Saturday, January 15, 2022

Tafsir Surah Al Jum'ah

 Surat ini turun setelah surat Ash Shaff yang disebutkan sebelumnya. Ia membahas secara tuntas tentang tema yang juga dibahas oleh surat Ash Shaff, namun dari sudut lain, dengan gaya bahasa yang lain dan dengan sentuhan-sentuhan baru. Sesungguhnya ia menuntaskan ketetapan di dalam diri komunitas kaum muslimin di Madinah bahwa merekalah yang terpilih akhirnya untuk mengemban amanah aqidah iman. Hal itu merupakan karunia dari Allah. Pengutusan Rasul yang terakhirkepada kaum yang ummiyin buta huruf (yaitu masyarakat Arab) adalah karunia terbesar yang harus diperhatikan dan disyukuri. Ia juga menentukan beban-beban yang dipikul dan dilaksanakan oleh komunitas umat yang menyambut seruan Rasulullah dan mengemban amanah. Orang-orang yang mengemban amanah itu bersambung-sambung, berestafet setiap zaman tanpa pernah terputus dan terpotong. Karena, Allah telah menentukan dalam takdir-Nya bahwa benih orang-orang yang mengemban amanah itu akan terus tumbuh dan berkembang. Meskipun Bani Israel telah membatalkan diri dan mengundurkan diri dari pengembanan amanah itu dan hubungan mereka dengan amanah langit telah terputus, maka jadilah mereka ketika dipikulkan beban amanah Taurat di atas pundak-pundak bisa diumpamakan seperti keledai yang membawa dan memikul kitab-­kitab yang tebal. Keledai tidak memiliki tugas untuk mengetahuinya dan tidak ada campur tangannya dalam urusannya.

 

Itulah hakikat pokok yang ingin dituntaskan oleh surat ini dan menetapkannya di dalam hati orang-orang yang beriman. Yaitu, mereka yang ada di Madinah pada saat itu secara khusus. Mereka yang ditandai oleh Allah untuk merealisasikan manhaj Islami dalam gambarannya yang nyata, dan orang-­orang beriman yang datang sesudah mereka, yaitu orang-orang yang diisyaratkan oleh surat ini. Mereka dimasukkan dalam silsilah yang panjang sepanjang zaman. Bersamaan dengan itu pada saat yang sama, surat ini sekaligus menuntaskan beberapa kondisi yang terjadi dalam masyarakat yang pertama itu, di sela-sela proses pembinaan jiwa yang sulit, berliku-liku, dan detail. Ia membebaskan jiwa dari berbagai daya tarik yang menjadi penghalang. Di antaranya sifat tamak dan keinginan yang tergesa-gesa mendapatkan keuntungan. Juga warisan tradisi-tradisi lingkungan dan adat, khususnya cinta yang berlebihan kepada harta benda dan segala sarananya yang melalaikan dari penunaian amanah besar itu dan persiapan jiwa menghadapinya.

 

Surat ini mengarahkan isyarat itu kepada kasus tertentu yang terjadi ketika Rasulullah sedang berkhutbah di hadapan para sahabat di masjid pada saat khutbah Jum’at. Pada saat itu tibalah salah satu kafilah di antara kafilah-kafilah perniagaan. Ketika diumumkan tentang kedatangan kafilah dagang itu, serta-merta orang-orang yang sedang mendengarkan khutbah tersebut bubar dan segera menuju tempat perniagaan dan permainan yang biasanya menyertai rombongan kafilah (yaitu memukul rebana, tarian siulan-siulan yang berdendang, dan arak-arakan sebagaimana yang terdapat dalam adat jahiliah pada saat itu). Mereka meninggalkan Rasulullah berdiri menyampaikan khutbah kecuali dua belas orang yang mendalam ilmunya seperti Abu Bakar dan Umar tetap berkonsentrasi mendengar khutbah.

 

Itulah yang disebutkan oleh beberapa riwayat yang bisa jadi tidak terlalu detail menyebutkan jumlah orang secara pasti. Namun, riwayat itu jelas-jelas menetapkan bahwa kasus dan kejadian seperti itu telah terjadi dari beberapa orang yang hadir pada saat itu. Sehingga, harus diperingatkan oleh Al Qur’an yang mulia secara khusus. Kasus ini menyingkap dengan sendirinya betapa besarnya upaya dan usaha mendidik komunitas masyarakat Islam yang pertama sehingga mereka mencapai kesempurnaannya. Akhirnya, mereka pun menjadi contoh teladan yang sangat langka dalam sejarah Islam dan sejarah manusia seluruhnya. Ia mengilhami kita kesabaran ketika menghadapi kesulitan dan untuk mengatasinya dalam misi pendidikan dan tarbiah generasi-generasi berikutnya. Dengan demikian, terbentuklah komunitas masyarakat Islam yang mampu mengemban beban amanah aqidah ini dan berusaha merealisasikannya dalam alam nyata sebagaimana telah direalisasikan dalam komunitas masyarakat Islam pertama. 

 

Dalam surat ini terdapat juga proses mubahalah melawan orang-orang Yahudi dengan ajakan kepada mereka untuk mengharapkan kematian bagi setiap pihak yang bathil dan tidak jujur dalam pengakuannya. Hal itu disebabkan pengakuan mereka bahwa mereka adalah wali-wali dan kekasih-kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain. Juga pengakuan bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah dan pengutusan Rasul dari selain golongan mereka tidak mungkin terjadi. Itulah dakwaan-dakwaan dan pengakuan-pengakuan mereka. Namun, Al Qur’an memastikan bahwa sesungguhnya orang-orangYahudi itu tidak akan pernah menyambut ajakan mubahalah ini karena mereka pasti menyadari kebatilan dan kebohongan pengakuan dan dakwaan mereka. Kemudian surat ini menetapkan tentang hakikat mati yang tidak seorang pun bisa lari daripadanya. Mati itu pasti menjemput mereka walaupun mereka lari daripadanya. Mereka pasti kembali kepada Allah, Zat Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan perkara yang nyata, sehingga Dia mengungkapkan kepada mereka segala yang telah mereka kerjakan. Ketetapan bukan hanya berlaku secara khusus terhadap Yahudi semata-mata, namun Al Qur’an membiarkannya dan melepaskannya untuk melaksanakan misinya dan pengaruhnya terhadap jiwa-jiwa orang-orang yang beriman juga. Jadi, hakikat ini harus stabil dan permanen dalam jiwa orang-orang yang mengemban amanah Allah di muka bumi ini, agar mereka dapat melaksanakan taklif-taklifnya dan mereka mengenal jalannya. Itulah arah surat ini, dan arah itu sangat dekat dengan arah surat Ash Shaff sebelumnya, dengan karakter yang berbeda di antara keduanya dari segi bahasan yang hendak dituntaskannya, gaya bahasa yang menyentuh hati, dan nuansa yang ditujukan oleh surat ini dan surat itu dalam arah yang satu. Maka, marilah kita meneliti bagaimana gaya Al Qur’an membahas dan mengarahkan dalam hal ini.

 

Pengutusan Rasulullah Adalah Karunia

 

 

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ٱلْمَلِكِ ٱلْقُدُّوسِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَكِيمِ

 

"Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al Jumu’ah:1)

 

Bagian paragraf ini menetapkan hakikat tasbih yang terus-menerus dari setiap yang ada kepada Allah. Dia mensifatinya dengan sifat-sifat yang memiliki ikatan yang lembut dan halus dengan tema surat. Yaitu, surat yang dinamakan dengan surat Al Jumu’ah. Di dalamnya terdapat pengajaran tentang shalat Jum’at, mengosongkan diri untuk berzikir kepada Allah di dalam waktu pelaksanaannya, meninggalkan aktivitas jual beli dan permainan, dan mencari batasan dan pahala yang terdapat di sisi Allah yang lebih baik daripada permainan dan perniagaan. Oleh karena itu, Allah menyebutkan dalam ayat ini sifat,

"... Raja.... 

Yaitu, yang memiliki segala sesuatu sehubungan dengan perniagaan di mana mereka saling lomba di dalamnya untuk mendapatkan keuntungan. Dan, disebutkan pula sifat-Nya,

"... Yang Maha Suci.... "

Yaitu, setiap yang ada di langit (ruang angkasa) dan di bumi mensucikan diri, membersihkan diri, dan mengarahkan kepada-Nya segala bentuk pengagungan dan kesucian, sehubungan dengan permainan di mana mereka beramai-ramai membubarkan diri dan menuju ke arahnya kemudian dari berzikir kepada-Nya.

 

Dan, disebutkan pula sifat Nya,

"... Yang Maha Perkasa          

Ini sehubungan dengan mubahalah yang diserukan kepada orang-orang Yahudi dan sehubungan dengan kematian yang pasti menjemput manusia seluruhnya, kemudian mereka kembali kepada-Nya dan dihisab.

 

Dan, disebutkan pula sifat-Nya,

"... Lagi Maha Bijaksana....' Al Jumu’ah: 1)

Ini sehubungan dengan pilihan Allah terhadap orang-orang yang buta huruf untuk diutus kepada mereka seorang Rasul yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka tentang kitab dan hikmah. Semua itu adalah keserasian-keserasian yang sangat halus dan lembut, momen-momen yang serasi dan terkait antara permulaan dan hubungannya.

 

Kemudian redaksi mulai membahas tentang tema surat yang utama.

 

هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّـۧنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَـٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَـٰلٍ مُّبِينٍ

وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا۟ بِهِمْ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

 

'Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dan, (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Al Jumu’ah: 2-3)

 

Konon orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang yang buta huruf, karena mereka umumnya tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Imam Al Jashshas pengarang kitab Ahkam Al Qur’an menyebutkan sebuah hadits tanpa sanad bahwa Rasulullah bersabda, 'Bulan itu seperti ini, seperti ini, dan seperti ini, (beliau mengisyaratkan dengan jari jarinya). Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi tidak bisa menghitung dan tidak bisa menulis. "

Disebutkan bahwa orang yang tidak bisa menulis sebagai orang ummi karena dinasabkan kepada kondisinya ketika dilahirkan oleh ibunya, dan kemampuan menulis itu terjadi dengan berlatih dan belajar.

 

Barangkali orang-orang yang tidak mampu menulis dinamakan sebagai orang-orang yang ummi adalah karena biasanya orang-orang Yahudi mengatakan kepada selain diri mereka dari umat-umat lain, "Sesungguhnya mereka joiem'." Dalam bahasa Ibrani bermakna 'ummi' yang dinisbatkan kepada umat-umat lain karena mereka menyifati diri mereka sendiri sebagai anak anak bangsa Allah yang terpilih, sedangkan orang-orang yang selain mereka adalah umat-umat yang diperbudak. Nisbat ini dalam bahasa Arab dengan bentuk tunggal adalah 'umat'... 'ummiyun'. Kenyataan terakhir ini lebih dekat dengan tema surat ini. Sesungguhnya orang-orang Yahudi telah menunggu pengutusan Rasul terakhir dari golongan mereka. Mereka berharap Rasul itu dapat menyatukan golongan mereka yang telah tercerai-berai, memenangkan mereka setelah mengalami kekalahan, dan memuliakan mereka setelah mereka jatuh dalam lembah kehinaan. Mereka ingin mengalahkan orang-orang Arab di bawah pimpinan dari Nabi terakhir itu. Namun, hikmah Allah menentukan bahwa Nabi ini berasal dari Arab, dari umat yang bukan dari golongan Yahudi. Allah telah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudi itu telah hilang dari diri mereka kelayakan dan keahlian yang pantas menjadikan mereka sebagai pemimpin baru yang sempurna bagi seluruh manusia. Kaum Yahudi telah menyimpang dan tersesat sebagaimana disebutkan dalam surat Ash Shaff. Kaum Yahudi tidak pantas lagi mengemban amanah itu setelah apa yang terjadi pada sejarah mereka yang panjang.

 

Di sana terdapat doa Nabi Ibrahim as, Khalil (kekasih) Allah. Doa yang ia ucapkan di bawah naungan Ka'bah bersama-sama dengan Ismail as,

"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), 'Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah.) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. Dan, tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(A1 Baqarah: 127-129)

 

Doa ini telah lama berada di balik tirai gaib dan telah dipanjatkan sejak berabad-abad yang lalu. Ia terpelihara di sisi Allah, tidak pernah hilang hingga tibalah waktunya yang ditentukan dalam ilmu Allah sesuai dengan hikmah-Nya. Ia pun terealisasi pada waktunya yang tepat dalam takdir Allah dan pengaturan-Nya. Dan, ia pun memerankan perannya dalam alam semesta sesuai dengan pengarahan dan pengelolaan Ilahi yang tidak akan pernah mendahulukan sesuatu pun dan tidak pula mengundurkannya sesuai dengan ketentuannya yang digariskan dan ditetapkan.Kemudian doa ini pun terealisasi (sesuai dengan takdir Allah dan pengaturan-Nya) sama persis dengan teks doa Ibrahim yang dilafazhkannya. Namun, tidak diulang kembali sebutannya dalam surat ini,

"...Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah :As Sunnah) serta mensucikan mereka...."

Ia pun terealisasi sesuai dengan doa yang diucapkan oleh Ibrahim ini. Bahkan, sifat Allah yang disebutkan oleh Ibrahim dalam doanya yaitu,

"... Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al Baqarah: 129)

Itu adalah sifat Allah yang sama yang terdapat dalam komentar tentang peringatan terhadap karunia Allah dan pemberian-Nya di dalam surat ini,

... Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. " AJumu'ah: 3)

Rasulullah ditanya tentang dirinya sendiri, maka beliau pun menjawab,

'Aku merupakan realisasi pengabulan doa bapakku Ibrahim, dan kabar gembira yang disampaikan oleh lsa. Ibuku bermimpi ketika mengandungku bahwa seolah-olah keluar dari dirinya suatu cahaya yang menyinari istana-istana Bashrah yang terdapat di daerah Syam. (HR Ibnu Ishaq)

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Dan juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(A1 Jumu'ah: 2-3)

 

Karunia itu sangat tampak dalam pilihan Allah bagi orang-orang yang ummi, agar menjadikan mereka sebagai para ahli dan pemilik Kitab yang nyata. Juga agar mengutus kepada mereka seorang Rasul dari diri mereka. Mereka terangkat dan menjadi tinggi dengan pilihan Allah atas diri mereka kepada kedudukan yang mulia. Dan, mereka pun keluar dari kondisi buta huruf atau keterpinggiran mereka dengan membaca ayat-ayat Allah atas mereka, me­ngubah apa yang ada pada mereka, serta mengisti­mewakan dan membedakan mereka dari seluruh makhluk di alam semesta.

"...Menyucikan mereka.... "

Sesungguhnya ia adalah proses pensucian dan proses pembersihan. Yang dianjurkan dan ditanamkan oleh Rasulullah kepada mereka adalah penyucian dan pembersihan nurani dan perasaan mereka. Juga pembersihan atas segala amal dan kelakuan, pembersihan terhadap kehidupan rumah tangga, dan pembersihan terhadap kehidupan bermasyarakat. Suatu pembersihan yang mengangkat jiwa-jiwa dari ideologi-ideologi syirik kepada aqidah tauhid, dari persepsi-persepsi yang batil kepada aqidah yang sahih dan benar, dan dari cerita-cerita dongeng yang tidak masuk kepada keyakinan yang benar dan pasti. Dan, ia pun mengangkat jiwa-jiwa dari kekotoran dan kekacauan akhlaq kepada kebersihan akhlaq imam. Juga dari kekotoran riba dan harta yang haram kepada usaha yang halal. Pembersihan dan penyucian itu terjadi secara total, sempurna bagi individu dan bagi masyarakat, bagi kehidupan yang dirahasiakan dan kehidupan yang dinyatakan. Suatu proses pembersihan dan penyucian yang mengangkat manusia bersama segala persepsi-persepsinya dari kehidupan seluruhnya, dari jiwanya dan pertumbuhannya, kepada ufuk-ufuk cahaya yang dapat menghubungkannya dengan Tuhannya. Juga bermuamalah dengan AMala'ul A'la para malaikat yang berkedudukan tinggi'. Dan, akhirnya dia pun dihisab amal-amalnya dengan hisab yang berlaku dalam Al Mala'ul A'la yang tinggi dan mulia itu.

"...Dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah).... "

Rasulullah mengajarkan kepada mereka tentang Kitab Al Qur’an, maka merekapun menjadi ahli dalam perkara kitab itu. Rasulullah pun mengajarkan kepada mereka sehingga mereka mengetahui hakikat-hakikat segala sesuatu. Mereka pun baik dalam menentukan dan mengukur segala sesuatu. Ruh-ruh mereka pun diilhami dengan kebenaran dalam berhukum dan beramal, dan itu merupakan kebaikan yang berlimpah.

 

"... Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Al Jumu’ah: 2)

Kesesatan jahiliah digambarkan oleh Ja'far bin Abi Thalib ketika bertemu dengan Najasyi Raja Habasyah. Pada saat itu Quraisy mengirim dua orang utusan kepadanya yaitu Amru ibnul Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah dengan maksud agar memberikan gambaran yang membuat Raja Najasyi benci kepada orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) dari kaum muslimin. Mereka berdua menjelek jelekkan sikap orang-orang yang beriman di hadapan Najasyi agar dia mengeluarkan mereka dari penyambutannya dan pertamuannya. Maka, Ja'far pun berkata,

"Wahai raja, sesungguhnya kami sebelumnya adalah masyarakat jahiliah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan-perbuatan nista, memutuskan tali silaturahmi, berbuat buruk terhadap tetanggga, dan orang yang kuat di antara kami memakan orang yang lemah. Kami tetap dalam keadaan demikian hingga Allah mengutuskan kepada kami seorang Rasul dari golongan kami sendiri. Kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya. Beliau pun mengajak kami untuk mengesakan Allah, menyembah-Nya, dan melepas segala Tuhan selain diri-Nya yang terdiri dari batu-batu dan berhala-berhala, yang kami dan nenek moyang kami menyembahnya sebelumnya. Beliau menyuruh kami untuk berkata jujur, menunaikan amanah, menyambung silaturahmi, berbuat baik terhadap tetangga, dan menahan diri dari segala perkara yang haram dan dari menumpahkan darah. Beliau melarang kami dari segala perbuatan keji dan perkataan dusta dan palsu, memakan harta anak yatim dan menuduh wanita-wanita yang suci dan baik-baik. Beliau me­nyuruh kami untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan, beliau menyuruh kami untuk menunaikan shalat, zakat, dan puasa."

 

Bersama dengan kejahiliahan dan kesesatan yang mereka anut pada zaman jahiliah, sesungguhnya Allah telah mengetahui bahwa mereka merupakan orang-orang yang pantas mengemban aqidah ini dan mereka diberikan amanah untuk menjalankannya. Karena, Allah mengetahui dalam jiwa-jiwa mereka ada kebaikan dan terdapat kesiapan untuk langkah-langkah perbaikan serta mereka memiliki bekal yang tersimpan untuk menunaikan peran dakwah yang baru. Sedangkan, orang-orang Yahudi telah kehilangan bekal setelah dirusak oleh nasib jelek dan hina mereka di bawah kekuasaan tirani Fir'aun di Mesir. Sehingga, jiwa-jiwa mereka dipenuhi dengan ikatan-ikatan yang rumit, penyimpangan-penyimpangan, dan kesesatan-kesesatan. Oleh karena itu, jiwa-jiwa mereka tidak pernah lurus setelah itu, baik ketika Musa masih hidup maupun setelah ia wafat. Sehingga, Allah pun menetapkan laknat-Nya dan kemurkaan-Nya atas mereka. Dan, Dia mencabut dari tangan mereka amanah menunaikan agama-Nya di muka bumi ini hingga hari Kiamat.

 

Allah mengetahui bahwa sesungguhnya seluruh semenanjung Arabia pada saat itu adalah tempat yang paling baik sebagai tempat berkembangnya dakwah yang datang untuk membebaskan alam seluruhnya dari segala kesesatan jahiliah. Juga dari penyimpangan kebudayaan di dalam budaya kekaisaran yang terbesar pada saat itu, di mana penyimpangan telah mencapai hingga ke akar-akarnya. Kondisi inilah yang digambarkan oleh seorang penulis Eropa dalam ceramah dan bukunya ketika dia berkata,

"Pada dua abad, yaitu abad kelima dan keenam, alam keagamaan telah berada di ambang pintu kehancurannya karena kekacauan. Karena ideologi-ideologi yang membantu dalam pembangunan kebudayaan telah hancur. Dan, tidak ada satu pun yang dapat dianggap dan diyakini sebagai penggantinya yang berperan untuk menggantikan kedudukan dan fungsinya. Tampak sekali pada saat itu bahwa sesungguhnya kota yang telah dibangun selama lebih dari empat ribu tahun telah hampir hancur dan binasa. Manusia hampir kembali kedua kalinya kepada situasi yang buas dan tak terkendali, di mana kabilah-kabilah saling memerangi dan membunuh, tidak ada lagi aturan dan hukum yang dihormati dan ditaati. Sedangkan, aturan dan sistem yang diwariskan dan ditinggalkan oleh ajaran Kristen lebih banyak membawa perpecahan dan kehancuran daripada membawa misi penyatuan dan pengokohan dalam satu sistem dan aturan. Kebudayaan dan peradaban seolah-olah seperti pohon besar yang naungannya menjangkau seluruh alam semesta. Namun, kemudian dia berhenti dari kehidupannya dan melemah karena segala kerusakan telah menggerogotinya hingga ke akar-akarnya. Dan, di tengah-tengah fenomena kerusakan yang total dan menyeluruh itu, lahirlah seorang laki-laki yang kemudian menyatukan alam seluruhnya." Gambaran ini dinukil dari sisi pandangan seorang penulis Eropa. Gambaran ini bila ditinjau dari sisi pandangan Islam, maka ia lebih pekat dan lebih gelap.

 

Allah telah memilih bangsa Badui di semenanjung jazirah Arabia yang bergurun padang pasir untuk mengemban amanah risalah agama ini. Karena Allah mengetahui bahwa pada jiwa-jiwa mereka dan kondisi mereka ada sikap keterbukaan dan penerimaan terhadap langkah-langkah perbaikan dan bekal yang tertanam untuk berkorban dan berinfak. Maka, Allah pun mengirimkan seorang Rasul ke tengah-tengah mereka. Beliau membaca­kan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan mereka, mengajarkan kepada mereka tentang kitab Al Qur’an dan Hikmah (As-sunnah). Sesungguh­nya mereka sebelumnya berada dalam kesesatan Yang nyata.

('Dan juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Jumu’ah: 3)

 

Kaum yang lain itu disebutkan dalam beberapa riwayat.

Imam Bukhari berkata, "Kami diberitakan hadits oleh Abdul Aziz bin Abdullah, dari Sulaiman bin Bilal, dari Tsaur, dari Abil Ghaits, dari Abi Hurairah ra bahwa ia sedang duduk di sekitar Rasulullah, maka turunlah surat Al Jumu’ah ayat 3, 

Dan juga kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.' Lalu para sahabat bertanya, 'Siapa mereka wahai Rasulullah?' Rasulullah tidak menjawab mereka hingga mereka bertanya tiga kali, dan di sekitar mereka ada Salman al-Farisi. Maka, Rasulullah pun meletakkan tangannya di atas tangan Salman al-Farisi kemudian bersabda, 'Seandainya iman itu berada di lampu kandil atau bintang tujuh, maka iman itu pasti dicapai dan diraih oleh orang-orang atau seorang dari mereka ini."

 

Nash hadits ini mengisyaratkan bahwa nash Al Qur’an itu mencakup penduduk Persia. Oleh karena itu, Mujahid berkata tentang ayat ini, "Mereka adalah orang-orang yang asing selain bangsa Arab dan setiap orang yang mempercayai dan beriman kepada Rasulullah selain bangsa Arab."

Abu Hatim berkata, "Kami diberitakan hadits oleh ayah kami, dari Ibrahim ibnul- Ala' Az-Zubaidi, dari Al-Walid bin Muslim, dari Muhammad Isa bin Musa, dari Abi Hazim, dari Sahl ibnus-Sa'idi bahwa Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya pada sulbi orang laki-laki dan wanita dari umatku terdapat orang-orang yang masuk surga tanpa hisab.' Kemu­dian Rasulullah membaca ayat ke 3 surat Al Jumu'ah,

“Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Maksudnya, adalah sisa yang tertinggal dari umat Muhammad saw. Kedua pendapat di atas masuk dalam pengertian ayat di atas, karena ia menunjukkan tentang kaum lain selain orang-orang Arab dan tentang generasi lain selain generasi yang turun kepada mereka Al Qur’an. Ia mengisyaratkan bahwa sesungguhnya umat ini rantainya dan silsilahnya tersambung dan tidak terputus. Ia berkembang hingga bangsa-bangsa di dunia dan bangsa-bangsa di seluruh zaman, yang akan mengemban amanah yang besar ini dan menegakkan agama Allah yang terakhir ini.

"... Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Al Jumu'ah: 3)

Dia Kdan Maha Kuat untuk memilih. Dia Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana dalam menentukan tempat pilihan-Nya.

Pilihan Allah atas orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang datang kemudian, adalah karunia dan kemuliaan.

 

ذَٰلِكَ فَضْلُ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ

 

'Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar. " (Al Jumu’ah: 4)

 

Sesungguhnya pilihan Allah terhadap suatu umat, jamaah, atau individu untuk mengemban amanah yang besar ini, dan untuk menjadi tempat penyimpanan cahaya-Nya dan tempat ditemukan kemurahan-Nya serta untuk menjadi pusat yang di dalamnya terjalin hubungan antara langit dan bumi tidak bisa ditandingi oleh karunia apapun. Ia merupakan karunia besar yang menumbuhkan setiap apa yang dikorbankan oleh setiap mukmin baik dirinya sendiri maupun harta bendanya ataupun kehidupannya. Dan, ia menumbuhkan segala upaya dan keletihan-keletihan dalam menjalani perjalanan panjang ini, serta rasa sakit dalam perjuangan dan kekerasan jihad. Allah menyebutkan kaum muslimin di Madinah dan orang-orang yang datang setelah mereka lalu menjalin hubungan dengan mereka serta orang-orang yang tidak pernah berjumpa dengan mereka. Allah menyebutkan mereka semua dengan karunia besar ini dalam mengemban amanah-Nya dan menyebutkan mereka dalam kaitan dengan pengutusan Rasulullah kepada mereka dari golongan mereka sendiri untuk membacakan kepada mereka kitab Al Qur’an, mensucikan mereka, dan mengajarkan mereka tentang kitab Al Qur’an dan hikmah (hadits). Mereka meninggalkan warisan bagi orang-orang yang datang kemudian dalam lembaran-lembaran zaman. Warisan itu sangat besar dan bekalnya sangat banyak dengan bekal-bekal Ilahi. Juga contoh praktis dari perumpamaan yang nyata dalam kehidupan jamaah orang-orang yang beriman pada periode dan generasi yang pertama. Allah mengingatkan mereka tentang karunia yang agung ini di mana seluruh nilai-nilai lainnya menjadi kecil di sisinya. Demikianlah pula seluruh nikmat-nikmat lainnya menjadi kerdil sebagaimana seluruh rasa sakit dan pengorbanan menjadi tidak terasa beratnya dan dahsyatnya bila berada di sisinya.

 

Penyebab Kaum Yahudi Kehilangan Peran Risalah

Setelah itu Allah menyebutkan berita yang menegaskan bahwa peran orang-orang Yahudi telah berakhir dalam mengemban amanah risalah Allah, sehingga mereka tidak lagi memiliki hati yang mampu mengemban amanah yang besar dan dahsyat ini di mana ia tidak mungkin dapat diemban melainkan hanya oleh hati yang hidup, memahami, mengenal, menyadari, memurnikan diri, dan menunaikan segala beban yang dibebankan kepadanya,

 

مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُوا۟ ٱلتَّوْرَىٰةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًۢا ۚ بِئْسَ مَثَلُ ٱلْقَوْمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ

 

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (Al jumu'ah: 5)

 

Jadi, bani Israel telah dipikulkan di atas pundak-pundak mereka amanah untuk melaksanakan isi Taurat. Mereka dibebani dengan amanah aqidah dan syariah. Namun ternyata,

"... Kemudian mereka tiada memikulnya.... "

Untuk memikul beban amanah itu, harus dimulai dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengenalan secara mendalam. Kemudian ia berakhir dengan perbuatan untuk merealisasikan apa yang ada di alam nurani kepada alam nyata. Namun, sejarah bani Israel sebagaimana dipaparkan oleh Al Qur’an yang mulia dan sebagaimana pada kenyataannya, tidak menunjukkan bahwa mereka benar-benar menghormati dan meletakkan amanah itu pada kedudukannya. Juga tidak menunjukkan bahwa mereka benar-benar memahami hakikatnya atau benar-benar mengamalkannya. Oleh karena itu, mereka diumpamakan laksana keledai yang membawa kitab-kitab yang besar, dan dia tidak mendapat apa-apa darinya melainkan beratnya saja. Dengan demikian, mereka bukanlah orang-orang yang berhak mengemban amanah itu dan tidaklah mereka dapat bergabung bersama dalam mencapai targetnya. Gambaran perumpamaan itu merupakan gambaran yang tercela dan terhina. Ia merupakan permisalan yang buruk dan jelek. Namun, gambaran itu melukiskan tentang kenyataan yang sejujurnya dan sebenar-benarnya,

"...Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (Al Jumu’ah5)

Perumpamaan orang-orang yang dibebankan kepada mereka amanah Taurat ini kemudian mereka tidak menunaikannya; setiap orang yang dibebankan amanah aqidah kemudian mereka tidak mengembannya; dan orang-orang yang membaca Al Qur’an, kitab-kitab namun mereka tidak melaksanakan ajaran yang terdapat di dalamnya, maka mereka semuanya laksana keledai yang memikul kitab-kitab dan mereka sangat banyak jumlahnya. Jadi persoalannya bukan persoalan kitab-kitab yang dibawa dan dipelajari. Namun, ia adalah masalah pemahaman dan pengamalan terhadap kandungan yang terdapat dalam kitab-kitab itu.

 

Orang-orang Yahudi berasumsi dan menyangka hingga saat ini bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah. Mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka adalah kekasih-kekasih dan wali-wali Allah, dan bukan seluruh manusia. Juga mengklaim bahwa selain mereka adalah umat yang buta huruf atau umat-umat yang lebih rendah. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, mereka menyangka bahwa mereka tidak perlu lagi diperintahkan untuk memelihara hukum-hukum agama mereka terhadap orang-orang yang lain dari golongan umat yang buta huruf. Mereka berkata,

Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang orang ummi.... "(Ali Imran: 75)

Ditambah lagi dengan dakwaan-dakwaan dan pengakuan-pengakuan lainnya yang mengandung kebohongan kepada Allah tanpa sandaran dalil yang jelas. Oleh karena itu, di sini disebutkan tentang seruan untuk bermubahalah dengan mereka, yang telah berturut-turut diserukan kepada mereka, kepada orang-orang Nasrani dan orang-orang musyrik.

 

قُلْ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ هَادُوٓا۟ إِن زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَآءُ لِلَّهِ مِن دُونِ ٱلنَّاسِ فَتَمَنَّوُا۟ ٱلْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَـٰدِقِينَ

وَلَا يَتَمَنَّوْنَهُۥٓ أَبَدًۢا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌۢ بِٱلظَّـٰلِمِينَ

قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَـٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

 

'Katakanlah, Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar. ' Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim. Katakanlah, 'Sesunguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada­mu apa yang telah kamu kerjakan." (Al Jumu’ah: 6­8)

 

Mubahalah artinya saling berhadapannya dua pihak yang berselisih, dan kedua pihak sama-sama berdoa kepada Allah agar menghukum pihak yang batil di antara keduanya. Setiap kelompok yang diajak oleh Rasulullah pasti takut melakukan mubahalah ini dan pasti mengundurkan diri. Dan, mereka tidak pernah menerima tantangan itu. Hal itu menunjukkan bahwa dalam hati mereka, mereka mengikrarkan dan membenarkan kejujuran Rasulullah dalam risalah yang dibawanya dan kebenaran agama Islam. Imam Ahmad telah berkata, "Kami diberitakan hadits oleh Ismail bin Yazid Az-Zurqi, dari Abu Yazid, dari Furat, dari Abdul Karim bin Malik Al Jazari, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa Abu Jahal (semoga laknat Allah terhadapnya) berkata, "Apabila aku melihat Muhammad di sisi Ka'bah, pasti aku akan mendatanginya hingga aku menginjak lehernya." Maka, Rasulullah bersabda,

"Seandainya Abu Jahal melaksanakan niatnya, maka malaikat pasti mencabut nyawanya secara terang-terangan. Seandainya orang-orang Yahudi menginginkan kematian, maka mereka pasti mati dan melihat tempat mereka di neraka. Dan, seandainya orang-orang yang ditantang oleh Rasulullah untuk bermubahalah, maka pasti mereka kembali ke rumahnya tidak menemukan lagi keluarga dan harta bendanya."(HR Bu­khari, Tirmidzi, dan Nasai)

 

Bisa jadi ini bukan mengajak bermubahalan. Namun, hanya sebagai tantangan dan ancaman bagi kaum Yahudi karena mereka sesungguhnya menyangka bahwa mereka adalah kekasih-kekasih Allah dan bukan seluruh manusia yang lain. Jadi, kalau benar apa yang mereka yakini, lantas apa yang membuat mereka takut dari kematian dan menjadikan mereka makhluk paling penakut di dunia? Padahal, kalau benar demikian adanya, ketika mereka meninggal, maka mereka pasti menerima di sisi batasan yang dianugerahkan kepada wali-wali dan kekasih-kekasih Allah yang dekat dengan-Nya.

 

Kemudian Allah mengomentari tantangan ini, dengan komentar yang menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka tidak benar dan jujur dalam pengakuan mereka. Sesungguhnya mereka belum membekali diri mereka dengan sesuatu yang dapat menenangkan dan mendamaikan diri mereka sen­diri. Mereka sama sekali tidak yakin dan berharap mendapatkan pahala dan kedekatan dengan Allah. Namun, sesungguhnya mereka telah melakukan maksiat yang membuat mereka takut mati dan segala konsekuensinya. Dan memang, orang yang belum mempersiapkan bekal apa-apa pasti takut untuk memulai perjalanan,

'Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim." (Al Jumu’ah7)

 

Di akhir penelusuran ini, Allah menetapkan tentang hakikat kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Allah membuka mata mereka bahwa tidak ada peluang dari kematian itu karena kematian merupakan suatu kepastian dan tidak ada kesempatan sedikit untuk lari daripadanya. Setelah kematian itu, semua orang akan kembali kepada Allah yang di­lanjutkan dengan proses hisab (perhitungan amal) yang tidak dapat diragukan lagi dan pasti terjadi,

"Katakanlah, 'Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."(Al Jumu’ah: 8)

 

Ia merupakan sentuhan di antara sentuhan-sentuhan Al Qur’an yang mengisyaratkan bagi para objek seruan ini dan bagi orang-orang yang selain mereka. Ia merupakan sentuhan yang menetapkan suatu hakikat dalam hati yang telah dilupakan oleh manusia, padahal ia selalu mengejar mereka kemanapun mereka lari dan berada. Jadi, kehidupan ini pasti berakhir. Dan, jarak yang jauh dari Allah pasti berakhir pada proses kembali kepada-Nya, sehingga tidak ada tempat berlindung darinya kecuali hanya kepada-Nya. Proses hisab dan pembatasan yang berlaku setelah kematian itu keduanya pasti terjadi dan tidak ada kemustahilan tentangnya. Jadi, tidak ada peluang lari dan menyelamatkan diri darinya.

 

Ath-Thabari meriwayatkan dalam kitab Mu’jamnya, dari hadits Muadz bin Muhammad Al-Hudzali, dari Yunus, dari Al-Hasan, dari Samurah yaitu hadits marfu' bahwa ia berkata, "Perumpamaan orang-orang yang lari dari kematian adalah laksana kancil yang dituntut oleh tanah karena utangnya. Kemudian ia pun berusaha menunaikannya. Namun ketika ia lelah dan lamban dalam berjalan, maka ia pun masuk ke dalam lubangnya. Tanah pun berkata kepadanya, Wahai kancil, mana pembayaran utangmu?' Maka, ia terkena penyakit kudis, dan ia terus-menerus dijangkiti oleh penyakit itu, hingga lehernya terputus, maka matilah ia."

Gambaran ini memiliki isyarat-isyarat yang dinamis dan bergerak. Dan, ia memiliki sentuhan yang sangat dalam dan menggugah.

 

Keutamaan Shalat Jum’at dan Adab-Adabnya


Sekarang tibalah bagian akhir dari surat ini, yang secara khusus datang untuk mengajarkan tentang sesuatu yang menyangkut upacara ibadah shalat Jum’at. Sehubungan dengan kasus yang terjadi kemungkinan lebih dari sekali, karena gaya bahasanya menunjukkkan hal itu terjadi berulang-ulang.

 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَـٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ ٱللَّهْوِ وَمِنَ ٱلتِّجَـٰرَةِ ۚ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

 

'Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari, Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Dan, apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaandan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki." (Al Jumu’ah: 9-11)

 

Shalat Jum’at adalah shalat yang dilakukan secara berjamaah dan ia tidak sah bila dilakukan dengan tidak berjamaah. Iamerupakan shalat mingguan yang dilaksanakan di hari Jum’at di mana muslimin harus berkumpul, bertemu, dan mendengarkan khutbah yang mengingatkan mereka kepada Allah. Ia merupakan ibadah yang mengandung pengorganisasian sesuai dengan metode dalam mempersiapkan dan membekali orang-orang yang beriman untuk urusan-urusan dunia dan akhirat, satu kesatuan sistem dan satu kesatuan ibadah. Dan, kedua hal itu pada hakikat adalah ibadah.

 

Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan shalat ini dan seruan kepadanya serta bersiap-siap untuk menunaikannya dengan membersihkan diri, mandi, memakai pakaian yang baik, dan memakai wewangian.  DalamShahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadits dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah bersabda, "Bila seseorang di antara kalian pergi ke shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi dulu." Diriwayatkan dari para pengarang kitab Sunan empat (Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah) dari Aus Ats-Tsaqafi bahwa Rasulullah bersabda.

"Barangsiapa yang membersihkan diri dan mandi di hari Jum’at, bergegas dan bersegera, dan tidak naik kendaraan kemudian dia dekat dengan imam, lalu dia mendengar (khutbah) dan tidak berbicara, maka baginya pahala setiap langkah sama pahala satu tahun berpuasa dan shalat tahajjud qiyamullail)."

 

Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Ka'ab binMalik, dari Abu Ayyub Al-Anshari bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membersihkan diri dengan mandi di hari Jum’at, dan memakai wewangian keluarganya yang ada padanya, memakai pakaian yang paling indah yang dimilikinya, kemudian dia keluar menuju masjid, lalu dia mendirikan shalat bila  memungkinkannya, dan dia tidak mengganggu yang lain, kemudian dia diam mendengarkan ketika keluar berkhutbah hingga dia memimpin shalat, maka baginya kafarat (penebusan) dosa antara Jum’at itu dan Jum’at berikutnya."

 

Ayat pertama dari paragraf ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar meninggalkan jual beli dan segala aktivitas kehidupan lainnya ketika mereka mendengar azan Jum’at, 'Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari, Jum’at, maka bersegeralah kaum kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli..."

Ayat ini menganjurkan mereka dengan meninggalkan segala aktivitas kehidupan agar berkonsentrasi untuk berzikir dalam waktu ini, "... Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Al Jumu’ah: 9)

 

Hal itu mengisyaratkan bahwa sesungguhnya melepaskan diri dari urusan-urusan perdagangan dan kehidupan untuk menyambut seruan dan menikmati shalat Jum’at itu di dalamnya terdapat pengajaran dan pendidikan yang permanen dan terus-menerus bagi jiwa-jiwa orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, harus ada periode-periode tertentu di mana hati harus berlepas diri dari segala kesibukan dan akitivitas-aktivitas kehidupan dan segala daya tarik bumi, agar jiwa itu benar-benar kosong, berkonsentrasi kepada Tuhannya, dan berzikir kepada-Nya. Juga menikmati dan merasakan cita rasa khusus karena memurnikan diri dan berhu­bungan dengan Al-Mala'ul A'la, serta memenuhi hatinya dan dadanya dengan udara yang bersih dan wangi lalu merasakan ketenteraman dengannya. Kemudian redaksi kembali lagi kepada bahasan tentang kesibukan-kesibukan dan aktivitas-aktivitas kehidupan yang disertai dengan berzikir kepada Allah,

'Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."(Al Jumu’ah: 10)

 

Inilah keseimbangan yang menjadi ciri khas dari manhaj Islami. Yaitu, keseimbangan antara tuntutan kehidupan dunia yang terdiri dari pekerjaan, kelelahan, aktivitas, dan usaha dengan proses yang mengasingkan diri dari suasana yang menyibukkan dan melalaikan itu disertai dengan konsentrasi hati dan kemurniannya dalam berzikir. Ia sangat penting bagi kehidupan hati di mana tanpanya hati tidak  mungkin memiliki hubungan, menerima, dan menunaikan beban-beban amanah yang besar itu. 

 

Jadi, berzikir kepada Allah di sela-sela aktivitas mencari rezeki dan penghidupan, dan merasakan kehadiran Allah di dalamnya, itulah yang mengalihkan segala aktivitas kehidupan kepada ibadah. Namun, sesungguhnya (bersama dengan itu) masih harus pula menyediakan waktu dan periode khusus kegiatan murni untuk berzikir semata-mata, melepaskan diri dari segala akitivitas, memurnikan semata-mata untuk berzikir, sebagaimana yang diisyaratkan oleh dua ayat ini. 

 

Irak bin Malik ra bila telah selesai shalat Jum’at, dia segera bangkit pulang dan di depan pintu dia berhenti untuk berdoa,

"Ya Allah, sesungguhnya aku telah memenuhi panggilan-Mu, telah aku laksanakan shalat yang menjadi kewajibanku  dari-Mu, dan aku pun hendak bertebaran di muka bumi sebagaimana Engkau perintahkan. Maka, anugerahkanlah rezeki kepadaku dari karunia-Mu, dan Engkau sebaik-baik Pemberi rezeki."(Riwayat Ibnu Abi Hatim)

 

Gambaran ini melukiskan kepada kita betapa Irak melaksanakan perintah itu dengan sungguh-sungguh, dengan penuh kesederhanaan. Jadi, ia merupakan perintah yang harus dilaksanakan segera setelah mendengarkannya dengan apa adanya dan sesuai dengan hakikatnya juga. Kesadaran yang sungguh-sungguh, jelas, dan sederhana ini, itulah yang mengangkat komunitas jamaah sahabat kepada tingkat yang telah diraihnya, walaupun bersama dengan itu masih ada bekas-bekas daya tarik jahiliah dalam diri mereka, sebagaimana yang digambarkan dalam ayat yang terakhir dari surat ini,

'Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaandan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki." (Al Jumu'ah: 11)

 

Jabir ra berkata, "Ketika kami sedang menunaikan shalat (Jum’at) bersama Rasulullah, tiba-tiba datanglah kafilah dagang yang membawa makanan. Maka, orang-orang pun menuju kepadanya, sehingga tidak tersisa lagi bersama Rasulullah melainkan hanya dua belas orang, di antaranya Abu Bakar dan Umar ra. Maka, turunlah ayat 11 surat Al Jumu’ah."

Dalam ayat di atas terdapat isyarat bagi mereka bahwa semua yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dari permainan dan perdagangan. Ia juga mengandung peringatan bagi mereka bahwa sesungguhnya rezeki itu dari Allah semata-mata.

 

Kasus ini sebagaimana telah kami bahas sebelumnya, menyingkap kepada kita betapa sulitnya Rasulullah dan betapa besarnya upaya dan usaha mendidik komunitas masyarakat Islam yang dikeluarkan oleh Rasulullah untuk membina jiwa-jiwa para sahabat hingga dapat membentuk jamaah dan masyarakat Islam yang langka dan satu-satunya dalam sejarah. Beliau memberikan bekal kesabaran bagi orang-orang yang berkecimpung dan bergerak dalam dakwah kepada Allah pada setiap zaman terhadap apa pun yang mereka temui dalam perjalanan panjang itu baik berupa kelemahan, kekurangan, kemunduran, dan ketergelinciran di jalan.

 

Inilah hakikat jiwa manusia lengkap dengan kebaikan dan keburukannya. Namun, ia menerima dan memiliki bekal untuk meningkat lebih tinggi ke tangga-tangga keyakinan aqidah, kebersihan diri, dan kesucian jiwa tanpa ada batasnya sama sekali, bersama dengan kesabaran, pemahaman, pengetahuan, kekokohan, kesabaran, dan sikap pantang mundur dan tidak mengundurkan diri di tengah jalan. Allah Maha Penolong. 

No comments:

Post a Comment