Saturday, October 25, 2025

Hadits Arbain 18: Taqwa

 

الْحَدِيثُ الثَّامِنَ عَشَرَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ: حَسَنٌ صَحِيحٌ

 

Dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, ikutilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”. (Diriwayatkan At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits tersebut hasan”. Di sebagian buku, hadits tersebut dikatakan hasan shahih). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan At-Tirmidzi dari riwayat Sufyan Ats-Tsauri dari Habib bin Abu Tsabit dari Maimun bin Abu Syabib dari Abu Dzar. At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits di atas dengan sanad seperti itu dari Maimun dari Muadz. At-Tirmidzi menyebutkan dari syaikhnya, Mahmud bin Ghailan, yang berkata, "Hadits Abu Dzar adalah hadits yang paling shahih”.

Sanad hadits di atas diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut dari Habib. Ada lagi yang mengatakan dari Maimun bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mewasiatkan hal tersebut secara mursal. Ad-Daruquthni menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa hadits di atas mursal.

At-Tirmidzi menganggap hasan hadits di atas. Sedang penganggapan hadits tersebut shahih olehnya di sebagian tulisan adalah mustahil. Namun Al-Hakim juga meriwayatkan hadits di atas dan berkata, "Hadits tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”. Al-Hakim tidak benar karena dua alasan;

1.      Maimun adalah anak Abu Syabib. Ada yang mengatakan bahwa Al-Bukhari di Shahihnya tidak meriwayatkan haditsnya apa pun. Begitu juga Muslim kecuali di mukaddimahnya, yaitu satu hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah.

2.      Maimun bin Abu Syabib tidak benar mendengar hadits dari salah seorang sahabat Rasulullah Shallalllahu Alaihi wa Sallam. Al-Falas berkata, "Di antara riwayat-riwayat Maimun bin Abu Syabib dari sahabat tidak ada satu pun yang menggunakan kata sami’tu (aku dengar) dan aku tidak tahu orang mengatakan bahwa ia mendengar dari sahabat-sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam”. Abu Hatim Ar-Razi berkata, "Riwayat Maimun bin Abu Syabib dari Abu Dzar dan Aisyah terputus”. Abu Daud berkata, "Maimun bin Abu Syabib tidak pernah bertemu Aisyah dan tidak pernah melihat Ali bin Abu Thalib”. Oleh karena itu, tentunya Maimun bin Abu Syabib tidak pernah bertemu Muadz bin Jabal.

Al-Bukhari, syaikhnya yang bernama Ali bin Al-Madini, Abu Zur’ah, Abu Hatim, dan lain-lain, berpendapat bahwa hadits tidak shahih kecuali dengan adanya pertemuan antar perawi. Perkataan Imam Ahmad menunjukkan hal yang sama. Ini juga dikatakan Imam Syafi’i di bukunya Ar-Risalah. Ini semua bertentangan dengan pendapat Muslim.

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau mewasiatkan hal di atas kepada Muadz bin Jabal dan Abu Dzar dari banyak jalur. Al-Bazzar [2]) meriwayatkan hadits dari Abu Luhaiah dari Abu Az-Zubair dari Abu Ath-Thufail dari Muadz bin Jabal bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengirimnya ke salah satu kaum kemudian ia berkata, "Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tebarkan salam, berikan makanan, dan malulah kepada Allah seperti malu kepada seseorang yang berwibawa di antara keluargamu. Jika engkau berbuat salah, hendaklah engkau berbuat baik dan perbaiki akhlakmu semampumu”.

Ath-Thabrani dan Al-Hakim meriwayatkan hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash bahwa Muadz bin Jabal hendak bepergian kemudian berkata, "Wahai Rasalullah, berilah aku wasiat”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sembahlah Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apa pun”. Muadz bin Jabal berkata, "Wahai Rasulullah, tambahilah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika engkau berbuat salah, maka berbuat baiklah”. Muadz bin Jabal berkata, "Wahai Rasulullah, tambahilah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Istiqamahlah dan perbaiki akhlakmu”. [3])

Imam Ahmad [4]) meriwayatkan hadits dari Darraj dari Abu Al-Haitsam dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya,

“Aku berwasiat kepadamu, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dalam urusanmu yang rahasia dan yang tidak rahasia. jika engkau telah berbuat salah, hendaklah engkau berbuat baik. Engkau jangan sekali-kali meminta sesuatu kepada manusia kendati cambukmu jatuh. Engkau jangan memegang amanah dan jangan memutuskan perkara dua orang”. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari jalur lain dari Abu Dzar yang berkata, aku berkata,

"Wahai Rasulullah, ajarilah aku perbuatan yang mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka”. Nabi Shallallahu Alailu wa Sallam bersabda, “jika engkau telah mengerjakan kesalahan, maka kerjakan kebaikan, karena kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang sama dengannya”. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah ucapan ‘laa ilaaha illallah’ (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah) juga termasuk kebaikan?" Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Itu termasuk kebaikan yang paling baik”.

Ibnu Abdul Barr meriwayatkan di At-Tamhid dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman kemudian beliau bersabda, “Hai Muadz, bertakwalah engkau kepada Allah dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik. Jika engkau telah berbuat salah, lanjutkan dengan kebaikan". Muadz bin Jabal berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah ‘laa ilaaha illallah’ (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah) juga termasuk kebaikan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Itu termasuk kebaikan yang paling besar”. Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan lain-lain dalam hadits panjang yang di dalamnya terdapat kelemahan.

Termasuk dalam makna ini ialah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang pernah ditanya,

"Apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bertakwa kepada Allah dan akhlak yang baik". Hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Majah, At-Tirmidzi yang juga menshahihkannya, dan Ibnu Hibban di Shahihnya. [5])

Wasiat hadits bab di atas adalah wasiat agung yang menghimpun hak-hak Allah dengan hak-hak manusia. Hak Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah mereka bertakwa kepada-Nya dengan takwa yang sebenarnya. Takwa adalah wasiat Allah kepada manusia generasi pertama hingga terakhir. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan kepadamu; bertakwalah kepada Allah”. (An-Nisa’: 131).

Inti takwa ialah seorang hamba meletakkan pelindung di antara dirinya dengan sesuatu yang ia takutkan dan khawatirkan. Jadi, takwa seseorang kepada Tuhannya ialah ia meletakkan antara dirinya dengan apa yang ia takutkan kepada Tuhannya, yaitu kemarahan dan hukuman-Nya, sebuah pelindung yang melindungi dirinya dari itu semua. Pelindung tersebut ialah mengerjakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.

Terkadang takwa disatukan dengan nama Allah Azza wa Jalla, misalnya firman Allah Ta’ala,

"Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan”. (Al-Maidah: 96).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (Al-Hasyr: 18).

Jika takwa disatukan dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka maknanya ialah takutlah kepada kemurkaan dan kemarahan-Nya, karena itu pelindung terbesar. Hukuman Allah di dunia dan akhirat terjadi karena kemurkaan dan kemarahan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksa)-Nya”. (Ali Imran: 28).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dia (Allah) Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun”. (Al-Mudatstsir: 56).

Jadi Allah yang paling layak ditakuti, disegani, dan diagungkan di dada hamba-hamba-Nya hingga mereka menyembahNya dan taat kepada-Nya, karena Dia berhak atas keagungan, kemuliaan, sifat-sifat kebesaran, kekuatan menindak, dan kedahsyatan menghukum. Dalam At-Trmidzi dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ayat berikut,

"Dia (Allah) Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun”. (Al-Mudatstsir: 56).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, “Aku paling layak ditakwai. Barangsiapa bertakwa kepada-Ku kemudian tidak menjadikan tuhan lain bersama-Ku, Aku layak untuk mengampuninya". [6])

Terkadang takwa disatukan dengan hukuman Allah dan tempat hukuman tersebut, seperti neraka atau waktunya seperti Hari Kiamat, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan peliharalah diri kalian dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir”. (Ali Imran: 131).

Allah Ta’ala berfirman,

"Maka peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (Al-Baqarah: 24).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan peliharalah diri kalian dari hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah”. (Al-Baqarah: 281).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan jagalah diri kalian dari hari di mana seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun”. (Al-Baqarah: 48).

Termasuk dalam muatan takwa ialah mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan hal-hal haram, dan perkara-perkara syubhat. Bisa jadi, setelah itu, masuk juga ke dalamnya mengerjakan sunnah-sunnah dan meninggalkan hal-hal makruh. Inilah tingkatan takwa tertinggi. Allah Ta’ala berfirman,

"Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya akhirat”. (Al-Baqarah: 14).

Allah Ta’ala berfirman,

"Bukanlah kalian menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan, tapi sesungguhnya kebaikan ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, Kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janji mereka apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan; mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-Baqarah: 177).

Muadz bin Jabal berkata, "Pada Hari Kiamat, diseru, “Mana orang-orang bertakwa?” Mereka pun berdiri di samping Ar-Rahman. Allah tidak menutup diri dan tidak bersembunyi dari mereka. Mereka berkata kepada Allah, “Siapakah orang-orang bertakwa?” Allah berfirman, “Yaitu kaum yang takut syirik, (takut) menyembah patung-patung, dan ikhlas karena Allah dalam ibadah”.

Ibnu Abbas berkata, "Orang-orang bertakwa ialah orang-orang yang takut hukuman Allah karena meninggalkan petunjuk yang telah mereka ketahui dan mereka mengharap rahmat-Nya dengan membenarkan apa yang Dia bawa”.

Al-Hasan berkata, "Orang yang bertakwa ialah orang-orang yang menjauhi apa saja yang diharamkan kepada mereka dan melaksanakan apa saja yang diwa-­jibkan kepada mereka”.

Umar bin Abdul Aziz berkata, "Takwa kepada Allah bukanlah dengan puasa di siang hari, atau qiyamul lail, atau mengerjakan keduanya, namun takwa kepada Allah ialah meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah dan mengerjakan apa saja yang diwajibkan Allah. Barangsiapa dianugerahi kebaikan setelah itu, maka itu kebaikan yang ditambahkan kepada kebaikan”.

Thalqu bin Habib berkata, "Takwa ialah hendaknya Anda melakukan ketaatan kepada Allah di atas sinar dari-Nya karena mengharapkan pahala-Nya dan meninggalkan maksiat kepada-Nya di atas sinar dari-Nya karena takut hukuman-Nya”.

Abu Ad-Darda’ berkata, "Puncak takwa ialah seorang hamba bertakwa kepada Allah hingga ia bertakwa kepada-Nya sebesar biji sawi dan hingga ia meninggalkan sesuatu yang ia lihat sebagai sesuatu yang halal karena takut sesuatu tersebut merupakan sesuatu yang haram, dan itu menjadi benteng dirinya dari sesuatu yang haram, karena Allah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kembalikan kepada-Nya dengan berfirman,

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya Ia melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, nisca ya ia melihatnya”. (Az-Zalzalah: 78).

Oleh karena itu, Anda jangan sekali-kali meremehkan kebaikan yang engkau kerjakan dan keburukan yang engkau takuti”.

Al-Hasan berkata, "Takwa senantiasa ada pada orang-orang bertakwa hingga mereka meninggalkan banyak sekali hal-hal halal, karena khawatir hal-hal halal tersebut merupakan hal-hal haram”.

Ats-Tsauri berkata, "Manusia dikatakan sebagai orang-orang bertakwa karena mereka menjauhi apa yang tidak dijauhi”.

Musa bin A’yan berkata, "Orang-orang bertakwa menjauhi banyak sekali hal-hal halal karena mereka khawatir terjerumus ke dalam hal-hal haram. Oleh karena itu, Allah menamakan mereka orang-orang bertakwa”.

Sebelumnya telah disebutkan hadits yang berbunyi,

"Seorang hamba tidak bisa menjadi salah seorang dari orang-orang bertakwa hingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak ada madzarat di dalamnya karena khawatir sesuatu tersebut bermadzarat”.

Sebelumnya juga telah disebutkan hadits,

"Barangsiapa menjauhi hal-hal yang tidak jelas, ia telah mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agama dan kehormatannya”.

Maimun bin Mihran berkata, "Orang bertakwa lebih kuat evaluasinya terhadap dirinya daripada evaluasi mitra bisnis yang pelit terhadap mitra bisnisnya”.

Tentang firman Allah Ta’ala,

"Bertakwalah kalian kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya”. (Ali Imran: 102).

Ibnu Mas’ud berkata, "Allah harus ditaati tanpa dimaksiati, diingat tanpa dilupakan, dan disyukuri tanpa diingkari”.

Atsar tersebut diriwayatkan Al-Hakim secara marfu’ [7]) namun yang benar mauquf. Termasuk dalam muatan syukur kepada Allah Ta’ala ialah mengerjakan seluruh ketaatan.

Makna dzikir kepada Allah dan tidak melupakannya ialah seorang hamba dengan hatinya ingat perintah-perintah Allah dalam seluruh gerak dan diamnya kemudian mengerjakannya dan ingat larangan-larangan-Nya dalam seluruh gerak dan diamnya, kemudian menjauhinya.

Seringkali kata takwa diartikan meninggalkan hal-hal yang diharamkan seperti dikatakan Abu Hurairah ketika ditanya tentang takwa, "Apakah engkau pernah berjalan di atas jalan berduri?" Penanya berkata, "Ya, pernah”. Abu Hurairah berkata, "Apa yang engkau perbuat?" Penanya berkata, "Jika aku melihat duri, aku menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya”. Abu Hurairah berkata, "Itulah takwa”. Makna takwa seperti itu dipahami Ibnu Al-Mu’taz kemudian ia melantunkan syair berikut,

"Tinggalkanlah dosa-dosa; baik dosa-dosa kecil atau dosa-dosa besar

Itu adalah takwa

Bersikaplah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri

Ia akan hati-hati kepada apa yang dilihatnya

janganlah engkau meremehkan sesuatu yang kecil

Karena gunung itu berasal dari kerikil-kerikil”.

Asal kata takwa ialah seorang hamba tahu apa yang mesti ia takuti kemudian ia takut kepadanya. Aun bin Abdullah berkata, "Puncak takwa ialah engkau mencari pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui kepada sesuatu yang diketahui”.

Ma’ruf Al-Karkhi menyebutkan dari Bakr bin Khunais yang berkata, "Bagaimana bisa menjadi orang bertakwa, orang yang tidak tahu apa yang mesti ia takuti?" Setelah itu, Ma’ruf Al-Karkhi berkata, "Jika Anda tidak bertakwa dengan baik, maka Anda makan harta riba. Jika Anda tidak bertakwa dengan baik kemudian berjumpa dengan wanita, maka Anda tidak menahan pandangan Anda darinya. Jika Anda tidak bertakwa dengan baik, Anda letakkan pedang Anda di atas pundak Anda, padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Muhammad bin Maslamah, “Jika engkau lihat umatku bercerai-berai, pergilah ke pedangmu kemudian pukulkan ke Gunung Uhud”.

Ma’ruf Al-Karkhi berkata lagi, "Semoga majlisku ini layak menjadikan kita orang bertakwa dan kedatangan kalian bersamaku dari masjid ke tempat ini layak menjadikan kita orang yang bertakwa. Bukankah disebutkan di hadits, “Sesungguhnya itu fitnah bagi orang yang diikuti (orang panutan) dan kehinaan bagi pengikut?”. [8])

Kesimpulannya, takwa ialah wasiat Allah kepada seluruh hamba-Nya dan wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada umat beliau. Jika beliau mengutus komandan untuk membawahi salah satu detasemen, beliau berwasiat kepadanya agar ia bertakwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum Muslimin yang ikut bersamanya. [9])

Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkhutbah di haji wada’ pada hari penyembelihan hewan qurban, beliau berwasiat kepada manusia agar mereka bertakwa kepada Allah, mendengar, dan taat kepada pemimpin mereka. [10])

Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menasihati manusia dan mereka berkata kepada beliau, "Nasihat ini sepertinya nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat", maka beliau bersabda, "Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Allah, mendengar, dan taat". [11])

Di hadits Abu Dzar yang panjang yang diriwayatkan Ibnu Hibban [12]) dan lain-lain disebutkan bahwa Abu Dzar Radhiyallahu Anhu berkata,

"Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat". Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah, karena takwa adalah kunci segala hal”.

Imam Ahmad [13]) meriwayatkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku berkata,

"Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Aku berwasiat kepadamu agar engkau bertakwa kepada Allah, karena takwa adalah kunci segala hal. Hendaklah engkau berjihad, karena jihad adalah kependetaan Islam”.

Di At-Tirmidzi [14]) disebutkan hadits dari Yazid bin Salamah yang berkata bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan berkata,

"Wahai Rasulullah, aku dengar banyak sekali hadits darimu dan aku khawatir hadits terakhir membuatku lupa hadits pertama, oleh karena itu, beri aku hadits berupa satu kalimat yang padat makna”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bertakwalah kepada Allah dalam apa saja yang engkau ketahui”.

Para generasi salaf selalu berwasiat sesama mereka agar mereka bertakwa. Abu Bakar Radhiyallahu Anhu berkata di khutbahnya, "Amma ba’du. Aku wasiatkan kepada kalian hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, menyanjung-Nya dengan sesuatu yang layak diterima-Nya, memadukan keinginan dengan takut, dan menghimpun permintaan mendesak dengan permintaan, karena Allah Azza wa jalla menyanjung Nabi Zakaria dan keluarganya dengan berfirman,

Sesungguhnya mereka orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. (Al-Anbiya’: 90)”. [15]

Ketika Abu Bakar hendak wafat dan menyerahkan segala urusan kepada Umar bin Khaththab, ia memanggil Umar bin Khaththab dan memberinya wasiat. Yang pertama kali diucapkan Abu Bakar kepada Umar bin Khaththab ialah, "Bertakwalah kepada Allah engkau, hai Umar”.

Umar bin Khaththab menulis surat kepada anaknya, Abdullah, "Amma ba’du. Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, karena barangsiapa bertakwa kepada-Nya maka Dia melindunginya. Barangsiapa meminjami-Nya, Dia memberinya balasan. Barangsiapa bersyukur kepada-Nya, Dia menambahkan nikmat-Nya kepadanya. Jadikan takwa berada di kedua pelupuk matamu dan hatimu”.

Ali bin Abu Thalib mengangkat seseorang menjadi komandan di salah satu detasemen dan berkata kepadanya, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah yang pasti engkau temui dan tidak dapat menghindar dari-Nya. Dia memiliki dunia dan akhirat”.

Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada seseorang, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla yang tidak menerima selain takwa, tidak menyayangi kecuali orang-orang bertakwa, dan tidak memberi balasan kecuali karena takwa, karena orang-orang yang menyuruh kepada takwa itu banyak sekali, sedang orang-orang yang mengamalkannya itu sedikit. Mudah-mudahan Allah menjadikan engkau dan aku termasuk orang-orang bertakwa”.

Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, ia berkhutbah. Ia memuji Allah, menyanjung-Nya, dan berkata, "Aku wasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Azza wa jalla, karena takwa kepada Allah Azza wa jalla itu pengganti segala hal dan tidak bisa digantikan oleh apa saja”.

Seseorang berkata kepada Yunus bin Ubaid, "Berilah aku wasiat”. Yunus bin Ubaid berkata, "Aku wasiatkan kepadamu, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan berbuat baik, karena Allah bersama orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik”.

Orang yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji berkata kepada Yunus bin Ubaid, "Berilah aku wasiat”. Yunus bin Ubaid berkata, "Bertakwalah engkau kepada Allah, karena barangsiapa bertakwa kepada Allah maka ia tidak merasa sendirian”.

Dikatakan kepada salah seorang tabi’in ketika menjelang wafatnya, "Berilah aku wasiat”. Tabi’in tersebut berkata, "Yang aku wasiatkan kepada kalian ialah akhir surat An-Nahl,

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik“. (An-Nahl: 128)”.

Salah seorang dari generasi salaf menulis surat kepada saudaranya, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah, karena takwa adalah sesuatu yang paling mulia daripada apa saja yang engkau rahasiakan, paling indah daripada sesuatu yang engkau tampakkan, dan paling utama daripada sesuatu yang engkau simpan. Semoga Allah membantu aku dan engkau dalam bertakwa kepadaNya dan mewajibkan pahalanya bagiku dan bagimu”.

Salah seorang dari generasi salaf menulis surat kepada saudaranya, "Aku berwasiat kepadamu dan kepadaku hendaklah engkau dan aku bertakwa, karena takwa adalah bekal terbaik di akhirat dan dunia. Jadikan takwa sebagai jalanmu dalam seluruh kebaikan dan tempat pelarianmu dari semua keburukan, karena Allah Azza wa Jalla menjamin keselamatan bagi orang-orang bertakwa dari apa saja yang mereka takutkan dan rezki dari sumber yang tidak pernah mereka duga”.

Syu’bah berkata, "Jika aku hendak keluar, aku berkata kepada Al-Hakam, “Apakah engkau memiliki keperluan?” Ia berkata,”Aku berwasiat kepadamu dengan wasiat yang pernah diberikan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, ikutilah kesalahan dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau berkata dalam doa beliau, “Ya Allah, aku meminta petunjuk, takwa, kesucian, dan kekayaan kepada-Mu”. [16])

Abu Dzar Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat berikut, Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar“. (Ath-Thalaq: 2).

Kemudian beliau bersabda,”Hai Abu Dzar, jika seluruh manusia mengambil ayat tersebut, sungguh ayat tersebut sudah cukup bagi mereka". [17])

Maksud sabda Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam, "Bertakwalah kepada Allah dimana saja engkau berada", ialah di saat sepi, atau ramai, atau dilihat manusia, atau tidak dilihat mereka. Sebelum ini, saya sebutkan hadits Abu Dzar Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa di urusanmu yang tersembunyi dan yang terlihat”. Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata dalam doa beliau, "Aku meminta kepada-Mu takut kepada-Mu di kala sendirian dan ketika disaksikan oleh orang lain". [18]) Takut kepada Allah di kala sendirian dan ketika disaksikan oleh orang lain adalah salah satu penyelamat.

Sebelumnya juga disebutkan hadits Abu Ath-Thufail dari Muadz bin Jabal bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Malulah kepada Allah seperti malu kepada orang yang berwibawa di antara keluargamu”. Malu seperti itu menghasilkan takut kepada Allah di saat sepi, karena barangsiapa tahu Allah melihatnya di mana pun ia berada, mengawasi batin dan luarnya, saat kesendiriannya dan saat ramainya, dan ia ingat itu semua di saat ia sendirian, maka itu semua membuatnya meninggalkan maksiat di saat sendirian. Makna ini diisyaratkan Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala,

"Dan bertakwalah kalian kepada Allah yang dengan nama-Nya, kalian saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian”. (An-Nisa’: 1).

Salah seorang generasi salaf berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Semoga Allah menzuhudkan aku dan kalian dalam hal-hal haram seperti zuhudnya orang yang sanggup berzuhud di saat sendirian kemudian ia mengetahui bahwa Allah melihatnya”. Atau seperti yang dikatakan orang tersebut.

Imam Syafi’i berkata, "Sesuatu yang paling berharga ada tiga; dermawan kendati miskin, wara’ pada saat sendirian, dan berkata benar di depan orang yang diharapkan dan ditakuti”.

Ibnu As-Samak menulis surat kepada saudaranya, "Amma ba’du. Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah yang merupakan Dzat yang engkau bisiki di saat sendirian dan pengawasmu di saat engkau tidak sendirian. Jadikan Allah di hatimu dalam seluruh keadaanmu; malam dan siangmu. Takutlah kepada Allah sesuai dengan kadar kedekatan-Nya kepadamu dan kekuasaan-Nya terhadapmu. Ketahuilah bahwa engkau berada dalam pengawasan-Nya dan engkau tidak bisa keluar dari kekuasaan-Nya, kepada kekuasaan selain Dia. Engkau juga tidak bisa keluar dari kerajaan-Nya kepada kerajaan selain Dia. Tingkatkan kekhawatiranmu kepada Allah dan perbanyaklah ketakutanmu kepada-Nya. Wassalam”.

Abu Al-Jild berkata, "Allah Ta’ala memberi wahyu kepada salah seorang nabi, "Katakan kepada kaummu, “Kenapa kalian menyembunyikan dosa-dosa dari makhluk-Ku dan menampakkannya kepada-Ku? Jika kalian berpendapat bahwa Aku tidak melihat kalian, maka kalian menyekutukan-Ku. Jika kalian berpendapat bahwa Aku melihat kalian, kenapa kalian menjadikan-Ku sebagai penglihat yang paling hina bagi kalian?”

Wahib bin Al-Ward berkata, "Takutlah kepada Allah sesuai dengan kadar kekuasaan-Nya terhadap-Mu dan malulah kepada-Nya sesuai dengan kadar kede-­katan-Nya kepadamu”.

Salah seorang berkata kepada Wahib bin Al-Ward, "Berilah aku wasiat”. Wahib bin Al-Ward berkata, "Bertakwalah dan jangan sampai Allah menjadi penglihat yang paling hina bagimu”.

Salah seorang generasi salaf berkata, "Apakah engkau lihat dirimu menyayangi pihak yang kedua mata-Nya tidak senang dengan kemaksiatanmu hingga Dia mengetahui bahwa tidak ada mata yang melihat-Nya selain engkau?"

Salah seorang dari generasi salaf lainnya berkata, "Hai anak keturunan Adam, jika engkau mengerjakan kemaksiatan, engkau tidak terlepas dari mata yang melihatmu. Jika engkau sendirian bersama Allah, kemaksiatanmu menjadi jelas bagimu dan kemaksiatan tersebut tidak malu kepadamu seperti malumu kepada salah seorang makhluk Allah. Engkau hanyalah salah seorang dari dua orang; jika engkau menduga bahwa Allah tidak melihatmu, sungguh engkau telah kafir. Jika engkau mengetahui bahwa Allah melihatmu, namun Allah tidak bisa membuatmu berhenti dari maksiat seperti halnya makhluk-Nya yang paling lemah yang bisa menghalangimu dari maksiat, sungguh engkau telah berbuat lancang kepada-Nya”.

Salah seorang generasi salaf masuk ke hutan kemudian berkata, "Jika aku sendirian melakukan maksiat di sini, siapakah yang melihatku?" Tiba-tiba ia mendengar penyeru berseru dengan teriakan yang memenuhi hutan tersebut, “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?". (Al-Mulk: 14).

Salah seorang dari generasi salaf bercanda dengan salah seorang wanita Arab dengan berkata kepadanya, "Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang”. Wanita Arab tersebut berkata, "Kalau begitu, di mana Dzat yang menyalakan bintang-bintang tersebut?"

Muhammad bin Al-Munkadir melihat orang laki-laki berdiri bersama perempuan dan ngobrol kepadanya kemudian Muhammad bin Al-Munkadir berkata, "Sesungguhnya Allah melihat kalian berdua. Mudah-mudahan Allah merahasiakanku dan kalian berdua”.

Al-Harits Al-Muhasibi berkata, "Muhasabah ialah pengetahuan hati terhadap dekatnya Allah”.

Al-Junaid pernah ditanya tentang kiat untuk menahan pandangan kemudian ia menjawab, "Yaitu dengan pengetahuanmu bahwa pandangan Allah kepadamu itu lebih cepat daripada pandangamu kepada apa yang engkau lihat”. Imam Ahmad melantunkan syair berikut,

“Jika Anda pernah menyepi pada suatu hari,

Engkau jangan berkata bahwa aku telah menyepi

Namun katakan bahwa aku mempunyai pengawas

Jangan engkau kira Allah lengah sesaat pun

Dan bahwa apa yang tersembunyi tidak diketahui oleh-Nya”.

Ibnu As-Samak [19]) melantunkan syair,

"Hai pecandu dosa, kenapa engkau tidak malu?

Padahal Allah adalah pihak kedua ketika engkau menyendiri

Penundaan siksa dan penyembunyian seluruh kesalahanmu oleh-Nya

Membuatmu terpedaya dari Allah”.

Maksud dari ini semua bahwa ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat kepada Muadz bin Jabal agar ia bertakwa kepada Allah di saat sendirian dan bersama orang banyak, maka beliau memberinya kiat yang dapat membantunya dalam menjalankan itu semua yaitu malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada orang yang berwibawa dari kaumnya. Artinya, ia senantiasa merasakan kedekatan Allah kepadanya dengan hatinya dan pengawasan-Nya terhadap dirinya, oleh karena itu, ia malu pada pandangan-Nya kepada dirinya.

Muadz bin Jabal merealisir wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di atas. Umar bin Khaththab pernah mengirimnya untuk satu tugas, kemudian ia tiba dari tugas tanpa membawa sesuatu apa pun. Akibatnya, istri Muadz bin Jabal mencela Muadz bin Jabal, namun Muadz bin Jabal berkata, "Ada pihak yang mempersempit ruang gerakku dan melarangku mengambil sesuatu apa pun”. Yang dimaksud Muadz bin Jabal dengan pihak tersebut ialah Allah Azza wa Jalla. Istri Muadz bin Jabal menduga bahwa Umar bin Khaththab mengirim Muadz bin Jabal bersama pengawas kemudian ia berdiri mengeluhkan Umar kepada manusia.

Barangsiapa mampu berada pada tingkatan tersebut secara terus-menerus atau sebagian besar waktunya, ia termasuk orang-orang yang ihsan yang menyembah Allah seperti melihat-Nya dan juga termasuk orang-orang ihsan yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali kesalahan-kesalahan kecil.

Kesimpulannya, takwa kepada Allah Ta’ala pada saat sendirian adalah pertanda kesempurnaan iman dan mempunyai pengaruh positif, yaitu Allah membuat orang tersebut disanjung orang-orang beriman. Di hadits disebutkan,

"Seorang hamba tidak menyimpan rahasia melainkan Allah mengenakannya pakaiannya secara terang-terangan. jika rahasianya baik maka pakaiannya baik dan jika rahasianya jelek maka pakaiannya jelek”.

Hadits di atas diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga diriwayatkan dari perkataan Ibnu Mas’ud.

Abu Ad-Darda’ berkata, "Hendaklah salah seorang dari kalian takut kalau dirinya dilaknat hati kaum Mukminin tanpa ia sadari. Ia menyepi bermaksiat kepada Allah, kemudian Allah memasukkan benci kepadanya di hati kaum Mukminin”.

Sulaiman At-Taimi berkata, "Jika seseorang melakukan dosa di saat sendirian, maka pagi harinya kehinaan terlihat padanya”.

Salah seorang ulama berkata, "Jika seseorang mengerjakan dosa pada saat sendirian; antara dirinya dengan Allah, kemudian ia pergi kepada saudara-saudaranya, maka mereka melihat bekas dosa tersebut padanya”.

Ini bukti terbesar tentang keberadaan Allah Yang Mahabenar dan membalas perbuatan sebesar biji sawi pun di dunia dan akhirat. Perbuatan seseorang tidak hilang sia-sia di sisi-Nya dan sembunyi dari-Nya tidak ada gunanya. Orang bahagia ialah orang yang memperbaiki diri saat ia berduaan dengan Allah, karena barangsiapa bisa memperbaiki diri saat ia berduaan dengan Allah, maka Allah memperbaiki kondisi dirinya ketika bersama manusia. Barangsiapa mencari pujian manusia dengan kemurkaan Allah, maka orang yang memujinya menjadi penghina baginya.

Abu Sulaiman berkata, "Orang yang merugi ialah orang yang memperlihatkan perbuatannya yang shalih kepada manusia dan menampakkan keburukan kepada Dzat yang lebih dekat kepadanya daripada urat leher”.

Riwayat tentang hal ini yang paling mengagumkan ialah riwayat dari Abu Ja’far As-Saih yang berkata, "Habib Abu Muhammad adalah pedagang yang menyewakan uang dirham. Pada suatu hari, ia berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Pemakan harta riba telah datang”. Habib Abu Muhammad menundukkan kepala sambil berkata, “Tuhanku, engkau membeberkan rahasiaku kepada anak-anak kecil ini?” Kemudian ia pulang dan mengumpulkan seluruh hartanya. Ia berkata, “Tuhanku, aku tawanan. Aku membeli diriku dari-Mu dengan harta ini, oleh karena itu, bebaskan aku”. Keesokan harinya, Habib Abu Muhammad menyedekahkan seluruh hartanya dan mengonsentrasikan diri dalam ibadah. Pada hari yang lain, Habib Abu Muhammad berjalan melewati anak-anak tersebut. Ketika mereka melihatnya, sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Diamlah kalian, karena Habib yang ahli ibadah telah datang”. Habib Abu Muhammad pun menangis. Ia berkata, “Tuhanku, sekali waktu Engkau mencela dan sekali waktu memuji. Ini semua dari-Mu”.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Ikutilah kesalahan dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut”. Seorang hamba diperintahkan bertakwa di saat sendirian dan ramai, namun kendati demikian, ia pasti terkadang lalai dalam bertakwa, misalnya ia tidak mengerjakan sebagian hal-hal yang diperintahkan atau mengerjakan sebagian hal-hal yang dilarang, oleh karena itu, ia diperintahkan mengerjakan perbuatan yang menghapus kesalahan tersebut. Maksudnya, ia menindaklanjuti kesalahan tersebut dengan kebaikan. Allah Azza wa jalla berfirman,

"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk; itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (Huud: 114).

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu bahwa seorang laki-laki mencium wanita kemudian ia datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam diam kemudian ayat di atas turun. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil orang tersebut kemudian membacakan ayat di atas kepadanya. Seseorang berkata, "Apakah ini berlaku khusus bagi orang laki-laki tersebut?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak, namun bagi seluruh manusia”. [20])

Allah Ta’ala menyifati orang-orang bertakwa di Al-Qur’an persis seperti yang diwasiatkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di wasiat di atas. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dan Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahana marahnya dan memaafkan orang; Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan jika mereka mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”. (Ali Imran: 133-136).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sifat orang-orang bertakwa ialah mereka berinteraksi dengan manusia dan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk berinfak kepada mereka, menahan marah, dan memaafkan mereka. Allah memadukan antara sifat mereka memberi dengan sifat sabar atas gangguan. Ini puncak akhlak yang baik yang diwasiatkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal. Setelah itu, Allah menjelaskan bahwa sifat orang-orang bertakwa yang lain ialah, "Dan jika mereka mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka”. Mereka juga tidak meneruskan perbuatan keji mereka. Ini menunjukkan bahwa terkadang orang-orang bertakwa itu mengerjakan dosa-dosa yaitu perbuatan keji dan dosa-dosa kecil, yaitu menganiaya diri sendiri, hanya saja, mereka tidak terus-menerus mengerjakannya, namun mereka segera ingat kepada Allah setelah mengerjakannya, beristighfar kepada Allah, dan bertaubat kepada-Nya darinya. Taubat ialah tidak terus-menerus mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa.

Makna firman Allah Ta’ala, "Mereka Ingat kepada Allah", ialah mereka ingat keagungan Allah, kedahsyatan hukuman-Nya, dan hukuman yang diancamkan karena kemaksiatan. Itu semua membuat mereka kembali kepada kondisi mereka semula, beristighfar, dan tidak meneruskan perbuatan-perbuatan dosa tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syetan; mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahAn-Nya”. (Al-A’raaf: 201).

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Seorang hamba mengerjakan dosa kemudian berkata, “Tuhanku, aku telah mengerjakan dosa maka ampunilah aku”. Allah berfirman, “Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni dosa dan menghukum dosa. Sungguh aku telah mengampuni hamba-Ku tersebut”. Kemudian hamba tersebut mengerjakan dosa yang lain hingga pada kali keempat, Allah Ta’ala berfirman, “Silahkan ia berbuat apa saja yang ia inginkan“. [21])

Maksudnya, selagi hamba tersebut dalam kondisi seperti itu ketika ia mengerjakan dosa, yaitu setiap kali ia mengerjakan dosa, ia beristighfar dari dosa tersebut.

Di At-Tirmidzi [22]) disebutkan hadits dari Abu Bakar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Orang yang beristighfar tidak akan meneruskan perbuatan dosanya, kendati ia mengulangi perbuatan dosanya hingga tujuh puluh dalam sehari”.

Al-Hakim [23]) meriwayatkan hadits Uqbah bin Amir bahwa seseorang menghadap kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata,

“Wahai Rasululah, salah seorang dari kami telah mengerjakan dosa”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dosa ditulis baginya”. Orang tersebut berkata, "Tapi kemudian orang tersebut beristighfar kepada Allah dari dosa tersebut”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia diampuni dan taubatnya diterima”. Orang tersebut berkata, "Kemudian orang tersebut berbuat dosa lagi "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dosa ditulis baginya”. Orang tersebut berkata, "Tapi kemudian orang tersebut beristighfar dari dosa tersebut”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia diampuni, taubatnya diterima, dan Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang merasa bosan”.

Ath-Thabrani [24]) meriwayatkan dengan sanad dhaif hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata,

"Habib bin Al-Harits datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata, Wahai Rasulullah, aku orang yang telah mengerjakan dosa-dosa”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bertaubatlah kepada Allah Azza wa Jalla”. Habib bin Al-Harits berkata, Aku telah bertaubat namun aku kembali mengerjakan dosa”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Setiap kali engkau berbuat dosa, hendaklah engkau bertaubat.” Habib bin Al-Harits berkata, “Wahai Rasulullah, jika dosa-dosaku banyak?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hai Habib bin Al-Harits, maaf Allah lebih banyak daripada dosa-dosamu".

Ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits semakna dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sanad dhaif.

Ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits semakna dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr yang berkata, "Barangsiapa ingat kesalahan yang telah diperbuat kemudian hatinya takut kepadanya dan beristighfar kepada Allah, maka tidak ada sesuatu yang bisa menahan dosa tersebut hingga sesuatu tersebut menghapusnya”. [25])

Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Abu Thalib yang berkata, "Orang terbaik dari kalian ialah setiap orang yang diuji (dengan dosa) dan bertaubat”. Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Jika ia kembali berbuat dosa?" Ali bin Abu Thalib berkata, "Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat”. Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Jika ia kembali berbuat dosa lagi?" Ali bin Abu Thalib berkata, "Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat”. Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Jika ia kembali berbuat dosa?" Ali bin Abu Thalib berkata, "Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat”. Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Sampai kapan?" Ali bin Abu Thalib berkata, "Sampai syetan kelelahan”.

Ibnu Majah [26]) meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosanya”.

Ditanyakan kepada Al-Hasan, "Kenapa salah seorang dari kita tidak malu kepada Tuhannya? Ia beristighfar atas dosa-dosanya kemudian berbuat dosa lagi lalu beristighfar lagi kemudian berbuat dosa lagi”. Al-Hasan berkata, "Syetan ingin sekali mengalahkan kalian dengan dosa-dosa tersebut. Oleh karena itu, kalian jangan bosan beristighfar”.

Juga diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa ia berkata, "Aku lihat itulah akhlak kaum Mukminin”. Maksudnya, setiap kali orang Mukmin berbuat dosa, ia bertaubat.

Juga diriwayatkan bahwa, "Orang Mukmin itu banyak diuji (dengan dosa) dan banyak bertaubat”. [27])

Diriwayatkan hadits dengan sanad dhaif dari Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Orang Mukmin itu pelupa dan bodoh. Orang bahagia ialah orang yang meninggal dunia dalam keadaan menghilangkannya (sifat tersebut)". [28])

Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, "Barangsiapa di antara kalian berbuat baik, hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa berbuat salah, hendaklah ia beristighfar kepada Allah, karena manusia harus mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dibebankan Allah di pundak mereka dan diwajibkan kepada mereka”.

Di riwayat lain disebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata, "Hai manusia, barangsiapa di antara kalian berbuat dosa, hendaklah ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat. Jika ia kembali berbuat dosa, hendaklah ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat. Jika ia kembali berbuat dosa, hendalah ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat, karena dosa adalah kesalahan-kesalahan yang dikalungkan di leher orang dan sesungguhnya puncak kebinasaan terletak pada sikap terus-menerus berbuat dosa (tanpa beristighfar kepada Allah dan bertaubat)”.

Maknanya bahwa seorang hamba harus mengerjakan dosa-dosa yang telah ditakdirkan kepadanya seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Bagian terhadap zina ditetapkan kepada anak keturunan Adam, jadi, ia akan mendapatkannya dan tidak dapat dihindarkannya”.

Namun Allah Ta’ala membuat jalan keluar bagi hamba dari dosa-dosa yang telah dikerjakannya dan penghapus dosa-dosa, yaitu taubat dan istighfar. Jika hamba tersebut melakukan hal tersebut (istighfar dan taubat), ia terbebas dari keburukan dosa-dosa. Namun jika terus-menerus berbuat dosa, ia binasa.

Di Al-Musnad [29]) disebutkan Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Hendaklah kalian menyayangi, niscaya kalian disayangi. Maafkan, niscaya kalian dimaafkan. Celakalah bagi aqmaa’ul qaul (orang-orang yang mendengar perkataan namun tidak mengamalkannya) dan celaka bagi orang-orang yang terus-menerus mengerjakan apa yang telah mereka kerjakan padahal mereka tahu”.

Ada yang menafsirkan aqmaa’ul qaul dengan orang yang kedua telinganya seperti corong; jika ia mendengar hikmah atau pelajaran yang baik dan itu semua masuk ke telinganya lalu keluar dari telinganya yang lain dan ia tidak bisa mengambil manfaat apa pun dari apa yang telah didengarnya”. [30])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ikutilah kesalahan dengan kebaikan”. Bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan dalam hadits di atas ialah taubat dari kesalahan tersebut, karena itu telah dinyatakan dengan tegas di hadits mursal di antara hadits-hadits mursal Muhammad bin Jubair [31]) yang diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya bahwa ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda,

"Hai Muadz, bertakwalah kepada Allah semampumu, berbuatlah dengan kekuatanmu karena Allah Azza wa jalla semampumu, dan dzikirlah kepada Allah Azza wa Jalla di setiap pohon dan batu. Jika engkau berbuat dosa, hendaklah engkau lakukan taubat pada dosa tersebut. Jika dosa tersebut engkau lakukan dengan rahasia, maka taubatlah dengan rahasia. jika dosa tersebut dengan terang-terangan, maka taubatlah dengan terang-terangan”.

Abu Nu’aim juga meriwayatkan hadits semakna dari jalur lain yang dhaif dari Muadz bin Jabal. Qatadah berkata, Salman berkata, "Jika engkau telah melakukan kesalahan secara rahasia, maka kerjakan kebaikan secara rahasia. Jika engkau telah melakukan kesalahan secara terang-terangan, kerjakan kebaikan secara terang-terangan, agar kesalahan diganti dengan kebaikan”. Di sini ada kemungkinan bahwa yang dimaksud Salman dengan kebaikan ialah taubat atau lebih umum daripada taubat.

Allah Ta’ala menjelaskan di Kitab-Nya di banyak ayat bahwa barangsiapa bertaubat dari dosanya, Dia mengampuni dosanya atau menerima taubatnya. Misalnya Allah Ta’ala berfirman,

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran tidak tahu yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa’: 17).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Kemudian sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohan, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya); sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nahl: 119).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan”. (Al-Furqan: 70).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Thaha: 82).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun”. (Maryam: 60).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?". (Ali Imran: 135).

Abdurrazzaq berkata, Ja’far bin Sulaiman berkata kepadaku dari Tsabit dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Disampaikan kepadaku bahwa ketika ayat berikut turun,

والذين إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم ذكروا الله فاستغفروا لذنوبهم.

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka“, maka iblis menangis”. [32])

Juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang berkata, "Ayat di atas lebih baik bagi orang-orang berdosa daripada dunia dan seisinya”. [33])

Ibnu Sirin berkata, "Ayat di atas diberikan Allah kepada kita sebagai ganti dari yang diberikan kepada Bani Israil dalam penghapusan dosa-dosa”.

Abu Ja’far Ar-Razi berkata dari Ar-Rabi’ bin Anas dari Abu Al-Aliyah yang berkata bahwa seseorang berkata,

"Wahai Rasulullah, bagaimana seandainya penghapus dosa-dosa kita itu seperti penghapus dosa-dosa Bani Israil?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kita tidak menginginkannya,  beliau bersabda seperti itu hingga tiga kali. Apa yang diberikan Allah kepada kalian itu lebih baik daripada apa yang Dia berikan kepada Bani Israil. Jika salah seorang dari Bani Israil melakukan kesalahan, ia mendapati kesalahan tersebut dan penghapusnya tertulis di pintu rumahnya. Jika ia menghapus kesalahan tersebut, maka itu kehinaan baginya di dunia. Jika ia tidak menghapusnya, maka itu kehinaan baginya di akhirat. Jadi apa yang diberikan Allah kepada kalian itu lebih baik daripada apa yang Dia berikan kepada Bani Israil. Allah Ta’ala berfirman, Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (An-Nisaa’: 110).

Tentang firman Allah Ta’ala, "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan”. (Al-Hajj: 78).

Ibnu Abbas berkata, "Itulah keluasan Islam, taubat dan penghapusan dosa yang diberikan Allah kepada umat Muhammad". [34])

Teks-teks di atas menunjukkan bahwa barangsiapa bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha dan syarat-syarat taubatnya lengkap, Allah pasti menerima taubatnya sebagaimana keislaman orang kafir dapat dipastikan diterima jika ia masuk Islam dengan keislaman yang benar. Ini pendapat jumhur ulama. Perkataan Ibnu Abdul Barr menunjukkan bahwa itu adalah ijma’ (konsensus) mereka.

Di antara manusia ada yang berkata bahwa penerimaan taubat tidak dapat dipastikan, namun hanya bisa diharapkan dan pelakunya berada dalam kehendak Allah kendati ia bertaubat. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala,

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syrrik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (An-Nisa’: 48).

Menurut mereka, pada ayat di atas, Allah meletakkan seluruh dosa di bawah kehendak-Nya. Barangkali mereka juga berhujjah dengan firman Allah Ta’ala berikut ini,

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat-nashuhah (murni), mudah-mudahan Tuhan kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian”. (At-Tahrim: 8).

Juga dengan firman Allah Ta’ala,

"Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang shalih, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung”. (Al-Qashash: 67).

Juga dengan firman Allah Ta’ala,

"Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung”. (An-Nuur: 31).

Juga dengan firman Allah Ta’ala,

"Dan orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-adukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk; mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At-Taubah: 102).

Kelihatannya, itu semua berlaku bagi orang yang bertaubat, karena pengakuan menghendaki pelakunya menyesali diri. Di hadits Aisyah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya jika seorang hamba mengakui dosanya kemudian bertaubat, maka Allah menerima taubatnya”. [35])

Namun yang benar ialah pendapat jumhur ulama.

Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan ketiadaan kepastian diterimanya taubat, karena jika orang mulia mengharapkan sesuatu, maka harapannya tidak diputus. Dari sinilah, Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya kata ‘asa (mudah-mudahan) dari Allah adalah wajib (terjadi)”. Itu dinukil darinya oleh Ali bin Abu Thalhah. [36]) Selain itu, balasan iman dan perbuatan shalih juga disebutkan dengan kata ‘asa (mudah-mudahan) dan itu tidak menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dapat dipastikan, seperti firman Allah Ta’ala,

“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (At-Taubah: 18).

Sedang firman Allah Ta’ala,

"Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (An-Nisa’: 48). Maka dapat diartikan bahwa orang yang bertaubat termasuk orang yang di bawah kehendak Allah untuk diberi ampunan, seperti yang Dia jelaskan di banyak ayat.

Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan pada sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di atas, "Lanjutkan kesalahan dengan kebaikan", ialah lebih umum daripada taubat seperti terlihat di firman Allah Ta’ala,

"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian permulaan malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk”. (Huud: 114). Karena diriwayatkan dari hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu bahwa orang yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas diperintahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk berwudhu dan shalat. [37])

Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits Abu Bakar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Jika seseorang berbuat dosa kemudian berdiri untuk bersuci, kemudian shalat, dan beristighfar kepada Allah, maka Allah mengampuninya”. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat ini, "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka”. (Ali Imran: 135). [38]

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim [39]) disebutkan hadits dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu bahwa ia berwudhu kemudian berkata,

“Aku lihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku ini kemudian bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua raka’at tanpa bicara dengan dirinya di dalamnya, maka Allah mengampuni dosa-dosa yang telah diperbuatnya”.

Di Musnad Imam Ahmad [40]) disebutkan hadits dari Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku dengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Barangsiapa berwudhu dan memperbaiki wudhunya kemudian shalat dua atau empat raka’at; ia memperbaiki ruku’ dan khusyu’ di dalamnya kemudian meminta ampunan kepada Allah, maka ia diberi ampunan”.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim [41]) disebutkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata,

"Aku berada di samping Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian seseorang datang kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berbuat maksiat, karena itu, beri aku hukuman”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak bertanya kepada orang tersebut tentang maksiatnya. Setelah itu, waktu shalat tiba kemudian orang tersebut shalat bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyelesaikan shalat, orang tersebut mendekat kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berbuat maksiat, karenanya, berlakukan Kitabullah kepadaku”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada orang tersebut, “Bukankah engkau ikut shalat bersamaku?” Orang tersebut berkata, “Ya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu atau beliau bersabda maksiatmu".

Muslim [42]) meriwayatkan hadits semakna dari Abu Umamah. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari [43]) dari jalur lain dari Abu Umamah. Di dalamnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Terhadap dosamu, engkau seperti ketika dilahirkan ibumu, jadi, engkau jangan mengulanginya lagi”. Allah pun menurunkan ayat, "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk; itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (Huud: 114).

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim [44]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Bagaimana menurut kalian jika ada sungai di depan rumah salah seorang dari kalian kemudian ia mandi di dalamnya lima kali dalam sehari; apakah masih ada kotoran yang tersisa padanya?" Para sahabat berkata, "Tidak ada kotoran yang tersisa pada orang tersebut”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Perumpamaan shalat. Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengan shalat-shalat tersebut”.

Di Shahih Muslim [45]) disebutkan hadits dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa berwudhu kemudian memperbaiki wudhunya, maka kesalahan kesalahannya keluar dari tubuhnya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya”.

Di Shahih Muslim [46]) juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikan derajat-derajat?" Para sahabat berkata, "Mau, wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Menyempurnakan wudhu pada saat-saat sulit (misalnya pada saat cuaca dingin dll), banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath (menahan diri terhadap ketaatan-ketaatan yang disyariatkan). Itulah ribath”.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim [47]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap pahalanya di sisi Allah, maka dosa-dosa yang telah lalu diampuni. Barangsiapa mengerjakan shalat di bulan Ramadhan dalam keadaan beriman dan menyimpan pahalanya di sisi Allah, maka dosa-dosa yang telah diperbuatnya diampuni. Barangsiapa mengerjakan shalat pada Lailatul Qadar dalam keadaan beriman dan menyimpan pahalanya di sisi Allah, maka dosa-dosa yang telah diperbuatnya diampuni”.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa berhaji di Baitullah ini tanpa berkata kotor dan berbuat fasik, ia keluar dari dosa-dosanya seperti ketika dilahirkan ibunya”. [48])

Di Shahih Muslim [49]) disebutkan hadits dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya Islam menghapus dosa apa saja sebelum Islam, sesungguhnya hijrah menghapus dosa apa saja sebelum hijrah, dan sesungguhnya haji menghapus dosa apa saja sebelum haji".

Di Shahih Muslim [50]) juga disebutkan hadits Abu Qatadah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda tentang puasa Asyura’,

"Aku berharap kepada Allah, semoga puasa tersebut menghapus (dosa) setahun sebelumnya”. Tentang puasa hari Arafah, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Aku berharap kepada Allah, semoga puasa tersebut menghapus (dosa) setahun sebelum dan sesudahnya”.

Imam Ahmad [51]) meriwayatkan hadits Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Perumpamaan orang yang mengerjakan kesalahan-kesalahan kemudian mengerjakan kebaikan-kebaikan ialah seperti orang yang mengenakan baju besi sempit yang mencekiknya kemudian ia mengerjakan kebaikan lalu salah satu rantai terlepas. Ia mengerjakan kebaikan lagi kemudian rantai lainnya terlepas hingga ia berjalan di bumi".

Di antara yang bisa menghapus kesalahan-kesalahan ialah dzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Sebelumnya telah saya sebutkan hadits bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang kalimat laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah); apakah termasuk kebaikan? Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam bersabda, "Kalimat tersebut adalah kebaikan yang paling baik”.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

من قال سبحان الله وبحمده فى يومه مائة مرة حُطَّتْ خطاياه, وإن كانت مثل زبد البحر.

"Barangsiapa mengatakan, Subhanallah wa bi hamdihi (Mahasuci Allah dengan memuji-Nya”, sebanyak seratus kali dalam sehari, maka kesalahan-kesalahannya dihapus kendati sebanyak buih di laut”. [52])

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

من قال لا إله إلا الله وحده لا شريك له, له الملك, وله الحمد, وهو على كل شيئ قدير فى يوم مائة مرة, كانت له عدل عشر رقاب, وكتبت له مائةُ حسنة, ومُحِيَتْ عنه مائة سيئة, وكانت له حِرْزًا من الشيطان يومه ذلك حتى يُمسى, ولم يأت أحدٌ أفضل مما جاء به إلا أحد عمِل أفضلَ من ذلك.

"Barangsiapa mengatakan, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu“, sebanyak seratus kali dalam sehari, maka itu sama dengan memerdekakan sepuluh budak, seratus kebaikan ditulis baginya, seratus kesalahan dihapus darinya, ia mendapatkan penjagaan dari syetan sejak hari itu hingga sore hari dan tidak ada orang yang mengerjakan sesuatu yang lebih baik dari yang ia kerjakan kecuali orang yang mengerjakan hal yang lebih baik daripada hal tersebut”. [53])

Di Al-Musnad dan buku Ibnu Majah disebutkan hadits dari Ummu Hani’ Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

لا إله إلا الله لا تَتْرُكُ ذنبا ولا يسْبِقُها عملٌ.

"Kalimat, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”, tidak menyisakan dosa dan tidak didahului oleh amal perbuatan apa pun”. [54])

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau berjalan melewati pohon yang daunnya kering kemudian beliau memukul pohon tersebut dengan tongkat hingga daun-daunnya beterbangan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya kalimat alhamdulillah (segala puji bagi Allah), subhanallah (Mahasuci Allah), laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan Allahu akbar (Allah Mahabesar) itu merontokkan dosa-dosa seorang hamba sebagaimana daun-daun pohon ini berguguran”. [55])

Imam Ahmad [56]) meriwayatkan dengan sanad shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إن سبحان الله, والحمد لله, ولا إله إلا الله, والله أكبر تَنْفُضُ الخطايا كما تنفض الشجرةُ وَرَقها.

"Sesungguhnya kalimat Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar menggugurkan dosa-dosa sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya”.

Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak dan bisa mempertebal buku ini.

Al-Hasan pernah ditanya tentang seseorang yang tidak kikuk untuk berbuat maksiat tetapi mulutnya tidak pernah berhenti berdzikir kepada Allah kemudian Al-Hasan menjawab, "Itu (dzikir kepada Allah) adalah pertolongan yang baik”.

Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang mendapatkan harta dari sumber yang syubhat; apakah shalat dan tasbihnya menghilangkan dosanya? Imam Ahmad menjawab, "Jika ia shalat dan bertasbih karena menginginkan hal tersebut, aku berharap demikian karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk; mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka". (At-Taubah: 102).

Malik bin Dinar berkata, "Menangisi kesalahan itu menggugurkan kesalahan-kesalahan sebagaimana angin menggugurkan daun-daun kering”.

Atha’ berkata, "Barangsiapa duduk di salah majlis dzikir, maka majlis tersebut menghapus sepuluh majlis kebatilan”. [57])

Syuwais Al-‘Adawi [58]), tokoh tabi’in, berkata, "Sesungguhnya malaikat di sebelah kanan adalah komandan atau ia berkata, malaikat kepercayaan bagi malaikat di sebelah kiri. Jika anak keturunan Adam melakukan kesalahan dan malaikat di sebelah kiri ingin menulis kesalahan tersebut, malaikat di sebelah kanan berkata kepada malaikat di sebelah kiri, “Engkau jangan buru-buru, karena barangkali ia akan mengerjakan kebaikan”. Jika anak keturunan Adam mengerjakan kebaikan, malaikat di sebelah kanan mengambil satu kebaikan untuk menghapus satu kesalahan dan menulis sembilan kebaikan untuknya. Syetan berkata, ”Aduh celakanya, siapakah yang bisa mengejar pelipat-gandaan kebaikan anak keturunan Adam?”.

Ath-Thabrani [59]) meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Jika anak keturunan Adam tidur, malaikat berkata kepada syetan, Berikan bukumu kepadaku”. Syetan pun memberikan bukunya kepada malaikat tersebut. Jika malaikat tersebut menemukan satu kebaikan di dalamnya, ia menghapus sepuluh kesalahan dengan satu kebaikan tersebut dari buku syetan dan menulis kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu, jika salah seorang dari kalian tidur, hendaklah ia bertakbir tiga puluh tiga takbir, memuji Allah tiga puluh empat tahmid, dan bertasbih tiga puluh tiga tasbih; total semuanya adalah seratus”.

Hadits di atas gharib dan munkar.

Waki’ meriwayatkan, Al-A’masy berkata kepadaku dari Abu Ishaq dari Abu Al-Ahwash yang berkata, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku ingin seandainya diajak berdamai dengan syarat aku mengerjakan sembilan kesalahan dan satu kebaikan dalam setiap hari”.

Itu isyarat dari Abdullah Mas’ud bahwa satu kebaikan menghapus sembilan kesalahan dan tersisa satu kelipatan dari pahala kebaikan kemudian ia merasa cukup dengannya, wallahu a’lam.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah perbuatan shalih menghapus dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil ataukah perbuatan shalih hanya menghapus dosa-dosa kecil saja?

Di antara ulama ada yang berkata bahwa perbuatan shalih hanya menghapus dosa-dosa kecil. Pendapat tersebut diriwayatkan dari Atha’ dan generasi salaf lainnya. Mereka berpendapat bahwa wudhu hanya menghapus dosa-dosa kecil. Tentang wudhu, Salman Al-Farisi berkata, "Sesungguhnya wudhu menghapus dosa-dosa kecil, berjalan ke masjid-masjid menghapus dosa-dosa yang lebih besar darinya, dan shalat menghapus dosa-dosa yang lebih besar lagi darinya”. (Diriwayatkan Muhammad bin Nashr Al-Marwazi). [60]

Sedang dosa-dosa besar, maka harus dengan taubat, karena Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya bertaubat dan menamakan orang yang tidak bertaubat sebagai orang yang dzalim. Umat sepakat bahwa taubat adalah wajib dan kewajiban-kewajiban itu harus ditunaikan dengan niat dan maksud. Jika dosa-dosa besar bisa dihapus dengan wudhu, shalat, dan mengerjakan rukun-rukun Islam lainnya, maka tidak lagi diperlukan taubat. Pendapat seperti ini jelas tidak benar menurut ijma’ ulama.

Begitu juga seandainya dosa-dosa besar dihapus dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban, maka tentunya tidak ada dosa yang memasukkan pelakunya ke neraka jika ia mengerjakan kewajiban-kewajiban. Pendapat ini mirip pendapat kaum Al-Murji’ah dan jelas batil. Itu yang dikatakan Ibnu Abdul Barr di bukunya At-Tamhid. Ia mengatakan bahwa kaum Muslimin telah melakukan ijma’ dalam masalah ini dan ia berhujjah dengan banyak hadits, di antaranya sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi".

Hadits tersebut ada di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Hadits tersebut menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus dengan kewajiban-kewajiban seperti di hadits tersebut.

Ibnu Athiyah di Tafsirnya menyebutkan dua pendapat tentang makna hadits di atas;

Pertama Dia membawakan dari jumhur ahli sunnah, bahwasanya menjauhi dosa-dosa besar adalah syarat dihapusnya dosa-dosa kecil oleh kewajiban-kewajiban seperti shalat wajib dan lain-lain. Jika dosa besar tidak dijauhi, maka kewajiban-kewajiban tersebut tidak bisa menghapus dosa-dosa kecil apa pun.

Kedua, kewajiban-kewajiban seperti shalat wajib dan lain-lain itu menghapus dosa-dosa kecil secara mutlak dan tidak menghapus dosa-dosa besar jika dosa-dosa besar tersebut ada pada pelakunya. Itu dengan syarat pelakunya bertaubat dari dosa-dosa kecil dan tidak terus-menerus melakukannya. Ibnu Athiyah menguatkan pendapat ini dan mengatakan bahwa pendapat ini berasal dari Al-Hadzaq.

Yang dimaksud dengan perkataan, "Itu dengan syarat pelakunya bertaubat dari dosa-dosa kecil dan tidak terus-menerus melakukannya", ialah jika pelakunya terus-menerus mengerjakan dosa-dosa kecil, maka dosa-dosa kecil tersebut menjadi dosa-dosa besar dan tidak bisa dihapus dengan amal perbuatan. Pendapat pertama yang dikatakan Ibnu Athiyah sebagai pendapat yang asing, padahal diriwayatkan dan Abu Bakr Abdul Aziz bin Ja’far yang berpendapat seperti itu.

Di Shahih Muslim [61]) disebutkan hadits dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Jika waktu shalat wajib tiba pada orang Muslim kemudian ia memperbaiki wudhu, khusyu’ dan ruku’nya, maka shalat wajib tersebut adalah penghapus dosa-dosa sebelum shalat wajib tersebut selagi dosa besar tidak dikerjakan. Itu selama setahun penuh”.

Di Musnad Imam Ahmad [62]) disebutkan hadits dari Salman Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidaklah seseorang bersuci pada Hari jum’at, kemudian ia memperbaiki bersucinya, lalu datang ke shalat Jum’at dan diam hingga imam menyelesaikan shalatnya, melainkan itu semua penghapus dosa antara hari Jum’at tersebut dengan hari Jum’at mendatang selagi dosa mematikan (dosa besar) dijauhi".

An-Nasai, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim meriwayatkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang hamba mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat, dan menjauhi ketujuh dosa-dosa besar, melainkan pintu-pintu surga dibukakan untuknya kemudian dikatakan kepadanya, Masuklah dengan sejahtera". [63])

Hadits semakna diriwayatkan Imam Ahmad dan An-Nasai dari hadits Abu Ayyub Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [64]) Hadits semakna juga diriwayatkan Al-Hakim [65]) dari hadits Ubaid bin Umair dari ayahnya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Allah Azza wa jalla berfirman, Hai anak keturunan Adam, ingatlah kepada-Ku sesaat sejak awal siang dan sesaat akhir siang, niscaya Aku mengampunimu di antara waktu tersebut kecuali dosa-dosa besar atau engkau bertaubat darinya". [66])

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Shalat lima waktu adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi”. [67])

Salman Radhiyallahu Anhu berkata, "Peliharalah shalat-shalat lima waktu, karena shalat-shalat lima waktu adalah penghapus luka-luka ini (dosa-dosa ini) selagi dosa mematikan (dosa besar) tidak dikerjakan”. [68])

Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata kepada seseorang, "Apakah engkau takut dimasukkan ke neraka dan ingin dimasukkan ke surga?" Orang tersebut menjawab, "Ya”. Ibnu Umar berkata, "Berbaktilah kepada ibumu. Demi Allah, jika engkau berkata lembut kepadanya dan memberinya makan, engkau pasti masuk surga selagi engkau menjauhi dosa-dosa besar”.

Qatadah berkata, "Ampunan dijanjikan Allah bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Disebutkan kepada kami bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jauhilah oleh kalian dosa-dosa besar, istiqamahlah (dalam beramal dan berkata benar), dan berilah khabar gembira”.

Sejumlah orang dari ulama hadits dan lain-lain, di antaranya Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan itu menghapus dosa-dosa besar. Pendapat tersebut dicounter Ibnu Abdul Barr di bukunya, At-Tamhid, dan berkata, "Tadinya, aku tidak tertarik membahas masalah ini. Kalaulah tidak ada pendapat orang seperti itu (pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri dll tersebut) dan aku tidak khawatir orang bodoh tertipu oleh pendapat tersebut kemudian ia hanyut dalam dosa-dosa yang membinasakan karena meyakini bahwa dosa-dosa besar tersebut dihapus oleh shalat lima waktu tanpa diiringi penyesalan, istighfar, dan taubat, maka aku tidak membahasnya. Kita memohon perlindungan dan petunjuk kepada Allah”.

Saya katakan, pendapat seperti itu juga dilontarkan sejumlah ulama hadits tentang wudhu dan lain-lain. Pendapat yang sama dikemukakan Ibnu Al-Mundzir tentang qiyamul lail pada Lailatul Qadar. Ia berkata, "Orang yang mengerjakannya diharapkan seluruh dosa-dosanya; dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besarnya, diampuni”. Jika yang dimaksud mereka ialah barangsiapa mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam namun ia tetap mengeriakan dosa-dosa besar, niscaya dosa-dosa besarnya pasti diampuni, pendapat tersebut pasti batil dan tidak sah menurut agama, karena sebelumnya telah saya sebutkan sabda Shallallahu Alalhi wa Sallam, “Barangslapa berbuat salah dalam Islam, ia dihukum sejak masa pertama dan terakhir”. Maksudnya, perbuatannya selama masa jahiliyah dan Islam. Hadits ini tidak lagi memerlukan penjelasan. Jika yang mereka dimaksudkan bahwa barangsiapa tidak terus-menerus mengerjakan dosa-dosa besar dan mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam, namun ia tidak bertaubat dan menyesali dosa-dosa silamnya, maka dosa-dosa besarnya dihapus dengan kewajiban-kewajiban Islam. Kemudian mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala,

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. (An-Nisa’: 31).

Dan mereka juga berkata bahwa kesalahan-kesalahan di ayat di atas mencakup dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. Maka sebagaimana dosa-dosa kecil bisa dihapus dengan meninggalkan dosa-dosa besar tanpa maksud dan niat, maka demikian pula dengan dosa-dosa besar, mereka juga berhujjah bahwa Allah menjanjikan ampunan dan penghapusan kesalahan-kesalahan bagi orang-orang beriman dan orang-orang bertakwa, karena toh itu semua disebutkan di banyak ayat dalam Al-Qur’an, padahal itu semua adalah hak orang-orang bertakwa karena mereka mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam dan menjauhi dosa-dosa besar. Menjauhi dosa-dosa besar itu tidak membutuhkan niat dan maksud. Maka inilah yang mungkin bisa dikatakan.

Namun yang benar ialah pendapat jumhur ulama bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus tanpa dengan taubat karena taubat adalah perintah wajib kepada hamba-hamba Allah, karena Allah Azza wa jalla berfirman,

"Dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Hujurat: 11).

Para sahabat, misalnya Umar bin Khaththab, Ali bin Abu Thalib, dan Ibnu Mas’ud, menafsirkan taubat dengan penyesalan. Di antara mereka, ada yang menafsirkannya dengan keinginan kuat untuk tidak kembali kepada dosa-dosa. Ada hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang hal ini dari satu jalur namun di dalamnya terdapat kelemahan. Kendati demikian, tidak ada seorang pun dari sahabat yang menentang pendapat ini. Begitu juga generasi tabi’in dan generasi sesudah mereka, seperti Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, dan lain-lain.

Sedang dalil-dalil yang mengandung pengampunan dosa-dosa dan penghapusan kesalahan-kesalahan bagi orang-orang bertakwa, misalnya firman Allah Ta’ala,

"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberikan furqan kepada kalian dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan kalian”. (Al-Anfal: 29).

Atau seperti firman Allah Ta’ala,

"Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal shalih, niscaya Allah menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah keberuntungan yang besar". (At-Taghabun: 9).

Atau seperti firman Allah Ta ala,

"Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menghapus kesalahan-kesalahannya dan melipat-gandakan pahala baginya”. (Ath-Thalaq: 5).

Maka pada ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala tidak menjelaskan sifat-sifat takwa dan perbuatan shalih. Termasuk perbuatan shalih ialah taubat nashuhah. Jadi, barangsiapa tidak bertaubat, ia orang dzalim dan tidak bertakwa.

Di surat Ali Imran, Allah Ta’ala menjelaskan sifat-sifat takwa yang bisa menghapus dosa-dosa pelakunya dan memasukkan para pelakunya ke surga. Di antara sifat-sifat takwa tersebut ialah istighfar dan tidak terus-menerus mengerjakan dosa. Jadi, Allah Ta’ala tidak menjamin penghapusan kesalahan-kesalahan dan pengampunan dosa-dosa kecuali bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, wallahu a’lam.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus tanpa taubat atau hukuman karenanya ialah hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu yang berkata,

"Kami berada di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersabda, “Berbaiatlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, dan tidak berzina”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat di surat Ali Imran tersebut (ayat 135) kemudian bersabda lagi, “Barangsiapa di antara kalian menepati (baiat), pahalanya ada pada Allah. Dan barangsiapa mengerjakan salah satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian ia dihukum karenanya, maka itu penghapus dosa baginya. Barangsiapa mengerjakan salah satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian Allah merahasiakannya baginya, maka ia terserah kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia menyiksanya dan jika Dia berkehendak maka Dia mengampuninya".

Hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim di Shahihnya masing-masing.

Di riwayat Muslim disebutkan,

"Barangsiapa di antara kalian mengerjakan maksiat kemudian hukuman dijatuhkan kepadanya, maka itu penghapus dosa baginya”. [69])

Itu menunjukkan bahwa hudud (hukuman syar’i) adalah penghapus dosa. Imam Syafi’i berkata, "Tentang masalah hudud (hukuman syar’i) adalah penghapus dosa bagi pelakunya, aku tidak mendengar hadits yang lebih baik daripada hadits Ubadah bin Ash-Shamit”.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Kemudian ia dihukum karenanya", mencakup hukuman-hukuman syar’iyah, yaitu hudud yang telah ditentukan atau hudud yang tidak ditentukan misalnya sanksi disiplin dan juga mencakup hukuman-hukuman yang bersifat takdir misalnya musibah, sakit, dan penderitaan. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda,

 

ما يصيب المسلم نَصَبٌ ولا وصبٌ ولا هَمٌّ ولا حُزْنٌ حتى الشوكة يشاكُها إلا كفَّر الله بها من خطاياه.

“Tidaklah menimpa orang Muslim kelelahan, sakit, galau, sedih, hingga duri yang mengenainya, melainkan Allah menghapus kesalahan-kesalahannya dengan itu semua”. [70])

Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Sesungguhnya hudud adalah penghapus dosa bagi orang yang mendapatkannya". [71])

Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan perbedaan ulama dalam masalah ini dan ia menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa pemberlakukan hudud saja itu sudah menghapus dosa. Ia melemahkan pendapat kebalikannya.

Saya katakan, diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musaiyyib dan Shafwan bin Sulaim bahwa pelaksanaan hudud itu tidak mpnghapus dosa dan wajib disertai dengan taubat. Pendapat tersebut dipilih sejumlah ulama mutaakhirin, di antaranya Al-Baghawi dan Abu Abdullah bin Taimiyah [72]) di Tafsirnya masing-masing. Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, sedang pendapat pertama adalah pendapat Mujahid, Zaid bin Aslam, Ats-Tsauri, dan Imam Ahmad.

Sedang hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhudari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Aku tidak tahu apakah hudud itu menyucikan pelakunya atau tidak", maka diriwayatkan Al-Hakim dan lain-lain [73]), Al-Bukhari [74]) mencacat hadits tersebut dan berkata, "Hadits tersebut tidak kuat”. Hadits tersebut termasuk hadits-hadits mursal Az-Zuhri dan dhaif. Abdurrazzaq keliru dengan mengatakan bahwa sanad hadits tersebut tidak terputus. Abdurrazzaq berkata, "Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa hudud adalah penghapus dosa”.

Di antara dalil orang-orang yang berpendapat bahwa hudud bukan penghapus dosa ialah firman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya,

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya); yang demikian itu suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menangkap mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Maidah: 33-34).

Tekstual ayat di atas menegaskan bahwa hukuman dunia dan hukuman akhirat diberikan kepada mereka. Namun alasan seperti itu bisa dijawab bahwa Allah Ta’ala menyebutkan hukuman mereka di dunia dan hukuman mereka di akhirat tanpa menyatukan kedua hukuman tersebut bagi mereka. Sedang pengecualian dengan, “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan seterusnya", maka pengecualian tersebut ialah pengecualian dari hukuman di dunia saja karena hukuman di akhirat gugur dengan taubat sebelum dan sesudah penangkapan mereka.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa mengerjakan salah satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian Allah merahasiakannya baginya, maka ia terserah kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia menyiksanya dan jika Dia berkehendak maka Dia mengampuninya"; secara tegas menyatakan barangsiapa bertemu Allah dengan membawa dosa-dosa besar, maka dosa-dosa besar tersebut berada di bawah kehendak-Nya. Ini menunjukkan bahwa pengerjaan kewajiban-kewajiban Islam itu tidak menghapus dosa-dosa besar, karena keumuman kaum Muslimin mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, terutama para sahabat yang dibaiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hal ini dikecualikan dari orang yang menghadap Allah dalam keadaan bertaubat dari dosa-dosa besar, dengan nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan bahwa barangsiapa bertaubat kepada Allah maka Allah menerima taubatnya dan mengampuninya. Oleh karena itu, hanya orang yang tidak bertaubat yang masuk dalam kehendak Allah.

Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus oleh perbuatan-perbuatan, karena Allah Ta’ala tidak menentukan penghapus dosa yang bersifat wajib bagi dosa-dosa besar, namun menentukan kafarat (penghapus) bagi dosa-dosa kecil, seperti dosa menggauli istri yang telah didzihar dan menggauli istri yang sedang haid seperti terlihat di hadits Ibnu Abbas [75]) pendapat itulah yang dianut Imam Ahmad dan lain-lain dan menentukan kafarat (penghapus) bagi orang yang tidak mengerjakan salah satu dari kewajiban-kewajiban haji atau bagi orang yang mengerjakan salah satu larangan-larangan haji, yaitu empat hal; penyembelihan hewan qurban, memerdekakan budak, sedekah, dan puasa. Oleh karena itu, kafarat tidak wajib dalam kasus pembunuhan dengan sengaja menurut jumhur ulama dan tidak wajib dalam sumpah ghamus [76]) menurut sebagian besar ulama, namun pembunuh hanya disuruh memerdekakan budak dan itu pun sunnah, seperti terlihat di hadits Watsilah bin Al-Asqa’ bahwa orang-orang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membahas tentang sahabat mereka yang telah mengerjakan kesalahan yang membuatnya wajib masuk neraka kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Merdekakan budak atas nama orang tersebut karena Allah membebaskannya dari neraka dengan budak tersebut". [77]) Ada yang mengatakan bahwa sahabat mereka tersebut telah membunuh seseorang. Di Shahih Muslim [78]) disebutkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa ia memukul budaknya kemudian ia memerdekakannya sambil berkata, "Aku tidak mendapatkan pahala di dalamnya sebesar ini, ia berkata begitu sambil mengambil dahan di tanah, karena aku dengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menampar budaknya atau memukulnya, maka kafaratnya ialah ia memerdekakannya“.

Jika ada yang berkata, orang yang menggauli istrinya pada saat berpuasa bulan Ramadhan diperintahkan membayar kafarat, padahal tidak berpuasa di bulan Ramadhan termasuk dosa besar. Jawabnya, kafarat diperintahkan bukan karena orang tersebut tidak berpuasa di bulan Ramadhan, oleh karena itu, kafarat tidak wajib bagi seluruh orang yang tidak berpuasa dengan sengaja di bulan Ramadhan menurut sebagian besar ulama, namun kafarat diwajibkan karena menodai kehormatan siang hari Ramadhan dengan melakukan hubungan suami-istri. Oleh karenanya, jika seseorang tidak berpuasa karena alasan yang tidak diperbolehkan baginya di siang hari Ramadhan kemudian ia menggauli istrinya, maka kafarat menjadi wajib baginya menurut Imam Ahmad seperti telah saya sebutkan sebelumnya.

Di antara hujjah yang menunjukkan bahwa kewajiban-kewajiban Islam hanya menghapus dosa-dosa kecil ialah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu yang berkata,

"Ketika kami sedang duduk di tempat Umar bin Khaththab, tiba-tiba ia berkata, “Siapa di antara kalian yang hapal sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang fitnah?” Aku berkata, “Fitnah seseorang terhadap keluarga, harta, anak, dan tetangganya itu bisa dihapus oleh shalat, sedekah dan amar ma’ruf nahi munkar”. Umar bin Khaththab berkata, “Bukan ini yang aku tanyakan kepadamu".

Hadits semakna diriwayatkan Muslim. Tekstual hadits di atas menghendaki hadits tersebut berasal dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di riwayat Al-Bukhari bahwa Hudzaifah berkata, "Aku dengar Umar bin Khaththab berkata tentang fitnah laki-laki", kemudian Hudzaifah menyebutkan hadits tersebut. Itu penegasan bahwa hadits tersebut berasal dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di riwayat Muslim disebutkan bahwa perkataan tersebut adalah perkataan Umar bin Khaththab. [79])

Adapun sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berbuat maksiat, karena itu, beri aku aku hukuman", kemudian beliau membiarkan orang tersebut hingga beliau shalat, lalu bersabda kepadanya, "Sesungguhnya Allah telah mengampuni maksiatmu", maka tidak ada penjelasan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan maksiat tersebut ialah salah satu dari dosa besar, karena hukum-hukum Allah Ta’ala adalah hal-hal yang diharamkannya seperti yang Dia firmankan,

"Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri". (Ath-Thalaq: 1).

Allah Ta’ala berfirman,

"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya". (Al-Baqarah: 229).

Allah Ta’ala berfirman,

"(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah; barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan”. (An-Nisa’: 13-14).

Di hadits An-Nawwas bin Sam’an [80]) dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang perumpamaan Islam dengan jalan lurus yang di kedua sisinya terdapat tembok, beliau bersabda, "Kedua tembok tersebut adalah hukum-hukum Allah”. Hadits tersebut secara lengkap telah saya sebutkan sebelumnya.

Jadi siapa saja mengerjakan salah satu dari hal-hal yang diharamkan Allah, berarti ia melanggar hukum-hukum-Nya, menerjangnya, dan melanggarnya. Jika diasumsikan bahwa maksiat yang dikerjakan orang yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah dosa besar, orang tersebut datang kepada beliau dalam keadaan menyesal, bertaubat, dan menyerahkan dirinya dihukum, maka penyesalan adalah taubat dan taubat itu menghapus dosa-dosa besar tanpa ada keraguraguan di dalamnya. Ada hadits yang bisa dijadikan hujjah bahwa dosa-dosa besar bisa dihapus dengan salah satu perbuatan shalih. Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma,

"Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mengerjakan dosa besar, adakah taubat untukku?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah engkau masih mempunyai ibu?" Orang tersebut menjawab, "Tidak”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah engkau masih mempunyai bibi dari jalur ibu?" Orang tersebut menjawab, "Ya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Berbaktilah kepadanya”. [81])

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Hibban di Shahihnya dan Al-Hakim yang berkata, "Hadits tersebut menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”. Namun hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi dari jalur lain secara mursal dan menyebutkan bahwa ke-mursal-an hadits tersebut lebih shahih daripada maushulnya (sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam). Itu pula yang dikatakan Ali bin Al-Madini dan Ad-Daruquthni.

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu bahwa seseorang berkata kepadanya, "Aku telah membunuh orang”. Umar bin Khaththab berkata, "Apakah ibumu masih hidup?" Orang tersebut berkata, "Tidak”. Umar bin Khaththab berkata, "Apakah ayahmu masih hidup?" Orang tersebut menjawab, "Ya”. Umar bin Khaththab berkata, "Berbaktilah dan berbuat baiklah kepadanya”. Setelah itu, Umar bin Khaththab berkata, "Jika ibu seseorang masih hidup kemudian ia berbakti dan berbuat baik kepadanya, aku berharap ia tidak dilalap neraka selama-lamanya”.

Hadits semakna diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma. [82])

Begitu juga wanita penyihir di Dumatul Jandal dan datang ke Madinah guna menanyakan tentang taubatnya, namun ia mendapati Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah wafat kemudian para sahabat berkata kepadanya, "Jika kedua orang tuamu atau salah satu dari keduanya masih hidup, keduanya sudah cukup bagimu”. Hadits ini diriwayatkan Al-Hakim. [83]) Ia berkata, "Di hadits tersebut terdapat ijma’ (konsensus) para sahabat tidak lama setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa berbakti kepada kedua orang tua itu sudah cukup bagi wanita penyihir tersebut”. Makhul dan Imam Ahmad berkata, "Berbakti kepada kedua orang tua itu menghapus dosa-dosa besar”.

Diriwayatkan dari salah seorang generasi salaf bahwa memikul jenazah itu menghapus dosa-dosa besar. Hal tersebut juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari banyak jalur yang tidak shahih. [84])

Diriwayatkan dengan shahih dari Abu Burdah bahwa ketika Abu Musa Al-Asy’ari hendak meninggal dunia, ia berkata, "Hai anak-anakku, ingatlah kalian akan pemilik roti. Seseorang beribadah di salah satu biara selama tujuh puluh tahun kemudian syetan menjelma menjadi wanita dalam pandangannya lalu ia bersama wanita tersebut selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, tabir dibuka dari orang tersebut kemudian ia keluar dari biara dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, disebutkan bahwa orang tersebut bermalam bersama orang-orang miskin lalu orang-orang miskin tersebut diberi sedekah; masing-masing dari mereka diberi satu roti. Orang-orang miskin tersebut pun memberi satu roti kepada orang tersebut. Salah seorang dari orang miskin tersebut kehilangan rotinya. Ketika orang tersebut mengetahui orang miskin tersebut kehilangan roti, ia berikan rotinya kepada orang miskin tersebut. Keesokan harinya, orang tersebut meninggal dunia. Perbuatannya selama tujuh puluh tahun ditimbang dengan perbuatannya selama tujuh hari tujuh malam, ternyata perbuatannya selama tujuh hari tujuh malam lebih berat. Satu rotinya ditimbang dengan tujuh hari tujuh malam, ternyata satu roti tersebut lebih berat daripada tujuh hari tujuh malam tersebut”. [85])

Ibnu Al-Mubarak meriwayatkan dengan sanadnya di Al-Birru wash Shilah hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Salah seorang hamba Allah beribadah selama tujuh puluh tahun kemudian mengerjakan perbuatan keji. Akibatnya, Allah menghapus amalnya. Setelah itu, ia menderita penyakit kronis dan lumpuh. Tiba-tiba, ia melihat seseorang bersedekah kepada orang-orang miskin kemudian ia pergi kepada orang tersebut, mengambil satu roti darinya, dan menyedekahkannya kepada seorang miskin. Allah pun mengampuninya dan mengembalikan amalnya selama tujuh puluh tahun”.

Semua kisah ini menjadi bukti bahwa dosa-dosa besar bisa dihapus hanya dengan amal-amal perbuatan, karena semua pelaku kisah-kisah tersebut adalah orang yang menyesali diri dan bertaubat dari dosa-dosanya. Sahabat di hadits di atas hanya menanyakan amal shalih yang bisa mendekatkan diri kepada Allah setelah bertaubat agar ia bisa menghapus bekas seluruh dosanya dengan amal tersebut, karena Allah Ta’ala mensyaratkan diterimanya taubat dan pengampunan dosa-dosa dengan amal shalih, seperti yang Dia firmankan,

"Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun”. (Maryam: 60).

Atau firman-Nya,

"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Thaha: 82).

Atau firman-Nya,

“Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal shalih, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung”. (Al-Qashash: 67).

Ayat-ayat di atas adalah koreksi bagi orang yang berpendapat bahwa orang yang bertaubat setelah taubatnya itu berada dalam kehendak Allah Ta’ala. Seperti di ayat-ayat itulah kondisi kebanyakan generasi salaf yang takut kepada Allah Ta’ala. Salah seorang dari mereka berkata kepada seseorang, "Apakah engkau pernah berbuat dosa?" Orang tersebut menjawab, "Ya, pernah”. Orang salaf tersebut berkata, "Apakah kemudian engkau mengetahui bahwa Allah menuliskannya bagimu?" Orang tersebut menjawab, "Ya”. Orang salaf tersebut berkata, "Berbuatlah hingga engkau mengetahui bahwa Allah menghapus dosamu”. Ibnu Mas’ud berkata, "Orang Mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia berada di puncak gunung dan ia khawatir jatuh padanya, sedang orang berdosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang terbang di hidungnya kemudian ia menjulurkan tangannya seperti ini”. (Diriwayatkan Al-Bukhari). [86]

Generasi salaf mencemaskan amal-amal dan taubat mereka, serta khawatir semua tidak diterima. Sikap seperti itu membuat mereka sangat takut dan serius dalam amal-amal shalih. Al-Hasan berkata, "Aku pernah bertemu dengan kaum-kaum yang jika salah seorang dari mereka berinfak sebesar bumi, ia tidak merasa aman karena besarnya dosa dalam dirinya”. Ibnu Aun berkata, "Engkau jangan yakin dengan banyaknya amal, karena engkau tidak tahu apakah amal tersebut diterima atau tidak. Engkau juga jangan merasa aman dari dosa-dosamu, karena engkau tidak tahu apakah dosa-dosamu dihapus darimu atau tidak. Sesungguhnya seluruh amalmu dihilangkan darimu”.

Yang paling benar dalam masalah ini wallahu a’lam, yaitu masalah penghapusan dosa-dosa besar dengan amal-amal ialah jika yang dimaksudkan bahwa dosa-dosa besar bisa dihapus dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban sebagaimana dosa-dosa kecil bisa dihapus dengan menjauhi dosa-dosa besar, maka itu batil. Namun jika yang dimaksud bahwa dosa-dosa besar ditimbang dengan amal-amal pada Hari Kiamat kemudian dosa-dosa besar dihapus dengan amal-amal yang mengalahkannya hingga amal-amal tersebut habis dan tidak tersisa pahala bagi pelakunya, maka itu bisa saja terjadi.

Sebelumnya saya sebutkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa ketika ia memerdekakan budaknya yang telah ia pukul, ia berkata, "Aku tidak mempunyai pahala sedikit pun di dalamnya", karena memerdekakan budak adalah kafarat pemukulan terhadap budak tersebut, padahal dosanya bukan dosa besar, maka bagaimana dengan amal-amal yang menghapus dosa-dosa besar?

Sebelumnya juga disebutkan perkataan salah seorang generasi salaf, "Sesungguhnya kesalahan dihapus dan satu kebaikan di antara kebaikan-kebaikan yang merupakan balasan amal menjadi hilang”. Jika itu terjadi pada dosa-dosa kecil, maka bagaimana dengan dosa-dosa besar? Karena sebagian dosa besar bisa jadi menghapus salah satu amal, sebagaimana mengungkit-ungkit sedekah dan menyakiti penerima sedekah itu membatalkan sedekah dan berinteraksi dengan riba itu menghapus jihad seperti dikatakan Aisyah. [87]) Hudzaifah berkata, "Menuduh wanita baik-baik melakukan zina itu menghapus amal selama seratus tahun”. Ucapan yang sama diriwayatkan dari Hudzaifah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan diriwayatkan Al-Bazzar. [88]) Juga sebagaimana tidak shalat Ashar itu menghapus amal. Jadi, tidak dipungkiri bahwa pahala amal yang telah menghapus dosa-dosa besar itu menjadi hilang.

Al-Bazzar di Musnadnya dan Al-Hakim meriwayatkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan seorang hamba didatangkan pada Hari Kiamat kemudian masing-masing diqishas atau dibayarkan satu sama lainnya. Jika yang tersisa bagi hamba tersebut adalah kebaikan, ia dilapangkan di surga dengan kebaikan tersebut”. [89])

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahiah yang berkata, Atha’ bin Dinar berkata kepadaku dari Sa’id bin Jubair tentang firman Allah Ta’ala,

 

فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره.

"Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya”. (Az-Zalzalah: 7).

Sa’id bin Jubair berkata, "Tadinya kaum Muslimin berpendapat bahwa mereka tidak diberi pahala atas sesuatu yang sedikit yang telah mereka berikan. Orang miskin datang kemudian mereka menganggap sedikit jika mereka memberikan satu biji kurma, uang recehan, buah jauzah (jenis buah yang berkulit dan berdaging keras), dan lain-lain kepada orang miskin tersebut. Mereka mengembalikannya pemberian tersebut dengan berkata,”Pemberian ini tidak ada apa-apanya. Kita diberi pahala sesuai dengan apa yang kita berikan padahal kami menyukai pemberian tersebut.” Sebagian lain berpendapat bahwa mereka tidak dikecam atas dosa kecil seperti dosa berbohong, melihat orang-orang yang bukan mahramnya, menggunjing, dan lain-lain. Mereka berkata, “Allah hanya mengancam neraka bagi dosa-dosa besar”. Lalu Allah menganjurkan mereka mengerjakan kebaikan yang sedikit karena sesuatu yang sedikit tersebut bisa menjadi banyak dan memperingatkan mereka dari dosa kecil karena dosa kecil tersebut bisa menjadi dosa besar. Lalu turunlah ayat, “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun”. Maksudnya, kebaikan sebesar semut yang paling kecil”. Niscaya dia akan melihatnya”. Maksudnya, ia melihatnya di bukunya dan ia senang karenanya. Bagi orang baik-baik dan orang jahat, setiap kesalahan ditulis satu kesalahan dan setiap satu kebaikan ditulis sepuluh kebaikan. Pada Hari Kiamat, Allah melipat-gandakan kebaikan-kebaikan orang Mukmin di mana satu kebaikan menjadi sepuluh kebaikan kemudian setiap kebaikan darinya menghapus sepuluh kesalahan. Barangsiapa kebaikannya melebihi kesalahan-kesalahannya kendati sebesar biji sawi, ia masuk surga”. [90])

Tekstual perkataan di atas menyatakan bahwa terjadi saling qishas antara kebaikan dengan kesalahan kemudian kebaikan yang menghapus kesalahan akan gugur. Setelah qishas selesai, sisa yang ada dilihat. Ini sejalan dengan pendapat orang yang berkata bahwa orang yang kebaikan-kebaikannya lebih berat daripada kesalahan-kesalahannya kendati cuma satu kebaikan, maka ia diberi pahala karena satu kebaikan itu saja, sedang kebaikan-kebaikannya yang lain telah gugur karena telah digunakan untuk menghapus kesalahan. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat orang yang berkata bahwa orang tersebut diberi pahala atas semua kebaikannya dan kesalahan-kesalahannya menjadi sirna seperti tidak pernah ada. Itu terjadi pada dosa-dosa besar, sedang pada dosa-dosa kecil maka bisa jadi dosa-dosa kecil tersebut dihapus dengan amal-amal shalih tanpa menggugurkan pahala amal-amal shalih tersebut, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikan derajat-derajat?" Para sahabat berkata, "Mau, wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Menyempurnakan wudhu pada saat-saat sulit (misalnya pada saat cuaca dingin dll), banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath (menahan diri terhadap ketaatan-ketaatan yang disyariatkan). Itulah ribath”. [91])

Pada hadits di atas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menegaskan bahwa amal-amal tersebut menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat-derajat. Begitu juga sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Barangsiapa mengatakan, “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku, wa lahul hamdu, yuhyi wa yumitu, wa huwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu)”, sebanyak seratus kali dalam sehari, maka itu sama dengan memerdekakan sepuluh budak, seratus kebaikan ditulis baginya, seratus kesalahan dihapus darinya, ia mendapatkan penjagaan dari syetan sejak hari itu hingga sore hari dan tidak ada orang yang mengerjakan sesuatu yang lebih baik dari yang ia kerjakan kecuali orang yang mengerjakan hal yang lebih baik daripada dirinya”. [92])

Hadits tersebut menunjukkan bahwa dzikir bisa menghapus kesalahan-kesalahan dan pahalanya tetap dilipat-gandakan bagi pelakunya.

Begitu juga kesalahan-kesalahan orang yang bertaubat dengan taubat nashuhah, maka dihapus darinya dan kebaikan-kebaikannya tetap ada, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah-payah dan melahirkannya dengan susah-payah, mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka bersama penghuni-penghuni surga sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka”. (Al-Ahqaf: l5-16).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka; demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Az-Zumar: 33-35).

Karena Allah Ta’ala menyifati orang-orang di ayat di atas sebagai orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik, maka itu menunjukkan bahwa mereka tidak terus-menerus berbuat dosa, namun bertaubat darinya.

Allah Ta’ala berfirman, "Agar Allah menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan”. Dosa-dosa besar masuk ke dalam perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan, karena dosa-dosa besar termasuk perbuatan-perbuatan paling buruk. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia menghapus kesalahan-kesalahannya dan melipat-gandakan pahala baginya”. (Ath-Thalaq: 5).

Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa takwa yang mengandung pengertian mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan itu menghapus dosa-dosa dan melipat-gandakan pahala. Selain itu, Allah Ta’ala menjelaskan tentang kaum Mukminin yang memikirkan penciptaan langit dan bumi bahwa mereka berkata,

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian,”maka kami beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti”. (Ali Imran: 193).

Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia mengabulkan doa mereka, menghapus kesalahan-kesalahan mereka, dan memasukkan mereka ke surga.

Allah Ta’ala berfirman, "Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami”. Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dosa-dosa diampuni sementara kesalahan-kesalahan dihapus. Ada yang mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan tersebut adalah dosa-dosa kecil sedang yang dimaksud dengan dosa-dosa pada ayat di atas ialah dosa-dosa besar. Jadi kesalahan-kesalahan itu dihapus, karena Allah memberikan kafarat-kafarat (penghapus)nya di dunia; baik kafarat syar’iyah atau takdiriyah. Sedang dosa-dosa membutuhkan ampunan yang melindungi pelakunya dari keburukan dosa-dosa tersebut. Maghfirah (ampunan) dan takfir (penghapusan dosa) sangat tipis perbedaannya. Ada yang mengatakan bahwa ampunan ialah penutupan dosa-dosa. Ada lagi yang mengatakan bahwa ampunan ialah perlindungan dari keburukan dosa sekaligus penutupan dosa tersebut. Oleh karena itu, yang menutupi kepala dan melindunginya di medan perang dinamakan mighfar dan tidak semua yang menutup kepala dinamakan mighfar. Allah Ta’ala menjelaskan tentang para malaikat bahwa mereka mendoakan kaum Mukminin yang bertaubat agar mereka diberi ampunan, dilindungi dari kesalahan-kesalahan, dan dihapus dosa-dosa mereka, karena asal kata al-kufru (asal kata takfir) adalah menutup.

Sebagian ulama mutaakhirin membedakan antara kata maghfirah (ampunan) dengan takfir (penghapusan dosa) dengan mengatakan bahwa takfir ialah penghapusan bekas dosa hingga dosa tersebut sepertinya tidak pernah ada, sedang maghfirah (ampunan) mengandung makna takfir tersebut plus penghormatan Allah dan pemuliaan-Nya terhadap seorang hamba. Ada koreksi tentang pendapat tersebut.

Ada lagi yang menafsirkan bahwa pengampunan dosa-dosa dengan amal-amal shalih ialah perubahan dosa-dosa tersebut menjadi kebaikan-kebaikan dan bahwa terhapusnya dosa-dosa oleh penghapus-penghapusnya ialah pengikisan dosa-dosa tersebut saja. Penafsiran seperti itu juga memiliki kelemahan, karena ada hadits shahih yang menegaskan bahwa dosa-dosa yang pelakunya disiksa karenanya dengan dimasukkan ke neraka itu diganti dengan kebaikan-kebaikan. Jadi, penghapusan dosa-dosa dengan amal shalih yang menghapusnya itu tentunya lebih utama.

Ada lagi dua penafsiran yang lain;

1.      Maghtirah (ampunan) itu terjadi tanpa melalui hukuman dan siksa, karena maghfirah (ampunan) adalah perlindungan dari keburukan seluruh dosa, sedang takfir (penghapusan dosa) bisa saja terjadi setelah melalui hukuman, karena seluruh musibah dunia adalah penghapus kesalahan-kesalahan dan musibah-musibah tersebut notebene adalah hukuman. Maaf bisa juga terjadi setelah atau tanpa hukuman. Rahmat juga begitu.

2.      Perbuatan-perbuatan yang merupakan kafarat tidak dibuat Allah untuk mengikis dosa-dosa dan menghapusnya, namun penghapusan dosa tersebut adalah pahala dari perbuatan-perbuatan tersebut dan amal-amal tersebut tidak mendapatkan pahala selain untuk menghapus dosa-dosa tersebut. Pada umumnya perbuatan-perbuatan tersebut adalah upaya melawan hawa nafsu dan bersabar menahan kesulitan di dalamnya seperti menjauhi dosa-dosa besar yang dijadikan Allah sebagai penghapus dosa-dosa kecil.

Sedang perbuatan-perbuatan yang membuat dosa-dosa diampuni, maka bukan perbuatan-perbuatan seperti di atas, namun perbuatan-perbuatan yang mendapatkan ampunan dan pahala sekaligus, seperti dzikir yang menghasilan kebaikan-kebaikan dan menghapus kesalahan-kesalahan. Dalam pengertian ini, maka perbuatan-perbuatan yang merupakan kafarat bisa dibedakan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak merupakan kafarat sedang penghapusan dosa-dosa dan pengampunannya; jika disandarkan kepada Allah, maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Menurut pengertian pertama, terdapat perbedaan antara penghapusan dosa-dosa dan pengampunnya.

Pengertian sisi kedua tersebut dikuatkan dua hal;

1.      Perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma ketika memerdekakan budak yang telah dipukulnya, "Aku tidak mendapatkan sedikit pun pahala di dalamnya", karena ia berpendapat bahwa pemerdekaan budak olehnya adalah penghapus dosa ia memukulnya.

2.      Seluruh musibah dunia adalah penghapus dosa. Banyak sekali sahabat dan generasi salaf berkata, "Perbuatan-perbuatan yang menghapus kesalahan-kesalahan itu tidak mendapatkan pahala," meskipun sebagian dari mereka tidak sependapat dengan pendapat tersebut. Kendati demikian, tidak dapat dikatakan bahwa kafarat di hadits tentang mimpi [93]) itu ditafsirkan dengan menyempurnakan wudhu di saat kritis (misalnya cuaca dingin, sakit, dll) dan melangkah ke masjid, kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa berbuat seperti, ia hidup dengan baik, mati dengan baik, dan terhadap kesalahannya, ia seperti ketika dilahirkan ibunya”.

Kendati perbuatan-perbuatan tersebut menghapus kesalahan-kesalahan, perbuatan-perbuatan tersebut meninggikan derajat dan mendapatkan pahala, karena kita berkata bahwa bisa jadi satu perbuatan itu mendapatkan dua hal; salah satunya meninggikan derajat dan satunya menghapus kesalahan-kesalahan. Wudhu diberi pahala, namun menyempurnakan wudhu pada saat cuaca dingin termasuk penderitaan yang dirasakan jiwa manusia di dunia, jadi, menyempurnakan wudhu pada saat seperti itu adalah kafarat (penghapus dosa). Sedang menyempurnakan wudhu pada saat cuaca tidak dingin, hanya membuat dosa-dosa diampuni sebagaimana halnya dzikir dan lain-lain. Begitu juga pergi untuk shalat berjama’ah adalah ibadah, ketaatan, dan diberi pahala, sedang kesulitan, penderitaan, dan kelelahan yang dirasakan jiwa karenanya adalah kafarat Begitu juga bertahan di masjid untuk menunggu shalat dan membuang keinginan untuk keluar menuju tempat-tempat yang disukai jiwa, misalnya untuk mencari rezki dan sekedar bersenang-senang, maka itu semua termasuk menyakitkan jiwa, jadi merupakan kafarat.

Disebutkan di hadits bahwa salah satu langkah seseorang ke masjid meninggikan derajatnya dan langkah satunya menghapus kesalahan darinya. [94]) Hadits ini menguatkan apa yang saya katakan sebelumnya dan bahwa sesuatu yang menghapus kesalahan itu tidak bisa meninggikan derajat pelakunya, wallahu a’lam.

Dengan demikian, satu perbuatan itu bisa menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikan derajat sekaligus dari dua sisi serta perbuatan tersebut menghasilkan kedua hal tersebut dalam semua kondisi. Jadi, tidak ada pertentangan jika perbuatan tersebut dikatakan sebagai penghapus dosa dengan pahalanya dilipat-gandakan atau meninggikan derajat. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at , dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi”. [95])

Karena menahan diri untuk konsisten mengerjakan kewajiban-kewajiban termasuk menentang hawa nafsu dan menahannya dari apa saja yang disukainya, karenanya, hal tersebut menghapus dosa-dosa kecil.

Begitu juga syahid di jalan Allah itu menghapus dosa-dosa karena penderitaan yang terjadi di dalamnya dan meninggikan derajat karena amal shalih dengan hati dan badan terjadi sekaligus di dalamnya. Dari sini, jelaslah bahwa sebagian perbuatan itu meninggikan derajat dan menghapus kesalahan-kesalahan sekaligus tanpa ada pertentangan di antara keduanya, namun itu terjadi pada dosa-dosa kecil tanpa diragukan. Adapun dosa-dosa besar, maka bisa jadi dihapus dengan mati syahid dan syahid tetap mendapatkan pahala syahidnya, namun orang syahid yang mempunyai kesalahan-kesalahan berada di peringkat keempat di antara peringkat-peringkat syahid. Itu yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits Fadhalah bin Ubaid yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi. [96])

Sedang pengampunan dosa-dosa dengan sebagian perbuatan tanpa menghilangkan pahala perbuatan tersebut, maka ditunjukkan hadits-hadits shahih dalam masalah dzikir. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan ditulis sebagai kebaikan-kebaikan, seperti terlihat di hadits Abu Malik Al-Asy’ari yang telah disebutkan. Sebelumnya juga telah saya sebutkan perkataan salah seorang generasi salaf yang berkata bahwa satu kesalahan dihapus dengan satu dari sepuluh pahala kebaikan, jadi tersisa sembilan kebaikan untuk pelakunya. Kelihatnnya, itu berlaku pada dosa-dosa kecil. Adapun di akhirat, kebaikan-kebaikan ditimbang dengan kesalahan-kesalahan dan sebagian dari masing-masing dibayarkan kepada sebagian yang lainnya; barangsiapa ternyata kebaikan-kebaikannya lebih berat daripada kesalahan-kesalahannya, ia selamat dan masuk surga. Ini berlaku pada dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. Ini juga berlaku pada orang yang mempunyai kebaikan-kebaikan dan kedzaliman-kedzaliman; orang-orang yang pernah didzalimi mendapatkan hak-hak mereka dari kebaikan orang tersebut kemudian satu kebaikan tersisa bagi orang tersebut lalu ia masuk surga karenanya (sisa satu kebaikan). Ibnu Mas’ud berkata, "Jika salah seorang wali Allah mempunyai kelebihan kebaikan sebesar biji sawi, Allah melipat-gandakan kebaikan tersebut baginya hingga ia masuk surga karenanya. Jika ia orang jahat, malaikat berkata, “Tuhanku, kebaikan-kebaikan orang ini telah habis dan para penuntutnya masih banyak sekali.” Allah berfirman kepada malaikat, “Ambillah kesalahan-kesalahan mereka, lipat-gandakan pada kesalahan-kesalahannya, dan pukullah dia dengan pukulan hingga ia masuk neraka”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dan lain-lain).

Maksudnya bahwa pelipat-gandaan kebaikan sebesar biji sawi itu terjadi karena karunia Allah Ta’ala karena Dia melipat-gandakan kebaikan-kebaikan orang Mukmin dan memberkahinya. Seperti itulah kondisi orang yang mempunyai kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan dan Allah hendak merahmatinya dengan melebihkan kebaikannya hingga ia masuk surga karenanya. Ini termasuk karunia Allah dan rahmat-Nya, karena tidak ada yang bisa masuk surga kecuali dengan karunia Allah dan rahmat-Nya.

Abu Nu’aim [97]) meriwayatkan dengan sanad dhaif dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Allah mewahyukan kepada salah seorang dari nabi Bani Israil, “Katakan kepada orang-orang yang taat kepada-Ku dari umatmu agar mereka tidak menyandarkan diri kepada perbuatan-perbuatan mereka, karena Aku tidak menjatuhkan hisab pada seorang hamba pada Hari Kiamat yang Aku kehendaki untuk Aku siksa melainkan Aku menyiksanya. Juga katakan kepada orang-orang yang bermaksiat kepada-Ku di antara umatmu agar mereka tidak membinasakan diri mereka karena aku mengampuni dosa besar dan Aku tidak peduli".

Hadits di atas diperkuat sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits shahih,

"Barangsiapa didebat oleh hisab, ia disiksa”. Di riwa yat lain, "Ia binasa”. [98])

Wallahu a’lam.

Masalah yang kedua: Apakah taubat diwajibkan pada dosa-dosa kecil seperti pada dosa-dosa besar atau tidak, karena dosa-dosa kecil telah terhapus dengan menjauhi dosa-dosa besar? Karena Allah Ta’ala berfirman,

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. (An-Nisa’: 31).

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.

Ada ulama yang mewajibkan taubat dari dosa-dosa kecil. Ini pendapat sahabat-sahabat kami, para fuqaha’, dan ahli kalam.

Karena Allah Ta’ala mewajibkan taubat setelah menyebutkan dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

“Katakan kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakan kepada wanita-wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, danmemelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung”. (An-Nuur: 30-31).

Allah Ta’ala memerintahkan bertaubat dari dosa-dosa kecil secara khusus dengan firman-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk; seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Hujurat: 11).

Ada ulama yang tidak mewajibkan taubat dari dosa-dosa kecil. Diriwayatkan dari sejumlah kaum Mu’tazilah dan ulama khalaf yang berpendapat, "Salah satu dari dua hal diwajibkan, yaitu taubat dari dosa-dosa kecil, atau mengerjakan salah satu kebaikan yang bisa menghapus dosa-dosa”.

Ibnu Athiyah di Tafsirnya menyebutkan dua pendapat tentang penghapusan dosa-dosa kecil dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar;

1.     Pendapat yang diriwayatkan Ibnu Athiyah dari sejumlah fuqaha’ dan ulama hadits bahwa penghapusan dosa-dosa kecil dapat dipastikan dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar, karena tekstual ayat dan hadits.

2.      Pendapat yang diriwayatkan Ibnu Athiyah dari ulama ushul fiqh bahwa penghapusan dosa-dosa kecil tidak dapat dipastikan dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar, namun hanya diduga kuat dan sangat diharapkan. Jadi, dosa-dosa kecil berada dalam kehendak Allah Azza wa Jalla, sebab jika penghapusan dosa-dosa kecil dapat dipastikan, maka dosa-dosa kecil tak ubahnya seperti hal-hal mubah yang tidak ada hukuman di dalamnya dan ini jelas mengurai simpul syariat.

Saya katakan, ada yang mengatakan bahwa penghapusan dosa-dosa kecil tidak dapat dipastikan, karena hadits-hadits tentang penghapusan dosa-dosa kecil secara mutlak dengan perbuatan-perbuatan itu dikaitkan dengan memperbaiki perbuatan-perbuatan seperti hadits tentang wudhu dan shalat. Jadi, keberadaan perbuatan yang baik itu tidak dapat dipastikan menghapus dosa-dosa. Berdasarkan perbedaan pendapat yang disebutkan Ibnu Athiyah tersebut, maka perbedaan pendapat tentang wajibnya taubat dari dosa-dosa kecil itu terjadi.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Al-Hasan bahwa orang-orang datang kepada Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu kemudian berkata, "Kami melihat banyak sekali kandungan Al-Qur’an tidak diamalkan”. Umar bin Khaththab berkata kepada salah seorang dari mereka, "Apakah engkau sudah membaca seluruh ayat Al-Qur’an?" Orang tersebut menjawab, "Sudah”. Umar bin Khaththab berkata, "Apakah engkau telah mengamalkannya pada dirimu?" Orang tersebut menjawab, "Belum”. Umar bin Khaththab berkata, "Apakah engkau telah mengamalkannya di matamu?" Apakah engkau telah mengamalkannya di lidahmu? Apakah engkau telah mengamalkannya di langkahmu?" Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka secara bergantian hingga bertanya kepada orang terakhir dari mereka kemudian ia berkata, "Semoga ibu Umar kehilangan anaknya (kalimat yang menunjukkan nada heran), apakah kalian membebani Umar untuk memberlakukan Al-Qur’an pada manusia? Sungguh Tuhan kita telah tahu bahwa kesalahan-kesalahan akan terjadi pada kita”. Lalu Umar bin Khaththab membaca ayat,

 

إن تجتنبوا كبائر ما تُنهون عنه نكفِّر عنكم سيئاتكم وندخلكم مدخلا كريما.

“jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. (An-Nisa’: 31). [99]

Ath-Thabari [100]) juga dengan sanadnya meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Aku tidak pernah melihat seperti yang sampai kepada kita dari Allah Ta’ala kemudian kita tidak keluar kepada-Nya dari seluruh keluarga dan harta”. Anas bin Malik diam kemudian berkata, "Demi Allah, sungguh Allah membebani kita dengan sesuatu yang lebih ringan dari itu semua. Sungguh Dia memaafkan dosa-dosa kecil kita, jadi, kita tidak mempunyai urusan dengan dosa-dosa kecil tersebut”. Setelah itu, Anas bin Malik membaca firman Allah Ta’ala,

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. (An-Nisa’: 31).

Hadits tersebut diriwayatkan Al-Bazzar di Musnadnya secara marfu’ namun yang benar hadits tersebut mauquf.

Allah menyebutkan bahwa sifat orang-orang yang berbuat baik ialah menjauhi dosa-dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

 

الذين يجنبون كبائر الاثم والفواحش إلا اللمم إن ربك واسع المغفرة.

"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil; sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunan-Nya”. (An-Najm: 32).

Ada dua penafsiran tentang kata al-lamam pada ayat di atas;

  1. Al-lamam ialah perbuatan-perbuatan pengantar kepada zina seperti menyentuh dan mencium. [101]) Ibnu Abbas berkata, "Al-Lamam ialah apa saja yang tidak terkena dua had (hukuman syar’i), yaitu ancaman neraka di akhirat dan hukuman dunia”. [102])
  2. Al-Lamam ialah mengerjakan salah satu perbuatan keji dan dosa-dosa besar sekali saja kemudian bertaubat daripadanya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas [103]) dan Abu Hurairah juga diriwayatkan darinya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam namun ada keragu-raguan di dalamnya tentang hadits tersebut berasal dari beliau yang berkata, "Al-Lamam ialah mengerjakan zina kemudian bertaubat dan tidak mengulanginya, minum minuman keras kemudian bertaubat dan tidak mengulanginya, dan mencuri kemudian bertaubat dan tidak mengulanginya lagi". [104])

Ulama yang menafsirkan al-lamam dengan penafsiran kedua berkata, "Pelakunya harus bertaubat”. Ini berbeda dengan ulama yang menafsirkan al-lamam dengan penafsiran pertama, maka mereka tidak mewajibkan taubat daripadanya.

Kelihatnnya, kedua penafsiran tentang al-lamam sama-sama benar dan yang dikehendaki ayat di atas. Jika demikian, maka orang yang berbuat baik ialah orang yang mengerjakan dosa besar namun itu jarang sekali kemudian ia bertaubat daripadanya dan orang yang mengerjakan dosa kecil yang dibenamkan oleh kebaikan-kebaikannya yang menghapus dosa kecil dan tidak meneruskan dosa kecilnya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Ali Imran: 135).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata, "Tidak ada dosa kecil jika terus-menerus dikerjakan dan tidak dosa besar jika pelakunya beristighfar”. Perkataan tersebut diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari banyak jalur yang dhaif. [105])

Jika dosa-dosa kecil yang terus-menerus dikerjakan berubah menjadi dosa-dosa besar, maka muhsinun (orang-orang yang berbuat baik) harus menjauhi sikap terus-menerus mengerjakan dosa-dosa kecil agar mereka bisa menjauhi dosa-dosa besar dan zina. Allah Azza wa jalla berfirman,

"Dan yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dzalim”. (Asy-Syura: 36-40).

Ayat-ayat di atas menjelaskan sifat-sifat kaum Mukminin bahwa mereka melaksanakan apa saja yang diwajibkan Allah kepada mereka, yaitu iman, tawakkal, mendirikan shalat, berinfak dengan rezki yang diberikan Allah kepada mereka, dan merespon seruan Allah dalam seluruh ketaatan. Selain itu, mereka menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji (zina). Itulah takwa yang hakiki. Allah juga menjelaskan bahwa sifat mereka dalam berinteraksi dengan manusia ialah memaafkan ketika marah. Allah mengajak mereka untuk memaafkan dan berdamai. Firman Allah Ta’ala, "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri", sama sekali tidak bertentangan dengan pemberian maaf, karena membela diri itu dengan memperlihatkan kekuatan untuk membalas kemudian pemaafan terjadi setelah itu, jadi itu lebih sempurna dan paripurna. An-Nakhai berkata tentang ayat tersebut, "Mereka tidak suka dihina. Jika mereka mempunyai kekuatan, mereka memaafkan”. [106]) Mujahid berkata, "Mereka tidak suka kalau orang Mukmin merendahkan dirinya sendiri yang mengakibatkan orang-orang fasik berbuat seenaknya terhadap dirinya”. [107]) Jadi, jika orang Mukmin didzalimi, ia memperlihatkan kekuatan untuk membalas kemudian setelah itu memaafkan orang yang mendzaliminya. Hal ini terjadi pada banyak sekali dari generasi salaf, di antaranya Qatadah [108]) dan lain-lain.

Ayat-ayat di atas mencakup seluruh apa yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam wasiat beliau kepada Muadz bin Jabal. Ya, karena sesungguhnya ayat-ayat tersebut mengandung prinsip-prinsip sifat takwa yaitu dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban, menjauhi dosa-dosa besar yang diharamkan, dan berinteraksi dengan manusia dengan berbuat baik kepada mereka dan memaafkan. Ini menghendaki jika mereka mengerjakan salah satu dosa kecil, maka dosa kecil tersebut dibenamkan oleh sifat-sifat takwa yang menghapus dan mengikisnya hingga habis.

Sedang di ayat-ayat di surat Ali Imran (ayat 133-135), Allah menjelaskan bahwa sifat-sifat orang-orang bertakwa ialah berbuat baik kepada manusia, beristighfar dari perbuatan-perbuatan keji dan kedzaliman terhadap diri sendiri, dan tidak meneruskan perbuatan tersebut. Itulah yang paling sempurna, yaitu yang memunculkan taubat dan istighfar usai segala dosa; dosa kecil maupun dosa besar, seperti diwasiatkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal dan itu telah saya sebutkan sebelumnya.

Saya jelaskan ini semua, karena manusia amat membutuhkannya dan setiap orang perlu mengetahuinya kemudian mengamalkannya. Allah tempat meminta petunjuk dan Dialah Maha Penolong.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Lanjutkan kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut", Kelihatannya menunjukkan bahwa kesalahan-kesalahan dihapus dengan kebaikan-kebaikan. Sebelumnya telah disebutkan atsar-atsar tentang hal ini, termasuk atsar yang menjelaskan bahwa kesalahan dihapus dari buku malaikat dengan kebaikan yang dikerjakan setelah kesalahan tersebut. Athiyali Al-Aufa berkata, "Telah sampai kepadaku bahwa barangsiapa yang menangis karena kesalahannya, maka tangisan tersebut menghapus kesalahannya, dan dituliskan baginya satu kebaikan”. Abdullah bin Amr berkata, "Barangsiapa ingat kesalahan yang telah ia kerjakan kemudian hatinya bergetar karenanya lalu ia beristighfar kepada Allah Azza wa jalla maka tidak ada sesuatu apa pun yang menahannya hingga Ar-Rahman sendiri yang menghapus kesalahan tersebut darinya”. Bisyr bin Al-Harits berkata, disampaikan kepadaku dari Al-Fudhail bin Iyadh bahwa ia berkata, "Menangis di siang hari menghapus dosa-dosa yang dilakukan secara terang-terangan dan menangis di malam hari menghapus dosa-dosa yang dikerjakan sembunyi-sembunyi”. Sebelumnya juga telah saya sebutkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikan derajat-derajat?" Para sahabat berkata, “Mau, wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Menyempurnakan wudhu pada saat-saat sulit (misalnya pada saat cuaca dingin dan lain-lain), banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath (menahan diri terhadap ketaatan-ketaatan yang disyariatkan). Itulah ribath”.

Sejumlah ulama berkata, "Dosa-dosa tidak dihapus dari lembaran-lembaran catatan perbuatan dengan taubat atau lain-lain, akan tetapi pasti pelakunya akan diperlihatkan kepadanya, ia membacanya pada Hari Kiamat”. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala,

"Dan diletakkanlah kitab lalu kamu melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya". (Al Kahfi: 49).

Menggunakan ayat di atas sebagai dalil tidaklah tepat, karena dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan tentang keadaan orang-orang yang berdosa yang notabene pelaku kejahatan-kejahatan dan dosa-dosa besar, jadi, tidak termasuk di dalamnya orang-orang beriman yang bertaubat dari dosa-dosa mereka atau dosa-dosa mereka dikikis kebaikan-kebaikan mereka. Mestinya mereka berhujjah dengan ayat berikut daripada ayat di atas,

"Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia melihatnya”. (Az-Zalzalah: 7-8).

Sebagian mufassirin menyebutkan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang benar. Pendapat tersebut diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Bilal bin Sa’ad Ad-Dimasyqi. Al-Hasan berkata, "Tentang hamba yang melakukan dosa kemudian bertaubat dan beristighfar, maka dosanya diampuni, namun tidak dihapus dari buku catatan perbuatannya dan tanpa melihatnya, kemudian ia ditanya tentang dosa tersebut”. Al-Hasan menangis keras kemudian berkata, "Jika kita menangis hanya karena malu pada situasi ketika itu, kita tetap layak untuk menangis”.

Bilal bin Sa’ad berkata, "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa, namun tidak menghapusnya dari buku catatan perbuatan hingga dosa-dosa tersebut diperlihatkan pelakunya pada Hari Kiamat, kendati ia telah bertaubat”. [109])

Abu Hurairah berkata, "Pada Hari Kiamat, seorang hamba didekatkan kepada Allah kemudian Dia memberikan naungan kepadanya dan menutupinya dari seluruh makhluk. Setelah itu, Allah menyodorkan buku catatan perbuatan kepada hamba tersebut dalam keadaan tertutup dari manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Hai anak keturunan Adam, baca buku catatan perbuatanmu.” Hamba tersebut pun membaca buku catatan perbuatannya. Ketika ia membaca kebaikan, wajahnya berbinar-binar dan hatinya senang. Allah berfirman,”Hamba-Ku, tahukah engkau?” Hamba tersebut berkata, “Ya.” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menerima kebaikan tersebut darimu.” Hamba tersebut pun sujud. Allah berfirman lagi, “Angkat kepalamu dan baca kembali buku catatan perbuatanmu.” Hamba tersebut pun membaca buku catatan perbuatannya kemudian membaca kesalahan, karenanya, wajahnya pucat, hatinya takut, menggigil ketakutan, dan malu kepada Tuhannya tanpa diketahui siapa pun selain Allah. Allah berfirman berfirman, “Hamba-Ku, tahukah engkau?” Hamba tersebut berkata, “Ya, wahai Tuhanku.” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku telah mengampuni kesalahanmu.” Hamba tersebut pun sujud. Hanya sujud itulah yang dilihat manusia dari hamba tersebut hingga sebagian dari mereka berseru kepada sebagian yang lain, “Berbahagialah orang ini yang tidak pernah bermaksiat kepada Allah.” Mereka tidak tahu pertemuan hamba tersebut dengan Tuhannya dan dari apa-apa yang diperlihatkannya”. [110])

Abu Utsman An-Nahdi berkata dari Salman, "Pada Hari Kiamat, seseorang diberi buku catatan perbuatannya kemudian ia membaca bagian atasnya, ternyata berisi kesalahan-kesalahannya. Ketika ia nyaris buruk sangka, ia membaca bagian bawah buku catatan perbuatan tersebut, ternyata berisi kebaikan-kebaikannya. Ia kembali membaca bagian atas buku catatan perbuatanya, ternyata kesalahan-kesalahannya diganti menjadi kebaikan-kebaikan”. Perkataan tersebut diriwayatkan dari Abu Utsman dari Ibnu Mas’ud, namun yang benar berasal dari Abu Utsman”. [111])

Ibnu Abu Hatim dengan sanadnya meriwayatkan dari sebagian sahabat Muadz bin Jabal yang berkata, "Penghuni surga masuk surga dalam empat kelompok; orang-orang bertakwa, kemudian orang-orang yang bersyukur, kemudian orang-orang yang takut, kemudian ashhabul yamin”. Ditanyakan, "Kenapa mereka dikatakan ashabul yamin?" Sahabat Muadz bin Jabal tersebut menjawab, "Karena mereka mengerjakan kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian mereka diberi buku catatan perbuatan dengan tangan kanan mereka. Mereka membaca huruf demi huruf kesalahan-kesalahan mereka kemudian berkata, “Tuhan kami, ini kesalahan-kesalahan kami, mana kebaikan-kebaikan kami?” Ketika itulah, Allah menghapus kesalahan-kesalahan tersebut dan menjadikannya kebaikan-kebaikan. Pada saat itulah, mereka berkata, Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. (Al-Haaqqah: 19). Mereka adalah penghuni surga terbanyak”.

Orang-orang yang berpendapat seperti di atas menafsirkan penghapusan kesalahan-kesalahan dengan kebaikan-kebaikan itu dengan penghapusan hukumannya tanpa menghapus penulisannya di buku catatan perbuatan, wallahu a’lam.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik". Ini juga termasuk sifat takwa dan takwa tidak sempurna tanpa dengannya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutnya secara khusus karena penjelasannya diperlukan, sebab sebagian besar manusia menduga bahwa takwa ialah melaksanakan hak Allah tanpa melaksanakan hak hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan Muadz bin Jabal berinteraksi dengan manusia dengan baik, karena beliau mengutusnya ke Yaman sebagai guru, faqih, dan hakim bagi penduduk Yaman. Barangsiapa kedudukannya seperti Muadz bin Jabal, ia perlu berinteraksi dengan manusia dengan akhlak yang baik yang tidak dibutuhkan orang-orang lain yang tidak ada kebutuhan pada manusia dan ia tidak berinteraksi dengan mereka. Acapkali orang yang mengerjakan hak-hak Allah dan larut dalam cinta, takut, dan taat kepada-Nya itu tidak memperhatikan hak-hak manusia secara total atau lalai di dalamnya. Mengerjakan hak-hak Allah sekaligus hak-hak manusia sangat sulit dan tidak sanggup dikerjakan kecuali oleh orang-orang yang sempurna, yaitu para nabi dan orang-orang yang jujur.

Al-Harits Al-Muhasibi berkata, "Tiga hal yang sulit atau tidak ada; wajah berseri-seri disertai menjaga kesucian diri, berakhlak baik disertai beragama, dan bersaudara dengan baik disertai bersikap amanah”.

Salah seorang dari generasi salaf berkata, "Nabi Daud Alaihis Salam duduk menyendiri kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kenapa engkau Kulihat duduk menyendiri?” Nabi Daud menjawab, “Aku meninggalkan manusia karena-Mu, wahai Tuhan seluruh alam semesta.” Allah berfirman,”Hai Daud, maukah Aku tunjukkan sesuatu yang mendapatkan keridhaan manusia dan keridhaan-Ku? Pergaulilah manusia dengan akhlak mereka dan pertahankan iman ketika engkau menyendiri dengan-Ku”.

Di Al-Qur’an, Allah Ta’ala mengatagorikan sikap mempergauli manusia dengan akhlak baik termasuk sifat takwa, bahkan Allah memulai sifat takwa dengan sifat mempergauli manusia dengan akhlak yang baik. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya); baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Ali Imran: 133-134).

Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id Al-Maqbari yang berkata, dikisahkan kepada kami bahwa seseorang datang kepada Isa bin Maryam Alaihis Salam kemudian berkata, "Hai pengajar kebaikan, bagaimana aku bisa menjadi orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana semestinya?" Isa bin Maryam Alaihis Salam menjawab, "Dengan sesuatu yang sederhana; engkau mencintai Allah dengan seluruh hatimu, berbuat dengan serius dan kekuatan semampumu, dan menyayangi orang-orang yang sejenis denganmu seperti engkau menyayangi dirimu sendiri”. Orang tersebut berkata, "Siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang sejenis denganku?" Isa bin Maryam Alaihis Salam menjawab, "Seluruh anak keturunan Adam. Apa saja yang tidak engkau sukai diberikan kepadamu janganlah engkau berikan kepada orang lain, niscaya engkau menjadi orang bertakwa kepada Allah sebagaimana semestinya”.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikan akhlak yang baik sebagai sifat-sifat iman yang paling sempurna, seperti diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka”. [112])

Hadits tersebut juga diriwayatkan Muhammad bin Nashr Al-Marwazi [113]) dan ia menambahkan di dalamnya,

"Sesungguhnya seseorang menjadi orang Mukmin kemudian di akhlaknya terdapat sesuatu (yang jelek), akibatnya hal tersebut mengurangi imannya”.

Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Usamah bin Syuraik yang berkata, para sahabat berkata,

"Wahai Rasulullah, apa sesuatu yang terbaik yang diberikan orang Muslim?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Akhlak yang baik”. [114])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa orang yang akhlaknya baik dengan akhlaknya yang baik itu bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan orang yang rajin qiyamul lail, agar seorang murid tidak sibuk bertakwa hanya dengan shaum dan shalat tanpa akhlak yang baik, dan agar ia tidak menduga bahwa akhlak yang baik itu membuatnya tidak mendapatkan keutamaan puasa dan shalat. Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Sesungguhnya orang Mukmin dengan akhlaknya yang baik bisa mencapai derajat-derajat orang yang berpuasa dan orang yang mengerjakan qiyamul jail". [115])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa akhlak yang baik adalah sesuatu terberat yang diletakkan di timbangan dan bahwa pemiliknya adalah manusia yang paling dicintai Allah dan tempat duduknya paling dekat dengan para nabi. Imam Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidak ada sesuatu yang diletakkan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik dan bahwa pemilik akhlak yang baik dengan akhlaknya yang baik bisa mencapai derajat pemilik puasa dan shalat". [116])

Ibnu Hibban meriwayatkan di Shahih nya [117]) hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada salah seorang dari kalian yang paling dicintai Allah dan tempat duduknya paling dekat dengan para nabi?" Para sahabat menjawab, "Mau”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian”.

Sebelumnya telah disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesuatu yang paling banyak memasukkan ke surga ialah takwa kepada Allah dan akhlak yang baik". [118])

Abu Daud meriwayatkan hadits Abu Umamah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Aku pemimpin di rumah yang ada di surga tertinggi bagi orang yang akhlaknya baik”. [119])

Hadits semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Malik oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. [120])

Ada penafsiran tentang yang dimaksud dengan akhlak yang baik dari generasi salaf. Al-Hasan berkata, "Akhlak yang baik ialah pemurah, suka berkorban, dan pemaaf”.

Asy-Sya’bi berkata, "Akhlak yang baik ialah suka berkorban, suka memberi, dan wajah yang berseri-seri”. Asy-Sya’bi seperti itu.

Ibnu Al-Mubarak berkata, "Akhlak yang baik ialah wajah yang berseri-seri, berkorban untuk sesuatu yang baik, dan bersabar terhadap gangguan”. [121])

Salam bin Abu Muthi’ pernah ditanya tentang akhlak yang baik kemudian ia melantukan syair berikut,

"Engkau lihat, jika engkau datang kepadanya,

ia orang yang wajahnya berseri-seri

Sepertinya engkau memberikan sesuatu yang engkau tanyakan

Jika ia tidak mempunyai apa-apa selain ruhnya

Ia pasti dermawan dengannya, maka hendaklah penanya bertakwa kepada Allah

Ia laut dari arah mana saja engkau kepadanya

Gelombangnya ialah pemberian dengan sesuatu yang baik

dan dermawan adalah pantainya”.

Imam Ahmad berkata, "Akhlak yang baik ialah engkau tidak marah dan tidak bicara dengan marah”.

Juga diriwayatkan dari Imam Ahmad yang berkata, "Akhlak yang baik ialah engkau bersabar terhadap apa saja yang berasal dari manusia”.

Ishaq bin Rahawih berkata, "Akhlak yang baik ialah wajah yang berseri-seri dan engkau tidak marah”. Hal yang sama dikatakan Muhammad bin Nashr.

Sebagian ulama berkata, "Akhlak yang baik ialah menahan marah karena Allah, menampakkan keceriaan dan berseri-seri kecuali kepada pelaku bid’ah dan orang berdosa, memaafkan orang-orang yang tergelincir kecuali untuk pemberian sanksi disiplin atau pemberlakuan hukuman, dan bersabar terhadap gangguan dari seluruh orang Muslim atau orang kafir yang berdamai dengan orang Muslim kecuali dalam rangka merubah kemungkaran, atau mengambil madzlamah (barang yang dirampas orang dzalim) untuk orang yang didzalimi tanpa berbuat berlebihan”.

Di Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits Muadz bin Anas Al-Juhani Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Keutamaan yang paling utama ialah engkau menyambung (persaudaraan) orang yang memutusmu, memberi orang yang tidak memberimu, dan memaafkan orang yang menghinamu”. [122])

Al-Hakim meriwayatkan hadits Uqbah bin Amir Al-Juhani Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku,

"Hai Uqbah, maukah engkau aku tunjukkan akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling baik? Engkau menyambung (persaudaraan) orang yang memutusmu, memberi orang yang tidak memberimu, dan memaafkan orang yang telah mendzalimimu”. [123])

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Maukah engkau aku tunjukkan akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling mulia? Engkau menyambung orang yang memutusmu, memberi orang yang tidak memberimu, dan memaafkan orang yang telah mendzalimimu”. [124])



[1] Hadits hasan. Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 5/153, 158, 177, 236, At-Tirmidzi hadits nomer 1987, Ad-Darimi 2/323, Al-Hakim 1/54, Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/295, 296, 297, 298 dan di Ash-Shaghir hadits nomer 530, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/336, dan Al-Qudhai di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 562.

[2] Hadits nomer 1972. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 8/23, "Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Lahiah yang merupakan perawi dhaif dan perawi lainnya adalah para perawi tepercaya”.

[3] Diriwayatkan Al-Hakim 1/54 dan 4/244. Ia menshahihkan hadits tersebut dengan disetujui Adz-Dzahabi.

[4] Hadits nomer 476. Takhrijnya secara lengkap silahkan baca buku tersebut.

[5] 5/181. Darraj dari Abu Al-Haitsam adalah perawi dhaif.

[6] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3328 dari jalur Zaid bin Habab yang berkata, Suhail bin Abdullah Al-Quthai berkata kepadaku dari Tsabit dari Anas bin Malik.

Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad 3/142, 243, Ad-Darimi 2/302-303, An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf 1/139, Ibnu Majah hadits nomer 4299, Abu Ya’la hadits nomer 3317, dan Al-Baghawi 4/420 dari banyak jalur dari Suhail dengan sanad seperti itu. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 2/508 dengan disetujui Adz-Dzahabi.

Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 8/340. Ia menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Adi, dan Ibnu Mardawih.

At-Tirmidzi berkata, "Hadits di atas hadits hasan gharib. Suhail tidak kuat di dalamnya dan ia sendirian meriwayatkannya dari Tsabit”.

Saya katakan, tentang biografi Suhail di buku At-Tahdzib, Imam Ahmad berkata, "Suhail meriwayatkan hadits-hadits munkar dari Tsabit”. Al-Bukhari berkata, "Haditsnya tidak di mutaba’ah. Para ulama mempermasalahkannya dan haditsnya tidak kuat menurut mereka”. Abu Hatim berkata, "Suhail tidak kuat. Haditsnya ditulis, namun tidak bisa dijadikan hujjah”. An-Nasai berkata, "Ia tidak kuat”.

Ibnu Mardawih meriwayatkan seperti disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur dari Abdullah bin Dinar yang berkata, aku dengar Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas berkata. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang firman Allah Ta’ala, ”Dia (Allah) Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun”. (Al-Mudatstsir: 56). Kemudian beliau bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, “Aku layak ditakwai, oleh karena itu, sekutu tidak dijadikan bersama-Ku. Jika Aku ditakwai dan sekutu tidak dijadikan bersama-Ku, Aku layak mengampuni apa saja selain itu (syirik)”.

[7] Itu yang disebutkan Ibnu Rajab, padahal yang tertulis di Al-Mustadrak 5/294, bahwa hadits tersebut mauquf. Hadits tersebut diriwayatkan Al-Hakim dari dua jalur dari Mas’ar dari Zubaid dari Murah bin Syurahbil dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu tentang firman Allah Ta’ala, "Bertakwalah kalian kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya”. (Ali Imran: 102). Ibnu Mas’ud berkata, "Allah harus ditaati tanpa dimaksiati dan diingat tanpa dilupakan”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 8503 dari jalur Yusuf bin Muhammad Al-Faryabi dari Sufyan dengan sanad seperti itu. Ia menambahkan bunyi haditsnya, "Ia disyukuri tanpa diingkari”.

[8] Kisah di atas secara lengkap ada di Al-Hilyah 8/365. Hadits Muhammad bin Maslamah diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 15/37 dan diriwayatkan Ibnu Majah darinya hadits nomer 3962 dan Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dari Tsabit atau Ali bin Zaid bin Jad’an dari Abu Burdah yang berkata, aku masuk ke tempat Muhammad bin Maslamah kemudian ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya fitnah, perpecahan, dan perselisihan akan terjadi. Jika itu telah terjadi, pergilah engkau dengan pedangmu ke Gunung Uhud kemudian pukulkan kepadanya hingga terputus kemudian duduklah di rumahmu hingga tangan yang salah atau kematian sang pemutus datang kepadamu”. Fitnah tersebut telah terjadi dan aku telah mengerjakan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam”.

Al-Bushairi berkata di Mishbahuz Zuzajati hadits nomer 247, "Sanad hadits tersebut shahih jika berasal dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit Al-Banani”.

Saya katakan, hadits di atas juga diriwayatkan Imam Ahmad 3/493 dari Yazid bin Harun dan Muammal. Keduanya meriwayatkannya dari Hammad dari Ali bin Zaid bin Jad’an dari Abu Burdah. Ali bin Zaid adalah perawi dhaif.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Muhammad bin Sa’ad di Ath-Thabagat 3/445 dari Sa’id bin Muhammad Ats-Tsaqafi dari Ismail bin Rafi’ dari Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Maslamah. Sa’id bin Muhammad adalah perawi dhaif, begitu juga Ismail bin Rafi’.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Sa’ad 3/444 dari Yazid bin Harun yang berkata, Hisyam bin Hassan berkata kepadaku dari Al-Hasan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan pedang kepada Muhammad bin Maslamah dan bersabda, "Perangi orang-orang musyrikin dengan pedang ini selagi mereka diperangi. Jika engkau lihat kaum Muslimin; sebagian dari mereka menghadapi sebagian yang lain, pergilah dengan pedang tersebut ke Uhud kemudian pukulkan kepadanya hingga engkau bisa mematahkannya. Setelah itu, duduklah di rumah hingga tangan yang salah atau kematian sang pemutus datang kepadamu”.

Saya katakan, perawi sanad hadits tersebut adalah para perawi tepercaya, hanya saja, Al-Hasan tidak pernah mendengar hadits tersebut dari Muhammad bin Maslamah. Jadi, sanad hadits tersebut terputus.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 4/225 dari Zaid bin Al-Habab yang berkata, Sahl bin Abu Ash-Shalt berkata kepadaku, aku dengar Al-Hasan berkata, "Ali bin Abu Thalib mengutus seseorang kepada Muhammad bin Maslamah kemudian Muhammad bin Maslamah didatangkan kepada Ali bin Abu Thalib. Ali bin Abu Thalib berkata kepada Muhammad bin Maslamah, “Apa yang membuatmu berpaling dari perkara ini?” Muhammad bin Maslamah berkata, “Anak pamanmu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, memberiku pedang dan bersabda, “Perangi dengan pedang ini selagi musuh diperangi. Jika engkau lihat manusia; sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain, pergilah dengan pedang tersebut ke batu kemudian pukulkan pedang tersebut kepadanya. Setelah itu, tetaplah engkau di rumahmu hingga kematian sang pemutus atau kesalahan datang kepadamu”. Ali bin Abu Thalib berkata, “Bebaskan dia”.

Saya katakan, Muhammad bin Maslamah ialah Muhammad bin Maslamah bin Khalid Al-Anshari Al-Ausi Al-Haritis Abu Abdurrahman Al-Madani, sekutu Bani Abdul Asyhal. Ia ikut hadir di Perang Badar, Uhud, dan seluruh perang lainnya bersama Rasulullah Shallalluhu Alaihi wa Sallam, kecuali Perang Tabuk. Ia salah seorang yang membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menunjuknya sebagai imam sementara di Madinah di sebagian perang beliau. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, ia diangkat Umar bin Khaththab sebagai petugas zakat di Juhainah. Ia sahabat para amil zakat pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab. Jika Umar bin Khaththab diberi laporan tentang salah satu amil zakat, ia mengutus Muhammad bin Maslamah untuk mengecek keadanya. Ia juga dikirim Umar bin Khaththab kepada para amil zakat untuk mengambil separoh harta mereka karena Umar bin Khaththab percaya kepadanya. Ia mengisolir diri dari fitnah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan. Ia wafat di Madinah pada tahun 46 atau 47 H. Ada lagi yang mengatakan tidak pada tahun tersebut. Baca Usudul Ghabah 5/112-113.

Perkataan, "Bukankah disebutkan di hadits, “Sesungguhnya itu fitnah bagi orang yang diikuti (orang panutan) dan kehinaan bagi pengikut?” adalah perkataan Umar bin Khaththab. Ad-Darimi 1/132-133 meriwayatkan dari Muhammad bin Al-Ala’ yang berkata, Ibnu Idris berkata kepadaku, aku dengar Harun bin Antarah berkata dari Sulaiman bin Handzalah yang berkata, kami datang ke tempat Ubai bin Ka’ab untuk mengobrol dengannya. Ketika ia berdiri, kami berdiri dan berjalan di belakangnya. Tapi Umar bin Khaththab berbuat tidak baik kepada kami. Umar bin Khaththab membuntuti Ubai bin Ka’ab kemudian memukulnya dengan tongkat. Ubai bin Ka’ab menjauh beberapa hasta kemudian berkata, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang engkau perbuat?" Umar bin Khaththab berkata, "Tidakkah engkau lihat fitnah bagi orang yang diikuti dan kehinaan hagi pengikut?"

[9] Penggalan dari hadits panjang yang diriwayatkan Muslim di Shahihnya hadits nomer 1731 dari hadits Buraidah Radhiyallahu Anhu.

[10] Dari Abu Umamah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 5/251 dan At-Tirmidzi hadits nomer 616. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4563.

Dari Ummu Al-Hushain Al-Ahmasiyah, hadits tersebut diriwayatkan Muslim hadits nomer (1298) (311), (312), (1838), Imam Ahmad 6/402, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1706 bahwa ia (Ummu Al-Hushain Al-Ahmasiyah) mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkhutbah di haji wada’, "Hai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah. Meskipun kalian dipimpin budak Habasyah yang jelek, hendaklah kalian mendengarnya dan taat kepadanya selagi ia menegakkan Kitabullah pada kalian”. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan shahih”. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4564.

[11] Penggalan dari hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu Anhu. Hadits tersebut akan dijelaskan kemudian, tepatnya hadits nomer kedua puluh delapan.

[12] Hadits nomer 361. Hadits tersebut dhaif. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

Penggalan hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/181 dan redaksinya ialah, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah di urusanmu yang rahasia dan urusanmu yang tidak rahasia. Jika engkau telah berbuat salah, berbuatlah baik. Engkau jangan meminta sesuatu apa pun kepada manusia, jangan memegang amanah, dan jangan memutuskan perkara dua orang”. Di sanad hadits tersebut terdapat perawi Ibnu Lahiah dan Darraj.

[13] 3/82 dari Husain bin Al-Walid Al-Qurasyi An-Nisaburi dari Ismail bin Ayyasy dari Al-Hajjaj bin Marwal Al-Kalai dan Aqil bin Mudrik As-Sulami dari Abu Sa’id Al-Khudri.

Sanad tersebut hasan. Hadits tersebut mempunyai jalur lain yang menguatkannya yang diriwayatkan Abu Ya’la hadits nomer 1000 dan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 949.

[14] Hadits nomer 2683. At-Tirmidzi berkata, "Menurutku, sanad hadits tersebut tidak bersambung dan hadits tersebut mursal, karena perawinya yaitu Sa’id bin Amr Asyu’ tidak pernah bertemu Yazid bin Salamah”.

[15] Wasiat di atas ada di Al-Mushannaf Ibnu Abu Syaibah 13/258. Juga diriwayatkan Al-Hakim dari jalurnya di Al-Mustadrak 2/383 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/35 dengan dishahihkan Al-Hakim, namun ditentang Adz-Dzahabi yang berkata, "Abdurrahman bin Ishaq Kufi adalah perawi dhaif”.

[16] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2721 dari hadits Abdullah bin Mas’ud. Di dalamnya tertulis kata Al-Afaf sebagai ganti kata Al-Iffah.

[17] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/178-179 dan Ibnu Majah hadits nomer 4220 dari dua jalur dari Kahmas bin Al-Husain yang berkata, Abu As-Salil berkata kepadaku dari Abu Dzar. Perawi sanad tersebut adalah para perawi tepercaya, namun Abu As-Salil tidak pernah bertemu Abu Dzar, jadi, sanad hadits tersebut terputus.

[18] Penggalan dari hadits shahih yang panjang diriwayatkan An-Nasai 3/54-55 dan lain-lain dari Ammar bin Yasir. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1971.

[19] Ia orang zuhud, panutan, dan tokoh orator Abu Al-Abbas Muhammad bin Shabih Al-Ajli yang wafat pada tahun 193 H. Biografinya ada di buku Siyaru A’lamin Nubala’ 8/328-330.

[20] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4687 dan Muslim hadits nomer (2763) (42).

[21] Dari Abu Hurairah, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 7507 dan Muslim hadits nomer 2758.

[22] Hadits nomer 3559 dari jalur Abu Nushairah dari mantan budak Abu Bakar. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut gharib dan sanadnya tidak kuat”. Hadits tersebut juga ada di Sunan Abu Daud hadits nomer 1514.

[23] 1/59. Al-Hakim berkata, "Hadits tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari, namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. Penshahihan Al-Hakim terhadap hadits di atas disetujui Adz-Dzahabi, padahal di sanadnya terdapat perawi Abdullah bin Shalih yang merupakan penulis Al-Laits dan ada sesuatu mengenai hapalannya.

[24] Seperti terlihat di Majmauz Zawaid 10/200. Di sanadnya terdapat perawi Nuh bin Dzakwan yang merupakan perawi dhaif.

[25] Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3249 dari Muhammad bin Al-Mutsanna yang berkata, Umar bin Abu Khalifah berkata kepadaku, aku dengar Abu Badr (alias Basyar bin Al-Hakam Adh-Dhabi) berkata dari Tsabit dari Anas bin Malik. Para perawi hadits tersebut adalah para perawi tepercaya, hanya saja tentang Abu Badr, Abu Zur’ah berkata, “Haditsnya munkar”. Ibnu Hibban berkata, "Ia sendirian meriwayatkan banyak sekali hadits dari Tsabit padahal hadits-hadits tersebut tidak berasal darinya”. Ibnu Adi berkata, "Aku berharap ia tidak ada masalah”.

[26] Hadits nomer 4250. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10281, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/210, dan Asy-Syihab Al-Qudhai di Musnad-nya hadits nomer 108 dari jalur Abdul Karim Al-Jazri dari Abu Ubaidah dari Ibnu Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Perawi sanad hadits tersebut adalah perawi tepercaya, namun sanadnya terputus, karena Abu Ubaidah tidak mendengar hadits tersebut langsung dari ayahnya.

Hadist tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq seperti terlihat di Muudhihu Auhaamil Jam’i karangan Al-Khathib 1/257 dari Ma’mar dari Abdul Karim Al-Jazri dari Ziyad bin Abu Maryam dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Hadits di atas dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dengan hadits-hadits penguatnya seperti dinukil darinya oleh As-Sakhawi di Al-Maqashid Al-Hasanah hal. 152.

[27] Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad 1/80 dan Abu Ya’la hadits nomer 483 dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dengan redaksi, "Sesungguhnya Allah menyukai hamba Mukmin yang banyak diuji (dengan dosa) dan banyak bertaubat”. Sanad hadits tersebut sangat dhaif.

[28] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 179. Di sanad hadits tersebut terdapat perawi Sa’id bin Khalid Al-Khuzai yang merupakan perawi dhaif namun para perawi lainnya adalah para perawi tepercaya.

[29] 2/165. Sanad hadits tersebut shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 380, Abdu bin Humaid di Al-Muntakhab hadits nomer 320, dan Al-Khathib di Tarikhu Baghdad 8/265-266.

[30] Ibnu Al-Atsir berkata, "Al-Aqmaa’ ialah jamak dari kata qam’u yaitu corong yang diletakkan di mulut bejana untuk mengisinya dengan cairan; air atau minyak. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan telinga orang-orang yang mendengar perkataan tanpa memahaminya, menghapalkannya, dan mengamalkannya dengan aqmaa’ (corong) yang tidak dapat menampung apa saja yang masuk melalui dirinya. Sepertinya perkataan berjalan di atas telinga tersebut secara kiasan sebagaimana minuman masuk ke corong secara kiasan”. Az-Zamakhsyari berkata di Asasul Balaghah, "Ada yang berkata, ‘Kalian tidak mempunyai telinga, namun memiliki corong”.

[31] Ia adalah Muhammad bin Jubair bin Muth’im bin Adi bin Naufal An-Naufali. Namanya disebutkan Ibnu Sa’ad 5/205 di peringkat kedua di antara para tabi’in Madinah. Ia orang tepercaya dan pakar nasab. Ia wafat pada tahun 100 H. Haditsnya diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan para penyusun Sunan.

[32] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari hadits nomer 7852. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 2/326. Ia berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq dan Abdu bin Humaid.

[33] Disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 2/326. Ia berkata bahwa hadits ter sebut diriwayatkan Ibnu Al-Mundzir.

[34] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari hadits nomer 1783. Abu Ja’far Ar-Razi adalah perawi yang hapalannya jelek dan hadits tersebut mursal. Abu Al-Aliyah yang nama aslinya Rafi’ bin Mihran Ar-Riyahi termasuk tabi’in terkemuka dan orang tepercaya, hanya saja banyak sekali haditsnya yang mursal.

[35] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4141, 4750, Muslim hadits nomer 2770, dan Imam Ahmad 6/196.

[36] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari hadits nomer 1655. Riwayat Ali bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas adalah mursal, karena ia tidak pernah melihat Ibnu Abbas.

[37] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/244, At-Tirmidzi hadits nomer 3113. dan Ath-Thabari hadits nomer 18678, 18682 dari duajalur dari Abdul Malik bin Umair dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Muadz bin Jabal. At-Tirmidzi berkata, "Sanad hadits di atas terputus”. Abdurrahman bin Abu Laila tidak mendengar hadits tersebut dari Muadz bin Jabal, karena Muadz bin Jabal meninggal pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab dan ketika Umar bin Khaththab dibunuh, Abdurrahman bin Abu Abu Laila masih kecil berusia enam tahun. Abdurrahman bin Abu Laila meriwayatkan hadits dari Umar bin Khaththab.

[38] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/10, 2, Ibnu Abu Syaibah 2/387, Abu Daud hadits nomer 1520, At-Tirmidzi hadits nomer 3006, An-Nasai di Amalul Yaum wal Lailah hadits nomer 414, 417, Ibnu Majah hadits nomer 1395, dan Abu Bakr Al-Marwazi di Musnad Abu Bakar hadits nomer 9 dan 10. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 623.

[39] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 159, 164 dan Muslim hadits nomer 227.

[40] 6/443 dan 450. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Kitabud Du’a hadits nomer 1848. Hadits tersebut hasan.

[41] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6823 dan Muslim hadits nomer 2764. Tentang ucapan orang tersebut, "Sungguh aku telah berbuat maksiat, " An-Nawawi berkata, "Maksiat yang dimaksud ialah maksiat yang mengharuskan pelakunya terkena hukuman. Maksiat tersebut ialah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil tersebut bisa dihapus dengan shalat Jika maksiat tersebut adalah dosa besar yang mengharuskan pelakunya dikenakan had (hukuman) atau tidak mengharuskan pelakunya dikenakan had (hukuman), maka dosa besar tersebut tidak bisa hilang dengan shalat”.

[42] Hadits nomer 2765.

[43] Hadits nomer 18681. Sanad hadits tersebut dhaif.

[44] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 528 dan Muslim hadits nomer 667.

[45] Hadits nomer 245.

[46] Hadits nomer 251.

[47] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1901, 2008, 2014 dan Muslim hadits nomer 759.

[48] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1819, 1820 dan Muslim hadits nomer 1350.

[49] Hadits nomer 121.

[50] Hadits nomer 1162.

[51] 4/145. Sanad hadits tersebut hasan, karena perawinya, Ibnu Lahiah, meriwayatkannya dari Abdullah bin Al-Mubarak.

[52] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6405 dan Muslim hadits nomer 2692.

[53] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3293, 6403 dan Muslim hadits nomer 2191.

[54] Diriwayatkan Imam Ahmad 6/425. Di sanadnya terdapat perawi Abu Ma’syar Al-Madani yang merupakan perawi dhaif dan perawi Shalih mantan budak Wajzah yang tidak diketahui identitasnya. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 3797 dan di sanadnya terdapat perawi Zakaria bin Mandzur yang merupakan perawi dhaif

[55] Hadits nomer 3533 dari Muhammad bin Humaid dari Al-Fadhl bin Musa dari Al-A’masy dari Anas bin Malik. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut gharib. Saya tidak mengetahui Al-A’masy mendengar hadits di atas dari Anas bin Malik”.

[56] Di Musnadnya 3/152.

[57] Kelanjutannya seperti terlihat di Al-Hilyah 3/313, Abu Hizan berkata dari Atha’, "Apa majlis dzikir?’ Majlis dzikir ialah majlis halal-haram, bagaimana Anda shalat, berpuasa, menikah, mencerai, menjual, dan membeli”.

[58] Ia adalah Syuwai bin Jayyasy Al-‘Adawi Abu Ar-Raqqad Al-Bashri. Ia meriwayatkan hadits dari Utbah bin Ghazwan dan Umar bin Khaththab. Banyak sekali perawi yang meriwayatkan hadits darinya. Namanya disebutkan Ibnu Hibban di Ats-Tsiqaat. At-Tirmidzi di Asy-Syamail, meriwayatkan satu hadits darinya. Perkataannya tersebut disebutkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/255.

[59] Hadits nomer 3451 dan di sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Ismail bin Ayyasy yang mendapatkan hadits dari ayahnya tanpa pernah mendengarnya. Ayahnya dipermasalahkan.

[60] Di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 99.

[61] Hadits nomer 228.

[62] Al-Musnad 5/439. Para perawinya adalah para perawi tepercaya.

[63] Diriwayatkan An-Nasai 5/8 dan Al-Hakim 1/200, 2/240. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1748.

[64] Diriwayatkan An-Nasai 7/88 dan Imam Ahmad 5/413. Sanad hadits tersebut hasan.

[65] Di Al-Mustadrak 1/59 dan 4/259. Di sanadnya terdapat perawi Abdul Hamid bin Sinan yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh selain Ibnu Hibban. Al-Uqaili meriwayatkan perkataan Al-Bukhari, "Di haditsnya terdapat catatan”.

[66] Hadits dhaif yang diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 8/213 dari Al-Hasan dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang apa yang beliau sabdakan dari Allah Azza wa Jalla, "Hai anak keturunan Adam, ingatlah kepada-Ku sesaat setelah Shubuh dan setelah Ashar, niscaya Aku melindungimu di antara waktu keduanya”.

Di sanadnya terdapat perawi dhaif dan perawi tidak dikenal.

[67] Baca Ta’dzimu Qadrish Shalat, Al-Marwazi 1/224.

[68] Diriwayatkan Abdurrazzaq di Al-Mushannaf hadits nomer 148, 4737 dan Ath-Thabrani dari jalurnya hadits nomer 6051.

[69] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 18 dan Muslim hadits nomer 1709.

[70] Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5641, 5642, Muslim hadits nomer 2573, 2574, At-Tirmidzi hadits nomer 966, dan Imam Ahmad 2/303, 335, 3/18-19, 48. Hadits di atas dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2905.

[71] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/99, 159, At-Tirmidzi hadits nomer 2626, dan Ibnu Majah hadits nomer 2604 dari Ali bin Abu Thalib dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa mengerjakan maksiat kemudian hukuman disegerakan kepadanya di dunia, maka Allah lebih adil dari memalingkan hukuman dari hamba-Nya di akhirat. Barangsiapa mengerjakan maksiat kemudian Allah merahasiakan maksiat tersebut baginya dan memaafkannya, maka Allah lebih mulia dari kembali kepada sesuatu yang telah Dia maafkan”.

At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan gharib dan dishahihkan Al-Hakim menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim 1/7, 2/445, 4/262, dengan disetujui Adz-Dzahabi.

Dalam masalah ini, ada hadits dari Abu Tamimah Al-Hajimi dengan redaksi, “Sesungguhnya jika Allah Azza wa Jalla menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Dia mempercepat hukuman atas dosanya di dunia. Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala lebih mulia dari menyiksa atas dosa hingga dua kali”. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 6/265-266, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath”. Di sanadnya terdapat perawi Hisyam bin Lahiq yang haditsnya ditinggalkan (tidak dipakai) Imam Ahmad”. Adz-Dzahabi berkata, "Hadits tersebut dianggap kuat oleh An-Nasai. Dan dilemahkan oleh Ibnu Hibban”.

Juga hadits dari Khuzaimah bin Tsabit yang diriwayatkan Imam Ahmad 5/214-215 dan redaksinya, "Barangsiapa mengerjakan dosa kemudian had (hukuman syar’i) atas dosa tersebut dijatuhkan kepadanya, maka itu adalah kafaratnya”. Sanad hadits ini hasan seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari.

[72] Ia adalah Syaikh dan Imam Fakhruddin Abu Abdullah alias Muhammad bin Abu Al-Qasim Al-Khidhr bin Muhammad bin Taimiyah Al-Harani. Buku tafsirnya belum diterbitkan dan terdiri dari beberapa jilid. Ia wafat pada tahun 622 H. Biografinya baca di buku Siyaru A’lamin Nubala’ 22/288-290.

[73] Diriwayatkan Al-Hakim 1/36, 2/14, 450 dan ia menshahihkannya menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga dishahihkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari 1/66 menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim. Baca komentar Al-Hafidz Ibnu Hajar di buku tersebut.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Baihaqi 8/329 dan Al-Bazzar hadits nomer 1542, 1543 dengan sanad shahih.

[74] Di At-Tarikh Al-Kabir 1/153.

[75] Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 264, An-Nasai 1/153, At-Tirmidzi hadits nomer 136. 137, Ibnu Majah hadits nomer 640, Imam Ahmad 1/230, Ad-Darimi 1/254, Ibnu Al-Jarud di Al-Muntaqa hadits nomer 108, dan Ad-Daruquthni di Sunnn-nya 3/287 dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda tentang orang yang menggauli istrinya yang sedang haid, "Ia bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya”. Sanad hadits tersebut shahih dan dishahihkan Al-Hakim 1/171-172 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga dishahihkan Ibnu Al-Qath-Than, Ibnu Daqiq Al-Id, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di At-Talkhishul Habir 1/165-166. Ada penjelasan tentang hadits tersebut dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 265, "Jika orang tersebut menggauli istrinya yang sedang haid pada saat darah pertama kali keluar, ia bersedekah satu dinar. Jika menggaulinya pada saat darah haid terhenti, ia bersedekah setengah dinar”.

[76] Sumpah ghamus ialah seseorang bersumpah dan ia tahu bahwa ia bohong untuk merampas harta orang lain. Sumpah tersebut dinamakan sumpah ghamus karena menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa kemudian ke neraka.

[77] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/490-491, 4/107 dan Abu Daud hadits nomer 3964. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4307.

[78] Hadits nomer 1657.

[79] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 525, 1435, 1895, 3586, 7096 dan Muslim hadits nomer 144. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5966. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[80] Di semua referensi tertulis Al-Irbadh bin Sariyah. Jadi, penulisan An-Nawwas bin Sam’an adalah kesalahan tulis dari Ibnu Rajab.

[81] Diriwayatkan Imam Ahmad 2/13-14, At-Tirmidzi hadits nomer 1905, Ibnu Hibban hadits nomer 435, dan Al-Hakim 4/155.

[82] Diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 4. Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim. Teksnya ialah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa seseorang datang kepadanya kemudian berkata, "Aku telah melamar seorang wanita, namun ia menolak menikah denganku kemudian wanita tersebut dilamar orang lain dan ia mau menikah dengannya, lalu aku menyerang dan membunuh wanita tersebut, adakah taubat bagiku?" Ibnu Abbas berkata, "Apakah ibumu masih hidup?" Orang tersebut menjawab, "Tidak”. Ibnu Abbas berkata, "Bertaubatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan mendekatlah kepada-Nya semampumu”. Aku (perawi) berkata, "Kenapa engkau bertanya kepada orang tersebut apakah ibunya masih hidup?" Ibnu Abbas menjawab, "Aku tidak tahu ada perbuatan yang lebih dekat kepada Allah Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu”.

[83] Di Al-Mustadrak 4/155-156. Al-Hakim menshahihkan hadits tersebut dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan Ibnu Katsir di Tafsirnya 1/204 dari jalur Ibnu Abu Hatim dan ia menganggap baik sanadnya.

[84] Ath-Thabrani di Al-Ausath, Ibnu Adi di Al-Kamil 5/1846, dan Ibnu Hibban di Al-Majruhin 2/104 dari jalur Ali bin Abu Sarah dari Tsabit dari Anas bin Malik yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa memikul keempat tiang ranjang (jenazah) karena iman dan menyimpan pahala di sisi Allah, maka Allah menghapus empat puluh dosa besar darinya”.

Ibnu Hibban berkata, "Dari Tsabit Al-Banani, Ali bin Abu Sarah meriwayatkan hadits darinya yang tidak mirip dengan hadits Tsabit hingga bisa disimpulkan bahwa seluruh riwayatnya dari orang-orang terkenal adalah munkar, jadi, ia patut tidak dijadikan hujjah”.

Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 3/26 dari riwayat Ath-Thabrani dan ia berkata, "Di sanadnya terdapat Ali bin Abu Sarah yang merupakan perawi dhaif”.

[85] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/263.

[86] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6308. Perkataan tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 1/383, At-Tirmidzi hadits nomer 2497, dan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 68, 69.

[87] Ad-Daruquthni di Sunannya 3/52 dan Al-Baihaqi 5/330 meriwayatkan dari jalur Ma’mar bin Rasyid dari Abu Ishaq As-Sabi’i dari istrinya, Al-Aliyah, yang berkata bahwa ia masuk ke tempat Aisyah bersama anak Ummu Zaid bin Arqam Al-Anshari dan wanita lain.

Ummu Zaid bin Arqam berkata, "Wahai Ummul Mukminin, aku jual budak kepada Zaid bin Arqam seharga 800 dirham dengan pembayaran tunda kemudian aku membelinya lagi darinya seharga 600 dirham secara kontan”. Aisyah berkata kepada Al-Aliyah, "Sungguh jelek apa yang engkau beli dan jual. Sesungguhnya jihadnya Zaid bin Arqam bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi batal, kecuali jika ia bertaubat”.

Ad-Daruquthni berkata, "Al-Aliyah tidak dikenal”. Namun ini ditentang Ibnu At-Turkimani, "Al-Aliyah dikenal. Suami dan anaknya meriwayatkan hadits darinya, padahal keduanya (suami dan anaknya) adalah imam”. Al-Aliyah disebutkan Ibnu Hibban di Ats-Tsiqaat. Hadits Al-Aliyah dijadikan hujjah oleh Ats-Tsauri, Al-Auzai, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Imam Malik, Ibnu Hanbal, dan Al-Hasan bin Shalih.

[88] Hadits nomer 105. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 3023. Di sanadnya terdapat perawi Laits bin Abu Sulaim yang merupakan perawi dhaif.

[89] Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3456 dan Al-Hakim 4/252. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari di Tarikhnya 7/113. Di sanadnya terdapat Al-Ghathrif bin Ubaidillah Abu Harun Al-Ommani yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh selain Ibnu Hibban.

[90] Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dari Abu Zur’ah yang berkata, Yahya bin Abdullah bin Bakir berkata kepadaku dari Ibnu Luhaiah seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 8/484-485. Ibnu Luhaiah hapalannya jelek.

[91] Dari Abu Hurairah, hadits di atas diriwayatkan Imam Malik 1/176 dan Muslim hadits nomer 251. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1038.

[92] Diriwayatkan Imam Malik 1/209, Al-Bukhari hadits nomer 3292, 6403, Muslim hadits nomer 2691, Imam Ahmad 2/302, 375, At-Tirmidzi hadits nomer 3468, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 25, dan Ibnu Majah hadits nomer 3798. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 849.

[93] Penggalan hadits panjang yang diriwayatkan Imam Ahmad 5/243 dan At-Tirmidzi hadits nomer 3235 dari jalur Abdurrahman bin Aisyah dari Malik bin Yukhamir dari Muadz bin Jabal. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan shahih. Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Ismail tentang hadits tersebut kemudian ia menjawab, “Hadits tersebut hasan shahih”.

[94] Penggalan dari hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/252, Al-Bukhari hadits nomer 477, Muslim hadits nomer 649, Abu Daud hadits nomer 559, At-Tirmidzi hadits nomer 603, dan Ibnu Majah hadits nomer 281. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2043. Takhrijnya secara lengkap silahkan baca buku tersebut.

[95] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/400 dan Muslim hadits nomer 233. Baca Shahih Ibnu Hibban hadits nomer 1733.

[96] Dari Fadhalah bin Ubaid dari Umar bin Khaththab, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 1/23 dan At-Tirmidzi hadits nomer 1644.

[97] Di Al-Hilyah 4/195.

[98] Dari Aisyah, hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad 6/47, Al-Bukhari hadits nomer 103, Muslim hadits nomer 2876, Abu Daud hadits nomer 3093, dan At-Tirmidzi haidts nomer 3337. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 7369 dan 7370.

[99] Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 923. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Katsir 2/245 dari jalur yang sama. Ibnu Katsir berkata, "Sanad hadits tersebut hasan dan isinya juga hasan. Kendati hadits tersebut diriwayatkan dari Al-Hasan dari Umar dan sanadnya terputus, tapi hadits seperti itu terkenal, jadi keterkenalannya itu sudah cukup dijadikan penguat.

[100] Diriwayatkan Ath-Thabari hadits nomer 9231 dan sanadnya shahih. Al-Haitsami di Kasyful Astaar hadits nomer 2200 menyebutkan hadits mauquf dari Al-Bazzar. Di sanadnya perawi Al-Jild bin Ayyub yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 2/145. Ia berkata bahwa hadits di atas juga diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah dan Abdu bin Humaid secara marfu’ menurut Al-Bazzar.

[101] Imam Ahmad 2/276, Al-Bukhari hadits nomer 6612, dan Muslim hadits nomer 2657 meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata, "Aku tidak pernah melihat sesuatu yang sangat mirip dengan al-lamam daripada apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Bagian terhadap zina ditetapkan kepada anak keturunan Adam, jadi, ia akan mendapatkannya dan tidak bisa tidak”. Zina dua mata ialah melihat orang-orang yang bukan mahram, zina lisan ialah bicara, zina jiwa ialah berharap dan menginginkan, sedang kemaluan membenarkan itu semua atau tidak membenarkannya”.

Saya katakan, Ibnu Abbas menafsirkan Al-Lamam sesuai dengan apa yang ada di hadits tersebut, misalnya melihat, menyentuh, dan lain-lain. An-Nawawi berkata, "Al-Lamam itu persis seperti yang dikatakan Ibnu Abbas di hadits tersebut”. Itulah penafsiran yang benar tentang Al-Lamam.

Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/65 meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Abdul A’la yang berkata, Muhammad bin Tsaur berkata kepadaku dari Ma’mar dari Al-A’masy dari Abu Adh-Dhuha bahwa Ibnu Mas’ud berkata, "Zina dua mata ialah melihat orang-orang yang bukan mahram, zina dua bibir ialah mencium, zina dua tangan ialah bergerak, dan zina dua kaki ialah berjalan, sedang kemaluan membenarkan itu semua atau tidak membenarkannya. Jika orang yang bersangkutan melakukan itu semua dengan kemaluannya, ia pezina. Jika tidak, ia telah melakukan al-lamam”.

Saya katakan, perkataan yang sama diucapkan Masruq dan Asy-Sya’bi.

Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/66 meriwayatkan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah bahwa ia ditanya tentang tirman Allah Ta’ala, "Selain dari kesalahan-kesalahan kecil", (An-Najm: 32) kemudian ia berkata, "Al-Lamam ialah mencium, melirik, melihat, dan hubungan seksual. Jika kemaluan laki-laki menyentuh kemaluan perempuan, mandi menjadi wajib dan pelakunya berzina”.

[102] Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/68 dari jalur Muhammad bin Ja’far dan juga diriwayatkan Ibnu Abu Adi. Keduanya meriwayatkan hadits tersebut dari Syu’bah dari Al-Hakam dan Qatadah dari Ibnu Abbas. Al-Hakam dan Qatadah tidak berkata terus terang mendapatkan hadits tersebut dari Ibnu Abbas, jadi, keduanya tertuduh sebagai perawi mudallis.

[103] Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan 7/66 dan dishahihkan Al-Hakim 2/469 menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/656. Ia berkata bahwa hadits di atas juga diriwayatkan Sa’id bin Mantsur, Ibnu Mardawih, Ibnu Al-Mundzir, dan Al-Baihaqi di Syu’abul Iman.

[104] Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/66-67 dari jalur Al-Hasan dari Abu Hurairah. Al-Hasan adalah mudallis dan meriwayatkan hadits tersebut secara mu’an’an (dengan menggunakan kata ‘dari’ dalam sanadnya). Ucapan tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/656. Ia berkata bahwa hadits di atas juga diriwayatkan Ibnu Abu Hatim, Ibnu Mardawih, dan Al-Baihaqi di Syu’abul Iman.

[105] Diriwayatkan Al-Qudha’i di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 853 dan Al-Dailami di Musnad Al-Firdaus hadits nomer 7944 dari jalur Abu Syaibah Al-Khurasani dari Ibnu Abu Malikah dari Ibnu Abbas yang mengatakannya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tentang Abu Syaibah Al-Khurasani, Al-Bukhari berkata seperti dinukil Al-Manawi darinya, "Haditsnya tidak disetujui”. Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan 4/537, "Ia meriwayatkan hadits munkar", termasuk hadits tersebut. As-Sakhawi berkata di Al-Maqashid Al-Hasanah hal. 467, "Hadits tersebut diriwayatkan Abu As-Syaikh, Ad-Dailami, dan Al-Askari di Al-Amtsaal dari Ibnu Abbas secara marfu’ dengan sanad dhaif”. Hadits semakna, yaitu hadits mauquf yang diriwayatkan Ibnu Al-Mundzir di Tafsirnya dan Al-Baihaqi di Syu’abul Iman. Hadits tersebut mempunyai penguat dari riwayat Al-Baghawi dan Ad-Dailami dari Anas bin Malik secara marfu’. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ishaq bin Bisyr Abu Hudzaifah di Al-Mubtada’ dari Aisyah. Hadits Ishaq adalah munkar. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Musnad Asy-Syammiyyin dari Abu Hurairah dan di sanadnya terdapat perawi Bisyr bin Ubaid Ad-Darimi yang tidak bisa dijadikan hujjah.

[106] As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/357 berkata bahwa riwayat tersebut diriwayatkan Sa’id bin Manshur, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abu Hatim.

[107] Perkataan di atas disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/358 dari perkataan An-Nakhai. As-Suyuthi berkata bahwa perkataan tersebut juga diriwayatkan Abdu bin Humaid.

[108] Baca Al-Hilyah 2/340.

[109] Diriwayatkan Imam Malik di Al-Muwaththa’ 1/161 dan Muslim hadits nomer 251 dari Abu Hurairah.

[110] Al-Bukhari hadits nomer 4685 dan Muslim hadits nomer 2768 meriwayatkan dari Shafwan bin Mihraj yang berkata bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Umar, "Apa yang engkau dengar dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tentang bisik-bisik?" Ibnu Umar berkata "Aku dengar beliau bersabda, ‘Pada Hari Kiamat, seorang Mukmin didekatkan kepada Allah Azza wa Jalla hingga Allah memberikan naungan-Nya kepadanya dan membuatnya mengakui dosa-dosanya. Allah berfirman, “Tahukah engkau?” Orang Mukmin tersebut berkata, “Aku tahu, wahai Tuhanku.” Allah berfirman, ‘Sungguh Aku merahasiakan dosa-dosamu di dunia bagimu dan sekarang Aku mengampuninya untukmu”. Kemudian buku catatan kebaikan diberikan kepada orang Mukmin tersebut. Sedang orang-orang kafir dan orang-orang munafik, Allah memanggil mereka di hadapan seluruh manusia, “Mereka itulah orang-orang yang berdusta terhadap Allah”.

[111] Diriwayatkan Al-Husain Al-Marwazi di tambahan-tambahan Az-Zuhdu karangan Ibnu Al-Mubarak hadits nomer 1415 dan Ibnu Abu Hatim seperti dinukil darinya oleh Ibnu Katsir 8/241 dari jalur Yazid bin Harun yang berkata, Ashim Al-Ahwal berkata kepadaku dari Abu Utsman An-Nahdi yang berkata seperti di atas. Sanadnya shahih dan para perawinya adalah para perawi Al-Bukhari dan Muslim. Nama lengkap Abu Utsman An-Nahdi ialah Abdurrahman bin Mall. Ia perawi tepercaya, hapalannya kuat, hidup pada masa jahiliyah, dan masuk Islam pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam namun tidak bertemu beliau. Ia wafat pada tahun 95 H. Ada yang mengatakan setelah tahun tersebut dalam usia 130 tahun.

[112] Diriwayatkan Imam Ahmad 2/72, 250, Abu Daud hadits nomer 4682, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1162. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 479 dan 4176.

[113] Di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 454. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Luhaiah yang hapalannya jelek.

[114] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/278, An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf l/62, dan Ibnu Majah hadits nomer 3436. Namun hadits tersebut tidak ada di Sunan Abu Daud. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 478, 486.

[115] Diriwayatkan Imam Ahmad 6/94 dan Abu Daud hadits nomer 4798. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 480. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[116] Diriwayatkan Imam Ahmad 6/442, 446, 448, Abu Daud hadits nomer 4799, dan At-Tirmidzi hadits nomer 2002, 2003. At-Tirmidzi berkata, "Hadits di atas hadits hasan shahih”. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 481.

[117] Hadits nomer 485, dan sanadnya hasan.

[118] Telah ditakhrij sebelumnya.

[119] Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4800 dan sanadnya hasan. Hadits tersebut diperkuat hadits Muadz bin Jabal yang diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 217 dan di Ash-Shagir hadits nomer 805, serta hadits lain dari Anas bin Malik yang akan disebutkan sesudah hadits di atas.

[120] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 1993 dan Ibnu Majah hadits nomer 51. Di sanadnya terdapat perawi Salamah bin Wardan yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut dianggap hasan oleh At-Tirmidzi dengan diperkuat hadits sebelumnya.

[121] Diriwayatkan Al-Marwazi di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 875.

[122] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/438 dan Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/413. Di sanadnya terdapat perawi Zaban bin Faid dan Ibnu Luhaiah yang keduanya merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani 20/414 dan di sanadnya terdapat perawi Rusydin bin Sa’ad yang juga merupakan perawi dhaif.

[123] Hadits hasan diriwayatkan Al-Hakim 4/161-162 dan Imam Ahmad 4/148, 158. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/188. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Ath-Thabrani. Perawi salah satu sanad Imam Ahmad adalah para perawi tepercaya”.

[124] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/188-189. la berkata, "Di sanadnya terdapat Al-Harits (Al-A’war) yang merupakan perawi dhaif”.

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah