Pengantar
Kadangkala manusia mencapai prestasi dalam penegakan sistem, dan kadangkala belum mencapainya. Namun, tugas penegakan itu masih terus tergantung di atas pundak mereka dalam usaha mencapainya. Dan, di hadapan mereka ada contoh praktis dan nyata dari gambarannya, yang suatu hari akan terwujud kembali di atas bumi ini. Oleh karena itu, hal ini membutuhkan persiapan yang panjang dalam beberapa langkah dan periode. Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar lingkup masyarakat Islam atau yang berkaitan dengannya merupakan salah satu materi di antara materi-materi dalam rangka persiapan itu. Materi itu telah ditakdirkan dalam ilmu Allah yang di atasnya kemudian terbangun materi-materi lain yaitu penafsiran, penjelasan, komentar, dan pengarahan.
Dalam huru-hara kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa serta dalam arus kehidupan yang terus mengalir,
pembentukan jiwa-jiwa menjadi sempurna untuk
mewujudkan manhaj Ilahi itu di atas bumi ini. Di sana tidak ada pengasingan apapun bentuknya, melainkan hanya pengasingan dalam bentuk persepsi iman yang baru dan agar jangan sampai dicampur-aduk dengan sesuatu yang
aneh dan asing darinya ketika pembentukan jamaah itu diintensifkan.
Pendidikan yang terus-menerus dilakukan adalah
bertujuan untuk membentuk persepsi keimanan yang khusus dan istimewa. Ia memiliki ciri khas tersendiri dalam hakikat dan tabiatnya yang terpisah dan asing dari persepsi-persepsi yang ada di dunia pada saat itu, dan
di jazirah Arab secara khusus. Namun, orang-orang yang telah terbentuk dalam dirinya persepsi yang istimewa dan khusus ini, mereka tidak terasing dari kehidupan nyata serta
kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang
kacau-balau yang terjadi. Bahkan, mereka selalu terkait dan berkecimpung dalam kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa itu hari demi hari dan berkali-kali. Keterlibatan mereka dalam suatu urusan berkali-kali terjadi dan di bawah berbagai macam pengaruh. Karena, Allah yang telah menciptakan jiwa-jiwa
ini Maha Mengetahui bahwa bukanlah
semua jiwa dapat membekas dengan suatu pengaruh dan sentuhan. Tidak semua jiwa dapat merespons dan kemudian terbentuk sesuai dengan yang diinginkan hanya dengan satu sentuhan. Namun, adakalanya membutuhkan pengaruh dan sentuhan yang berkali-kali.
Allah Maha Mengetahui bahwa sisa-sisa tradisi masa lalu, dorongan insting-insting manusia, kelemahan manusia, pengaruh-pengaruh kejadian, dominasi tradisi dan adat, semua itu bisa menjadi halangan dan
rintangan yang kuat sehingga dapat mengalahkan faktor-faktor tarbiah dan
pengarahan berkali-kali. Oleh karena itu, untuk menghadapinya diperlukan peringatan yang berturut-turut dan keterlibatan yang terus-menerus. Jadi, kejadian-kejadian dan
peristiwa-peristiwa datang dan terjadi berturut-turut sebagaimana
yang telah dirancang dalam takdir Allah. Karena itu, nasihat-nasihatpun datang berulang-ulang. Di samping itu, ada peringatan tentang kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa itu serta pengarahan dengan hidayah yang tersirat di dalamnya berkali-kali.
Rasulullah selalu berada dalam kesadaran dan ilham yang cerdas dengan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa serta kesempatan-kesempatan dalam setiap peluang yang terbuka. Kemudian
pelajaran itu diberdayakan dengan bijaksana dalam membangun jiwa-jiwa orang-orang yang beriman. Wahyu dan ilham selalu mendukung Rasulullah dan memperkuat diri beliau sehingga
komunitas kaum muslimin yang terpilih itu membuat prestasi dengan tuntunan dari
Allah, dengan taufik dari-Nya dan di bawah
bimbingan Rasulullah.
Sesungguhnya alam dan dunia yang dikehendaki oleh Islam adalah alam yang Rabbani dan insani (manusiawi) sekaligus. Rabbani yang bermakna bahwa setiap tiang-tiang dan tuntunan-tuntunannya
terambil dari pengarahan Allah dan kebijakan-kebijakan
hukum-Nya. Dan, ia mengarah kepada
Allah dengan segala persepsi dan perbuatannya.
Sementara itu, insani bermakna bahwa ia meliputi seluruh jenis manusia dalam wawasan aqidah. Di dalamnya terkikislah segala perbedaan-perbedaan jenis, negeri, bahasa, dan garis keturunan. Juga terkikislah segala faktor ikatan lain yang membuat manusia
terpisah dari lainnya selain ikatan iman. Inilah
alam yang tinggi dan layak untuk ditempati oleh manusia yang mulia di mata Allah karena tubuhnya mengandung tiupan ruh dari Allah.
Tanpa membangun alam dan dunia seperti itu, di
Sebagian kamu Muhajirin yang telah meninggalkan negeri, harta benda, dan keluarga mereka di atas jalan mempertahankan aqidah mereka, jiwa-jiwa mereka masih terikat dengan sebagian dari apa yang telah mereka tinggalkan di Mekah, berupa keturunan, isteri, dan kerabat. Walaupun mereka telah menemui dan menghadapi beberapa bentuk penyiksaan dan kesulitan dari Quraisy, masih tetap ada sebagian dari mereka yang menginginkan antara mereka dan penduduk Mekah terjadi jalinan hubungan yang lebih baik dan ikatan kasih sayang. Mereka menginginkan berakhirnya permusuhan dan perang yang kejam, sehingga mereka harus menanggung beban memerangi keluarga dan kerabat mereka. Hal itu membuat segala ikatan dan hubungan antara mereka dengan kerabat dan keluarga menjadi terputus.
Allah menginginkan agar jiwa-jiwa kaum Muhajirin menjadi bersih dan murni dari segala ikatan-ikatan. Sehingga, jiwa-jiwa itu hanya tertuju untuk agama-Nya, aqidah-Nya, dan manhaj-Nya. Allah Maha Mengetahui
tentang beratnya tekanan yang dipikul oleh jiwa-jiwa itu berupa dorongandorongan insting dan sisa-sisa tradisi
jahiliah. Orang Arab biasanya adalah orang-orang yang sangat memegang tabiat mereka dan fanatisme golongan, fanatisme kaum, fanatisme kerabat dan rumah tangga mereka. Maka,
Allah mengikis hal itu dengan terapi puncak yang meliputi kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa bersama komentar-komentar dan arahan-arahannya. Tujuannya agar terapi itu benar-benar terjadi lewat pentas kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa. Juga agar jalan-jalan dan rel-rel mereka menjadi kokoh dan membaja.
Riwayat-riwayat menyebutkan kejadian tertentu berkenaan dengan sebab turunnya ayat-ayat permulaan dari
"Ya Allah, tutuplah berita ini atas mereka (Quraisy).
Rasulullah memberitakan kepada sekelompok dari sahabat tentang sasaran serangan beliau, di antaranya adalah Hatib
bin Balta'ah. Kemudian dengan sengaja Hatib menulis
Dari Hushain bin Abdurrahman, dari Sa'ad bin Ubaidah, dari Abi Abdirrahman As Sulami, dari Ali ra bahwa ia berkata, "Aku diutus oleh Rasulullah bersama Abu Murtsid dan Az Zubair ibnul Awwam (kami semua adalah penunggang kuda). Rasulullah menitahkan,
'Bertolaklah kalian hingga sampai ke kebun
Khakh, karena sesungguhnya di
Kamipun mengejarnya dan mendapatinya sedang menunggang unta sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah. Maka, kami mengintrogasinya, 'Mana
Maka, kami kembali pulang membawanya menuju Rasulullah. Lalu Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Maka, biarkanlah aku untuk menebas lehernya. ' Lalu Rasulullah bertanya kepada Hatib, 'Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal ini?' Hatib menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya aku tidak berbuat apa-apa melainkan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku ingin mendapatkan bantuan dari kaum kafir Quraisy, yang dengannya Allah melindungi keluargaku dan harta bendaku. Dan, tidak seorangpun dari sahabatmu, melainkan dia memiliki di
Rasulullahpun
bersabda, Dia benar dan jujur, maka janganlah
kalian mengatakan sesuatu kepadanya melainkan
perkara yang baik. Lalu Umar
berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya
dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya,
dan orang-orang yang beriman. Maka, biarkanlah
aku untuk menebas lehernya. ' Maka, Rasulullahpun
bertanya kepadanya, Bukankah Hatib termasuk ahli Badar (pasukan Rasulullah dalam Perang Badar). ' Lalu Rasulullah menyambung sabdanya, 'Sesungguhnya Allah telah mengenal ahli Badar, dan berfirman kepada mereka, 'Berbuatlah sekehendak kalian, karena sesungguhnya
surga itu telah pasti untuk kalian (Atau
Aku telah mengampuni kalian). "Maka, Umarpun menangis dan berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.
"
Bukhari menambah dalam kitab Al Maghazi, "Lalu Allah menurunkan
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa yang diutus oleh Rasulullah adalah Ali, Zubair, dan Miqdad.
Kita renungi sejenak kasus ini dan apa yang terjadi di sekitarnya, yang tidak mengeluarkan kita dari "nuansa Al Qur'an", pendidikan dengannya serta dengan kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, komentar-komentar dari Rasulullah sebagai pemimpin dan pendidik (murobbi) yang agung.
Hal pertama yang harus direnungkan oleh orang-orang adalah kelakuan Hatib, yaitu seorang muslim yang telah berhijrah. Dia termasuk salah seorang yang diberitakan
kepadanya tentang rahasia misi dan penyerangan ke Mekah. Di
Kemudian sekali lagi manusia melihat keagungan Rasulullah.
Beliau tidak tergesa-gesa memutuskan hukuman hingga Beliau bertanya kepada
Hatib, "Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal ini?" Beliau bertanya dengan penuh kelapangan dada dan dengan kasih sayang terhadap kondisi kelemahan yang menimpa Hatib, karena beliau diilhami oleh Allah bahwa dia jujur. Oleh karena itu, beliau melarang para sahabatnya untuk mencela dan menghardiknya, "Dia benar dan jujur, maka janganlah kalian mengatakan sesuatu kepadanya melainkan perkara yang baik. " Beliau ingin membantunya dan membangkitkannya kembali dari ketergelincirannya. Rasulullah sama sekali tidak mengusirnya dengan perbuatannya itu, dan tidak membiarkan seorangpun mengusirnya karenanya.
Dalam fenomena lain, kita menemukan keimanan yang
sungguh-sungguh, tajam, dan kokoh dalam diri Umar, "Sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Maka,
biarkanlah aku untuk menebas lehernya. "
Namun, Umar hanya melihat kepada pengkhianatan
dan ketergelincirannya saja. Sehingga, hal
itu membangkitkan perasaannya yang tegas dan imannya yang kokoh. Sedangkan, Rasulullah melihat kepada kasus ini dari sela-sela
pengetahuannya yang luas dan mencakup
terhadap jiwa manusia secara hakiki
dan dari segala sisi-sisinya. Bersama dengan
itu, beliau juga sangat kasih dan terhormat di mana hal itu diilhami oleh makrifahnya yang sempurna dan total. Itulah seharusnya sikap pendidik (murobbi)
yang mulia, penuh kasih sayang, berhati-hati, dan melihat segala aspek dan
kondisi.
Kemudian
orang-orang berhenti sejenak merenungi
perkataan Hatib ketika dia berada dalam kondisi lemahnya. Namun, pandangannya tentang takdir Allah perihal sebab-sebab duniawi adalah terambil dari pandangan iman yang benar. Hal itu ketika dia berkata, "Aku ingin mendapatkan bantuan dari kaum kafir Quraisy, yang dengannya
Allah melindungi keluargaku dan harta
bendaku. " Jadi dia tetap menyandarkan perlindungan kepada Allah. Dan, tangan-tangan yang membantu dari Quraisy itu tidak dapat melindungi keluarganya
dengan dirinya semata-mata. Namun, Allah
yang melindungi keluarganya dengan
tangan-tangan mereka. Persepsi ini
diperkuat oleh sisa ungkapannya
ketika dia berkata, 'Tidak seorangpun dari sahabatmu, melainkan dia memiliki di
Jadi
Allah itu selalu hadir dalam persepsi dan gambaran
iman Hatib. Jadi Allahlah yang melindungi,
bukan keluarga mereka. Sesungguhnya keluarga
itu hanyalah alat yang dipergunakan oleh Allah untuk melindungi keluarga
mereka. Perasaan Rasulullah yang diilhami
oleh Allah telah merasakan dan
mempertimbangkan persepsi iman yang benar
dan hidup ini dalam pernyataan Hatib.
Inilah salah satu sebab dari sabda Rasulullah,
'Dia benar dan jujur, maka janganlah kalian mengatakan sesuatu kepadanya melainkan perkara yang baik.
Akhirnya, manusia berhenti sejenak merenungkan takdir
Allah dalam peristiwa dan kasus ini. Yaitu, bahwa
Hatib termasuk kelompok kecil yang dipercayai
dan diamnanahkan oleh Rasulullah untuk menyimpan rahasia penyerangan ke
Mekah. Dan, kelemahan manusiawi juga
menimpanya walaupun dia termasuk kelompok kecil yang terpilih dalam seleksi Rasulullah.
Kemudian takdir Allah berlaku bahwa Dia mencegah bahaya dari kondisi kelemahan sesaat itu yang bisa saja terjadi kepada orang-orang yang beriman. Seolah-olah
Allah ingin mengungkapkan dan menyelesaikan kasus tersebut. Kemudian tidak boleh ada teguran dan kritikan dari orang-orang yang tidak termasuk ke dalam kelompok kecil pilihan itu atas kejadian yang telah terjadi. Lalu tidak boleh seorang menggembar-gemborkan, "Ini orang yang telah diberi amnanah
rahasia, namun dia mengkhianatinya. Seandainya kita yang diberi amnanah
rahasia itu, pasti kita tidak akan mengkhianatinya. " Pernyataan seperti itu tidak timbul sama sekali. Hal itu menunjukkan betapa tingginya adab orang-orang yang beriman terhadap pemimpin mereka, dan kerendahan hati mereka
dalam berprasangka terhadap diri mereka sendiri. Mereka
mengambil pelajaran dari kasus yang terjadi pada saudara mereka.
Kasus ini diriwayatkan dengan mutawattir. Sedangkan, turunnya ayat-ayat berkenaan dengan peristiwa dan kasus ini hanya ada dalam riwayat Bukhari. Kami tidak meragukan keabsahan riwayat Bukhari ini, namun kandungan isi teks (nash) Al Qur’an adalah lebih jauh jangkauan dan sasarannya. Dan, ia lebih tepat
tuntunannya bahwa ia memberikan solusi bagi kondisi kejiwaan yang lebih luas daripada kasus Hatib raja, yang telah diriwayatkan dengan mutawattir. Hanya saja turunnya Al Qur'an ini jelas berkaitan dengan peristiwa kasus itu seperti yang menjadi ciri khas dari Al Qur’an sendiri.
Al Qur'an ini mengatasi segala ikatan-ikatan kekerabatan, fanatisme
yang kerdil, dan ketamakan nafsu terhadap
peninggalan-peninggalan yang turun-temurun dan melekat. Tujuannya agar manusia keluar dari kesempitan dan tekanan ruang yang
sempit menuju ke ruangan yang lebih tinggi dan
luas.
Al Qur'an membentuk dalam diri manusia persepsi baru, norma baru, nilai-nilai baru, serta pemikiran baru tentang alam semesta dan kehidupan manusia. Juga tugas orang-orang yang beriman di atas bumi ini dan puncak tujuan dari manusia. Seolah-olah Al Qur’an itu menghimpun tumbuh-tumbuhan yang kecil dan berserakan di bawah naungan Allah agar Dia mengajarkan dan mencerahkan mereka tentang hakikat keberadaan mereka dan tujuan hidup
mereka. Dengan demikian, Allah membuka mata mereka terhadap
segala sesuatu yang mengelilingi mereka berupa permusuhan, makar, dan tipu daya. Allah berkehendak agar mereka sadar bahwa mereka adalah penolong-penolong dan tentara-tentara Allah. Juga sadar bahwa Dia berkehendak untuk memberikan mereka suatu perintah dan peran serta merealisasikan bagi mereka takdir yang mulia bagi mereka. Oleh karena itu, mereka harus tercelup dengan celupan label-Nya, memikul tanda pengenal-Nya, dan mereka dikenal oleh orang-orang yang lain dengan
tanda pengenal dan celupan label itu baik di
dunia maupun di akhirat. Maka, hendaklah mereka berlaku ikhlas kepada-Nya. Hendaknya mereka memutuskan segalanya untuk hanya berlindung kepada-Nya. Dan, hendaknya mereka membebaskan diri dari segala ikatan lain selain ikatan-Nya, baik dalam alam perasaan maupun dalam alam perilaku.
Kemudian
Musuh Kaum Muslimin Adalah Musuh Allah
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal, sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan
(mengusir) kamu karena kamu beriman kepada
Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku, (janganlah
kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan
secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang
kamu nyatakan. Barangsiapa di antara
kamu yang melakukannya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat dari
jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan
menyakiti(mu); dan mereka ingin
supaya kamu (kembali) kafir. "
(Al Mumtahanah: 1-2)
Suatu seruan dari Tuhan mereka bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Mereka diseru atas nama iman yang dinisbatkan kepada mereka. Allah menyeru mereka agar mencerahkan hakikat-hakikat sikap mereka, memperingatkan mereka tentang jebakan-jebakan musuh-musuh mereka, dan mengingatkan mereka tentang beban yang dipikul oleh pundak-pundak mereka. Dengan penuh kasih sayang, Allah memberikan informasi bahwa musuh-Nya adalah musuh mereka pula,
dan musuh mereka adalah musuh-Nya pula,
". Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. , . . "
Allah
menyadarkan orang-orang yang beriman bahwa
mereka berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dia memusuhi siapapun yang memusuhi mereka, karena mereka adalah penolong-penolong-Nya yang bernisbat kepada-Nya dan orang-orang yang memikul tanda pengenal dari-Nya di atas dunia ini. Mereka adalah kekasih-kekasih dan wali-wali-Nya. Maka, mereka tidak boleh memberikan kasih sayang kepada musuh-Nya dan musuh mereka. Dia mengingatkan mereka tentang kejahatan musuh-musuh itu atas mereka dan atas agama mereka, serta atas Rasul mereka. Permusuhan para musuh mereka terhadap semua itu adalah kejahatan dan kezaliman,
". . . Padahal sesungguhnya mereka telah
ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. . . . "
Setelah musuh-musuhnya melakukan kejahatan dan kezaliman, apakah kaum beriman masih mencintai dan bertolong-menolong dengan musuh-musuh mereka?
Al Qur'an
menampakkan dengan jelas perkara yang telah
menyebabkan pertentangan, pertikaian. dan
perang. Jadi, perkara itu adalah perkara aqidah bukan perkara lainnya, yaitu perkara kebenaran yang telah diingkari dan dikafirkan oleh orang-orang kafir itu. Mereka kafir kepada kebenaran itu dan kafir pula kepada orang yang membawanya, yaitu Rasulullah. Maka, merekapun mengeluarkan Rasulullah dari Mekah. Selain perkara itu adalah perkara iman yang membuat mereka mengeluarkan orang-orang yang beriman dari tanah air dan kampung
halamannya sendiri. Ketika perkara itu
telah menjadi jelas demikian dan
menjadi terang, maka Allah memperingatkan mereka bahwa di
". Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku, (janganlah
kamu berbuat demikian). . . . "
Jadi, tidak mungkin terhimpun dalam hati seseorang antara sikap berhijrah keluar untuk berjihad di jalan Allah dan mencari ridha-Nya dengan cinta dan kasih sayang kepada orang-orang yang telah mengeluarkan mereka karena keimanan kepada Allah dan mereka adalah musuh Allah dan musuh Rasul-Nya!
Kemudian Al Qur'an mengingatkan orang-orang yang beriman dengan peringatan tersembunyi dari apa yang tergolak dalam hati mereka dan apa-apa yang mereka sembunyikan dan rahasiakan kepada musuh-musuh mereka dan musuh-musuh Allah tentang kasih sayang. Karena, Allah
mengetahui rahasia hati dan perkara yang jelas dan tampak darinya.
":. . Kamu memberitahukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. . . . "
Kemudian Allah mengancam mereka dengan ancaman yang keras dan menakutkan, yang menggetarkan hati orang-orang yang beriman sehingga gemetaran dan ketakutan,
“. . Barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. " (Al Mumtahanah: 1)
Apakah ada perkara lain yang lebih ditakuti oleh seorang mukmin daripada tersesat dari jalan lurus setelah mendapat hidayah Allah dan sampai kepada puncak keimanan? Ancaman ini dan peringatan sebelumnya menjadi perantara yang mencerahkan orang-orang yang beriman tentang hakikat musuh-musuh mereka dan apa yang mereka konspirasikan secara rahasia tentang makar
kejahatan dan tipu daya. Kemudian muncullah sisanya,
'Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka
bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu). . . . "
Maka,
janganlah memberikan peluang sedikitpun
kepada mereka sehingga mereka dapat memukul
dan mengenai orang-orang yang beriman. Akhirnya, merekapun bersikap seperti
layaknya musuh yang sejati, dan
mereka pasti akan menimpakan kepada orang-orang yang beriman apapun yang mampu mereka lakukan dari segala bentuk azab dengan tangan, lisan, serta segala sarana dan
segala cara. Yang lebih berbahaya daripada hal itu semua, serta yang lebih keras dan lebih kejam dan menakutkan adalah,
". . . Dan mereka ingin
supaya kamu (kembali) kafir. " (Al Mumtahanah: 2)
Perkara ini bagi setiap mukmin lebih keras dan menyakitkan daripada segala penyiksaan dan kejahatan lain baik dengan tangan maupun dengan lisan. Orang-orang kafir itu menginginkan agar orang mukmin mengalami kerugian dalam perbendaharaan yang paling
dicintainya ini, yaitu perbendaharaan iman. Mereka menginginkan orang-orang yang beriman kembali murtad dan kafir. Permasalahan itu merupakan
permusuhan yang paling nyata dari segala permusuhan lainnya baik dengan lisan
maupun dengan tangan.
Orang yang merasakan kelezatan iman setelah kekufuran dan mendapat hidayah cahaya iman setelah kesesatan, dan hidup sebagai seorang mukmin lengkap dengan
pandangan-pandangan, persepsi-persepsi, pengetahuan-pengetahuan, perasaan-perasaan, istiqamah dalam jalan dan ketenangan hatinya, . .
. pasti membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana diapun membenci dilemparkan ke dalam api neraka. Bahkan, dia lebih membencinya lagi daripada itu.
Jadi, musuh Allah adalah orang-orang yang menginginkan agar dirinya kembali kepada jurang kekufuran. Padahal, dia telah keluar darinya menuju taman iman. Atau, orang-orang yang kembali kepada kekosongan kufur yang menjatuhkan setelah memasuki alam
iman yang tenteram dan damai. Oleh karena itu,
Al Qur'an berangsur-angsur membangkitkan
hati orang-orang yang beriman agar
menghadapi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka hingga sampai kepada puncaknya dengan firman-Nya kepada mereka
". . . Dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. "
Itulah penelusuran pertama dengan sentuhan-sentuhannya yang bermacam-macam. Kemudian diikuti dengan penelusuran
kedua dengan satu sentuhan yang memberikan solusi dan terapi terhadap perasaan-perasaan kekerabatan dan ikatan-ikatan yang mengakar, di mana ia selalu bergolak dalam hati. Sehingga, mendorongnya kepada rasa kasih sayang, melupakannya dari beban-beban yang istimewa dan berbeda dalam aqidah,
"Karib kerabat dan anak-anakmu
sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan di antara kamu. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. "(Al Mumtahanah: 3)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu beramal dan berharap untuk kehidupan akhirat. Mereka menanam di dunia ini dan menanti panen di akhirat
"Karib kerabat dan anak-anakmu
sekali-kali tiada bermanfaat bagimu. . . . "
Yaitu, orang-orang yang hati kalian condong kepadanya
dan terikat hati kalian kepadanya. Mereka memaksa kalian untuk mencintai musuh-musuh Allah, musuh-musuh kalian untuk menjaga mereka dan melindungi mereka, seperti yang terjadi pada kasus Hatib
karena ingin menjaga anak-anak dan harta
bendanya. Dan, sebagaimana hal itu juga terlintas dalam benak dan hati orang-orang
yang lain, mengenai kaum kerabat dan
anak-anak yang mereka tinggalkan di
Madinah untuk menaklukkan Mekah.
Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali
tiada bermanfaat bagimu. . . . "
Hal itu disebabkan bahwa,
". . . Pada hari Kiamat, Dia akan
memisahkan di antara kamu. . . . "
Karena ikatan iman yang mengikat kalian terputus, karena tidak ikatan yang lain yang dapat mengikat di antara kalian di sisi Allah selain ikatan iman itu.
". . . Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. "(al Mumtahanah: 3)
Allah Maha Mengetahui atas amal yang nyata dan niatnya yang ada di balik nurani. Lalu muncullah penelusuran
ketiga. Ia menghubungkan orang-orang yang beriman dengan generasi awal dari umat yang satu ini (yaitu umat tauhid) dan kafilah yang satu ini (yaitu kafilah iman). Memang ia berjarak sangat jauh dalam zaman dan waktu, namun tetap sama dalam karakter iman yang terbebas dari segala ikatan lain yang menafikan ikatan aqidah.
Sesungguhnya umat tauhid terbentang sejak dari zaman Ibrahim, yaitu
bapak tauhid orang-orang
beriman yang pertama dan pemilik aqidah hanifah yang pertama. Dalam diri Ibrahim terdapat teladan bukan hanya dalam bidang aqidah semata-mata, namun juga dalam perilaku. Juga dalam percobaan dan ujian yang dijalaninya dan dibebankan kepadanya yaitu ujian kasih sayang kepada kaum kerabat dan ikatan-ikatan kekeluargaan. Kemudian Ibrahim lulus dari ujian bersama orang-orang yang beriman kepada Allah bersamanya, dan diapun tulus dan murni memperjuangkan aqidahnya semata-mata
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, 'Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. ' Kecuali perkataan
Ibrahim kepada bapaknya, 'Sesungguhnya aku akan
memohon ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah. ' (Ibrahim berkata), 'Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, hanya kepada Engkaulah
kami bertaubat, dan hanya kepada
Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah orang-orang kafir. Dan, ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah
Yang Maha Perkasa lagi Mahab Bijaksana. 'Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu. (Yaitu) bagi orang
yang mengharap (pahala) Allah dan
(keselamatan pada) Hari Kemudian. Barangsiapa
yang berpaling, maka sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. " (Al Mumtahanah:
4-6)
Orang-orang yang beriman dapat menyaksikan betapa mereka memiliki garis keturunan yang sangat mulia dan tua sekali. Mereka memiliki teladan yang masih diikuti berabad-abad lamanya dan telah lama sekali. Hal itu pangkalnya dirujukkan kepada Ibrahim, buhan hanya pada aqidahnya semata-mata, tapi juga dalam ujian-ujian dan percobaan-percobaan yang dijalaninya. Jadi, dia akan menyadari bahwa Ibrahim memiliki bekal pengalaman yang lebih besar dari bekal pengalaman yang dia miliki sendiri secara pribadi. Juga lebih besar daripada bekal yang dimiliki oleh generasinya sendiri di mana dia hidup bersama mereka.
Sesungguhnya kafilah yang berkembang dalam setiap zaman dari orang-orang yang beriman kepada agama Allah, yang bernaung di bawah panji Allah telah berlalu dengan contoh yang ditinggalkan jejak-jejaknya. Dalam perjalanannya tersebut, telah sampai kepada pengambilan keputusan yang ditetapkannya. Jadi,
urusan tersebut bukanlah sesuatu yang baru, bukan
pula perkara bid'ah dan beban sulit
yang dipikulkan kepada orang-orang yang
beriman.
Kemudian sesungguhnya ia adalah umat yang panjang dan
luas yang bertemu dalam aqidah dan merujuk
kepadanya, bila terjalin hubungan antara umat dengan musuh-musuh aqidahnya. Jadi, orang-orang Islam hanyalah salah satu cabang dari pohon aqidah yang besar yang telah ditanam oleh orang-orang beriman yang terdahulu yang diawali oleh Ibrahim. Ibrahim
dan orang-orang yang bersamanya melewati
ujian-ujian yang juga dihadapi dan dirasakan oleh para Muhajirin yang berhijrah ke Madinah. Dalam pribadi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, terdapat uswah hasanah 'teladan yang baik',
"Sesunguhnya telah ada suri teladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, 'Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja. '. . .
. "
Hal itu merupakan pelepasan diri dari kaum dan segala persembahan mereka dan ibadah-ibadah mereka. Yaitu, mengingkari kekufuran mereka dan beriman kepada Allah. Permusuhan dan kebencian tidak akan pernah putus terhadap kaum itu hingga mereka benar-benar beriman kepada Allah semata-mata. Hal itu merupakan pemisahan yang tegas dan pasti yang tidak lagi menyisakan lagi ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan setelah terputusnya ikatan aqidah dan hubungan iman. Dalam hal ini, terdapat keputusan final dalam ujian yang harus ditempuh dan dilalui oleh setiap mukmin pada setiap generasi. Dalam
keputusan dan ketetapan Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, terdapat suri
tauladan bagi orang-orang yang datang setelah mereka dari kaum mukminin hingga hari kiamat.
Beberapa
orang yang beriman telah mendapatkan dalam
istighfar Ibrahim untuk bapaknya (padahal
bapaknya adalah seorang yang musyrik) suatu tembusan dan lorong yang dapat melepaskan perasaan cinta mereka yang tertahan dan perasaan yang terhubung dengan kerabat-kerabat mereka yang masih musyrik. Namun, Al Qur'an datang untuk
menjelaskan tentang hakikat sikap Ibrahim dalam pernyataannya kepada bapaknya,
". . . Sesungguhnya aku akan memohon
ampunan bagi kamu. . . . "
Ibrahim menyatakan perkataan sebelum dia yakin seyakin-yakinnya bahwa bapaknya akan tetap bersikeras
dalam kekafirannya dan kemusyrikannya. Ibrahim
menyatakan perkataan itu karena mengharapkan
keimanan bapaknya,
"Tatkala jelas bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. "(At Taubah: 114)
Sebagaimana dijelaskan juga dalam
".
. . Dan aku tiada dapat menolak sesuatupun
dari kamu (siksaan) Allah. ' (Ibrahim
berkata), 'Ya Tuhan kami, hanya
kepada Engkaulah kami bertawakal, hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. " (Al Mumtahanah:
4)
Penyerahan total dan mutlak seperti ini kepada Allah merupakan ciri iman yang sangat jelas pada Ibrahim yang ditampakkannya di sini untuk mengarahkan hati anak cucunya yang beriman kepada ciri itu. Ia laksana salah satu episode dari episode-episode tarbiah, pendidikan, dan pengarahan dengan kisah-kisah dan komentar atasnya. Kemudian penjelasan di sela-selanya tentang tanda-tanda, ciri-ciri, dan pengarahan-pengarahan sebagaimana metode Al Qur'an yang mulia. Penjelasan tentang hal ini diterangkan dengan panjang lebar dalam menetapkan doa Ibrahim dan munajatnya kepada Tuhannya,
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan
kami (sasaran)
fitnah orang-orang kafir. . . . "
Jadi, janganlah Engkau memberikan kekuasaan kepada mereka untuk menjajah kami, sehingga kami
menjadi sasaran penyiksaan dan fitnah bagi mereka.
Karena orang-orang kafir akan berkata, "Seandainya
iman itu menjaga para penganutnya, maka
kita tidak mungkin dapat mengalahkan mereka dan menguasai mereka. " Inilah syubhat yang sering muncul dalam hati ketika kebatilan mengalahkan kebenaran, dan ketika para thagut memerintah
atas para penganut keimanan (karena suatu hikmah yang dikehendaki oleh Allah) dalam suatu masa tertentu. Orang-orang yang beriman harus bersabar atas segala cobaan. Namun, hal ini tidak
menghalanginya untuk berdoa agar
Allah tidak menimpakan musibah dan
fitnah yang menjadi syubhat dan keraguan dalam hatinya.
Sisa doa itu adalah,
". . . Dan
ampunilah kami Ya Tuhan kami. . . . "
Doa ini diucapkan oleh Ibrahim sebagai kekasih
Allah, karena kesadaran darinya tentang tingkat ibadah yang berhak didapatkan oleh Allah darinya sebagai hamba Allah. Juga karena kelemahan sebagai manusia dari pencapaian tingkat yang dapat menyamai dan mensyukuri dengan kesyukuran yang sebanding dengan
nikmat-nikmat Allah. Dia mengagungkan Allah atas keagungan dan kesombongan-Nya sehingga dia memohon ampunan-Nya agar perasaan dan caranya berdoa seperti itu menjadi teladan bagi orang-orang yang bersamanya dan
orang-orang yang datang sesudahnya. Doa, munajat, dan istighfar Ibrahim diakhiri dengan
mensifati Tuhannya dengan sifat yang serasi dan sesuai dengan doa itu,
". . . Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Mumtahanah: 5)
Al Aziz adalah Yang Maha Kuasa atas segala perbuatan. Al Hakim adalah yang bijaksana dalam menjalankan aturan-Nya.
Di akhir paparan tentang sikap Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya, dan dalam penyerahan diri
Ibrahim dan munajatnya, redaksi Al Qur'an
kembali menetapkan perihal keteladanan dan
mengulang-ulanginya, bersama dengan sentuhan yang baru terhadap hati
orang-orang yang beriman,
"Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan
umatnya) ada teladan yang baik bagimu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Barangsiapa yang berpaling. maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. " (Al Mumtahanah:
6)
Jadi, keteladanan dalam pribadi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya adalah sesuatu yang pasti terealisasi bagi orang-orang yang mengharapkan ridha Allah dan kehidupan akhirat. Merekalah orang-orang yang menyadari tentang nilai dari ujian yang mereka hadapi karena ikatan yang kuat dan mulia. Mereka
menemukan padanya keteladanan yang pantas
dan sangat patut dicontoh dan preseden
yang baik untuk menjalani petunjuk hidayah. Maka, barangsiapa yang mengharapkan ridha Allah dan kehidupan akhirat, hendaklah ia mengambil keteladanan padanya. Pengarahan itu sangat terasa
bagi orang-orang yang hadir dari kaum
mukminin pada saat itu. Sedangkan, bagi
orang-orang yang ingin berpaling
dari manhaj ini, orang-orang yang ingin menyimpang dari jalan lurus kafilah iman, dan orang-orang yang ingin melepaskan diri dari garis
keturunan nasab yang tinggi ini, maka
Allah tidak membutuhkan apa-apa
darinya.
". . . Barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. "(Al Mumtahanah:
6)
Penelusuran ini berakhir dan orang-orang yang
beriman telah kembali kepada masa-masa awal sejarah keberadaan mereka yang sangat lama. Mereka kembali dengan
kenangan-kenangan tentang pertumbuhan
mereka di dunia. Mereka mengetahui dan menyadari ujian dan percobaan panjang dan lama
yang telah ditempuh oleh generasi-generasi yang terdahulu. Mereka dapat melihat dengan jelas ketetapan yang berlaku bagi orang-orang yang telah
melewati ujian dan percobaan itu. Dan,
mereka mendapatkan jalan setapak di
mana mereka bukanlah orang-orang
yang pertama-tama menapakkan kakinya
di atasnya. Al Qur'an yang mulia menegaskan persepsi ini dan
mengulanginya berturut turut agar para kafilah
orang-orang yang beriman selalu
terkait dan terjalin hubungan. Sehingga,
perasaan-perasaan keterasingan atau kesendirian tidak akan pernah dia rasakan. walaupun dia seorang diri di tengah-tengah generasinya yang kufur. Dengan demikian, dia
tidak akan menemukan kesulitan apapun dalam menunaikan beban taklif yang telah dipikul oleh oarang-orang yang terdahulu di jalan yang sama.
Berhubungan dengan Orang Kafir yang Tidak Memusuhi Islam
Setelah itu redaksi kembali membangkitkan hati
yang diketahui oleh Allah memiliki sifat kasih sayang dan keinginan
untuk menghilangkan kondisi permusuhan dan
kekasaran yang membebani orang-orang
yang beriman. Ia membangkitkannya dengan harapan yang membara untuk menjaring
musuh-musuh itu ke dalam panji Islam dan ke dalam barisan kaum muslimin.
Itulah cara untuk menghilangkan kekeringan dan kehambaran hubungan. Kemudian membangun
ikatan
kasih sayang di atas asasnya yang kuat. Allah
meringankan sekali lagi beban atas orang-orang yang beriman ketika meletakkan kaidah Islam yang besar dalam urusan hubungan antar negeri yaitu antara orang-orang yang Islam dan orang-orang non muslim. Lalu, Dia mempersempit pemutusan dan pertikaian itu hanya pada saat terjadi peperangan dan permusuhan secara khusus. Sedangkan, bila orang-orang kafir dan orang-orang musyrik tidak memerangi dan memusuhi orang-orang yang beriman, maka pada saat itu Allah memerintahkan untuk mempergauli orang-orang yang pantas dipergauli dengan baik, yaitu dengan berbuat adil dalam bermuamalah.
'Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Allah
adalah Maha Kuasa. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim. "(Al Mumtahanah: 7-9)
Sesungguhnya Islam adalah agama yang damai dan aqidah yang penuh dengan cinta. Ia adalah sistem yang membawa misi agar seluruh
alam semesta berada dalam lindungannya, membangun di dalamnya
manhajnya, menghimpun manusia di bawah panji Allah sebagai sesama saudara yang saling mengenal dan mencintai. Di
Dalam ayat pertama dari bagian paragraf ini terdapat isyarat terhadap harapan itu yang tidak bisa dipadamkan oleh perasaan putus asa. Ia
dipaparkan dalam bentuk keringanan yang diberikan oleh syariat atas jiwa-jiwa sebagian kaum Muhajirin. Ia bagaikan
suplemen bagi hati mereka yang telah merasa
sangat lelah memikul beban yang sulit karena
harus memutuskan hubungan dengan kerabat
dan keluarga mereka, bahkan harus memerangi mereka.
'Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. . . .
Harapan ini dari Allah, yang bermakna hal itu pasti terjadi. Orang-orang yang beriman yang telah mendengar hal ini pasti meyakininya. Dan memang benar, setelah ayat ini turun dalam waktu yang singkat,
". . . Allah adalah Maha Kuasa. . . . "
Allah Maha Berkuasa melakukan apapun tanpa ada sesuatu yang mampu menghalanginya
". . . AllahMaha Pengampun lagi Maha
Penyayang. "(Al Mumtahanah: 7)
Allah pasti mengampuni kesalahan-kesalahan masa lalu baik berupa syirik maupun dosa-dosa lainnya. Ketika berada dalam penantian terwujudnya apa yang dijanjikan oleh Allah dalam ungkapan harapan di atas, dan Allah mengkhususkan bagi orang-orang yang beriman agar memperlakukan dengan baik orang-orang yang tidak memerangi mereka dalam agama dan tidak
mengeluarkan mereka dari tanah air mereka, . . . maka Allah meringankan larangan dengan membolehkan mereka berbuat baik-baik dan berlaku adil dalam bermuamalah dengan mereka sehingga tidak dibolehkan merugikan mereka dalam hak-hak mereka. Setelah itu Allah melarang dengan keras dari mencintai orang-orang yang memusuhi dan memerangi orang-orang yang beriman dalam agama dan mengeluarkan mereka dari tanah air
mereka sendiri atau orang-orang kafir itu membantu dalam pengusiran
atas mereka darinya. Allah memvonis bahwa
kaum muslimin yang menjadikan
orang-orang kafir sebagai kawan dan penolong,
padahal mereka memusuhi orang-orang yang
beriman, sebagai orang-orang yang zalim. Dan, di antara makna zalim
itu adalah syirik seperti dapat dirujuk kepada firman Allah,
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. " (Luqman: 13)
Itu merupakan ancaman yang sangat menakutkan dan menggetarkan hati orang-orang yang beriman. Mereka pasti berusaha jangan sampai masuk ke dalam perangkapnya yang mengerikan. Itulah kaidah dalam
pergaulan dengan orang-orang yang non muslim. Ia merupakan kaidah yang
paling adil dan sangat cocok dengan tabiat agama Islam, arahannya, dan pandangannya terhadap kehidupan manusia. Bahkan, persepsi
Islam yang universal terhadap segala makhluk yang ada. Ia bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, dan iapun mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah takdir azali yang mengatasi segala perbedaan dan perselisihan antara
orang-orang yang beriman dan selain mereka.
Kaidah itu merupakan asas syariat Islam dalam hubungan internasional. Ia menjadikan kondisi kaum muslimin antara mereka dengan seluruh manusia tetap stabil. Hal itu tidak akan berubah sama sekali, melainkan bila terjadi permusuhan dan penyerangan terhadap kaum muslimin yang harus dilawan dan ditentang. Atau, karena kekhawatiran adanya pengkhianatan
setelah ditandatanganinya perjanjian damai,
yaitu berupa ancaman penyerangan atau mengancam
kebebasan berdakwah dan kebebasan berkeyakinan. Itu merupakan bentuk lain dari
permusuhan. Selain kondisi itu semua,
kaidah yang ditetapkan adalah
perdamaian, kasih sayang, berbakti, dan
berbuat adil terhadap seluruh manusia!
Jadi, pandangan Islam yang menentukan tentang problematika antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menentang mereka adalah kaidah aqidah semata-mata. Ia menetapkan bahwa nilai yang diusung oleh setiap mukmin dan harus dibela mati-matian dengan berperang sekalipun adalah perkara aqidah semata-mata. Dengan demikian, antara orang-orang yang beriman dengan seluruh manusia
tidak ada permusuhan dan peperangan selama
kebebasan dakwah dan kebebasan berkeyakinan
tetap dihormati. Selanjutnya ditegakkanlah
manhaj Allah di muka bumi ini dan kalimat Allahpun ditinggikan.
Pengarahan ini sesuai dengan arahan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hidup
di dunia ini demi aqidahnya, dan mereka menjadikannya sebagai perkara
pokok dalam hubungan antara mereka dengan seluruh manusia lainnya. Jadi, tidak ada perselisihan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan maslahat. Islam tidak nnensyariatkan jihad untuk membela fanatisme tertentu; baik berupa fanatisme golongan, jenis, negeri, keluarga, ataupun keturunan. Sesungguhnya jihad itu hanya disyariatkan untuk menegakkan kalimat Allah yang tertinggi dan agar aqidah Islam menjadi manhaj yang dipakai dan ditegakkan di muka bumi.
Setelah
'(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan
daripada Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin
yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). " (At Taubah:1)
Dengan turunnya ayat itu, maka berakhirlah segala bentuk perjanjian damai dan ikatan gencatan senjata antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang
musyrik secara keseluruhan. Hal itu berlaku
dengan diberi masa tangguh selama empat bulan bagi orang-orang yang mengikat perjanjian damai tanpa ketetapan waktu yang pasti. Juga
diberi masa tenggang waktu bagi
orang-orang yang mengikat perjanjian
dengan masa waktu tertentu hingga berakhir masanya. Namun, ketetapan ini diputuskan setelah berkali-kali percobaan dilakukan bahwa kaum-kaum itu tidak menjaga ikatan perjanjian mereka dengan orang-orang yang beriman, melainkan mereka selalu membatalkan dan mengkhianatinya bila mereka melihat peluang kemenangan dan keuntungan. Maka, kaidah lainpun berlaku bagi mereka,
Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan
dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. " (Al Anfaal:
54)
Kaidah sangat penting untuk mengamankan markas kekuatan Islam (yang pada saat itu meliputi semenanjung
Wanita sebagai Tonggak Jihad dan Dakwah
'Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan, berikanlah kepada (suami-suami mereka) mahar yang telah mereka bayar. Tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan wanita-wanita kafir. Hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. , jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka, maka
bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya
itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar.
Dan, bertaqwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman. " (Al Mumtahanah:
10-11)
Telah disebutkan riwayat tentang sebab nuzul hukum-hukum dalam ayat di atas bahwasanya dalam perjanjian
Hudaibiyah terdapat butir kesepakatan bahwa "sesungguhnya bila
datang kepadamu seseorang di antara kami (Quraisy)
walaupun dia menganut agamamu, maka kamu (Muhammad saw) harus
mengembalikannya kepada kami." Ketika Rasulullah dan orang-orang yang
beriman bersamanya telah bertolak pulang dan sampai ke lembah yang rendah dari Hudaibiyah, maka datanglah beberapa orang wanita mukminah yang memohon untuk ikut berhijrah dan bergabung ke dalam Daulah Islamiah di Madinah. Kemudian Quraisypun datang meminta
agar wanita-wanita itu dikembalikan sesuai butir perjanjian. Dan, tampak
sekali dari teks butir perjanjian itu bahwa hal itu tidak mencakup sama sekali di dalamnya kaum wanita. Maka, turunlah dua ayat di atas yang melarang orang-orang yang beriman untuk mengembalikan wanita-wanita mukminah itu kepada orang-orang kafir sehingga kaum kafirin menyiksanya dalam agamanya karena
kelemahan kaum wanita. Bersama dengan itu, turun pula hukum-hukum tentang hubungan antar negara yang mengatur tentang pergaulan yang
berasas kepada kaidah yang lebih adil tanpa terpengaruh dengan
perilaku kelompok lain, dan segala bentuk kezaliman dan kekerasan di dalamnya. Itulah salah satu kaidah dan cara Islam dalam mengatur segala macam muamalah baik dalam negeri maupun luar negeri.
Prosedur pertama yang dilakukan terhadap wanita-wanita yang ingin
berhijrah itu adalah menguji mereka untuk mengetahui sebab dan
dorongan mereka untuk berhijrah. Sehingga, bukan karena disebabkan oleh keinginan terlepas dari seorang suami yang dibencinya, atau untuk mencari manfaat lain, atau ingin merealisasikan cinta pribadi yang terpendam kepada orang yang berada di Daulah Islamiah. Ibnu Umar berkata, "Mereka diuji dengan, 'Demi Allah, aku tidak keluar berhijrah karena benci kepada suami. Demi Allah, aku tidak keluar berhijrah karena ingin pindah dari suatu negeri ke negeri yang lain. Demi
Allah, aku tidak keluar berhijrah untuk
mencari keuntungan dunia. Dan, demi Allah, aku tidak keluar berhijrah melainkan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya semata-mata."
Ikrimah berkata bahwa mereka diuji dengan, "Kamu sekali-kali tidak digerakkan untuk datang, melainkan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Kamu tidaklah datang karena mencintai seorang laki-laki dari kami, dan tidak pula karena lari dari suamimu."
Itulah ujiannya. Hal itu didasarkan kepada kondisi lahiriah mereka dan ikrar mereka disertai bersumpah dengan nama Allah. Sedangkan, perkara-perkara yang tersembunyi dalam hati, maka urusannya diserahkan
sepenuhnya kepada Allah karena manusia tidak mengetahuinya.
'Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, . . . . "
Apabila mereka
telah berikrar demikian, maka janganlah
kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang
kafir.
". . Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Merek tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. . . . "
Karena
ikatan satu-satunya telah tumbuh, yaitu ikatan
aqidah. Maka, tidak ada peluang lagi bagi ikatan lain yang dapat menghubungkan ikatan yang terputus itu. Perkawinan merupakan suatu kondisi yang bercampur-baur, menyatu, dan stabil. Ia tidak mungkin
dapat terbangun bila ikatan yang pertama (ikatan aqidah) terputus. Iman
merupakan kehidupan hati, di mana tidak
mungkin perasaan hati lainnya dapat menggantikan posisinya. Bila hati kosong dari iman
itu, maka seorang mukmin tidak
mungkin dapat saling merespons dan saling
berinteraksi secara baik dengannya. Apalagi,
bersenda gurau dengannya, mencintainya,
merasa damai bersamanya, dan merasa
tenteram berada di sampingnya. Dan, perkawinan itu merupakan tempat menjalin cinta, kasih sayang, mendapat hiburan dan kedamaian.
Pada awal hijrah belum ada teks (nash) Al Qur'an
yang mengatur. Sehingga, belum ada pemisahan antara isteri-isteri yang mukminah dan suami-suami yang kafir. Demikian pula antara suami-suami yang mukmin dengan isteri-isteri
yang kafir. Karena masyarakat Islam pada
saat itu belum stabil tiang-tiang dan kaidah-kaidahnya.
Setelah perjanjian Hudaibiyah, kemenangan
Hudaibiyah seperti yang banyak disebutkan oleh para perawi, maka telah tiba saatnya untuk memaklumatkan pemisahan mutlak dan sempurna. Tujuannya agar tertanam dengan kokoh dalam nurani orang-orang
yang beriman baik laki-laki maupun wanita, sebagaimana
telah menjadi perkara yang kokoh dan
stabil dalam kenyataan hidup mereka, bahwa
tidak ada ikatan melainkan hanya ikatan aqidah dan tidak ada hubungan
melainkan hanya hubungan iman. Juga bahwa
tidak ada hubungan dan ikatan apa-apa
di antara orang-orang melainkan hanya
di antara orang-orang yang diikat oleh keimanan kepada Allah. Bersama
dengan prosedur pembedaan dan pemisahan
itu, ada juga prosedur ganti rugi sebagai bentuk keadilan dan persamaan. Sehingga,
mahar yang telah diberikan oleh suami
yang kafir juga dikembalikan lagi
secara utuh kepadanya seperti yang
telah dia keluarkan kepada isterinya yang mukminah, karena mau tidak mau isterinya itu harus menceraikannya. Hal itu sebagai ganti dari kerugian mantan suaminya. Dan, demikian pula mahar yang telah diberikan oleh suami yang mukmin, harus dikembalikan lagi kepadanya setelah menceraikan
isterinya yang kafir. Setelah itu, halallah
bagi orang-orang beriman yang berhijrah
untuk menikahi wanita-wanita mukminah
yang berhijrah selama mereka memberikan mahar kepada mereka. Namun, ada perbedaan fiqih yang menjadi masalah; apakah mereka memiliki iddah atau mereka tidak memilikinya kecuali hanya
bagi yang hamil saja hingga dia
melahirkan anaknya? Bila mereka
memiliki iddah, apakah iddahnya sama
dengan iddah para wanita yang diceraikan oleh suaminya yaitu tiga quru', atau apakah iddahnya hanya untuk mengetahui kosongnya rahim yaitu dengan cukup satu kali haid saja?
". . . Dan berikanlah
kepada (suami-suami mereka) mahar yang
telah mereka bayar. Dan, tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya, janganlah kamu tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir. Hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
. . . "
Kemudian Allah menghubungkan hukum-hukum itu dengan jaminan besar yang terdapat dalam nurani setiap mukmin. Yaitu, jaminan pengawasan Ilahi, ketakutan kepada Allah, dan bertaqwa kepada-Nya.
". . . Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Al Mumta hanah: 10)
Jaminan itu adalah jaminan satu-satunya yang dapat diandalkan dan aman dari segala pengkhianatan, penyimpangan, dan tipu daya. Jadi, hukum Allah adalah hukum Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dia mengetahui segala yang ada dalam hati. Dia adalah hukum Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa. Cukuplah bagi nurani seorang mukmin untuk
merasakan hubungan ini, dan menyadari sumber hukum itu, agar dia berjalan
lurus di atasnya dan menjaga batasan-batasannya. Seorang mukmin yakin sekali bahwa tempat kembalinya adalah Allah
semata-mata.
Bila orang-orang yang beriman kehilangan sesuatu dari apa yang telah mereka keluarkan dari mahar, karena orang-orang kafir menolak mengembalikan mahar yang menjadi hak suami yang mukmin
(sebagaimana terjadi dalam beberapa kasus), maka
seorang pemimpin kaum mukminin harus menggantinya
dari mahar yang terdapat pada isteri-isteri mukminah yang telah berhijrah dan mahar mereka belum dikembalikan kepada suami-suami mereka yang kafir. Atau, dari harta rampasan perang yang diperoleh dari orang-orang kafir itu dan
dikuasai oleh orang-orang yang
beriman.
'Jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. . . . "
Hukum ini dan pemberlakuannya juga dikaitkan dengan jaminan yang setiap hukum dan penegakannya selalu
berkaitan dengannya,
". . . Dan
bertaqwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman. " (Al Mumtahanah: 11)
Suatu sentuhan bagi orang-orang beriman yang memiliki
pengaruh yang mendalam di dalam hati mereka.
Demikianlah hukum-hukum pemisahan itu antara suami isteri yang berbeda keyakinan, sebagai realisasi nyata dari
persepsi Islam tentang nilal-nilai kehidupan dan ikatan-ikatannya; dan tentang
kesatuan barisan Islam dan keistimewaannya di antara semua barisan lainnya. Juga tentang pembangunan kehidupan berdasarkan asas aqidah dan mengikatnya dengan lingkaran
keimanan. Kemudian pembentukan alam manusia yang meleburkan segala perbedaan-perbedaan jenis, warna kulit, bahasa, nasab keturunan, dan asal tanah air. Hanya satu perbedaan yang tersisa dan tanda pengenal yang membedakan manusia. Yaitu, tanda pengenal kelompok di mana mereka bernisbat kepadanya di antara dua kelompok yang berbeda; kelompok tentara Allah atau kelompok tentara setan.
Kemudian Allah menjelaskan kepada Rasulullah cara membaiat wanita-wanita mukminah itu atas iman, karena mereka dan orang-orang yang selain mereka ingin
masuk Islam. Dia menjelaskan atas asas-asas
apa saja mereka harus berbaiat dan dibaiat
oleh Rasulullah.
'Hai Nabi, apabila datang kepadamu kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang
mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Mumtahanah: 12)
Asas asas ini
merupakan kaidah besar tentang standar-standar
aqidah, sebagaimana ia juga merupakan
norma-norma kehidupan bermasyarakat yang
baru. Sesungguhnya ia adalah tidak menyekutukan Allah secara mutlak dan tidak melanggar hukum-hukum hudud (yaitu mencuri, berzina, membunuh anak-anak sebagaimana ia juga mencakup pengguguran kandungan janin karena sebab apapun). Mereka telah diberi amnanah atas bayi
yang dikandung dalam rahimnya.
". . . Tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka. . . . "
Ibnu Abbas berkata, "Jangan sampai mereka menasabkan anaknya kepada selain ayah kandungnya." Demikian pula pendapat Muqatil. Kemungkinan kehati-hatian ini (setelah melakukan baiat atas janji tidak akan berzina) karena kondisi nyata pada zaman jahiliah terlihat nyata bahwa wanita menyerahkan dirinya kepada beberapa laki-laki. Bila dia melahirkan, dia akan melihat laki-laki mana yang paling cocok rupanya dengan anak yang dilahirkannya.
Barulah dia menasabkan anaknya kepada laki-laki itu. Bahkan, kadangkala
dia memiliki laki-laki yang paling ganteng dan baik sebagai bapak
anaknya, padahal dia tahu ayah anak tersebut yang sebenarnya bukan lelaki itu.
Lafazh ayat yang umum meliputi makna ini dan makna itu semua, pokoknya setiap dusta yang palsu dan mengada-ada. Ibnu Abbas dan Muqatil mengkhususkan hanya makna di atas karena momennya pas dengan
kejadian kasus di atas.
Dan, syarat baiat yang terakhir adalah,
". . . Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. . . . "
Ia mencakup janji ketaatan kepada Rasulullah dalam setiap
perintah yang diperintahkan kepada mereka. Rasulullah
tidak mungkin memerintahkan melainkan
perkara yang ma’ruf. Syarat ini merupakan
salah satu kaidah tatanan hukum dalam Islam, yaitu kaidah bahwa tidak boleh taat kepada pemimpin atau seorang hakim melainkan hanya dalam perkara-perkara ma’ruf yang sesuai dengan agama Allah dan syariat-Nya. Juga kaidah bahwasanya taat
itu tidak boleh mutlak kepada pemimpin
dalam setiap urusan.
Kaidah menjadikan kekuatan syariat dan perintah harus bersandar kepada syariat Allah, bukan kehendak pemimpin atau kehendak umat bila
bertentangan dengan syariat Allah. Jadi, pemimpin dan umat, keduanya subyek hukum syariat Allah dan dari syariat itu segala
kekuatan dan kekuasaan bersumber. Bila
wanita-wanita itu berbaiat atas asas-asas yang lengkap dan mencakup ini, maka
terimalah olehmu (wahai Muhammad saw)
baiat mereka. Dan. mohon ampunlah kepada Allah bagi mereka atas kesalahan-kesalahan
masa lalu,
Hai nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka
tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak
akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan
antara tangan dan kaki mereka[1472] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan
yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada
Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Mumtahanah:
12)
Allah pasti mengampuni, merahmati, dan meringankan segala kesalahan yang menggelincirkan.
Akhirnya, dalam bagian penutup muncullah sentuhan yang umum berikut ini.
'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa." (Al Mumtahanah: 13)
Ia muncul guna membisikkan
ke dalam hati orang-orang
yang beriman atas nama iman, dan dengan sifat yang membedakan mereka dari segala kaum
yang lain. Sifat itulah yang menghubungkan mereka kepada Allah dan membedakan mereka dari musuh-musuh Allah. Pada beberapa riwayat
disebutkan tentang maksud
dari kaum yang dimurkai oleh Allah bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi, dengan bersandar kepada kenyataan
keterpurukan mereka dengan laknat dan murka Allah dalam ayat-ayat yang lain di tempat-tempat
lain dari Al Qur'an. Namun, hal itu tidak
mencegah pemahaman yang lebih umum dari
mereka karena ayat di ataspun muncul
dalam bentuk redaksi yang umum. Sehingga,
ia meliputi orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang disebutkan dalam
No comments:
Post a Comment