الْحَدِيثُ الْعِشْرُونَ
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ
كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ»
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Mas’ud Al-Badri Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia ialah, Jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa saja yang engkau inginkan". (Diriwayatkan Al-Bukhari). [1]
Hadits bab di atas
diriwayatkan Al-Bukhari dari Manshur bin Al-Mu’tamir dari Rib’i bin Hirasy dari Abu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Saya pikir Muslim tidak meriwayatkan hadits tersebut, karena hadits tersebut diriwayatkan sejumlah orang kemudian mereka berkata
bahwa hadits tersebut dari Rib’i dari Hudzaifah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [2])
Jadi, sanad hadits tersebut diperdebatkan, namun sebagian besar
hafidz hadits, di antaranya Al-Bukhari, Abu Zur’ah Ar-Razi [3]), Ad-Daruquthni [4]),
dan lain-lain, sepakat bahwa
pendapat yang benar ialah pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Mas’ud. Kebenaran pendapat
tersebut dibuktikan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain
dari Abu Mas’ud di riwayat Masruq darinya. [5]) Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani
dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam. [6])
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia",
mengisyaratkan bahwa perkataan tersebut
diriwayatkan dari para nabi terdahulu, manusia saling menyebarkannya sesama
mereka, dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa kenabian-kenabian terdahulu datang
membawa perkataan tersebut dan
perkataan tersebut dikenal luas manusia hingga sampai pada umat Islam generasi awal. Di sebagian riwayat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Manusia tidak mengetahui
perkataan kenabian pertama kecuali perkataan tersebut”. (Diriwayatkan
Humaid bin Zanjawih dan lain-lain).
Nabi Shallallahu Alaihiwa Sallam bersabda, “Jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa
saja yang engkau inginkan”.
Pertama: Maknanya bukan
perintah kepada seseorang untuk mengerjakan apa
saja yang ia inginkan, namun celaan dan larangan. Orang-orang yang berpendapat seperti ini mempunyai dua alasan;
1. Perkataan tersebut adalah perintah dengan arti ancaman.
Maknanya, jika engkau tidak mempunyai rasa malu, kerjakan apa saja yang
engkau inginkan, karena Allah akan memberi balasan di dalamnya, seperti
difirmankan Allah Ta’ala,
"Kerjakan apa yang
saja yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan”. (Fushshilat: 40). Atau seperti firman Allah Ta’ala,
"Maka sembahlah oleh
kalian (hai orang-orang musyrik) apa saja yang kalian kehendaki selain Dia”. (Az-Zumar: l5).
Dan seperti sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa menjual
minuman keras, hendaklah ia memotong babi”. [7])
Maksudnya, hendaklah ia
memotong babi untuk dijual atau dimakan sendiri. Contoh-contoh dalil lainnya
sangat banyak. Pendapat tersebut dipilih sejumlah ulama, di antaranya
Abu Al-Abbas Tsa’lab.
2. Perkataan
di atas adalah kata perintah dengan arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa
tidak malu, ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena yang menghalangi seseorang untuk
berbuat buruk ialah malu. Jadi, barangsiapa tidak
malu, ia larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa
malu, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Barangsiapa berdusta
terhadapku, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. [8])
Sabda di atas adalah
perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta
terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka. Ini pendapat
yang dipilih Abu Ubaid [9])
Al-Qasim bin Salam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, dan
lain-lain. Abu Daud meriwayatkan riwayat dari Imam Ahmad yang menunjukkan
seperti pendapat tersebut.
Ibnu Lahiah meriwayatkan
dari Abu Qabil dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
“Jika Allah benci kepada
seorang hamba, Dia mencabut rasa malu darinya. Jika Dia telah
mencabut rasa malu darinya, maka tidak ada yang bertemu dengannya melainkan
orang yang sangat benci dan memperlihatkan kebencian kepadanya. Allah juga mencabut kejujuran dari orang tersebut. Jika Allah telah mencabut kejujuran darinya, Dia
mencabut rahmat darinya. Jika Allah
telah mencabut rahmat darinya, Dia mencabut tali Islam darinya. Jika Allah telah mencabut tali Islam darinya, maka
tidak ada yang bertemu dengannya melainkan
syetan yang pembangkang”. (Diriwayatkan Humaid bin Zanjawih). [10])
Hadits semakna
diriwayatkan Ibnu Majah [11])
dengan sanad dhaif dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Salman Al-Farisi Radhiyallahu Anhu berkata, "Jika Allah menghendaki kebinasaan bagi seorang hamba, Dia mencabut rasa malu darinya. Jika Dia
telah mencabut
rasa malu darinya, ia tidak ditemui kecuali orang amat benci dan orang yang dibenci. Jika ia telah menjadi orang yang
sangat benci dan orang yang dibenci, kejujuran
dicabut darinya kemudian ia tidak ditemui kecuali oleh orang yang berkhianat dan dikhianati. Jika ia telah menjadi
orang yang berkhianat dan dikhianati, Allah
mencabut rahmat darinya kemudian ia tidak ditemui kecuali oleh orang yang kasar. Jika ia telah menjadi orang yang
kasar, Allah mencabut tali iman dari lehernya.
Jika Allah telah mencabut tali iman dari lehernya, ia tidak ditemui kecuali oleh syaitan mengutuk dan terkutuk”. [12])
Ibnu Abbas Radhiyallahu
Anhuma berkata, "Malu dan iman berada di satu sarung tempat anak panah. Jika malu dicabut, maka diikuti yang lainnya”.
(Diriwayatkan Humaid bin Zanjawih di buku Al-Adab). [13]
Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam menjadikan malu termasuk bagian dari iman. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu
Anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewati seseorang yang sedang mengecam saudaranya dalam
masalah malu dengan berkata kepadanya, "Sesungguhnya engkau merasa
malu", hingga seakan-akan orang tersebut berkata, "Sungguh
malu telah merugikanmu”. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Biarkan dia, karena malu
termasuk iman”. [14])
Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Malu adalah salah satu cabang iman”. [15])
Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan
hadits dari Imran bin Hushain dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Malu tidak
mendatangkan kecuali kebaikan”. Di riwayat Muslim, "Malu seluruhnya adalah baik”. Atau beliau bersabda, "Seluruh malu adalah
kebaikan”. [16])
Imam Ahmad dan An-Nasai meriwayatkan hadits Al-Asyaj AlAshri yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda
kepadaku,
"Sesungguhnya pada
dirimu terdapat dua akhlak yang dicintai Allah”. Aku berkata, "Apa kedua akhlak tersebut?" Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Tenang dan malu”. Aku berkata,
"Apakah kedua akhlak tersebut sejak lama atau baru”. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sejak lama”. Aku berkata, "Segala
puji bagi Allah yang menjadikanku mempunyai dua akhlak yang dicintai Allah". [17])
Ismail bin Abu Khalid
berkata, "Uyainah bin Hishn masuk kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang sedang bersama
seseorang yang meminta air kemudian orang
tersebut diberi air dan ia pun meminumnya. Orang tersebut ditutup Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Uyainah berkata, “Apa ini?” Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu adalah sifat; mereka diberi sifat tersebut sedang kalian tidak diberinya”.
Ketahuilah bahwa malu itu
ada dua jenis;
1.
Malu yang merupakan
karakter dan watak bawaan. Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah kepada
seorang hamba. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan", karena malu seperti itu menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan akhlak tercela dan mendorongnya menggunakan akhlak mulia. Dalam konteks ini, malu seperti itu termasuk
iman, karena
diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu
Anhu yang berkata,
"Barangsiapa malu, ia merahasiakan diri. Barangsiapa merahasiakan diri, ia bertaqwa. Barangsiapa bertakwa, ia
dilindungi”.
Al-Jarrah bin Abdullah Al-Hakami, jagoan dari
Syam, berkata, "Aku tinggalkan dosa-dosa selama empat puluh tahun karena
malu kemudian aku mendapatkan sifat wara’. [18])
Salah seorang generasi
salaf berkata, "Aku lihat maksiatmaksiat itu hina kemudian aku meninggalkannya dengan gagah lalu maksiatmaksiat tersebut berubah menjadi agama".
2.
Malu yang didapatkan dengan ma’rifatullah (kenal Allah) dan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan
hamba-hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap
mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan hati. Malu seperti ini
termasuk sifat iman tertinggi dan bahkan termasuk derajat ihsan yang
tertinggi karena sebelumnya telah disebutkan
bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang, “Malulah engkau kepada Allah sebagaimana engkau
malu kepada salah seorang shalih dari
keluargamu”.
Di hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
Anhu disebutkan, "Malu ialah engkau menjaga kepala beserta apa
saja yang dimuatnya, menjaga perut beserta apa saja yang dikandungnya,
ingat kematian dan musibah. Barangsiapa menginginkan akhirat, ia
meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa melakukan hal-hal tersebut, sungguh
ia telah malu kepada Allah”. (Diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam). [19]
Bisa jadi, malu kepada
Allah membuat seseorang melihat nikmat-nikmat Allah pada dirinya dan ia
melihat dirinya lalai dalam mensyukurinya. Jika malu yang didapatkan dengan
ma’rifatullah dicabut dari seorang hamba, ia tidak lagi
mempunyai sesuatu yang meredamnya dari mengerjakan hal-hal buruk dan akhlak hina, dan ia menjadi orang yang
seperti tidak ada iman. Diriwayatkan
dari hadits-hadits mursal Al-Hasan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Malu ada dua; salah
satu dari keduanya termasuk iman, sedang satunya termasuk kelemahan”.
Bisa jadi, sabda di atas
termasuk perkataan Al-Hasan. Busyair bin Ka’ab Al-‘Adawi berkata
kepada Imran bin Hushain, "Aku temukan di salah satu kitab bahwa ada malu
yang merupakan ketentraman dan ketundukan kepada Allah, dan ada malu yang merupakan kelemahan”. Imran bin Hushain marah kemudian berkata, "Apakah engkau pernah
diberi hadits dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam?"
Yang benar ialah seperti
dikatakan Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu bahwa malu yang dipuji di sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah akhlak yang mendorong seseorang mengerjakan
kebaikan dan meninggalkan keburukan. Sedang kelemahan yang membuat seseorang lalai dalam
salah satu hak-hak Allah atau hak-hak
hamba-Nya bukan termasuk malu, namun kelemahan,
kemalasan, dan kehinaan, wallahu
a’lam
Kedua: Makna sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa saja yang engkau inginkan", ialah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan pengerjaaan apa saja yang sesuai dengan tekstual sabda tersebut. Maksudnya, jika perbuatan yang ingin engkau ketjakan
itu termasuk perbuatan-perbuatan yang engkau tidak malu untuk
mengerjakannya; baik malu kepada Allah atau manusia, namun termasuk
perbuatan-perbuatan ketaatan, atau termasuk akhlak mulia, atau termasuk etika
yang dipandang baik, maka kerjakan seperti yang engkau inginkan. Ini pendapat sejumlah ulama, di
antaranya Abu Ishaq Al-Marwazi Asy-Syafi’i.
Pendapat yang sama diriwayatkan dari Imam Ahmad. Pendapat tersebut juga
tertulis di salah satu halaman buku Masailu
Abu Daud. Namun di naskah otentik adalah seperti yang
sebelumnya kami riwayatkan darinya. Pendapat tersebut juga diriwayatkan
Al-Khallal dari Imam Ahmad di Al-Adab. Dalam hal ini, salah seorang salaf berkata ketika
ditanya tentang muru’ah, "Muru’ah ialah engkau tidak mengerjakan pada saat sepi sesuatu yang engkau malu
mengerjakannya pada saat ramai”. Akan disebutkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dosa ialah apa
saja yang meresap di Jiwamu dan engkau tidak suka manusia melihatnya”.
[20])
Abdurrazzaq meriwayatkan
di bukunya [21]) hadits dari Ma’mar dari Abu Ishaq dari seseorang yang datang dari Muzainah yang
berkata bahwa ditanyakan, “Wahai
Rasulullah, apa sesuatu terbaik yang diberikan kepada orang Muslim?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, “Akhlak yang baik" Orang
tersebut berkata, “Apa sesuatu terburuk yang diberikan kepada orang Muslim?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, “Jika engkau tidak suka
sesuatu dilihat padamu di majlis satu kaum maka engkau jangan mengerjakannya jika engkau sendirian”.
Di Shahih Ibnu Hibban
[22])
disebutkan hadits dari Usamah bin Syuraik yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika Allah membenci
sesuatu padamu, engkau jangan mengerjakannya ketika engkau
sendirian”.
Ath-Thabrani meriwayatkan
hadits Abu Malik Al-Asy’ari yang berkata, aku berkata,
"Wahai Rasulullah,
apa kesempurnaan (puncak) kebaikan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau mengerjakan pada saat engkau
sendirian perbuatan yang biasa dilakukan di saat ramai”. [23])
Hadits yang sama
diriwayatkan dari Abu Amir As-Sukuni yang berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah", kemudian ia menyebutkan
haditsnya. [24])
Abdul Ghani bin Sa’id
Al-Hafidz meriwayatkan di Adabul Muhadits dengan sanadnya dari Harmalah bin Abdullah yang berkata,
"Aku datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menambah ilmu. Aku berdiri di depan beliau kemudian berkata,
“Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk aku kerjakan?” Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, “Kerjakan kebaikan dan jauhi kemungkaran. Perhatikanlah pada suatu kebaikan yang didengar oleh
telingamu yang diucapkan suatu kaum
kepadamu, apabila engkau akan pergi meninggalkan mereka, maka kerjakanlah sesuatu tersebut. Pikirkan
sesuatu yang tidak engkau sukai diucapkan
salah satu kaum kepadamu jika engkau pergi dari mereka kemudian jauhi sesuatu tersebut”. Aku pun
memikirkan sesuatu tersebut, ternyata sesuatu tersebut adalah dua hal yang
tidak meninggalkan sesuatu apa pun,
yaitu mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran”. [25])
Hadits semakna diriwayatkan Ibnu Sa’ad di Thabaqatnya. [26])
Tentang makna hadits di
atas, Abu Ubaid meriwayatkan pendapat lain yang ia riwayatkan dari Ibnu
Jarir yang berkata, "Makna hadits ialah orang tersebut ingin mengerjakan kebaikan kemudian ia tidak mengerjakannya karena malu pada
manusia dan sepertinya ia takut berbuat riya’”. Ibnu Jarir berkata,
"Malu jangan menghalangimu untuk melanjutkan apa yang telah
engkau inginkan, seperti dikatakan di hadits, “Jika syetan datang kepadamu
ketika engkau shalat kemudian ia berkata, “Engkau melakukan riya’, maka panjangkan lagi (shalatmu)”.
Abu Ubaid berkata lagi,
"Hadits bab di atas; susunan dan redaksinya, tidak datang dengan penafsiran seperti itu dan juga tidak sesuai dengan
asumsi manusia”.
Saya katakan, jika makna hadits di atas seperti
dikatakan Ibnu Jarir, maka hadits tersebut
pasti berbunyi, "Jika engkau malu kepada sesuatu yang orang tidak malu
kepadanya, maka kerjakan sesuai dengan keinginanmu”. Tidak diragukan lagi,
jauhnya pendapat ini dengan lafadz dan makna hadits, wallahu a’lam.
[1] Diriwayatkan
Ath-Thayalisi hadits nomer 621, Imam Ahmad 4/121, 122, 5/273, Abdullah bin Ahmad di Zawaidul Musnad 5/273,
Al-Bukhari hadits 3483, 3484, 6120, di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 597, 1316, Abu Daud hadits nomer
4797, Ibnu Majah hadits nomer 4183, Ibnu
Abu Ad-Dunya di Makarimul Akhlaq hadits nomer 83, Ath-Thabrani di Al-Ausath hadits nomer 2332, Abu Nu’aim
di Al-Hilyah 4/370, 8/124, Al-Baihaqi di As-Sunan 10/192, di Al-Adab hadits nomer 198, dan Al-Baghawi hadits nomer
3597. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 607.
[2] Hadits dari Hudzaifah, diriwayatkan Imam Ahmad
5/383, 405, Al-Bazzar hadits nomer 2028,
Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/371,
di Akhbaru Ashbahan 2/78, dan Al-Khathib di Tarikhnya 2/135, 136. Sanad hadits tersebut shahih menurut syarat Muslim. Hadits tersebut disebutkan
Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/27 dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan
Imam Ahmad dan Al-Bazzar.
[3] Dinukil darinya oleh Ibnu Abu Hatim di Al-Ilal 2/338.
[4] Di Al-Ilal
seperti terlihat di Fathul
[5] Diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 20149 dan sanadnya shahih.
[6] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan disebutkan di Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/27. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi-perawi yang tidak aku
kenal”.
[7] Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, hadits tersebut
diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 6/445-446, Imam Ahmad 4/253, Abu
Daud hadits nomer 3489, Al-Baihaqi 6/12,
dan Al-Mazi di Tahdzibul Kamal 13/385. Di sanadnya terdapat perawi Amr bin Bayan At-Taghlabi yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh selain Ibnu
Hibban.
Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Hendaklah ia
memotong babi, "Ibnu Al-Atsir berkata", Maksudnya, hendaklah ia
memotong babi menjadi beberapa potongan seperti pemotongan kambing jika
dagingnya akan dijual”. Maksud hadits tersebut, barangsiapa menghalalkan
penjualan minuman keras, hendaklah ia menghalalkan penjualan babi, karena
kedua-duanya sama-sama haram. Kata perintah
di hadits tersebut maknanya larangan. Jelasnya, barangsiapa menjual minuman keras, hendaklah ia memotong
babi”.
[8] Hadits shahih mutawatir diriwayatkan dari banyak
sekali sahabat. Takhrij sebagian besar
hadits tersebut, silahkan baca di Shahih Ibnu Hibban hadits nomer 2831.
[9] Baca Gharibul
Hadits 3/32.
[10] Hadits dhaif diriwayatkan As-Suyuthi di Al-Jami’
Al-Kabir 1/31 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Baihaqi
di Syuabul Iman hadits nomer 7724.
[11] Hadits nomer 4054. Di sanadnya terdapat perawi
Sa’id bin Sinan yang tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits tersebut dituduh
Ad-Daruquthni sebagai hadits palsu.
[12] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/204.
[13] Perkataan
tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dari Ibnu Abas
dari Nabi
Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Al-Haitsami Majmauz Zawaid 1/92, "Di
sanadnya terdapat Yusuf bin Khalid As-Samti yang merupakan pendusta”.
Saya katakan, di hadits tersebut
ada yang tidak dibutuhkan, karena Al-Hakim 1/22 dan Abu Nu’aim
meriwayatkan kepada kami dari Ya’la bin Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar Radhiyallahu
Anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Malu dan iman adalah satu pedang. Jika salah satu dari keduanya
diangkat, maka keduanya terangkat”. Sanad hadits tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim seperti dikatakan Al-Hakim dengan
disetujui Adz-Dzahabi. Al-Hafidz Al-Iraqi seperti dinukil darinya oleh
Al-Manawi, "Hadits tersebut
shahih gharib, namun Jarir bin Hazim diperdebatkan apakah ia me-marfu’-
Saya katakan, perkataan tersebut
juga diriwayatkan Ibnu Syaibah di Al-Mushannaf 8/525 dari Abu Usamah
dari Jarir dari Ya’la bin Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari, hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 622,
Al-Ausath, dan Al-Khathib di Tarikhnya dari jalur yang sarna dari syaikhnya, Abdullah bin Muhammad bin Ubaidah Al-Qaumisi. Al-Khathib berkata,
"Perkataan tersebut ia riwayatkan
sendirian telah berkata kepada kami”.
[14] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 24, 6118,
Muslim hadits nomer 36, Imam Malik
2/905, Imam Ahmad 2/9, Abu Daud hadits nomer 4795, At-Tirmidzi hadits nomer
2615, An-Nasai 8/121, dan Ibnu Majah hadits nomer 58. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer
610.
[15] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 9, Muslim
hadits nomer 35, dan An-Nasai 8/110.
Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 167 dan 190.
[16] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6117 dan
Muslim hadits nomer 37.
[17] Diriwayatkan
Imam Ahmad 4/206, An-Nasai di Fadhailush
Shahabah hadits nomer 210, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 584, Ibnu Abu Syaibah 8/522-523, Ibnu
Sa’ad di Ath-Thabaqat 5/558, dan Ibnu Al-Atsir di Usudul
Ghabah dari jalur Abdurrahman bin
Abu Bakrah dari Al-Asyaj. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 9/387-388 dan berkata,
"Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih, namun Ibnu Abu Bakrah
tidak mendengar hadits tersebut dari Al-Asyaj”.
Saya katakan, hadits tersebut
juga diriwayatkan Muslim di Shahihnya di hadits panjang dari Abu Sa’id
Al-Khudri dengan redaksi, "Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlak yang dicintai Allah; ketenangan dan sabar".
Nama Al-Asyaj ialah Al-Mundzir bin Aidz Al-Abdi Al-Ashari. Ia datang
kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersama delegasi
Abdul Qais.
[18] Baca buku Siyaru A’lamin Nubala’ 5/190.
[19] Diriwayatkan
Imam Ahmad 1/408, At-Tirmidzi hadits nomer 2458, dan Ibnu Abu Syaibah 13/223. Di sanadnya terdapat Ash-Shabah bin Muhammad yang merupakan perawi dhaif dan
mengatakan hadits dari Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam padahal berasal dari sahabat. Adz-Dzahabi berkata
di Al-Mizan 2/306, "Ia
mengatakan dua hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, padahal dari Abdullah”. Kendati demikian, hadits di atas dishahihkan Al-Hakim 4/323
dengan disetujui Adz-Dzahabi.
Hadits tersebut juga disebutkan Al-Mundziri di At-Taghib wat Tarhib 3/400, 4/239-240 dan membenarkan
pendapat bahwa hadits tersebut adalah ucapan
Ibnu Mas’ud. Dari jalur lain, hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10290, Ash-Shaghir hadits nomer 494
dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/209. Abu Nu’aim berkata,
"Hadits tersebut gharib”.
Di
sanadnya terdapat perawi As-Suri bin Sahl, guru Ath-Thabrani. Al-Baihaqi berkata,
"Ia tidak bisa dijadikan hujjah. Begitu juga gurunya”. Ibnu Adi berkata, "Ia
mencuri hadits”.
Namun hadits tersebut mempunyai
hadits penguat namun tidak menguatkannya, yaitu hadits Aisyah yang diriwayatkan
Ath-Thabrani di Al-Ausath dan di sanadnya terdapat perawi Ibrahim bin
Ismail bin Abu Habibah yang tidak bisa dijadikan hujjah. Itu dikatakan
Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/284.
[20] Hadits kedua puluh tujuh buku ini.
[21] Al-Mushannaf hadits nomer 20151.
[22] Hadits nomer 403. Di sanadnya terdapat perawi
Muammal bin Ismail yang hapalannya jelek.
[23] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 3420. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Luhaiah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’am yang keduanya
merupakan perawi dhaif. Baca Majmauz
Zawaid 10/290.
[24] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 22/800. Di sanadnya terdapat
perawi Ibnu Luhaiah dan Abdurrahman bin Ziyad
bin An’am yang keduanya merupakan perawi dhaif. Baca Majmauz Zawaid.
[25] Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 222, Abu Daud Ath-Thayalisi 1/319, Imam Ahmad 4/305, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/359, dan Ibnu Al-Atsir di Usudul Ghabah 1/475. Hadits tersebut juga
disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Ishabah 1/319 dan sanadnya hasan.
[26] 7/50.
No comments:
Post a Comment