesuatu yang mengelilingi mereka berupa per­musuhan, makar, dan tipu daya. Allah berkehendak agar mereka sadar bahwa mereka adalah penolong­-penolong dan tentara-tentara Allah. Juga sadar bahwa Dia berkehendak untuk memberikan mereka suatu perintah dan peran serta merealisasikan bagi mereka takdir yang mulia bagi mereka. Oleh karena itu, mereka harus tercelup dengan celupan label-Nya, memikul tanda pengenal-Nya, dan mereka dikenal oleh orang-orang yang lain dengan tanda pengenal dan celupan label itu baik di dunia maupun di akhirat. Maka, hendaklah mereka berlaku ikhlas kepada-Nya. Hendaknya mereka memutuskan segalanya untuk hanya ber­lindung kepada-Nya. Dan, hendaknya mereka membebaskan diri dari segala ikatan lain selain ikatan-Nya, baik dalam alam perasaan maupun dalam alam perilaku.

Surat ini dengan segala kandungannya meng­arah kepada tujuan di atas. Bahkan, ayat-ayat yang berkenaan dengan syariat dan sistem yang terdapat di akhir surat ini (yaitu, yang berkenaan dengan bermuamalah dengan wanita-wanita yang berhijrah dan berbaiat dengan wanita-wanita yang baru masuk Islam; pemisahan antara wanita-wanita mukminah dengan suami-suami mereka yang kafir; dan antara orang-orang yang beriman laki-laki dengan isteri-isteri mereka yang kafir) . . . merupakan aturan-aturan yang timbul dari pengarahan yang umum tersebut.

Kemudian surat ini diakhiri dengan sesuatu yang hampir sama dengan awalnya, yaitu larangan menjadikan musuh-musuh Allah sebagai teman dan penolong. Musuh-musuh Allah itu adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah baik dari kelompok orang-orang kafir maupun dari kelom­pok orang-orang Yahudi. Dengan demikian, sem­purnalah pemisahan dan perceraian orang-orang yang beriman dari segala ikatan-ikatan dan hu­bungan-hubungan yang ada selain ikatan aqidah dan ikatan iman.

Musuh Kaum Muslimin Adalah Musuh Allah

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-­teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal, sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan­-Ku, (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu mem­beritahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. " (Al Mumtahanah: 1-2)

Surat ini diawali dengan seruan yang penuh kasih dan sentuhan, 'Hai orang-orang yang beriman. . . .

Suatu seruan dari Tuhan mereka bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Mereka diseru atas nama iman yang dinisbatkan kepada mereka. Allah menyeru mereka agar mencerahkan hakikat-hakikat sikap mereka, memperingatkan mereka tentang jebakan-jebakan musuh-musuh mereka, dan mengingatkan mereka tentang beban yang dipikul oleh pundak-pundak mereka. Dengan penuh kasih sayang, Allah memberikan informasi bahwa musuh-Nya adalah musuh mereka pula, dan musuh mereka adalah musuh-Nya pula,

". Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan mu­suhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sam­paikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. , . . "

Allah menyadarkan orang-orang yang beriman bahwa mereka berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dia memusuhi siapapun yang me­musuhi mereka, karena mereka adalah penolong­-penolong-Nya yang bernisbat kepada-Nya dan orang-orang yang memikul tanda pengenal dari­-Nya di atas dunia ini. Mereka adalah kekasih-ke­kasih dan wali-wali-Nya. Maka, mereka tidak boleh memberikan kasih sayang kepada musuh-Nya dan musuh mereka. Dia mengingatkan mereka tentang kejahatan musuh-musuh itu atas mereka dan atas agama mereka, serta atas Rasul mereka. Permusuhan para musuh mereka terhadap semua itu adalah ke­jahatan dan kezaliman,

". . . Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. . . . "

Setelah musuh-musuhnya melakukan kejahatan dan kezaliman, apakah kaum beriman masih mencintai dan bertolong-menolong dengan musuh-­musuh mereka? Para musuh itu telah kafir terhadap kebenaran. Mereka telah mengeluarkan Rasulullah dan orang-orang yang beriman dari Mekah, bukan karena apa-apa, melainkan hanya karena mereka beriman kepada Allah Tuhan mereka. Sesungguh­nya kenangan-kenangan seperti itu selalu terlintas dalam hati orang-orang yang beriman yang sangat erat dengan aqidah mereka. Itulah perkara yang membuat orang-orang kafir memerangi mereka, dan bukan disebabkan oleh sebab lain.

Al Qur'an menampakkan dengan jelas perkara yang telah menyebabkan pertentangan, pertikaian. dan perang. Jadi, perkara itu adalah perkara aqidah bukan perkara lainnya, yaitu perkara kebenaran yang telah diingkari dan dikafirkan oleh orang-orang kafir itu. Mereka kafir kepada kebenaran itu dan kafir pula kepada orang yang membawanya, yaitu Rasulullah. Maka, merekapun mengeluarkan Rasulullah dari Mekah. Selain perkara itu adalah perkara iman yang membuat mereka mengeluar­kan orang-orang yang beriman dari tanah air dan kampung halamannya sendiri. Ketika perkara itu telah menjadi jelas demikian dan menjadi terang, maka Allah memperingatkan mereka bahwa di sana tidak ada ruang untuk men­jalin cinta dan kasih antara mereka dengan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Yakni, bila mereka telah keluar dari tanah air dan kampung halaman mereka sendiri demi mencapai ridha Allah dan berjihad di jalan-Nya.

". Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku, (janganlah kamu berbuat demikian). . . . "

Jadi, tidak mungkin terhimpun dalam hati sese­orang antara sikap berhijrah keluar untuk berjihad di jalan Allah dan mencari ridha-Nya dengan cinta dan kasih sayang kepada orang-orang yang telah mengeluarkan mereka karena keimanan kepada Allah dan mereka adalah musuh Allah dan musuh Rasul-Nya!

Kemudian Al Qur'an mengingatkan orang-orang yang beriman dengan peringatan tersembunyi dari apa yang tergolak dalam hati mereka dan apa-apa yang mereka sembunyikan dan rahasiakan kepada musuh-musuh mereka dan musuh-musuh Allah tentang kasih sayang. Karena, Allah mengetahui rahasia hati dan perkara yang jelas dan tampak darinya.

":. . Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. . . . "

Kemudian Allah mengancam mereka dengan ancaman yang keras dan menakutkan, yang menggetarkan hati orang-orang yang beriman sehingga gemetaran dan ketakutan,

“. . Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. " (Al Mumtahanah: 1)

Apakah ada perkara lain yang lebih ditakuti oleh seorang mukmin daripada tersesat dari jalan lurus setelah mendapat hidayah Allah dan sampai kepada puncak keimanan? Ancaman ini dan peringatan sebelumnya men­jadi perantara yang mencerahkan orang-orang yang beriman tentang hakikat musuh-musuh mereka dan apa yang mereka konspirasikan secara rahasia tentang makar kejahatan dan tipu daya. Kemudian muncullah sisanya,

'Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka ber­tindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu). . . . "

Maka, janganlah memberikan peluang sedikit­pun kepada mereka sehingga mereka dapat memukul dan mengenai orang-orang yang beriman. Akhirnya, merekapun bersikap seperti layaknya musuh yang sejati, dan mereka pasti akan menim­pakan kepada orang-orang yang beriman apapun yang mampu mereka lakukan dari segala bentuk azab dengan tangan, lisan, serta segala sarana dan segala cara. Yang lebih berbahaya daripada hal itu semua, serta yang lebih keras dan lebih kejam dan me­nakutkan adalah,

". . . Dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. " (Al Mumtahanah: 2)

Perkara ini bagi setiap mukmin lebih keras dan menyakitkan daripada segala penyiksaan dan ke­jahatan lain baik dengan tangan maupun dengan lisan. Orang-orang kafir itu menginginkan agar orang mukmin mengalami kerugian dalam per­bendaharaan yang paling dicintainya ini, yaitu per­bendaharaan iman. Mereka menginginkan orang-orang yang beriman kembali murtad dan kafir. Permasalahan itu merupakan permusuhan yang paling nyata dari segala permusuhan lainnya baik dengan lisan maupun dengan tangan.

Orang yang merasakan kelezatan iman setelah kekufuran dan mendapat hidayah cahaya iman setelah kesesatan, dan hidup sebagai seorang muk­min lengkap dengan pandangan-pandangan, per­sepsi-persepsi, pengetahuan-pengetahuan, perasa­an-perasaan, istiqamah dalam jalan dan ketenangan hatinya, . . . pasti membenci kembali kepada ke­kafiran sebagaimana diapun membenci dilempar­kan ke dalam api neraka. Bahkan, dia lebih mem­bencinya lagi daripada itu.

Jadi, musuh Allah adalah orang-orang yang meng­inginkan agar dirinya kembali kepada jurang kekufuran. Padahal, dia telah keluar darinya menuju taman iman. Atau, orang-orang yang kembali ke­pada kekosongan kufur yang menjatuhkan setelah memasuki alam iman yang tenteram dan damai. Oleh karena itu, Al Qur'an berangsur-angsur membangkitkan hati orang-orang yang beriman agar menghadapi musuh-musuh Allah dan musuh­-musuh mereka hingga sampai kepada puncaknya dengan firman-Nya kepada mereka

". . . Dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. "

Itulah penelusuran pertama dengan sentuhan­-sentuhannya yang bermacam-macam. Kemudian diikuti dengan penelusuran kedua dengan satu sentuhan yang memberikan solusi dan terapi ter­hadap perasaan-perasaan kekerabatan dan ikatan-­ikatan yang mengakar, di mana ia selalu bergolak dalam hati. Sehingga, mendorongnya kepada rasa kasih sayang, melupakannya dari beban-beban yang istimewa dan berbeda dalam aqidah,

"Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada ber­manfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan me­misahkan di antara kamu. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. "(Al Mumtahanah: 3)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu beramal dan berharap untuk kehidupan akhirat. Mereka menanam di dunia ini dan menanti panen di akhirat sana. Jadi sentuhan hatinya dengan se­suatu yang terjadi di akhirat yaitu pemutusan ikatan-ikatan kerabat semuanya (karena terputusnya ikatan aqidah), pasti akan menjatuhkan urgensi ikatan-ikatan itu dalam dirinya semasa hidupnya di dunia yang sementara ini. Hal itu dapat mengarahkannya kepada pencarian ikatan yang abadi yang tidak akan pernah putus di dunia ataupun di akhirat. Oleh karena itu, Allah berfirman kepada mereka,

"Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu. . . . "

Yaitu, orang-orang yang hati kalian condong ke­padanya dan terikat hati kalian kepadanya. Mereka memaksa kalian untuk mencintai musuh-musuh Allah, musuh-musuh kalian untuk menjaga mereka dan melindungi mereka, seperti yang terjadi pada kasus Hatib karena ingin menjaga anak-anak dan harta bendanya. Dan, sebagaimana hal itu juga ter­lintas dalam benak dan hati orang-orang yang lain, mengenai kaum kerabat dan anak-anak yang mereka tinggalkan di Madinah untuk menaklukkan Mekah.

Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada ber­manfaat bagimu. . . . "

Hal itu disebabkan bahwa,

". . . Pada hari Kiamat, Dia akan memisahkan di antara kamu. . . . "

Karena ikatan iman yang mengikat kalian ter­putus, karena tidak ikatan yang lain yang dapat mengikat di antara kalian di sisi Allah selain ikatan iman itu.

". . . Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. "(al Mumtahanah: 3)

Allah Maha Mengetahui atas amal yang nyata dan niatnya yang ada di balik nurani. Lalu muncullah penelusuran ketiga. Ia  meng­hubungkan orang-orang yang beriman dengan generasi awal dari umat yang satu ini (yaitu umat tauhid) dan kafilah yang satu ini (yaitu kafilah iman). Memang ia berjarak sangat jauh dalam zaman dan waktu, namun tetap sama dalam karakter iman yang terbebas dari segala ikatan lain yang menafikan ikatan aqidah.

Sesungguhnya umat tauhid terbentang sejak dari zaman Ibrahim, yaitu bapak tauhid orang-orang

beriman yang pertama dan pemilik aqidah hanifah yang pertama. Dalam diri Ibrahim terdapat teladan bukan hanya dalam bidang aqidah semata-mata, namun juga dalam perilaku. Juga dalam percobaan dan ujian yang dijalaninya dan dibebankan kepada­nya yaitu ujian kasih sayang kepada kaum kerabat dan ikatan-ikatan kekeluargaan. Kemudian Ibrahim lulus dari ujian bersama orang-orang yang beriman kepada Allah bersamanya, dan diapun tulus dan murni memperjuangkan aqidahnya semata-mata

"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi­mu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama de­ngan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sam­pai kamu beriman kepada Allah saja. ' Kecuali per­kataan Ibrahim kepada bapaknya, 'Sesungguhnya aku akan memohon ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah. ' (Ibrahim berkata), 'Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah orang-orang kafir. Dan, am­punilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Mahab Bijaksana. 'Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. " (Al  Mumtahanah: 4-6)

Orang-orang yang beriman dapat menyaksikan betapa mereka memiliki garis keturunan yang sangat mulia dan tua sekali. Mereka memiliki teladan yang masih diikuti berabad-abad lamanya dan telah lama sekali. Hal itu pangkalnya dirujukkan kepada Ibrahim, buhan hanya pada aqidahnya semata-mata, tapi juga dalam ujian-ujian dan percobaan-percobaan yang dijalaninya. Jadi, dia akan menyadari bahwa Ibrahim memiliki bekal pengalaman yang lebih besar dari bekal pengalaman yang dia miliki sendiri secara pri­badi. Juga lebih besar daripada bekal yang dimiliki oleh generasinya sendiri di mana dia hidup bersama mereka.

Sesungguhnya kafilah yang berkembang dalam setiap zaman dari orang-orang yang beriman kepada agama Allah, yang bernaung di bawah panji Allah telah berlalu dengan contoh yang ditinggal­kan jejak-jejaknya. Dalam perjalanannya tersebut, telah sampai kepada pengambilan keputusan yang ditetapkannya. Jadi, urusan tersebut bukanlah se­suatu yang baru, bukan pula perkara bid'ah dan beban sulit yang dipikulkan kepada orang-orang yang beriman.

Kemudian sesungguhnya ia adalah umat yang panjang dan luas yang bertemu dalam aqidah dan merujuk kepadanya, bila terjalin hubungan antara umat dengan musuh-musuh aqidahnya. Jadi, orang-orang Islam hanyalah salah satu cabang dari pohon aqidah yang besar yang telah ditanam oleh orang-orang beriman yang terdahulu yang diawali oleh Ibrahim. Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya me­lewati ujian-ujian yang juga dihadapi dan dirasakan oleh para Muhajirin yang berhijrah ke Madinah. Dalam pribadi Ibrahim dan orang-orang yang ber­samanya, terdapat uswah hasanah 'teladan yang baik',

"Sesunguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi­mu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama de­ngan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sam­pai kamu beriman kepada Allah saja. '. . . . "

Hal itu merupakan pelepasan diri dari kaum dan segala persembahan mereka dan ibadah-ibadah mereka. Yaitu, mengingkari kekufuran mereka dan beriman kepada Allah. Permusuhan dan kebencian tidak akan pernah putus terhadap kaum itu hingga mereka benar-benar beriman kepada Allah semata-­mata. Hal itu merupakan pemisahan yang tegas dan pasti yang tidak lagi menyisakan lagi ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan setelah terputusnya ikat­an aqidah dan hubungan iman. Dalam hal ini, ter­dapat keputusan final dalam ujian yang harus di­tempuh dan dilalui oleh setiap mukmin pada setiap generasi. Dalam keputusan dan ketetapan Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, terdapat suri tauladan bagi orang-orang yang datang setelah mereka dari kaum mukminin hingga hari kiamat.

Beberapa orang yang beriman telah mendapat­kan dalam istighfar Ibrahim untuk bapaknya (pada­hal bapaknya adalah seorang yang musyrik) suatu tembusan dan lorong yang dapat melepaskan perasaan cinta mereka yang tertahan dan perasaan yang terhubung dengan kerabat-kerabat mereka yang masih musyrik. Namun, Al Qur'an datang untuk menjelaskan tentang hakikat sikap Ibrahim dalam pernyataannya kepada bapaknya,

". . . Sesungguhnya aku akan memohon ampunan bagi kamu. . . . "

Ibrahim menyatakan perkataan sebelum dia yakin seyakin-yakinnya bahwa bapaknya akan tetap bersikeras dalam kekafirannya dan kemusyrikan­nya. Ibrahim menyatakan perkataan itu karena mengharapkan keimanan bapaknya,

"Tatkala jelas bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. "(At  Taubah: 114)

Sebagaimana dijelaskan juga dalam surat lain. Ibrahim di sini menyerahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allah. Dia menghadapkan dirinya kepada-Nya dengan bertawakal, bersandar, dan kembali kepada-Nya dalam segala kondisi dan ke­adaan,

". . . Dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah. ' (Ibrahim berkata), 'Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. " (Al Mumtahanah: 4)

Penyerahan total dan mutlak seperti ini kepada Allah merupakan ciri iman yang sangat jelas pada Ibrahim yang ditampakkannya di sini untuk me­ngarahkan hati anak cucunya yang beriman kepada ciri itu. Ia  laksana salah satu episode dari episode­-episode tarbiah, pendidikan, dan pengarahan de­ngan kisah-kisah dan komentar atasnya. Kemudian penjelasan di sela-selanya tentang tanda-tanda, ciri­-ciri, dan pengarahan-pengarahan sebagaimana metode Al Qur'an yang mulia. Penjelasan tentang hal ini diterangkan dengan panjang lebar dalam menetapkan doa Ibrahim dan munajatnya kepada Tuhannya,

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah orang-orang kafir. . . . "

Jadi, janganlah Engkau memberikan kekuasaan kepada mereka untuk menjajah kami, sehingga kami menjadi sasaran penyiksaan dan fitnah bagi mereka. Karena orang-orang kafir akan berkata, "Seandainya iman itu menjaga para penganutnya, maka kita tidak mungkin dapat mengalahkan mereka dan menguasai mereka. " Inilah syubhat yang se­ring muncul dalam hati ketika kebatilan mengalah­kan kebenaran, dan ketika para thagut memerintah atas para penganut keimanan (karena suatu hikmah yang dikehendaki oleh Allah) dalam suatu masa tertentu. Orang-orang yang beriman harus ber­sabar atas segala cobaan. Namun, hal ini tidak menghalanginya untuk berdoa agar Allah tidak menim­pakan musibah dan fitnah yang menjadi syubhat dan keraguan dalam hatinya.

Sisa doa itu adalah,

". . . Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. . . . "

Doa ini diucapkan oleh Ibrahim sebagai kekasih Allah, karena kesadaran darinya tentang tingkat ibadah yang berhak didapatkan oleh Allah darinya sebagai hamba Allah. Juga karena kelemahan se­bagai manusia dari pencapaian tingkat yang dapat menyamai dan mensyukuri dengan kesyukuran yang sebanding dengan nikmat-nikmat Allah. Dia mengagungkan Allah atas keagungan dan kesom­bongan-Nya sehingga dia memohon ampunan-Nya agar perasaan dan caranya berdoa seperti itu men­jadi teladan bagi orang-orang yang bersamanya dan orang-orang yang datang sesudahnya. Doa, munajat, dan istighfar Ibrahim diakhiri dengan mensifati Tuhannya dengan sifat yang se­rasi dan sesuai dengan doa itu,

". . . Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Mumtahanah: 5)

Al Aziz adalah Yang Maha Kuasa atas segala per­buatan. Al Hakim adalah yang bijaksana dalam menjalankan aturan-Nya.

Di akhir paparan tentang sikap Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, dan dalam penyerahan diri Ibrahim dan munajatnya, redaksi Al­ Qur'an kembali menetapkan perihal keteladanan dan mengulang-ulanginya, bersama dengan sentuh­an yang baru terhadap hati orang-orang yang ber­iman,

"Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umat­nya) ada teladan yang baik bagimu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Barangsiapa yang berpaling. maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. " (Al Mumtahanah: 6)

Jadi, keteladanan dalam pribadi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya adalah sesuatu yang pasti terealisasi bagi orang-orang yang mengharap­kan ridha Allah dan kehidupan akhirat. Merekalah orang-orang yang menyadari tentang nilai dari ujian yang mereka hadapi karena ikatan yang kuat dan mulia. Mereka menemukan padanya keteladanan yang pantas dan sangat patut dicontoh dan pre­seden yang baik untuk menjalani petunjuk hidayah. Maka, barangsiapa yang mengharapkan ridha Allah dan kehidupan akhirat, hendaklah ia mengambil keteladanan padanya. Pengarahan itu sangat terasa bagi orang-orang yang hadir dari kaum mukminin pada saat itu. Sedangkan, bagi orang-orang yang ingin ber­paling dari manhaj ini, orang-orang yang ingin menyimpang dari jalan lurus kafilah iman, dan orang-orang yang ingin melepaskan diri dari garis keturunan nasab yang tinggi ini, maka Allah tidak membutuhkan apa-apa darinya.

". . . Barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. "(Al Mumtahanah: 6)

Penelusuran ini berakhir dan orang-orang yang beriman telah kembali kepada masa-masa awal sejarah keberadaan mereka yang sangat lama. Mereka kembali dengan kenangan-kenangan tentang per­tumbuhan mereka di dunia. Mereka mengetahui dan menyadari ujian dan percobaan panjang dan lama yang telah ditempuh oleh generasi-generasi yang terdahulu. Mereka dapat melihat dengan jelas ketetapan yang berlaku bagi orang-orang yang telah melewati ujian dan percobaan itu. Dan, mereka mendapatkan jalan setapak di mana mereka bukan­lah orang-orang yang pertama-tama menapakkan kakinya di atasnya. Al Qur'an yang mulia menegaskan persepsi ini dan mengulanginya berturut turut agar para kafilah orang-orang yang beriman selalu terkait dan terjalin hubungan. Sehingga, perasaan-perasaan ketera­singan atau kesendirian tidak akan pernah dia rasakan. walaupun dia seorang diri di tengah­-tengah generasinya yang kufur. Dengan demikian, dia tidak akan menemukan kesulitan apapun dalam menunaikan beban taklif yang telah dipikul oleh oarang-orang yang terdahulu di jalan yang sama.

Berhubungan dengan Orang Kafir yang Tidak Memusuhi Islam

Setelah itu redaksi kembali membangkitkan hati yang diketahui oleh Allah memiliki sifat kasih sayang dan keinginan untuk menghilangkan kondisi per­musuhan dan kekasaran yang membebani orang-orang yang beriman. Ia membangkitkannya de­ngan harapan yang membara untuk menjaring musuh-musuh itu ke dalam panji Islam dan ke dalam barisan kaum muslimin.

Itulah cara untuk menghilangkan kekeringan dan kehambaran hubungan. Kemudian membangun

ikatan kasih sayang di atas asasnya yang kuat. Allah meringankan sekali lagi beban atas orang-orang yang beriman ketika meletakkan kaidah Islam yang besar dalam urusan hubungan antar­ negeri yaitu antara orang-orang yang Islam dan orang-orang non muslim. Lalu, Dia mempersempit pemutusan dan pertikaian itu hanya pada saat terjadi peperangan dan permusuhan secara khusus. Sedangkan, bila orang-orang kafir dan orang-orang musyrik tidak memerangi dan memusuhi orang-orang yang beriman, maka pada saat itu Allah memerintahkan untuk mempergauli orang-orang yang pantas dipergauli dengan baik, yaitu dengan berbuat adil dalam bermuamalah.

'Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Allah adalah Maha Kuasa. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tiada me­larang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ber­laku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang meme­rangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusir­mu. Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. "(Al Mumtahanah: 7-9)

Sesungguhnya Islam adalah agama yang damai dan aqidah yang penuh dengan cinta. Ia   adalah sistem yang membawa misi agar seluruh alam semesta berada dalam lindungannya, membangun di dalamnya manhajnya, menghimpun manusia di bawah panji Allah sebagai sesama saudara yang saling mengenal dan mencintai. Di sana tidak ada satupun penghalang yang merintanginya untuk mencapai tujuan itu, melainkan permusuhan dari musuhnya atas dirinya dan keluarganya. Sedangkan, bila musuh-musuh orang Islam meng­ikat perjanjian damai, maka Islam tidak menganjur­kan sama sekali untuk bermusuhan dan tidak pula menyuruh hal itu. Bahkan, pada kondisi-kondisi permusuhan, Islam masih menyisakan sikap-sikap yang kasih dalam jiwa dengan membersihkan perilaku dan berbuat dalam bermuamalah. Hal itu dilakukan dengan harapan dan penantian mudah-mudahan suatu hari, pihak-pihak yang me­musuhi Islam itu lambat laut akan merasa yakin dan puas bahwa sesungguhnya kebaikan itu adalah ketika mereka bergabung dengan panji Islam yang tinggi dan mulia. Islam tidak pernah berputus asa menanti tibanya hari itu, di mana pada hari itu jiwa-jiwa akan meniti jalan yang lurus dengan arah yang lurus pula.

Dalam ayat pertama dari bagian paragraf ini terdapat isyarat terhadap harapan itu yang tidak bisa dipadamkan oleh perasaan putus asa. Ia  dipapar­kan dalam bentuk keringanan yang diberikan oleh syariat atas jiwa-jiwa sebagian kaum Muhajirin. Ia  bagaikan suplemen bagi hati mereka yang telah merasa sangat lelah memikul beban yang sulit karena harus memutuskan hubungan dengan ke­rabat dan keluarga mereka, bahkan harus meme­rangi mereka.

'Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. . . .

Harapan ini dari Allah, yang bermakna hal itu pasti terjadi. Orang-orang yang beriman yang telah mendengar hal ini pasti meyakininya. Dan memang benar, setelah ayat ini turun dalam waktu yang singkat, kota Mekahpun takluk. Kemudian kaum Quraisy pun masuk Islam dan mereka bergabung di bawah panji Islam yang satu. Terhapuslah segala dendam membara dan permusuhan. Mereka semua menjadi saudara dengan hati yang menyatu dan terikat dalam cinta.

". . . Allah adalah Maha Kuasa. . . . "

Allah Maha Berkuasa melakukan apapun tanpa ada sesuatu yang mampu menghalanginya

". . . AllahMaha Pengampun lagi Maha Penyayang. "(Al Mumtahanah: 7)

Allah pasti mengampuni kesalahan-kesalahan masa lalu baik berupa syirik maupun dosa-dosa lainnya. Ketika berada dalam penantian terwujudnya apa yang dijanjikan oleh Allah dalam ungkapan harapan di atas, dan Allah mengkhususkan bagi orang-orang yang beriman agar memperlakukan dengan baik orang-orang yang tidak memerangi mereka dalam agama dan tidak mengeluarkan mereka dari tanah air mereka, . . . maka Allah meringankan larangan dengan membolehkan mereka berbuat baik-baik dan berlaku adil dalam bermuamalah dengan mereka sehingga tidak dibolehkan merugikan mereka dalam hak-hak mereka. Setelah itu Allah melarang dengan keras dari mencintai orang-orang yang me­musuhi dan memerangi orang-orang yang beriman dalam agama dan mengeluarkan mereka dari tanah air mereka sendiri atau orang-orang kafir itu mem­bantu dalam pengusiran atas mereka darinya. Allah memvonis bahwa kaum muslimin yang menjadikan orang-orang kafir sebagai kawan dan penolong, padahal mereka memusuhi orang-orang yang beriman, sebagai orang-orang yang zalim. Dan, di antara makna zalim itu adalah syirik seperti dapat dirujuk kepada firman Allah,

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. " (Luqman: 13)

Itu merupakan ancaman yang sangat menakut­kan dan menggetarkan hati orang-orang yang beriman. Mereka pasti berusaha jangan sampai masuk ke dalam perangkapnya yang mengerikan. Itulah kaidah dalam pergaulan dengan orang-orang yang non muslim. Ia merupakan kaidah yang paling adil dan sangat cocok dengan tabiat agama Islam, arahannya, dan pandangannya terhadap ke­hidupan manusia. Bahkan, persepsi Islam yang universal terhadap segala makhluk yang ada. Ia ber­sumber dari Tuhan Yang Maha Esa, dan iapun mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah takdir azali yang mengatasi segala perbedaan dan perselisihan antara orang-orang yang beriman dan selain mereka.

Kaidah itu merupakan asas syariat Islam dalam hubungan internasional. Ia menjadikan kondisi kaum muslimin antara mereka dengan seluruh manusia tetap stabil. Hal itu tidak akan berubah sama sekali, melainkan bila terjadi permusuhan dan penyerang­an terhadap kaum muslimin yang harus dilawan dan ditentang. Atau, karena kekhawatiran adanya pengkhianatan setelah ditandatanganinya perjan­jian damai, yaitu berupa ancaman penyerangan atau mengancam kebebasan berdakwah dan kebebasan berkeyakinan. Itu merupakan bentuk lain dari per­musuhan. Selain kondisi itu semua, kaidah yang ditetapkan adalah perdamaian, kasih sayang, ber­bakti, dan berbuat adil terhadap seluruh manusia!

Jadi, pandangan Islam yang menentukan tentang problematika antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menentang mereka adalah kai­dah aqidah semata-mata. Ia menetapkan bahwa nilai yang diusung oleh setiap mukmin dan harus dibela mati-matian dengan berperang sekalipun adalah perkara aqidah semata-mata. Dengan demi­kian, antara orang-orang yang beriman dengan seluruh manusia tidak ada permusuhan dan pepe­rangan selama kebebasan dakwah dan kebebasan berkeyakinan tetap dihormati. Selanjutnya ditegak­kanlah manhaj Allah di muka bumi ini dan kalimat Allahpun ditinggikan.

Pengarahan ini sesuai dengan arahan surat se­cara keseluruhan. Yaitu, untuk menampakkan nilai aqidah dan menjadikan sebagai satu-satunya panji yang dikibarkan dan dibela setiap orang yang ber­iman. Barangsiapa yang bergabung dengan orang-orang yang beriman dalam membelanya, maka diapun berada dalam barisan mereka. Barangsiapa yang memeranginya mereka karenanya, maka diapun adalah musuh mereka. Dan, barangsiapa yang mengikat perjanjian dengan mereka kemudian membebaskan mereka dalam menjalani aqidah dan dakwah, maka dia termasuk orang-orang yang terikat dalam perjanjian damai. Islam tidak melarang orang-orang yang beriman untuk berbuat baik kepadanya dan bersikap adil bersamanya.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hidup di dunia ini demi aqidahnya, dan mereka menjadikannya sebagai perkara pokok dalam hubungan antara mereka dengan seluruh manusia lainnya. Jadi, tidak ada perselisihan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan maslahat. Islam tidak nnensyariatkan jihad untuk membela fanatisme tertentu; baik berupa fanatisme golongan, jenis, negeri, keluarga, ataupun keturunan. Sesungguh­nya jihad itu hanya disyariatkan untuk menegakkan kalimat Allah yang tertinggi dan agar aqidah Islam menjadi manhaj yang dipakai dan ditegakkan di muka bumi.

Setelah surat ini turun, di dalam surat at Taubah itu terdapat ayat,

'(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari­pada Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). " (At  Taubah:1)

Dengan turunnya ayat itu, maka berakhirlah segala bentuk perjanjian damai dan ikatan gencatan senjata antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang musyrik secara keseluruhan. Hal itu berlaku dengan diberi masa tangguh selama empat bulan bagi orang-orang yang mengikat perjanjian damai tanpa ketetapan waktu yang pasti. Juga diberi masa tenggang waktu bagi orang-orang yang meng­ikat perjanjian dengan masa waktu tertentu hingga berakhir masanya. Namun, ketetapan ini diputuskan setelah berkali-kali percobaan dilakukan bahwa kaum-kaum itu tidak menjaga ikatan perjanjian mereka dengan orang-orang yang beriman, melainkan mereka se­lalu membatalkan dan mengkhianatinya bila mereka melihat peluang kemenangan dan keuntungan. Maka, kaidah lainpun berlaku bagi mereka,

Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguh­nya Allah tidak menyukai orang-orang yang ber­khianat. " (Al Anfaal: 54)

Kaidah sangat penting untuk mengamankan markas kekuatan Islam (yang pada saat itu meliputi semenanjung Arabia) dari pengintaian orang-orang yang menginginkan kebinasaan bagi orang-orang yang beriman. Yaitu, orang-orang yang hidup di sekitar mereka, baik dari orang-orang musyrik maupun dari Ahli Kitab yang telah beberapa kali mengkhianati dan membatalkan perjanjian mereka. Itulah bahaya yang laten bagi markas Islam. Apalagi setelah dua kerajaan adikuasa pada saat itu Persia dan Romawipun telah bersiap-siap dan me­rasa terancam keberadaannya dengan munculnya kekuatan Islam. Maka, negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan dua kerajaan besar itupun diperintahkan untuk memobilisasi pasukan. Se­hingga, tidak ada pilihan lain selain membersihkan dulu markas kekuatan pasukan Islam dari segala sisa-sisa kekuatan musuh yang ada di dalam, se­belum berekspansi keluar menghadapi musuh yang adikuasa itu. Kami cukupkan penjelasan panjang lebar ini, agar kita kembali kepada bagian paragraf surat yang membahas tentang hukum bagi wanita-wanita mukminah yang berhijrah.

Wanita sebagai Tonggak Jihad dan Dakwah

'Hai orang-orang yang beriman, apabila datang ber­hijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan, berikanlah kepada (suami­-suami mereka) mahar yang telah mereka bayar. Tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Janganlah kamu tetap ber­pegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir. Hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengeta­hui lagi Maha Bijaksana. , jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. Dan, bertaqwalah kepada Allah Yang kepada­-Nya kamu beriman. " (Al Mumtahanah: 10-11)

Telah disebutkan riwayat tentang sebab nuzul hukum-hukum dalam ayat di atas bahwasanya dalam perjanjian Hudaibiyah terdapat butir kese­pakatan bahwa "sesungguhnya bila datang kepada­mu seseorang di antara kami (Quraisy) walaupun dia menganut agamamu, maka kamu (Muhammad saw) harus mengembalikannya kepada kami." Ketika Rasulullah dan orang-orang yang beriman bersamanya telah bertolak pulang dan sampai ke lembah yang rendah dari Hudaibiyah, maka datang­lah beberapa orang wanita mukminah yang me­mohon untuk ikut berhijrah dan bergabung ke dalam Daulah Islamiah di Madinah. Kemudian Quraisypun datang meminta agar wanita-wanita itu dikembalikan sesuai butir perjanjian. Dan, tampak sekali dari teks butir perjanjian itu bahwa hal itu tidak mencakup sama sekali di dalamnya kaum wanita. Maka, turunlah dua ayat di atas yang me­larang orang-orang yang beriman untuk mengem­balikan wanita-wanita mukminah itu kepada orang-orang kafir sehingga kaum kafirin menyiksanya dalam agamanya karena kelemahan kaum wanita. Bersama dengan itu, turun pula hukum-hukum tentang hubungan antar negara yang mengatur tentang pergaulan yang berasas kepada kaidah yang lebih adil tanpa terpengaruh dengan perilaku kelompok lain, dan segala bentuk kezaliman dan kekerasan di dalamnya. Itulah salah satu kaidah dan cara Islam dalam mengatur segala macam muamalah baik dalam negeri maupun luar negeri.

Prosedur pertama yang dilakukan terhadap wanita-wanita yang ingin berhijrah itu adalah meng­uji mereka untuk mengetahui sebab dan dorongan mereka untuk berhijrah. Sehingga, bukan karena disebabkan oleh keinginan terlepas dari seorang suami yang dibencinya, atau untuk mencari man­faat lain, atau ingin merealisasikan cinta pribadi yang terpendam kepada orang yang berada di Daulah Islamiah. Ibnu Umar berkata, "Mereka diuji dengan, 'Demi Allah, aku tidak keluar berhijrah karena benci ke­pada suami. Demi Allah, aku tidak keluar berhijrah karena ingin pindah dari suatu negeri ke negeri yang lain. Demi Allah, aku tidak keluar berhijrah untuk mencari keuntungan dunia. Dan, demi Allah, aku tidak keluar berhijrah melainkan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya semata-mata."

Ikrimah berkata bahwa mereka diuji dengan, "Kamu sekali-kali tidak digerakkan untuk datang, melainkan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Kamu tidaklah datang karena mencintai seorang laki-laki dari kami, dan tidak pula karena lari dari suamimu."

Itulah ujiannya. Hal itu didasarkan kepada kon­disi lahiriah mereka dan ikrar mereka disertai bersumpah dengan nama Allah. Sedangkan, perkara-perkara yang tersembunyi dalam hati, maka urus­annya diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena manusia tidak mengetahuinya.

'Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, . . . . "

Apabila mereka telah berikrar demikian, maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir.

". . Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Merek tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. . . . "

Karena ikatan satu-satunya telah tumbuh, yaitu ikatan aqidah. Maka, tidak ada peluang lagi bagi ikatan lain yang dapat menghubungkan ikatan yang terputus itu. Perkawinan merupakan suatu kondisi yang bercampur-baur, menyatu, dan stabil. Ia tidak mungkin dapat terbangun bila ikatan yang pertama (ikatan aqidah) terputus. Iman merupakan kehidupan hati, di mana tidak mungkin  perasaan hati lainnya dapat menggantikan posisinya. Bila hati kosong dari iman itu, maka seorang mukmin tidak mungkin dapat saling merespons dan saling berinteraksi secara baik dengannya. Apalagi, bersenda gurau dengannya, mencintainya, merasa damai bersamanya, dan me­rasa tenteram berada di sampingnya. Dan, per­kawinan itu merupakan tempat menjalin cinta, kasih sayang, mendapat hiburan dan kedamaian.

Pada awal hijrah belum ada teks (nash) Al Qur'an yang mengatur. Sehingga, belum ada pemisahan antara isteri-isteri yang mukminah dan suami-suami yang kafir. Demikian pula antara suami-suami yang mukmin dengan isteri-isteri yang kafir. Karena ma­syarakat Islam pada saat itu belum stabil tiang-tiang dan kaidah-kaidahnya.

Setelah perjanjian Hudaibiyah, kemenangan Hudaibiyah seperti yang banyak disebutkan oleh para perawi, maka telah tiba saatnya untuk memak­lumatkan pemisahan mutlak dan sempurna. Tujuannya agar tertanam dengan kokoh dalam nurani orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun wanita, sebagaimana telah menjadi perkara yang kokoh dan stabil dalam kenyataan hidup mereka, bahwa tidak ada ikatan melainkan hanya ikatan aqidah dan tidak ada hubungan melainkan hanya hubungan iman. Juga bahwa tidak ada hubungan dan ikatan apa-apa di antara orang-orang melainkan hanya di antara orang-orang yang diikat oleh ke­imanan kepada Allah. Bersama dengan prosedur pembedaan dan pe­misahan itu, ada juga prosedur ganti rugi sebagai bentuk keadilan dan persamaan. Sehingga, mahar yang telah diberikan oleh suami yang kafir juga dikembalikan lagi secara utuh kepadanya seperti yang telah dia keluarkan kepada isterinya yang mukminah, karena mau tidak mau isterinya itu harus menceraikannya. Hal itu sebagai ganti dari ke­rugian mantan suaminya. Dan, demikian pula mahar yang telah diberikan oleh suami yang mukmin, harus dikembalikan lagi kepadanya setelah men­ceraikan isterinya yang kafir. Setelah itu, halallah bagi orang-orang beriman yang berhijrah untuk menikahi wanita-wanita muk­minah yang berhijrah selama mereka memberikan mahar kepada mereka. Namun, ada perbedaan fiqih yang menjadi masalah; apakah mereka memiliki iddah atau mereka tidak memilikinya kecuali hanya bagi yang hamil saja hingga dia melahirkan anak­nya? Bila mereka memiliki iddah, apakah iddahnya sama dengan iddah para wanita yang diceraikan oleh suaminya yaitu tiga quru', atau apakah iddah­nya hanya untuk mengetahui kosongnya rahim yaitu dengan cukup satu kali haid saja?

". . . Dan berikanlah kepada (suami-suami mereka) mahar yang telah mereka bayar. Dan, tiada dosa atasmu me­ngawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya, janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir. Hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendak­lah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. . . . "

Kemudian Allah menghubungkan hukum-hukum itu dengan jaminan besar yang terdapat dalam nurani setiap mukmin. Yaitu, jaminan pengawasan Ilahi, ketakutan kepada Allah, dan bertaqwa kepada-Nya.

". . . Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha­ Bijaksana." (Al Mumta hanah: 10)

Jaminan itu adalah jaminan satu-satunya yang dapat diandalkan dan aman dari segala pengkhianatan, penyimpangan, dan tipu daya. Jadi, hukum Allah adalah hukum Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dia mengetahui segala yang ada dalam hati. Dia adalah hukum Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa. Cukuplah bagi nurani seorang mukmin untuk merasakan hubungan ini, dan menyadari sumber hukum itu, agar dia berjalan lurus di atasnya dan menjaga batasan-batasannya. Seorang mukmin yakin sekali bahwa tempat kembalinya adalah Allah semata-mata.

Bila orang-orang yang beriman kehilangan se­suatu dari apa yang telah mereka keluarkan dari mahar, karena orang-orang kafir menolak mengem­balikan mahar yang menjadi hak suami yang muk­min (sebagaimana terjadi dalam beberapa kasus), maka seorang pemimpin kaum mukminin harus menggantinya dari mahar yang terdapat pada isteri-isteri mukminah yang telah berhijrah dan mahar mereka belum dikembalikan kepada suami-suami mereka yang kafir. Atau, dari harta rampasan perang yang diperoleh dari orang-orang kafir itu dan dikuasai oleh orang-orang yang beriman.

'Jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. . . . "

Hukum ini dan pemberlakuannya juga dikaitkan dengan jaminan yang setiap hukum dan penegakannya selalu berkaitan dengannya,

". . . Dan bertaqwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman. " (Al Mumtahanah: 11)

Suatu sentuhan bagi orang-orang beriman yang memiliki pengaruh yang mendalam di dalam hati mereka.

Demikianlah hukum-hukum pemisahan itu antara suami isteri yang berbeda keyakinan, sebagai realisasi nyata dari persepsi Islam tentang nilal-nilai kehidupan dan ikatan-ikatannya; dan tentang ke­satuan barisan Islam dan keistimewaannya di antara semua barisan lainnya. Juga tentang pembangunan kehidupan berdasarkan asas aqidah dan meng­ikatnya dengan lingkaran keimanan. Kemudian pembentukan alam manusia yang meleburkan se­gala perbedaan-perbedaan jenis, warna kulit, bahasa, nasab keturunan, dan asal tanah air. Hanya satu perbedaan yang tersisa dan tanda pengenal yang membedakan manusia. Yaitu, tanda pengenal ke­lompok di mana mereka bernisbat kepadanya di antara dua kelompok yang berbeda; kelompok tentara Allah atau kelompok tentara setan.

Kemudian Allah menjelaskan kepada Rasulullah cara membaiat wanita-wanita mukminah itu atas iman, karena mereka dan orang-orang yang selain mereka ingin masuk Islam. Dia menjelaskan atas asas-asas apa saja mereka harus berbaiat dan di­baiat oleh Rasulullah.

'Hai Nabi, apabila datang kepadamu kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan ber­zina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Mumtahanah: 12)

Asas asas ini merupakan kaidah besar tentang standar-standar aqidah, sebagaimana ia juga merupakan norma-norma kehidupan bermasyarakat yang baru. Sesungguhnya ia adalah tidak menye­kutukan Allah secara mutlak dan tidak melanggar hukum-hukum hudud (yaitu mencuri, berzina, membunuh anak-anak sebagaimana ia juga men­cakup pengguguran kandungan janin karena sebab apapun). Mereka telah diberi amnanah atas bayi yang dikandung dalam rahimnya.

". . . Tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka. . . . "

Ibnu Abbas berkata, "Jangan sampai mereka me­nasabkan anaknya kepada selain ayah kandungnya." Demikian pula pendapat Muqatil. Kemungkinan kehati-hatian ini (setelah melaku­kan baiat atas janji tidak akan berzina) karena kondisi nyata pada zaman jahiliah terlihat nyata bahwa wanita menyerahkan dirinya kepada bebe­rapa laki-laki. Bila dia melahirkan, dia akan melihat laki-laki mana yang paling cocok rupanya dengan anak yang dilahirkannya. Barulah dia menasabkan anaknya kepada laki-laki itu. Bahkan, kadangkala dia memiliki laki-laki yang paling ganteng dan baik sebagai bapak anaknya, padahal dia tahu ayah anak tersebut yang sebenarnya bukan lelaki itu.

Lafazh ayat yang umum meliputi makna ini dan makna itu semua, pokoknya setiap dusta yang palsu dan mengada-ada. Ibnu Abbas dan Muqatil meng­khususkan hanya makna di atas karena momennya pas dengan kejadian kasus di atas.

Dan, syarat baiat yang terakhir adalah,

". . . Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. . . . "

Ia mencakup janji ketaatan kepada Rasulullah dalam setiap perintah yang diperintahkan kepada mereka. Rasulullah tidak mungkin memerintahkan melainkan perkara yang ma’ruf. Syarat ini merupa­kan salah satu kaidah tatanan hukum dalam Islam, yaitu kaidah bahwa tidak boleh taat kepada pemim­pin atau seorang hakim melainkan hanya dalam per­kara-perkara ma’ruf yang sesuai dengan agama Allah dan syariat-Nya. Juga kaidah bahwasanya taat itu tidak boleh mutlak kepada pemimpin dalam setiap urusan.

Kaidah menjadikan kekuatan syariat dan perintah harus bersandar kepada syariat Allah, bukan  kehendak pemimpin atau kehendak umat bila berten­tangan dengan syariat Allah. Jadi, pemimpin dan umat, keduanya subyek hukum syariat Allah dan dari syariat itu segala kekuatan dan kekuasaan bersumber. Bila wanita-wanita itu berbaiat atas asas-asas yang lengkap dan mencakup ini, maka terimalah olehmu (wahai Muhammad saw) baiat mereka. Dan. mohon ampunlah kepada Allah bagi mereka atas kesalahan-kesalahan masa lalu,

Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka[1472] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al­ Mumtahanah: 12)

Allah pasti mengampuni, merahmati, dan me­ringankan segala kesalahan yang menggelincirkan.

Akhirnya, dalam bagian penutup muncullah sen­tuhan yang umum berikut ini. ­

'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadi­kan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesung­guhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa." (Al Mumtahanah: 13)

Ia muncul guna membisikkan ke dalam hati orang-orang yang beriman atas nama iman, dan dengan sifat yang membedakan mereka dari segala kaum yang lain. Sifat itulah yang menghubungkan mereka kepada Allah dan membedakan mereka dari musuh-musuh Allah. Pada beberapa riwayat disebutkan tentang mak­sud dari kaum yang dimurkai oleh Allah bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi, dengan ber­sandar kepada kenyataan keterpurukan mereka dengan laknat dan murka Allah dalam ayat-ayat yang lain di tempat-tempat lain dari Al Qur'an. Namun, hal itu tidak mencegah pemahaman yang lebih umum dari mereka karena ayat di ataspun muncul dalam bentuk redaksi yang umum. Se­hingga, ia meliputi orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang disebutkan dalam surat ini. Dan, mereka semua adalah musuh-musuh Allah. Mereka semua telah dimurkai dan dilaknat oleh Allah. Mereka semua telah berputus asa dari kehidup­an akhirat. Mereka tidak berharap apa-apa di sana, dan mereka tidak mempertimbangkan keuntungan apapun di sana, sebagaimana orang-orang kafir juga berputus asa dari orang-orang yang telah mati (yaitu para penghuni kubur) karena mereka me­yakini bahwa urusan mereka telah berakhir. Mereka meyakini bahwa mereka tidak akan dibangkitkan dan tidak akan dihisab. Bisikan itu merupakan sentuhan yang menghim­pun segala sentuhan yang terdapat dalam surat ini dan arahan-arahannya. Surat ini diakhiri dengan sentuhan yang sama yang terdapat pada awalnya, agar ia menjadi sentuhan yang terakhir. Sentuhan yang meninggalkan bekas-bekas dan pengaruh-pengaruhnya yang bersih dan suci dalam hati. 

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah