الْحَدِيثُ السَّابِعَ عَشَرِ عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّادِ بْنِ
أَوْسٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ
أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Ya’la
alias Syadad bin Aus Radhiyallahu Anhu dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
إن الله كتب الاحسان على كل شيئ, فإذا
قتلتم فأحسنوا القِتلة, وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة, ولْيُحِدَّ شَفْرتَه وليُرِحْ
ذبيحته.
"Sesungguhnya
Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala
hal. Oleh karena itu, jika kalian
membunuh, bunuhlah dengan pembunuhan yang baik. Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan penyembelihan
yang baik dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan
hewan sembelihannya”. (Diriwayatkan
Muslim). [1]
Hadits bab di atas diriwayatkan Muslim tanpa Al-Bukhari
dari riwayat Abu Qilabah dari Al-Asy’ats Ash-Shan’ani dari Syaddad bin Aus yang
tidak dipakai Al-Bukhari, karena ia tidak meriwayatkan di Shahihnya satu hadits pun dari Abu Al-Asy’ats. Abu Al-Asy’ats Ash-Shan’ani adalah orang Syam dan perawi
tepercaya. Hadits semakna
diriwayatkan Samurah Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Sesungguhnya Allah Azza wa
jalla berbuat baik, maka berbuat
baiklah kalian. Jika salah seorang dari
kalian membunuh, hendaklah ia memuliakan orang yang dibunuhnya. jika ia menyembelih, hendaklah ia menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”.
(Diriwayatkan Ibnu Adi). [2]
Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
إذا حكمتم فاعدلوا, وإذا قتلتم فأحسنوا, فإن الله محسن يحب المحسنين.
“Jika kalian memutuskan, adillah. Jilka kalian membunuh,
bunuhlah dengan baik, karena Allah berbuat baik dan menyukai orang-orang yang berbuat baik”. [3])
SYARAH إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya
Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala hal", sedang di riwayat Abu Ishaq Al-Fazari [4]) di As-Siyar dari Khalid dari Abu Qilabah disebutkan bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan
berbuat baik kepada segala hal”. Atau beliau bersabda, "Sesungguhnya
Allah mewajibkan berbuat baik kepada semua
makhluk”. Begitulah,
hadits tersebut diriwayatkan Abu Ishaq secara mursal dengan ragu-ragu antara kalimat, "Kepada segala hal", dan kalimat, "Kepada semua makhluk”. Tekstual hadits menghendaki Allah mewajibkan berbuat
baik kepada seluruh
makhluk. Jadi, segala hal dan seluruh makhluk adalah obyek yang diwajibkan, sedang yang diwajibkan ialah berbuat
baik.
Ada yang mengatakan bahwa makna hadits ialah
sesungguhnya Allah mewajibkan
berbuat baik kepada segala hal atau di segala hal. Atau maknanya ialah sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam
mengelola segala sesuatu. Jadi, sesuatu yang
diwajibkan tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanyalah pihak yang harus diperlakukan dengan baik.
Kata kataba di hadits
artinya wajib menurut sebagian besar fuqaha’ dan ulama
ushul fiqh, kecuali sebagian dari mereka, karena kata kataba di
Al-Qur’an digunakan dengan arti
wajib secara yang syar’i, misalnya firman Allah Ta’ala,
"Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang ditentukan waktunya kepada orang-orang yang beriman”. (An-Nisa’: 103).
Atau firman Allah Ta’ala, "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa”. (Al-Baqarah: 183).
Atau firman Allah Ta’ala, "Diwajibkan
kepada kalian berperang, padahal berperang itu sesuatu yang kalian benci".
(Al-Baqarah: 216).
Atau bisa jadi arti kata kataba adalah sesuatu
yang terjadi karena takdir dan tidak mungkin bisa dihindari, misalnya firman
Allah Ta’ala,
"Allah telah menetapkan, Aku dan Rasul-rasul-Ku pasti
menang". (Al-Mujaadilah: 21).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Dan sungguh telah Kami tetapkan di Zabur sesudah
Lauh Mahfuzh bahwa bumi ini
diwarisi hamba-hamba-Ku yang shalih”. (Al-Anbiya’: 105).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menetapkan keimanan di hati mereka”. (Al-Mujaadilah:
22).
Tentang shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih),
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Aku khawatir (shalat tersebut) diwajibkan kepada
kalian”. [5])
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,
"Aku diperintahkan bersiwak hingga aku khawatir
diwajibkan kepada kalian”. [6])
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,
"Bagian terhadap zina ditetapkan kepada anak
keturunan Adam, jadi, ia akan mendapatkannya dan itu tidak mustahil”. [7])
Jadi, hadits bab di atas menegaskan tentang kewajiban
berbuat baik, karena Allah Ta’ala sendiri
memerintahkannya. Allah Ta’ala berfirman,
"Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
berbuat baik, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”. (An-Nahl: 90).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Baqarah: 195).
Perintah
berbuat baik di sini terkadang bermakna wajib, seperti berbuat baik kepada bapak ibu dan sanak kerabat, sesuai
dengan kadar yang bisa menghasilkan bakti dan silaturahim. Atau berbuat
baik kepada tamu sesuai dengan kadar yang
bisa menghasilkan jamuan untuknya seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Perintah berbuat baik juga terkadang bermakna sunnah
seperti sedekah sunnah dan
lain-lain.
Sedang hadits bab di atas menunjukkan tentang kewajiban
berbuat baik kepada seluruh
perbuatan, namun berbuat baik kepada sesuatu itu sesuai dengan proporsinya. Berbuat baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
terlihat dan
tersembunyi ialah melaksanakannya dengan sempurna. Proporsi berbuat baik dalam kewajiban-kewajiban yang terlihat dan
tersembunyi seperti itu wajib, sedang berbuat baik di dalamnya dengan cara
menyempurnakan sunnah-sunnahnya adalah tidak wajib.
Berbuat baik dalam meninggalkan hal-hal haram ialah
dengan cara menjauhinya dan
meninggalkannya; baik hal-hal haram yang terlihat atau tersembunyi, seperti
difirmankan Allah Ta’ala: "Dan tinggalkanlah dosa yang terlihat dan yang tersembunyi”. (Al-An’am:
120). Proporsi berbuat baik di dalamnya seperti itu adalah wajib.
Sedang berbuat baik dalam sabar terhadap takdir ialah
bersabar terhadapnya seperti
semestinya tanpa menggerutu dan berkeluh-kesah.
Berbuat baik yang diwajibkan dalam berinteraksi dengan
manusia dan makhluk lain ialah menunaikan hak-hak mereka sebagaimana yang diwajibkan
oleh Allah. Berbuat baik yang diwajibkan dalam memimpin manusia ialah
melaksanakan semua kewajiban
kepemimpinan, sedang proporsi selebihnya yang tidak termasuk diwajibkan maka itu disebut ihsan.
SYARAH فإذا
قتلتم فأحسنوا القِتلة
Berbuat baik dalam membunuh manusia dan hewan yang boleh
dibunuh ialah membunuhnya dengan secepat mungkin dan
dengan cara yang paling mudah tanpa bertindak berlebihan, misalnya dengan menyiksanya, karena itu
perbuatan tercela dan tidak diperlukan. Itulah
yang diperintahkan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam di hadits bab di atas. Bisa jadi, beliau
menyebutkan pembunuhan tersebut sebagai
contoh, atau beliau perlu menjelaskannya, oleh karena itu, beliau bersabda,
“Oleh karena itu, jika kalian membunuh, bunuhlah dengan
pembunuhan yang baik. Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan penyembelihan yang baik”. Maksudnya, hendaklah kalian berbuat baik dalam tata-cara menyembelih dan
membunuh. Ini menunjukkan tentang kewajiban
mempercepat pembunuhan jiwa yang boleh dibunuh dengan cara yang paling mudah. Ibnu Hazm menyebutkan
adanya ijma’
(konsensus) ulama tentang
kewajiban berbuat baik dalam pembunuhan. Cara membunuh orang yang paling mudah ialah memenggal
lehernya. Allah Ta’ala berfirman,
"Apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir
(di medan perang) maka penggallah leher mereka”. (Muhammad: 4).
Allah Ta’ala juga
berfirman,
"(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para
malaikat, Sesungguhnya Aku
bersama kalian, maka teguhkan orang-orang yang beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan ketakutan ke dalam
hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka”. (Al-Anfal: 12).
Ada yang mengatakan bahwa letak pemenggalan yang memudahkan kematian korban ialah di atas tulang di bawah otak. Duraid bin
Ash-Shimah mewasiatkan
pembunuhnya untuk membunuh dirinya di lokasi tersebut. [8])
Jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus detasemen di jalan Allah, beliau bersabda kepada mereka,
"Kalian jangan mencincang-cincang dan jangan
membunuh anak-anak“. [9])
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
أعفُّ الناس قتلة أهل الايمان.
"Manusia yang paling bersih pembunuhannya ialah orang-orang
beriman”. [10])
Imam
Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits Imran bin Hushain dan Samurah bin Jundab bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang
penyincangan. [11])
Al-Bukhari meriwayatkan hadits Abdullah bin Yazid dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang penyincangan. [12])
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Ya’la bin Murah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Allah Ta’ala berfirman, janganlah kalian
menyincang-cincang hamba-hamba-Ku". [13])
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari salah seorang
sahabat dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
من مثَّلَ بذى روح ثم لم يتب, مثل الله به يوم القيامة.
"Barangsiapa menyincang-cincang sesuatu yang mempunyai ruh
kemudian tidak
bertaubat, Allah akan menyincang-cincangnya pada Hari Kiamat". [14])
Ketahuilah bahwa pembunuhan yang diperbolehkan itu
terjadi karena dua sebab;
Pertama: Qishas Jadi, penyincangan tidak boleh dilakukan
terhadap orang yang diqishas,
namun orang yang diqishas tersebut dibunuh sebagaimana ia membunuh korbannya.
Jika orang yang diqishas tersebut menyincang-cincang korban, apakah ia juga dicincang-cincang ataukah ia
dibunuh dengan pedang? Ada dua pendapat dari ulama dalam masalah ini.
1.
Orang
yang diqishas tersebut ditindak seperti ia membunuh korban. Ini pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad
dalam pendapat yang terkenal
darinya. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Seorang gadis keluar dengan mengenakan perhiasan
dari perak kemudian dilempar orang Yahudi dengan batu. Gadis
tersebut dibawa ke hadapan Rasulullah
Shallallalahu Alaihi wa Sallam dalam keadaan hendak sekarat. Beliau bersabda kepada gadis tersebut, Apakah
seseorang telah membunuhmu?” Gadis tersebut mengangkat kepalanya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada gadis tersebut untuk ketiga
kalinya, “Apakah seseorang telah
membunuhmu?”Gadis tersebut menganggukkan kepalanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil
pembunuh gadis tersebut kemudian
memecahkan kepalanya dengan dua batu”. Di riwayat lain, "Kemudian pembunuh tersebut ditangkap dan ia mengakui
perbuatannya”. Di riwayat Muslim disebutkan, "Seorang
Yahudi membunuh seorang gadis kaum Anshar yang mengenakan perhiasan dari perak, kemudian melemparkannya di sumur dan memecahkan kepalanya
dengan batu. Orang Yahudi tersebut ditangkap, dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
kemudian beliau memerintahkan orang Yahudi
tersebut dirajam hingga meninggal dunia. Orang Yahudi pun dirajam hingga meninggal dunia”. [15])
2.
Tidak ada qishas kecuali dengan pedang. Ini pendapat
Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan
satu riwayat dari Imam Ahmad.
Ada riwayat ketiga dari Imam Ahmad bahwa pembunuh
ditindak seperti ia membunuh
korban, kecuali jika pembunuh tersebut membunuh korban dengan membakarnya atau
menyincang-cincangnya, jadi, ia dibunuh dengan pedang karena adanya larangan menyincang-cincang dan
membakar orang. Riwayat ini dinukil dari Imam Ahmad
oleh Al-Atsram. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Tidak ada qishas kecuali dengan pedang”.
Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Majah [16]) dan sanadnya dhaif. Imam Ahmad berkata,
"Diriwayatkan, “Tidak ada qishas
kecuali dengan pedang”, namun sanad riwayat tersebut tidak baik. Sanad hadits Anas bin Malik tentang
orang Yahudi yang membunuh itu lebih baik.
Jika
seseorang menyincang-cincang korban kemudian membunuhnya, misalnya ia memotong organ tubuh korban kemudian
membunuhnya, apakah pembunuh tersebut
cukup dibunuh saja ataukah ia ditindak seperti yang telah ia perbuat terhadap korban? Ada dua pendapat
dalam masalah ini;
a. Pembunuh tersebut ditindak seperti yang ia
perbuat terhadap korban. Ini pendapat
Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di salah satu riwayat darinya, Ishaq, dan lain-lain.
b. Pembunuh tersebut cukup dibunuh. Ini pendapat
Ats-Tsauri, Imam Ahmad di salah
satu riwayat darinya, Abu Yusuf, dan Muhammad. Imam Malik berkata, "Jika
pembunuh melakukan penyincangan dan penyiksaan terhadap
korban, ia ditindak seperti ia berbuat terhadap korban. Jika tidak berbuat seperti itu, ia cukup dibunuh saja”.
Kedua:
Pembunuhan karena kekafiran; baik kekafiran
hakiki atau kekafiran dalam bentuk
murtad dari Islam. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa penyincangan di
dalamnya adalah makruh dan orang kafir tersebut cukup dibunuh dengan pedang. Ada riwayat dari sejumlah generasi
salaf yang membolehkan penyincangan orang kafir, misalnya dengan membakarnya dan lain sebagainya, seperti
yang dilakukan Khalid bin Walid dan
lain-lain. [17])
Diriwayatkan
dari Abu Bakar Radhiyallahu Anhu bahwa ia membakar Al-Fuja’ah. [18])
Diriwayatkan
bahwa Ummu Qirfah Al-Fazariyah murtad pada masa kekhalifahan Abu Bakar kemudian
Abu Bakar memerintahkan Ummu Qirfah dihadirkan kepadanya. Rambut depan Ummu
Qirfah diikat di ekor dua unta muda atau dua kuda kemudian Abu Bakar berteriak
mengagetkan kedua hewan tersebut, akibatnya wanita tersebut terpotong. Sanad
kisah tersebut terputus. Ibnu Sa’ad menyebutkan di Ath-Thabaqatnya [19])
tanpa sanad bahwa Zaid bin Haritsah membunuh wanita tersebut dengan pembunuhan
seperti itu pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian ia
melaporkannya kepada beliau.
Diriwayatkan
dengan shahih dari Ali bin Abu Thalib bahwa ia membakar orang-orang murtad,
namun hal tersebut ditentang Ibnu Abbas. [20])
Ada yang mengatakan bahwa Ali bin Abu Thalib tidak membunuh kaum tersebut,
namun hanya membuat asap pada mereka hingga mereka meninggal dunia. Ada lagi
yang mengatakan bahwa Ali bin Abu Thalib membunuh kaum tersebut kemudian
membakar mereka, namun itu tidak benar. Juga diriwayatkan dari Ali bin Abu
Thalib bahwa orang murtad dibawa ke hadapannya kemudian ia memerintahkan orang
murtad tersebut diinjak dengan kaki
orang-orang hingga meninggal dunia.
Ibnu Aqil, salah seorang sahabat kami, memilih pendapat
yang membolehkan penyincangan orang kafir, apalagi
jika kekafirannya kuat. Ibnu Aqil menafsirkan larangan
penyincangan itu dalam hukuman mati dengan qishas. Orang-orang yang membolehkan
penyincangan orang kafir berhujjah dengan hadits tentang orang-orang Urainah. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan di Shahihnya [21]) masing-masing hadits Anas bin Malik Radhiyallahu
Anhu bahwa orang-orang Urainah datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di Madinah
kemudian mereka menderita sakit perut. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka,
"Jika kalian mau, silahkan pergi ke unta zakat kemudian minum susu dan air
kencingnya”. Mereka melaksanakan saran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan
mereka pun sehat kembali. Tapi kemudian mereka menoleh kepada para penggembala
unta tersebut, membunuh mereka, murtad dari Islam, dan mengambil unta-unta milik Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hal
tersebut didengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau mengutus seorang sahabat untuk
menelusuri jejak-jejak mereka. Sahabat tersebut berhasil mendatangkan mereka kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memotong tangan dan kaki mereka, mencukil mata mereka, dan membiarkan
mereka di bawah terik sinar matahari
hingga mereka meninggal dunia. Di riwayat lain disebutkan, "Kemudian orang-orang
Urainah dijemur di bawah terik sinar matahari hingga meninggal dunia”. Di riwayat lain disebutkan, "Mata
mereka dicelaki dengan paku yang telah dipanaskan
dengan api dan diletakkan di bawah terik sinar matahari. Mereka minta air, namun tidak diberi air”. Di riwayat
At-Tirmidzi disebutkan, "Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memotong tangan dan kaki mereka secara silang”. Di riwayat An-Nasai disebutkan, "Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyalib mereka”.
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukuman bagi orang-orang seperti mereka. Ada ulama yang berkata, "Barangsiapa
berbuat seperti mereka kemudian murtad, memerangi kaum Muslimin, dan merampas
harta, ia diperlakukan seperti mereka”. Ini diriwayatkan dari sejumlah ulama,
misalnya Abu Qilabah. Pendapat tersebut juga riwayat dari Imam Ahmad.
Ada ulama yang berkata, "Hadits di alas justru
menunjukkan dibolehkannya penyincangan
orang yang kejahatannya berat dan penyincangan hanya dilarang dalam qishas”. Ini pendapat Ibnu Aqil, salah
seorang dari sahabat kami.
Ada
ulama yang berkata, "Apa yang diperbuat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap
orang-orang Urainah di atas telah dinasakh
(dihapus) dengan larangan
penyincangan”.
Ada ulama yang berkata, "Peristiwa di atas terjadi
sebelum turunnya ayat tentang hudud dan hukum memerangi Allah dan Rasul-Nya, kemudian dinasakh (dihapus)
dengan ayat-ayat tersebut”. Ini pendapat sejumlah ulama, di antaranya Al-Auzai
dan Abu Ubaidah.
Ada ulama yang berkata, "Justru tindakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang Urainah di atas berdasarkan ayat tentang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada
sesuatu apa pun dari tindakan beliau tersebut yang dinasakh (dihapus)”.
Para ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berkata, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
membunuh orang-orang Urainah dan memotong tangan mereka, karena mereka merampas
harta. Dan sebagaimana diketahui bahwa barangsiapa merampas harta dan
membunuh, maka ia dipotong, dibunuh, dan disalib. Itu hukumnya wajib. Jadi,
orang tersebut dibunuh karena pembunuhannya,
tangan dan kakinya dipotong secara silang karena perampasannya terhadap harta, dan disalib karena melakukan dua
kejahatan sekaligus, yaitu pembunuhan
dan merampas harta orang”. Ini pendapat Al-Hasan dan riwayat dari Imam Ahmad.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mencukil mata
orang-orang Urainah, karena mereka mencukil
mata para penggembala. Itu yang diriwayatkan Muslim dari hadits Anas bin Malik. Ibnu Syihab
menyebutkan bahwa orang-orang Urainah tersebut
membunuh penggembala unta dan menyincang-cincangnya. Ibnu Sa’ad menyebutkan
bahwa orang-orang Urainah tersebut memotong tangan dan kaki penggembala Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, menanamkan duri di lidah dan kedua matanya hingga ia meninggal dunia. Jika
demikian, maka pemotongan kaki dan
tangan orang-orang Urainah, pencukilan mata mereka, dan membiarkan mereka kelaparan
adalah qishas untuk mereka. Kesimpulan ini berdasarkan pendapat orang yang berkata bahwa jika muharib (orang yang memerangi kaum Muslimin) melakukan kejahatan yang
mengharuskannya diqishas, maka kejahatannya diberlakukan terhadapnya sebelum ia dibunuh. Ini pendapat Imam Ahmad. Namun
di sini ada pertanyaan, apakah
kejahatannya diberlakukan kepadanya secara wajib seperti membunuhnya ataukah hanya sekedar qishas yang bisa gugur dengan
pengampunan keluarga korban? Ada dua
riwayat dari Imam Ahmad. Namun riwayat At-Tirmidzi
menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memotong orang-orang Urairah tersebut karena mereka
memerangi, terkecuali jika mereka memotong
tangan dan kaki penggembala beliau secara silang, wallahu a’lam.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau pernah mengizinkan pembakaran orang kafir dengan api kemudian melarangnya
seperti disebutkan di Shahih
Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
mengirim kami dalam salah satu detasemen kemudlan beliau bersabda, Jika kalian menemukan si
Fulan dan si Fulan; keduanya orang Quraisy,
bakarlah keduanya”. Ketika kami hendak
berangkat, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Aku telah memerintahkan kalian membakar si
Fulan dan si Fulan dan sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah. Oleh karena itu, jika kalian menemukan kedua orang
tersebut, bunuhlah keduanya”. [22])
Di Shahih Al-Bukhari juga disebutkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
لا تعذبوا بعذاب
الله عزَّ وجلَّ.
“Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah Azza wa jalla”. [23])
Imam Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai meriwayatkan hadits Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu
Anhu yang berkata,
“Kami pernah bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
kemudian kami berjalan
melewati perkampungan semut yang telah dibakar. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam marah dan bersabda,
Sesungguhnya manusia tidak pantas menyiksa dengan siksaan Allah Azza wa jalla”. [24])
Khalid bin Walid pernah membunuh sejumlah orang-orang
yang murtad. Juga diriwayatkan dari
sejumlah sahabat bahwa mereka membakar
orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth (sodomi). Diriwayatkan dari Ali bin Abu
Thalib bahwa ia memberi isyarat kepada Abu Bakar agar ia membunuh pelaku sodomi kemudian membakarnya. Ishaq bin Rahawaih
menganggap isyarat Ali bin Abu
Thalib tersebut sebagai hal yang baik agar tidak ada kesan penyiksaan dengan api.
Di Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa ketika Ali bin Abu
Thalib Radhiyallahu Anhu dipukul Ibnu Al-Muljam, ia berkata, "Tindaklah orang tersebut (Ibnu
Al-Muljam) seperti yang diperbuat Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap
orang yang hendak membunuh beliau.
Beliau bersabda, “Bunuh
orang tersebut dan bakarlah”. [25])
Sebagian besar ulama memandang makruh membakar manusia bahkan terhadap singa sekalipun.
SYARAH وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ
أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Ibrahim An-Nakhai berkata, "Membakar kalajengking
termasuk penyincangan”.
Ummu Ad-Darda’ melarang pembakaran udang.
Imam Ahmad berkata, "Ikan tidak boleh dipanggang di
atas api dalam keadaan
hidup-hidup”.
Imam Ahmad juga berkata, "Belalang lebih mudah
urusannya, karena ia tidak mempunyai
darah”.
Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang penahanan
hewan ternak, maksudnya hewan ternak ditahan kemudian dipukuli dengan
panah atau lain-lain hingga mati. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim disebutkan hadits dari
Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang penahanan hewan ternak untuk tujuan seperti itu. [26])
Di Shahlh Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu
Anhuma bahwa ia berjalan melewati salah satu kaum yang memancangkan seekor ayam kemudian melemparinya.
Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam melaknat siapa saja yang
berbuat seperti ini". [27])
Muslim [28])
meriwayatkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang sesuatu yang
di dalamnya terdapat ruh dijadikan sebagai
sasaran. Yang dimaksud dengan sasaran ialah sesuatu yang dilempari dengan panah.
Di Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang pelemparan, yaitu hewan dilempari kemudian dimakan, “Namun hewan tersebut harus disembelih kemudian lemparilah jika kalian mau”. [29])
Banyak sekali hadits semakna. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan
berbuat baik dalam pembunuhan dan penyembelihan. Beliau memerintahkan penajaman pisau dan menyenangkan hewan sembelihan.
Ini menunjukkan bahwa penyembelihan dengan
senjata tajam itu menyenangkan hewan sembelihan karena pisau tajam tnempercepat
kematiannya.
Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiiyallahu
Anhuma yang berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan penajaman pisau dan pisau tidak diperlihatkan
kepada hewan ternak. Beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian menyembelih,
hendaklah ia menyiapkannya”. [30])
Maksudnya, hendaklah ia segera menyembelih
hewan sembelihan.
Ada perintah bersikap lemah-lembut kepada hewan
sembelihan pada saat penyembelihan.
Ibnu Majah meriwayatkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewati seseorang yang
menyeret ekor kambing kemudian beliau bersabda, “Lepaskan ekornya dan peganglah bagian atas
lehernya“. [31])
Al-Khallal dan Ath-Thabrani [32]) meriwayatkan hadits Ikrimah
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma
yang berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewati seseorang
yang meletakkan kakinya di samping atas kambing sambil mengasah pisaunya sedang kambing tersebut melihatnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kenapa ini tidak dilakukan sebelumnya? Engkau ingin mematikan
kambing tersebut dengan dua kematian".
Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Ikrimah secara mursal oleh Abdurrazzaq [33]) dan
lain-lain. Di dalamnya terdapat tambahan, "Kenapa engkau tidak mengasah
pisaumu sebelum engkau membaringkan kambing ini?"
Imam Ahmad berkata, "Hewan sembelihan digiring ke
tempat penyembelihan dengan
lemah-lembut, pisau tidak diperlihatkan kepadanya, dan hanya terlihat pada saat penyembelihan”.
Imam
Ahmad juga berkata, "Sesuatu yang tidak samar bagi hewan ternak ialah ia tahu Tuhannya dan tahu ia akan mati”.
Imam Ahmad juga berkata bahwa diriwayatkan dari Ibnu
Sabith yang berkata, "Sesungguhnya
seluruh hewan ternak dibentuk di atas segala sesuatu, hanya saja, ia tahu
Tuhannya dan takut kematian”.
Ada perintah memotong urat leher hewan ternak pada saat
penyembelihan, seperti
diriwayatkan Abu Daud dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang syarat syetan yaitu hewan yang disembelih kemudian kulitnya
dipotong dan urat lehernya tidak dipotong. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Hibban di Shahihnya.
[34]) Menurutnya bahwa Ikrimah
berkata, "Ketika itu, orang-orang memotong sedikit sekali dari hewan sembelihan
kemudian membiarkannya hingga mati dan tidak memotong urat lehernya. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihl wa Sallam melarang hal tersebut”.
Abdurrazzaq meriwayatkan di bukunya [35]) dari Muhammad bin Rasyid dari Al-Wadhin
bin Atha’ yang berkata,
"Tukang
jagal membuka pintu kepada kambing dan ia
bermaksud menyembelihnya kemudian kambing tersebut lari hingga tiba di tempat
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Tukang jagal tersebut mengikuti
kambingnya kemudian ia menyeretnya
dengan memegang kakinya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada kambing tersebut, Bersabarlah terhadap perintah Allah”. Kepada tukang jagal, beliau bersabda,
“Dan engkau, hai tukang jagal,
tuntunlah kambing ini kepada kematian dengan lemah lembut".
Abdurrazzaq
juga dengan sanadnya [36])
meriwayatkan hadits dari Ibnu Sirin bahwa
Umar bin Khaththab melihat seseorang menyeret kambing dengan memegang kakinya dan bermaksud menyembelihnya kemudian ia
berkata kepada orang tersebut,
"Celaka engkau, tuntunlah kambing ini kepada kematian dengan baik”.
Muhammad bin Ziyad meriwayatkan bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma melihat tukang sembelih hewan menyeret kambing kemudian ia berkata, "Tuntunlah kambing tersebut kepada
kematian dengan baik”. Tukang sembelih mengeluarkan pisaunya kemudian berkata, "Aku tidak akan menuntun
kambing ini dengan baik, karena aku hendak
menyembelihnya sekarang juga”. Ibnu Umar berkata, "Tuntunlah kambing
tersebut kepada kematian dengan baik”.
Di Musnad Imam Ahmad [37]) disebutkan hadits dari Muawiyah bin Qurah dari ayahnya bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Wahai Rasulullah, aku akan menyembelih
kambing, tapi aku menyayanginya”. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Jika engkau menyayangi kambing, Allah
akan menyayangimu”.
Mutharrif bin Abdullah berkata, "Sesungguhnya Allah
pasti menyayangi seseorang karena ia menyayangi
burung pipit”.
Nauf Al-Bukali berkata, "Seorang laki-laki
menyembelih seekor anak lembu di depan
induknya kemudian orang laki-laki tersebut menjadi gila. Ketika orang laki-laki tersebut berada di bawah pohon yang ada
sarang burungnya, sedang di dalam
sarang terdapat anak burung. Tiba-tiba anak burung tersebut jatuh ke tanah kemudian orang laki-laki tersebut menyayanginya
dan mengembalikannya ke tempatnya
semula. Kemudian Allah mengembalikan kekuatannya hingga ia normal kembali”.
Diriwayatkan dari banyak jalur dari Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam bahwa
beliau melarang pemisahan ibu (budak
wanita) dengan anaknya. Itu berlaku bagi manusia dan selain mereka.
Di Sunan Abu Daud [38]) disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang anak sulung unta
kemudian beliau bersabda, "Anak sulung unta adalah hak dan hendaknya kalian membiarkannya hingga menjadi remaja
yang memasuki tahun kedua atau memasuki tahun ketiga kemudian engkau
memberikannya kepada wanita janda atau
menungganginya di jalan Allah. Itu lebih baik bagimu daripada engkau
menyembelihnya kemudian dagingnya dilekatkan dengan bulunya. Itu juga lebih baik bagimu daripada engkau membalik
bejanamu dan membuat sedih untamu”.
Maksud hadits di atas, jika anak unta yang masih kecil
disembelih, maka dagingnya
tidak bisa dimanfaatkan dan merugikan pemiliknya karena susu induknya menjadi
terhenti. Akibatnya, pemilik unta tersebut membalik bejananya yang biasa ia pakai memerah susu unta tersebut
(karena ia tidak lagi bisa memerah susu unta tersebut) dan induk unta menjadi sedih karena kehilangan anaknya.
[1] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 1955. Hadits
tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 4/123, 124, 125, At-Tirmidzi hadits nomer
1409, An-Nasai 7/227, Ibnu Majah hadits nomer 3170, Ad-Darimi 2/82, Ibnu Abu
Syaibah 9/421, Ibnu Al-Jarud di Al-Muntaqa
hadits nomer 839, 899, Ath-Thayalisi hadits nomer 1119,
Ath-Thahawi di Syarhu Ma’anil
Atsaar 3/184-185, dan Al-Baihaqi
8/60.
[2] Di
Al-Kamil 6/2419. Sanad hadits tersebut dhaif, namun
hadits tersebut diperkuat hadits
Syaddad bin Aus di atas.
[3] Disebutkan
Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 5/197 dari
Ath-Thabrani. Al-Haitsami berkata, "Para perawi hadits tersebut adalah
para perawi tepercaya”.
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Ibnu Abu Ashim di Ad-Diyaat hal. 94
dari Utsman bin Thalut, Abu Nu’aim di Akhbaaru Ashbahan 2/113 dari jalur Sulaiman bin Daud Al-Minqari, dan Ibnu Adi di Al-Kamil 6/2145. Ketiga
perawi tersebut meriwayatkan hadits di atas dari Muhammad bin Hilal dari Imran bin Dawur Al-Qaththan dari
Qatadah dari Anas bin Malik. Sanad hadits di atas layak dianggap hasan.
[4] Ia imam
besar, Al-Hafidz, dan pejuang Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Al-Harits Al-Fazari dan wafat pada tahun 186 H. Tentang bukunya yang berjudul As-Siyar
tentang perang dan jihad namun ia tidak dapat
menyelesaikannya karena salah satu sebab. Imam Syafi’i Rahimahullah berkata, "Tidak ada seorang pun yang bisa menulis seperti buku Abu
Ishaq Al-Fazari.
Imam Ibnu Taimiyah berkata, "Penduduk Syam adalah ahli perang dan
jihad. Mereka mempunyai ilmu tentang
jihad dan perang yang tidak dimiliki orang-orang selain mereka. Oleh karena itu, manusia begitu hormat dengan buku Abu
Ishaq Al-Fazari tersebut”.
[5] Dari hadits Aisyah, hadits di atas diriwayatkan
Al-Bukhari hadits nomer 729. Dari hadits
Zaid bin Tsabit, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 5/182, 184, 187,
Al-Bukhari hadits nomer 7290, dan
An-Nasai 3/198.
[6] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/490 dari hadits Watsilah
bin Al-Asqa’. Di sanadnya, terdapat
perawi Laits bin Abu Sulaim yang merupakan perawi dhaif.
[7] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6343, 6612,
Muslim hadits nomer 2657, dan Abu Daud hadits nomer 2152 dari Ibnu Abbas yang
berkata, aku melihat sesuatu yang mirip dengan dosa kecil yang dikatakan Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian
terhadap zina terhadap anak keturunan Adam. Ia pasti mendapatkannya dan tidak bisa dihindari. Zina kedua mata ialah
melihat, zina lidah ialah berkata,
jiwa itu mengharapkan dan menginginkan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya”.
[8] Ia
Duraid bin Ash-Shimah Al-Jusyami Al-Bakri. Ia penyair dan pemberani. Ia
pemimpin Bani Jusyam, jagoan, kepemimpinannya baik, berperang lebih dari
seratus kali, tidak gagal dalam satu perang pun, dan hidup semasa Islam, namun
tidak masuk Islam. Di Perang Hunain, ia keluar bersama kaumnya guna membantu orang-orang musyrikin padahal ketika itu ia
tidak memiliki sisa-sisa kelebihannya
dalam perang. Namun kaumnya mengajaknya berangkat agar mereka mendapatkan keberkahan dengannya dan pendapatnya.
Ia dibunuh dalam keadaan musyrik. Baca Khazanatul Adad 11/118-121.
[9] Penggalan dari hadits panjang yang diriwayatkan
Muslim hadits nomer 1731 dari Buraidah.
[10] Hadits
hasan diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 2666, Ibnu Majah hadits
nomer 2681 dan 2682,
Imam Ahmad 1/393 hadits dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abu Syaibah 9/420, Ibnu Al-Jarud hadits nomer 840, Ibnu Abu Ashim di Ad-Diyat hal. 94, Al-Baihaqi 8/61, Ath-Thahawi di Syarhu Ma’anil Atsaar 3/183,
dan Ibnu Hibban hadits nomer 5994.
Tentang sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Manusia yang paling bersih pembunuhannya ialah orang-orang beriman", Al-Manawi berkata, "Orang-orang beriman adalah manusia yang paling penyayang kepada makhluk
Allah, paling anti mencincang-cincang korban dan berlama-lama menyiksa mereka karena ingin mengagungkan Pencipta
mereka dan melaksanakan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika kalian
membunuh, bunuhlah dengan baik”. Ini berbeda dengan orang-orang kafir dan sebagian orang-orang fasik yang
hati mereka tidak merasakan kemanisan
iman, cukup puas dengan Islam KTP. dan dirasuki kekerasan hati hingga itu semua
membuat mereka menjauh dari
Ar-Rahman. Hati yang paling jauh dari Allah ialah hati yang keras. Barangsiapa tidak menyayangi, ia tidak akan
disayangi”.
[11] Diriwayatkan
Imam Ahmad 4/439, 440, 445, 460, 5/12 dan Abu Daud hadits nomer 2667 yang
berkata, Muhammad bin Al-Mutsanna berkata kepada kami, Muadz bin Hisyam berkata kepada
kami bahwa ayahku berkata kepadaku dari Qatadah dari Al-Hasan dari Al-Hayyaj bin Imran bahwa budak Imran
melarikan diri, kemudian Imran bersumpah; jika ia mampu menemukan budaknya, ia akan memotong tangannya. Al-Hayyaj berkata,
"Kemudian ayahku (Imran)
menyuruhku bertanya tentang sumpahnya tersebut. Aku mendatangi Samurah bin
Jundab dan bertanya kepadanya. Ia
menjawab, “Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam pernah menganjurkan kami bersedekah dan melarang kami
menyincang-cincang.” Aku datang kepada Imran bin Hushain guna menanyakan masalah ini. Ia menjawab,
“Rasulullah Shallalllahu Alaihi wa
Sallam pernah menganjurkan
kami bersedekah dan melarang kami menyincang-cincang”.
Menyincang-cincang ialah menyiksa korban dengan memotong salah satu
organ tubuhnya dan merusak fisiknya sebelum membunuh atau sesudahnya. Misalnya,
memotong hidung korban, atau telinganya, atau mencungkil matanya, dan
lain sebagainya.
[12] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2474.
[13] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/173 dari Affan dari Wahib
dari Atha’ bin As-Saib dari Ya’la bin
Murah.
[14] Diriwayatkan Imam
Ahmad 2/92, 115 dari jalur Syuraik dari Muawiyah bin Ishaq dari Abu Shalih
Al-Hanafi dari salah seorang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Menurutku, sahabat tersebut ialah Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma. Di sanad tersebut terdapat Syuraik yang
hapalannya jelek.
Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid di dua tempat. Di tempat pertama,
4/32, ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan para
perawinya adalah para perawi
tepercaya”. Di tempat kedua, 6/249-250, ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Ath-Thabrani di Al-Ausath dari Ibnu Umar tanpa ada keraguan di dalamnya. Dan para perawi Imam Ahmad adalah para perawi tepercaya”.
[15] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6877 dan
Muslim hadits nomer 1672.
[16] Hadits dhaif. Hadits tersebut ada
di Sunan Ibnu Majah hadits nomer 2668. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Ad-Daruquthni 3/105-106 dan Al-Baihaqi 8/63 dari Abu Bakrah.
Dari An-Nu’man bin Basyir, hadits
tersebut diriwayatkan Ath-Thayalisi hadits nomer 802, Ibnu Majah hadits nomer
2667, Ibnu Abu Ashim di Ad-Diyat hal. 60, Ath-Thahawi di Syarhu Ma’anil
Atsaar 3/184,
Ad-Daruquthni 3/106, dan Al-Baihaqi 8/62.
Dari Abdullah bin Mas’ud, hadits
tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Ashim hal. 60. Ad-Daruquthni 3/88, dan Al-Baihaqi 8/63.
Dari Ali bin Abu Thalib, hadits tersebut diriwayatkan Ad-Daruquthni 3/88.
[17] Ibnu Sa’ad berkata di Ath-Thabaqat 7/396, Abu Muawiyah Adh-Dharir berkata kepadaku, Hisyam bin Urwah berkata dari ayahnya yang berkata, "Di
Bani Sulaim terjadi kemurtadan
kemudian Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk menanganinya. Khalid bin Walid
mengumpulkan beberapa orang laki-laki Bani Sulaim di kandang unta kemudian
membakar mereka. Umar bin Khaththab pergi
menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, `Pecatlah orang (Khalid) yang menyiksa dengan siksaan Allah”. Abu
Bakar berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak menyarungkan pedang yang telah
dihunusnya terhadap orang-orang kafir hingga ia sendiri yang menyarungkannya.”
Abu Bakar tetap menyuruh Khalid bin Walid kemudian Khalid bin Walid meneruskan perjalanan hingga sampai kepada
Musailamah Al-Kadzdzab”.
Para perawi sanad riwayat
tersebut adalah para perawi Al-Bukhari dan Muslim, hanya saja Urwah tidak
pernah bertemu Abu Bakar.
[18] Nama
asli Al-Fuja’ah ialah Iyas bin Abdu Yalail As-Sulami. Perihal dirinya seperti
terlihat di buku Ath-Thabari 3/264 ialah ia datang kepada Abu Bakar dan
berkata, "Beri aku bantuan senjata dan perintahkan aku kepada orang murtad
yang engkau kehendaki”. Abu Bakar pun memberinya senjata dan memberikan
perintah kepadanya. Ternyata, ia menyalahi perintah Abu Bakar dan menggunakan
senjatanya untuk memerangi kaum Muslimin. Al-Fuja’ah keluar dan singgah di
Al-Jiwa’. Di sana, ia mengutus Najbah bin Abu Al-Mitsa' dari Bani Asy-Syuraid
dan memerintahkannya menyerang kaum Muslimin. Setelah itu, Najbah bin Abu Al-Mitsa’
menyerang seluruh kaum Muslimin di Sulaim, Amir, dan Hawazin. Hal tersebut,
didengar Abu Bakar kemudian ia mengutus Tharifah bin Hajiz pergi kepada Najbah
bin Abu Al-Mitsa’. Di samping itu, Abu Bakar mengirim Abdullah bin Qais Al-Jasi
sebagai bala bantuan bagi Tharifah. Abdullah bin Qais melaksanakan perintah Abu
Bakar kemudian ia bersama Tharifah berangkat ke tempat Najbah dan mencarinya.
Najbah menghindari kedua sahabat tersebut dan akhirnya kedua sahabat tersebut
bertemu Najbah di Al-Jiwa’. Di sana, pertempuran meledak. Najbah terbunuh,
sedang Al-Fuja’ah melarikan diri namun diburu Tharifah yang kemudian berhasil
menawannya. Tharifah mengirimkan Al-Fuja’ah kepada Abu Bakar. Al-Fuja’ah pun
dibawa ke hadapan Abu Bakar kemudian Abu Bakar memerintahkan penyalaan api
dengan kayu bakar yang banyak untuk Al-Fuja’ah di salah satu mushalla di
Madinah, lalu Al-Fuja’ah dilemparkan ke api tersebut dengan kedua tangan dan
kakinya terikat”.
[19] 2/90.
[20] Diriwayatkan
Al-Bukhari hadits nomer 3017 dari hadits Ikrimah bahwa Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu
Anhu membakar salah satu kaum. Hal tersebut didengar Ibnu Abbas kemudian ia
berkata, "Kalau aku, maka aku tidak membakar mereka, karena Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan
Allah“, dan pasti aku membunuh mereka seperti disabdakan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa mengganti agamanya, bunuhlah dia”.
[21] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 233, 3018,
4610, 6899 dan Muslim hadits nomer (1671) (9), (l0), (11), (12), (13), dan
(14).
[22] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3016
[23] Ibid., hadits nomer 3017.
[24] Hadits shahih diriwayatkan Imam Ahmad 1/423, Abu
Daud hadits nomer 2675, 5268, dan An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat di
Tuhfatul Asyraaf 7/77
[25] 1/9293. Sanad hadits tersebut dhaif.
[26] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5513 dan
Muslim 1956
[27] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5514 dan
Muslim 1958.
[28] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 1957
[29] 2/402. Sanad hadits tersebut kuat.
[30] Diriwayatkan Imam Ahmad 2/108 dan Ibnu Majah hadits
nomer 3172. Sanad Imam Ahmad kuat, karena menurutnya, perawinya ialah dari Ibnu
Lahiah adalah Qutaibah bin Sa’id yang
merupakan perawi kuat di dalamnya seperti terlihat di Siyaru A’lamin Nubala’ 8/17.
[31] Diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 3171. Di sanadnya terdapat perawi Musa bin Muhammad bin Ibrahim At-Taimi yang merupakan
perawi dhaif.
[32] Diriwayatkan Ath-Thabrani hadits nomer 11916. Para perawinya adalah para perawi Bukhari seperti dikatakan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 4/33.
[33] Di Al-Mushannaf
hadits nomer 8608 dari Ma’mar dari Ashim dari Ikrimah. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Al-Hakim 4/233 dari jalur Hammad bin Zaid dari Ashim dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Al-Hakim berkata, "Hadits ini
shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Saya katakan, Ikrimah termasuk
perawi Al-Bukhari
[34] Hadits nomer 5888. Hadits tersebut dhaif.
Baca takhrijnya di buku tersebut.
[35] Al-Mushannaf hadits nomer 8609
[36] Ibid., hadits nomer 8605
[37] 5/34. Sanadnya
shahih.
[38] Hadits
nomer 6842. Hadits tersebut juga ada di Al-Musnad
2/182-183. Sanadnya hasan.
No comments:
Post a Comment