Saturday, October 25, 2025

Hadits Arbain 19: Penjagaan Allah

الْحَدِيثُ التَّاسِعَ عَشَرَ
«عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي: يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ، لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ، لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ» .
رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
وَفِي رِوَايَةِ غَيْرِ التِّرْمِذِيِّ: «احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللَّهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا»

 

Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, aku berada di belakang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersabda, "Hai anak muda, aku ajarkan beberapa kalimat kepadamu; jagalah Allah niscaya Allah menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau dapatkan Allah di depanmu, jika engkau minta, mintalah kepada Allah, jika engkau minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah, ketahuilah jika seluruh umat sepakat untuk memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu manfaat dengan sesuatu tersebut kecuali yang yang telah ditetapkan Allah untukmu, jika mereka sepakat untuk memberimu madzarat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu madzarat dengan sesuatu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu, pena-pena telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering”. (Diriwayatkan At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits tersebut hasan shahih”.).

Di riwayat selain At-Tirmidzi disebutkan, “jagalah Allah niscaya engkau mendapatkan-Nya di depanmu, kenali Allah pada saat makmur niscaya Allah kenal denganmu pada saat-saat sulit, ketahuilah apa yang tidak engkau dapatkan tidak akan engkau dapatkan, dan apa yang mesti engkau dapatkan tidak akan terlepas darimu, ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama musibah, dan bersama kesulitan adalah kemudahan”. [1])

Hadits di atas diriwayatkan At-Tirmidzi dari riwayat Hanasy Ash-Shan’ani dari Ibnu Abbas. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dari Hanasy bersama dua jalur lainnya yang terputus tanpa membedakan redaksi sebagian jalur dari jalur lainnya. Redaksi haditsnya ialah,

"Hai anak muda atau anak muda yang masih kecil, maukah engkau aku ajari kalimat-kalimat yang mudah-mudahan Allah memberi manfaat kepadamu dengan kalimat-kalimat tersebut”. Aku berkata, "Mau”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau mendapatkan-Nya di depanmu, kenali Allah pada saat makmur niscaya Allah kenal denganmu pada saat-saat kritis, jika engkau minta, mintalah kepada Allah, jika engkau minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah, sungguh pena telah kering dengan apa saja yang telah ditetapkan, jika seluruh makhluk ingin memberimu manfaat dengan sesuatu yang tidak ditentukan Allah maka mereka tidak dapat melakukannya, jika mereka ingin memberimu madzarat dengan sesuatu yang tidak ditetapkan Allah padamu maka mereka tidak dapat melakukannya, ketahuilah bahwa pada sabar terhadap apa yang engkau benci terdapat kebaikan yang banyak, sesungguhnya kemenangan bersama sabar, kelapangan bersama musibah, dan sesungguhnya bersama kesulitan adalah kemudahan”.

Redaksi tersebut lebih lengkap daripada redaksi yang disebutkan Syaikh An-Nawawi Rahimahullah dan ia menisbatkannya kepada selain At-Tirmidzi. Redaksi yang disebutkan Syaikh An-Nawawi diriwayatkan Abdu bin Humaid di Musnadnya [2]) dengan sanad dhaif dari Atha’ dari Ibnu Abbas. Hadits tersebut juga dinisbatkan Ibnu Ash-Shalah di Al-Ahadits Al-Kulliyah yang merupakan asal Arba’in An-Nawawi Rahimahullah kepada Abdu bin Humaid dan lain-lain.

Hadits dari Ibnu Abbas di atas diriwayatkan dari banyak jalur dari riwayat anaknya, yaitu Ali, mantan budaknya yang bernama Ikrimah [3]), Atha’ bin Abu Rabah [4]), Amr bin Dinar, Ubaidillah bin Abdullah [5]), Umar mantan budak Ghufrah [6]), Ibnu Abu Malikah [7]), dan lain-lain. [8])

Jalur yang paling shahih ialah jalur Hanasy Ash-Shan’ani yang diriwayatkan At-Tirmidzi. Itu yang dikatakan Ibnu Mandah dan lain-lain. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau berwasiat kepada Ibnu Abbas seperti itu di hadits Ali bin Abu Thalib, Abu Sa’id Al-Khudriy [9]), Sahl bin Sa’ad [10]), Abdullah bin Ja’far [11]), namun di semua sanadnya terdapat kelemahan.

Al-Uqaili menyebutkan [12]) bahwa seluruh sanad hadits adalah layyin dan sebagian sanad lebih shahih daripada sebagian sanad lainnya. Namun secara umum, jalur Hanasy Ash-Shan’ani yang diriwayatkan At-Tirmidzi adalah hasan dan baik.

Hadits bab di atas mengandung wasiat-wasiat luhur dan kaidah-kaidah integral yang termasuk perkara-perkara agama yang paling urgen hingga sebagian ulama [13]) berkata, "Aku renungkan hadits tersebut dan aku pun terkagum-kagum kepadanya hingga aku nyaris keliru. Aduh, bodohnya aku terhadap hadits tersebut dan minimnya pemahamanku terhadapnya”.

Saya katakan, hadits tersebut saya syarah sendirian di jilid besar [14]) dan di sini saya sebutkan maksud-maksudnya dengan ringkas, insya Allah.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu", maksudnya jagalah hukum-hukum Allah, hak-hak-Nya, perintah-perintah-Nya, dan larangan-larangan-Nya. Menjaga Allah ialah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, tidak melanggar apa saja yang Dia perintahkan dan izinkan kepada apa yang Dia larang. Barangsiapa berbuat seperti ini, ia termasuk orang-orang yang menjaga hukum-hukum Allah yang dipuji Allah di Kitab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, "Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara. (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”. (Qaaf: 32-33).

Kata hafidz (memelihara) pada ayat di atas ditafsirkan dengan orang yang menjaga perintah-perintah Allah dan orang yang menjaga dosa-dosanya untuk bertaubat darinya.

Di antara perintahperintah Allah yang wajib dijaga ialah shalat, karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk dijaga. Allah Ta’ala berfirman,

“Jagalah oleh kalian segala shalat dan shalat wusthaa; berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu". (Al-Baqarah: 238).

Allah juga memuji orang-orang yang menjaga shalat. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan orang-orang yang menjaga shalatnya”. (Al-Ma”arij: 34).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Barangsiapa menjaga shalat, ia mendapatkan jaminan di sisi Allah untuk memasukkannya ke surga”. [15])

Di hadits lain, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

من حافظ عليهن, كن له نورا وبرهانا ونجاة يوم القيامة.

"Barangsiapa menjaga shalat-shalat tersebut, maka shalat-shalat tersebut menjadi cahaya, petunjuk, dan keselamatan baginya pada Hari Kiamat". [16])

Hal lain yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk dijaga ialah thaharah (bersuci) karena thaharah adalah kunci shalat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Tidak menjaga wudhu melainkan orang Mukmin”. [17])

Hal lain yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk dijaga ialah sumpah. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Dan jagalah sumpah-sumpah kalian”. (Al-Maidah: 89).

Karena manusia mendapatkan banyak sekali kebaikan dari sumpah dan kebanyakan dari mereka melalaikan apa yang diwajibkan oleh sumpah, tidak menjaganya, dan tidak komitmen dengannya.

Hal lain yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk dijaga ialah menjaga kepala dan perut, seperti dinyatakan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya ialah engkau menjaga kepala beserta apa saja yang dimuatnya dan menjaga perut beserta apa saja yang dikandungnya”. (Diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi). [18]

Termasuk dalam cakupan menjaga kepala beserta apa saja yang dimuatnya ialah menjaga pendengaran, penglihatan, dan lidah dari hal-hal yang diharamkan. Termasuk dalam cakupan menjaga perut beserta apa saja yang dikandungnya ialah menjaga hati dari terus-menerus mengerjakan hal-hal yang diharamkan.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di hati kalian”. (Al-Baqarah: 235).

Itu semua dikumpulkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu diminta pertanggungan jawabnya”. (Al-Isra’: 36).

Termasuk dalam cakupan menjaga perut ialah menjaganya dari masuknya makanan dan minuman haram ke dalamnya.

Di antara larangan-larangan Allah teragung yang wajib dijaga ialah lidah dan kemaluan. Disebutkan di hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

 “Barangsiapa menjaga di antara kumis dan jenggotnya (lidah) dan di antara dua kakinya (kemaluan), ia masuk surga”. (Diriwayatkan Al-Hakim). [19]

Imam Ahmad meriwayatkan hadits Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

من حفظ ما بين فُقْمَيْه وفرجه دخل الجنة

“Barangsiapa menjaga di antara kumisnya (lidah) dan kemaluannya, ia masuk surga”. [20])

Allah Azza wa jalla memerintahkan kaum Mukminin menjaga kemaluan dan memuji orang-orang yang menjaganya. Allah Ta’ala berfirman,

"Katakan kepada orang laki laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (An-Nuur: 30).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan mereka, laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Al-Ahzab: 35).

Allah Ta’ala berfirman,

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela”. (Al-Mukminun: 16).

Abu Idris Al-Khaulani berkata, "Yang pertama kali diwasiatkan Allah kepada Nabi Adam ketika beliau diturunkan ke bumi ialah menjaga kemaluan. Allah berfirman, “Engkau jangan meletakkan kemaluan kecuali di tempat yang Halal”.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Niscaya Allah menjagamu", maksudnya, barangsiapa menjaga hukum-hukum Allah dan memperhatikan hak-hak-Nya, Allah menjaganya, karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian”. (Al-Baqarah: 40).

Allah Ta’ala berfirman,

"Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian”. (Al-Baqarah: 152).

Allah Ta’ala berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah, niscaya Dia menolong kalian”. (Muhammad: 7).

Ada dua hal bentuk penjagaan Allah kepada hamba-Nya;

Pertama: Allah menjaga kemaslahatan-kemaslahatan dunianya, misalnya Allah menjaga badan, anak, keluarga, dan hartanya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran; di muka dan di belakang mereka, mereka (para malaikat) menjaga mereka (manusia) atas perintah Allah”. (Ar-Ra’du: 11).

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Mereka adalah para malaikat yang menjaga manusia atas perintah Allah. Jika takdir datang, para malaikat pergi dari manusia”. [21])

Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, "Sesungguhnya di setiap orang terdapat dua malaikat yang menjaganya dari apa saja yang tidak ditakdirkan. Jika takdir datang, kedua malaikat tersebut pergi dari orang tersebut. Sesungguhnya ajal adalah benteng kokoh”. [22])

Mujahid berkata, "Setiap hamba pasti bersama malaikat yang menjaganya; ketika ia tidur dan terjaga, dari jin, manusia, dan singa. Jika ada sesuatu datang kepada hamba tersebut, malaikat berkata kepada sesuatu tersebut, ”Enyahlah engkau”, kecuali sesuatu yang diizinkan Allah kemudian sesuatu tersebut mengenai hamba tersebut”. [23])

Imam Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata,

لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم يَدَعُ هؤلاء الدعوات حين يمسى وحين يصبح : اللهم إنى أسألك العافية فى الدنيا والاخرة. اللهم إنى أسألك العفو والعافية فى دينى ودنياي وأهلى ومالى, اللهم اسْتُرْ عَوْراتى, وأمن رَوْعتى, واحفظنى من بين يدي, ومن خلفى, وعن يمينى وعن شمالى ومن فوقى وأعوذ بعظمتك أن اُغْتالَ من تحتى.

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ketika beliau berada di pagi dan sore hari, “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat Ya Allah, aku meminta kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allah, tutuplah auratku, amankan ketakutanku, jagalah aku dari depanku, belakangku, sebelah kananku, sebelah kiriku, dan dari atasku. Aku berlindung diri dengan keagungan-Mu dari dibenamkan dari bawahku”. [24])

Barangsiapa menjaga Allah di saat remaja dan kuat, Allah menjaganya di saat ia tua dan lemah, serta memberinya kenikmatan dengan pendengaran, penglihatan, kekuatan, dan akalnya.

Salah seorang ulama [25]) berusia lebih dari 100 tahun, namun ia diberi kenikmatan dengan kekuatan dan akalnya. Pada suatu hari, ia meloncat dengan loncatan kuat hingga ia dikecam karenanya. Ia berkata, "Organ tubuh ini saya jaga dari maksiat-maksiat ketika saat remaja, kemudian Allah menjaganya untukku saat aku tua”.

Kebalikannya, salah seorang generasi salaf melihat orang lanjut usia yang meminta-minta manusia kemudian orang salaf berkata, "Orang lanjut usia tersebut menyia-nyiakan Allah di usia remajanya, akibatnya, Allah menyia-nyiakannya di usia tuanya”.

Bisa jadi, Allah menjaga seorang hamba sepeninggalnya dengan menjaga anak keturunannya seperti dikatakan tentang firman Allah Ta’ala,

"Sedang kedua orang tuanya adalah orang shalih”. (Al-Kahfi: 82).

Kedua orang tersebut dijaga Allah karena kebaikan orang tua keduanya. [26]) Sa’id bin Al-Musaiyyib berkata kepada anaknya, "Aku pasti menambah shalatku untukmu karena aku berharap engkau dijaga”. Kemudian Sa’id bin Al-Musaiyyib membaca firman Allah Ta’ala, “Sedang kedua orang tuanya adalah orang shalih”. (Al-Kahfi: 82). Umar bin Abdul Aziz berkata, "Tidaklah orang Mukmin wafat melainkan Allah menjaganya dengan menjaga anak dan cucunya”.

Ibnu Al-Munkadir berkata, "Sesungguhnya Allah pasti menjaga dengan orang shalih anaknya, cucunya, dan rumah-rumah di sekitarnya. Jadi, mereka selalu dalam penjagaan dan perlindungan Allah". [27])

Kapan saja seorang hamba sibuk dalam ketaatan kepada Allah, maka Allah menjaganya pada saat tersebut. Di Musnad Imam Ahmad [28]) disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Seorang wanita berada di rumah kemudian ikut berangkat dalam detasemen kaum Muslimin dengan meninggalkan dua belas kambing betina dan tanduk yang biasa ia gunakan untuk menenun. Setelah itu, ia kehilangan dua belas kambing dan tanduknya. Ia berkata, “Tuhanku, sungguh Engkau telah menjamin orang yang keluar di jalan-Mu untuk menjaganya. Sungguh aku kehilangan kambing-kambingku dan tandukku. Aku bersumpah kepada-Mu tentang kambing-kambingku dan tandukku. "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan kuatnya sumpah wanita tersebut kepada Tuhannya Tabaraka wa Ta’ala. Beliau bersabda, “Keesokan harinya, kambing-kambingnya muncul bersama sejumlah kambing-kambingnya dan tanduknya bersama sejumlah tanduknya (yang tadinya hilang)”.

Jadi, barangsiapa menjaga Allah, maka Allah menjaganya dari semua gangguan.

Salah seorang dari generasi salaf berkata, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, sungguh ia menjaga dirinya. Barangsiapa menyia-nyiakan takwanya, sungguh ia menyia-nyiakan dirinya dan Allah tidak membutuhkannya”.

Di antara penjagaan Allah yang mengagumkan kepada orang yang dijaga-Nya ialah Dia menjadikan hewan-hewan yang secara teori mengganggu sebagai penjaga orang tersebut dari gangguan, seperti yang terjadi pada Safinah mantan budak Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam yang kapalnya pecah kemudian ia pergi ke pulau dan melihat singa, tapi kemudian ia berjalan dengan singa tersebut hingga singa tersebut menunjukkan jalan baginya. Ketika singa tersebut telah membawa Safinah di pulau tersebut, singa tersebut mengaum seperti mengucapkan selamat berpisah kepada Safinah dan pergi darinya”. [29])

Dikisahkan bahwasanya Ibrahim bin Adham pernah tidur di kebun sementara di sisinya ada seekor ular dengan seikat bunga di mulutnya. Dan ular tersebut terus menjaganya sampai beliau bangun.

Kebalikannya, barangsiapa menyia-nyiakan Allah, maka Allah menyia-nyiakannya, akibatnya, ia menjadi orang sia-sia di antara manusia hingga madzarat dan gangguan terjadi padanya, tragisnya, madzarat dan gangguan tersebut berasal dari orang-orang; keluarga dan lain-lain, yang ia harapkan mendapatkan manfaatnya, seperti dikatakan salah seorang generasi salaf [30]), "Aku bermaksiat kepada Allah kemudian aku melihat bekasnya pada akhlak pembantu dan hewan kendaraanku”.

Kedua: Penjagaan yang lebih baik daripada penjagaan pertama, yaitu Allah menjaga agama dan iman seorang hamba. Ya, Allah menjaga kehidupan hamba tersebut dari perkara-perkara syubhat yang menyesatkan dan syahwat-syahwat yang diharamkan. Allah juga menjaga agamanya ketika ia meninggal dunia dalam bentuk Allah mewafatkannya dalam keadaan beriman. Salah seorang dari generasi salaf [31]) berkata, "Jika seseorang meninggal dunia, dikatakan kepada malaikat, “Ciumlah kepala orang tersebut”. Malaikat berkata, “Aku temukan Al-Qur’an di kepalanya.” Dikatakan kepada malaikat tersebut, “Ciumlah hati orang tersebut.” Malaikat berkata, “Aku temukan puasa di hatinya.” Dikatakan kepada malaikat tersebut, “Ciumlah kedua kakinya.” Malaikat berkata, “Aku temukan qiyamul lail pada kakinya.” Malaikat tersebut berkata, “Ia menjaga dirinya, kemudian ia dijaga Allah”.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu Anhu [32]) dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menyuruhnya berkata ketika hendak tidur,

“Jika Engkau mencabut nyawaku, sayangilah. jika Engkau mengembalikannya jagalah sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih”.

Di hadits Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarinya untuk mengucapkan,

"Ya Allah, jagalah aku dengan Islam ketika aku berdiri, jagalah aku dengan Islam ketika aku duduk, jagalah dengan Islam ketika aku tidur, dan janganlah Engkau buat aku taat pada musuh dan pendengki”. (Diriwayatkan Ibnu Hibban di Shahihnya). [33]

Jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melepas orang yang hendak bepergian, beliau bersabda,

"Aku titipkan agama, amanah, dan amalmu yang terakhir kepada Allah”. Beliau bersabda, "Sesungguhnya jika Allah dititipi sesuatu, Dia menjaganya”. (Diriwayatkan An-Nasai dan lain-lain).[34]

Kesimpulannya, Allah Azza wa Jalla menjaga agama orang Mukmin yang menjaga hukum-hukum-Nya dan menjauhkan darinya apa saja yang merusak agamanya dengan berbagai bentuk penjagaan. Bisa jadi seorang hamba tidak menyadari sebagian bentuk perlindungan tersebut dan bisa jadi ia tidak menyukainya seperti difirmankan Allah Ta’ala tentang Yusuf Alaihis Salam,

“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih”. (Yusuf: 24).

Tentang firman Allah Ta’ala, "Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya”. (Al-Anfal: 24).

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Allah membatasi antara orang Mukmin dengan maksiat yang menyeretnya ke neraka”. [35])

Al-Hasan berkata tentang para pelaku maksiat, "Mereka meremehkan Allah, akibatnya, mereka bermaksiat kepada-Nya. Jika mereka mengagungkan Allah, Dia pasti melindungi mereka”.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Sesungguhnya seorang hamba pasti menginginkan bisnis dan kekuasaan hingga ia diberi kemudahan di dalamnya, kemudian Allah melihat kepadanya dan berfirman kepada para malaikat, “Palingkan orang tersebut dari bisnis dan kekuasaan, karena jika Aku memberikan kemudahan di dalamnya kepadanya, maka Aku memasukkannya ke neraka.” Allah pun memalingkan hamba tersebut dari bisnis dan kekuasaan. Hamba tersebut tidak henti-hentinya bersikap pesimis sambil berkata,”Aku diungguli oleh si Fulan dan diuji si Fulan”, padahal yang demikian itu adalah karunia Allah Azza wa Jalla”.

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Allah Azza wa Jalla berfirman, Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada hamba yang imannya tidak bisa diperbaiki kecuali dengan kemiskinan dan jika Aku melapangkan rezkinya maka rezkinya akan merusak imannya. Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada hamba yang imannya tidak bisa diperbaiki kecuali dengan kekayaan dan jika Aku membuatnya miskin maka itu akan merusak imnnya. Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada hamba yang imannya tidak bisa diperbaiki kecuali dengan sehat dan jika Aku membuatnya sakit maka itu akan merusak imannya. Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada yang imannya tidak bisa diperbaiki kecuali dengan sakit dan jika Aku membuatnya sehat maka itu akan merusak imannya. Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada hamba yang mencari salah satu pintu karena ingin ibadah kemudian Aku menghalangi pintu tersebut darinya agar ujub tidak merasukinya. Sungguh Aku mengatur hamba-hamba-Ku sesuai dengan pengetahuan-Ku tentang apa saja yang ada di hati mereka. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui dan Mengerti". [36])

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jagalah Allah niscaya engkau dapatkan Allah di depanmu", maksudnya, barangsiapa menjaga hukum-hukum Allah dan memperhatikan hak-hak-Nya, ia mendapati Allah bersamanya dalam semua kondisi di mana saja ia berada; Allah melindungi, menolong, menjaga, membimbingnya, dan menunjukinya, karena,

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik". (An-Nahl: 128).

Qatadah berkata, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia bersamanya. Barangsiapa Allah bersamanya, ia bersama kelompok yang tidak terkalahkan, dan penjaga yang tidak tidur, dan pemberi petunjuk yang tidak menyesatkan". [37])

Salah seorang generasi salaf menulis surat kepada saudaranya, "Amma ba’du, jika Allah bersamamu, siapakah yang engkau takuti? Jika Allah tidak bersamamu, siapakah yang engkau harapkan?"

Ma’iyyah (kesertaan) khusus inilah yang disebutkan Allah Ta’ala di firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun,

“Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (Thaha: 46).

Juga disebutkan dalam perkataan Nabi Musa Alaihis Salam,

"Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (Asy-Syu’ara: 62).

Juga disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abu Bakar Radhiyallahu Anhu ketika keduanya berada di gua, "Bagaimana dugaanmu terhadap dua orang sementara yang ketiganya adalah Allah? Janganlah sedih, sesungguhnya Allah bersama kita”. [38])

Ma’iyyah (kesertaan) khusus menghendaki adanya pertolongan, dukungan, penjagaan, dan bantuan. Ma’iyyah khusus berbeda dengan ma’iyyah umum yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

"Tidaklah pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dialah yang keempatnya, dan tidaklah (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah yang keenamnya, dan tidaklah (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada”. (Al-Mujadilah: 7).

Dan ma’iyyah umum yang disebutkan di firman Allah Ta’ala,

"Tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai”. (An-Nisa’: 108).

Ma’iyyah (kesertaan) umum menghendaki adanya pengetahuan Allah, pengawasan-Nya, dan pemantauan-Nya terhadap semua perbuatan manusia. Dan itu semua untuk membuat manusia takut kepada-Nya. Sedang ma’iyyah (kesertaan) khusus menghendaki adanya perlindungan dan pertolongan terhadap hamba. Jadi, barangsiapa menjaga Allah dan memperhatikan hak-hak-Nya, ia mendapati Allah ada di depannya dalam semua kondisi kemudian ia damai dengan-Nya dan merasa cukup dengan-Nya daripada manusia, seperti dikatakan dalam hadits,

“Iman terbaik ialah seorang hamba mengetahui bahwa Allah bersamanya di mana saja ia berada”.

Diriwayatkan dari Bunan Al-Hammal bahwa ia memasuki daerah Al-Bariyah sendirian melalui jalan Tabuk kemudian ia merasa takut, tiba-tiba penyeru berseru kepadanya, "Kenapa engkau takut? Bukankah pihak yang engkau cintai (Allah) bersamamu?" [39])

Salah seorang generasi salaf berkata kepada yang lain, "Kenapa engkau tidak takut sendirian?" Orang salaf yang ditanya menjawab, "Kenapa aku harus takut, sementara Dia berfirman, “Aku teman duduk orang yang dzikir kepada-Ku”.

Dikatakan kepada salah seorang generasi salaf, "Aku lihat engkau sendirian?" Orang salaf tersebut berkata, "Barangsiapa bersama Allah, maka Dia bersamanya. Jadi, bagaimana ia sendirian?"

Dikatakan kepada salah seorang generasi salaf, "Engkau tidak bersama teman?" Orang salaf tersebut menjawab, "Ada”. Ditanyakan kepada orang salaf tersebut, "Di mana dia?" Orang salaf tersebut menjawab, "Dia ada di depanku, bersamaku, belakangku, sebelah kananku, sebelah kiriku, dan sebelah atasku”.

Asy-Syibli melantunkan syair,

Jika kami berjalan semalam suntuk sedang Engkau berada di depan kami

Maka hewan-hewan tunggangan kami dengan dzikir kepada-Mu

cukup menjadi penunjuk jalan kami”.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Kenali Allah pada saat makmur niscaya Allah kenal denganmu pada saat-saat sulit", maksudnya, jika seorang hamba bertakwa kepada Allah, menjaga hukum-hukum-Nya, dan memperhatikan hak-hak-Nya pada saat ia makmur (kaya), sungguh ia kenal Allah dengan itu semua dan mempunyai pengenalan khusus dengan Allah. Karenanya, Allah mengenalnya ketika ia berada dalam situasi kritis dan memperhatikannya karena pengenalannya kepada-Nya pada saat ia makmur kemudian Allah menyelamatkannya dari situasi-situasi kritis karena pengenalan tersebut. Pengenalan khusus menghendaki adanya kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya, kecintannya kepada-Nya, dan responsif terhadap seruan-Nya.

Jadi, pengenalan seorang hamba kepada Tuhannya itu ada dua;

1.     Pengenalan umum, yaitu pengenalan dalam bentuk mengakui Allah, membenarkan-Nya, dan beriman kepada-Nya. Pengenalan seperti itu terjadi pada seluruh kaum Mukminin.

2.      Pengenalan khusus yang menghendaki adanya kecenderungan hati kepada Allah secara total, konsentrasi kepada-Nya, damai dengan-Nya, tentram dengan dzikir kepada-Nya, malu kepada-Nya, dan segan kepada-Nya. Pengenalan khusus ini adalah pengenalan orang-orang arif (orang yang kenal Allah). Salah seorang dari mereka berkata, "Orang-orang yang miskin dari penghuni dunia, adalah mereka yang keluar dari dunia tanpa merasakan sesuatu yang amat manis di dalamnya”. Ditanyakan kepada orang tersebut, "Apa sesuatu tersebut?" Ia menjawab, "Kenal Allah Azza wa Jalla”.

Ahmad bin Ashim Al-Anthaki berkata, "Aku ingin tidak mati hingga aku kenal Tuhanku. Pengenalan yang dimaksud bukan mengakui-Nya, namun pengenalan yang jika aku telah kenal dengan-Nya maka aku malu kepada-Nya”.

Pengenalan Allah kepada hamba-Nya juga ada dua macam;

  1. Pengenalan umum, yaitu pengetahuan Allah Subhanahu terhadap hamba-Hamba-Nya dan penglihatan-Nya terhadap apa saja yang mereka rahasiakan dan tampakkan, seperti yang Dia firmankan,

"Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (Qaaf: 16).

Dan seperti yang Dia firmankan,

"Dan Dia lebih mengetahui kalian ketika Dia menjadikan kalian dari tanah dan ketika kalian masih berupa janin di perut ibu kalian”. (An-Najm: 32).

  1. Pengenalan khusus, yang menghendaki kecintaan Allah kepada seorang hamba, kedekatan-Nya kepadanya, pengabulan doanya, dan penyelamatan-Nya dari situasi-situasi kritis. Itulah yang diisyaratkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari wahyu yang beliau terima dari Tuhan beliau,

"Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku telinganya di mana ia mendengar dengannya, Aku Jadi matanya di mana ia melihat dengannya, Aku jadi tangannya di mana ia bergerak dengannya, dan Aku jadi kakinya di mana ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya”. Di riwayat lain, “jika ia berdoa kepada-Ku, Aku pasti mengabulkannya”. [40])

Ketika Al-Hasan melarikan diri dari Al-Hajjaj, ia masuk ke rumah Habib bin Abu Muhammad. Habib Abu Muhammad berkata kepada Al-Hasan, "Hai Abu Sa’id, bukankah antara engkau dengan Tuhanmu terdapat doa yang bisa engkau haturkan kepada-Nya kemudian Dia menutupimu dari mereka? Masuklah ke rumahku”. Al-Hasan pun masuk. Setelah itu, masuklah para polisi ke rumah Habib Abu Muhammad, namun mereka tidak melihat Al-Hasan. Hal tersebut dilaporkan kepada Al-Hajjaj kemudian Al-Hajjaj berkata, "Al-Hasan ada di rumah Habib Abu Muhammad. Ketahuilah, Allah membutakan mata mereka (para polisi) hingga mereka tidak bisa melihat Al-Hasan”.

Al-Fudhail bin Iyadh bertemu Sya’wanah yang rajin ibadah kemudian Al-Fudhail bin Iyadh meminta doa kepada Sya’wanah, namun Sya’wanah berkata, "Hai Fudhail, antara engkau dengan Tuhanmu terdapat doa di mana jika engkau berdoa kepada-Nya, Dia pasti mengabulkan doamu?" Al-Fudhail bin Iyadh pun tak sadarkan diri. [41])

Ditanyakan kepada Ma’ruf, "Apa yang membuatmu serius dalam ibadah?" Penanya berkata seperti itu sambil menyebutkan kematian, alam barzakh, surga, dan neraka kepada Ma’ruf, kemudian Ma’ruf berkata, "Sesungguhnya malaikat itu semua ada di Tangan-Nya. Jika antara engkau dan Dia terdapat pengenalan, semua itu sudah cukup bagimu”.

Kesimpulannya, barangsiapa memperlakukan Allah dengan takwa dan taat ketika ia makmur, Allah memperlakukannya dengan lembut dan membantunya ketika ia berada dalam situasi kritis.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa ingin Allah mengabulkan doanya ketika ia berada dalam saat-saat kritis, hendaklah ia memperbanyak doa ketika ia dalam keadaan makmur". [42])

Ibnu Abu Hatim dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Yazid Ar-Raqasyi dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Ketika Nabi Yunus Alaihis Salam berdoa di perut ikan, para malaikat berkata, “Tuhan, ini suara yang bisa dikenali dari negeri asing”. Allah Azza wa jalla berfirman, Apakah kalian tidak mengenali suara tersebut?” Para malaikat menjawab, Suara siapa itu?” Allah berfirman, “Hamba-Ku, Yunus”. Para malaikat berkata, “Hamba-Mu, Yunus, dimana amalnya yang diterima senantiasa diangkat dan doanya dikabulkan?” Allah berfirman, “Ya”. Para malaikat berkata, “Tuhan, kenapa Engkau tidak menyanyangi apa yang telah ia kerjakan pada saat ia makmur dan Engkau menyelamatkannya dari negerinya?” Allah berfirman, “Ya”. Kemudian Allah memerintahkan ikan melemparkan Nabi Yunus ke tanah lapang”. [43])

Adh-Dhahhak bin Qais berkata, "Dzikirlah kalian kepada Allah pada saat makmur, niscaya Allah ingat kalian pada saat kritis. Sesungguhnya Nabi Yunus Alaihis Salam tadinya banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala kemudian ketika beliau berada di perut ikan, Allah Azza wa Jalla berfirman, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit”. (Ash-Shaffaat: 143-144). Fir”aun adalah orang yang melewati batas dan lupa dzikir kepada Allah. Ketika ia tenggelam di laut, ia berkata, ”Aku beriman”, maka Allah Ta’ala berfirman, “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Yunus: 91). [44]

Salman Al-Farisi Radhiyallahu Anhu berkata, "Jika seseorang banyak berdoa pada saat makmur kemudian mendapatkan musibah lalu berdoa kepada Allah Ta’ala, para malaikat berkata, “Ini suara yang dapat dikenali, maka mintakanlah syafa’at untuknya”. Jika seseorang tidak banyak berdoa pada saat makmur kemudian mendapatkan musibah lalu berdoa kepada Allah Ta’ala, para malaikat berkata, ”Ini suara yang tidak dikenal, maka kalian jangan memintakan syafa’at untuknya”.

Seseorang berkata kepada Abu Ad-Darda’, "Beri aku wasiat”. Abu Ad-Darda’ berkata, "Ingatlah Allah pada saat makmur, niscaya Allah Azza wa Jalla ingat kepadamu pada saat musibah”. [45])

Abu Ad-Darda’ juga berkata, "Berdoalah kepada Allah pada hari kesenanganmu, semoga Allah mengabulkan doamu pada saat engkau menderita”.

Musibah terberat di dunia yang menimpa seorang hamba ialah kematian. Musibah setelah kematian lebih berat lagi jika perjalanan seorang hamba tidak kepada kebaikan. Oleh karena itu, orang Mukmin wajib membuat persiapan untuk kematian dan sesudahnya ketika ia sehat dengan takwa dan amal-amal shalih. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri; mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Al-Hasyr: 18-19).

Jadi, barangsiapa ingat Allah ketika sehat dan makmur, serta mempersiapkan diri untuk bertemu Allah, maka Allah ingat kepadanya pada saatsaat kritis. Ya, Allah bersamanya pada saat-saat kritis, bersikap lembut kepadanya, membantu, mengurusi, dan meneguhkannya di atas tauhid, karenanya, ia bertemu Allah dalam keadaan ridha. Sedang barangsiapa lupa kepada Allah pada saat sehat dan makmur, tidak mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya, maka Allah pun lupa kepadanya di saat-saat kritis, dalam arti Allah berpaling darinya dan tidak menggubrisnya. Jika kematian datang kepada orang Mukmin yang siap menyambutnya, maka ia berbaik sangka kepada Allah dan berita gembira dari Allah datang kepadanya, karenanya, ia senang bertemu Allah dan Allah pun senang bertemu dengannya sedang orang jahat kebalikannya. Ketika itulah, orang Mukmin senang dan bergembira dengan apa yang telah ia persembahkan, sedang orang lalai menyesali diri dan berkata, "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku terhadap Allah”. (Az-Zumar: 56).

Abu Abdurrahman As-Sulami berkata sebelum meninggal, "Bagaimana aku tidak berharap bertemu Tuhanku, sementara aku telah berpuasa untuk-Nya selama delapan puluh Ramadhan?" [46])

Abu Bakr bin Ayyas berkata kepada anaknya ketika hendak meninggal dunia, "Apakah berpendapat Allah akan menelantarkan ayahmu yang selama empat puluh tahun mengkhatamkan Al-Qur’an di setiap malam?” [47])

Adam bin Abu Iyas mengkhatamkan Al-Qur’an pada saat ia terbentang hendak wafat kemudian ia berkata, "Demi kecintaanku kepada-Mu, hendaklah Engkau bersikap lembut kepadaku di kematianku ini. Aku mengharapkan-Mu pada hari ini. Aku pernah berharap menjumpai-Mu yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Usai berkata seperti itu, ia meninggal dunia. [48])

Ketika Zakaria bin Adi hendak meninggal dunia, ia mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, "Ya Allah, sungguh aku rindu kepada-Mu”. [49])

Abdush-shamad seorang yang zuhud ketika hendak meninggal dunia berkata, "Tuhanku, untuk saat inilah, aku menyembunyikan-Mu dan untuk hari inilah aku memiliki-Mu, maka wujudkan baik sangkaku kepada-Mu”. [50])

Tentang firman Allah Azza wa Jalla, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar”. (Ath-Thalaq: 2).

Qatadah berkata, "Yaitu jalan keluar dari musibah ketika meninggal dunia”. [51])

Ali bin Abu Thalhah berkata dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu tentang ayat di atas, "Allah menyelamatkannya dari seluruh petaka di dunia dan akhirat”. [52])

Tentang firman Allah Azza wa Jalla, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat turun kepada mereka (dengan mengatakan), janganlah kalian takut dan janganlah kalian sedih”. (Fushshilat: 30).

Zaid bin Aslam berkata, "Ia diberi kabar gembira seperti itu pada saat kematiannya dan di kuburnya. Ketika ia dibangkitkan, sungguh ia berada di surga dan kebahagiaan kabar gembira tidak hilang dari hatinya”. [53])

Tsabit Al-Banani berkata tentang ayat di atas, "Disampaikan kepada kami bahwa jika orang Mukmin dibangkitkan Allah dari kuburnya, ia ditemui dua malaikat yang pernah bersamanya di dunia kemudian kedua malaikat tersebut berkata kepadanya, “Engkau jangan takut dan jangan sedih.” Kemudian Allah menghilangkan ketakutannya dan menyejukkan matanya. Pada Hari Kiamat, tidak ada bencana besar yang datang pada manusia melainkan bencana besar tersebut menyejukkan mata orang Mukmin karena ia telah diberi petunjuk oleh Allah dan karena apa yang telah ia kerjakan di dunia”. [54])

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika engkau minta mintalah kepada Allah dan jika engkau minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah", dipetik dari firman Allah Ta’ala,

"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan”. (Al-Fatihah: 5).

Permintaan kepada Allah Ta’ala ialah berdoa kepada-Nya dan mohon kepada-Nya. Doa adalah ibadah. Itu yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits An-Nu’man bin Basyir dan beliau membaca firman Allah Ta’ala,

"Dan Tuhan kalian berfirman, Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan bagi kalian". (Ghafir: 60). (Diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah). [55]

At-Tirmidzi [56]) meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Doa adalah otak (inti) ibadah”.

Sabda tersebut mengandung makna bahwa Allah Azza wa jalla harus dimintai dan dimintai pertolongan dan bukannya selain Dia.

Sedang permintaan, maka diperintahkan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan mintalah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya”. (An-Nisa’: 32).

Di At-Tirmidzi [57]) disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Mintalah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena Allah suka dimintai".

Di At-Tirmidzi juga disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa tidak meminta Allah, maka Allah marah kepadanya”. [58])

Di hadits lain, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Hendaklah salah seorang dari kalian memintakan seluruh kebutuhannya kepada Allah hingga ia meminta tali sandalnya jika terputus kepada-Nya”. [59])

Banyak sekali hadits shahih tentang larangan meminta kepada manusia. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaiat sejumlah sahabat, di antaranya Abu Bakar, Abu Dzar, dan Tsauban, untuk tidak meminta sesuatu apa pun kepada manusia. Pernah cambuk atau kendali unta salah seorang dari mereka jatuh, namun mereka tidak meminta siapa pun untuk mengambilkan cambuk atau kendali untanya kepadanya”. [60])

Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan hadits Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata,

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya Bani si Fulan menyerangku kemudian mengambil anak-anak dan untaku”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada orang tersebut, “Sesungguhnya keluarga Muhammad; ini dan itu adalah ahlul bait. Mereka tidak mempunyai satu mud (takaran tempo dulu) atau satu sha’ (takaran tempo dulu) makanan. Mintalah kepada Allah Azza wa Jalla”. Orang tersebut pulang kepada istrinya kemudian istrinya berkata, "Apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadamu?" Orang tersebut menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada istrinya kemudian istrinya berkata, "Sungguh baik jawaban yang diberikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadamu”. Tidak lama kemudian, Allah mengembalikan anak dan unta orang tersebut dengan lebih banyak kepada orang tersebut. Ia pun datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan menceritakan hal tersebut kepada beliau kemudian beliau naik ke mimbar, memuji Allah, dan menyanjung-Nya lalu menyuruh manusia meminta kepada Allah Azza wa jalla dan mohon kepada-Nya. Beliau membaca ayat, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”. (Ath-Thalaq 23). [61]

Disebutkan di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pada setiap malam turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir, lalu Allah Ta’ala berfirman, “Adakah orang Yang berdoa maka Aku kabulkan doanya? Adakah orang yang meminta kemudian Aku memberinya? Adakah orang yang meminta ampunan kemudian Aku mengampuninya?”. [62])

Al-Muhamili dan lain-lain meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang berdoa kepada-Ku kemudian Aku tidak mengabulkan doanya? Siapakah yang meminta kepada-Ku kemudian Aku tidak memberinya? Siapakah yang meminta ampunan kemudian Aku tidak mengampuninya? Aku Dzat yang paling Pemurah".

Ketahuilah bahwa minta kepada Allah Ta’ala dan tidak kepada makhluk-Nya itu diperintahkan Allah, karena permintaan mengandung makna penampakan kehinaan dan kebutuhan sang peminta. Permintaan juga mengandung pengakuan akan kemampuan pihak yang dimintai untuk mengusir bahaya, mendapatkan sesuatu yang dicari, mendatangkan manfaat, dan menolak madzarat. Kehinaan dan merasa butuh tidak layak ditampakkan kecuali kepada Allah saja, karena itu hakikat ibadah. Imam Ahmad berdoa, "Ya Allah, sebagaimana Engkau melindungi wajahku dari sujud kepada selain Engkau, jagalah ia dari minta kepada selain Engkau”. Tidak ada yang sanggup menghilangkan madzarat dan mendatangkan manfaat selain Allah, seperti yang Dia firmankan,

“Jika Allah menimpakan sesuatu madharat kepadamu maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya”. (Yunus: 107).

Allah Subhanahu senang dimintai dalam semua kebutuhan dan didesak dalam meminta dan berdoa kepada-Nya. Allah juga marah kepada orang yang tidak minta kepada-Nya dan menyuruh hamba-hamba-Nya minta kepada-Nya, karena Dia sanggup memberikan seluruh permintaan manusia tanpa mengurangi milik-Nya sedikit pun. Sedang makhluk tidak seperti itu. Mereka tidak suka dimintai dan senang tidak dimintai, karena mereka lemah, miskin, dan butuh. Oleh karena itu, Wahb bin Munabbih berkata kepada seseorang yang pernah datang kepada para raja, "Celaka engkau, engkau datang kepada orang yang menutup pintu rumahnya darimu, memperlihatkan kemiskinannya kepadamu, menyembunyikan kekayaannya darimu, engkau meninggalkan Dzat yang membuka pintu-Nya bagimu di pertengahan malam dan pertengahan siang, menampakkan kekayaan-Nya kepadamu, dan berfirman, ”Berdoalah kepadaku, niscaya Aku kabulkan doamu”.

Thawus berkata kepada Atha’, "Janganlah engkau meminta kebutuhanmu kepada orang yang menutup pintunya darimu dan membuat dinding pemisah denganmu. Namun mintalah kepada Dzat yang pintu-Nya terbuka sampai Hari Kiamat; Dia menyuruhmu meminta kepada-Nya dan berjanji kepadamu akan mengabulkan doamu”. [63])

Adapun meminta pertolongan kepada Allah Azza wajalla dan tidak kepada selain Dia, maka itu karena manusia tidak mampu mendatangkan kemaslahatan-kemaslahatan, menolak madzarat-madzarat, dan tidak ada yang bisa membantu dalam kemaslahatan agama dan dunia kecuali Allah Azza wa Jalla. Jadi, barangsiapa ditolong Allah, ia ditolong. Barangsiapa ditelantarkan Allah, ia terlantar. Inilah realisasi makna ucapan laa haula wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan. upaya kecuali dengan Allah). Maksudnya, seorang hamba tidak bisa pindah dari satu kondisi ke kondisi lainnya dan ia tidak mempunyai kekuatan untuk berbuat seperti itu kecuali dengan Allah. Kalimat yang agung ini merupakan salah khazanah surga. Jadi, seorang hamba perlu meminta pertolongan kepada Allah dalam mengerjakan perintah-perintah, meninggalkan larangan-larangan, dan bersabar terhadap apa saja yang ditakdirkan baginya di dunia, saat kematiannya dan sesudahnya; kengerian di alam Barzakh dan Hari Kiamat. Tidak ada yang mampu memberi pertolongan dalam itu semua kecuali Allah Azza wa jalla. Barangsiapa minta pertolongan kepada Allah dalam semua kondisi di atas, Allah memberi pertolongan kepadanya. Disebutkan di hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Berambisilah kepada apa saja yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah”. [64])

Barangsiapa tidak minta pertolongan kepada Allah dan justru minta pertolongan kepada selain Dia, maka Allah menyerahkannya kepada pihak yang ia mintai pertolongan kemudian ia menjadi orang terlantar. Al-Hasan menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, "Engkau jangan minta pertolongan kepada selain Allah, karena akibatnya, Allah menyerahkanmu kepada selain Allah tersebut”. Salah seorang generasi salaf berkata, "Tuhanku, aku heran dengan orang yang kenal dengan-Mu; bagaimana ia bisa berharap kepada selain Engkau? Aku heran kepada orang yang kenal dengan-Mu; bagaimana ia bisa minta pertolongan kepada selain Engkau?"

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sungguh pena telah kering dengan apa saja yang telah ditetapkan”. Di riwayat lain: “Pena-pena telah diangkat dan buku-buku telah kering", adalah kiasan telah selesainya penulisan semua takdir sejak dahulu kala. Jika buku selesai ditulis, pena-pena diangkat darinya, dan berlangsung sekian lama, maka pena-pena diangkat darinya, pena-pena yang dipakai menulisnya dengan tinta menjadi kering, dan buku-buku yang ditulis dengan tinta-tinta pena tersebut menjadi kering pula. Ini kiasan terbagus dan terindah.

Al-Qur’an dan banyak sekali hadits-hadits shahih menunjukkan makna tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

"Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan diri kalian sendiri melainkan telah tertulis di kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya; sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah”. (Al-Hadid: 22).

Di Shahih Muslim [65]) disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya Allah menciptakan takdir-takdir seluruh makhluk lima puluh tahun sebelum menciptakan langit dan bumi”. Di Shahih Muslim [66]) juga disebutkan hadits dari Jabir Radhiyallahu Anhu bahwa seseorang berkata,

"Wahai Rasulullah, perbuatan hari ini sesuai dengan apa? Apakah sesuai dengan sesuatu yang pena-pena telah kering dengannya dan takdir-takdir berlangsung dengannya ataukah sesuai dengan sesuatu yang akan datang?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak, namun sesuai dengan apa yang pena-pena telah kering dengannya dan takdir-takdir telah berlangsung "Orang tersebut berkata, "Kalau begitu, untuk apa perbuatan itu?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Berbuatlah kalian, karena segala hal dipermudah kepada apa yang diciptakan untuknya”.

Imam Ahmad [67]), Abu Daud, dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena kemudian Allah berfirman (kepada pena), “Tulislah”. Lalu sejak saat itu, terjadilah sesuatu sejak ditakdirkan hingga Hari Kiamat".

Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Ketahuilah jika seluruh umat sepakat untuk memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu manfaat dengan sesuatu tersebut kecuali yang yang telah ditetapkan Allah untukmu, jika mereka sepakat untuk memberimu madzarat dengan sesuatu maka mereka tidak dapat memberimu madzarat dengan sesuatu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu”. Ini riwayat Imam Ahmad. Riwayat At-Tirmidzi juga seperti itu. Maksud sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tersebut bahwa apa saja yang menimpa seorang hamba di dunia di antara apa saja yang mendatangkan madzarat dan manfaat itu semua telah ditakdirkan baginya. Tidak menimpa seorang hamba melainkan apa yang telah ditulis baginya di Lauf Mahfudz, kendati seluruh manusia bersungguh-sungguh terhadapnya.

Hal yang sama ditunjukkan Al-Qur’an, misalnya firman Allah Ta’ala,

"Katakan, Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami". (At-Taubah: 51).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan diri kalian sendiri melainkan telah tertulis di kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya; sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah”. (Al-Hadid: 22).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Katakan, Sekiranya kalian berada di rumah kalian, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan mati terbunuh itu keluar ke tempat mereka terbunuh". (Ali Imran: 154).

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya segala sesuatu mempunyai hakikat dan seorang hamba tidak mencapai hakikat iman hingga ia mengetahui bahwa apa saja yang menimpanya itu tidak untuk menyalahkannya dan apa yang salah padanya itu tidak untuk menimpakan musibah padanya”. [68])

Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits semakna dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [69])

Ketahuilah bahwa poros seluruh wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits di atas ialah pada point ini. Apa yang disebutkan sebelum dan sesudahnya hanyalah merupakan cabangnya dan kembali kepadanya, karena jika seorang hamba mengetahui bahwa tidak menimpa padanya kecuali apa yang telah ditulis Allah baginya; kebaikan atau keburukan, manfaat atau madzarat, dan bahwa upaya seluruh manusia yang tidak sesuai dengan takdir itu tidak bermanfaat, ketika itulah, ia mengetahui bahwa Allah saja yang bisa memberi manfaat dan madzarat, pemberi dan penahan pemberian. Sikap seperti ini mewajibkan seorang hamba mentauhidkan Allah, mengesakannya dengan ketaatan, dan menjaga hukum-hukum-Nya, karena Dzat yang disembah itu dimaksudkan dengan menyembah kepada-Nya untuk mendatangkan manfaat dan menolak madzarat. Oleh karena itu, Allah mencela orang yang menyembah sesuatu yang tidak bisa mendatangkan manfaat, tidak bisa memberi madzarat, dan tidak memberi sesuatu apa pun kepada penyembahnya. Jadi, barangsiapa mengetahui bahwa tidak ada yang bisa memberi manfaat dan madzarat, dan tidak ada yang dapat memberi dan menahan pemberian kecuali Allah maka itu mengharuskannya mengesakannya dengan rasa takut, harapan, cinta, permintaan, merendahkan diri, doa, mengutamakan taat kepada-Nya daripada taat kepada seluruh manusia, dan menjauhi kemurkaan-Nya kendati di dalamnya terdapat kemurkaan seluruh manusia. Sikap seperti ini juga mewajibkan orang mengesakan Allah dengan minta pertolongan kepada-Nya, minta kepada-Nya, dan ikhlas berdoa kepada-Nya pada saat-saat kritis dan makmur. Ini berbeda dengan orang-orang musyrikin yang hanya ikhlas berdoa kepada Allah pada saat-saat genting dan lupa kepadaNya pada saat makmur dan mereka berdoa kepada pihak yang diharapkan manfaatnya selain Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Katakan, “Maka terangkan kepadaku tentang apa yang kalian seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan madzarat kepadaku, apakah berhala-berhala tersebut dapat menghilangkan madzarat tersebut, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakan, “Cukuplah Allah bagiku; kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri". (Az-Zumar: 38).

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Ketahuilah bahwa dalam kesabaran terhadap apa yang engkau benci terdapat kebaikan yang banyak", maksudnya, apa saja yang menimpa seorang hamba; musibah-musibah menyakitkan yang ditulis baginya, kemudian ia bersabar terhadapnya, maka dalam sabar terhadapnya terdapat kebaikan yang banyak.

Di riwayat Umar mantan budak Ghufrah dan lain-lain dari Ibnu Abbas terdapat tambahan lain sebelum ini, yaitu, “Jika engkau sanggup beramal karena Allah dengan ridha dalam keyakinan, kerjakan. Jika engkau tidak sanggup, sesungguhnya dalam kesabaran terhadap apa yang engkau benci itu terdapat kebaikan,yang banyak".

Di riwayat lain dari Ali bin Abdullah bin Abbas dari ayahnya, namun sanadnya lemah terdapat tambahan lain, yaitu, "Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku berbuat dengan keyakinan?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau mengetahui bahwa apa saja yang menimpamu itu tidak untuk menyalahkanmu dan apa saja yang salah padamu itu tidak untuk mendatangkan musibah kepadamu. (jika engkau berbuat seperti itu) engkau telah mengerjakan pintu keyakinan dengan sempurna". [70]) Maksudnya, jika hati mendapatkan keyakinan kepada qadha’ dan takdir, maka itu membantu seorang hamba untuk ridha kepada apa saja yang menimpanya. Jadi, barangsiapa sanggup berbuat dalam keyakinan kepada qadha” dan takdir dengan ridha, hendaklah ia berbuat. Jika ia tidak dapat ridha, sesungguhnya di sabar terhadap apa yang tidak ia sukai terdapat kebaikan yang banyak.

Ada dua tingkatan bagi orang Mukmin terhadap qadha’ dan takdir dalam musibah;

Pertama: Ia ridha dengannya. Ini tingkatan yang paling tinggi. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (At-Taghabun: 11).

Alqamah berkata, "Musibah tersebut adalah musibah yang menimpa seseorang kemudian ia mengetahui bahwa musibah tersebut berasal dari Allah lalu ia menerima dan ridha dengannya”.

At-Tirmidzi [71]) meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya jika Allah mencintai salah satu kaum, Dia menguji mereka. Maka barangsiapa ridha, ia mendapatkan keridhaan. Dan barangsiapa murka, ia mendapatkan kemurkaan”.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam doa beliau,

أسألك الرضا بعد القضاء.

"Aku meminta ridha setelah qadha’ kepada-Mu”. [72])

Di antara sesuatu yang bisa mendorong orang Mukmin untuk ridha kepada qadha’ ialah realisasi imannya terhadap makna sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Allah tidak menentukan qadha’ bagi orang Mukmin melainkan baik untuknya, jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia mendapatkan madzarat, ia bersabar dan itu baik baginya. Itu hanya milik orang Mukmin”. [73])

Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihl wa Sallam kemudian meminta beliau memberinya wasiat yang komprehensif, lalu beliau bersabda, "Engkau jangan menuduh Allah dalam qadha’-Nya”. [74])

Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu berkata, "Jika Allah menetapkan qadha’, Dia senang diridhai dengan qadha’-Nya tersebut”.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Sesungguhnya Allah dengan keadilan-Nya menjadikan kesenangan dan kebahagiaan dalam keyakinan dan ridha, serta menjadikan galau dan sedih dalam keraguraguan dan kemurkaan”. [75]) Jadi, orang yang ridha itu tidak menginginkan selain apa yang ia alami; bencana atau kemakmuran. Ini yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud, dan lain-lain. Umar bin Abdul Aziz berkata, "Pada suatu pagi, aku tidak bahagia kecuali pada tempat-tempat qadha’ dan takdir”.

Barangsiapa mencapai tingkatan tersebut, maka seluruh kehidupannya berada dalam kesenangan dan kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman, "Barangsiapa mengerjakan amal shalih; baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami pasti memberikan kepadanya kehidupan yang baik”. (An-Nahl: 97).

Salah seorang salaf berkata, "Hayatan thayyiban (kehidupan yang baik) ialah ridha dan qana’ah”. [76])

Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Ridha ialah pintu Allah yang terbesar, surga dunia, dan tempat istirahat orang-orang yang ahli ibadah". [77])

Terkadang, orang-orang yang ridha melihat hikmah dan kebaikan Allah bagi hamba-Nya dalam musibah dan ia tidak menuduh Allah dengan tuduhan yang bukan-bukan dalam qadha’-Nya. Terkadang mereka melihat pahala ridha di dalam qadha’ kemudian hal tersebut membuat mereka lupa akan sakit dari sesuatu yang ditakdirkan baginya. Terkadang mereka melihat kebesaran, keagungan, dan kesempurnaan Allah, kemudian mereka hanyut di dalamnya hingga mereka tidak merasakan sakit. Tingkatan ini diraih orang-orang yang kenal Allah dan mencintai-Nya hingga barangkali mereka menikmati apa saja yang menimpa mereka karena mereka tahu bahwa apa yang menimpa mereka itu berasal dari Dzat yang mereka cintai. Salah seorang tabi’in ditanya ketika hendak meninggal dunia kemudian ia berkata, "Sesuatu yang paling Dia cintai ialah sesuatu yang paling aku cintai”. As-Suri pernah ditanya, "Apakah pecinta Allah merasakan sakit”. As-Suri menjawab, "Tidak”.

Salah seorang dari generasi salaf berkata,

"Siksa-Nya di jalan-Mu adalah nikmat

Kejauhan-Nya di jalan-Mu adalah kedekatan

Engkau di sisiku seperti ruhku

Bahkan Engkau lebih aku cintai daripada ruhku

Cukuplah cintaku bahwa aku mencintai apa yang engkau cintai”.

Kedua Orang Mukmin bersabar terhadap musibah. Ini bagi orang yang tidak mampu ridha kepada qadha’. Jadi, ridha adalah keutamaan dan disunnahkan, sedang sabar wajib bagi orang Mukmin dan di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak, karena Allah memerintahkannya dan menjanjikan pahala besar baginya. Allah Azza wa jalla berfirman,

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Az-Zumar: 10).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan beri berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.  Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Al-Baqarah: 155-157).

Al-Hasan berkata, "Ridha itu berat sekali, namun sabar adalah pegangan orang Mukmin”. [78])

Perbedaan antara ridha dengan sabar ialah sabar adalah menahan jiwa dari rasa tidak puas dengan disertai rasa sakit, menginginkan sakit tersebut hilang, dan menahan organ tubuh dari mengerjakan hal-hal yang merupakan tuntutan keluh-kesah. Sedang ridha ialah kelapangan jiwa terhadap qadha’ dan tidak menginginkan sakitnya qadha’ hilang. Kendati rasa sakit ada, namun ridha meringankannya karena hati bersentuhan dengan spirit keyakinan dan ma’rifat. Jika ridha menguat, maka menghilangkan seluruh rasa sakit seperti telah saya katakan sebelumnya.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa kemenangan bersama kesabaran”. Sabda beliau tersebut sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla,

"Orang-orang yang meyakini bahwa mereka bertemu Allah berkata, Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah dan Allah beserta orang-orang yang sabar". (Al-Baqarah: 249).

Dan juga sesuai dengan firman Allah Azza wa jalla,

"Maka jika di antara kalian terdapat seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang dan jika di antara kalian terdapat seribu orang, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Anfal: 66).

Umar bin Khaththab berkata kepada orang-orang tua Bani Abas, "Kalian memerangi manusia dengan senjata apa?" Mereka menjawab, "Dengan sabar. Kami tidak berjumpa kaum melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami”. Salah seorang generasi salaf berkata, "Semua dari kami tidak suka kematian dan terluka, namun kami unggul dengan sabar”. Al-Baththal [79]) berkata, "Keberanian adalah kesabaran sesaat”.

Itu dalam jihad melawan musuh yang terlihat, yaitu jihad melawan orang-orang kafir. Begitu juga jihad melawan musuh yang tersembunyi, yaitu jihad melawan hawa nafsu dan jiwa yang merupakan jihad terbesar, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Mujahid ialah orang yang melawan dirinya di jalan Allah”. [80])

Abdullah bin Umar berkata kepada orang yang bertanya kepadanya tentang jihad, "Mulailah dengan dirimu sendiri kemudian lawanlah. Mulailah dengan dirimu kemudian seranglah”.

Baqiyah bin Al-Walid berkata, Ibrahim bin Adham berkata kepadaku, orang tepercaya berkata kepada kami dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Jihad yang pertama kali kalian tolak ialah jihad kalian melawan jiwa kalian”.

Ibrahim bin Abu Ablah berkata kepada kaum yang datang dari perang, "Kalian datang dari jihad kecil dan kalian belum melakukan jihad terbesar”. Mereka berkata, "Apa jihad terbesar tersebut?" Ibrahim bin Abu Ablah menjawab, "Jihad hati”. [81]) Ada hadits dari Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang hal ini dengan sanad dhaif dan redaksinya ialah, "Kalian datang dari jihad terkecil menuju jihad terbesar”. Para sahabat bertanya, "Apa jihad terbesar itu?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya”. [82])

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Sinan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Musuhmu bukanlah orang yang jika telah membunuhmu maka memasukkanmu ke surga dan jika engkau membunuhnya maka engkau mendapatkan cahaya, namun musuhmu terbesar ialah dirimu yang ada di antara kedua sisimu”. [83])

Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata dalam wasiatnya kepada Umar bin Khaththab ketika mengangkatnya sebagai khalifah sepeninggalnya, "Yang pertama kali aku peringatkan kepadamu ialah dirimu yang ada di kedua sisimu”.

Jihad melawan hawa nafsu juga membutuhkan kesabaran. Barangsiapa bersabar dalam melawan jiwa, hawa nafsu, dan syetannya, maka ia dapat mengalahkannya, mendapatkan kemenangan, dan menguasai dirinya kemudian ia menjadi orang agung dan raja. Sedang barangsiapa berkeluh-kesah dan tidak sabar ketika berjihad melawan jiwanya, maka ia dikalahkan, dipaksa, tertawan, menjadi budak hina, dan tawanan di tangan syetan dan hawa nafsunya, seperti dikatakan,

“Jika seseorang tidak dapat menaklukkan hawa nafsunya Maka hawa nafsunya membuatnya berdiri di tempat di mana orang mulia di dalamnya menjadi orang hina”.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa kemenangan bersama sabar”. Kemenangan di sini mencakup kemenangan di kedua jihad tersebut; jihad melawan musuh yang terlihat dan jihad melawan musuh yang terlihat. Barangsiapa bersabar di kedua jihad tersebut, ia ditolong dan berhasil mengalahkan musuhnya. Sedang barangsiapa tidak bersabar di kedua jihad tersebut dan berkeluh-kesah, ia dikalahkan dan menjadi tawanan musuhnya atau terbunuh olehnya.

Nabi Shallallahu Alaihiwa Sallam bersabda, "Kelapangan bersama musibah”. Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ini diperkuat firman Allah Azza wa jalla,

"Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya dan Dialah YangMaha Pelindung lagi Maha Terpuji”. (Asy-Syura: 28).

Juga diperkuat sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lain,

"Tuhan kita tertawa karena keputus-asaan hamba-Nya dan perubahannya yang sebentar lagi”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad [84]).

Hadits tersebut juga diriwayatkan anak Imam Ahmad, Abdullah, di hadits panjang dan di dalamnya disebutkan,

"Allah mengetahui pada saat hari hujan bahwa Dia akan melihat kalian (yang tadinya) menderita dan putus asa. Allah senantisa tertawa karena mengetahui tidak lama lagi terjadi perubahan kepada mereka”. [85])

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala heran dengan keputus-asaan hamba-hamba-Nya ketika hujan tidak turun pada mereka dan heran pada keputus-asaan mereka dari rahmat-Nya, padahal waktu kelapangan dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya telah dekat dengan jalan Dia menurunkan hujan kepada mereka dan merubah kondisi mereka tanpa mereka rasakan. Allah Ta’ala berfirman,

"Maka apabila hujan turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira. Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa”. (Ar-Ruum: 48-49).

Allah Ta’ala berfirman,

"Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul pertolongan Kami”. (Yusuf: 110).

Allah Ta’ala berfirman,

"Hingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapan datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah amat dekat”. (Al-Baqarah: 214).

Allah Ta ala mengisahkan Nabi Ya’qub Alaihis Salam yang berkata kepada anak-anaknya,

"Hai anak-anakku, pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kalian putus asa dari rahmat Allah”. (Yusuf: 87).

Setelah itu, Allah mengisahkan pertemuan Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya.

Betapa seringnya Allah Ta’ala mengisahkan kisah-kisah tentang hilangnya musibah para nabi di akhir musibah seperti penyelamatan Nabi Nuh dan pengikutnya di atas perahu, penyelamatan Nabi Ibrahim dari api, Nabi Ismail diganti dengan domba ketika diperintah Allah untuk disembelih, penyelamatan Nabi Musa dan pengikutnya dari laut, penenggelaman musuh-musuh Nabi Musa, kisah Nabi Ayyub, kisah Nabi Yunus, kisah-kisah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama musuh-musuh beliau, dan penyelamatan beliau dari mereka seperti kisah beliau di gua, Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Ahzab, Perang Hunain, dan lain-lain.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan bersama kesulitan adalah kemudahan, "diambil dari firman Allah Ta’ala,

“Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesempitan”. (Ath-Thalaq: 7). Dan firman Allah Ta’ala,

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”. (AsySyarhu: 56).

Al-Bazzar di Musnadnya dan Ibnu Abu Hatim redaksi menurutnya meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhudari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Jika kesulitan datang kemudian masuk ke lubang ini, pasti kemudahan datang hingga masuk ke lubang tersebut dan mengeluarkan kesulitan tersebut”. Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”. (Asy-Syarhu: 5-6). [86]

Hadits semakna diriwayatkan secara mursal oleh Ibnu Jarir dan lain-lain. Di hadits Ibnu Jarir, disebutkan, "Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Satu kesulitan tidak akan bisa mengalahkan dua kemudahan”. [87])

Ibnu Abu Ad-Dunya dengan sanadnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Seandainya kesulitan masuk ke salah satu lubang, kemudahan pasti datang kemudian masuk bersamanya”. Setelah itu, Abdullah bin Mas’ud membaca firman Allah, "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”. (Asy-Syarhu: 56) [88]

Ibnu Abu Ad-Dunya juga meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abu Ubaidah terkepung kemudian Umar bin Khaththab menulis surat kepadanya. Dalam suratnya, Umar bin Khaththab berkata, "Kendati musibah besar menimpa seseorang, namun Allah tetap menjadikan jalan keluar sesudahnya. Sesungguhnya satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkan kesabaran kalian tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung". (Ali Imran: 200) [89]

Di antara keunikan rahasia dekatnya kelapangan dengan musibah dan kemudahan dengan kesulitan ialah jika musibah menguat, menjadi kritis, dan berkepanjangan, maka seorang hamba menjadi putus asa dari hilangnya musibah tersebut melalui usaha manusia dan hatinya pun bergantung kepada Allah saja. Itulah hakikat tawakkal kepada Allah dan diantara sebab terbesar di mana kebutuhan-kebutuhan diminta dengannya, karena Allah mencukupi kebutuhan orang yang bertawakkal kepada-Nya, seperti yang Dia firmankan,

"Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupi (kebutuhan)-nya”. (Ath-Thalaq: 3).

Adam bin Abu Iyas meriwayatkan di Tafsirnya dengan sanadnya dari Muhammad bin Ishaq yang berkata,

"Malik Al-Asyja’i datang kepada Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam kemudian berkata, “Anakku, Auf, tertawan”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Malik Al-Asyja’i, “Kirim utusan kepada anakmu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh memperbanyak berkata, “Laa haula wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah)”. Utusan datang kepada Auf dan menyampaikan pesan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Auf pun tekun berkata, “Laa haula wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah)”. Orang-orang telah mengikat Auf dengan tali kemudian tali terlepas darinya. Kemudian Auf keluar, ternyata ia melihat unta milik mereka lalu ia menaikinya dan tiba di hewan-hewan kaum yang tadi mengikatnya. Ia berteriak kepada mereka kemudian ia diikuti semua hewan. Kemudian ia datang kepada kedua orang tuanya sambil berteriak di pintu. Ayah Auf berkata, “Itu Auf, demi Tuhannya Ka’bah”. Ibu Auf berkata, Sungguh jelek dia. Auf sedih karena sakit bekas ikatan”. Sang ayah dan pembantu berlomba pergi kepada Auf, ternyata Auf memenuhi halaman dengan unta. Auf pun bercerita kepada ayahnya tentang dirinya dan unta-unta tersebut kemudian ayahnya menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam guna bercerita kepada beliau perihal Auf dan unta-unta. Rasulullah Shallallahu Alaihl wa Sallam bersabda kepada ayah Auf, Silahkan engkau berbuat apa saja dengan unta-unta tersebut sebagaimana engkau berbuat terhadap unta-untamu”. Kemudian turunlah ayat, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”. (Ath-Thalaq: 23) [90]

Al-Fudhail berkata, "Demi Allah, jika engkau putus asa dari manusia hingga engkau tidak menginginkan apa-apa dari mereka, Allah pasti memberikan apa saja yang engkau inginkan”.

Ibrahim bin Adham menyebutkan dari salah seseorang yang berkata, "Para peminta tidak meminta permintaan yang lebih mendesak daripada perkataan seorang hamba,”Masya Allah". Maksudnya, ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah Azza wa jalla.

Sa’id bin Salim Al-Qadah berkata, disampaikan kepadaku bahwa Nabi Musa Alaihis Salam mempunyai kebutuhan kepada Allah kemudian beliau memintanya, namun permintaan beliau terlambat diberikan Allah kepada beliau lalu beliau berkata, "Masya Allah", ternyata seketika itu, kebutuhannya ada di depan beliau. Nabi Musa pun kaget lalu Allah memberikan wahyu kepada beliau, "Tidakkah engkau tahu bahwa ucapanmu,”Masya Allah”, itu sarana yang paling efektif dalam meminta kebutuhan-kebutuhan?"

Jika solusi tidak datang dengan segera kepada orang Mukmin dan ia putus asa darinya setelah banyak berdoa dan merendahkan diri, namun tanda-tanda pengabulan doa tidak terlihat padanya, maka ia kembali kepada jiwanya dan mengecamnya dengan berkata kepadanya, "Aku mendapatkan musibah ini karenamu. Jika ada kebaikan padamu, doaku pasti dikabulkan”. Kecaman seperti itu lebih disukai Allah daripada ketaatan-ketaatan yang lain dan sikap seperti itu membuatnya sedih karena Tuhannya, mengakui bahwa ia memang layak mendapatkan musibah, dan bahwa ia tidak layak menjadi orang yang doanya dikabulkan. Ketika itulah, doanya segera dikabulkan dan musibah dihilangkan darinya, karena Allah Ta’ala berada di pihak orang-orang yang hati mereka sedih karena-Nya.

Wahb berkata, "Seseorang beribadah sekian lama lalu ia mempunyai kebutuhan kepada Allah. Kemudian ia berpuasa selama tujuh puluh sabtu; dalam setiap sabtu, ia memakan sebelas kurma. Kemudian ia meminta kebutuhannya kepada Allah, namun kebutuhannya tidak diberikan Allah kepadanya. Ia pun kembali kepada dirinya dan berkata, “Gara-gara engkau, kebutuhanku tidak diberikan. Jika ada kebaikan pada dirimu, kebutuhanku pasti diberikan”. Kemudian malaikat turun kepada orang tersebut dan berkata, “Hai anak keturunan Adam, saatmu sekarang ini lebih baik daripada ibadahmu selama ini. Ketika itulah, Allah memberikan kebutuhannya kepadanya”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya).



[1] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/293 dan Abu Ya’la hadits nomer 2556 dari Yunus bin Muhammad. Hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2516 dari jalur Abdullah bin Al-Mubarak. Hadits tersebut juga diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu As-Sunni dari jalur Abu Al-Walid Ath-Thayalisi. Ketiganya meriwayatkan hadits di atas dari Al-Laits bin Sa’ad dari Qais bin Al-Hajjaj dari Hanasy bin Abdulah Ash-Shan’ani dari Ibnu Abbas.

Sanad tersebut shahih. Banyak sekali perawi meriwayatkan dari Qais bin Al-Hajjaj. Ibnu Hibban menyebutkannya di Ats-Tsiqaat. Abu Hatim berkata, "Ia orang shalih”. Haditsnya di atas dishahihkan At-Tirmidzi dan para perawi lainnya adalah para perawi Al-Bukhari dan Muslim kecuali Hanasy Ash-Shan’ani yang merupakan perawi Muslim.

[2] Hadits nomer 636 dari Ismail bin Abu Uwais yang berkata, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Jud’ani yang berkata kepadaku dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabbah dari Atha’ bin Abu Rabah dari Ibnu Abbas.

[3] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 11560 dan sanadnya dhaif.

[4] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 11416. Al-Ajuri di Asy-Syari’ah hal. 198, dan Al-Uqaili di Adh-Dhuafa’ 3/53. Di sanadnya terdapat Abdul Wahid bin Sulaim, yang merupakan perawi dhaif. Jalur Abdu bin Humaid telah disebutkan sebelumnya.

[5] Diriwayatkan Abu Nua’im di Al-Hilyah l/314.

[6] Umar mantan budak Ghufrah ialah Umar bin Abdullah Al-Madani Abu Hafsh mantan budak Ghufrah. Riwayatnya dari Ibnu Abbas adalah mursal. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir dengan menambahkan lkrimah antara sanad Umar mantan budak Ghufrah dengan Ibnu Abbas.

[7] Diriwayatkan Ath-Thabrani hadits nomer 11243 dan Al-Baihaqi di Al-Adab hadits nomer 1073 dari jalur Isa bin Muhammad Al-Qurasyi dari Ibnu Abu Malikah. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 3/542, namun hal tersebut ditentang Adz-Dzahabi yang berkata, "Isa bin Muhammad tidak bisa dijadikan hujjah”.

[8] Diriwayatkan Al-Hakim 3/541-542 dari jalur Abdullah bin Maimun Al-Qadah dari Syihab bin Kharasy dari Abdul Malik bin Umair dari Ibnu Abbas. Adz-Dzahabi berkata, "Hadits tersebut cacat”. Abu Hatim berkata, "Hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena Syihab bin Kharasy dipermasalahkan dan Abdul Malik bin Umair tidak mendengarnya dari Ibnu Abbas menurutku”.

[9] Diriwayatkan Al-Ajuri di Asy-Syariat hal. 199, Abu Ya’la di Musnadnya hadits nomer 1099, dan Al-Khathib di Tarikhnya 14/125. Di sanadnya terdapat Yahya bin Maimun At-Tamar yang merupakan perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah dan Ali bin Zaid bin Jud’an yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut disebutkan Ibnu Adi di Al-Kamil 7/2683 dan menganggapnya sebagai hadits-hadits munkar Yahya bin Maimun.

[10] Disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 1/159-160. As-Suyuthi berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ad-Daruquthni di Al-Afraad, Ibnu Mardawih, Al-Baihaqi, dan Al-Ashbahani di At-Targhib.

[11] Diriwayatkan Ibnu Abu Ashim di As-Sunnah hadits nomer 315. Di sanadnya terdapat Ali bin Abu Ali Al-Hasyimi yang merupakan perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah. Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 7/189-190 berkata bahwa hadits di atas diriwayatkan Ath-Thabrani. Hadits tersebut lemah karena Ali bin Abu Ali tersebut.

[12] Di buku Adh-Dhuafa’ 3/54.

[13] Ia adalah Abdurrahman bin Al-Jauzi di bukunya Shaidul Khathir. Itu dikatakan Ibnu Rajab di Nurul Iqtibas hal. 23.

[14] Buku tersebut ialah Nurul Iqtibas fi Misykati Washiyyatin Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam libni Abbas. Buku tersebut diterbitkan di Makkah Al-Mukarramah pada tahun 1347 H kemudian di Kairo pada tahun 1365 H kemudian di Kairo lagi pada tahun 1400 H. Cetakan terakhir itulah yang saya isyaratkan dalam tahqiq kami.

[15] Dari Ubadah bin Ash-Shamit, hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik 1/123, Imam Ahmad 5/317, 319, Abu Daud hadits nomer 1420, An-Nasai 1/230, dan Ibnu Majah hadits nomer 1401. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1732.

[16] Dari Abdullah bin Amr, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/169 dan Ad-Darimi 2/301. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1467.

[17] Dari Tsauban, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 5/282 dan Ad-Darimi 1/168. Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 1037.

[18] Hadits dhaif diriwayatkan Imam Ahmad 1/387, At-Tirmidzi hadits nomer 2458, Al-Baghawi hadits nomer 4033, dan Al-Hakim 4/323. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hadits gharib (dhaif) karena di sanadnya terdapat perawi Ash-Shabah bin Muhammad Al-Bajali Al-Ahmasi Al-Kufi yang merupakan perawi dhaif.

[19] Di Al-Mustadrak 4/357 dan ia menshahihkannyadengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2409 dan ia menghasankannya serta dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5703.

Hadits di atas diperkuat hadits Sahl bin Sa’ad yang diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6474, 6807. Imam Ahmad 5/333, dan At-Tirmidzi hadits nomer 2408. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5701. Hadits di atas juga diperkuat hadits Abu Musa Al-Asy’ari sesudahnya.

[20] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/398 dan di sanadnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/298. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Ya’la, dan Ath-Thabrani. Para perawi Ath-Thabrani dan Abu Ya’la adalah para perawi tepercaya, sedang di para perawi Imam Ahmad terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya namun perawi-perawi lainnya adalah para perawi tepercaya”.

Hadits di atas juga diriwayatkan Al-Hakim 4/358 dan Al-Qudhai hadits nomer 545 dari jalur Sulaiman bin Yasar dari Aqil mantan budak Ibnu Abbas dari Abu Musa Al-Asy’ari. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Hafidz Al-Mundziri di At-Targhib wat Tarhib 3/283 dari riwayat Abu Ya’la dan Ath-Thabrani. Al-Hafidz Al-Mundziri berkata, "Para perawi Ath-Thabrani dan Abu Ya’la adalah para perawi tepercaya. Hadits tersebut dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari 11/309.

Hadits di atas menunjukkan bahwa petaka dunia terbesar pada seseorang ialah lisan dan kemaluannya. Barangsiapa dilindungi dari keburukan keduanya, ia dilindungi dari keburukan terbesar.

[21] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 20216 dan 20217 dari dua jalur dari Israil dari Samak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Perkataan tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 4/614. As-Suyuthi juga berkata bahwa perkataan di atas juga diriwayatkan Abdurrazzaq, Al-Faryabi, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abu Hatim.

[22] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 20247 dan para perawinya adalah para perawi tepercaya.

[23] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 20245 dari jalur Al-Mu’tamir dari Laits bin Abu Sulaim dari Mujahid.

[24] Hadits shahih diriwayatkan Imam Ahmad 2/25, Abu Daud hadits nomer 5074, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 566, dan Ibnu Majah hadits nomer 3871. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 961. Takhrijnya secara lengkap. silahkan baca buku tersebut.

[25] Ia adalah imam, Syaikhul Islam, dan Qadhi Abu Ath-Thayyib Thahir bin Abdullah bin Thahir bin Umar Ath-Thabari Asy-Syafi’i yang wafat pada tahun 450 dalam usia lebih dari 100 tahun. Biografinya ada di Siyaru A’lamin Nubala’ 17/668-671. Kisahnya di atas ada di Al-Bidayah wan Nihayah 12/85 Ibnu Katsir.

[26] Di antara yang berpendapat seperti itu ialah Ibnu Abbas. Itu diriwayatkan darinya oleh Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 332, Al-Humaidi hadits nomer 372, dan Ath-Thabari 16/7. Riwayat tersebut dishahihkan Al-Hakim 2/369 menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Baca Ad-Durrul Mantsur 5/422.

[27] Diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 330, Al-Humaidi hadits nomer 373, dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 3/148.

[28] 5/67. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmuuz Zawaid 5/277. Ia berkata, "Para perawi hadits tersebut adalah para perawi hadits shahih”.

[29] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 6432 dan sanadnya hasan. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 3/606 dengan disetujui Adz-Dzahabi.

[30] Ia adalah Al-Fudhail bin Iyadh. Kisah tersebut ada di Al-Hilyah 8/109.

[31] Ia adalah Al-Hakam bin Aban seperti dikatakan Ibnu Rajab sendiri di Nurul Iqtibas hal. 33 dan ia berkata bahwa kisah tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya.

[32] Ibnu Rajab Rahimahullah keliru dalam hal ini, karena hadits dengan redaksi di atas adalah riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6320, 7393 dan Muslim hadits nomer 2714. Sedang hadits dari Al-Barra’ bin Azib tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6311, 6313, 7488 dan Muslim hadits nomer 2710, 2711 dengan redaksi bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Jika engkau ingin tidur kemudian berwudhu seperti wudhumu untuk shalat kemudian tidurlah dengan berbaring di lambung kananmu lalu katakan, “Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu, dan aku sandarkan punggungku kepada-Mu dalam keadaan senang dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan tempat selamat dari-Mu kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan dan Nabi-Mu yang Engkau utus”, jadikan kalimat-kalimat tersebut sebagai perkataanmu terakhir. Jika engkau mati pada malam itu, engkau mati dalam keadaan fitrah”. Al-Barra’ bin Azib berkata, ”Aku mengulang-ulang kalimat tersebut untuk mengingat-ingatnya. Aku berkata, “Aku beriman kepada Rasul-Mu yang Engkau utus”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Katakan, ‘Aku beriman kepada Nabi-Mu yang Engkau utus’.

Baca juga Ibnu Hibban hadits nomer 5527, 5536, dan 5542.

[33] Hadits nomer 934. Hadits tersebut diperkuat hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan Al-Hakim 1/525.

[34] Dari Ibnu Umar, hadits tersebut diriwayatkan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 506, 509, 517, Imam Ahmad 2/7, 87, At-Tirmidzi hadits nomer 3442, 3443, dan Ibnu Majah hadits nomer2826. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2693 dan Al-Hakim 2/97.

[35] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 15880 dan 15881. Riwayat tersebut dishahihkan Al-Hakim 2/328 dengan disetujui Adz-Dzahabi. As-Suyuthi berkata di Ad-Durrul Mantsur bahwa riwayat tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah, Khasyisy bin Ashram. Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abu Hatim.

[36] Penggalan dari hadits panjang yang diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath seperti terlihat di Majmauz Zawaid 10/270 dan Al-Hawi lil Fataawa 2/93 karangan As-Suyuthi. Di sanadnya terdapat Umar bin Sa’id Ad-Dimasyqi yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga diriwayakan Ibnu Abu Ad-Dunya di Al-Auliya’ hadits nomer 1 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 8/318-319. Abu Nu’aim berkata, "Hadits tersebut gharib (dhaif) dari Anas bin Malik”.

[37] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/340.

[38] Dari Abu Bakar, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 1/24, Al-Bukhari hadits nomer 3653. 3922. 4663, Muslim hadits nomer 2381, dan At-Tirmidzi hadits nomer 3096. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6278.

[39] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilynh 10/324.

[40] Hadits di atas akan dimuat Ibnu Rajab di buku ini, tepatnya di hadits ketiga puluh delapan.

[41] Baca buku Shafwatush Shafwah 4/38.

[42] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3382 dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 44. Di sanadnya terdapat perawi Ubaid bin Waqid dan Syahr bin Husyab yang keduanya merupakan perawi dhaif Oleh karena itu, At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut gharib”. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 1/544 dan Ath-Thabrani hadits norner 45 dari jalur lain. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim dengan disetujui Adz-Dzahabi.

[43] Sanad hadits tersebut dhaif karena Yazid bin Aban Ar-Raqasyi adalah perawi dhaif Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dan lain-lain seperti disebutkan Ibnu Katsir di Tafsirnya 5/362. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 23/100. As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 5/668, 7/122 menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Al-Faraju ba’dasy Syiddah, Ibnu Mardawih, dan Abdurrazzaq.

[44] Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah seperti terlihat di Ad-Durrul Mantsur 7/126.

[45] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/209.

[46] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/192 dan Al-Khathib di Tarikhnya 9/431.

[47] Diriwayatkan Al-Khathib di Tarikhnya 14/383.

[48] Diriwayatkan Al-Khathib 7/29.

[49] Disebutkan Adz-Dzahabi di Tadzkiratul Huffadz 1/396.

[50] Baca Shafwatush Shafwah 2/272.

[51] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/340. As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 8/195 menambahkan bahwa perkataan tersebut juga diriwayatkan Abdu bin Humaid.

[52] Diriwayatkan Ath-Thabari di Jamiul Bayan 28/138.

[53] Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah dan Ibnu Abu Hatim seperti terlihat di Ad-Durrul Mantsur 7/323. Perkataan di atas juga disebutkan Ibnu Katsir 7/166 dari riwayat Ibnu Abu Hatim. Ibnu Katsir berkata, "Perkataaan tersebut sangat baik sekali dan yang terjadi memang demikian”.

[54] Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim dengan sanad hasan seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 7/166. As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 7/323-324 menambahkan bahwa perkataan tersebut juga diriwayatkan Ibnu Al-Mundzir.

[55] Hadits shahih diriwayatkan Imam Ahmad 4/267, 271, 276, Abu Daud hadits nomer 1479, At-Tirmidzi hadits nomer 3247, 3372, Ibnu Majah hadits nomer 3828, An-Nasai di Al-Kubra seperti terlihat di Tuhfatul Asyraaf 9/30, dan Al-Hakim 1/490, 491. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 890.

[56] Hadits nomer 3371. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 8. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Luhaiah yang merupakan perawi dhaif At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut gharib (dhaif) dari sisi itu dan saya tidak mengetahui hadits tersebut kecuali dari Ibnu Luhaiah”.

[57] Kelanjutan hadits di atas ialah, "Ibadah yang paling baik ialah menunggu kelapangan”. Hadits tersebut diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3571 dan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10088 dan di Ad-Du’a hadits nomer 22. Di sanadnya terdapat Hammad bin Waqid Ash-Shifar yang merupakan perawi dhaif.

[58] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3373, Imam Ahmad 2/442, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 658, Ibnu Majah hadits nomer 3827, dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 23. Di sanadnya terdapat perawi Abu Shalih Al-Khauzi yang haditsnya lemah. Kendati demikian, hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 1/491.

[59] Diriwayatkan At-Tirmidri hadits nomer 3612 dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 25 dari.jalur Quthn bin Nasir dari Ja’far bin Sulaiman bin Tsabit dari Anas bin Malik. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 866. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[60] Muslim hadits nomer 1043 redaksi menurutnya, Abu Daud hadits nomer 6642, dan An-Nasai 1/229 meriwayatkan hadits dari Auf bin Malik yang berkata, "Kami sembilan, atau delapan, atau tujuh orang ada di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersabda, “Maukah kalian berbaiat kepada Rasulullah?" Kami belum lama berbaiat kepada beliau. Kami berkata, ‘Kami telah berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah’. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kalian berbaiat kepada Rasulullah?” Kami berkata, “Kami telah berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda lagi, “Maukah kalian berbaiat kepada Rasulullah?” Kemudian kami membentangkan tangan kami sambil berkata, “Kami berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah. Kami berbaiat untuk apa kepadamu?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, shalat lima waktu, taat - beliau menyembunyikan kalimat rahasia - dan tidak meminta sesuatu apa pun kepada manusia”. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hihhan hadits nomer 3385.

Imam Ahmad meriwayatkan 5/277, 281. Ibnu Majah hadits nomer 1837, dan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 1435 dari Tsauban Radhiyallahu Anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Siapakah yang mau mengambil satu hal dariku, niscaya aku berikan surga untuknya?" Aku berkata, "Aku”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan minta sesuatu apa pun kepada manusia”. Pernah suatu ketikaTsauban di atas hewan kendaraannya kemudian pakaiannya jatuh, namun ia tidak berkata kepada orang lain, ”Tolong berikan pakaianku kepadaku”. Tapi, ia turun sendiri dan mengambil pakaiannya.

[61] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya dan dari jalur yang sama oleh Al-Baihaqi di Dalailun Nubuwwah 6/107 dari Ishaq bin Ismail Ath-Thaliqani dari Sufyan bin Uyainah dari Mis’ar dari Ali bin Budzaimah dari Abu Ubaidah. Hadits tersebut mursal namun hasan. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 1/543 dan dari jalur yang sama oleh Al-Baihaqi 6/106 dari jalur Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya namun ia tidak mendengarnya langsung dari ayahnya, Abdullah bin Mas’ud. Kendati demikian, hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut mempunyai hadits-hadits penguat dan silahkan Anda baca di Ad-Durrul Mantsur 8/196-197.

[62] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik 1/214, Imam Ahmad 2/487, Al-Bukhari hadits nomer 1145, Muslim hadits nomer 858, Abu Daud hadits nomer 1315, At-Tirmidzi hadits nomer 446, dan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 480. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 920. Takhrijnya secara lengkap, silahkanbaca buku tersebut.

[63] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilynh 4/11 dan 8/141.

[64] Penggalan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/366, 370, Muslim hadits nomer 2664, Ibnu Majah hadits nomer 4168, dan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 623, 624. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5721, 5722 dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Redaksi hadits di atas secara lengkap ialah, "Orang Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada orang Mukmin yang lemah. Dan pada semua hal terdapat kebaikan, berambisilah kepada apa saja yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika sesuatu mengenaimu, engkau jangan berkata, “Seandainya aku berbuat, pasti terjadi ini dan itu“, namun katakan, “Allah telah mentakdirkan dan apa saja yang Dia kehendaki maka Dia kerjakan“, karena kata ‘lau’ (seandainya) itu membuka pintu syetan”. Redaksi tersebut menurut Muslim.

[65] Hadits nomer 2653. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2156.

[66] Hadits nomer 2648.

[67] Hadits shahih diriwayatkan Imam Ahmad 5/317, Abu Daud hadits nomer 4700, dan At-Tirmidzi hadits nomer 2155, 3319. Hadits tersebut diperkuat hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 29/11, Abu Ya’la hadits nomer 2329, dan Al-Baihaqi di Al-Asma’ wash Shifat hal. 278.

[68] Diriwayatkan Imam Ahmad 6/441. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 7/197 dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Ath-Thabrani. Para perawinya adalah para perawi tepercaya”. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath.

[69] Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4699, Ibnu Majah hadits nomer 77, dan Imam Ahmad 5/82, 189. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 727. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[70] Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 28/123 dari jalur Muawiyah dari Ali dari Ibnu Abbas yang berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah, maka Allah memberi petunjuk kepada hatinya”. Maksudnya, Allah memberi petunjuk kepada hatinya untuk yakin kemudian ia mengetahui bahwa apa saja yang menimpanya itu tidak untuk menyalahkannya dan apa saja yang salah padanya tidak untuk mendatangkan musibah kepadanya.

[71] Hadits nomer 2396 dan ia menghasankannya seperti yang ia katakan.

[72] Penggalan hadits shahih yang panjang yang diriwayatkan dari Ammar bin Yasir oleh An-Nasai 3/5455 dan Al-Hakim 1/524-525. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2896.

[73] Dari Shuhaib, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 4/332, 333, 6/15, Muslim hadits nomer 2999, dan Ad-Darimi hadits nomer 2/318. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2896.

[74] Hadits yang sama diriwayatkan Imam Ahmad 4/204 dari hadits Amr bin Al-Ash. Di sanadnya terdapat Rusydin bin Sa’ad yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/318-319 dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit. Di sanadnya terdapat perawi Abdullah bin Luhaiah yang hapalannya jelek. Baca Majmauz Zawaid 1/59-60.

[75] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Al-Yaqin hadits nomer 32.

[76] Diriwayatkan Ath-Thabrani 14/171 dari Ali. Perkataan tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 2/356 dari Ibnu Abbas dan ia menshahihkannya dengan disetujui Adz-Dzahabi. BacaAd-Durrul Mantsur 5/164-165.

[77] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 6/156.

[78] Perkataan tersebut diriwayatkan dari perkataan Umar bin Abdul Aziz oleh Abu Nu’aim di Al-Hilyah 5/342.

[79] Ia orang paling pemberani Abu Muhammad Abdullah Al-Baththal. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah Abu Yahya, salah seorang tokoh anak buah komandan Syam. Ia tentara baris depan komandan Maslamah bin Abdul Malik dan markasnya di Antakiyah. Ia menimbulkan ketakutan dan kehinaan pada orang-orang Romawi. Ia terbunuh pada tahun 113 H. Para penulis kisah yang bodoh berdusta terhadapnya dengan menulis kisah-kisah khurafat tentang dirinya. (Siyaru A’lamin Nubala’ 5/268-269).

[80] Dari Fadhalah bin Ubaid, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 6/20, 22, Ibnu Al-Mubarak di Al-Jihad hadits nomer 175, At-Tirmidzi hadits nomer 1621, dan Al-Hakim 1/1011. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4707, 4862.

[81] Disebutkan Al-Mazi di Tahdzibul Kamal 2/144 dan Adz-Dzahabi di Siyaru A’lamin Nubala’ 6/325.

[82] Diriwayatkan Al-Baihaqi di Az-Zuhdu hadits nomer 374 dan Al-Khathib di Tarikh-nya 13/493. Di sanadnya terdapat perawi dhaif dan tertuduh. Hadits tersebut didhaifkan Al-Baihaqi dan Al-Iraqi. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata di Tasdidul Qaus seperti dinukil darinya oleh Al-Ajluni di Kasyful Khafa 1/511, "Hadits tersebut terkenal dan merupakan perkataan Ibrahim bin Abu Ablah”.

[83] Diriwayatkan Ath-Thabrani hadits nomer 3445 dari Abu Musa Al-Asy’ari. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 10/245, "Di sanadnya terdapat Muhammad bin Ismail bin Ayasy yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Hafidz Al-Mundziri di At-Targhib wat Tarhib 4/182.

[84] Dari Abu Razin Al-Uqaili, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 4/11, 12, di As-Sunnah hadits nomer 452, 453, Ibnu Majah hadits nomer 181, Ibnu Abu Ashim di As-Sunnah hadits nomer 554, dan Al-Ajuri di Asy-Syari’ah hal. 279. Sanadnya dhaif.

[85] Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad di Zawaidul Musnad 4/13-14. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/338-340. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dan Ath-Thabrani. Salah satu sanad Abdullah bin Ahmad adalah sambung dan perawinya adalah para perawi tepercaya. Sanad lainnya dan sanad Ath-Thabrani adalah mursal”.

[86] Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 2288, Ibnu Abu Hatim seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 8/453, dan Al-Hakim 2/255 dari jalur Humaid bin Hammad Abu Al-Jahm dari Aidz bin Syuraih dari Anas bin Malik. Al-Bazzar berkata, "Kami tidak mengetahui perawi yang meriwayatkannya dari Anas bin Malik kecuali Aidz”. Ibnu Abu Hatim berkata seperti dinukil darinya oleh Ibnu Katsir, "Di hadits Aidz terdapat kelemahan”. Namun hadits tersebut diriwayatkan Syu’bah dari Muawiyah bin Qurrah dari seseorang dari Abdullah bin Mas’ud secara mauquf. Al-Hakim berkata, "Hadits tersebut aneh, namun Al-Bukhari dan Muslim tidak berhujjah dengan Aidz bin Syuraih”. Hal tersebut ditentang Adz-Dzahabi yang berkata, ”Hadits tersebut diriwayatkan sendirian Humaid bin Hammad dari Aidz, sedang hadits Humaid adalah munkar seperti Aidz”. Hadits tersebut disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 8/550 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath, Ibnu Mardawih, dan Al-Baihaqi di Syuabul Iman. A1-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 7/139, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan Al-Bazzar. Di dalamnya terdapat perawi Aidz bin Syuraih yang merupakan perawi dhaif”.

[87] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari 30/235-236 dan Al-Hakim 2/528 dari Al-Hasan secara mursal. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 8/551 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq dan Al-Baihaqi.

[88] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Ash-Shabru seperti terlihat di Ad-Durrul Mantsur 8/551. Atsar tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 19977 dan sanadnya dhaif. Baca Majmauz Zawaid 7/139. Atsar tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur dan ia menambahkan bahwa atsar tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq, Sa’id bin Manshur, Abdu bin Humaid, Ibnu Al-Mundzir, dan Al-Baihaqi di Syuabul Iman.

[89] Juga diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 5/335, 13/37-38 dan Ibnu Al-Mubarak di Al-Jihad hadits nomer 217. Dari jalur yang sama, kisah di atas diriwayatkan Al-Hakim 2/300-301 dari Hisyam bin Sa’ad dari Zaid bin Aslam dari ayahnya. Kisah di atas dishahihkan Al-Hakim menurut syarat Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Kisah di atas juga diriwayatkan Imam Malik 2/446. Dari jalur yang sama, kisah di atas juga diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan hadits nomer 8393 dari Zaid bin Aslam. Zaid bin Aslam berkata, "Abu Ubaidah menulis," tanpa menyebutkannya dari ayahnya.

[90] Hadits dhaif karena sanadnya terputus. Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Al-Atsir di Usudul Ghabah 5/41 dari jalur Adam bin Abu Iyas. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Hasyim seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 8/183-184 dari jalur Ibnu Ishaq. 

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah