الْحَدِيثُ
السَّادِسَ عَشَرَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا
قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي، قَالَ: «لَا
تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,m"Berilah aku wasiat”. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan
marah”. Orang tersebut mengulangi permintaannya
hingga beberapa kali, sedang Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan marah”. (Diriwayatkan Al-Bukhari). [1]
Hadits bab di atas diriwayatkan Al-Bukhari dari jalur Abu
Al-Hushain Al-Asadi dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah. Hadits tersebut tidak diriwayatkan Muslim, karena Al-A’masy meriwayatkannya dari Abu Shalih. Ada
perbedaan pendapat tentang sanadnya. Ada
yang mengatakan bahwa hadits tersebut dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah seperti
perkataan Abu Al-Hushain. Ada lagi
yang mengatakan bahwa hadits tersebut dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Sa’id Al-Khudri. Menurut Yahya bin
Ma’in, sanad itulah yang benar. Ada lagi
yang mengatakan bahwa hadits tersebut dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id. Ada lagi yang
mengatakan bahwa hadits tersebut dari
Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah atau Jabir. Ada lagi yang mengatakan bahwa hadits tersebut dari Al-A’masy dari
Abu Shalih dari seseorang sahabat tanpa
disebutkan namanya.
At-Tirmidzi [2]) juga
meriwayatkan hadits di atas dari jalur Abu Al-Hushain dan teksnya ialah,
"Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam kemudian berkata, “Wahai
Rasulullah, ajarilah aku sesuatu dan jangan berkata banyak kepadaku semoga aku memahaminya”. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan marah”. Orang tersebut mengulangi permintaannya hingga beberapa
kali, sedang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau jangan
marah”. Diriwayatlain selain At-Tirmidzi disebutkan bahwa orang tersebut berkata, “Aku berkata, ”Wahai
Rasulullah tunjukkan kepadaku perbuatan
yang memasukkanku ke surga dan jangan berkata banyak kepadaku agar aku dapat
memahaminya :"Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan marah”.
Orang tersebut meminta Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi wasiat singkat namun menghimpun sifat-sifat yang baik, agar ia
bisa menghapalnya, karena ia takut tidak dapat menghapalnya jika wasiat tersebut banyak. Kemudian
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberinya wasiat agar ia tidak marah. Orang tersebut mengulangi permintaannya hingga beberapa kali,
namun Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam juga mengulangi jawaban beliau. Ini
menunjukkan bahwa marah adalah puncak
keburukan dan menjauhinya adalah puncak kebaikan.
Barangkali orang yang meminta wasiat
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tersebut
adalah Abu Ad-Darda’, karena Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu, aku berkata,
"Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku perbuatan yang
memasukkanku ke surga”. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan marah”. [3])
Al-Ahnaf
bin Qais meriwayatkan dari pamannya, Jariyah bin Qudamah, bahwa seseorang berkata,
"Wahai Rasulul/ah, katakan perkataan dan sedikitlah
bicara kepadaku agar aku bisa memahaminya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan marah”. Orang tersebut mengulangi
permintaannya hingga beberapa kali, namun Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau
jangan marah”. (DiriwayatkanImam Ahmad [4]). Di riwayat lain Imam Ahmad [5]) bahwa jariyah bin Qudamah berkata, aku
bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang kemudian bersabda seperti di atas.
Itu dengan asumsi kuat bahwa penanya adalah Jariyah bin
Qudamah. Namun Imam Ahmad menyebutkan dari Yahya
Al-QAth-Than [6])
yang berkata, "Itu yang dikatakan
Hisyam”. Maksudnya bahwa Hisyam berkata di hadits bahwa Jariyah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Yahya Al-QAth-Than berkata, "Para ulama berkata bahwa Jariyah tidak
pernah bertemu Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam”. Al-Ajli dan lain-lain juga berkata bahwa Jariyah
adalah tabi’in dan bukannya sahabat.
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Az-Zuhri dari Humaid bin
Abdurrahman dari salah
seorang sahabat Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang berkata,
aku berkata,
"Wahai Rasulullah, beri aku wasiat. "Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan marah”. Orang
tersebut berkata, "Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda seperti itu, aku berpikir,
ternyata marah
menghimpun seluruh keburukan”. [7](Diriwayatkan Imam Malik di Al-MuwAth-Tha”dari
Az-Zuhri dari Humaid secara mursal
[8]).
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Apa yang bisa menjauhkanku dari kemarahan Allah Azza wa
Jalla?" Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan marah”. [9])
Perkataan sahabat tersebut, "Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda seperti
itu, aku berpikir, ternyata marah menghimpun seluruh keburukan", menguatkan apa yang telah saya katakan sebelumnya bahwa marah
merupakan puncak
keburukan. Ja’far bin Muhammad berkata, "Marah adalah kunci semua keburukan”. Dikatakan kepada Ibnu Al-Mubarak,
"Kumpulkan untuk kami akhlak yang baik dalam satu kalimat”. Ibnu Al-Mubarak berkata, "Tidak
marah”.
Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawih juga menafsirkan akhlak
yang baik dengan tidak
marah. Ada hadits seperti itu diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Muhammad bin Nashr Al-Marwazi meriwayatkan
dalam Ta’dzimu Qadrish
Shalat [10]) hadits Abu Al-Ala’ bin Asy-Sikhkhir bahwa
seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari depan beliau kemudian berkata,
"Wahai Rasulullah, perbuatan apakah yang paling
baik?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Akhlak yang baik”. Orang tersebut datang lagi kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari
sebelah kanan beliau kemudian berkata,
"Wahai Rasulullah, perbuatan apakah yangpaling baik?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Akhlak
yang baik”. Orang tersebut datang
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari sebelah kiri beliau kemudian berkata, "Wahai Rasulullah,
perbuatan apakah yang paling baik?" Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, “Akhlak yang baik”. Orang tersebut datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam dari belakang beliau kemudian
berkata, "Wahai Rasulullah, perbuatan apakah yang paling baik?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
menoleh kepada orang tersebut kemudian
bersabda, "Kenapa engkau tidak paham? Akhlak yang baik ialah engkau tidak
marah jika engkau mampu”.
Sabda Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau, “Engkau jangan marah", mengandung dua hal;
1.
Maksud sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam tersebut ialah perintah memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang
baik, misalnya dermawan, murah hati, pemurah, malu, tawadhu’, sabar,
menahan diri dari mengganggu orang lain,
pemaaf, menahan marah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik lainnya, karena jika jiwa telah berakhlak dengan
akhlak-akhlak tersebut dan
akhlak-akhlak tersebut menjadi kebiasaannya, maka akhlak-akhlak tersebut mengusir marah jika sebab-sebabnya
datang.
2.
Maksud sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah, "Engkau jangan mengerjakan konsekwensi marah jika marah terjadi padamu, namun usahakan
dirimu tidak mengerjakannya dan tidak melakukan apa saja yang diperintahkan sifat marah, karena jika marah
mendominasi manusia, marah tersebut seperti penyuruh dan pelarang bagi mereka.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, "Sesudah amarah Musa menjadi reda”. (Al-A’raf: 154).
Jika manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan
sifat marah dan berusaha
melawan marahnya, maka keburukan sifat marah hilang darinya, bahkan bisa jadi marah menjadi reda dan hilang segera seperti tidak pernah
marah sebelumnya. Makna inilah yang
diisyaratkan Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala,
"Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf”. (AsySyura: 37).
Dan firman Allah Ta’ala,
"Dan orang-orang yang menahan marah dan memaafkan
(kesalahan) orang; Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Ali Imran: 134).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang marah untuk mengambil sebab-sebab yang menghilangkan marah dari
dirinya dan meredakan marahnya.
Beliau juga memuji orang yang bisa mengendalikan diri ketika marah. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Sulaiman bin Shard Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Dua orang saling caci-maki di tempat Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan ketika itu kami sedang duduk di samping beliau. Salah seorang dari
kedua orang
tersebut mencaci-maki temannya dengan marah hingga wajahnya memerah. Nabi Shallallahu Alailu wa Sallam
bersabda, “Sungguh aku tahu kalimat yang jika diucapkan orang tersebut, pasti hilanglah apa yang ia dapatkan (marahnya)”. Seandainya orang
tersebut berkata, ‘Aku berlindung diri kepada
Allah dari syetan yang terkutuk“. Orang-orang
berkata kepada orang tersebut,
Apakah engkau tidak mendengar apa yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam?” Orang tersebut
berkata, Aku bukan orang gila”. [11])
Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Abu Sa’id
Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda di khutbah beliau,
"Ketahuilah bahwa marah adalah bara api di hati
anak keturunan Adam. Tidakkah kalian lihat bara api kedua matanya dan
membengkaknya urat lehernya?
Barangsiapa merasakan salah satu dari hal tersebut, hendaklah ia melekatkan diri ke tanah”. [12])
Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits Abu Dzar Radhiyallahu
Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan
berdiri, hendaklah ia duduk, agar marah hilang darinya. Jika tidak, hendaklah ia berbaring”. [13])
Ada yang mengatakan bahwa orang
yang berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk
tidak siap untuk balas dendam, sedang orang yang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam. Jadi, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang marah untuk menjauhi upaya balas dendam. Ini diperkuat hadits yang diriwayatkan dari Sinan bin Sa’ad dari Anas
bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan
hadits Al-Hasan secara mursal
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Marah
adalah bara api di hati manusia yang menyala. Tidakkah engkau lihat bara api kedua matanya dan membengkaknya
urat lehernya? Barangsiapa merasakan
salah satu dari hal tersebut, hendaklah ia duduk, dan marah jangan sekali-kali membuatnya berbuat aniaya”. [14])
Maksudnya,
hendaklah orang tersebut menahan marah dalam dirinya dan jangan menyebarkannya
kepada orang lain dengan mengganggunya dengan perbuatan. Karena makna inilah, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang fitnah,
“Sesungguhnya orang yang berbaring itu lebih baik
daripada orang yang duduk. Orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang
berjalan. Dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang lari”. [15])
Kendati hadits di atas adalah perumpamaan tentang
cepatnya kejadian fitnah, namun maknanya ialah bahwa orang yang lebih dekat kepada bersegera
kepada fitnah itu lebih buruk daripada orang yang lebih jauh daripadanya.
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia
diam”, beliau bersabda seperti itu
sebanyak tiga kali”. [16])
Hadits di atas juga obat mujarab bagi marah, karena jika
orang sedang marah maka keluarlah
darinya ucapan misalnya caci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya
besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua keburukan tersebut hilang darinya. Betapa indah
perkataan Muwarriq Al-Ajli Rahimahullah, "Aku tidak pernah mengisi kemarahan dan mengatakan ketika
marah sesuatu yang aku sesali setelahnya”. Pada suatu hari, Umar bin Abdul Aziz marah kemudian anaknya, Abdul
Malik, berkata kepadanya, "Engkau
wahai Amirul Mukminin, Allah telah memberimu banyak sekali nikmat dan mengutamakanmu, tapi kenapa engkau marah
seperti ini?" Umar bin Abdul Aziz
berkata kepada anaknya, "Apakah engkau tidak pernah marah, wahai Abdul Malik?" Abdul Malik berkata, "Perutku
yang luas tidak ada artinya bagiku jika aku tidak memasukkkan marah ke dalamnya hingga tidak terlihat”. Mereka
adalah orang-orang yang mampu mengendalikan diri ketika marah.
Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits Urwah bin
Muhammad As-Sa’di bahwa ia diajak bicara seseorang kemudian orang tersebut
membuatnya marah. Setelah
itu, Urwah bin Muhammad As-S’di berdiri, berwudhu, dan berkata, "Ayahku
berkata dari kakekku, Athiyah, yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya
marah berasal dari syetan dan syetan diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu
dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia berwudlu”. [17])
Abu Nu’aim [18]) dengan
sanadnya meriwayatkan hadits dari Abu Muslim Al-Khaulani bahwa ia mengatakan
sesuatu kepada Muawiyah yang sedang berdiri di mimbar hingga Muawiyah marah. Lalu Muawiyah turun dari
mimbar, mandi, kembali ke mimbar
lagi, dan berkata, "Aku dengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Sesungguhnya marah berasal dari syetan dan syetan
berasal dari api, sedang air itu memadamkan api. Oleh karena itu, jika salah seorang dari kalian
marah, hendaklah
ia mandi".
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan
hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Orang
kuat bukan dengan gulat, namun orang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”. [19])
Dalam Shahih Muslim disebutkan
hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Apa orang kuat menurut kalian?" Kami
menjawab, "Yaitu orang yang tidak bisa dijatuhkan orang-orang”. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak seperti itu, namun ia orang yang mampu
mengendalikan dirinya ketika marah”. [20])
Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah
meriwayatkan hadits Muadz bin Anas
Al-Juhani Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berkata,
"Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu
melampiaskannya, pada Hari Kiamat, ia dipanggil di depan seluruh makhluk kemudian disuruh memilih bidadari mana yang ia sukai”. [21])
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Seorang hamba tidak meneguk tegukan yang lebih baik
di sisi Allah daripada tegukan
marah yang ia tahan karena mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla”. [22])
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Tidak ada tegukan yang lebih dicintai Allah
daripada tegukan marah yang ditahan seorang hamba. Tidaklah seorang hamba menahan marah karena Allah, melainkan Allah memenuhi hatinya dengan
iman”. [23])
Hadits semakna diriwayatkan Abu Daud dari riwayat salah
seorang sahabat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau bersabda,
"Allah memenuhinya dengan keamanan dan iman”. [24])
Maimun bin Mihran berkata, "Seseorang datang kepada
Salman kemudian berkata, “Hai
Abu Abdullah, berilah aku wasiat”. Salman berkata, “Engkau jangan marah.” Orang tersebut berkata, “Engkau
menyuruhku tidak marah, padahal aku dibuat gelap mata oleh sesuatu yang tidak aku kendalikan”. Salman
berkata, "Jika engkau marah, kendalikan lidah dan
tanganmu”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya).
Mengendalikan
lidah dan tangan ialah yang diisyaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perintah beliau kepada orang yang marah agar
ia duduk dan berbaring, serta
perintah beliau kepadanya agar ia diam.
Umar bin Abdul Aziz berkata, "Sungguh beruntung
orang yang dilindungi dari hawa nafsu, marah, dan tamak”. [25])
Al-Hasan berkata, "Ada empat hal; barangsiapa
keempat hal tersebut ada padanya, ia
dilindungi Allah dari syetan dan Allah mengharamkannya bagi neraka. Yaitu orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika ia
menginginkan, rahbah (takut), syahwat, dan marah”.
Keempat hal yang disebutkan Al-Hasan adalah pemicu
seluruh keburukan. Menginginkan
sesuatu ialah kecenderungan jiwa kepadanya karena ia meyakininya bermanfaat. Barangsiapa mempunyai keinginan
kepada sesuatu, maka keinginan tersebut mendorongnya untuk mencarinya di semua jalan, karena ia
mengira semua arah tersebut
mengantarkannya kepada sesuatu yang ia inginkan. Bisa jadi semua jalan tersebut diharamkan dan bisa jadi sesuatu yang ia inginkan
tersebut juga sesuatu yang diharamkan.
Rahbah (takut) ialah takut kepada sesuatu. Jika seseorang takut kepada sesuatu, ia berusaha menolaknya dengan segala
cara yang ia yakini bisa melindungi dirinya. Bisa jadi kebanyakan cara tersebut diharamkan.
Syahwat ialah kecenderungan jiwa kepada sesuatu yang
sinkron dengannya dan ia mendapatkan kenikmatan padanya. Bisa jadi jiwa
seringkali cenderung kepada sesuatu yang diharamkan seperti zina,
mencuri, dan minum minuman keras. Bahkan, bisa jadi jiwa cenderung kepada kekafiran, sihir, kemunafikan,
dan bid’ah.
Marah ialah bergejolaknya darah di hati untuk menolak
gangguan yang dikhawatirkan
terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya. Marah
menimbulkan banyak sekali tindakan yang diharamkan seperti pembunuhan, pemukulan, berbagai jenis kedzaliman,
dan sikap berlebih-lebihan.
Marah juga menimbulkan banyak sekali ucapanucapan yang diharamkan, misalnya tuduhan, penghinaan,
perkataan jorok, dan bisa jadi meningkat kepada tingkatan kekafiran seperti
yang terjadi pada Jabalah bin Al-Aiham [26]), atau seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i,
atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Yang
diwajibkan kepada orang Mukmin ialah syahwatnya dibatasi untuk mencari
apa yang diperbolehkan Allah baginya. Bisa jadi, ia makan sesuatu dengan niat yang baik kemudian ia diberi pahala
karenanya. Orang Mukmin juga wajib menggunakan marahnya untuk menolak gangguan
terhadap agamanya, atau agama saudaranya,
atau balas dendam terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa
mereka dengan tangan-tangan kalian dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kalian terhadap mereka, serta melegakan hati
orang-orang yang beriman.
Dan menghilangkan
panas hati orang-orang beriman”. (At-Taubah: 14-15).
Itu semua kondisi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika
hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menahan kemarahan beliau. [27]) Beliau
tidak pernah memukul pembantu atau wanita
dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau di jalan Allah. [28]) Anas
bin Malik melayani Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun, tapi beliau tidak pernah bersabda kepadanya, "Cis”. Beliau tidak pernah
bersabda kepadanya atas sesuatu yang telah dikerjakannya, "Kenapa engkau kerjakan ini?" [29] Beliau
juga tidak pernah bersabda kepadanya atas sesuatu yang tidak ia kerjakan, "Kenapa engkau
tidak mengerjakan ini?"
Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ditegur salah seorang keluarga beliau, maka beliau bersabda,
"Biarkan dia, karena jika
sesuatu ditentukan maka sesuatu tersebut pasti terjadi”. Dalam riwayat
Ath-Thabrani [30]), Anas bin Malik berkata, "Aku membantu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama
sepuluh tahun. Selama itu pula, aku tidak pernah melihat sesuatu yang
beliau setujui atau beliau tolak. Beliau ridha kepada Allah atas apa yang telah terjadi”.
Aisyah Radhiyallahu Anha pernah ditanya tentang akhlak Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam kemudian ia
menjawab, "Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. [31]) Maksudnya, Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam beretika dengan etika Al-Qur’an, berakhlak
dengannya, apa saja yang dipuji Al-Qur’an maka di dalamnya terdapat keridhaan beliau, dan apa saja yang dicela
Al-Qur’an maka di dalamnya terdapat kemarahan beliau. Disebutkan dalam sebuah
riwayat dari Aisyah yang berkata, "Akhlak beliau adalah Al-Qur’an; beliau
ridha karena keridhaan Al-Qur’an dan marah karena kemarahan Al-Qur’an”.
Karena saking malunya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang
beliau benci, bahkan ketidak-sukaan beliau terlihat
di wajah beliau, seperti disebutkan hadits di Shahih Al-Bukhari dari
Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih pemalu daripada wanita pingitan di pingitannya. Jika beliau melihat
sesuatu yang tidak beliau sukai, kami
bisa mengetahuinya di wajah beliau”. [32])
Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu tentang ucapan seseorang, "Pembagian ini
tidak dimaksudkan untuk mencari
keridhaan Allah”. Maka ucapan tersebut terasa berat bagi beliau, wajah beliau berubah, marah, dan beliau hanya
bersabda, "Sungguh
Musa disakiti dengan lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar”. [33])
Jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat atau mendengar sesuatu yang tidak beliau sukai, beliau marah karenanya, berkata tentang
sesuatu tersebut, dan tidak
tinggal diam. Beliau pernah masuk rumah Aisyah dan melihat pakaian bergambar, kemudian wajah beliau berubah,
merobek pakaian tersebut, dan bersabda, "Manusia
yang paling pedih siksanya pada Hari Kiamat ialah orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini”. [34]) Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam diberi pengaduan tentang imam yang shalat lama
dengan manusia hingga sebagian dari mereka terlambat, beliau marah, bahkan berang, menasihati manusia,
dan menyuruh meringankan shalat (tidak shalat terlalu lama). [35]
Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat dahak
di kiblat masjid, beliau marah,
menggaruknya, dan bersabda,
"Sesungguhnya jika salah seorang dan kalian berada dalam shalat, maka Allah ada di depan wajahnya, oleh karena itu,
ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika shalat”. [36])
Di antara doa Nabi Shallallahu Alailri wa Sallam ialah,
أسألك كلمة الحق
فى الغضب والرضا.
“Aku
meminta kepada-Mu perkataan yang benar
ketika marah dan ridha”. [37])
Itu sangat mulia yaitu orang hanya berkata benar baik
ketika ia marah atau ridha, karena
sebagian manusia jika mereka marah, mereka tidak bisa berhenti dari apa yang
mereka katakan.
Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
ثلاث من أخلاق الايمان : من إذا غضِب لم يُدخله غضبُه فى باطل, ومن إذا رضي
لم يخرجه من حق, ومن إذا قدر لم يتعاط ما ليس له.
"Ada tiga yang termasuk akhlak iman; barangsiapa
jika ia marah maka marahnya tidak
memasukkannya ke dalam kebatilan, barangsiapa jika ridha maka keridhaannya tidak mengeluarkannya dari
kebenaran, dan barangsiapa yang jika berkuasa maka ia tidak mengambil apa yang
bukan miliknya". [38])
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bercerita tentang dua orang sebelum kita. Salah seorang
dari keduanya adalah ahli ibadah sedang orang satunya orang lalai. Ahli ibadah menasihati orang yang
lalai tersebut, namun orang yang lalai tersebut
tidak mau berhenti dari kelalaiannya. Pada suatu hari, ahli ibadah melihat orang lalai tersebut mengerjakan dosa yang ia
anggap sebagai dosa besar. Ahli ibadah berkata, "Demi
Allah, Dia tidak akan mengampunimu”. Ternyata
Allah mengampuni orang lalai yang berdosa tersebut dan membatalkan amal ahli ibadah. Abu Hurairah berkata,
"Sungguh ahli ibadah tersebut mengatakan kalimat yang merusak dunia
dan akhiratnya”. Abu Hurairah melarang manusia mengatakan kalimat seperti itu ketika mereka marah.
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud. [39]) Ya, ahli ibadah tersebut marah karena Allah kemudian mengatakan
perkataan yang tidak boleh diucapkan
ketika ia marah karena Allah dan mewajibkan kepada Allah apa yang tidak ia ketahui. Akibatnya, Allah membatalkan
amalnya. Bagaimana dengan orang yang
mengatakan perkataan yang tidak boleh diucapkan ketika ia marah karena dirinya
dan bukan karena Allah serta mengikuti hawa nafsunya?
Dalam Shahih Muslim disebutkan
hadits dari Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu bahwa para sahabat bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di salah satu perjalanan,
sedang salah seorang wanita Anshar berada di atas unta kemudian untanya gelisah dan ia pun melaknatnya.
Hal tersebut didengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian
beliau bersabda, "Ambillah perbekalan wanita tersebut dan
tinggalkan dia”. [40])
Dalam Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Jabir Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Kami berangkat bersama Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam di salah satu peperangan. Ketika itu, salah seorang dari Anshar berada di atas
untanya. Unta orang Anshar tersebut berjalan agak lamban kemudian orang Anshar tersebut berkata, “Berjalanlah semoga Allah
melaknatmu”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada orang
tersebut, “Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan
mendoakan kejelekan bagi diri kalian. Kalian jangan mendoakan kejelekan bagi anak-anak kalian.
Kalian jangan mendoakan kejelekan bagi harta kalian. Kalian tidak berada di sesaat dari Allah di
mana jika pada saat
tersebut permintaan diajukan, melainkan dikabulkan bagi kalian”. [41])
Ini semua menunjukkan bahwa doa orang yang marah bisa
jadi dikabulkan jika terjadi
pada saat pengabulan doa. Selain itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang seseorang mendoakan keburukan bagi
diri sendiri, keluarga, dan hartanya ketika ia sedang marah.
Tentang firman Allah Ta’ala,
"Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan
bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah di akhiri umur mereka”. (Yunus: 11).
Mujahid berkata, "Manusia yang dimaksud ialah orang
yang menggabungkan keluarga, anak, dan hartanya jika ia marah. Ia berkata, ”Ya
Allah, jangan Engkau berkahi mereka. Ya Allah, laknatlah
mereka”. Jika permintaan orang tersebut disegerakan,
pasti membinasakan orang-orang yang ia doakan dan mematikan mereka”. Ini menunjukkan bahwa tidak semua doa orang yang
marah untuk dirinya, keluarga, dan
hartanya itu tidak dikabulkan. Padahal hadits di atas menunjukkan bahwa bisa jadi doa tersebut dikabulkan karena bertepatan
dengan saat-saat pengabulan doa.
Sedang yang diriwayatkan dari Al-Fudhail bin Iyadh yang
berkata, "Tiga orang yang
tidak boleh dicela jika marah; orang yang berpuasa, orang sakit, dan musafir”. Juga riwayat dari Al-Ahnaf bin Qais
yang berkata, "Allah memberi wahyu kepada dua malaikat yang menjaga anak keturunan Adam,”Janganlah kalian
berdua menulis sesuatu apa pun dari hamba-Ku ketika ia marah”. Juga
riwayat dari Abu Imran Al-Juni yang berkata,
"Jika orang sakit mengeluh kemudian berdosa, malaikat di sebelah kanannya berkata kepada malaikat yang
ada di sebelah kirinya, Itu jangan
engkau tulis”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya), maka itu semua menunjukkan bahwa tidak ada landasan syar’i yang
menunjukkan hal tersebut, sedang hadits-hadits
yang telah saya sebutkan menunjukkan kebalikannya.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika engkau marah, diamlah", menunjukkan bahwa orang yang marah diperintahkan diam,
karena jika ia tidak diam, ia dihukum
karena perkataannya. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan orang yang marah untuk mengatasi
marahnya dengan perkataan atau perbuatan apa saja yang meredakannya. Ini inti perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menghentikan marah. Bagaimana
bisa dikatakan bahwa, orang yang marah tidak diperintahkan apa saja yang bersumber darinya pada saat ia marah
(misalnya, diam dan lain-lain)?
Atha’ bin Abu Rabah berkata, "Tidak ada yang
membuat para ulama menangis hingga akhir hayat daripada marah. Salah seorang dari mereka, sekali
marah kemudian marahnya tersebut meruntuhkan amal
selama lima puluh tahun, atau enam puluh tahun, atau tujuh puluh tahun”. (Diriwayatkan Ibnu Abu
Ad-Dunya).
Maksud perkataan salah seorang dari generasi salaf,
"Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan
perjalanan, atau penyebab
marahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela karenanya," ialah orang tersebut tidak
berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah
perkataan yang mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Sesungguhnya aku manusia. Aku ridha seperti manusia
ridha dan aku marah seperti manusia marah. Orang Muslim mana saja yang aku caci
dan aku cambuk, maka
aku menjadikannya sebagai penebus baginya". [42])
Sedang jika yang keluar dari orang yang marah ialah
kekafiran, kemurtadan, pembunuhan
jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang dibenarkan, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah tersebut
terkena hukuman karena itu semua. Begitu
juga jika yang keluar dari orang marah ialah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum karena itu semua
tanpa ada perbedaan pendapat di
dalamnya. Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Khaulah binti Tsa’labah, istri Aus bin Ash-Shamit, bahwa ia
rujuk dengan suaminya kemudian suaminya marah dan melakukan dzihar (menganggap
istri seperti ibu) terhadap dirinya.
Aus bin Ash-Shamit telah lanjut usia, akhlaknya rusak, dan suka menghardik. Khaulah pun datang kepada
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengeluh kepada beliau tentang perilaku buruk suaminya yang ia lihat kemudian Allah menurunkan ayat tentang dzihar Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh Aus bin Ash-Shamit membayar kafarat dzihar.
Hadits
tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dari jalur lain dari Abu Al-Aliyah bahwa suami Khaulah marah kepada Khaulah
kemudian ia (suaminya) melakukan dzihar terhadap Khaulah. Khaulah pun datang
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepada beliau.
Khaulah berkata, "Ia tidak
menghendaki perceraian”. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Aku lihat engkau telah diharamkan baginya”. Abu Al-Aliyah menyebutkan
kisah panjang tersebut dan di akhirnya, ia berkata, "Kemudian Allah
merubah perceraian dan menggantinya dengan dzihar”.
Aus bin Ash-Shamit melakukan dzihar kepada istrinya ketika ia marah. Ketika itu,
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berpendapat
bahwa dzihar adalah perceraian dan berkata kepada
Khaulah, "Aku lihat engkau telah diharamkan baginya”. Maksudnya, perceraian telah tetjadi. Ketika Allah menjadikan
perceraian tersebut sebagai dzihar yang
bisa dihapus, maka beliau
mewajibkan Aus bin Ash-Shamit
membayar kafarat (tebusan) dan tidak menghapus dzihar tersebut.
Mujahid
berkata dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa seseorang berkata
kepadanya, "Aku telah mencerai istriku dengan talak (perceraian) tiga
ketika aku marah”. Ibnu Abbas
berkata, "Sesungguhnya Ibnu Abbas tidak bisa menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah bagimu.
Engkau telah bermaksiat kepada Tuhanmu
dan mengharamkan istrimu bagimu”. (Diriwayatkan Al-Zaujajani dan Ad-Daruquthni [43])
dengan sanad menurut syarat Muslim).
Al-Qadhi Ismail bin Ishaq meriwayatkan dalam Ahkaamul Qur’an dengan sanad shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata, "Laghwun dalam sumpah (sumpah yang tidak serius) ialah yang terjadi di perdebatan, main-main,
canda, dan perkataan yang
diinginkan hati. Sumpah yang ada kafaratnya ialah semua sumpah yang dikeluarkan pada urusan penting ketika marah atau tidak.
Misalnya ucapan, “Engkau pasti mengerjakan hal ini.” Atau perkataan, “Engkau
pasti meninggalkan hal ini.” Itulah sumpah
yang di dalamnya terdapat kafarat”. Itulah yang diriwayatkan Ibnu Wahb dari Yunus dari Az-Zuhri dari
Urwah dari Aisyah Radhiyallahu Anha. [44]) Sanad atsar
tersebut termasuk sanad yang paling shahih. Ini menunjukkan bahwa hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu
Anha dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Tidak ada perceraian dan pemerdekaan budak dalam
kondisi dipaksa", [45]) itu tidak shahih
atau penafsirannya dengan marah itu tidak shahih
[46]),
karena diriwayatkan dengan shahih dari
banyak sahabat bahwa mereka berfatwa
sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kafarat.
Sanadnya riwayat dari Ibnu Abbas yang bertentangan dengan fatwa tersebut tidak
shahih. Al-Hasan berkata, "Perceraian yang sesuai dengan sunnah ialah
suami mencerai istrinya talak
(perceraian) pertama dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut
dengan istrinya haid tiga kali. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak
melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu
tiga kali haid atau tiga bulan jika ia tidak haid agar marahnya hilang”. Al-Hasan berkata lagi, "Allah menjelaskan
agar tidak seorang pun menyesal dalam perceraiannya
seperti yang diperintahkan Allah”. (Diriwayatkan Al-Qadhi Ismail).
Banyak sekali
ulama menjadikan kata-kata kiasan ketika marah seperti kata langsung dan kata-kata kiasan tersebut mengesahkan perceraian
secara lahiriyah. Kata-kata kiasan tersebut
ketika marah tidak boleh ditafsirkan di selain perceraian. Ada ulama yang menjadikan kata-kata kiasan ketika
marah itu seperti niat, karenanya, berlangsunglah perceraian di batin. Maka
bagaimana marah dijadikan sebagai penghalang
jatuhnya perceraian dengan kata-kata langsung?
[1] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6116 dan Imam
Ahmad 2/362 dan 466.
[2] Hadits nomer 2020.
[3] Disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/70. Ia berkata, "Hadits tersebut dirmayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir
dan Al-Ausath. Salah satu perawi
di sanad Al-Kabir adalah perawi tepercaya”.
[4] 3/484 dan 5/34. Sanad hadits tersebut shahih dan
para perawinya adalah para perawi Al-Bukhari
dan Muslim kecuali teman keduanya, yaitu Jariyah bin Qudamah. An-Nasai meriwayatkan hadits
tersebut di Musnad Ali dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5689 dan
5690.
[5] Di Al-Musnad 5/34. Para perawinya adalah para perawi tepercaya
yang merupakan para perawi Al-Bukhari
dan Muslim.
[6] Imam
Ahmad menyebutkan di Al-Musnad setelah dua riwayat sebelumnya
[7] Al-Musnad 2/175, 362, 466, 3/484, 5/34, 370, 372, dan 373
[8] Al-Muwaththa’ 2/906.
[9] Al-Musnad 2/175. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 296
[10] Hadits nomer 878. Kendati hadits tersebut
mursal, namun perawi tepercaya, yaitu para perawi Al-Bukhari dan
Muslim
[11] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6115, 3282,
6048 dan Muslim hadits nomer 2610.
Penafsiran ucapan, "Aku bukan orang gila", silahkan Anda baca Fathul Bari 10/467.
[12] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/19, 61 dan At-Tirmidzi
hadits nomer 2191. Di sanadnya terdapat perawi Ali bin Zaid bin Dad’an yang
merupakan perawi dhaif. Kendati demikian, hadits tersebut dihasankan At-Tirmidzi.
[13] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/152 dan Abu Daud hadits
nomer 4782. Sanad hadits tersebut shahih dan dishahihkan Ibnu Hibban
hadits nomer 5688.
[14] Hadits
riwayat Anas bin Malik tidak saya temukan di buku-buku yang saya miliki sedang riwayat Al-Hasan yang mursal diriwayatkan Abdurrazzaq di Al-Mushannaf hadits
nomer 20289 dari Ma’mar dari Al-Hasan.
[15] Dari
Abu Bakrah Nufay’i bin Al-Harits, hadits di atas diriwayatkan Muslim hadits nomer 2887, Abu Daud hadits nomer 4256, dan Imam
Ahmad 5/48.
Tentang masalah tersebut juga ada
hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 7081 dan Muslim
hadits nomer 2886.
Juga hadits dari Sa’ad bin Abu
Waqqash yang diriwayatkan Imam Ahmad 1/168-169, At-Tirmidzi hadits nomer
2194, dan Abu Daud hadits nomer 4257.
Dari Ibnu Mas’ud, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 1/448-449.
[16] Al-Musnad 1/239 dan 282. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar di Musnad-nya 1/90. Di sanadnya terdapat perawi Laits bin Abu Sulaim yang merupakan
perawi dhaif seperti dikatakan
Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 1/131.
[17] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/226, Abu Daud hadits
nomer 4784, Al-Bukhari di Tarikhnya 7/8, dan Al-Baghawi di Syarhus Sunnah hadits nomer 3583. Sanad hadits tersebut hasan. Tidak benar orang yang mendhaifkan hadits
tersebut.
[18] Di Al-Hilyah 2/130. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu
Asakir di Tarikhnya 16/365/1.
Di sanadnya terdapat perawi dhaif yang tidak dikenal.
[19] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6114 dan
Muslim hadits nomer 2609.
[20] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2608.
[21] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/440, At-Tirmidzi hadits
nomer 2021, Abu Daud hadits nomer
4777, dan Ibnu Majah hadits nomer 4186. Sanad hadits tersebut adalah hasan.
At-Tirmidzi berkata, "Hadits
tersebut hasan gharib”.
[22] Hadits shahih diriwayatkan Imam Ahmad 2/128 dan
Ibnu Majah hadits nomer 4189. Para
perawinya adalah para perawi tepercaya.
[23] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/327. Sanad hadits
tersebut dhaif.
[24] Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4778. Sanad
hadits tersebut hasan dalam Syawahid.
[25] Disebutkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 5/290.
[26] Ia
Jibilah bin Al-Aiham bin Jibilah Al-Ghassani dari keluarga Jafnah, raja
terakhir Al-Ghassasanah di Syam. Ia
masuk Islam, hijrah ke Madinah, kemudian murtad dan pergi ke negeri Romawi.
Ia tinggal di sana hingga meninggal dunia pada tahun 20 H. Perihal dirinya,
silahkan baca Al-Aghani 15/166, Syarhul Maqamaat karangan Asy-Syarisyi 2/97-99, dan Khizanatul Adab 4/392-400.
[27] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6126, Muslim
hadits nomer 2327, dan Abu Daud
hadits nomer 4785 dari Aisyah. Redaksi Al-Bukhari ialah, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak balas
dendam untuk diri beliau karena sesuatu apa pun. Namun jika hal-hal yang
diharamkan Allah dilanggar, beliau balas dendam”.
[28] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2328, Abu Daud
hadits nomer 4786, dan Ibnu Majah
hadits nomer 1984 dari hadits Aisyah Radhiyallahu Anha.
[29] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6038 dan
Muslim hadits nomer 2309 hadits dari
Anas bin Malik. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2894.
Takhrij hadits tersebut secara
lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[30] Di Al-Mu
jam As-Shaghir hadits nomer 1100. Hadits tersebut panjang. Hadits
tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 9/16 dan juga menisbatkannya di Al-Ausath. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi yang
tidak aku kenal. Sebagian hadits tersebut ada di Shahih Al-Bukhari”.
[31] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 746, Imam Ahmad
6/54, 91, 111, 188, 216, An-Nasai
3/199-200, Ibnu Majah hadits nomer 2333, dan Ad-Darimi 1/345.
[32] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6102 dan
Muslim hadits nomer 2320.
[33] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3150, 4336
dan Muslim hadits nomer 1062.
[34] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5954, 6019
dan Muslim hadits nomer (2107) (92). Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits
nomer 5847. Takhrij hadits tersebut, silahkan
baca buku tersebut.
[35] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 466 dari hadits
Abu Mas’ud Al-Anshari yang berkata,
"Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata, “Aku terlambat shalat Shubuh karena si Fulan yang
shalat lama sekali.” Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam marah ketika memberikan
nasihat seperti marahnya beliau ketika
itu. Beliau bersabda, ‘Hai manusia, sungguh di antara kalian ada orang-orang
yang membuat manusia antipati. Jika
salah seorang dari kalian mengimami manusia, hendaklah ia menyederhanakannya,
karena di belakangnya terdapat orang lanjut usia, orang lemah, dan orang yang
mempunyai kebutuhan”.
[36] Dari
Ibnu Umar, hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik 1/194, Al-Bukhari hadits nomer 406, 753, 1213, 6111, Muslim hadits nomer
547, Abu Daud hadits nomer 479, dan An-Nasai 2/51.
Dari Anas bin Malik, hadits
tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 405, 413 dan Muslim hadits
nomer 551.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan
Al-Bukhari hadits nomer 408, 409 dan
Muslim hadits nomer 548.
[37] Potongan dari hadits shahih yang diriwayatkan An-Nasai 3/5455 dan Ahmad 4/264 dari Ammar bin Yasir bahwa ia shalat dengan singkat
kemudian orang-orang mengecamnya. Ammar bin Yasir berkata, "Bukankah aku
telah menyempurnakan ruku’ dan sujud?" Mereka berkata, "Benar”. Ammar bin Yasir berkata,
"Sungguh aku berdoa di ruku’ dan sujud dengan doa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu terhadap hal-hal ghaib dan kekuasaan-Mu terhadap makhluk, hidupkan
aku selagi Engkau mengetahui kehidupan lebih baik bagiku dan matikan aku selagi
Engkau mengetahui kematian lebih baik bagiku. Aku meminta kepada-Mu takut
kepada-Mu di alam ghaib dan alam nyata, perkataan yang baik ketika marah dan
ridha, adil ketika miskin dan kaya, kelezatan melihat wajah-Mu, dan rindu
bertemu dengan-Mu. Aku berlindung diri kepada-Mu dari madzarat yang
membahayakan dan fitnah yang menyesatkan.
Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikan kami sebagai juru
petunjuk yang memberi petunjuk”.
Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1971.
[38] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 164. Di sanadnya terdapat Bisyr bin Al-Husain Al-Ashbahani sahabat Az-Zubair bin Adi. Al-Bukhari
berkata, "Ia ada catatan”.
Ad-Daruquthni berkata, "Ia tidak bisa dipakai hujjah”. Ibnu Adi berkata,
"Sebagian besar haditsnya tidak
terpelihara”. Abu Hatim berkata, "Ia berbohong atas nama Az-Zubair”.
[39] Di Al-Musnad
2/323 dan Sunan Abu Daud hadits nomer 4901. Sanadnya hasan.
[40] Diriwayatkan Muslim di Shahih Muslim
hadits nomer 2595.
[41] Ibid.,
hadits nomer 3009.
[42] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan
Al-Bukhari hadits nomer 6361 dan Muslim hadits nomer 2601. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6516.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Muslim hadits nomer 2600 dari Aisyah,
2601 dari Jabir bin Abdullah, dan
2603 dari Anas bin Malik. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6514.
[43] Di Sunannya
4/13 dari jalur Hibban bin Musa
dari Abdullah bin Al-Mubarak dari Saif bin
Sulaiman Al-Makhzumi dari Mujahid bin Jabr yang berkata, "Salah seorang
dari Quraisy datang kepada Ibnu Abbas
kemudian berkata, “Hai Abu Abbas, sungguh aku telah mencerai istriku dengan tiga perceraian ketika aku marah”.
Ibnu Abbas berkata, “Abu Abbas tidak bisa menghalalkan bagimu apa yang diharamkan bagimu. Engkau bermaksiat kepada
Tuhanmu dan mengharamkan istrimu
bagimu. Engkau tidak bertakwa kepada Allah, karenanya, Dia tidak memberikan
jalan keluar bagimu.” Setelah itu, Ibnu Abbas membaca firman Allah Ta’ala, “Hai Nabi, jika kalian mencerai istri-istri, ceraikan mereka pada walau
mereka dapat (menghadapi) ‘iddah
mereka”. (Ath-Thalaq: 1)”. Ad-Daruquthni berkata, Ibnu Al-Mubarak berkata
kepadaku, Sufyan berkata kepadaku
dari Umar bin Murah dari Sa’id bin Jubair yang berkata, "Seseorang datang kepada Ibnu Abbas kemudian berkata, “Aku
telah mencerai istriku seribu kali.” Ibnu Abbas berkata, “Adapun tiga perceraian, maka itu mengharamkan istrimu
bagimu. Sedang sisanya adalah dosa
karena engkau menjadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan”. Sanad hadits
ini shahih dan para perawinya adalah para perawi Al-Bukhari dan Muslim.
[44] Disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari 11/48 dari Ibnu Wahb dan ia juga menisbatkannya
kepada Ibnu Abu Ashim dari jalur Az-Zubaidi dan dari Abdurrazzaq
di Al-Mushannaf dari
Ma’mar. Ketiga perawi tersebut meriwayatkan hadits tersebut dari Az-Zuhri dari
Urwah dari Aisyah.
[45] Diriwayatkan
Imam Ahmad 6/276, Abu Daud hadits nomer 2193, Ibnu Abu Syaibah 5/49, Ad-Daruquthni 4/36, Al-Hakim 2/198, dan
Al-Baihaqi 7/357 dari banyak jalur dari Muhammad bin Ishaq dari Tsaur bin Yazid Al-Kalai dari Muhammad bin Ubaid
bin Abu Shalih Al-Makki dari Syafiyah binti Syaibah dari Aisyah. Sanad hadits
tersebut dhaif karena Muhammad bin Ubaid adalah perawi dhaif.
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Ad-Daruquthni dari jalur Qaza’ah bin Suwaid yang merupakan perawi dhaif dari Zakaria bin
Ishaq dan Muhammad bin Utsman dari Shafiyah dari Aisyah.
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Al-Hakim dari jalur Nu’aim bin Hammad dari Abu Shafwan Abdullah bin Sa’id
Al-Umawi dari Tsaur bin Yazid dari Shafiyah binti Syaibah dari Aisyah.
Saya katakan, Nu’aim bin Hammad adalah pemilik hadits-hadits munkar.
Muhammad bin Ubaid tidak tertulis di sanad tersebut.
[46] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 1409, Abu
Daud hadits nomer 2815, dan An-Nasai 7/227. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu
Hibban hadits nomer 5883.
No comments:
Post a Comment