الْحَدِيثُ
الثَّامِنَ عَشَرَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ:
حَدِيثٌ حَسَنٌ، وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ: حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bertakwalah
kepada Allah di mana saja engkau berada, ikutilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut
menghapus kesalahan tersebut, dan
pergauli manusia dengan akhlak yang baik”. (Diriwayatkan At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits tersebut hasan”. Di
sebagian buku, hadits tersebut dikatakan hasan shahih). [1]
Hadits bab di atas diriwayatkan
At-Tirmidzi dari riwayat Sufyan Ats-Tsauri dari Habib bin Abu Tsabit dari
Maimun bin Abu Syabib dari Abu Dzar. At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits di atas
dengan sanad seperti itu dari Maimun dari Muadz. At-Tirmidzi menyebutkan dari syaikhnya, Mahmud bin
Ghailan, yang berkata, "Hadits Abu Dzar adalah hadits yang paling shahih”.
Sanad hadits di atas diperdebatkan.
At-Tirmidzi menganggap hasan hadits
di atas. Sedang penganggapan hadits tersebut shahih olehnya di sebagian
tulisan adalah mustahil. Namun Al-Hakim juga meriwayatkan hadits di atas dan
berkata, "Hadits tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”.
Al-Hakim tidak benar karena dua alasan;
1.
Maimun adalah anak Abu Syabib.
2.
Maimun bin Abu Syabib tidak benar
mendengar hadits dari salah seorang sahabat Rasulullah Shallalllahu
Alaihi wa Sallam. Al-Falas berkata, "Di antara riwayat-riwayat
Maimun bin Abu Syabib dari sahabat tidak ada satu pun yang
menggunakan kata sami’tu (aku dengar) dan aku tidak tahu orang mengatakan bahwa ia
mendengar dari sahabat-sahabat Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam”. Abu Hatim Ar-Razi berkata, "Riwayat Maimun
bin Abu Syabib dari Abu Dzar dan Aisyah terputus”. Abu Daud berkata,
"Maimun bin Abu Syabib tidak pernah
bertemu Aisyah dan tidak pernah melihat Ali bin Abu Thalib”. Oleh karena itu, tentunya Maimun bin Abu Syabib tidak pernah bertemu Muadz bin Jabal.
Al-Bukhari, syaikhnya yang bernama
Ali bin Al-Madini, Abu Zur’ah, Abu Hatim, dan lain-lain, berpendapat
bahwa hadits tidak shahih kecuali dengan adanya pertemuan antar perawi. Perkataan
Imam Ahmad menunjukkan hal yang sama. Ini juga dikatakan Imam Syafi’i di
bukunya Ar-Risalah. Ini semua bertentangan dengan pendapat
Muslim.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bahwa beliau mewasiatkan hal di atas kepada Muadz
bin Jabal dan Abu Dzar dari banyak jalur. Al-Bazzar [2])
meriwayatkan hadits dari Abu Luhaiah dari Abu Az-Zubair dari Abu Ath-Thufail dari Muadz bin Jabal bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam mengirimnya ke
salah satu kaum kemudian ia berkata, "Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tebarkan salam, berikan makanan, dan malulah kepada Allah seperti malu kepada seseorang yang
berwibawa di antara keluargamu. Jika engkau berbuat salah, hendaklah
engkau berbuat baik dan perbaiki akhlakmu
semampumu”.
Ath-Thabrani dan Al-Hakim
meriwayatkan hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash bahwa Muadz bin Jabal hendak
bepergian kemudian berkata, "Wahai Rasalullah, berilah aku wasiat”. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Sembahlah Allah dan jangan
menyekutukannya dengan sesuatu apa pun”. Muadz bin Jabal
berkata, "Wahai Rasulullah, tambahilah”. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika engkau berbuat salah, maka berbuat
baiklah”. Muadz bin Jabal berkata, "Wahai Rasulullah, tambahilah”. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Istiqamahlah dan perbaiki akhlakmu”. [3])
Imam Ahmad [4])
meriwayatkan hadits dari Darraj dari Abu Al-Haitsam dari Abu
Dzar Radhiyallahu
Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya,
“Aku berwasiat
kepadamu, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah
dalam urusanmu yang rahasia dan yang
tidak rahasia. jika engkau telah berbuat salah, hendaklah
engkau berbuat baik. Engkau jangan sekali-kali meminta sesuatu
kepada manusia kendati cambukmu jatuh. Engkau jangan memegang amanah dan
jangan memutuskan perkara dua orang”.
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari jalur lain dari Abu
Dzar yang berkata, aku berkata,
"Wahai Rasulullah, ajarilah
aku perbuatan
yang mendekatkanku ke surga dan
menjauhkanku dari neraka”. Nabi
Shallallahu Alailu wa Sallam bersabda, “jika
engkau telah mengerjakan kesalahan,
maka kerjakan kebaikan, karena kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang sama dengannya”. Aku berkata, "Wahai
Rasulullah, apakah ucapan ‘laa ilaaha illallah’ (tidak ada tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah) juga termasuk
kebaikan?" Nabi Shallalahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Itu
termasuk kebaikan yang paling baik”.
Ibnu Abdul Barr meriwayatkan di At-Tamhid
dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Anas bin
Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
mengirim Muadz bin Jabal ke
Yaman kemudian beliau bersabda, “Hai
Muadz, bertakwalah engkau kepada Allah dan pergauli manusia dengan akhlak
yang baik. Jika engkau telah berbuat salah,
lanjutkan dengan kebaikan". Muadz bin
Jabal berkata, aku berkata,
"Wahai Rasulullah, apakah ‘laa
ilaaha illallah’ (tidak ada tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah)
juga termasuk kebaikan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Itu termasuk kebaikan yang paling besar”. Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan lain-lain dalam
hadits panjang yang di dalamnya terdapat
kelemahan.
Termasuk dalam makna ini ialah
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang pernah ditanya,
"Apa yang paling banyak
memasukkan manusia ke surga?" Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Bertakwa
kepada Allah dan akhlak yang baik". Hadits di atas diriwayatkan
Imam Ahmad, Ibnu Majah, At-Tirmidzi yang juga
menshahihkannya, dan Ibnu Hibban di Shahihnya. [5])
Wasiat hadits bab di atas adalah wasiat agung yang menghimpun hak-hak Allah dengan hak-hak manusia. Hak Allah kepada
hamba-hamba-Nya ialah mereka bertakwa
kepada-Nya dengan takwa yang sebenarnya. Takwa adalah wasiat Allah kepada manusia generasi pertama hingga terakhir.
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan sungguh Kami telah
mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan kepadamu; bertakwalah kepada Allah”. (An-Nisa’: 131).
Inti takwa ialah seorang hamba meletakkan pelindung di
antara dirinya dengan sesuatu yang ia takutkan dan khawatirkan. Jadi, takwa
seseorang kepada Tuhannya ialah ia
meletakkan antara dirinya dengan apa yang ia takutkan kepada Tuhannya, yaitu kemarahan dan hukuman-Nya, sebuah
pelindung yang melindungi dirinya
dari itu semua. Pelindung tersebut ialah mengerjakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Terkadang takwa disatukan dengan
nama Allah Azza wa Jalla, misalnya firman Allah Ta’ala,
"Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah
kalian akan dikumpulkan”. (Al-Maidah:
96).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (Al-Hasyr:
18).
Jika takwa disatukan dengan nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka maknanya ialah takutlah kepada
kemurkaan dan kemarahan-Nya, karena itu pelindung terbesar.
Hukuman Allah di dunia dan akhirat terjadi karena kemurkaan dan kemarahan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan Allah memperingatkan
kalian terhadap diri (siksa)-Nya”. (Ali Imran: 28).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dia (Allah) Tuhan Yang patut
(kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun”. (Al-Mudatstsir: 56).
Jadi Allah yang paling layak
ditakuti, disegani, dan diagungkan di dada hamba-hamba-Nya hingga mereka
menyembahNya dan taat kepada-Nya, karena Dia berhak atas keagungan,
kemuliaan, sifat-sifat kebesaran, kekuatan menindak, dan
kedahsyatan menghukum. Dalam At-Trmidzi dari Anas bin Malik Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang
ayat berikut,
"Dia (Allah) Tuhan Yang patut
(kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun”. (Al-Mudatstsir: 56).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, “Aku paling
layak ditakwai. Barangsiapa bertakwa kepada-Ku kemudian tidak menjadikan
tuhan lain bersama-Ku, Aku layak untuk mengampuninya". [6])
Terkadang takwa disatukan dengan
hukuman Allah dan tempat hukuman tersebut, seperti neraka atau waktunya seperti
Hari Kiamat, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan peliharalah diri kalian
dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir”. (Ali
Imran: 131).
Allah Ta’ala berfirman,
"Maka peliharalah diri kalian
dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,
yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (Al-Baqarah: 24).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan peliharalah diri kalian
dari hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan
kepada Allah”. (Al-Baqarah: 281).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan jagalah diri kalian dari
hari di mana seseorang tidak dapat membela orang
lain, walau sedikit pun”. (Al-Baqarah: 48).
Termasuk dalam muatan takwa ialah
mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan hal-hal haram, dan perkara-perkara syubhat. Bisa
jadi, setelah itu, masuk juga ke dalamnya mengerjakan sunnah-sunnah dan
meninggalkan hal-hal makruh. Inilah tingkatan takwa tertinggi. Allah Ta’ala berfirman,
"Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur
an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya akhirat”. (Al-Baqarah:
14).
Allah Ta’ala berfirman,
"Bukanlah kalian menghadapkan
wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan, tapi sesungguhnya
kebaikan ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat,
Kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janji mereka
apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan; mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-Baqarah:
177).
Muadz bin Jabal berkata, "Pada
Hari Kiamat, diseru, “Mana orang-orang bertakwa?” Mereka pun berdiri di samping Ar-Rahman. Allah
tidak menutup diri dan tidak bersembunyi dari mereka. Mereka berkata kepada
Allah, “Siapakah orang-orang bertakwa?”
Allah berfirman, “Yaitu kaum yang takut syirik, (takut) menyembah
patung-patung, dan ikhlas karena Allah dalam ibadah”.
Ibnu Abbas berkata, "Orang-orang
bertakwa ialah orang-orang yang takut hukuman Allah karena meninggalkan petunjuk yang telah mereka ketahui dan mereka mengharap rahmat-Nya dengan membenarkan
apa yang Dia bawa”.
Al-Hasan berkata, "Orang yang
bertakwa ialah orang-orang yang menjauhi apa saja yang diharamkan kepada mereka dan melaksanakan
apa saja yang diwa-jibkan kepada mereka”.
Umar bin Abdul Aziz berkata,
"Takwa kepada Allah bukanlah dengan puasa di siang hari, atau qiyamul lail,
atau mengerjakan keduanya, namun takwa kepada Allah ialah meninggalkan apa saja
yang diharamkan Allah dan mengerjakan apa saja yang diwajibkan Allah.
Barangsiapa dianugerahi kebaikan setelah itu, maka itu kebaikan
yang ditambahkan
kepada kebaikan”.
Thalqu bin Habib berkata,
"Takwa ialah hendaknya Anda melakukan ketaatan kepada Allah di atas sinar
dari-Nya karena mengharapkan pahala-Nya dan meninggalkan maksiat kepada-Nya di atas sinar dari-Nya
karena takut hukuman-Nya”.
Abu Ad-Darda’ berkata, "Puncak
takwa ialah seorang hamba bertakwa kepada Allah hingga ia bertakwa
kepada-Nya sebesar biji sawi dan hingga ia meninggalkan sesuatu yang ia lihat sebagai sesuatu yang
halal karena takut sesuatu tersebut merupakan
sesuatu yang haram, dan itu menjadi benteng dirinya dari sesuatu yang haram, karena Allah menjelaskan
kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kembalikan kepada-Nya dengan berfirman,
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat dzarrah pun, niscaya Ia melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan
kejahatan seberat dzarrah pun, nisca ya ia melihatnya”. (Az-Zalzalah:
78).
Oleh karena itu, Anda jangan
sekali-kali meremehkan kebaikan yang engkau kerjakan dan keburukan yang engkau
takuti”.
Al-Hasan berkata, "Takwa
senantiasa ada pada orang-orang bertakwa hingga mereka meninggalkan banyak sekali
hal-hal halal, karena khawatir hal-hal halal tersebut merupakan hal-hal haram”.
Ats-Tsauri berkata, "Manusia
dikatakan sebagai orang-orang bertakwa karena mereka menjauhi apa yang tidak
dijauhi”.
Musa bin A’yan berkata,
"Orang-orang bertakwa menjauhi banyak sekali hal-hal halal karena mereka
khawatir terjerumus ke dalam hal-hal haram. Oleh karena
itu, Allah menamakan mereka orang-orang bertakwa”.
Sebelumnya telah disebutkan hadits
yang berbunyi,
"Seorang hamba tidak bisa
menjadi salah seorang dari orang-orang bertakwa hingga
ia meninggalkan sesuatu yang tidak ada madzarat di dalamnya karena khawatir
sesuatu tersebut bermadzarat”.
Sebelumnya juga telah disebutkan
hadits,
"Barangsiapa menjauhi hal-hal yang tidak jelas, ia telah mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agama dan
kehormatannya”.
Maimun bin Mihran berkata, "Orang bertakwa lebih
kuat evaluasinya terhadap dirinya daripada
evaluasi mitra bisnis yang pelit terhadap mitra bisnisnya”.
Tentang firman Allah Ta’ala,
"Bertakwalah
kalian kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya”. (Ali
Imran: 102).
Ibnu Mas’ud berkata, "Allah harus ditaati tanpa
dimaksiati, diingat tanpa dilupakan, dan disyukuri tanpa diingkari”.
Atsar tersebut diriwayatkan Al-Hakim secara marfu’ [7])
namun yang benar mauquf. Termasuk dalam muatan syukur kepada Allah
Ta’ala ialah mengerjakan seluruh ketaatan.
Makna dzikir kepada Allah dan tidak melupakannya ialah
seorang hamba dengan hatinya ingat perintah-perintah Allah dalam seluruh gerak
dan diamnya kemudian mengerjakannya dan ingat larangan-larangan-Nya dalam
seluruh gerak dan diamnya, kemudian menjauhinya.
Seringkali kata takwa diartikan meninggalkan hal-hal yang
diharamkan seperti dikatakan Abu Hurairah ketika ditanya tentang takwa,
"Apakah engkau pernah berjalan di atas jalan berduri?" Penanya
berkata, "Ya, pernah”. Abu Hurairah berkata, "Apa yang engkau
perbuat?" Penanya berkata, "Jika aku melihat duri, aku menghindar
darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya”. Abu Hurairah berkata,
"Itulah takwa”. Makna takwa seperti itu dipahami Ibnu Al-Mu’taz kemudian
ia melantunkan syair berikut,
"Tinggalkanlah dosa-dosa; baik dosa-dosa kecil atau
dosa-dosa besar
Itu adalah takwa
Bersikaplah seperti orang yang berjalan di atas tanah
berduri
Ia akan hati-hati kepada apa yang dilihatnya
janganlah engkau meremehkan sesuatu yang kecil
Karena gunung itu berasal dari kerikil-kerikil”.
Asal kata takwa ialah seorang hamba tahu apa yang mesti
ia takuti kemudian ia takut kepadanya. Aun bin Abdullah berkata, "Puncak
takwa ialah engkau mencari pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui
kepada sesuatu yang diketahui”.
Ma’ruf Al-Karkhi menyebutkan dari Bakr bin Khunais yang
berkata, "Bagaimana bisa menjadi orang bertakwa, orang yang tidak tahu apa
yang mesti ia takuti?" Setelah itu, Ma’ruf Al-Karkhi berkata, "Jika
Anda tidak bertakwa dengan baik, maka Anda makan harta riba. Jika Anda tidak
bertakwa dengan baik kemudian berjumpa dengan wanita, maka Anda tidak menahan
pandangan Anda darinya. Jika Anda tidak
bertakwa dengan baik, Anda letakkan pedang Anda di atas pundak Anda,
padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda kepada Muhammad bin
Maslamah, “Jika engkau lihat umatku bercerai-berai, pergilah ke pedangmu kemudian pukulkan ke Gunung Uhud”.
Ma’ruf Al-Karkhi berkata lagi,
"Semoga majlisku ini layak menjadikan kita orang bertakwa dan kedatangan
kalian bersamaku dari masjid ke tempat ini layak menjadikan kita orang yang
bertakwa. Bukankah disebutkan di hadits, “Sesungguhnya itu
fitnah bagi orang yang diikuti (orang panutan) dan kehinaan bagi pengikut?”. [8])
Kesimpulannya, takwa ialah wasiat Allah kepada seluruh
hamba-Nya dan wasiat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam kepada umat beliau.
Jika beliau mengutus komandan untuk membawahi salah satu detasemen,
beliau berwasiat kepadanya agar ia bertakwa
kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum Muslimin yang ikut bersamanya. [9])
Ketika Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam berkhutbah di haji wada’ pada hari
penyembelihan hewan qurban, beliau berwasiat kepada manusia agar mereka
bertakwa kepada Allah, mendengar, dan taat kepada pemimpin mereka. [10])
Ketika Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menasihati manusia dan mereka berkata kepada beliau, "Nasihat ini sepertinya nasihat
perpisahan, maka berilah kami
wasiat", maka beliau bersabda, "Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Allah, mendengar, dan taat". [11])
Di hadits Abu Dzar yang panjang
yang diriwayatkan Ibnu Hibban [12]) dan lain-lain
disebutkan bahwa Abu Dzar Radhiyallahu Anhu berkata,
"Wahai Rasulullah, berilah aku
wasiat". Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah,
karena takwa adalah kunci segala hal”.
Imam Ahmad [13]) meriwayatkan hadits Abu
Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku berkata,
"Wahai Rasulullah, berilah aku
wasiat”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Aku berwasiat kepadamu agar engkau bertakwa kepada Allah,
karena takwa adalah kunci segala hal. Hendaklah engkau berjihad, karena
jihad adalah kependetaan Islam”.
Di At-Tirmidzi [14])
disebutkan hadits dari Yazid bin Salamah yang berkata bahwa ia bertanya kepada
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan
berkata,
"Wahai Rasulullah, aku dengar
banyak sekali hadits darimu dan aku khawatir hadits
terakhir membuatku lupa hadits pertama, oleh karena itu, beri aku hadits
berupa satu kalimat yang padat makna”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Bertakwalah kepada Allah dalam apa saja yang engkau ketahui”.
“Sesungguhnya mereka orang-orang
yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka
orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. (Al-Anbiya’: 90)”. [15]
Ketika Abu Bakar hendak wafat dan
menyerahkan segala urusan kepada Umar bin Khaththab, ia memanggil Umar bin Khaththab dan
memberinya wasiat. Yang pertama kali diucapkan Abu Bakar kepada Umar bin
Khaththab ialah, "Bertakwalah kepada Allah engkau, hai Umar”.
Umar bin Khaththab menulis
Ali bin Abu Thalib mengangkat
seseorang menjadi komandan di salah satu detasemen dan berkata kepadanya, "Aku berwasiat
kepadamu hendaklah engkau bertakwa kepada
Allah yang pasti engkau temui dan tidak dapat menghindar dari-Nya. Dia memiliki dunia dan akhirat”.
Umar bin Abdul Aziz menulis
Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat
menjadi khalifah, ia berkhutbah. Ia memuji Allah, menyanjung-Nya, dan
berkata, "Aku wasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian bertakwa kepada
Allah Azza wa jalla, karena takwa kepada Allah Azza wa jalla itu
pengganti segala hal dan tidak bisa digantikan oleh apa saja”.
Seseorang berkata kepada Yunus bin
Ubaid, "Berilah aku wasiat”. Yunus bin Ubaid berkata, "Aku wasiatkan
kepadamu, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan berbuat baik, karena Allah
bersama orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik”.
Orang yang hendak
berangkat menunaikan ibadah haji berkata kepada Yunus bin Ubaid, "Berilah aku
wasiat”. Yunus bin Ubaid berkata, "Bertakwalah engkau kepada Allah, karena barangsiapa bertakwa kepada
Allah maka ia tidak merasa sendirian”.
Dikatakan kepada salah seorang
tabi’in ketika menjelang wafatnya, "Berilah aku wasiat”. Tabi’in tersebut
berkata, "Yang aku wasiatkan kepada kalian ialah akhir
“Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik“.
(An-Nahl: 128)”.
Salah seorang dari generasi salaf
menulis surat kepada saudaranya, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau
bertakwa kepada Allah, karena takwa adalah sesuatu yang paling mulia
daripada apa saja yang engkau rahasiakan, paling indah daripada sesuatu yang
engkau tampakkan, dan paling utama daripada sesuatu yang engkau simpan. Semoga
Allah membantu aku dan engkau dalam bertakwa kepadaNya dan mewajibkan
pahalanya bagiku dan bagimu”.
Salah seorang dari generasi salaf
menulis
Syu’bah berkata, "Jika aku
hendak keluar, aku berkata kepada Al-Hakam, “Apakah engkau memiliki keperluan?”
Ia berkata,”Aku berwasiat kepadamu dengan wasiat yang pernah diberikan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal, “Bertakwalah kepada Allah di mana
pun engkau berada, ikutilah kesalahan
dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan
pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau berkata dalam doa beliau, “Ya Allah,
aku meminta petunjuk, takwa, kesucian, dan kekayaan kepada-Mu”. [16])
Abu Dzar Radhiyallahu
Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam membaca ayat berikut, Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar“. (Ath-Thalaq: 2).
Kemudian beliau bersabda,”Hai Abu
Dzar, jika seluruh manusia mengambil ayat tersebut, sungguh ayat
tersebut sudah cukup bagi mereka". [17])
Maksud sabda Nabi Shallallahu
Alalhi wa Sallam, "Bertakwalah kepada Allah dimana saja engkau berada", ialah di saat sepi, atau ramai, atau dilihat manusia, atau tidak dilihat mereka. Sebelum ini, saya
sebutkan hadits Abu Dzar Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau bertakwa di
urusanmu yang tersembunyi dan yang terlihat”. Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata dalam doa beliau, "Aku meminta kepada-Mu takut kepada-Mu di
kala sendirian dan ketika disaksikan oleh
orang lain". [18])
Takut kepada Allah di kala sendirian dan ketika disaksikan oleh orang lain adalah salah satu penyelamat.
Sebelumnya juga disebutkan hadits
Abu Ath-Thufail dari Muadz bin Jabal bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda
kepadanya, "Malulah kepada Allah seperti malu kepada orang yang berwibawa di
antara keluargamu”. Malu seperti
itu menghasilkan takut kepada Allah di saat sepi, karena barangsiapa tahu Allah melihatnya di mana pun ia berada, mengawasi
batin dan luarnya, saat kesendiriannya
dan saat ramainya, dan ia ingat itu semua di saat ia sendirian, maka itu semua membuatnya meninggalkan maksiat di saat sendirian.
Makna ini diisyaratkan Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala,
"Dan bertakwalah kalian kepada
Allah yang dengan nama-Nya, kalian saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim, sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kalian”. (An-Nisa’: 1).
Salah seorang generasi salaf berkata kepada
sahabat-sahabatnya, "Semoga Allah
menzuhudkan aku dan kalian dalam hal-hal haram seperti zuhudnya orang yang sanggup berzuhud di saat sendirian kemudian ia
mengetahui bahwa Allah melihatnya”. Atau seperti yang dikatakan orang
tersebut.
Imam Syafi’i berkata, "Sesuatu
yang paling berharga ada tiga; dermawan kendati miskin, wara’ pada saat sendirian, dan berkata
benar di depan orang yang diharapkan dan
ditakuti”.
Ibnu As-Samak menulis
Abu Al-Jild berkata, "Allah Ta’ala memberi
wahyu kepada salah seorang nabi, "Katakan kepada kaummu, “Kenapa kalian
menyembunyikan dosa-dosa dari makhluk-Ku dan menampakkannya kepada-Ku? Jika
kalian berpendapat bahwa Aku tidak melihat kalian, maka kalian menyekutukan-Ku.
Jika kalian berpendapat bahwa
Aku melihat kalian, kenapa kalian menjadikan-Ku sebagai penglihat yang paling
hina bagi kalian?”
Wahib bin Al-Ward berkata,
"Takutlah kepada Allah sesuai dengan kadar kekuasaan-Nya terhadap-Mu dan
malulah kepada-Nya sesuai dengan kadar kede-katan-Nya kepadamu”.
Salah seorang berkata kepada Wahib
bin Al-Ward, "Berilah aku wasiat”. Wahib bin Al-Ward berkata,
"Bertakwalah dan jangan sampai Allah menjadi penglihat
yang paling hina bagimu”.
Salah seorang generasi salaf
berkata, "Apakah engkau lihat dirimu menyayangi pihak yang kedua mata-Nya
tidak senang dengan kemaksiatanmu hingga Dia mengetahui bahwa tidak ada mata
yang melihat-Nya selain engkau?"
Salah seorang dari generasi salaf
lainnya berkata, "Hai anak keturunan Adam, jika engkau mengerjakan kemaksiatan,
engkau tidak terlepas dari mata yang melihatmu. Jika engkau sendirian
bersama Allah, kemaksiatanmu menjadi jelas bagimu dan kemaksiatan tersebut tidak malu kepadamu
seperti malumu kepada salah seorang makhluk
Allah. Engkau hanyalah salah seorang dari dua orang; jika engkau menduga bahwa Allah tidak melihatmu,
sungguh engkau telah kafir. Jika engkau
mengetahui bahwa Allah melihatmu, namun Allah tidak bisa membuatmu berhenti
dari maksiat seperti halnya makhluk-Nya yang paling lemah yang bisa menghalangimu dari maksiat, sungguh engkau telah
berbuat lancang kepada-Nya”.
Salah seorang generasi salaf masuk
ke hutan kemudian berkata, "Jika aku sendirian melakukan maksiat di
sini, siapakah yang melihatku?" Tiba-tiba ia mendengar penyeru berseru dengan
teriakan yang memenuhi hutan tersebut, “Apakah
Allah Yang menciptakan itu tidak
mengetahui dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?".
(Al-Mulk: 14).
Salah seorang dari generasi salaf
bercanda dengan salah seorang wanita Arab dengan berkata kepadanya,
"Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang”. Wanita
Arab tersebut berkata, "Kalau begitu, di mana Dzat yang menyalakan
bintang-bintang
tersebut?"
Muhammad bin Al-Munkadir melihat
orang laki-laki berdiri bersama perempuan dan ngobrol kepadanya kemudian Muhammad bin
Al-Munkadir berkata, "Sesungguhnya Allah
melihat kalian berdua. Mudah-mudahan Allah merahasiakanku dan kalian berdua”.
Al-Harits Al-Muhasibi berkata, "Muhasabah ialah
pengetahuan hati terhadap dekatnya
Allah”.
Al-Junaid pernah ditanya tentang
kiat untuk menahan pandangan kemudian ia menjawab, "Yaitu dengan
pengetahuanmu bahwa pandangan Allah kepadamu itu lebih cepat daripada
pandangamu kepada apa yang engkau lihat”. Imam Ahmad melantunkan syair berikut,
“Jika Anda pernah menyepi pada
suatu hari,
Engkau jangan berkata bahwa aku
telah menyepi
Namun katakan bahwa aku mempunyai
pengawas
Jangan engkau kira Allah lengah
sesaat pun
Dan bahwa apa yang tersembunyi tidak diketahui oleh-Nya”.
Ibnu As-Samak [19]) melantunkan syair,
"Hai pecandu dosa, kenapa engkau tidak malu?
Padahal Allah adalah pihak kedua
ketika engkau menyendiri
Penundaan siksa dan penyembunyian
seluruh kesalahanmu oleh-Nya
Membuatmu terpedaya dari Allah”.
Maksud dari ini semua bahwa ketika
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat
kepada Muadz bin Jabal agar ia bertakwa kepada Allah di saat sendirian dan
bersama orang banyak, maka beliau memberinya kiat yang dapat membantunya dalam
menjalankan itu semua yaitu malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada orang
yang berwibawa dari kaumnya. Artinya, ia senantiasa merasakan kedekatan Allah
kepadanya dengan hatinya dan pengawasan-Nya terhadap dirinya, oleh karena itu, ia
malu pada pandangan-Nya kepada dirinya.
Muadz bin Jabal merealisir wasiat
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di atas.
Umar bin Khaththab pernah mengirimnya untuk satu tugas, kemudian ia tiba dari
tugas tanpa membawa sesuatu apa pun. Akibatnya, istri Muadz bin Jabal mencela
Muadz bin Jabal, namun Muadz bin Jabal berkata, "
Barangsiapa mampu berada pada
tingkatan tersebut secara terus-menerus atau sebagian besar waktunya, ia
termasuk orang-orang yang ihsan yang menyembah Allah seperti melihat-Nya dan juga
termasuk orang-orang ihsan yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji
kecuali kesalahan-kesalahan kecil.
Kesimpulannya, takwa kepada Allah Ta’ala pada saat
sendirian adalah pertanda kesempurnaan iman dan mempunyai pengaruh positif,
yaitu Allah membuat orang
tersebut disanjung orang-orang beriman. Di hadits disebutkan,
"Seorang hamba tidak menyimpan
rahasia melainkan Allah mengenakannya pakaiannya secara terang-terangan. jika
rahasianya baik maka pakaiannya baik dan jika rahasianya jelek maka pakaiannya
jelek”.
Hadits di atas diriwayatkan dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga diriwayatkan dari
perkataan Ibnu Mas’ud.
Abu Ad-Darda’ berkata, "Hendaklah salah seorang dari
kalian takut kalau dirinya dilaknat hati
kaum Mukminin tanpa ia sadari. Ia menyepi bermaksiat kepada Allah,
kemudian Allah memasukkan benci kepadanya di hati kaum Mukminin”.
Sulaiman At-Taimi berkata,
"Jika seseorang melakukan dosa di saat sendirian, maka pagi harinya kehinaan
terlihat padanya”.
Salah seorang ulama berkata, "Jika seseorang
mengerjakan dosa pada saat sendirian; antara dirinya dengan Allah, kemudian ia
pergi kepada saudara-saudaranya, maka
mereka melihat bekas dosa tersebut padanya”.
Ini bukti terbesar tentang
keberadaan Allah Yang Mahabenar dan membalas perbuatan sebesar biji sawi pun di
dunia dan akhirat. Perbuatan seseorang tidak hilang sia-sia di sisi-Nya dan
sembunyi dari-Nya tidak ada gunanya. Orang bahagia ialah
orang yang memperbaiki diri saat ia berduaan dengan Allah, karena barangsiapa bisa memperbaiki diri saat ia
berduaan dengan Allah, maka Allah memperbaiki kondisi dirinya ketika bersama
manusia. Barangsiapa mencari pujian manusia dengan
kemurkaan Allah, maka orang yang memujinya menjadi penghina baginya.
Abu Sulaiman berkata, "Orang
yang merugi ialah orang yang memperlihatkan perbuatannya yang shalih
kepada manusia dan menampakkan keburukan kepada Dzat yang lebih dekat kepadanya daripada urat
leher”.
Riwayat tentang hal ini yang paling mengagumkan ialah
riwayat dari Abu Ja’far As-Saih yang
berkata, "Habib Abu Muhammad adalah pedagang yang menyewakan uang dirham. Pada suatu hari, ia
berjalan melewati anak-anak yang sedang
bermain. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Pemakan harta riba telah datang”. Habib Abu Muhammad
menundukkan kepala sambil berkata,
“Tuhanku, engkau membeberkan rahasiaku kepada anak-anak kecil ini?” Kemudian ia pulang dan mengumpulkan seluruh
hartanya. Ia berkata, “Tuhanku, aku
tawanan. Aku membeli diriku dari-Mu dengan harta ini, oleh karena itu, bebaskan aku”. Keesokan harinya, Habib Abu
Muhammad menyedekahkan seluruh hartanya
dan mengonsentrasikan diri dalam ibadah. Pada hari yang lain, Habib Abu Muhammad berjalan melewati anak-anak
tersebut. Ketika mereka melihatnya, sebagian
dari mereka berkata kepada sebagian yang
lain, “Diamlah kalian, karena Habib yang ahli ibadah telah datang”. Habib Abu
Muhammad pun menangis. Ia berkata,
“Tuhanku, sekali waktu Engkau mencela dan sekali waktu memuji. Ini semua dari-Mu”.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Ikutilah kesalahan dengan kebaikan
niscaya kebaikan tersebut menghapus
kesalahan tersebut”. Seorang hamba diperintahkan bertakwa di saat sendirian
dan ramai, namun kendati demikian, ia pasti terkadang lalai dalam
bertakwa, misalnya ia tidak mengerjakan sebagian hal-hal yang
diperintahkan atau mengerjakan sebagian hal-hal yang dilarang, oleh karena itu, ia diperintahkan
mengerjakan perbuatan yang menghapus kesalahan tersebut. Maksudnya, ia
menindaklanjuti kesalahan tersebut dengan kebaikan. Allah Azza wa
jalla berfirman,
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bagian permulaan daripada malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
perbuatan-perbuatan yang buruk; itulah peringatan
bagi orang-orang yang ingat”. (Huud: 114).
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan
hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
Anhu bahwa
seorang laki-laki mencium wanita kemudian ia datang kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam diam kemudian
ayat di atas turun. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam memanggil orang
tersebut kemudian membacakan ayat di atas
kepadanya. Seseorang berkata, "Apakah ini berlaku khusus bagi orang
laki-laki tersebut?" Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak, namun bagi seluruh manusia”. [20])
Allah Ta’ala menyifati
orang-orang bertakwa di Al-Qur’an persis seperti yang diwasiatkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di wasiat di atas. Allah Ta’ala
berfirman,
"Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dan
Tuhan kalian dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu
lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahana marahnya dan memaafkan
orang; Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan jika mereka mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu
memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya
ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya dan itulah sebaik-baik
pahala orang-orang yang beramal”. (Ali Imran: 133-136).
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan
bahwa sifat orang-orang bertakwa ialah mereka berinteraksi dengan manusia dan berbuat
baik kepada mereka dalam bentuk
berinfak kepada mereka, menahan marah, dan memaafkan mereka. Allah memadukan
antara sifat mereka memberi dengan sifat sabar atas gangguan. Ini puncak akhlak
yang baik yang diwasiatkan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin
Jabal. Setelah itu, Allah menjelaskan bahwa sifat orang-orang bertakwa yang lain ialah, "Dan jika mereka mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri mereka
ingat kepada Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka”. Mereka
juga tidak meneruskan perbuatan keji mereka. Ini menunjukkan bahwa terkadang
orang-orang bertakwa itu mengerjakan dosa-dosa yaitu perbuatan keji dan dosa-dosa kecil, yaitu menganiaya diri
sendiri, hanya saja, mereka tidak terus-menerus mengerjakannya, namun
mereka segera ingat kepada Allah setelah
mengerjakannya, beristighfar kepada Allah, dan bertaubat kepada-Nya
darinya. Taubat ialah tidak terus-menerus mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa.
Makna firman Allah Ta’ala,
"Mereka Ingat kepada Allah", ialah mereka ingat keagungan
Allah, kedahsyatan hukuman-Nya, dan hukuman yang diancamkan karena kemaksiatan. Itu semua
membuat mereka kembali kepada kondisi mereka semula,
beristighfar, dan tidak meneruskan perbuatan-perbuatan dosa tersebut. Allah Ta’ala
berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka
ditimpa was-was dari syetan; mereka ingat
kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahAn-Nya”. (Al-A’raaf:
201).
Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Seorang hamba mengerjakan
dosa kemudian berkata, “Tuhanku, aku telah mengerjakan
dosa maka ampunilah aku”. Allah berfirman, “Hamba-Ku mengetahui
bahwa ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni dosa dan menghukum
dosa. Sungguh aku telah mengampuni hamba-Ku tersebut”. Kemudian
hamba tersebut mengerjakan dosa yang lain hingga pada kali keempat,
Allah Ta’ala berfirman, “Silahkan ia berbuat apa saja yang ia inginkan“. [21])
Maksudnya, selagi hamba tersebut
dalam kondisi seperti itu ketika ia mengerjakan dosa, yaitu setiap kali
ia mengerjakan dosa, ia beristighfar dari dosa tersebut.
Di At-Tirmidzi [22]) disebutkan hadits dari Abu Bakar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Orang yang beristighfar tidak
akan meneruskan perbuatan dosanya, kendati ia
mengulangi perbuatan dosanya hingga tujuh puluh dalam sehari”.
Al-Hakim [23]) meriwayatkan hadits Uqbah
bin Amir bahwa seseorang menghadap kepada
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian
berkata,
“Wahai Rasululah, salah seorang dari
kami telah mengerjakan dosa”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Dosa ditulis baginya”. Orang tersebut berkata,
"Tapi kemudian orang tersebut beristighfar kepada Allah dari dosa tersebut”.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia diampuni dan taubatnya
diterima”. Orang tersebut berkata, "Kemudian orang tersebut berbuat
dosa lagi "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dosa ditulis baginya”.
Orang tersebut berkata, "Tapi kemudian orang tersebut beristighfar dari dosa
tersebut”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia diampuni,
taubatnya diterima, dan Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang
merasa bosan”.
Ath-Thabrani [24]) meriwayatkan dengan sanad dhaif hadits dari Aisyah Radhiyallahu
Anha yang berkata,
"Habib bin Al-Harits datang
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata, Wahai Rasulullah,
aku orang yang telah mengerjakan dosa-dosa”. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bertaubatlah kepada
Allah Azza wa Jalla”. Habib bin Al-Harits berkata, Aku telah bertaubat namun
aku kembali mengerjakan dosa”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Setiap kali engkau
berbuat dosa, hendaklah engkau bertaubat.” Habib
bin Al-Harits berkata, “Wahai Rasulullah, jika dosa-dosaku banyak?” Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hai Habib bin Al-Harits, maaf Allah lebih banyak daripada dosa-dosamu".
Ath-Thabrani juga meriwayatkan
hadits semakna dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam dengan sanad dhaif.
Ath-Thabrani juga meriwayatkan
hadits semakna dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr yang berkata,
"Barangsiapa ingat kesalahan yang telah diperbuat kemudian hatinya takut
kepadanya dan beristighfar kepada Allah, maka tidak ada sesuatu yang bisa menahan dosa tersebut hingga sesuatu tersebut
menghapusnya”. [25])
Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan
dengan sanadnya dari Ali bin Abu Thalib yang berkata, "Orang terbaik
dari kalian ialah setiap orang yang diuji (dengan dosa) dan
bertaubat”. Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Jika ia kembali berbuat
dosa?" Ali
bin Abu Thalib berkata, "Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat”. Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Jika
ia kembali berbuat dosa lagi?" Ali bin Abu Thalib berkata, "Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat”.
Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Jika ia kembali
berbuat dosa?" Ali bin Abu Thalib berkata, "Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat”. Ditanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, "Sampai kapan?" Ali bin Abu Thalib berkata,
"Sampai syetan kelelahan”.
Ibnu Majah [26]) meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Orang yang bertaubat dari
dosa seperti orang yang tidak ada dosanya”.
Ditanyakan kepada Al-Hasan, "Kenapa salah seorang
dari kita tidak malu kepada Tuhannya? Ia beristighfar atas dosa-dosanya
kemudian berbuat dosa lagi lalu
beristighfar lagi kemudian berbuat dosa lagi”. Al-Hasan berkata, "Syetan
ingin sekali mengalahkan kalian
dengan dosa-dosa tersebut. Oleh karena itu, kalian jangan bosan beristighfar”.
Juga diriwayatkan dari Al-Hasan
bahwa ia berkata, "Aku lihat itulah akhlak kaum Mukminin”. Maksudnya, setiap
kali orang Mukmin berbuat dosa, ia bertaubat.
Juga diriwayatkan bahwa, "Orang Mukmin itu banyak
diuji (dengan dosa) dan banyak bertaubat”. [27])
Diriwayatkan hadits dengan sanad dhaif dari
Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Orang Mukmin itu pelupa dan
bodoh. Orang bahagia ialah orang yang meninggal dunia dalam keadaan
menghilangkannya (sifat tersebut)".
[28])
Umar bin Abdul Aziz berkata dalam
khutbahnya, "Barangsiapa di antara kalian berbuat baik, hendaklah ia
memuji Allah. Dan barangsiapa berbuat salah, hendaklah ia beristighfar kepada
Allah, karena manusia harus mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
dibebankan Allah di pundak mereka dan diwajibkan kepada mereka”.
Di riwayat lain disebutkan bahwa Umar
bin Abdul Aziz berkata, "Hai manusia, barangsiapa di antara
kalian berbuat dosa, hendaklah ia beristighfar kepada Allah
dan bertaubat. Jika ia kembali berbuat dosa, hendaklah ia beristighfar kepada Allah
dan bertaubat. Jika ia kembali berbuat dosa, hendalah ia beristighfar kepada Allah
dan bertaubat, karena dosa adalah kesalahan-kesalahan yang dikalungkan di leher
orang dan sesungguhnya puncak kebinasaan terletak pada sikap terus-menerus
berbuat dosa (tanpa beristighfar kepada Allah dan bertaubat)”.
Maknanya bahwa seorang hamba harus
mengerjakan dosa-dosa yang telah ditakdirkan kepadanya seperti disabdakan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
"Bagian terhadap zina ditetapkan
kepada anak keturunan Adam, jadi, ia akan mendapatkannya dan tidak dapat
dihindarkannya”.
Namun Allah Ta’ala membuat
jalan keluar bagi hamba dari dosa-dosa yang telah dikerjakannya dan penghapus
dosa-dosa, yaitu taubat dan istighfar. Jika hamba tersebut
melakukan hal tersebut (istighfar dan taubat), ia terbebas dari keburukan dosa-dosa.
Namun jika terus-menerus berbuat dosa, ia binasa.
Di Al-Musnad [29])
disebutkan
Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Hendaklah kalian menyayangi,
niscaya kalian disayangi. Maafkan, niscaya kalian
dimaafkan. Celakalah bagi aqmaa’ul qaul (orang-orang yang mendengar
perkataan namun tidak mengamalkannya) dan celaka bagi orang-orang yang
terus-menerus mengerjakan apa yang telah mereka kerjakan padahal mereka tahu”.
Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Ikutilah kesalahan dengan kebaikan”. Bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan dalam hadits di
atas ialah taubat
dari kesalahan tersebut, karena itu telah dinyatakan dengan tegas di hadits mursal di antara hadits-hadits mursal Muhammad bin Jubair [31])
yang diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya
bahwa ketika Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam mengirim Muadz
bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda,
"Hai Muadz, bertakwalah
kepada Allah semampumu, berbuatlah dengan kekuatanmu karena Allah Azza wa jalla
semampumu, dan dzikirlah kepada Allah Azza
wa Jalla di setiap pohon dan batu. Jika engkau berbuat dosa, hendaklah engkau
lakukan taubat pada dosa tersebut. Jika dosa tersebut engkau lakukan dengan rahasia, maka taubatlah dengan rahasia. jika dosa tersebut dengan terang-terangan, maka taubatlah dengan terang-terangan”.
Abu Nu’aim juga meriwayatkan hadits
semakna dari jalur lain yang dhaif dari Muadz bin Jabal. Qatadah berkata, Salman berkata,
"Jika engkau telah melakukan kesalahan secara rahasia, maka
kerjakan kebaikan secara rahasia. Jika engkau telah melakukan kesalahan secara
terang-terangan, kerjakan kebaikan secara terang-terangan, agar kesalahan diganti dengan kebaikan”. Di sini ada
kemungkinan bahwa yang dimaksud
Salman dengan kebaikan ialah taubat atau lebih umum daripada taubat.
Allah Ta’ala menjelaskan di Kitab-Nya di
banyak ayat bahwa barangsiapa bertaubat dari
dosanya, Dia mengampuni dosanya atau menerima taubatnya. Misalnya Allah Ta’ala berfirman,
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat
bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran tidak tahu yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima
Allah taubatnya dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa’:
17).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Kemudian sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi
orang-orang yang mengerjakan kesalahan
karena kebodohan, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki
(dirinya); sesungguhnya Tuhanmu sesudah
itu benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (An-Nahl: 119).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Kecuali orang-orang
yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan”. (Al-Furqan: 70).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang
yang bertaubat, beriman, beramal
shalih, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Thaha: 82).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka akan masuk surga dan tidak dianiaya
(dirugikan) sedikit pun”. (Maryam:
60).
Atau firman Allah Ta’ala,
"Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?". (Ali Imran: 135).
Abdurrazzaq berkata, Ja’far bin
Sulaiman berkata kepadaku dari Tsabit dari Anas bin Malik Radhiyallahu
Anhu yang berkata, "Disampaikan kepadaku bahwa ketika ayat
berikut turun,
والذين إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم ذكروا الله فاستغفروا
لذنوبهم.
“Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka“, maka iblis menangis”. [32])
Juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang berkata,
"Ayat di atas lebih baik bagi
orang-orang berdosa daripada dunia dan seisinya”. [33])
Ibnu Sirin berkata, "Ayat di
atas diberikan Allah kepada kita sebagai ganti dari yang diberikan kepada Bani Israil dalam penghapusan
dosa-dosa”.
Abu Ja’far Ar-Razi berkata dari
Ar-Rabi’ bin Anas dari Abu Al-Aliyah yang berkata bahwa seseorang berkata,
"Wahai Rasulullah, bagaimana
seandainya penghapus dosa-dosa kita itu seperti penghapus
dosa-dosa Bani Israil?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Kita tidak menginginkannya, beliau
bersabda seperti itu hingga tiga kali. Apa yang diberikan Allah
kepada kalian itu lebih baik daripada apa yang Dia berikan kepada Bani
Israil. Jika salah seorang dari Bani Israil melakukan
kesalahan, ia mendapati kesalahan tersebut dan penghapusnya tertulis
di pintu rumahnya. Jika ia menghapus kesalahan tersebut, maka itu kehinaan
baginya di dunia. Jika ia tidak menghapusnya, maka itu kehinaan baginya di akhirat. Jadi apa yang diberikan Allah kepada kalian
itu lebih baik daripada apa yang Dia
berikan kepada Bani Israil. Allah Ta’ala berfirman, Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian
ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
(An-Nisaa’: 110).
Tentang firman Allah Ta’ala, "Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan”. (Al-Hajj: 78).
Ibnu Abbas berkata, "Itulah
keluasan Islam, taubat dan penghapusan dosa yang diberikan Allah kepada umat
Muhammad". [34])
Teks-teks di atas menunjukkan bahwa
barangsiapa bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha dan
syarat-syarat taubatnya lengkap, Allah pasti menerima taubatnya
sebagaimana keislaman orang kafir dapat dipastikan diterima jika ia masuk
Islam dengan keislaman yang benar. Ini pendapat jumhur ulama. Perkataan Ibnu
Abdul Barr menunjukkan bahwa itu adalah ijma’ (konsensus) mereka.
Di antara manusia ada yang berkata bahwa penerimaan
taubat tidak dapat dipastikan, namun hanya bisa diharapkan dan pelakunya berada
dalam kehendak Allah kendati ia bertaubat.
Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala,
"Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syrrik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (An-Nisa’:
48).
Menurut mereka, pada ayat di atas,
Allah meletakkan seluruh dosa di bawah kehendak-Nya. Barangkali mereka
juga berhujjah dengan firman Allah Ta’ala berikut ini,
"Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat-nashuhah (murni), mudah-mudahan Tuhan kalian akan
menghapus kesalahan-kesalahan kalian”. (At-Tahrim:
8).
Juga dengan firman Allah Ta’ala,
"Adapun orang yang bertaubat
dan beriman, serta mengerjakan amal yang shalih, semoga dia termasuk
orang-orang yang beruntung”. (Al-Qashash:
67).
Juga dengan firman Allah Ta’ala,
"Dan bertaubatlah kalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian
beruntung”. (An-Nuur: 31).
Juga dengan firman Allah Ta’ala,
"Dan orang-orang lain yang
mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-adukkan pekerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk; mudah-mudahan Allah menerima taubat
mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At-Taubah:
102).
Kelihatannya, itu semua berlaku bagi orang yang
bertaubat, karena pengakuan menghendaki
pelakunya menyesali diri. Di hadits Aisyah Radhiyallahu Anhu dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Sesungguhnya jika seorang
hamba mengakui dosanya kemudian bertaubat, maka
Allah menerima taubatnya”. [35])
Namun yang benar ialah pendapat jumhur ulama.
Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan
ketiadaan kepastian diterimanya taubat, karena jika orang mulia mengharapkan sesuatu, maka
harapannya tidak diputus. Dari sinilah,
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya kata ‘asa (mudah-mudahan) dari Allah adalah wajib (terjadi)”. Itu dinukil
darinya oleh Ali bin Abu Thalhah. [36])
Selain itu, balasan iman dan perbuatan shalih juga disebutkan dengan kata ‘asa (mudah-mudahan)
dan itu tidak menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dapat dipastikan, seperti firman Allah Ta’ala,
“Hanyalah yang memakmurkan
mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan tidak takut selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang
yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (At-Taubah: 18).
Sedang firman Allah Ta’ala,
"Dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya”. (An-Nisa’: 48). Maka dapat diartikan bahwa orang
yang bertaubat termasuk orang yang di bawah kehendak Allah untuk diberi ampunan,
seperti yang Dia jelaskan di banyak ayat.
Atau bisa jadi yang dimaksud
dengan kebaikan pada sabda Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam di atas, "Lanjutkan kesalahan dengan kebaikan",
ialah lebih umum daripada taubat seperti terlihat di firman Allah Ta’ala,
"Dan dirikanlah shalat pada
kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian
permulaan malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk”. (Huud: 114). Karena
diriwayatkan dari hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu
bahwa orang yang menjadi penyebab turunnya ayat di atas diperintahkan Nabi Shallallahu
Alaihi wa
Sallam untuk
berwudhu dan shalat. [37])
Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits Abu Bakar Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Jika seseorang berbuat dosa
kemudian berdiri untuk bersuci, kemudian shalat, dan beristighfar kepada
Allah, maka Allah
mengampuninya”. Kemudian
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat ini, "Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka
ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka”. (Ali Imran: 135). [38]
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim [39])
disebutkan hadits dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu bahwa ia
berwudhu kemudian berkata,
“Aku lihat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku ini kemudian bersabda,
“Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian
shalat dua raka’at tanpa bicara dengan dirinya di dalamnya, maka
Allah mengampuni dosa-dosa yang telah diperbuatnya”.
Di Musnad Imam Ahmad [40])
disebutkan hadits dari Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu
Anhu yang berkata, aku dengar Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Barangsiapa berwudhu dan
memperbaiki wudhunya kemudian shalat dua atau empat raka’at; ia memperbaiki
ruku’ dan khusyu’ di dalamnya kemudian meminta ampunan kepada Allah, maka
ia diberi ampunan”.
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim [41])
disebutkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Aku berada di samping Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian seseorang datang kepada beliau dan
berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berbuat maksiat, karena
itu, beri aku hukuman”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak bertanya
kepada orang tersebut tentang maksiatnya. Setelah itu, waktu shalat tiba
kemudian orang tersebut shalat bersama Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah
menyelesaikan shalat, orang tersebut mendekat kepada beliau dan berkata,
“Wahai Rasulullah, aku telah berbuat maksiat, karenanya, berlakukan Kitabullah
kepadaku”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada orang
tersebut, “Bukankah engkau ikut shalat bersamaku?” Orang tersebut berkata, “Ya”. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu atau beliau bersabda maksiatmu".
Muslim [42])
meriwayatkan hadits semakna dari Abu Umamah. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir
Ath-Thabari [43])
dari jalur lain dari Abu Umamah. Di dalamnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Terhadap dosamu, engkau
seperti ketika dilahirkan ibumu, jadi, engkau jangan mengulanginya lagi”.
Allah pun menurunkan ayat, "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bagian permulaan malam,
sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk; itulah peringatan
bagi orang-orang yang ingat”. (Huud: 114).
Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim [44])
disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Bagaimana menurut kalian jika
ada sungai di depan rumah salah seorang dari kalian kemudian ia mandi di
dalamnya
Di Shahih
Muslim [45])
disebutkan hadits dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Barangsiapa berwudhu kemudian
memperbaiki wudhunya, maka kesalahan kesalahannya keluar dari
tubuhnya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya”.
Di Shahih Muslim [46])
juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu
yang menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikan
derajat-derajat?" Para sahabat berkata, "Mau,
wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Menyempurnakan wudhu pada saat-saat sulit (misalnya pada saat cuaca
dingin dll), banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah
shalat. Itulah ribath (menahan diri terhadap ketaatan-ketaatan yang
disyariatkan). Itulah ribath”.
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim [47])
disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Barangsiapa berpuasa pada
bulan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap pahalanya di sisi Allah,
maka dosa-dosa yang telah lalu diampuni. Barangsiapa mengerjakan shalat di
bulan Ramadhan dalam keadaan beriman dan menyimpan pahalanya di sisi Allah,
maka dosa-dosa yang telah diperbuatnya diampuni.
Barangsiapa mengerjakan shalat pada Lailatul Qadar dalam keadaan beriman dan
menyimpan pahalanya di sisi Allah, maka dosa-dosa yang telah diperbuatnya diampuni”.
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim juga
disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Barangsiapa berhaji di
Baitullah ini tanpa berkata kotor dan berbuat fasik, ia
keluar dari dosa-dosanya seperti ketika dilahirkan
ibunya”. [48])
Di Shahih
Muslim [49])
disebutkan hadits dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Sesungguhnya Islam
menghapus dosa apa saja sebelum
Islam, sesungguhnya hijrah menghapus dosa apa saja sebelum hijrah,
dan sesungguhnya haji
menghapus dosa apa saja sebelum haji".
Di Shahih Muslim [50]) juga disebutkan hadits Abu Qatadah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda tentang puasa Asyura’,
"Aku berharap kepada Allah,
semoga puasa tersebut menghapus (dosa) setahun sebelumnya”. Tentang puasa hari Arafah, Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Aku
berharap kepada Allah, semoga puasa
tersebut menghapus (dosa) setahun
sebelum dan sesudahnya”.
Imam Ahmad [51])
meriwayatkan hadits Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
“Perumpamaan orang yang mengerjakan
kesalahan-kesalahan kemudian mengerjakan kebaikan-kebaikan ialah
seperti orang yang mengenakan baju besi sempit yang mencekiknya kemudian ia
mengerjakan kebaikan lalu salah satu rantai terlepas. Ia mengerjakan kebaikan lagi kemudian rantai lainnya terlepas hingga ia berjalan di
bumi".
Di antara yang bisa
menghapus kesalahan-kesalahan ialah dzikir kepada Allah Azza wa
Jalla. Sebelumnya telah saya sebutkan hadits bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang kalimat laa
ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah); apakah termasuk kebaikan? Kemudian Nabi Shallallahu
Alaihi wa Salam bersabda,
"Kalimat tersebut adalah kebaikan yang
paling baik”.
Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits
dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
من قال سبحان الله وبحمده فى يومه مائة مرة
حُطَّتْ خطاياه, وإن كانت مثل زبد البحر.
"Barangsiapa
mengatakan, Subhanallah wa bi hamdihi (Mahasuci Allah dengan
memuji-Nya”, sebanyak seratus kali dalam sehari, maka kesalahan-kesalahannya
dihapus kendati sebanyak buih di laut”. [52])
Di Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim juga disebutkan hadits
dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
من قال لا إله إلا
الله وحده لا شريك له, له الملك, وله الحمد, وهو على كل شيئ قدير فى يوم مائة مرة,
كانت له عدل عشر رقاب, وكتبت له مائةُ حسنة, ومُحِيَتْ عنه مائة سيئة, وكانت له
حِرْزًا من الشيطان يومه ذلك حتى يُمسى, ولم يأت أحدٌ أفضل مما جاء به إلا أحد عمِل
أفضلَ من ذلك.
"Barangsiapa
mengatakan, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian,
Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu“,
sebanyak seratus kali dalam sehari, maka itu sama dengan memerdekakan
sepuluh budak, seratus kebaikan ditulis baginya, seratus kesalahan dihapus
darinya, ia mendapatkan penjagaan dari syetan sejak hari itu hingga sore hari dan tidak ada orang
yang mengerjakan sesuatu yang lebih baik dari yang
ia kerjakan kecuali orang yang
mengerjakan hal yang lebih baik
daripada hal tersebut”. [53])
Di Al-Musnad dan buku Ibnu Majah
disebutkan hadits dari Ummu Hani’ Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
لا إله إلا الله لا تَتْرُكُ ذنبا ولا يسْبِقُها عملٌ.
"Kalimat, “Tidak ada tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah”, tidak menyisakan
dosa dan tidak didahului oleh amal perbuatan apa pun”. [54])
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits
dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bahwa beliau berjalan melewati pohon yang
daunnya kering kemudian beliau memukul pohon tersebut dengan tongkat hingga
daun-daunnya beterbangan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya kalimat alhamdulillah
(segala puji bagi Allah), subhanallah (Mahasuci Allah), laa ilaaha illallah (tidak
ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan Allahu akbar (Allah Mahabesar)
itu merontokkan dosa-dosa seorang hamba sebagaimana daun-daun pohon
ini berguguran”. [55])
Imam Ahmad [56])
meriwayatkan dengan sanad shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إن سبحان الله, والحمد لله, ولا إله إلا الله, والله أكبر تَنْفُضُ
الخطايا كما تنفض الشجرةُ وَرَقها.
"Sesungguhnya kalimat Mahasuci Allah,
segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar menggugurkan dosa-dosa sebagaimana pohon menggugurkan
daun-daunnya”.
Hadits-hadits tentang hal ini
sangat banyak dan bisa mempertebal buku ini.
Al-Hasan pernah ditanya tentang
seseorang yang tidak kikuk untuk berbuat maksiat tetapi mulutnya tidak pernah
berhenti berdzikir kepada Allah kemudian Al-Hasan menjawab, "Itu
(dzikir kepada Allah) adalah pertolongan yang baik”.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang
orang yang mendapatkan harta dari sumber yang syubhat; apakah shalat
dan tasbihnya menghilangkan dosanya? Imam Ahmad menjawab, "Jika ia shalat
dan bertasbih karena menginginkan hal tersebut, aku berharap demikian karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan
orang-orang lain yang mengakui
dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk; mudah-mudahan
Allah menerima taubat mereka".
(At-Taubah: 102).
Malik bin Dinar berkata,
"Menangisi kesalahan itu menggugurkan kesalahan-kesalahan
sebagaimana angin menggugurkan daun-daun kering”.
Atha’ berkata, "Barangsiapa
duduk di salah majlis dzikir, maka majlis tersebut menghapus sepuluh majlis
kebatilan”. [57])
Syuwais Al-‘Adawi [58]),
tokoh tabi’in, berkata, "Sesungguhnya malaikat di sebelah
kanan adalah komandan atau ia berkata, malaikat kepercayaan bagi malaikat di
sebelah kiri. Jika anak keturunan Adam melakukan kesalahan dan malaikat di sebelah kiri ingin menulis
kesalahan tersebut, malaikat di sebelah kanan berkata kepada malaikat di
sebelah kiri, “Engkau jangan buru-buru, karena barangkali ia akan mengerjakan kebaikan”. Jika anak keturunan
Adam mengerjakan kebaikan, malaikat
di sebelah kanan mengambil satu kebaikan untuk menghapus satu kesalahan dan
menulis sembilan kebaikan untuknya. Syetan berkata, ”Aduh celakanya, siapakah
yang bisa mengejar pelipat-gandaan kebaikan anak keturunan Adam?”.
Ath-Thabrani [59])
meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan
dari Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
“Jika anak keturunan Adam
tidur, malaikat berkata kepada syetan, Berikan bukumu kepadaku”. Syetan pun memberikan bukunya kepada malaikat
tersebut. Jika malaikat tersebut menemukan satu
kebaikan di dalamnya, ia menghapus
sepuluh kesalahan dengan satu
kebaikan tersebut dari buku syetan dan menulis kesalahan-kesalahan tersebut
sebagai kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu, jika salah seorang dari kalian
tidur, hendaklah ia bertakbir tiga puluh tiga takbir, memuji Allah tiga puluh empat tahmid, dan bertasbih tiga puluh tiga tasbih; total semuanya adalah
seratus”.
Hadits di atas gharib dan munkar.
Waki’ meriwayatkan, Al-A’masy
berkata kepadaku dari Abu Ishaq dari Abu Al-Ahwash yang berkata, Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu
Anhu berkata,
"Aku ingin seandainya diajak berdamai dengan syarat aku mengerjakan sembilan
kesalahan dan satu kebaikan dalam setiap hari”.
Itu isyarat dari Abdullah Mas’ud
bahwa satu kebaikan menghapus sembilan kesalahan dan tersisa satu kelipatan
dari pahala kebaikan kemudian ia merasa cukup dengannya, wallahu
a’lam.
Di antara ulama ada yang berkata
bahwa perbuatan shalih hanya menghapus dosa-dosa kecil. Pendapat tersebut
diriwayatkan dari Atha’ dan generasi salaf lainnya. Mereka berpendapat bahwa wudhu
hanya menghapus dosa-dosa kecil. Tentang wudhu, Salman Al-Farisi berkata, "Sesungguhnya wudhu
menghapus dosa-dosa kecil, berjalan ke
masjid-masjid menghapus dosa-dosa yang lebih besar darinya, dan shalat menghapus dosa-dosa yang lebih besar
lagi darinya”. (Diriwayatkan Muhammad
bin Nashr Al-Marwazi). [60]
Sedang dosa-dosa besar, maka harus dengan taubat, karena
Allah Ta’ala memerintahkan
hamba-hamba-Nya bertaubat dan menamakan orang yang tidak bertaubat sebagai orang yang dzalim. Umat sepakat
bahwa taubat adalah wajib dan kewajiban-kewajiban itu harus ditunaikan dengan
niat dan maksud. Jika dosa-dosa besar
bisa dihapus dengan wudhu, shalat, dan mengerjakan rukun-rukun Islam lainnya, maka tidak lagi diperlukan taubat.
Pendapat seperti ini jelas tidak benar menurut ijma’ ulama.
Begitu juga seandainya dosa-dosa
besar dihapus dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban, maka
tentunya tidak ada dosa yang memasukkan pelakunya ke neraka
jika ia mengerjakan kewajiban-kewajiban. Pendapat ini mirip pendapat kaum Al-Murji’ah
dan jelas batil. Itu yang dikatakan Ibnu Abdul Barr di bukunya At-Tamhid.
Ia mengatakan bahwa kaum Muslimin telah melakukan ijma’ dalam masalah ini dan
ia berhujjah dengan banyak hadits, di antaranya sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
"Shalat lima waktu, Jum’at ke
Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan
adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya
selagi dosa-dosa besar dijauhi".
Hadits tersebut ada di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah
Radhiyallahu Anhu. Hadits tersebut menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus dengan
kewajiban-kewajiban seperti di hadits tersebut.
Ibnu Athiyah di Tafsirnya
menyebutkan dua pendapat tentang makna hadits di atas;
Pertama Dia
membawakan dari jumhur ahli sunnah, bahwasanya menjauhi dosa-dosa
besar adalah syarat dihapusnya dosa-dosa kecil oleh kewajiban-kewajiban seperti
shalat wajib dan lain-lain. Jika dosa besar tidak dijauhi, maka kewajiban-kewajiban
tersebut tidak bisa menghapus dosa-dosa kecil apa pun.
Kedua, kewajiban-kewajiban seperti shalat wajib dan lain-lain
itu menghapus dosa-dosa kecil secara mutlak dan tidak menghapus dosa-dosa besar
jika dosa-dosa
besar tersebut ada pada pelakunya. Itu dengan syarat pelakunya bertaubat dari dosa-dosa kecil dan tidak terus-menerus
melakukannya. Ibnu Athiyah menguatkan
pendapat ini dan mengatakan bahwa pendapat ini berasal dari Al-Hadzaq.
Yang dimaksud dengan perkataan, "Itu dengan syarat
pelakunya bertaubat dari dosa-dosa kecil dan
tidak terus-menerus melakukannya", ialah jika pelakunya terus-menerus mengerjakan dosa-dosa kecil, maka
dosa-dosa kecil tersebut menjadi dosa-dosa
besar dan tidak bisa dihapus dengan amal perbuatan. Pendapat pertama yang
dikatakan Ibnu Athiyah sebagai pendapat yang asing, padahal diriwayatkan dan Abu Bakr Abdul Aziz bin Ja’far yang
berpendapat seperti itu.
Di Shahih Muslim [61]) disebutkan hadits dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Jika waktu shalat wajib tiba pada
orang Muslim kemudian ia memperbaiki wudhu, khusyu’ dan ruku’nya, maka shalat wajib tersebut adalah penghapus dosa-dosa sebelum shalat wajib tersebut
selagi dosa besar tidak dikerjakan.
Itu selama setahun penuh”.
Di Musnad Imam Ahmad [62]) disebutkan hadits dari
Salman Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Tidaklah seseorang bersuci pada Hari jum’at,
kemudian ia memperbaiki bersucinya, lalu datang ke shalat Jum’at dan diam
hingga imam menyelesaikan shalatnya, melainkan itu semua penghapus dosa antara
hari Jum’at tersebut dengan hari Jum’at mendatang selagi dosa mematikan
(dosa besar) dijauhi".
An-Nasai, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim
meriwayatkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri
dan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Demi Dzat yang jiwaku berada
di Tangan-Nya, tidaklah seorang hamba mengerjakan shalat lima waktu,
berpuasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat, dan menjauhi ketujuh
dosa-dosa besar, melainkan pintu-pintu surga dibukakan
untuknya kemudian dikatakan kepadanya, Masuklah dengan sejahtera". [63])
Hadits semakna diriwayatkan Imam
Ahmad dan An-Nasai dari hadits Abu Ayyub Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [64]) Hadits semakna
juga diriwayatkan Al-Hakim [65])
dari hadits Ubaid bin Umair dari ayahnya dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Allah Azza wa jalla berfirman,
Hai anak
keturunan Adam, ingatlah kepada-Ku sesaat sejak awal
siang dan sesaat akhir siang, niscaya Aku mengampunimu di antara waktu tersebut kecuali dosa-dosa besar atau engkau bertaubat darinya". [66])
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
Anhu berkata, "Shalat
Salman Radhiyallahu Anhu berkata, "Peliharalah
shalat-shalat
Ibnu Umar Radhiyallahu
Anhuma berkata kepada seseorang, "Apakah engkau
takut dimasukkan ke neraka dan ingin dimasukkan ke surga?" Orang tersebut
menjawab, "Ya”.
Ibnu Umar berkata, "Berbaktilah kepada
ibumu. Demi Allah, jika engkau berkata lembut kepadanya dan memberinya
makan, engkau pasti masuk surga selagi
engkau menjauhi dosa-dosa besar”.
Qatadah berkata, "Ampunan
dijanjikan Allah bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar.
Disebutkan kepada kami bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jauhilah oleh kalian dosa-dosa besar, istiqamahlah (dalam beramal dan berkata
benar), dan berilah khabar gembira”.
Sejumlah orang dari ulama hadits dan
lain-lain, di antaranya Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, berpendapat bahwa
perbuatan-perbuatan itu menghapus dosa-dosa besar. Pendapat tersebut dicounter
Ibnu Abdul Barr di bukunya, At-Tamhid, dan berkata, "Tadinya, aku tidak
tertarik membahas masalah ini. Kalaulah tidak ada pendapat
orang seperti itu (pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri dll tersebut) dan aku
tidak khawatir orang bodoh tertipu oleh pendapat tersebut kemudian ia hanyut dalam
dosa-dosa yang membinasakan karena meyakini bahwa dosa-dosa besar tersebut
dihapus oleh shalat
Saya katakan, pendapat seperti itu
juga dilontarkan sejumlah ulama hadits tentang wudhu dan lain-lain.
Pendapat yang sama dikemukakan Ibnu Al-Mundzir tentang qiyamul lail pada Lailatul
Qadar. Ia berkata, "Orang yang mengerjakannya diharapkan
seluruh dosa-dosanya; dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besarnya, diampuni”. Jika yang dimaksud mereka ialah
barangsiapa mengerjakan kewajiban-kewajiban
Islam namun ia tetap mengeriakan dosa-dosa besar, niscaya dosa-dosa besarnya pasti diampuni, pendapat tersebut pasti
batil dan tidak sah menurut agama, karena sebelumnya telah saya sebutkan
sabda Shallallahu Alalhi wa Sallam, “Barangslapa berbuat salah dalam Islam, ia dihukum
sejak masa pertama dan terakhir”. Maksudnya,
perbuatannya selama masa jahiliyah dan Islam. Hadits ini tidak lagi memerlukan penjelasan. Jika yang mereka
dimaksudkan bahwa barangsiapa tidak terus-menerus
mengerjakan dosa-dosa besar dan mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam, namun ia tidak bertaubat dan menyesali
dosa-dosa silamnya, maka dosa-dosa
besarnya dihapus dengan kewajiban-kewajiban Islam. Kemudian mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala,
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami
hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kamu ke tempat yang
mulia”. (An-Nisa’: 31).
Dan mereka juga berkata bahwa
kesalahan-kesalahan di ayat di atas mencakup dosa-dosa besar dan dosa-dosa
kecil. Maka sebagaimana dosa-dosa kecil bisa dihapus dengan meninggalkan
dosa-dosa besar tanpa maksud dan niat, maka demikian pula dengan dosa-dosa
besar, mereka juga berhujjah bahwa Allah menjanjikan ampunan dan penghapusan
kesalahan-kesalahan bagi orang-orang beriman dan orang-orang bertakwa, karena
toh itu semua disebutkan di banyak ayat dalam Al-Qur’an, padahal itu semua adalah hak orang-orang
bertakwa karena mereka mengerjakan
kewajiban-kewajiban Islam dan menjauhi dosa-dosa besar. Menjauhi dosa-dosa besar itu tidak membutuhkan niat dan
maksud. Maka inilah yang mungkin bisa
dikatakan.
Namun yang benar ialah pendapat jumhur ulama bahwa
dosa-dosa besar tidak bisa dihapus tanpa
dengan taubat karena taubat adalah perintah wajib kepada hamba-hamba Allah,
karena Allah Azza wa jalla berfirman,
"Dan barangsiapa tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”.
(Al-Hujurat: 11).
Sedang dalil-dalil yang mengandung
pengampunan dosa-dosa dan penghapusan kesalahan-kesalahan bagi orang-orang bertakwa,
misalnya firman Allah Ta’ala,
"Hai orang-orang yang beriman,
jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia
memberikan furqan kepada kalian dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan
kalian”. (Al-Anfal: 29).
Atau seperti firman Allah Ta’ala,
"Dan barangsiapa beriman
kepada Allah dan mengerjakan amal shalih, niscaya Allah
menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya; itulah keberuntungan yang besar".
(At-Taghabun: 9).
Atau seperti firman Allah Ta ala,
"Dan barangsiapa bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia menghapus kesalahan-kesalahannya
dan melipat-gandakan pahala baginya”. (Ath-Thalaq: 5).
Maka pada ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala tidak
menjelaskan sifat-sifat takwa dan
perbuatan shalih. Termasuk perbuatan shalih ialah taubat nashuhah. Jadi, barangsiapa tidak bertaubat, ia
orang dzalim dan tidak bertakwa.
Di
Di antara dalil yang menunjukkan
bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus tanpa taubat atau hukuman
karenanya ialah hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu yang
berkata,
"Kami berada di samping
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau
bersabda, “Berbaiatlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatu apa pun, tidak mencuri, dan tidak berzina”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat
di
Hadits tersebut diriwayatkan
Al-Bukhari dan Muslim di Shahihnya masing-masing.
Di riwayat Muslim disebutkan,
"Barangsiapa di antara kalian
mengerjakan maksiat kemudian hukuman dijatuhkan kepadanya, maka itu
penghapus dosa baginya”. [69])
Itu menunjukkan bahwa hudud (hukuman syar’i)
adalah penghapus dosa. Imam Syafi’i
berkata, "Tentang masalah hudud
(hukuman syar’i) adalah penghapus dosa
bagi pelakunya, aku tidak mendengar
hadits yang lebih baik daripada hadits Ubadah bin Ash-Shamit”.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, "Kemudian ia dihukum karenanya", mencakup hukuman-hukuman syar’iyah, yaitu
hudud yang telah ditentukan atau hudud yang tidak ditentukan
misalnya sanksi disiplin dan juga mencakup hukuman-hukuman
yang bersifat takdir misalnya musibah, sakit, dan penderitaan.
Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa
beliau bersabda,
ما يصيب المسلم نَصَبٌ ولا وصبٌ ولا
هَمٌّ ولا حُزْنٌ حتى الشوكة يشاكُها إلا كفَّر الله بها من خطاياه.
“Tidaklah
menimpa orang Muslim kelelahan, sakit, galau, sedih, hingga duri yang mengenainya, melainkan
Allah menghapus kesalahan-kesalahannya dengan itu semua”. [70])
Diriwayatkan dari Ali
bin Abu Thalib
Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Sesungguhnya
hudud adalah penghapus dosa bagi
orang yang mendapatkannya". [71])
Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan
perbedaan ulama dalam masalah ini dan ia menguatkan pendapat yang
menyatakan bahwa pemberlakukan hudud saja itu sudah menghapus dosa. Ia
melemahkan pendapat kebalikannya.
Saya katakan, diriwayatkan dari Sa’id
bin Al-Musaiyyib dan Shafwan bin Sulaim bahwa pelaksanaan hudud itu tidak mpnghapus dosa dan
wajib disertai dengan taubat. Pendapat
tersebut dipilih sejumlah ulama mutaakhirin, di antaranya Al-Baghawi dan Abu Abdullah bin Taimiyah [72]) di Tafsirnya
masing-masing. Ini pendapat Ibnu
Hazm Adz-Dzahiri, sedang pendapat pertama adalah pendapat Mujahid, Zaid bin Aslam, Ats-Tsauri, dan Imam
Ahmad.
Sedang hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhudari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Aku
tidak tahu apakah
hudud itu menyucikan pelakunya atau tidak",
maka diriwayatkan Al-Hakim dan lain-lain [73]),
Al-Bukhari [74])
mencacat hadits tersebut dan berkata, "Hadits tersebut tidak
kuat”. Hadits tersebut termasuk hadits-hadits mursal Az-Zuhri
dan dhaif. Abdurrazzaq keliru dengan
mengatakan bahwa
sanad hadits tersebut tidak terputus. Abdurrazzaq berkata, "Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa hudud adalah penghapus dosa”.
Di antara dalil orang-orang yang
berpendapat bahwa hudud
bukan penghapus dosa ialah firman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya,
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan silang, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya); yang demikian itu suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di
akhirat mereka memperoleh siksaan
yang besar. Kecuali orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menangkap mereka, maka
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (Al-Maidah: 33-34).
Tekstual ayat di atas menegaskan
bahwa hukuman dunia dan hukuman akhirat diberikan kepada mereka. Namun alasan seperti itu
bisa dijawab bahwa Allah Ta’ala menyebutkan hukuman mereka di dunia dan hukuman mereka di
akhirat tanpa menyatukan kedua hukuman tersebut bagi mereka. Sedang
pengecualian dengan, “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan seterusnya",
maka pengecualian tersebut ialah pengecualian dari hukuman di dunia
saja karena hukuman di akhirat gugur dengan taubat sebelum dan sesudah
penangkapan mereka.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, "Barangsiapa mengerjakan salah satu
dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian Allah merahasiakannya baginya, maka ia
terserah kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia menyiksanya dan jika Dia
berkehendak maka Dia mengampuninya"; secara tegas menyatakan barangsiapa
bertemu Allah dengan membawa dosa-dosa besar, maka dosa-dosa besar
tersebut berada di bawah kehendak-Nya. Ini menunjukkan bahwa pengerjaan kewajiban-kewajiban
Islam itu tidak menghapus dosa-dosa besar, karena keumuman kaum
Muslimin mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, terutama para sahabat yang dibaiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hal ini dikecualikan dari orang yang
menghadap Allah dalam keadaan bertaubat dari dosa-dosa besar, dengan nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan
bahwa barangsiapa bertaubat kepada
Allah maka Allah menerima taubatnya dan mengampuninya. Oleh karena itu, hanya
orang yang tidak bertaubat yang masuk dalam kehendak Allah.
Hadits tersebut juga menunjukkan
bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus oleh perbuatan-perbuatan, karena
Allah Ta’ala tidak menentukan penghapus dosa yang
bersifat wajib bagi dosa-dosa besar, namun menentukan kafarat (penghapus)
bagi dosa-dosa kecil, seperti dosa menggauli istri yang telah didzihar
dan menggauli istri yang sedang haid seperti terlihat di hadits Ibnu
Abbas [75]) pendapat itulah yang dianut
Imam Ahmad dan lain-lain dan menentukan kafarat (penghapus) bagi orang yang tidak mengerjakan salah satu dari kewajiban-kewajiban haji atau
bagi orang yang mengerjakan salah satu larangan-larangan haji, yaitu empat hal;
penyembelihan hewan qurban,
memerdekakan budak, sedekah, dan puasa. Oleh karena itu, kafarat
tidak wajib dalam kasus
pembunuhan dengan sengaja menurut jumhur ulama dan tidak wajib dalam sumpah ghamus [76])
menurut sebagian besar ulama, namun
pembunuh hanya disuruh memerdekakan budak dan itu pun sunnah, seperti terlihat di hadits Watsilah bin Al-Asqa’ bahwa
orang-orang datang kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam membahas tentang
sahabat mereka yang telah mengerjakan
kesalahan yang membuatnya wajib masuk neraka kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Merdekakan budak atas nama orang tersebut
karena Allah membebaskannya dari neraka dengan budak tersebut". [77])
Jika ada yang berkata, orang yang menggauli istrinya pada
saat berpuasa bulan Ramadhan diperintahkan
membayar kafarat, padahal tidak berpuasa di bulan Ramadhan termasuk dosa besar. Jawabnya, kafarat
diperintahkan bukan karena orang tersebut tidak berpuasa di bulan
Ramadhan, oleh karena itu, kafarat tidak
wajib bagi seluruh orang yang tidak
berpuasa dengan sengaja di bulan Ramadhan menurut sebagian besar ulama,
namun kafarat diwajibkan karena menodai kehormatan siang hari Ramadhan dengan melakukan hubungan suami-istri. Oleh karenanya,
jika seseorang tidak berpuasa karena alasan yang
tidak diperbolehkan baginya di siang hari Ramadhan kemudian ia
menggauli istrinya, maka kafarat menjadi wajib baginya menurut Imam Ahmad seperti
telah saya sebutkan sebelumnya.
Di antara hujjah yang menunjukkan
bahwa kewajiban-kewajiban Islam hanya menghapus dosa-dosa kecil ialah
hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Ketika kami sedang duduk di
tempat Umar bin Khaththab, tiba-tiba ia berkata,
“Siapa di antara kalian yang hapal sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam tentang fitnah?” Aku berkata, “Fitnah seseorang terhadap keluarga,
harta, anak, dan tetangganya itu bisa dihapus oleh shalat, sedekah dan amar ma’ruf nahi munkar”. Umar bin Khaththab berkata, “Bukan ini yang aku tanyakan kepadamu".
Hadits semakna diriwayatkan Muslim.
Tekstual hadits di atas menghendaki hadits tersebut berasal dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Di
riwayat Al-Bukhari bahwa Hudzaifah berkata,
"Aku dengar Umar bin Khaththab berkata tentang fitnah laki-laki", kemudian Hudzaifah menyebutkan hadits
tersebut. Itu penegasan bahwa hadits
tersebut berasal dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Di riwayat
Muslim disebutkan bahwa perkataan tersebut adalah perkataan Umar bin Khaththab. [79])
Adapun sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam kepada orang yang berkata, "Wahai
Rasulullah, sungguh aku telah berbuat maksiat, karena itu, beri aku aku hukuman",
kemudian beliau membiarkan orang tersebut hingga beliau shalat, lalu bersabda kepadanya, "Sesungguhnya
Allah telah mengampuni maksiatmu",
maka tidak ada penjelasan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan
maksiat tersebut ialah salah satu dari dosa besar, karena hukum-hukum Allah Ta’ala adalah hal-hal yang diharamkannya seperti yang Dia firmankan,
"Itulah hukum-hukum Allah dan
barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri".
(Ath-Thalaq: 1).
Allah Ta’ala berfirman,
"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian
melanggarnya". (Al-Baqarah: 229).
Allah Ta’ala berfirman,
"(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah; barangsiapa taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya
dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan”. (An-Nisa’:
13-14).
Di hadits An-Nawwas bin Sam’an [80])
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang
perumpamaan Islam dengan jalan lurus yang di kedua sisinya terdapat tembok,
beliau bersabda, "Kedua tembok tersebut adalah hukum-hukum Allah”. Hadits
tersebut secara lengkap telah saya sebutkan sebelumnya.
Jadi siapa saja mengerjakan salah satu dari hal-hal yang
diharamkan Allah, berarti ia melanggar
hukum-hukum-Nya, menerjangnya, dan melanggarnya. Jika diasumsikan bahwa maksiat yang dikerjakan orang
yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah dosa besar, orang tersebut datang kepada
beliau dalam keadaan menyesal,
bertaubat, dan menyerahkan dirinya dihukum, maka penyesalan adalah taubat dan taubat itu menghapus
dosa-dosa besar tanpa ada keraguraguan
di dalamnya.
"Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mengerjakan dosa besar, adakah taubat untukku?"
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah engkau masih mempunyai ibu?" Orang tersebut menjawab, "Tidak”. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Apakah engkau masih
mempunyai bibi dari jalur
ibu?" Orang tersebut menjawab, "Ya”.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Berbaktilah kepadanya”. [81])
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Ibnu Hibban di Shahihnya dan Al-Hakim yang berkata, "Hadits
tersebut menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”. Namun hadits tersebut
diriwayatkan At-Tirmidzi dari jalur lain secara mursal dan menyebutkan bahwa ke-mursal-an hadits tersebut lebih shahih daripada maushulnya (sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam). Itu pula yang dikatakan Ali bin Al-Madini dan Ad-Daruquthni.
Diriwayatkan dari Umar bin
Khaththab Radhiyallahu Anhu bahwa seseorang
berkata kepadanya, "Aku telah membunuh orang”. Umar bin Khaththab
berkata, "Apakah ibumu masih hidup?" Orang tersebut
berkata, "Tidak”. Umar bin Khaththab berkata, "Apakah ayahmu masih
hidup?" Orang tersebut menjawab, "Ya”. Umar bin
Khaththab berkata, "Berbaktilah dan berbuat baiklah kepadanya”. Setelah itu, Umar bin Khaththab berkata, "Jika ibu
seseorang masih hidup kemudian ia berbakti
dan berbuat baik kepadanya, aku berharap ia tidak dilalap neraka selama-lamanya”.
Hadits semakna diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma. [82])
Begitu juga wanita penyihir di
Dumatul Jandal dan datang ke Madinah guna menanyakan tentang taubatnya,
namun ia mendapati Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah
wafat kemudian para sahabat berkata kepadanya, "Jika kedua orang
tuamu atau salah satu dari keduanya masih hidup, keduanya sudah cukup bagimu”.
Hadits ini diriwayatkan Al-Hakim. [83])
Ia berkata, "Di hadits tersebut terdapat ijma’ (konsensus) para sahabat
tidak lama setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bahwa berbakti kepada kedua orang tua itu sudah cukup bagi
wanita penyihir tersebut”. Makhul dan Imam Ahmad berkata, "Berbakti
kepada kedua orang tua itu menghapus dosa-dosa besar”.
Diriwayatkan dari salah seorang generasi salaf bahwa
memikul jenazah itu menghapus dosa-dosa
besar. Hal tersebut juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
dari banyak jalur yang tidak
shahih. [84])
Diriwayatkan dengan shahih dari Abu
Burdah bahwa ketika Abu Musa Al-Asy’ari hendak meninggal dunia, ia berkata, "Hai
anak-anakku, ingatlah kalian akan
pemilik roti. Seseorang beribadah di salah satu biara selama tujuh puluh tahun
kemudian syetan menjelma menjadi wanita dalam pandangannya lalu ia bersama wanita tersebut selama tujuh hari tujuh
malam. Setelah itu, tabir dibuka dari orang tersebut kemudian ia keluar dari
biara dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, disebutkan bahwa orang tersebut
bermalam bersama orang-orang miskin lalu orang-orang miskin tersebut diberi
sedekah; masing-masing dari mereka diberi satu roti. Orang-orang miskin tersebut pun memberi satu roti kepada orang
tersebut. Salah seorang dari orang
miskin tersebut kehilangan rotinya. Ketika orang tersebut mengetahui orang
miskin tersebut kehilangan roti, ia berikan rotinya kepada orang miskin tersebut. Keesokan harinya, orang tersebut
meninggal dunia. Perbuatannya selama tujuh puluh tahun ditimbang dengan
perbuatannya selama tujuh hari tujuh malam,
ternyata perbuatannya selama tujuh hari tujuh malam lebih berat. Satu rotinya ditimbang dengan tujuh hari tujuh malam,
ternyata satu roti tersebut lebih berat daripada tujuh hari tujuh malam
tersebut”. [85])
Ibnu Al-Mubarak meriwayatkan dengan
sanadnya di Al-Birru wash Shilah hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
Anhu yang
berkata, "Salah seorang hamba Allah
beribadah selama tujuh puluh tahun kemudian mengerjakan perbuatan keji. Akibatnya, Allah menghapus amalnya. Setelah itu,
ia menderita penyakit kronis dan
lumpuh. Tiba-tiba, ia melihat seseorang bersedekah kepada orang-orang miskin kemudian ia pergi kepada orang tersebut,
mengambil satu roti darinya, dan menyedekahkannya
kepada seorang miskin. Allah pun mengampuninya dan mengembalikan amalnya selama
tujuh puluh tahun”.
Semua kisah ini menjadi bukti bahwa
dosa-dosa besar bisa dihapus hanya dengan amal-amal perbuatan, karena
semua pelaku kisah-kisah tersebut adalah orang yang menyesali diri dan
bertaubat dari dosa-dosanya. Sahabat di hadits di atas
hanya menanyakan amal shalih yang bisa mendekatkan diri kepada Allah setelah bertaubat
agar ia bisa menghapus bekas seluruh dosanya dengan amal tersebut, karena
Allah Ta’ala mensyaratkan diterimanya taubat dan pengampunan dosa-dosa dengan
amal shalih, seperti yang Dia firmankan,
"Kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka akan masuk surga dan tidak dianiaya
(dirugikan) sedikit pun”. (Maryam: 60).
Atau firman-Nya,
"Dan sesungguhnya Aku Maha
Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian
tetap di jalan yang benar”. (Thaha: 82).
Atau firman-Nya,
“Adapun orang yang bertaubat dan
beriman, serta mengerjakan amal shalih, semoga dia
termasuk orang-orang yang beruntung”. (Al-Qashash:
67).
Ayat-ayat di atas adalah koreksi
bagi orang yang berpendapat bahwa orang yang bertaubat setelah taubatnya itu berada dalam
kehendak Allah Ta’ala. Seperti di
ayat-ayat itulah kondisi kebanyakan generasi salaf yang takut kepada Allah Ta’ala. Salah seorang dari mereka berkata kepada seseorang, "Apakah engkau
pernah berbuat dosa?" Orang
tersebut menjawab, "Ya, pernah”. Orang salaf tersebut berkata, "Apakah kemudian engkau mengetahui bahwa
Allah menuliskannya bagimu?" Orang
tersebut menjawab, "Ya”. Orang
salaf tersebut berkata, "Berbuatlah hingga engkau mengetahui bahwa Allah menghapus dosamu”. Ibnu Mas’ud berkata,
"Orang Mukmin melihat
dosa-dosanya seperti ia berada di puncak gunung dan ia khawatir jatuh
padanya, sedang orang berdosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang terbang di hidungnya kemudian ia menjulurkan
tangannya seperti ini”. (Diriwayatkan
Al-Bukhari). [86]
Generasi salaf mencemaskan amal-amal dan taubat mereka,
serta khawatir semua tidak diterima. Sikap
seperti itu membuat mereka sangat takut dan serius dalam amal-amal
shalih. Al-Hasan berkata, "Aku pernah bertemu dengan kaum-kaum yang jika
salah seorang dari mereka berinfak sebesar bumi, ia tidak merasa aman karena besarnya dosa dalam dirinya”. Ibnu Aun
berkata, "Engkau jangan yakin
dengan banyaknya amal, karena engkau tidak tahu apakah amal tersebut diterima atau tidak. Engkau juga jangan merasa
aman dari dosa-dosamu, karena engkau
tidak tahu apakah dosa-dosamu dihapus darimu atau tidak. Sesungguhnya seluruh amalmu dihilangkan darimu”.
Yang paling benar dalam masalah ini
wallahu a’lam, yaitu
masalah penghapusan dosa-dosa besar dengan
amal-amal ialah jika yang dimaksudkan bahwa dosa-dosa besar bisa dihapus dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dosa-dosa kecil bisa dihapus dengan menjauhi dosa-dosa besar, maka
itu batil. Namun jika yang dimaksud
bahwa dosa-dosa besar ditimbang dengan amal-amal pada Hari Kiamat kemudian
dosa-dosa besar dihapus dengan amal-amal yang mengalahkannya hingga amal-amal tersebut habis dan tidak tersisa pahala
bagi pelakunya, maka itu bisa saja terjadi.
Sebelumnya saya sebutkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa ketika ia
memerdekakan budaknya yang telah ia pukul, ia berkata, "Aku tidak
mempunyai pahala sedikit pun di dalamnya", karena memerdekakan budak adalah kafarat pemukulan terhadap budak tersebut, padahal dosanya bukan
dosa besar, maka bagaimana dengan
amal-amal yang menghapus dosa-dosa besar?
Sebelumnya juga disebutkan perkataan
salah seorang generasi salaf, "Sesungguhnya kesalahan dihapus dan satu
kebaikan di antara kebaikan-kebaikan yang merupakan balasan amal menjadi
hilang”. Jika itu terjadi pada dosa-dosa kecil, maka bagaimana dengan dosa-dosa
besar? Karena sebagian dosa besar bisa jadi menghapus salah satu amal,
sebagaimana mengungkit-ungkit sedekah dan menyakiti penerima
sedekah itu membatalkan sedekah dan berinteraksi dengan riba itu menghapus
jihad seperti dikatakan Aisyah. [87]) Hudzaifah berkata, "Menuduh wanita baik-baik melakukan zina itu
menghapus amal selama seratus tahun”. Ucapan yang sama diriwayatkan dari Hudzaifah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan diriwayatkan
Al-Bazzar. [88]) Juga sebagaimana tidak shalat Ashar itu menghapus
amal. Jadi, tidak dipungkiri bahwa
pahala amal yang telah menghapus dosa-dosa besar itu menjadi hilang.
Al-Bazzar di Musnadnya
dan Al-Hakim meriwayatkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan seorang hamba
didatangkan pada Hari Kiamat kemudian masing-masing diqishas atau dibayarkan
satu sama lainnya. Jika yang tersisa bagi hamba tersebut adalah kebaikan, ia dilapangkan di surga dengan
kebaikan tersebut”. [89])
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadits
dari Ibnu Lahiah yang berkata, Atha’ bin Dinar berkata kepadaku dari
Sa’id bin Jubair tentang firman Allah Ta’ala,
فمن يعمل مثقال ذرة
خيرا يره.
"Barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya”.
(Az-Zalzalah: 7).
Sa’id bin Jubair berkata, "Tadinya kaum Muslimin
berpendapat bahwa mereka tidak diberi pahala atas sesuatu yang sedikit yang
telah mereka berikan. Orang
miskin datang kemudian mereka menganggap sedikit jika mereka memberikan satu
biji kurma, uang recehan, buah jauzah (jenis buah yang berkulit dan berdaging keras), dan lain-lain kepada orang
miskin tersebut. Mereka mengembalikannya
pemberian tersebut dengan berkata,”Pemberian ini tidak ada apa-apanya. Kita diberi pahala sesuai dengan apa yang kita
berikan padahal kami menyukai pemberian
tersebut.” Sebagian lain berpendapat bahwa mereka tidak dikecam atas dosa kecil
seperti dosa berbohong, melihat orang-orang yang bukan mahramnya, menggunjing, dan lain-lain. Mereka berkata, “Allah
hanya mengancam neraka bagi dosa-dosa
besar”. Lalu Allah menganjurkan mereka mengerjakan kebaikan yang sedikit
karena sesuatu yang sedikit tersebut bisa menjadi banyak dan memperingatkan mereka dari dosa kecil karena dosa kecil
tersebut bisa menjadi dosa besar. Lalu
turunlah ayat, “Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun”. Maksudnya, kebaikan
sebesar semut yang paling kecil”. Niscaya
dia akan melihatnya”. Maksudnya, ia melihatnya di bukunya dan ia
senang karenanya. Bagi orang baik-baik dan
orang jahat, setiap kesalahan ditulis satu kesalahan dan setiap satu kebaikan ditulis sepuluh kebaikan. Pada Hari Kiamat, Allah
melipat-gandakan kebaikan-kebaikan
orang Mukmin di mana satu kebaikan menjadi sepuluh kebaikan kemudian setiap
kebaikan darinya menghapus sepuluh kesalahan. Barangsiapa kebaikannya melebihi kesalahan-kesalahannya kendati sebesar
biji sawi, ia masuk surga”. [90])
Tekstual perkataan di atas menyatakan
bahwa terjadi saling qishas antara kebaikan dengan kesalahan kemudian kebaikan yang menghapus kesalahan akan gugur. Setelah qishas selesai, sisa yang ada
dilihat. Ini sejalan dengan pendapat orang
yang berkata bahwa orang yang kebaikan-kebaikannya lebih berat daripada
kesalahan-kesalahannya kendati cuma satu kebaikan, maka ia diberi pahala karena
satu kebaikan itu saja, sedang kebaikan-kebaikannya yang lain telah
gugur karena telah digunakan untuk menghapus kesalahan. Pendapat tersebut
berbeda dengan pendapat orang yang berkata
bahwa orang tersebut diberi pahala atas semua kebaikannya dan kesalahan-kesalahannya menjadi sirna seperti tidak pernah
ada. Itu terjadi pada dosa-dosa
besar, sedang pada dosa-dosa kecil maka bisa jadi dosa-dosa kecil tersebut dihapus dengan amal-amal shalih
tanpa menggugurkan pahala amal-amal
shalih tersebut, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Maukah kalian aku tunjukkan
sesuatu yang menghapus kesalahan-kesalahan dan
meninggikan derajat-derajat?"
Pada hadits di atas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menegaskan bahwa amal-amal
tersebut menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat-derajat. Begitu juga
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa mengatakan, “Laa ilaaha illallah
wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku, wa
lahul hamdu, yuhyi wa yumitu, wa huwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya,
bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu)”, sebanyak
seratus kali dalam sehari, maka itu sama dengan memerdekakan sepuluh budak,
seratus kebaikan ditulis baginya, seratus
kesalahan dihapus darinya, ia mendapatkan penjagaan dari syetan sejak hari itu hingga sore hari dan tidak ada orang yang
mengerjakan sesuatu yang lebih baik
dari yang ia kerjakan kecuali orang yang mengerjakan hal yang lebih baik daripada dirinya”. [92])
Hadits tersebut menunjukkan bahwa
dzikir bisa menghapus kesalahan-kesalahan dan pahalanya tetap
dilipat-gandakan bagi pelakunya.
Begitu juga kesalahan-kesalahan
orang yang bertaubat dengan taubat nashuhah, maka
dihapus darinya dan kebaikan-kebaikannya tetap ada, seperti difirmankan
Allah Ta’ala,
"Kami perintahkan
kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah-payah dan melahirkannya
dengan susah-payah, mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu bapakku dan supaya
aku dapat berbuat amal yang shalih
yang Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku, sesungguhnya aku
bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. Mereka itulah
orang-orang yang Kami terima dari
mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka bersama penghuni-penghuni surga sebagai janji yang
benar yang telah dijanjikan kepada mereka”. (Al-Ahqaf:
l5-16).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan orang yang
membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang
yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka
kehendaki di sisi Tuhan mereka; demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah menutupi
(mengampuni) bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan dan
membalas mereka dengan upah yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Az-Zumar:
33-35).
Karena Allah Ta’ala
menyifati orang-orang di ayat di
atas sebagai orang-orang bertakwa
dan orang-orang yang berbuat baik, maka itu menunjukkan bahwa mereka tidak terus-menerus berbuat dosa, namun
bertaubat darinya.
Allah Ta’ala berfirman, "Agar Allah menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan”. Dosa-dosa besar masuk ke dalam perbuatan
paling buruk yang mereka kerjakan, karena dosa-dosa besar termasuk
perbuatan-perbuatan paling buruk. Allah Ta’ala
berfirman,
"Dan barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia menghapus kesalahan-kesalahannya
dan melipat-gandakan pahala baginya”. (Ath-Thalaq: 5).
Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan
bahwa takwa yang mengandung pengertian mengerjakan kewajiban-kewajiban dan
meninggalkan hal-hal yang diharamkan itu menghapus dosa-dosa dan melipat-gandakan
pahala. Selain itu, Allah Ta’ala menjelaskan tentang kaum Mukminin yang memikirkan
penciptaan langit dan bumi bahwa mereka
berkata,
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya
kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), Berimanlah
kalian kepada Tuhan kalian,”maka kami beriman. Ya Tuhan
kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami beserta orang-orang
yang berbakti”. (Ali Imran: 193).
Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan
bahwa Dia mengabulkan doa mereka, menghapus kesalahan-kesalahan mereka, dan
memasukkan mereka ke surga.
Allah Ta’ala berfirman, "Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami”. Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dosa-dosa diampuni sementara kesalahan-kesalahan dihapus.
Sebagian ulama mutaakhirin membedakan antara kata maghfirah
(ampunan) dengan takfir (penghapusan dosa) dengan mengatakan bahwa takfir ialah penghapusan
bekas dosa hingga dosa tersebut sepertinya tidak pernah ada, sedang maghfirah (ampunan) mengandung makna takfir
tersebut plus penghormatan Allah dan pemuliaan-Nya terhadap seorang hamba.
1.
Maghtirah (ampunan) itu terjadi tanpa melalui
hukuman dan siksa, karena maghfirah (ampunan) adalah perlindungan dari
keburukan seluruh dosa, sedang takfir
(penghapusan dosa) bisa saja terjadi setelah melalui hukuman, karena seluruh musibah dunia
adalah penghapus kesalahan-kesalahan dan musibah-musibah
tersebut notebene adalah hukuman. Maaf bisa juga terjadi setelah atau tanpa hukuman. Rahmat juga begitu.
2.
Perbuatan-perbuatan yang
merupakan kafarat tidak dibuat Allah untuk mengikis dosa-dosa dan menghapusnya, namun
penghapusan dosa tersebut adalah pahala dari perbuatan-perbuatan
tersebut dan amal-amal tersebut tidak
mendapatkan pahala selain untuk menghapus dosa-dosa tersebut. Pada umumnya perbuatan-perbuatan tersebut adalah upaya
melawan hawa nafsu dan bersabar
menahan kesulitan di dalamnya seperti menjauhi dosa-dosa besar yang dijadikan Allah sebagai penghapus
dosa-dosa kecil.
Sedang perbuatan-perbuatan yang
membuat dosa-dosa diampuni, maka bukan perbuatan-perbuatan seperti di atas, namun
perbuatan-perbuatan yang mendapatkan
ampunan dan pahala sekaligus, seperti dzikir yang menghasilan
kebaikan-kebaikan dan menghapus
kesalahan-kesalahan. Dalam pengertian ini, maka perbuatan-perbuatan yang merupakan kafarat bisa dibedakan
dengan perbuatan-perbuatan yang tidak
merupakan kafarat sedang penghapusan dosa-dosa dan pengampunannya; jika disandarkan kepada Allah, maka
tidak ada perbedaan di antara
keduanya. Menurut pengertian pertama, terdapat perbedaan antara penghapusan dosa-dosa dan pengampunnya.
Pengertian sisi kedua tersebut dikuatkan dua hal;
1. Perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma ketika memerdekakan budak yang telah dipukulnya, "Aku tidak mendapatkan
sedikit pun pahala di dalamnya",
karena ia berpendapat bahwa pemerdekaan budak olehnya adalah penghapus
dosa ia memukulnya.
2. Seluruh musibah dunia adalah penghapus dosa. Banyak
sekali sahabat dan generasi salaf berkata, "Perbuatan-perbuatan yang menghapus kesalahan-kesalahan
itu tidak mendapatkan pahala," meskipun sebagian dari mereka tidak sependapat dengan pendapat tersebut.
Kendati demikian, tidak dapat dikatakan
bahwa kafarat di hadits tentang mimpi [93]) itu ditafsirkan dengan menyempurnakan wudhu di saat kritis (misalnya
cuaca dingin, sakit, dll) dan melangkah ke masjid, kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa berbuat seperti, ia
hidup dengan baik, mati dengan baik, dan terhadap kesalahannya, ia
seperti ketika dilahirkan ibunya”.
Kendati perbuatan-perbuatan tersebut
menghapus kesalahan-kesalahan, perbuatan-perbuatan tersebut meninggikan derajat dan
mendapatkan pahala, karena kita berkata bahwa bisa jadi satu perbuatan itu
mendapatkan dua hal; salah satunya meninggikan derajat dan satunya
menghapus kesalahan-kesalahan. Wudhu diberi pahala, namun menyempurnakan wudhu
pada saat cuaca dingin termasuk penderitaan yang dirasakan jiwa manusia di dunia, jadi,
menyempurnakan wudhu pada saat seperti itu
adalah kafarat (penghapus
dosa). Sedang menyempurnakan wudhu pada
saat cuaca tidak dingin, hanya membuat dosa-dosa diampuni sebagaimana halnya dzikir dan lain-lain. Begitu juga pergi
untuk shalat berjama’ah adalah ibadah, ketaatan,
dan diberi pahala, sedang kesulitan, penderitaan, dan kelelahan yang dirasakan jiwa karenanya adalah kafarat Begitu juga bertahan di masjid untuk menunggu shalat dan membuang keinginan untuk
keluar menuju tempat-tempat yang disukai jiwa, misalnya untuk mencari rezki dan
sekedar bersenang-senang, maka itu semua termasuk menyakitkan jiwa, jadi
merupakan kafarat.
Disebutkan di hadits bahwa salah satu langkah seseorang
ke masjid meninggikan derajatnya dan langkah satunya menghapus kesalahan
darinya. [94])
Hadits ini menguatkan apa yang saya katakan
sebelumnya dan bahwa sesuatu yang menghapus
kesalahan itu tidak bisa meninggikan derajat pelakunya, wallahu a’lam.
Dengan demikian, satu perbuatan itu
bisa menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikan derajat sekaligus dari dua sisi serta
perbuatan tersebut menghasilkan kedua hal
tersebut dalam semua kondisi. Jadi, tidak ada pertentangan jika perbuatan
tersebut dikatakan sebagai penghapus dosa dengan pahalanya dilipat-gandakan
atau meninggikan derajat. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Shalat lima waktu, Jum’at ke
Jum’at , dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa di antara
keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi”. [95])
Karena menahan diri untuk konsisten
mengerjakan kewajiban-kewajiban termasuk
menentang hawa nafsu dan menahannya dari apa saja yang disukainya, karenanya, hal tersebut menghapus dosa-dosa
kecil.
Begitu juga syahid di jalan Allah
itu menghapus dosa-dosa karena penderitaan yang terjadi di dalamnya dan
meninggikan derajat karena amal shalih dengan hati dan
badan terjadi sekaligus di dalamnya. Dari sini, jelaslah bahwa sebagian
perbuatan itu
meninggikan derajat dan menghapus kesalahan-kesalahan sekaligus tanpa ada pertentangan di antara keduanya, namun itu
terjadi pada dosa-dosa kecil tanpa diragukan.
Adapun dosa-dosa besar, maka bisa jadi dihapus dengan mati syahid dan syahid tetap mendapatkan pahala syahidnya, namun
orang syahid yang mempunyai kesalahan-kesalahan berada di peringkat
keempat di antara peringkat-peringkat syahid. Itu yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam di hadits Fadhalah
bin Ubaid yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi. [96])
Sedang pengampunan dosa-dosa dengan
sebagian perbuatan tanpa menghilangkan pahala perbuatan tersebut, maka ditunjukkan
hadits-hadits shahih dalam masalah dzikir. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa
kesalahan-kesalahan ditulis sebagai kebaikan-kebaikan, seperti terlihat di hadits Abu
Malik Al-Asy’ari yang telah disebutkan. Sebelumnya juga telah saya sebutkan
perkataan salah seorang generasi
salaf yang berkata bahwa satu kesalahan dihapus dengan satu dari sepuluh pahala kebaikan, jadi tersisa sembilan kebaikan untuk
pelakunya. Kelihatnnya, itu berlaku
pada dosa-dosa kecil. Adapun di akhirat, kebaikan-kebaikan ditimbang dengan kesalahan-kesalahan dan sebagian dari
masing-masing dibayarkan kepada sebagian
yang lainnya; barangsiapa ternyata kebaikan-kebaikannya lebih berat daripada kesalahan-kesalahannya, ia selamat dan masuk
surga. Ini berlaku pada dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. Ini juga berlaku
pada orang yang mempunyai kebaikan-kebaikan dan kedzaliman-kedzaliman;
orang-orang yang pernah didzalimi mendapatkan
hak-hak mereka dari kebaikan orang tersebut kemudian satu kebaikan tersisa bagi orang tersebut lalu ia masuk surga
karenanya (sisa satu kebaikan). Ibnu Mas’ud
berkata, "Jika salah seorang wali Allah mempunyai kelebihan kebaikan sebesar biji sawi, Allah melipat-gandakan
kebaikan tersebut baginya hingga ia masuk surga karenanya. Jika ia orang jahat,
malaikat berkata, “Tuhanku, kebaikan-kebaikan orang ini telah habis dan para penuntutnya masih banyak sekali.” Allah
berfirman kepada malaikat, “Ambillah
kesalahan-kesalahan mereka, lipat-gandakan pada kesalahan-kesalahannya, dan pukullah dia dengan pukulan hingga ia masuk
neraka”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dan lain-lain).
Maksudnya bahwa pelipat-gandaan
kebaikan sebesar biji sawi itu terjadi karena karunia Allah Ta’ala karena
Dia melipat-gandakan kebaikan-kebaikan orang Mukmin dan memberkahinya. Seperti
itulah kondisi orang yang mempunyai kebaikan-kebaikan dan
kesalahan-kesalahan dan Allah hendak merahmatinya dengan melebihkan
kebaikannya hingga ia masuk surga karenanya. Ini termasuk karunia Allah
dan rahmat-Nya, karena tidak ada yang bisa masuk surga kecuali dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya.
Abu Nu’aim [97])
meriwayatkan dengan sanad dhaif dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda, "Allah mewahyukan kepada salah
seorang dari nabi Bani Israil,
“Katakan kepada orang-orang yang taat
kepada-Ku dari umatmu agar mereka tidak menyandarkan
diri kepada perbuatan-perbuatan mereka, karena Aku tidak menjatuhkan hisab pada seorang hamba pada
Hari Kiamat yang Aku kehendaki untuk Aku
siksa melainkan Aku menyiksanya. Juga
katakan kepada orang-orang yang
bermaksiat kepada-Ku di antara umatmu agar mereka tidak membinasakan diri mereka karena aku mengampuni dosa besar dan Aku tidak peduli".
Hadits di atas diperkuat sabda Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits shahih,
"Barangsiapa didebat oleh hisab, ia disiksa”. Di riwa
yat lain, "Ia binasa”. [98])
Wallahu a’lam.
Masalah yang kedua: Apakah taubat
diwajibkan pada dosa-dosa kecil seperti pada dosa-dosa besar atau tidak,
karena dosa-dosa kecil telah terhapus dengan menjauhi dosa-dosa besar? Karena
Allah Ta’ala berfirman,
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami
hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia”. (An-Nisa’: 31).
Karena Allah Ta’ala mewajibkan
taubat setelah menyebutkan dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,
“Katakan kepada orang laki-laki yang
beriman, Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara
kemaluan mereka, yang
demikian lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakan kepada wanita-wanita yang
beriman, Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka, danmemelihara kemaluan mereka, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dada mereka, dan janganlah
menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan, dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian
beruntung”. (An-Nuur: 30-31).
Allah Ta’ala memerintahkan bertaubat dari
dosa-dosa kecil secara khusus dengan
firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman janganlah
suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi
mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olok)
wanita-wanita lain karena boleh jadi
wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kalian mencela diri kalian
sendiri dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk; seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka
itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Hujurat:
11).
Ibnu Athiyah di Tafsirnya
menyebutkan dua pendapat tentang penghapusan dosa-dosa
kecil dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar;
1.
Pendapat yang diriwayatkan Ibnu
Athiyah dari sejumlah fuqaha’ dan ulama hadits bahwa penghapusan dosa-dosa
kecil dapat dipastikan dengan pengerjaan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar,
karena tekstual ayat dan hadits.
2. Pendapat yang diriwayatkan Ibnu Athiyah dari ulama ushul
fiqh bahwa penghapusan dosa-dosa kecil tidak dapat dipastikan dengan pengerjaan
kewajiban-kewajiban
dan menjauhi dosa-dosa besar, namun hanya diduga kuat dan sangat diharapkan.
Jadi, dosa-dosa kecil berada dalam kehendak Allah
Azza wa Jalla, sebab jika penghapusan dosa-dosa kecil dapat
dipastikan, maka dosa-dosa kecil tak ubahnya seperti hal-hal mubah yang
tidak ada hukuman di dalamnya dan ini jelas mengurai simpul syariat.
Saya katakan, ada yang mengatakan
bahwa penghapusan dosa-dosa kecil tidak dapat dipastikan, karena
hadits-hadits tentang penghapusan dosa-dosa kecil secara
mutlak dengan perbuatan-perbuatan itu dikaitkan dengan memperbaiki perbuatan-perbuatan
seperti hadits tentang wudhu dan shalat. Jadi, keberadaan perbuatan
yang baik itu tidak dapat dipastikan menghapus dosa-dosa. Berdasarkan perbedaan
pendapat yang disebutkan Ibnu Athiyah tersebut, maka perbedaan pendapat tentang wajibnya
taubat dari dosa-dosa kecil itu terjadi.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Al-Hasan bahwa orang-orang
datang kepada Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu kemudian berkata, "Kami melihat banyak sekali kandungan Al-Qur’an tidak diamalkan”. Umar bin Khaththab berkata
kepada salah seorang dari mereka,
"Apakah engkau sudah membaca seluruh ayat Al-Qur’an?" Orang tersebut menjawab, "Sudah”.
Umar bin Khaththab berkata, "Apakah engkau telah mengamalkannya pada dirimu?" Orang tersebut menjawab,
"Belum”. Umar bin Khaththab
berkata, "Apakah engkau telah mengamalkannya di matamu?" Apakah engkau telah mengamalkannya di lidahmu?
Apakah engkau telah mengamalkannya di langkahmu?" Umar bin
Khaththab bertanya kepada mereka secara bergantian
hingga bertanya kepada orang terakhir dari mereka kemudian ia berkata, "Semoga
ibu Umar kehilangan anaknya (kalimat yang menunjukkan nada heran), apakah kalian membebani Umar untuk memberlakukan
Al-Qur’an pada manusia? Sungguh Tuhan kita telah tahu bahwa kesalahan-kesalahan
akan terjadi pada kita”. Lalu Umar
bin Khaththab membaca ayat,
إن تجتنبوا كبائر
ما تُنهون عنه نكفِّر عنكم سيئاتكم وندخلكم مدخلا كريما.
“jika kalian
menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia”. (An-Nisa’: 31). [99]
Ath-Thabari [100])
juga dengan sanadnya meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu
Anhu yang berkata, "Aku tidak pernah melihat seperti yang
sampai kepada kita dari Allah Ta’ala kemudian kita tidak keluar
kepada-Nya dari seluruh keluarga dan
harta”. Anas bin Malik diam kemudian berkata, "Demi Allah,
sungguh Allah membebani kita dengan sesuatu yang lebih ringan dari itu
semua. Sungguh Dia memaafkan dosa-dosa kecil
kita, jadi, kita tidak mempunyai urusan dengan dosa-dosa kecil tersebut”. Setelah itu, Anas bin Malik membaca firman
Allah Ta’ala,
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami
hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kamu ke tempat yang
mulia”. (An-Nisa’: 31).
Hadits tersebut diriwayatkan
Al-Bazzar di Musnadnya secara marfu’ namun yang benar hadits tersebut mauquf.
Allah menyebutkan bahwa sifat
orang-orang yang berbuat baik ialah menjauhi dosa-dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,
الذين يجنبون كبائر
الاثم والفواحش إلا اللمم إن ربك واسع المغفرة.
"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil; sesungguhnya
Tuhanmu Maha luas ampunan-Nya”. (An-Najm:
32).
- Al-lamam ialah
perbuatan-perbuatan pengantar kepada zina seperti menyentuh dan mencium. [101])
Ibnu Abbas berkata, "Al-Lamam ialah apa saja yang tidak terkena dua had
(hukuman syar’i), yaitu
ancaman neraka di akhirat dan
hukuman dunia”. [102])
- Al-Lamam ialah mengerjakan salah satu
perbuatan keji dan dosa-dosa besar sekali saja kemudian bertaubat
daripadanya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas [103]) dan Abu Hurairah juga diriwayatkan darinya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam namun ada keragu-raguan di dalamnya tentang hadits tersebut berasal
dari beliau yang berkata, "Al-Lamam
ialah mengerjakan zina kemudian
bertaubat dan tidak mengulanginya, minum minuman keras kemudian bertaubat
dan tidak mengulanginya, dan mencuri kemudian bertaubat dan tidak mengulanginya lagi". [104])
Ulama yang menafsirkan al-lamam
dengan penafsiran kedua berkata, "Pelakunya
harus bertaubat”. Ini berbeda dengan ulama yang menafsirkan al-lamam dengan penafsiran pertama,
maka mereka tidak mewajibkan taubat daripadanya.
Kelihatnnya, kedua penafsiran
tentang al-lamam sama-sama benar dan yang dikehendaki
ayat di atas. Jika demikian, maka orang yang berbuat baik ialah orang yang
mengerjakan dosa besar namun itu jarang sekali kemudian ia bertaubat daripadanya
dan orang yang mengerjakan dosa kecil yang dibenamkan oleh
kebaikan-kebaikannya yang menghapus dosa kecil dan tidak meneruskan dosa
kecilnya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Ali
Imran: 135).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
berkata, "Tidak ada dosa kecil jika terus-menerus
dikerjakan dan tidak dosa besar jika pelakunya beristighfar”. Perkataan
tersebut diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari
banyak jalur yang dhaif. [105])
Jika dosa-dosa kecil yang
terus-menerus dikerjakan berubah menjadi dosa-dosa besar,
maka muhsinun (orang-orang yang berbuat baik)
harus menjauhi sikap terus-menerus mengerjakan dosa-dosa kecil agar mereka
bisa menjauhi dosa-dosa besar dan zina. Allah Azza wa jalla
berfirman,
"Dan yang ada di sisi Allah
lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang
yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji dan
apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim
mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
dzalim”. (Asy-Syura: 36-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan
sifat-sifat kaum Mukminin bahwa mereka melaksanakan apa saja yang diwajibkan
Allah kepada mereka, yaitu iman, tawakkal, mendirikan shalat, berinfak dengan
rezki yang diberikan Allah kepada mereka, dan merespon seruan Allah
dalam seluruh ketaatan. Selain itu, mereka menjauhi dosa-dosa besar
dan perbuatan-perbuatan keji (zina). Itulah takwa yang hakiki. Allah juga
menjelaskan bahwa sifat mereka dalam berinteraksi dengan manusia ialah memaafkan ketika marah. Allah
mengajak mereka untuk memaafkan dan berdamai. Firman
Allah Ta’ala, "Dan (bagi)
orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri", sama sekali tidak bertentangan dengan pemberian maaf, karena membela diri itu dengan
memperlihatkan kekuatan untuk membalas kemudian pemaafan terjadi setelah itu,
jadi itu lebih sempurna dan paripurna.
An-Nakhai berkata tentang ayat tersebut, "Mereka tidak suka dihina. Jika
mereka mempunyai kekuatan, mereka memaafkan”. [106])
Mujahid berkata, "Mereka tidak
suka kalau orang Mukmin merendahkan dirinya sendiri yang mengakibatkan orang-orang
fasik berbuat seenaknya terhadap dirinya”. [107])
Jadi, jika orang Mukmin didzalimi, ia
memperlihatkan kekuatan untuk membalas kemudian setelah itu memaafkan orang yang mendzaliminya. Hal ini terjadi
pada banyak sekali dari generasi
salaf, di antaranya Qatadah [108])
dan lain-lain.
Ayat-ayat di atas mencakup seluruh apa yang disabdakan
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam wasiat beliau kepada Muadz bin Jabal. Ya,
karena sesungguhnya ayat-ayat tersebut
mengandung prinsip-prinsip sifat takwa yaitu dengan mengerjakan
kewajiban-kewajiban, menjauhi dosa-dosa besar yang diharamkan, dan berinteraksi dengan manusia dengan berbuat
baik kepada mereka dan memaafkan. Ini
menghendaki jika mereka mengerjakan salah satu dosa kecil, maka dosa kecil tersebut dibenamkan oleh sifat-sifat takwa
yang menghapus dan mengikisnya hingga
habis.
Sedang di ayat-ayat di
Saya jelaskan ini semua, karena
manusia amat membutuhkannya dan setiap orang perlu mengetahuinya kemudian
mengamalkannya. Allah tempat meminta petunjuk dan Dialah Maha Penolong.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, "Lanjutkan
kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan
tersebut", Kelihatannya menunjukkan bahwa kesalahan-kesalahan
dihapus dengan kebaikan-kebaikan. Sebelumnya telah disebutkan atsar-atsar
tentang hal ini, termasuk atsar yang menjelaskan bahwa kesalahan
dihapus dari buku malaikat dengan kebaikan yang dikerjakan setelah kesalahan tersebut. Athiyali Al-Aufa berkata, "Telah
sampai kepadaku bahwa barangsiapa
yang menangis karena kesalahannya, maka tangisan tersebut menghapus kesalahannya, dan dituliskan baginya satu
kebaikan”. Abdullah bin Amr berkata,
"Barangsiapa ingat kesalahan yang telah ia kerjakan kemudian hatinya bergetar
karenanya lalu ia beristighfar kepada Allah Azza wa jalla maka tidak
ada sesuatu apa pun yang menahannya
hingga Ar-Rahman sendiri yang menghapus kesalahan tersebut darinya”. Bisyr bin Al-Harits berkata, disampaikan
kepadaku dari Al-Fudhail bin Iyadh
bahwa ia berkata, "Menangis di siang hari menghapus dosa-dosa yang dilakukan secara terang-terangan dan menangis di
malam hari menghapus dosa-dosa yang
dikerjakan sembunyi-sembunyi”. Sebelumnya juga telah saya sebutkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus kesalahan-kesalahan dan
meninggikan derajat-derajat?" Para sahabat berkata, “Mau, wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Menyempurnakan wudhu pada saat-saat sulit (misalnya pada saat cuaca dingin dan lain-lain), banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah
shalat. Itulah ribath (menahan diri terhadap ketaatan-ketaatan yang
disyariatkan). Itulah ribath”.
Sejumlah ulama berkata,
"Dosa-dosa tidak dihapus dari lembaran-lembaran catatan
perbuatan dengan taubat atau lain-lain, akan tetapi pasti pelakunya akan diperlihatkan
kepadanya, ia membacanya pada Hari Kiamat”. Mereka berhujjah dengan
firman Allah Ta’ala,
"Dan diletakkanlah kitab lalu kamu melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap
apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka
berkata, Aduhai celaka kami, kitab
apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar,
melainkan ia mencatat semuanya".
(Al Kahfi: 49).
Menggunakan ayat di atas sebagai
dalil tidaklah tepat, karena dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan
tentang keadaan orang-orang yang berdosa yang notabene pelaku
kejahatan-kejahatan dan dosa-dosa besar, jadi, tidak termasuk di dalamnya orang-orang
beriman yang bertaubat dari dosa-dosa mereka atau dosa-dosa mereka dikikis
kebaikan-kebaikan mereka. Mestinya mereka berhujjah dengan ayat berikut daripada ayat di atas,
"Barangsiapa mengerjakan
kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia melihatnya.
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia
melihatnya”. (Az-Zalzalah: 7-8).
Sebagian mufassirin menyebutkan
bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang benar. Pendapat tersebut
diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Bilal bin Sa’ad Ad-Dimasyqi. Al-Hasan berkata, "Tentang hamba
yang melakukan dosa kemudian bertaubat dan beristighfar, maka dosanya diampuni,
namun tidak dihapus dari buku catatan
perbuatannya dan tanpa melihatnya, kemudian ia ditanya tentang dosa tersebut”. Al-Hasan menangis keras
kemudian berkata, "Jika kita menangis hanya karena malu pada situasi
ketika itu, kita tetap layak untuk menangis”.
Bilal bin Sa’ad berkata,
"Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa, namun tidak menghapusnya dari buku
catatan perbuatan hingga dosa-dosa tersebut diperlihatkan
pelakunya pada Hari Kiamat, kendati ia telah bertaubat”. [109])
Abu Hurairah berkata, "Pada
Hari Kiamat, seorang hamba didekatkan kepada Allah kemudian Dia
memberikan naungan kepadanya dan menutupinya dari seluruh makhluk. Setelah itu,
Allah menyodorkan buku catatan perbuatan kepada hamba tersebut dalam keadaan
tertutup dari manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Hai anak keturunan Adam,
baca buku catatan perbuatanmu.” Hamba tersebut pun membaca buku catatan
perbuatannya. Ketika ia membaca kebaikan, wajahnya berbinar-binar dan hatinya senang. Allah berfirman,”Hamba-Ku, tahukah
engkau?” Hamba tersebut berkata, “Ya.” Allah berfirman, “Sesungguhnya
Aku menerima kebaikan tersebut darimu.” Hamba tersebut pun sujud. Allah
berfirman lagi, “Angkat kepalamu dan baca
kembali buku catatan perbuatanmu.” Hamba tersebut pun membaca buku catatan perbuatannya kemudian
membaca kesalahan, karenanya, wajahnya
pucat, hatinya takut, menggigil ketakutan, dan malu kepada Tuhannya tanpa
diketahui siapa pun selain Allah. Allah berfirman berfirman, “Hamba-Ku, tahukah engkau?” Hamba tersebut berkata, “Ya,
wahai Tuhanku.” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku telah mengampuni
kesalahanmu.” Hamba tersebut pun sujud. Hanya
sujud itulah yang dilihat manusia dari hamba tersebut hingga sebagian dari mereka berseru kepada sebagian yang lain,
“Berbahagialah orang ini yang tidak pernah bermaksiat kepada Allah.”
Mereka tidak tahu pertemuan hamba tersebut dengan
Tuhannya dan dari apa-apa yang diperlihatkannya”. [110])
Abu Utsman An-Nahdi berkata dari
Salman, "Pada Hari Kiamat, seseorang diberi buku catatan perbuatannya
kemudian ia membaca bagian atasnya, ternyata berisi kesalahan-kesalahannya.
Ketika ia nyaris buruk sangka, ia membaca bagian bawah buku catatan perbuatan
tersebut, ternyata berisi kebaikan-kebaikannya. Ia kembali
membaca bagian atas buku catatan perbuatanya, ternyata kesalahan-kesalahannya diganti menjadi
kebaikan-kebaikan”. Perkataan tersebut diriwayatkan dari Abu Utsman dari Ibnu Mas’ud, namun yang benar berasal dari Abu
Utsman”. [111])
Ibnu Abu Hatim dengan sanadnya
meriwayatkan dari sebagian sahabat Muadz bin Jabal yang berkata,
"Penghuni surga masuk surga dalam empat kelompok; orang-orang bertakwa,
kemudian orang-orang yang bersyukur, kemudian orang-orang yang
takut, kemudian ashhabul yamin”. Ditanyakan, "Kenapa mereka dikatakan ashabul
yamin?" Sahabat Muadz bin
Jabal tersebut menjawab, "Karena mereka
mengerjakan kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian mereka diberi buku catatan perbuatan dengan tangan kanan
mereka. Mereka membaca huruf demi huruf kesalahan-kesalahan mereka kemudian
berkata, “Tuhan kami, ini kesalahan-kesalahan kami, mana kebaikan-kebaikan
kami?” Ketika itulah, Allah menghapus kesalahan-kesalahan tersebut dan
menjadikannya kebaikan-kebaikan. Pada
saat itulah, mereka berkata, Ambillah,
bacalah kitabku (ini)”. (Al-Haaqqah: 19). Mereka adalah penghuni surga terbanyak”.
Orang-orang yang berpendapat seperti
di atas menafsirkan penghapusan kesalahan-kesalahan
dengan kebaikan-kebaikan itu dengan penghapusan hukumannya tanpa menghapus penulisannya di buku catatan perbuatan, wallahu a’lam.
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik". Ini juga
termasuk sifat takwa dan takwa tidak sempurna tanpa dengannya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutnya secara khusus karena penjelasannya diperlukan, sebab sebagian besar manusia menduga bahwa
takwa ialah melaksanakan hak Allah
tanpa melaksanakan hak hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan
Muadz bin Jabal berinteraksi dengan manusia dengan baik, karena beliau
mengutusnya ke Yaman sebagai guru, faqih,
dan hakim bagi penduduk Yaman. Barangsiapa kedudukannya seperti Muadz bin Jabal, ia perlu berinteraksi
dengan manusia dengan akhlak yang baik
yang tidak dibutuhkan orang-orang lain yang tidak ada kebutuhan pada manusia dan ia tidak berinteraksi dengan mereka.
Acapkali orang yang mengerjakan hak-hak
Allah dan larut dalam cinta, takut, dan taat kepada-Nya itu tidak memperhatikan
hak-hak manusia secara total atau lalai di dalamnya. Mengerjakan hak-hak Allah
sekaligus hak-hak manusia sangat sulit dan tidak sanggup dikerjakan kecuali oleh orang-orang yang sempurna, yaitu para nabi
dan orang-orang yang jujur.
Al-Harits Al-Muhasibi berkata,
"Tiga hal yang sulit atau tidak ada; wajah berseri-seri disertai menjaga
kesucian diri, berakhlak baik disertai beragama, dan bersaudara dengan baik
disertai bersikap amanah”.
Salah seorang dari generasi salaf
berkata, "Nabi Daud Alaihis Salam duduk menyendiri kemudian Allah Azza wa
Jalla berfirman, “Kenapa engkau Kulihat duduk menyendiri?” Nabi
Daud menjawab, “Aku meninggalkan manusia karena-Mu, wahai Tuhan seluruh alam
semesta.” Allah berfirman,”Hai Daud, maukah Aku tunjukkan sesuatu yang mendapatkan
keridhaan manusia dan keridhaan-Ku? Pergaulilah manusia dengan akhlak mereka dan pertahankan
iman ketika engkau menyendiri dengan-Ku”.
Di Al-Qur’an, Allah Ta’ala
mengatagorikan sikap mempergauli
manusia dengan akhlak baik termasuk
sifat takwa, bahkan Allah memulai sifat takwa dengan sifat mempergauli manusia dengan akhlak yang
baik. Allah Ta’ala berfirman,
"Dan bersegeralah kalian
kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya); baik di waktu lapang maupun sempit
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Ali
Imran: 133-134).
Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan
dengan sanadnya dari Sa’id Al-Maqbari yang berkata, dikisahkan kepada kami
bahwa seseorang datang kepada Isa bin Maryam Alaihis Salam kemudian
berkata, "Hai pengajar kebaikan, bagaimana aku bisa
menjadi orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana
semestinya?"
Isa bin Maryam Alaihis Salam menjawab,
"Dengan sesuatu yang sederhana; engkau mencintai Allah dengan
seluruh hatimu, berbuat dengan serius dan
kekuatan semampumu, dan menyayangi orang-orang yang sejenis denganmu seperti engkau menyayangi dirimu sendiri”. Orang
tersebut berkata, "Siapa yang dimaksud
dengan orang-orang yang sejenis denganku?" Isa bin Maryam Alaihis
Salam menjawab, "Seluruh anak keturunan Adam. Apa saja yang tidak
engkau sukai diberikan kepadamu janganlah
engkau berikan kepada orang lain, niscaya engkau menjadi orang bertakwa
kepada Allah sebagaimana semestinya”.
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam menjadikan akhlak yang baik sebagai sifat-sifat
iman yang paling sempurna, seperti diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud
dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
"Kaum Mukminin yang paling
sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka”. [112])
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Muhammad bin Nashr Al-Marwazi [113]) dan ia menambahkan di dalamnya,
"Sesungguhnya seseorang menjadi orang Mukmin
kemudian di akhlaknya terdapat sesuatu (yang jelek), akibatnya hal tersebut
mengurangi imannya”.
Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan
Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Usamah bin Syuraik yang berkata, para
sahabat berkata,
"Wahai Rasulullah, apa sesuatu
yang terbaik yang diberikan orang Muslim?" Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Akhlak yang baik”. [114])
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa orang yang akhlaknya
baik dengan akhlaknya yang baik itu bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan
orang yang rajin qiyamul lail, agar seorang murid tidak sibuk bertakwa hanya dengan
shaum dan shalat tanpa akhlak yang baik, dan agar ia tidak menduga bahwa akhlak
yang baik itu membuatnya tidak mendapatkan keutamaan puasa dan shalat. Imam
Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
“Sesungguhnya orang
Mukmin dengan akhlaknya yang baik bisa mencapai derajat-derajat
orang yang berpuasa dan orang yang mengerjakan qiyamul jail". [115])
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa akhlak yang baik adalah sesuatu terberat
yang diletakkan di timbangan dan bahwa pemiliknya adalah manusia yang paling
dicintai Allah dan tempat duduknya paling dekat dengan para nabi. Imam Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi meriwayatkan
hadits Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Tidak ada
sesuatu yang diletakkan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak
yang baik dan bahwa pemilik akhlak yang baik dengan akhlaknya yang
baik bisa mencapai derajat pemilik puasa dan shalat". [116])
Ibnu Hibban meriwayatkan di Shahih nya [117]) hadits
Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang
bersabda, "Maukah kalian aku
tunjukkan kepada salah seorang dari kalian yang paling dicintai Allah dan tempat duduknya paling
dekat dengan para nabi?" Para sahabat menjawab, "Mau”. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang yang paling baik akhlaknya
di antara kalian”.
Sebelumnya telah disebutkan hadits
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
"Sesuatu yang paling banyak
memasukkan ke surga ialah takwa kepada Allah dan akhlak yang baik". [118])
Abu Daud meriwayatkan hadits Abu
Umamah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
"Aku pemimpin di rumah yang ada
di surga tertinggi bagi orang yang akhlaknya baik”. [119])
Hadits semakna juga diriwayatkan
dari hadits Anas bin Malik oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. [120])
Asy-Sya’bi berkata, "Akhlak
yang baik ialah suka berkorban, suka memberi, dan wajah yang berseri-seri”.
Asy-Sya’bi seperti itu.
Ibnu Al-Mubarak berkata,
"Akhlak yang baik ialah wajah yang berseri-seri, berkorban
untuk sesuatu yang baik, dan bersabar terhadap gangguan”. [121])
Salam bin Abu Muthi’ pernah ditanya
tentang akhlak yang baik kemudian ia melantukan syair berikut,
"Engkau lihat, jika engkau
datang kepadanya,
ia orang yang wajahnya berseri-seri
Sepertinya engkau memberikan sesuatu
yang engkau tanyakan
Jika ia tidak mempunyai apa-apa
selain ruhnya
Ia pasti dermawan dengannya, maka
hendaklah penanya bertakwa kepada Allah
Ia laut dari arah mana saja engkau
kepadanya
Gelombangnya ialah pemberian dengan
sesuatu yang baik
dan dermawan adalah pantainya”.
Imam Ahmad berkata, "Akhlak
yang baik ialah engkau tidak marah dan tidak bicara dengan marah”.
Juga diriwayatkan dari Imam Ahmad
yang berkata, "Akhlak yang baik ialah engkau bersabar terhadap apa saja yang berasal
dari manusia”.
Ishaq bin Rahawih berkata,
"Akhlak yang baik ialah wajah yang berseri-seri dan engkau tidak marah”.
Hal yang sama dikatakan Muhammad bin Nashr.
Sebagian ulama berkata, "Akhlak
yang baik ialah menahan marah karena Allah, menampakkan keceriaan dan
berseri-seri kecuali kepada pelaku bid’ah dan orang berdosa, memaafkan
orang-orang yang tergelincir kecuali untuk pemberian sanksi
disiplin atau pemberlakuan hukuman, dan bersabar terhadap gangguan dari seluruh
orang Muslim atau orang kafir yang berdamai dengan orang Muslim kecuali
dalam rangka
merubah kemungkaran, atau mengambil madzlamah
(barang yang dirampas orang
dzalim) untuk orang yang didzalimi tanpa berbuat berlebihan”.
Di Musnad Imam Ahmad disebutkan
hadits Muadz bin Anas Al-Juhani Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Keutamaan yang paling utama
ialah engkau menyambung (persaudaraan) orang yang memutusmu, memberi orang
yang tidak memberimu, dan memaafkan orang yang menghinamu”. [122])
Al-Hakim meriwayatkan hadits Uqbah bin Amir Al-Juhani Radhiyallahu Anhu yang berkata,
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda kepadaku,
"Hai Uqbah, maukah engkau aku
tunjukkan akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling
baik? Engkau menyambung (persaudaraan) orang yang memutusmu,
memberi orang yang tidak memberimu, dan memaafkan orang yang telah
mendzalimimu”. [123])
Ath-Thabrani meriwayatkan hadits
Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Maukah engkau aku tunjukkan
akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling mulia? Engkau menyambung
orang yang memutusmu, memberi orang yang tidak memberimu, dan
memaafkan orang yang telah mendzalimimu”. [124])
[1]
Hadits hasan. Hadits tersebut diriwayatkan
Imam Ahmad 5/153, 158, 177, 236, At-Tirmidzi hadits nomer 1987, Ad-Darimi 2/323, Al-Hakim 1/54, Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/295, 296, 297, 298 dan di Ash-Shaghir hadits nomer 530, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/336, dan Al-Qudhai di Musnad Asy-Syihab hadits
nomer 562.
[2]
Hadits nomer 1972. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 8/23, "Di sanadnya terdapat
perawi Ibnu Lahiah yang merupakan perawi dhaif dan perawi lainnya
adalah para perawi tepercaya”.
[3]
Diriwayatkan Al-Hakim 1/54 dan 4/244. Ia menshahihkan hadits tersebut dengan
disetujui Adz-Dzahabi.
[4]
Hadits nomer 476. Takhrijnya secara lengkap
silahkan baca buku tersebut.
[5]
5/181. Darraj dari Abu Al-Haitsam adalah
perawi dhaif.
[6] Diriwayatkan
At-Tirmidzi hadits nomer 3328 dari jalur Zaid bin Habab yang berkata, Suhail bin Abdullah Al-Quthai berkata kepadaku
dari Tsabit dari Anas bin Malik.
Hadits di atas juga diriwayatkan
Imam Ahmad 3/142, 243, Ad-Darimi 2/302-303, An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat
di Tuhfatul Asyraaf 1/139, Ibnu Majah hadits nomer 4299, Abu Ya’la hadits
nomer 3317, dan Al-Baghawi 4/420 dari banyak jalur dari Suhail dengan sanad
seperti itu. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 2/508 dengan disetujui
Adz-Dzahabi.
Hadits tersebut juga disebutkan
As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 8/340. Ia menambahkan bahwa hadits
tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Adi, dan Ibnu Mardawih.
At-Tirmidzi berkata, "Hadits
di atas hadits hasan gharib. Suhail tidak kuat di dalamnya dan ia sendirian
meriwayatkannya dari Tsabit”.
Saya katakan, tentang biografi
Suhail di buku At-Tahdzib, Imam Ahmad berkata, "Suhail meriwayatkan
hadits-hadits munkar dari Tsabit”. Al-Bukhari berkata, "Haditsnya tidak di
mutaba’ah.
Ibnu Mardawih meriwayatkan seperti disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur dari Abdullah bin Dinar yang berkata, aku dengar
Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas berkata. Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah ditanya
tentang firman Allah Ta’ala, ”Dia (Allah) Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi
ampun”. (Al-Mudatstsir: 56). Kemudian beliau bersabda,
"Allah Ta’ala berfirman, “Aku layak ditakwai, oleh karena itu, sekutu tidak dijadikan bersama-Ku. Jika
Aku ditakwai dan sekutu tidak dijadikan bersama-Ku, Aku layak mengampuni apa saja selain itu (syirik)”.
[7]
Itu yang disebutkan Ibnu Rajab,
padahal yang tertulis di Al-Mustadrak 5/294, bahwa hadits tersebut mauquf.
Hadits tersebut diriwayatkan Al-Hakim dari dua jalur dari Mas’ar dari Zubaid
dari Murah bin Syurahbil dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu
tentang firman Allah Ta’ala, "Bertakwalah kalian kepada Allah dengan takwa
yang sebenar-benarnya”. (Ali Imran: 102). Ibnu Mas’ud berkata, "Allah
harus ditaati tanpa dimaksiati dan diingat tanpa dilupakan”.
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 8503 dari jalur Yusuf bin
Muhammad Al-Faryabi dari Sufyan dengan sanad seperti itu. Ia menambahkan bunyi
haditsnya, "Ia disyukuri tanpa diingkari”.
[8] Kisah
di atas secara lengkap ada di Al-Hilyah 8/365. Hadits Muhammad bin Maslamah diriwayatkan Ibnu Abu
Syaibah 15/37 dan diriwayatkan Ibnu Majah darinya hadits nomer 3962 dan Yazid bin Harun dari Hammad
bin Salamah dari Tsabit atau Ali bin Zaid bin Jad’an dari Abu Burdah yang berkata, aku masuk ke tempat Muhammad
bin Maslamah kemudian ia berkata, "Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, “Sesungguhnya
fitnah, perpecahan, dan perselisihan akan terjadi. Jika itu telah terjadi,
pergilah engkau dengan pedangmu ke Gunung
Uhud kemudian pukulkan kepadanya hingga terputus kemudian duduklah di rumahmu hingga tangan yang salah atau kematian sang
pemutus datang kepadamu”. Fitnah tersebut telah terjadi dan aku telah
mengerjakan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa Sallam”.
Al-Bushairi berkata di Mishbahuz
Zuzajati hadits nomer 247, "Sanad hadits tersebut shahih jika
berasal dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit Al-Banani”.
Saya katakan, hadits di atas juga
diriwayatkan Imam Ahmad 3/493 dari Yazid bin Harun dan Muammal.
Keduanya meriwayatkannya dari Hammad dari Ali bin Zaid bin Jad’an dari Abu Burdah. Ali bin
Zaid adalah perawi dhaif.
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Muhammad bin Sa’ad di Ath-Thabagat 3/445 dari Sa’id bin
Muhammad Ats-Tsaqafi dari Ismail bin Rafi’ dari Zaid bin Aslam dan Muhammad bin
Maslamah.
Sa’id bin Muhammad adalah perawi dhaif, begitu juga Ismail bin
Rafi’.
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Ibnu Sa’ad 3/444 dari Yazid bin Harun yang berkata, Hisyam bin Hassan
berkata kepadaku dari Al-Hasan bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam memberikan pedang kepada Muhammad bin
Maslamah dan bersabda, "Perangi orang-orang musyrikin dengan pedang ini
selagi mereka diperangi. Jika engkau lihat kaum Muslimin; sebagian dari
mereka menghadapi sebagian yang lain, pergilah dengan pedang tersebut ke Uhud kemudian
pukulkan kepadanya hingga engkau bisa mematahkannya. Setelah itu, duduklah di rumah hingga
tangan yang salah atau kematian sang pemutus datang kepadamu”.
Saya katakan, perawi sanad hadits
tersebut adalah para perawi tepercaya, hanya saja, Al-Hasan tidak pernah mendengar hadits
tersebut dari Muhammad bin Maslamah. Jadi, sanad hadits tersebut terputus.
Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 4/225 dari Zaid bin Al-Habab yang berkata, Sahl bin Abu Ash-Shalt berkata
kepadaku, aku dengar Al-Hasan berkata, "Ali bin Abu Thalib mengutus seseorang kepada Muhammad bin
Maslamah kemudian Muhammad bin Maslamah
didatangkan kepada Ali bin Abu Thalib. Ali bin Abu Thalib berkata kepada
Muhammad bin Maslamah, “Apa yang
membuatmu berpaling dari perkara ini?” Muhammad bin Maslamah berkata, “Anak pamanmu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, memberiku pedang dan bersabda, “Perangi dengan pedang ini selagi musuh diperangi.
Jika engkau lihat manusia; sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain, pergilah dengan pedang tersebut ke
batu kemudian pukulkan pedang tersebut kepadanya. Setelah itu, tetaplah engkau
di rumahmu hingga kematian sang pemutus atau kesalahan datang kepadamu”. Ali bin Abu Thalib berkata, “Bebaskan
dia”.
Saya katakan, Muhammad bin
Maslamah ialah Muhammad bin Maslamah bin Khalid Al-Anshari Al-Ausi Al-Haritis
Abu Abdurrahman Al-Madani, sekutu Bani Abdul Asyhal. Ia ikut hadir di Perang
Badar, Uhud, dan seluruh perang lainnya bersama Rasulullah Shallalluhu Alaihi wa Sallam, kecuali Perang Tabuk. Ia salah seorang
yang membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf. Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menunjuknya sebagai imam sementara di Madinah di sebagian
perang beliau. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, ia diangkat Umar bin
Khaththab sebagai petugas zakat di Juhainah. Ia sahabat para amil zakat pada
masa kekhalifahan Umar bin Khaththab. Jika Umar bin Khaththab diberi
laporan tentang salah satu amil zakat, ia mengutus Muhammad bin Maslamah untuk
mengecek keadanya. Ia juga dikirim Umar bin Khaththab kepada para amil zakat untuk
mengambil separoh harta mereka karena Umar bin Khaththab percaya kepadanya. Ia
mengisolir diri dari fitnah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan. Ia wafat
di Madinah pada tahun 46 atau 47 H. Ada lagi yang mengatakan tidak pada tahun tersebut. Baca Usudul Ghabah 5/112-113.
Perkataan, "Bukankah disebutkan di hadits, “Sesungguhnya itu fitnah
bagi orang yang diikuti (orang
panutan) dan kehinaan bagi pengikut?” adalah perkataan Umar bin Khaththab. Ad-Darimi 1/132-133 meriwayatkan dari Muhammad
bin Al-Ala’ yang berkata, Ibnu Idris berkata kepadaku, aku dengar Harun bin
Antarah berkata dari Sulaiman bin Handzalah yang berkata, kami datang ke
tempat Ubai bin Ka’ab untuk mengobrol dengannya. Ketika ia berdiri, kami
berdiri dan berjalan di belakangnya. Tapi
Umar bin Khaththab berbuat tidak baik kepada kami. Umar bin Khaththab membuntuti Ubai bin Ka’ab kemudian
memukulnya dengan tongkat. Ubai bin Ka’ab menjauh beberapa hasta
kemudian berkata, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang engkau perbuat?"
Umar bin Khaththab berkata, "Tidakkah engkau lihat fitnah bagi orang yang
diikuti dan kehinaan hagi pengikut?"
[9]
Penggalan dari hadits panjang yang
diriwayatkan Muslim di Shahihnya hadits nomer 1731 dari hadits Buraidah Radhiyallahu
Anhu.
[10] Dari Abu Umamah, hadits tersebut
diriwayatkan Imam Ahmad 5/251 dan At-Tirmidzi hadits
nomer 616. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4563.
Dari Ummu Al-Hushain Al-Ahmasiyah, hadits tersebut diriwayatkan Muslim
hadits nomer (1298) (311), (312),
(1838), Imam Ahmad 6/402, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1706 bahwa ia
(Ummu Al-Hushain Al-Ahmasiyah) mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkhutbah
di haji wada’, "Hai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah.
Meskipun kalian dipimpin budak
Habasyah yang jelek, hendaklah kalian mendengarnya dan taat kepadanya selagi ia
menegakkan Kitabullah pada kalian”.
At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan shahih”. Hadits
tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4564.
[11]
Penggalan dari hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu Anhu. Hadits tersebut akan dijelaskan kemudian, tepatnya
hadits nomer kedua puluh delapan.
[12] Hadits
nomer 361. Hadits tersebut dhaif. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
Penggalan hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/181 dan redaksinya ialah, "Aku berwasiat kepadamu hendaklah engkau
bertakwa kepada Allah di urusanmu yang rahasia dan urusanmu yang tidak
rahasia. Jika engkau telah berbuat salah, berbuatlah baik. Engkau jangan meminta sesuatu apa pun kepada manusia, jangan
memegang amanah, dan jangan memutuskan perkara dua orang”. Di sanad hadits
tersebut terdapat perawi Ibnu Lahiah dan Darraj.
[13] 3/82
dari Husain bin Al-Walid Al-Qurasyi An-Nisaburi dari Ismail bin Ayyasy dari Al-Hajjaj bin Marwal Al-Kalai dan Aqil bin Mudrik
As-Sulami dari Abu Sa’id Al-Khudri.
Sanad tersebut hasan. Hadits tersebut mempunyai jalur lain yang
menguatkannya yang diriwayatkan Abu Ya’la hadits nomer 1000 dan Ath-Thabrani di
Ash-Shaghir hadits nomer 949.
[14]
Hadits nomer 2683. At-Tirmidzi berkata,
"Menurutku, sanad hadits tersebut tidak bersambung dan hadits tersebut mursal, karena perawinya
yaitu Sa’id bin Amr Asyu’ tidak pernah
bertemu Yazid bin Salamah”.
[15]
Wasiat di atas ada di Al-Mushannaf Ibnu Abu Syaibah 13/258. Juga diriwayatkan Al-Hakim dari jalurnya di Al-Mustadrak 2/383 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah
1/35 dengan dishahihkan Al-Hakim, namun ditentang Adz-Dzahabi yang
berkata, "Abdurrahman bin Ishaq Kufi adalah perawi dhaif”.
[16]
Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2721 dari hadits Abdullah bin Mas’ud. Di
dalamnya tertulis kata Al-Afaf sebagai ganti kata Al-Iffah.
[17]
Diriwayatkan Imam Ahmad 5/178-179 dan Ibnu
Majah hadits nomer 4220 dari dua jalur
dari Kahmas bin Al-Husain yang berkata, Abu As-Salil berkata kepadaku dari Abu
Dzar. Perawi sanad tersebut adalah para perawi tepercaya, namun Abu As-Salil
tidak pernah bertemu Abu Dzar, jadi,
sanad hadits tersebut terputus.
[18]
Penggalan dari hadits shahih yang panjang
diriwayatkan An-Nasai 3/54-55 dan lain-lain dari Ammar bin Yasir. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits
nomer 1971.
[19]
Ia orang zuhud, panutan, dan tokoh orator
Abu Al-Abbas Muhammad bin Shabih Al-Ajli yang wafat pada tahun 193 H.
Biografinya ada di buku Siyaru A’lamin Nubala’ 8/328-330.
[20]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4687 dan Muslim hadits nomer (2763) (42).
[21]
Dari Abu Hurairah, hadits di atas
diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 7507 dan Muslim hadits nomer 2758.
[22]
Hadits nomer 3559 dari jalur Abu Nushairah
dari mantan budak Abu Bakar. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut gharib
dan sanadnya tidak kuat”. Hadits tersebut
juga ada di Sunan Abu Daud hadits nomer 1514.
[23]
1/59. Al-Hakim berkata, "Hadits
tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari, namun Al-Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya”. Penshahihan Al-Hakim terhadap hadits di atas disetujui
Adz-Dzahabi, padahal di sanadnya terdapat perawi Abdullah bin Shalih yang
merupakan penulis Al-Laits dan ada sesuatu mengenai hapalannya.
[24]
Seperti terlihat di Majmauz Zawaid 10/200. Di sanadnya terdapat perawi Nuh bin Dzakwan yang merupakan perawi dhaif.
[25]
Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3249
dari Muhammad bin Al-Mutsanna yang berkata, Umar bin Abu Khalifah berkata
kepadaku, aku dengar Abu Badr (alias Basyar bin Al-Hakam Adh-Dhabi) berkata dari Tsabit dari Anas bin
Malik.
[26] Hadits
nomer 4250. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10281, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/210, dan
Asy-Syihab Al-Qudhai di Musnad-nya hadits nomer 108 dari jalur Abdul Karim
Al-Jazri dari Abu Ubaidah dari Ibnu Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Perawi sanad hadits
tersebut adalah perawi tepercaya, namun sanadnya terputus, karena Abu Ubaidah tidak mendengar hadits tersebut
langsung dari ayahnya.
Hadist tersebut juga diriwayatkan
Abdurrazzaq seperti terlihat di Muudhihu Auhaamil Jam’i karangan
Al-Khathib 1/257 dari Ma’mar dari Abdul Karim Al-Jazri dari Ziyad bin Abu Maryam dari
Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Hadits di atas dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dengan hadits-hadits
penguatnya seperti dinukil darinya
oleh As-Sakhawi di Al-Maqashid
Al-Hasanah hal. 152.
[27]
Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad 1/80 dan Abu
Ya’la hadits nomer 483 dari Ali bin Abu
Thalib Radhiyallahu Anhu dengan redaksi, "Sesungguhnya Allah menyukai
hamba Mukmin yang banyak diuji (dengan dosa) dan banyak bertaubat”. Sanad
hadits tersebut sangat dhaif.
[28]
Diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 179. Di sanad hadits tersebut terdapat perawi Sa’id bin Khalid Al-Khuzai yang
merupakan perawi dhaif namun para perawi lainnya adalah para perawi tepercaya.
[29]
2/165. Sanad hadits tersebut shahih. Hadits
tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 380, Abdu bin Humaid di Al-Muntakhab hadits nomer 320, dan Al-Khathib
di Tarikhu
[30]
Ibnu Al-Atsir berkata, "Al-Aqmaa’ ialah jamak dari kata qam’u yaitu corong yang diletakkan di mulut bejana untuk mengisinya dengan cairan; air atau
minyak. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan telinga orang-orang yang mendengar
perkataan tanpa memahaminya,
menghapalkannya, dan mengamalkannya dengan aqmaa’ (corong) yang tidak
dapat menampung apa saja yang masuk melalui dirinya. Sepertinya perkataan
berjalan di atas telinga tersebut
secara kiasan sebagaimana minuman masuk ke corong secara kiasan”.
Az-Zamakhsyari berkata di Asasul Balaghah, "
[31]
Ia adalah Muhammad bin Jubair bin Muth’im bin Adi bin Naufal An-Naufali.
Namanya disebutkan Ibnu Sa’ad 5/205 di
peringkat kedua di antara para tabi’in Madinah. Ia orang tepercaya dan pakar nasab. Ia wafat pada tahun 100 H.
Haditsnya diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan para penyusun Sunan.
[32]
Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari hadits
nomer 7852. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 2/326. Ia berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq dan Abdu bin Humaid.
[33]
Disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 2/326. Ia berkata bahwa hadits ter sebut diriwayatkan Ibnu Al-Mundzir.
[34]
Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari hadits
nomer 1783. Abu Ja’far Ar-Razi adalah
perawi yang hapalannya jelek dan hadits tersebut mursal. Abu Al-Aliyah yang nama aslinya Rafi’ bin Mihran Ar-Riyahi termasuk tabi’in
terkemuka dan orang tepercaya, hanya saja banyak sekali haditsnya yang mursal.
[35]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4141,
4750, Muslim hadits nomer 2770, dan Imam
Ahmad 6/196.
[36]
Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari hadits
nomer 1655. Riwayat Ali bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas adalah mursal, karena ia tidak pernah melihat Ibnu Abbas.
[37]
Diriwayatkan Imam Ahmad 5/244, At-Tirmidzi
hadits nomer 3113. dan Ath-Thabari hadits
nomer 18678, 18682 dari duajalur dari Abdul Malik bin Umair dari Abdurrahman
bin Abu Laila dari Muadz bin Jabal. At-Tirmidzi berkata, "Sanad hadits di
atas terputus”. Abdurrahman bin Abu Laila tidak mendengar hadits tersebut dari
Muadz bin Jabal, karena Muadz bin Jabal meninggal pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab dan ketika Umar bin
Khaththab dibunuh, Abdurrahman bin Abu Abu Laila masih kecil berusia enam
tahun. Abdurrahman bin Abu Laila meriwayatkan
hadits dari Umar bin Khaththab.
[38]
Diriwayatkan Imam Ahmad 1/10, 2, Ibnu Abu
Syaibah 2/387, Abu Daud hadits nomer 1520, At-Tirmidzi hadits nomer 3006,
An-Nasai di Amalul Yaum wal Lailah hadits nomer 414, 417, Ibnu Majah hadits nomer 1395, dan Abu Bakr
Al-Marwazi di Musnad Abu Bakar hadits nomer 9 dan 10. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 623.
[39]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 159, 164
dan Muslim hadits nomer 227.
[40]
6/443 dan 450. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Ath-Thabrani di Kitabud
Du’a hadits nomer 1848. Hadits
tersebut hasan.
[41]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6823 dan
Muslim hadits nomer 2764. Tentang ucapan orang tersebut, "Sungguh aku telah berbuat maksiat, "
An-Nawawi berkata, "Maksiat yang dimaksud ialah maksiat yang mengharuskan pelakunya terkena
hukuman. Maksiat tersebut ialah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil
tersebut bisa dihapus dengan shalat Jika maksiat tersebut adalah dosa besar yang mengharuskan pelakunya dikenakan had (hukuman) atau tidak mengharuskan pelakunya dikenakan had (hukuman), maka dosa besar tersebut tidak bisa
hilang dengan shalat”.
[42]
Hadits nomer 2765.
[43]
Hadits nomer 18681. Sanad hadits tersebut dhaif.
[44]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 528 dan
Muslim hadits nomer 667.
[45]
Hadits nomer 245.
[46]
Hadits nomer 251.
[47]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1901,
2008, 2014 dan Muslim hadits nomer 759.
[48]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1819, 1820 dan Muslim hadits nomer 1350.
[49]
Hadits nomer 121.
[50]
Hadits nomer 1162.
[51]
4/145. Sanad hadits tersebut hasan, karena perawinya, Ibnu Lahiah, meriwayatkannya dari Abdullah bin Al-Mubarak.
[52]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6405
dan Muslim hadits nomer 2692.
[53]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3293,
6403 dan Muslim hadits nomer 2191.
[54]
Diriwayatkan Imam Ahmad 6/425. Di sanadnya
terdapat perawi Abu Ma’syar Al-Madani
yang merupakan perawi dhaif dan perawi Shalih mantan budak Wajzah yang tidak diketahui identitasnya. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 3797 dan di sanadnya terdapat perawi
Zakaria bin Mandzur yang merupakan perawi dhaif
[55]
Hadits nomer 3533 dari Muhammad bin Humaid dari Al-Fadhl bin Musa dari
Al-A’masy dari Anas bin Malik. At-Tirmidzi
berkata, "Hadits tersebut gharib. Saya tidak mengetahui Al-A’masy mendengar hadits di atas dari Anas bin
Malik”.
[56]
Di Musnadnya 3/152.
[57]
Kelanjutannya seperti terlihat di Al-Hilyah 3/313, Abu Hizan
berkata dari Atha’, "Apa majlis
dzikir?’ Majlis dzikir ialah majlis halal-haram, bagaimana Anda shalat,
berpuasa, menikah, mencerai, menjual,
dan membeli”.
[58]
Ia adalah Syuwai bin Jayyasy Al-‘Adawi Abu
Ar-Raqqad Al-Bashri. Ia meriwayatkan hadits
dari Utbah bin Ghazwan dan Umar bin Khaththab. Banyak sekali perawi yang
meriwayatkan hadits darinya. Namanya
disebutkan Ibnu Hibban di Ats-Tsiqaat.
At-Tirmidzi di Asy-Syamail, meriwayatkan satu hadits
darinya. Perkataannya tersebut disebutkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/255.
[59]
Hadits nomer 3451 dan di sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Ismail
bin Ayyasy yang mendapatkan hadits dari
ayahnya tanpa pernah mendengarnya. Ayahnya dipermasalahkan.
[60]
Di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 99.
[61]
Hadits nomer 228.
[62]
Al-Musnad 5/439.
[63]
Diriwayatkan An-Nasai 5/8 dan Al-Hakim
1/200, 2/240. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1748.
[64]
Diriwayatkan An-Nasai 7/88 dan Imam Ahmad
5/413. Sanad hadits tersebut hasan.
[65]
Di Al-Mustadrak 1/59 dan
4/259. Di sanadnya terdapat perawi Abdul Hamid bin Sinan yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh
selain Ibnu Hibban. Al-Uqaili meriwayatkan perkataan Al-Bukhari, "Di haditsnya terdapat catatan”.
[66] Hadits
dhaif yang diriwayatkan Abu Nu’aim
di Al-Hilyah 8/213 dari
Al-Hasan dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang
apa yang beliau sabdakan dari Allah Azza wa Jalla, "Hai anak keturunan Adam,
ingatlah kepada-Ku sesaat setelah Shubuh dan setelah Ashar, niscaya Aku melindungimu di antara waktu keduanya”.
Di sanadnya terdapat perawi dhaif
dan perawi tidak dikenal.
[67]
Baca Ta’dzimu Qadrish Shalat, Al-Marwazi
1/224.
[68]
Diriwayatkan Abdurrazzaq di Al-Mushannaf
hadits nomer 148, 4737 dan
Ath-Thabrani dari jalurnya hadits
nomer 6051.
[69]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 18 dan
Muslim hadits nomer 1709.
[70]
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri,
hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits
nomer 5641, 5642, Muslim hadits nomer 2573, 2574, At-Tirmidzi hadits nomer 966,
dan Imam Ahmad 2/303, 335, 3/18-19,
48. Hadits di atas dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2905.
[71] Diriwayatkan
Imam Ahmad 1/99, 159, At-Tirmidzi hadits nomer 2626, dan Ibnu Majah hadits nomer 2604 dari Ali bin Abu Thalib
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang bersabda,
"Barangsiapa mengerjakan maksiat kemudian hukuman disegerakan kepadanya di
dunia, maka Allah lebih adil dari memalingkan
hukuman dari hamba-Nya di akhirat. Barangsiapa mengerjakan maksiat kemudian Allah merahasiakan maksiat tersebut baginya
dan memaafkannya, maka Allah lebih mulia dari kembali kepada sesuatu yang telah
Dia maafkan”.
At-Tirmidzi berkata, "Hadits
tersebut hasan gharib dan dishahihkan Al-Hakim menurut syarat Al-Bukhari dan
Muslim 1/7, 2/445, 4/262, dengan disetujui Adz-Dzahabi.
Dalam masalah ini,
ada hadits dari Abu Tamimah Al-Hajimi dengan redaksi, “Sesungguhnya jika Allah Azza wa Jalla menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Dia
mempercepat hukuman
atas dosanya di dunia. Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala lebih mulia dari
menyiksa atas dosa hingga dua kali”. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 6/265-266, "Hadits
tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath”. Di sanadnya
terdapat perawi Hisyam bin Lahiq yang haditsnya ditinggalkan (tidak dipakai)
Imam Ahmad”. Adz-Dzahabi berkata, "Hadits tersebut dianggap kuat
oleh An-Nasai. Dan dilemahkan oleh Ibnu Hibban”.
Juga hadits dari Khuzaimah bin Tsabit yang diriwayatkan Imam Ahmad 5/214-215
dan redaksinya,
"Barangsiapa mengerjakan dosa kemudian had (hukuman syar’i) atas
dosa tersebut dijatuhkan kepadanya,
maka itu adalah kafaratnya”. Sanad hadits ini hasan seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul
[72]
Ia adalah Syaikh dan Imam Fakhruddin Abu
Abdullah alias Muhammad bin Abu Al-Qasim
Al-Khidhr bin Muhammad bin Taimiyah Al-Harani. Buku tafsirnya belum diterbitkan dan terdiri dari beberapa jilid. Ia wafat pada
tahun 622 H. Biografinya baca di buku Siyaru A’lamin
Nubala’ 22/288-290.
[73] Diriwayatkan
Al-Hakim 1/36, 2/14, 450 dan ia menshahihkannya menurut syarat Al-Bukhari
dan Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga dishahihkan
Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul
Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Baihaqi 8/329 dan Al-Bazzar hadits nomer 1542,
1543 dengan sanad shahih.
[74]
Di At-Tarikh Al-Kabir 1/153.
[75]
Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 264,
An-Nasai 1/153, At-Tirmidzi hadits nomer 136. 137, Ibnu Majah hadits nomer 640, Imam Ahmad 1/230, Ad-Darimi
1/254, Ibnu Al-Jarud di Al-Muntaqa
hadits nomer 108, dan
Ad-Daruquthni di Sunnn-nya 3/287 dari Ibnu Abbas dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda tentang orang yang menggauli istrinya
yang sedang haid, "Ia bersedekah
dengan satu dinar atau setengahnya”. Sanad hadits tersebut shahih
dan dishahihkan Al-Hakim 1/171-172 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits
tersebut juga dishahihkan Ibnu
Al-Qath-Than, Ibnu Daqiq Al-Id, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di At-Talkhishul Habir 1/165-166.
[76]
Sumpah ghamus ialah seseorang bersumpah dan ia tahu bahwa ia
bohong untuk merampas harta orang
lain. Sumpah tersebut dinamakan sumpah ghamus karena menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa kemudian ke neraka.
[77]
Diriwayatkan Imam Ahmad 3/490-491, 4/107 dan
Abu Daud hadits nomer 3964. Hadits
tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4307.
[78]
Hadits nomer 1657.
[79]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 525, 1435,
1895, 3586, 7096 dan Muslim hadits nomer
144. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban
hadits nomer 5966. Takhrijnya secara
lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[80]
Di semua referensi tertulis Al-Irbadh bin
Sariyah. Jadi, penulisan An-Nawwas
bin Sam’an adalah kesalahan tulis
dari Ibnu Rajab.
[81]
Diriwayatkan Imam Ahmad 2/13-14, At-Tirmidzi
hadits nomer 1905, Ibnu Hibban hadits
nomer 435, dan Al-Hakim 4/155.
[82]
Diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 4. Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim. Teksnya
ialah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
Anhuma bahwa seseorang datang kepadanya kemudian berkata,
"Aku telah melamar seorang wanita, namun ia menolak menikah
denganku kemudian wanita tersebut dilamar orang lain dan ia mau menikah
dengannya, lalu aku menyerang dan membunuh wanita tersebut, adakah taubat
bagiku?" Ibnu Abbas berkata,
"Apakah ibumu masih hidup?" Orang tersebut menjawab, "Tidak”.
Ibnu Abbas berkata, "Bertaubatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan mendekatlah kepada-Nya semampumu”. Aku (perawi) berkata, "Kenapa engkau bertanya kepada orang
tersebut apakah ibunya masih
hidup?" Ibnu Abbas menjawab, "Aku tidak tahu ada perbuatan yang lebih
dekat kepada Allah Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu”.
[83]
Di Al-Mustadrak 4/155-156.
Al-Hakim menshahihkan hadits tersebut dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan Ibnu
Katsir di Tafsirnya 1/204 dari jalur Ibnu Abu Hatim dan ia menganggap baik sanadnya.
[84] Ath-Thabrani
di Al-Ausath, Ibnu Adi di Al-Kamil 5/1846, dan Ibnu
Hibban di Al-Majruhin 2/104 dari jalur Ali bin Abu Sarah dari Tsabit dari
Anas bin Malik yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa memikul keempat tiang ranjang (jenazah) karena iman dan menyimpan pahala di sisi Allah, maka Allah menghapus empat puluh dosa besar darinya”.
Ibnu Hibban berkata, "Dari
Tsabit Al-Banani, Ali bin Abu Sarah meriwayatkan hadits darinya yang
tidak mirip dengan hadits Tsabit hingga bisa disimpulkan bahwa seluruh
riwayatnya dari orang-orang terkenal adalah munkar, jadi, ia patut tidak
dijadikan hujjah”.
Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 3/26 dari riwayat Ath-Thabrani
dan ia berkata, "Di sanadnya terdapat Ali bin Abu Sarah yang merupakan
perawi dhaif”.
[85]
Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/263.
[86]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6308.
Perkataan tersebut juga diriwayatkan Imam
Ahmad 1/383, At-Tirmidzi hadits nomer 2497,
dan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu
hadits nomer 68, 69.
[87] Ad-Daruquthni
di Sunannya 3/52 dan
Al-Baihaqi 5/330 meriwayatkan dari jalur Ma’mar bin Rasyid dari Abu Ishaq As-Sabi’i dari istrinya, Al-Aliyah, yang berkata bahwa ia masuk ke tempat Aisyah bersama anak Ummu Zaid bin
Arqam Al-Anshari dan wanita lain.
Ummu Zaid bin Arqam berkata, "Wahai Ummul
Mukminin, aku jual budak kepada Zaid bin Arqam
seharga 800 dirham dengan pembayaran tunda kemudian aku membelinya lagi darinya
seharga 600 dirham secara kontan”.
Aisyah berkata kepada Al-Aliyah, "Sungguh jelek apa yang engkau beli dan jual. Sesungguhnya jihadnya Zaid bin Arqam bersama Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi batal, kecuali jika ia bertaubat”.
Ad-Daruquthni berkata, "Al-Aliyah tidak dikenal”. Namun ini ditentang Ibnu At-Turkimani, "Al-Aliyah dikenal. Suami dan
anaknya meriwayatkan hadits darinya, padahal keduanya (suami dan anaknya) adalah imam”. Al-Aliyah disebutkan Ibnu
Hibban di Ats-Tsiqaat. Hadits Al-Aliyah dijadikan
hujjah oleh Ats-Tsauri, Al-Auzai, Abu
Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Imam
Malik, Ibnu Hanbal, dan Al-Hasan bin Shalih.
[88]
Hadits nomer 105. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir
hadits nomer 3023. Di sanadnya terdapat perawi Laits bin
Abu Sulaim yang merupakan perawi dhaif.
[89]
Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3456 dan
Al-Hakim 4/252. Hadits tersebut juga diriwayatkan
Al-Bukhari di Tarikhnya 7/113. Di sanadnya terdapat Al-Ghathrif bin
Ubaidillah Abu Harun Al-Ommani yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya
oleh selain Ibnu Hibban.
[90]
Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dari Abu Zur’ah
yang berkata, Yahya bin Abdullah bin Bakir
berkata kepadaku dari Ibnu Luhaiah seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 8/484-485. Ibnu Luhaiah hapalannya jelek.
[91]
Dari Abu Hurairah, hadits di atas
diriwayatkan Imam Malik 1/176 dan Muslim hadits nomer 251. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1038.
[92]
Diriwayatkan Imam Malik 1/209, Al-Bukhari hadits nomer 3292, 6403, Muslim
hadits nomer 2691, Imam Ahmad 2/302, 375,
At-Tirmidzi hadits nomer 3468, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 25, dan Ibnu Majah hadits nomer
3798. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu
Hibban hadits nomer 849.
[93]
Penggalan hadits panjang yang diriwayatkan
Imam Ahmad 5/243 dan At-Tirmidzi hadits
nomer 3235 dari jalur Abdurrahman bin Aisyah dari Malik bin Yukhamir dari Muadz
bin Jabal. At-Tirmidzi berkata,
"Hadits tersebut hasan shahih. Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Ismail tentang hadits tersebut kemudian ia
menjawab, “Hadits tersebut hasan shahih”.
[94]
Penggalan dari hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan Imam Ahmad 2/252, Al-Bukhari hadits nomer 477, Muslim hadits nomer 649, Abu Daud hadits nomer 559,
At-Tirmidzi hadits nomer 603, dan Ibnu
Majah hadits nomer 281. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2043. Takhrijnya secara lengkap silahkan
baca buku tersebut.
[95]
Dari Abu Hurairah, hadits tersebut
diriwayatkan Imam Ahmad 2/400 dan Muslim hadits nomer 233. Baca Shahih Ibnu Hibban hadits nomer 1733.
[96]
Dari Fadhalah bin Ubaid dari Umar bin
Khaththab, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 1/23 dan At-Tirmidzi hadits nomer 1644.
[97]
Di Al-Hilyah 4/195.
[98]
Dari Aisyah, hadits di atas diriwayatkan Imam
Ahmad 6/47, Al-Bukhari hadits nomer 103, Muslim hadits nomer 2876, Abu Daud hadits nomer 3093, dan At-Tirmidzi haidts nomer 3337.
Hadits tersebut dishahihkan Ibnu
Hibban hadits nomer 7369 dan 7370.
[99]
Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 923. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Katsir 2/245 dari jalur yang sama. Ibnu Katsir
berkata, "Sanad hadits tersebut hasan
dan isinya juga hasan. Kendati hadits tersebut diriwayatkan dari Al-Hasan dari
Umar dan sanadnya terputus, tapi
hadits seperti itu terkenal, jadi keterkenalannya itu sudah cukup dijadikan penguat.
[100]
Diriwayatkan Ath-Thabari hadits nomer 9231
dan sanadnya shahih. Al-Haitsami di Kasyful
Astaar hadits nomer 2200 menyebutkan hadits mauquf
dari Al-Bazzar. Di sanadnya perawi Al-Jild bin Ayyub yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 2/145. Ia berkata bahwa hadits di atas juga
diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah dan
Abdu bin Humaid secara marfu’ menurut Al-Bazzar.
[101] Imam
Ahmad 2/276, Al-Bukhari hadits nomer 6612, dan Muslim hadits nomer 2657 meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata,
"Aku tidak pernah melihat sesuatu yang sangat mirip dengan al-lamam daripada apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Bagian terhadap
zina ditetapkan kepada anak keturunan Adam, jadi, ia akan
mendapatkannya dan tidak bisa tidak”. Zina dua mata ialah melihat orang-orang
yang bukan mahram, zina lisan ialah bicara, zina jiwa ialah berharap dan
menginginkan, sedang kemaluan membenarkan itu semua atau tidak membenarkannya”.
Saya katakan, Ibnu Abbas
menafsirkan Al-Lamam sesuai dengan apa yang ada di hadits tersebut,
misalnya melihat, menyentuh, dan lain-lain. An-Nawawi berkata, "Al-Lamam itu persis
seperti yang dikatakan Ibnu Abbas di hadits tersebut”. Itulah penafsiran yang
benar tentang Al-Lamam.
Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/65 meriwayatkan
hadits dari Muhammad bin Abdul A’la yang berkata, Muhammad bin Tsaur berkata
kepadaku dari Ma’mar dari Al-A’masy dari Abu Adh-Dhuha bahwa Ibnu Mas’ud
berkata, "Zina dua mata ialah melihat orang-orang yang bukan
mahram, zina dua bibir ialah mencium, zina dua tangan ialah bergerak, dan zina
dua kaki
ialah berjalan, sedang kemaluan membenarkan itu semua atau tidak
membenarkannya. Jika orang yang bersangkutan melakukan itu semua dengan
kemaluannya, ia pezina. Jika tidak, ia telah melakukan al-lamam”.
Saya katakan, perkataan yang sama
diucapkan Masruq dan Asy-Sya’bi.
Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/66 meriwayatkan dengan sanad hasan dari Abu Hurairah bahwa ia ditanya tentang tirman Allah
Ta’ala, "Selain dari
kesalahan-kesalahan kecil", (An-Najm: 32) kemudian ia berkata, "Al-Lamam ialah mencium, melirik, melihat, dan hubungan seksual. Jika kemaluan laki-laki menyentuh kemaluan perempuan,
mandi menjadi wajib dan pelakunya berzina”.
[102]
Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/68 dari jalur Muhammad bin Ja’far dan juga diriwayatkan Ibnu Abu Adi. Keduanya
meriwayatkan hadits tersebut dari Syu’bah dari Al-Hakam dan Qatadah dari Ibnu Abbas. Al-Hakam dan Qatadah tidak
berkata terus terang mendapatkan
hadits tersebut dari Ibnu Abbas, jadi, keduanya tertuduh sebagai perawi mudallis.
[103]
Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan 7/66 dan dishahihkan
Al-Hakim 2/469 menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim dengan
disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/656. Ia berkata bahwa hadits di atas juga diriwayatkan Sa’id bin Mantsur, Ibnu Mardawih, Ibnu Al-Mundzir, dan
Al-Baihaqi di Syu’abul Iman.
[104]
Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan 27/66-67 dari jalur Al-Hasan dari Abu Hurairah. Al-Hasan adalah mudallis dan meriwayatkan hadits tersebut secara mu’an’an (dengan
menggunakan kata ‘dari’ dalam sanadnya). Ucapan tersebut juga disebutkan
As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/656. Ia
berkata bahwa hadits di atas juga diriwayatkan Ibnu Abu Hatim, Ibnu Mardawih, dan Al-Baihaqi di Syu’abul Iman.
[105]
Diriwayatkan Al-Qudha’i di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 853 dan Al-Dailami di Musnad Al-Firdaus hadits nomer 7944 dari jalur Abu Syaibah
Al-Khurasani dari Ibnu Abu Malikah dari Ibnu Abbas yang mengatakannya dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tentang Abu Syaibah
Al-Khurasani, Al-Bukhari berkata seperti dinukil Al-Manawi darinya,
"Haditsnya tidak disetujui”.
Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan 4/537, "Ia meriwayatkan hadits munkar", termasuk hadits tersebut. As-Sakhawi berkata di Al-Maqashid Al-Hasanah hal. 467, "Hadits tersebut diriwayatkan Abu As-Syaikh, Ad-Dailami, dan
Al-Askari di Al-Amtsaal dari
Ibnu Abbas secara marfu’ dengan
sanad dhaif”. Hadits semakna, yaitu hadits mauquf yang
diriwayatkan Ibnu Al-Mundzir di Tafsirnya dan Al-Baihaqi
di Syu’abul Iman. Hadits tersebut mempunyai penguat dari riwayat Al-Baghawi dan Ad-Dailami dari Anas
bin Malik secara marfu’. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ishaq bin Bisyr Abu Hudzaifah di Al-Mubtada’ dari Aisyah. Hadits Ishaq
adalah munkar. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani
di Musnad Asy-Syammiyyin dari Abu Hurairah dan di
sanadnya terdapat perawi Bisyr bin Ubaid Ad-Darimi yang tidak bisa dijadikan hujjah.
[106]
As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/357 berkata bahwa riwayat tersebut diriwayatkan Sa’id bin Manshur, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir,
Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abu Hatim.
[107]
Perkataan di atas disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/358 dari perkataan An-Nakhai. As-Suyuthi berkata bahwa perkataan
tersebut juga diriwayatkan Abdu bin Humaid.
[108]
Baca Al-Hilyah 2/340.
[109]
Diriwayatkan Imam Malik di Al-Muwaththa’ 1/161 dan Muslim hadits
nomer 251 dari Abu Hurairah.
[110]
Al-Bukhari hadits nomer 4685 dan Muslim hadits nomer 2768 meriwayatkan dari Shafwan bin
Mihraj yang berkata bahwa seseorang berkata kepada Ibnu Umar, "Apa yang engkau dengar dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tentang bisik-bisik?" Ibnu Umar berkata
"Aku dengar beliau bersabda, ‘Pada Hari Kiamat, seorang Mukmin didekatkan
kepada Allah Azza wa Jalla hingga Allah memberikan naungan-Nya kepadanya dan membuatnya mengakui dosa-dosanya. Allah berfirman, “Tahukah engkau?”
Orang Mukmin tersebut berkata, “Aku tahu, wahai Tuhanku.” Allah
berfirman, ‘Sungguh Aku merahasiakan dosa-dosamu di dunia bagimu dan sekarang Aku mengampuninya untukmu”. Kemudian buku
catatan kebaikan diberikan kepada orang Mukmin tersebut. Sedang orang-orang
kafir dan orang-orang munafik, Allah memanggil mereka di hadapan seluruh manusia, “Mereka itulah orang-orang yang
berdusta terhadap Allah”.
[111]
Diriwayatkan Al-Husain Al-Marwazi di
tambahan-tambahan Az-Zuhdu karangan Ibnu
Al-Mubarak hadits nomer 1415 dan Ibnu Abu Hatim seperti dinukil darinya oleh
Ibnu Katsir 8/241 dari jalur Yazid bin Harun yang berkata, Ashim Al-Ahwal
berkata kepadaku dari Abu Utsman
An-Nahdi yang berkata seperti di atas. Sanadnya shahih dan para perawinya
adalah para perawi Al-Bukhari dan Muslim. Nama lengkap Abu Utsman An-Nahdi
ialah Abdurrahman bin Mall. Ia perawi
tepercaya, hapalannya kuat, hidup pada masa jahiliyah, dan masuk Islam pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam namun tidak bertemu beliau. Ia wafat pada tahun 95
H. Ada yang mengatakan setelah tahun tersebut dalam usia 130 tahun.
[112]
Diriwayatkan Imam Ahmad 2/72, 250, Abu Daud
hadits nomer 4682, dan At-Tirmidzi hadits
nomer 1162. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 479 dan 4176.
[113]
Di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 454. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu
Luhaiah yang hapalannya jelek.
[114]
Diriwayatkan Imam Ahmad 4/278, An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf
l/62, dan Ibnu Majah hadits
nomer 3436. Namun hadits tersebut tidak ada di Sunan Abu Daud.
Hadits tersebut dishahihkan Ibnu
Hibban hadits nomer 478, 486.
[115]
Diriwayatkan Imam Ahmad 6/94 dan Abu Daud
hadits nomer 4798. Hadits tersebut dishahihkan
Ibnu Hibban hadits nomer 480. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku
tersebut.
[116]
Diriwayatkan Imam Ahmad 6/442, 446, 448, Abu
Daud hadits nomer 4799, dan At-Tirmidzi
hadits nomer 2002, 2003. At-Tirmidzi berkata, "Hadits di atas hadits hasan
shahih”. Hadits tersebut dishahihkan
Ibnu Hibban hadits nomer 481.
[117]
Hadits nomer 485, dan sanadnya hasan.
[118]
Telah ditakhrij sebelumnya.
[119]
Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4800 dan
sanadnya hasan. Hadits tersebut diperkuat hadits Muadz bin Jabal yang
diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir
hadits nomer 217 dan di Ash-Shagir hadits nomer
805, serta hadits lain dari Anas bin Malik yang akan disebutkan sesudah hadits
di atas.
[120]
Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 1993
dan Ibnu Majah hadits nomer 51. Di sanadnya
terdapat perawi Salamah bin Wardan yang merupakan perawi dhaif. Hadits
tersebut dianggap hasan oleh
At-Tirmidzi dengan diperkuat hadits sebelumnya.
[121]
Diriwayatkan Al-Marwazi di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 875.
[122]
Diriwayatkan Imam Ahmad 3/438 dan
Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/413. Di sanadnya terdapat
perawi Zaban bin Faid dan Ibnu Luhaiah yang keduanya merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani 20/414 dan di sanadnya terdapat perawi Rusydin bin Sa’ad yang juga merupakan perawi dhaif.
[123]
Hadits hasan diriwayatkan Al-Hakim 4/161-162 dan Imam Ahmad 4/148, 158. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/188. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan
Ath-Thabrani. Perawi salah satu sanad Imam Ahmad adalah para perawi tepercaya”.
[124]
Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz
Zawaid 8/188-189. la berkata,
"Di sanadnya terdapat Al-Harits (Al-A’war) yang merupakan perawi dhaif”.
No comments:
Post a Comment