Thursday, April 23, 2020

Khilafah

1.       MAKNA  KHILAFAH

Khilafah (perwakilan) berarti kepemimpinan dlm daulah-Islamiyyah dan khalifah (wakil) berarti pemimpin tertinggi dlm negara Islam.

Para fuqaha mendefinisikannya sebagai kepemimpinan umum baik dlm urusan dunia dan agama, sebagaimana yg dilakukan oleh nabi SAW, dimana ia adalah kepemimpinan nabi SAW yg menegakkan ad-Din dan menjaga aturan syariat yg wajib diikuti oleh seluruh ummat.

Menurut al-Mawardi : Imamah karena ia merupakan obyek dari khilafah kenabian untuk menjaga agama dan memimpin dunia (al-Ahkam as-Sulthaniyyah, 3).

Menurut Ibnu Khaldun : Penjamin umum atas semua tuntutan syar’i dlm kemaslahatan akhirat dan duniawi yg semuanya dikembalikan pdnya. Urusan keduniaan seluruhnya dikembalikan pd ALLAH SWT sbg pembuat syariat yaitu diambil pelajarannya untuk kemaslahatan akhirat, maka ia pada hakikatnya adalah khilafah (perwakilan) dari sisi pemegang syariat yaitu untuk menjaga agama dan memimpin dunia (Muqaddimmah, 180)

2.       URGENSINYA

Tidak bisa tdk bagi manusia untuk mengikuti para pimpinan mereka yg menjadi pemutus bagi semua urusan mereka secara adil serta menjaga keamanan mereka. Dan tdk bisa tdk harus tegak dlm sebuah masyarakat yg islami org yg menjaga hukum2 ALLAH dan memimpin manusia di bwh naungan Kitab ALLAH dan sunnah rasul-NYA, sebagaimana tdk bisa tdk mereka harus mengenal hukum2 ALLAH SWT tersebut dan mengikutinya dlm berbagai cabang2nya yg amat banyak yg mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan yg langsung mereka hadapi. Dan juga tdk bisa tdk bagi masyarakat yg islami untuk mengerahkan akalnya agar mengenal hal tsb dan agar ada aturan dan penguasa yg menegakkan dg tegas akan hukum2 tsb serta menjaganya.

Akal, penguasa bersama al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan salah satu nikmat diantara nikmat2 ALLAH SWT, dan menjadi dalil atas keberlanjutan kehidupan masyarakat Islam dan keabadiannya dlm perjalanan sejarah. Islam menjelaskan dasar yg harus dibangun diatasnya pelaksanaan penegakan pemerintahan dan persatuan ummat Islam dlm struktur yg satu. Dan struktur tsb adalah khilafah yg merupakan manifestasi dari persatuan ummat, maka khilafah merupakan struktur yg tersendiri dari kerangka politik karena khilafah kenabian fungsinya adalah untuk mengembalikan ummat ini pd pengemban risalahnya yaitu kelak pd hari Kiamat. Maka menghidupkan khilafah merupakan hal yg sangat urgen untuk mengumpulkan kekuatan yg tercerai-berai dari kaum muslimin untuk menghadapi kekuatan penghancur yg selalu ingin menguasai kaum muslimin.

3.       TUJUANNYA

a.       Untuk menegakkan agama Islam dan merealisasikan seluruh hukum2nya.
b.       Menegakkan kepemimpinan negara yg resmi menurut Islam


4.       MENDESAK  DAN WAJIBNYA

Tdk ada satu sahabatpun yg berbeda pendapat dlm urgensi menegakkan khalifah untuk memelihara urusan kenegaraan, dan apa2 yg diriwayatkan tentang perbedaan pendapat diantara mereka adalah dlm masalah penentuan siapa yg akan dipilih menjadi khalifah, dan setelah Abubakar ra dipilih secara resmi maka tdk ada seorangpun diantara mereka yg menolaknya, dan tdk ada seorangpun yg mengatakan bhw hal tsb adalah tdk perlu, atau bhw agama tdk membutuhkan khalifah.  Melainkan mereka semua bersepakat akan urgensi menegakkan siapa yg nanti akan menjadi pemimpin mereka dan mengurus hukum2 diantara mereka, sandaran mereka atas urgensi hal tsb adalah apa yg disebutkan dlm al-Qur’an : “Wahai org2 yg beriman taatlah kalian pd ALLAH dan taatlah kalian pd Rasul-NYA dan pd Ulil amri diantara kalian...”  (QS 4/59)

Demikian pula dlm sunnah bhw yg dimaksud ulil amri adalah para pemimpin dan wali, sebagaimana diriwayatkan dari Ali ra bhw nabi SAW bersabda : “Wajib atas pemimpin untuk berhukum pd apa2 yg diturunkan ALLAH dan mengembalikan amanah, jika ia melakukannya maka wajib atas rakyat untuk mendengar dan taat.”  (HR Bukhari Muslim)

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yg diriwayatkan dlm shahihain dan an-Nasai dari abu Hurairah ra bhw nabi SAW sangat memerintahkan untuk taat pd para pemimpin, sabdanya SAW : “Barangsiapa yg taat kepadaku maka ia telah taat pd ALLAH dan barangsiapa yg tdk taat kepadaku maka ia tdk taat pd ALLAH, barangsiapa yg taat pd pemimpin maka ia telah taat pdku dan barangsiapa yg tdk taat pd pemimpin maka ia tdk taat pdku.”  (dlm Jami’ al-Ushul 4/63)

Dan juga disebutkan oleh al-Bukhari dari Anas ra bhw nabi SAW bersabda : “Dengarlah dan taatilah walaupun yg memerintah kalian adalah seorang budak hitam yg kepalanya seperti kismis (saking hitamnya), selama ia berpegang pd KitabuLLAH.”  (juga diriwayatkan oleh Ahmad)

Juga diriwayatkan oleh jama’ah (kecuali Bukhari dan abu Daud) dari Ummul Hushain al-Ahmasiyyah berkata : Aku mendengar nabi SAW bersabda : “Wahai sekalian manusia taqwalah kepada ALLAH, walaupun pemimpinmu itu seorang budak yg sangat hitam sampai keujung2nya, dengarlah dan taatlah sepanjang ia menegakkan kitabuLLAH ‘azza wa jalla.”  (Dlm jami’us shaghir 1/219)

Demikian pula diriwayatkan oleh syaikhain, Ahmad, abu Daud dan Tirmidzi dari Ibnu Umar bhw nabi SAW bersabda ; “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya atas yg dipimpinnya.”  Juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Anas ra bhw ALLAH SWT akan menanyakan pd tiap pemimpin atas apa yg dipimpinnya apakah ia menjaganya atau menyia2kannya.

Demikianlah hadits2, jika masih dianggap blm cukup dalil ttg wajibnya khilafah maka ada pula berbagai dalil logika yaitu bhw tdk mungkin manusia dibiarkan demikian tanpa pimpinan sehingga pastilah akan hilang kekuatannya dan pasti rusak binasa. Maka sesuatu kewajiban yg tdk mungkin terlaksana kecuali dg sesuatu yg lain maka sesuatu yg lain itu menjadi wajib, selama diantara keduanya ada keterikatan satu dg yg lain. Oleh karena itulah para sahabat ra mementingkan untuk menegakkannya sehingga tegak karenanya kewajiban2 yg paling penting, dan mereka berkumpul untuk membicarakannya sebelum jasad nabi SAW selesai dikuburkan, oleh karena itu maka khilafah merupakan struktur dlm keagamaan yg wajib bagi muslim untuk memperhatikannya.

Khilafah termasuk salah satu diantara fardhu kifayah, dalil2 atas fardhunya adalah :
a.       Ia merupakan salah satu sunnah rasul SAW.
b.       Telah ijma’ seluruh kaum muslimin akan urgensi mendirikannya pasca nabi SAW.
c.       Mayoritas kewajiban2 syariat baru dpt terlaksana setelah berdirinya khalifah atau imam.
d.       Nash2 al-Qur’an dan as-Sunnah mewajibkan untuk mendirikannya.
e.       Kewajiban kaum muslimin untuk mengambil dan bersatu dibawah naungan al-Qur’an di bawah 1 negara, yaitu negara Islam.

5.       OBYEK  KHILAFAH
Diantaranya adalah bhw nabi SAW memiliki banyak hal2 yg dipentingkan, beliau SAW telah berusaha menyampaikan, melaksanakan, memuliakan dan berhukum pd apa2 yg diturunkan ALLAH. Dan sesungguhnya masyarakat yg telah didirikan oleh nabi SAW tidak tegak hanya dg dakwah saja, melainkan merupakan kekuatan fisik yg tegak pd sisi dakwah untuk menjaganya serta untuk membantu dlm penyebarannya.

Dan menjadi sesuatu yg wajar untuk mendakwahi manusia pd awalnya tanpa kekuatan, sampai mereka mendengar kalimat kebenaran dan memahami aspek2 Islam, lalu datanglah peranan kekuatan dan kekuasaan untuk menjaga kebenaran tsb dan menumbangkan kebatilan melalui caranya serta untuk membentuk masyarakat yg islami yg muncul padanya bekas2 Islam dan masyarakat tsb tdk mungkin tegak tanpa suatu struktur kepemimpinan.

Dan diantara hal yg sdh jelas bhw nabi SAW merupakan pemimpin ruhiyyah dan materi sekaligus, dimana kepemimpinan materinya tegak di bwh naungan syariat yg dibawanya, dan beliau SAW memimpin manusia dan menghukumi diantara mereka dg aturan syariat tsb. Dan telah sempurna syariat tsb dlm kehidupan beliau SAW dan telah terputus wahyu setelah jelasnya dasar2 umum yg manusia dan negara wajib berhukum di atas dasar2nya dan di bwh naungannya. Oleh karena itu maka khilafah tidak hanya tegak pd sisi materi saja melainkan disandarkan pd agama, maka tidaklah khalifah tsb boleh keluar dari dasar2 tsb walaupun sisi ijtihad juga dibenarkan pdnya. Maka khalifah bukanlah penguasa mutlak melainkan sangat amat bergantung pd dalil2 dan dasar2 umum tsb.

6.       KEMUNGKINAN  BERKEMBANGNYA  STRUKTUR  KHILAFAH
Khilafah bukan hanya untuk urusan dunia saja, melainkan pd urusan agama dan dunia, maka ia adalah salah satu struktur dari struktur hukum yg harus ada bagi suatu masyarakat Islam, dan dimungkinkan pengembangan strukturnya sesuai dg perkembangan zaman dan demi terealisasikannya maslahat bagi manusia, selama dasar dari struktur hukum yg dibawa oleh nash2 yg tetapnya tdk berubah. Karena pengambilan maslahat tergantung pd hal pengambilan bentuk khilafah tsb, karena jika tdk demikian maka syariat menjadi pemutus diantaranya tanpa menggunakan lagi kaidah umum maupun akal.

7.       METODE  DLM  PEMILIHAN  KHALIFAH
Jumhur kaum muslimin ahlus-sunnah berpendapat bahwa khilafah disempurnakan melalui cara bai’at diantara ahlul halli wal ‘aqdi yaitu dg pemilihan diantara mereka, disebutkan dlm al-Muntaqa bhw : Mazhab ahlus-sunnah berpendapat bhw Imamah diikat diantara mereka atas kesepakatan diantara ahli syuro yang menghasilkan tujuan kepemimpinan tsb... Kemudian dikatakan : Mk Abubakar ra berhak menjadi imamah karena kesepakatan diantara mereka atasnya, mk beliau ra menjadi Imam dg bai’at dikalangan org yg berwenang. Demikian pula khalifah Umar ra yaitu dg berbai’atnya manusia pdnya, walaupun Abubakar ra telah menunjuknya Umar ra tdk menjadi Imam, mk Umar ra tdk dpt menjadi Imam jk hanya  dibai’at oleh Abubakar ra tanpa bai’at dr sahabat2 yg lainnya. Dan jelas sekali bhw nabi SAW tdk menunjuk penggantinya, melainkan hanya memberikan petunjuk dan isyarat kearahnya, maka dasar kekuasaan Imam adalah pembai’atan mayoritas mereka dan keridhoan mereka atasnya, maka ummat merupakan penjaga syariat. (al-Muntaqa 415-457)


Khilafah (Bag. 1): Makna Khilafah dalam Al-Qur’an dan Sunnah

(Sebuah Pengantar Kajian)
Salah satu bahasa politik Islam yang sering menjadi perbincangan di kalangan umat Islam dewasa ini adalah terma Khilafah. Ada beragam persepsi dan sikap yang muncul saat mendengar kata ini. Sebagian pihak ada yang merasa alergi, sebagian lain ada yang tiba-tiba ghirah-nya berapi-api, dan ada juga yang tidak mengerti, lalu tidak peduli.
Tulisan sederhana ini berusaha merangkum ragam pandangan tentang khilafah—bukan untuk membahasnya secara tuntas, tetapi hanya sekedar memberi prolog bagi diskusi dan kajian lebih lanjut.
Makna Khilafah dalam Al-Qur’an dan Sunnah[1]
Hal pertama yang harus kita pahami berkenaan dengan terma Khilafah adalah pengertian dasar tentang konsep khilafah sebagai bahasa politik Islam yang orisinil dari nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Al Khilafah dalam Al-Qur’an
Kata الخلافة (al khilafah) berasal dari akar kata خلف (khalfun) yang arti asalnya “belakang” atau lawan kata “depan”.[2] Dari akar kata khalfun berkembang menjadi berbagai pecahan kata benda seperti khilfatan (bergantian); khilafah (kepemimpinan sebagai pengganti);  khalifah, khalâifkhulafâ (pemimpin, pengganti); ikhtilâf (berbeda pendapat); dan istikhlâf (penggantian).
Kata kerja yang muncul dari kata khalfun adalah kha-la-fa (خلف) artinya mengganti; ikh-ta-la-fa (إختلف) yang artinya berselisih, berbeda pendapat; dan kata is-takh-la-fa ( استخلف) yang artinya menjadikan sesuatu sebagai pengganti.
Di dalam al-Qur’an terdapat sekurang-kurangnya 127 ayat yang menyebut kata yang berakar dari kata khalfun. Tetapi hanya dua kali menyebut dalam bentuk kata benda yang diatributkan kepada manusia sebagai “khalifah”, yaitu pada surat Al Baqarah ayat 30 dan surat Shâd ayat 26. Selebihnya berbicara tentang kedudukan manusia sebagai makhluk yang saling bergantian menempati dan memakmurkan bumi dari generasi ke generasi berikutnya, atau dalam makna pergantian siang malam, dan perpedaan pendapat. Sebagai contoh penggunaan ayat-ayat tersebut dapat kita lihat di bawah ini:
Pertama, kata khalfun dalam pengertian “generasi pengganti yang berperilaku buruk”. Disebutkan dua kali yaitu pada surat al A’raf ayat 169 dan surat Maryam ayat 59. Pada surat al A’raf dikatakan,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لاَ يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاَّ الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?”
Pada surat Maryam ayat 59 dikatakan:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
Yang dimaksud dengan generasi yang jahat pada ayat pertama di atas menunjuk kepada generasi yang datang sesudah masa dan generasi para Nabi dan Rasul di kalangan Bani Israil. Mereka adalah generasi yang mempermainkan hukum Allah dan memperjual belikannya ayat-ayatnya dengan keuntungan materi. Di antaranya dengan menyelewengkan hukum melalui penyuapan, risywah dan korupsi dalam kekuasaan. Sedang generasi yang buruk pada ayat kedua di atas menunjukan generasi yang datang seduah masa generasi para nabi dan orang-orang saleh dari kalangan Bani Israil, dan termasuk juga generasi yang buruk yang datang pada umat Nabi Muhammad di akhir zaman. Mereka adalah generasi yang meninggalkan shalat dan tenggelam dalam pemuasan berbagai kesenangan dunia.[3]
Kedua, kata khulafa (bentuk jamak mudzakar maknawi dari kata khalîfah),[4]yang berarti generasi baru atau kaum pengganti yang mewarisi bumi dari kaum sebelumnya yang dibinasakan karena mereka tidak beriman.

وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-A’raf, 7: 69)[5]
Ketiga, Al Khalaif (bentuk jamak lafdzi dari kata khalifah), yang berarti kaum yang datang untuk menggantikan kaum yang lain dalam menempati dan menguasai bumi.[6]

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-An’am, 6: 165).[7]
Keempat, kata Khalifah dengan bentuk mufrad (singular) dalam pengertian seseorang yang diberi mandat kekuasaan oleh Allah sebagai penguasa bumi dan pemimpin terhadap manusia lainnya. Istilah khalifah dalam bentuk singular disebutkan Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu ketika menyebutkan kedudukan Nabi Adam dan Nabi Dawud.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 30)

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (QS. Shad, 38: 26)
Kelima, dalam bentuk kata kerja Istakhlafa, yang artinya menjadikan seseorang atau satu kaum sebagai khalifah, para pemimpin, pewaris dan penguasa bumi setelah kaum yang lain.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka (para khalifah) berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. Nur, 24: 55)
Keenam, kata mustakhlaf (bentuk maf’ul dari istakhlafa) artinya orang-orang yang dijadikan pewaris bumi dan diberi kewenangan atau mandat untuk menguasainya, untuk menunjukan bahwa penguasaan manusia terhadap dunia adalah penguasaan nisbi dan majazi, karena penguasa dan pemilik hakikinya hanyalah Allah Ta’ala.[8]

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” (QS. Al-Hadid, 57: 71)
Khilafah dalam Hadist Nabi
Dalam hadits Nabi, penyebutan kata khalifah atau khulafâ lebih banyak daripada yang disebutkan dalam Al Qur’an dengan makna yang lebih tegas terhadap kepemimpinan. Di bawah ini dibawakan beberapa contoh:

عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dari Abu Hazim dia berkata, “Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah selama lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa.’ Para sahabat bertanya, ‘Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?’ Beliau menjawab: ‘Tepatilah baiat yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka.’” (Shahih Muslim, No. 3429; Shahih Bukhari, No. 3196; Musnad Ahmad, No.7619; dan Ibnu Majah No. 2862)

عَنْ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Dari Hudzaifah, Rasulullah bersabda, “Di tengah-tengah kalian ada Kenabian dan akan berlangsung sekehendak Allah. Lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian dan berlangsung sekendak-Nya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Kerajaan yang lalim yang berlangsung sekehendak Allah. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Kerajaan yang Otoriter berlangsung sekendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian”. Kemudian beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) diam. (Musnad Ahmad, No. 18406)

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ أَبِى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ هَذَا الأَمْرَ لاَ يَنْقَضِى حَتَّى يَمْضِىَ فِيهِمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً ». قَالَ ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلاَمٍ خَفِىَ عَلَىَّ – قَالَ – فَقُلْتُ لأَبِى مَا قَالَ قَالَ « كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.

Dari Jabir bin Samurah, “Aku bersama bapakku masuk kepada Nabi, maka aku mendengar beliau bersabda, ‘Sesungguhnya urusan (Agama Islam) ini tidak akan berakhir sampai berlangsung di tengah mereka dua belas khalifah’. Kemudian beliau berkata dengan perkataan yang samar bagiku. Maka Aku bertanya kepada ayahku apa yang disabdakan beliau? Ayahku menjawab, ‘Semuanya dari Quraesy’”.(Shahih Muslim, No. 4809. Sunan Abu Dawud, No. 4279)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اسْتُخْلِفَ خَلِيفَةٌ إِلاّ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخَيْرِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ

Dari Abu Said al Hudri, dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Tidaklah seorang khalifah diangkat melainkan ia mempunyai dua teman setia. Teman setia yang menyuruh dengan kebaikan dan teman setia yang menyuruh dengan keburukan dan menganjurkannya. Orang yang terpelihara adalah ia yang dipelihara Allah.” (Shahih Bukhari, No. 6611. Sunan Tirmidzi, No. 2474)
*****
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi. Kekhalifahan manusia di muka bumi mencakup dua makna: makna yang umum, bahwa seluruh manusia adalah khalifah karena mereka dipilih oleh Allah sebagai penguasa dan pemimpin atas makhluk lainnya yang ada di muka bumi; mereka juga disebut khalifah karena datang dan pergi bergantian dari generasi ke generasi.
Makna kekhalifahan yang khusus adalah kepemimpinan seseorang atas manusia yang lain. Oleh karena itu dalam makna yang khusus seperti ini tidak semua manusia bisa disebut sebagai khalifah. Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu yang telah diatur oleh syariat yang berhak menjabatnya. Kekhilafahan dalam makna ini identik dengan imamah atau kepemimpinan formal dalam masyarakat dan negeri muslim. Kekhilafahan dalam makna ini pula yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi yang berbicara tentang kepemimpinan Islam. Atas dasar itu, kekhilafahan dalam konteks ini dapat diistilahkan sebagai khilafah syar’iyah kepemimpinan berdasarkan syariat Islam.

Catatan Kaki:

[1] Pembahasan ini kami ringkas dari sebuah risalah yang berjudul: Makna Khilafah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yang dimuat di website resmi persis.or.id (tidak disebutkan nama penulisnya).
[2] Ahmad Ramadhan Ahmad, Al Khilafah fi al hadarah al islâmiyah, (Jedah:Darul Bayan Al Arabiyah, t.t), hlm. 5.
[3] Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, (Darut Thayibah, 1999), Juz III, hlm. 498, dan Juz V, hlm. 245
[4] Syamsuddin Al Qurthuby, Al Jâmi’ li ahkâm al Qur’ân, (Kairo: Darul Kutub al Misriyah, 1964), Juz VII, hlm. 236.
[5] Silahkan lihat pula: QS. Al-A’raf, 7: 74.
[6] Syamsuddin Al Qurthuby, Al Jâmi’ li ahkâm al Qur’ân, (Kairo: Darul Kutub al Misriyah, 1964), Juz VII, hlm.158
[7] Lihat pula: QS. Yunus, 10: 14 dan QS. Fathir: 39, 10: 35.
[8] Syamsuddin Al Qurtuby, ibid, Juz XVII, hlm. 238


Khilafah (Bag. 2): Urgensi Siyasah, Wilayah, Mulkiyah, dan Khilafah

Sebelum mengulas tentang Khilafah lebih lanjut, kita pun perlu mengetahui bahwa dalam warisan literatur Islam banyak sekali ditemukan ungkapan para ulama berkenaan dengan siyasah (politik), wilayah (kepemimpinan), mulkiyah (kekuasaan), dan khilafah yang menggambarkan tentang urgensi semua itu dalam kehidupan beragama umat Islam. Point penting yang ingin disampaikan disini adalah karakter dan cakupan ajaran Islam yang tidak bisa dipisahkan dari politik syar’iyah.
Berkata Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali,

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛ فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .

“Siyasah (politik) adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan, walau pun (tindakan itu) belum diatur oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wahyu Allah pun tidak membicarakannya. Jika yang Anda maksud dengan ungkapan ‘Tidak ada politik kecuali harus sesuai syariat’ adalah politik tidak boleh bertentangan dengan nash (teks) syariat, maka itu benar.  Tetapi jika yang dimaksud dengan ungkapan itu adalah politik harus selalu sesuai teks syariat, maka itu keliru dan bertentangan dengan yang dilakukan para sahabat. Para khulafa’ur rasyidin telah banyak  melakukan kebijaksanaan sendiri yang tidak ditentang oleh para sahabat nabi lainnya, baik kebijakan dalam peperangan atau penentuan jenis hukuman. Pembakaran mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani, pen) yang dilakukan oleh Utsman semata-mata pertimbangan akal demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid. Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.” (I’lamul Muwaqi’in, 6/26. Syamilah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلَايَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ ; بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا . فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لَا تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إلَّا بِالِاجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إلَى بَعْضٍ وَلَا بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ الِاجْتِمَاعِ  مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ } . رَوَاهُ أَبُو داود  مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ . وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَد فِي الْمُسْنَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُونُونَ بِفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ إلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ } فَأَوْجَبَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَأْمِيرَ الْوَاحِدِ فِي الِاجْتِمَاعِ الْقَلِيلِ الْعَارِضِ فِي السَّفَرِ تَنْبِيهًا بِذَلِكَ عَلَى سَائِرِ أَنْوَاعِ الِاجْتِمَاعِ . وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَلَا يَتِمُّ ذَلِكَ إلَّا بِقُوَّةِ وَإِمَارَةٍ . وَكَذَلِكَ سَائِرُ مَا أَوْجَبَهُ مِنْ الْجِهَادِ وَالْعَدْلِ وَإِقَامَةِ الْحَجِّ وَالْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ . وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ لَا تَتِمُّ إلَّا بِالْقُوَّةِ وَالْإِمَارَةِ ; وَلِهَذَا رُوِيَ : { أَنَّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ } . وَيُقَالُ { سِتُّونَ سَنَةً مِنْ إمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلَا سُلْطَانٍ } . وَالتَّجْرِبَةُ تُبَيِّنُ ذَلِكَ . وَلِهَذَا كَانَ السَّلَفُ – كالفضيل بْنِ عِيَاضٍ  وَأَحْمَد بْنِ حَنْبَلٍ وَغَيْرِهِمَا – يَقُولُونَ : لَوْ كَانَ لَنَا دَعْوَةٌ مُجَابَةٌ لَدَعَوْنَا بِهَا لِلسُّلْطَانِ

“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengurus urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali dengan memadukan antara keduanya,  di mana satu sama lain saling menguatkan. Dalam perkumpulan seperti inilah diwajibkan adanya kepemimpinan, sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” Diriwayatkan Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah.   
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amru, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.” Rasulullah mewajibkan seseorang memimpin sebuah perkumpulan kecil dalam perjalanan, demikian itu menunjukkan juga berlaku atas  berbagai perkumpulan lainnya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan yang demikian itu tidaklah sempurna melainkan dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian juga kewajiban Allah lainnya seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, shalat Jumat hari raya, menolong orang tertindas, dan menegakkan hudud. Semua ini tidaklah sempurna kecuali dengan kekuatan dan imarah (kepemimpinan). Oleh karena itu diriwayatkan: “Sesungguhnya sultan adalah naungan Allah di muka bumi.” Juga dikatakan: “Enam puluh tahun bersama pemimpin zalim masih lebih baik dibanding semalam saja tanpa pemimpin.” Pengalaman membuktikan hal itu. Oleh karena itu, para salaf – seperti Al Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hambal serta yang lain- mengatakan: “Seandainya kami memiliki doa yang mustajab, niscaya akan kami doakan pemimpin.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)
Al ‘Allamah Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata,

فَلَا يُقَالُ : إنَّ السِّيَاسَةَ الْعَادِلَةَ مُخَالِفَةٌ لِمَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ ، بَلْ هِيَ مُوَافِقَةٌ لِمَا جَاءَ بِهِ ، بَلْ هِيَ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِهِ ، وَنَحْنُ نُسَمِّيهَا سِيَاسَةً تَبَعًا لِمُصْطَلَحِهِمْ ، وَإِنَّمَا هِيَ عَدْلُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، ظَهَرَ بِهَذِهِ الْأَمَارَاتِ وَالْعَلَامَاتِ .

“Maka, tidaklah dikatakan, sesungguhnya politik yang adil itu bertentangan dengan yang dibicarakan syariat, justru politik yang adil itu bersesuaian dengan syariat, bahkan dia adalah bagian dari elemen-elemen syariat itu sendiri. Kami menamakannya dengan politik karena mengikuti istilah yang mereka buat. Padahal itu adalah keadilan Allah dan RasulNya, yang ditampakkan tanda-tandanya melalui politik.” (Imam Ibnul Qayyim, Ath Thuruq Al Hukmiyah, Hal. 17. Syamilah)
Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al Ghazali berkata,  

فإن الدنيا مزرعة الآخرة، ولا يتم الدين إلا بالدنيا. والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان

“Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan  pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq)
Al ‘Allamah Ibnu Khaldun  berkata,

والخلافة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها، إذ أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة، فهي في الحقيقة خلافة عن صاحب الشرع في جراسة الدين وسياسة الدنيا به. فافهم ذلك واعتبره فيما نورده عليك، من بعد. والله الحكيم العليم.

“Khilafah adalah upaya langkah membawa manusia ke arah yang sesuai pandangan syariat dalam mencapai maslahat kehidupan mereka baik akhirat dan dunia. Karena seluruh maslahat dunia ini menurut syariat Islam akan  bermuara pada maslahat akhirat. Pada hakikatnya khilafah itu berasal dari Pemilik Syariat dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Maka fahamilah dan ambilah pelajaan dari hal itu sepanjang yang kami sampaikan kepadamu. Dan Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 2/518. Lajnah Bayanil Arabi)
Prof. Dr. Yusuf Al Qaradhawi berkata, “Sepanjang sejarah kaum muslimin tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan dunia, agama dan politik, atau agama dan negara seperti sekarang ini. Dulu, Rasulullah adalah pemegang kekuasaan baik agama maupun dunia, karena itu fuqaha kemudian membagi ajaran dan sikap Rasulullah menjadi tiga. Pertama. Beliau sebagai Nabi yang menyampaikan wahyu Allah. Kedua. Beliau sebagai hakim yang membuat keputusan hukum. Ketiga. Beliau sebagai kepala Negara yang menangani persoalan bangsa.” (Meluruskan Dikotomi Agama Dan Politik, Hal. 143. Pustaka Al Kautsar)[1] 
[1] Dikutip dari: Seuntai Bunga Rampai Politik Islam, Farid Nu’man Hasan.

Khilafah (Bag. 3): Definisi Khilafah/Imamah

Di awal perlu ditegaskan bahwa kata Khilafah, Imamah, atau Imaratul Mu’minin adalah sinonim, sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi rahimahullah,

وَالإِمَامَةُ وَالْخِلاَفَةُ وَإِمَارَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ مُتَرَادِفَةٌ، وَالْمُرَادُ بِهَا الرِّياَسَةُ الْعَامَّةُ فِي شُؤُوْنِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا

“Imamah, Khilafah dan Imaratu al-Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia.”[1]
Imam Al-Mawardi rahimahullah berkata,

الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

“Imamah (kepemimpinan) merupakan term bagi wakil kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.”[2]
Disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah sebagai berikut,

وَهِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا نِيَابَةً عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُسَمَّى أَيْضًا الإْمَامَةَ الْكُبْرَى

“Itu adalah kepemimpinan umum dalam agama dan dunia sebagai wakil dari  nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dinamakan juga Imamah Al kubra.”[3]
Khilafah disebut Al-Imamatul Kubra karena ia merupakan kepemimpinan tunggal atau negara internasional bagi seluruh umat Islam. Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Min Fiqhud Daulah Fil Islam menyebutkan salah satu sifat negara yang dibangun Islam adalah negara internasional/global,
“Islam bukanlah negara rasisme dan regionalisme, tidak didirikan berdasarkan batas-batas geografis. Akan tetapi, negara ini pada dasarnya adalah suatu negara yang terbuka bagi setiap orang yang mengimani berbagai prinsipnya secara sukarela tanpa paksa. Negara Islam adalah negara internasional, karena risalah Islam adalah risalah internasional. Negara Islam dibangun berdasarkan aqidah dan pemikiran. Dalam negara ini semua perbedaan akan mencair; seperti perbedaan suku, negeri, bahasa dan warna kulit. Semua rakyat disatukan oleh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Rasul, dan Kitab yang satu. Mereka disatukan oleh hati yang satu, syiar yang satu, syariat yang satu, akhlaq yang satu. Dengan demikian terbentuklah umat yang satu, baik lahir maupun batin….Hal ini tidak berarti bahwa negara Islam menolak kehadiran non muslim dalam wilayahnya. Bahkan negara Islam menyambut mereka dan berjuang melindungi mereka, selama mereka menerima berbagai ketentuan sipil syariat Islam. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan aqidah, ibadah dan ketentuan-ketentuan perorangan yang mereka miliki, maka mereka bebas menjalankannya sesuai dengan ajaran agama mereka.”[4]
Lebih lanjut, Syaikh Qaradhawi mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah bukan hanya sekedar pemerintahan Islam di suatu daerah, tapi ia juga harus menerapkan nilai-nilai Islam sepenuhnya kepada rakyatnya. Pemerintahan ini ditegakkan berdasarkan tiga prinsip:
Pertama, kesatuan wilayah Islam. Betapapun beragamnya tanah air dan negeri Islam, semua itu merupakan wilayah yang satu dan umat yang satu pula.
Kedua, kesatuan referensi legislasi, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga, kesatuan kepemimpinan pusat yang dibawahi oleh Imam Tertinggi atau Khalifah.
Namun, sebagian pihak ada pula yang memahami khilafah/imamah bisa berbentuk negara nasional untuk sebagian umat Islam. H. Sulaiman Rasyid, dalam bukunya Al-Fiqhul Islami—sebuah buku fiqih Islam yang monumental bagi muslimin Indonesia—menyinggung tentang hal ini; beliau berkata: “Al-Khilafah dapat ditegakkan dengan perjuangan umat Islam yang teratur menurut keadaan dan tempat masing-masing umat, baik berbentuk nasional untuk sebagian umat Muslimin yang merupakan suatu bangsa yang memperjuangkan suatu negara yang telah mereka tentukan batas-batasnya, sebagaimana telah terjadi mulai dari Khilafah Umawiyah, Khilafah Abbasiyah dan lain-lain sesudah itu diakui dan dita’ati oleh ulama Muslimin. Atau berbentuk umum (internasional) untuk seluruh Islam sedunia.
Bentuk yang kedua inilah yang sering kita dengar dibicarakan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang terkemuka, seperti gerakan Syaukat Ali bersama saudaranya Mohammad Ali di India; demikian pun di tempat lain-lain oleh pemimpin-pemimpin Islamlainnya. Memang diakui bahwa bentuk yang kedua ini lebih baik, tetapi selama negara-negara yang penduduknya kaum Muslimin masih dikuasai oleh kekuatan tangan penjajah, bentuk yang kedua itu tidak akan berhasil dan tidak berarti.”[5]
Kepemimpinan Islam pun menurut mereka dapat ditegakkan tanpa melihat sistem dan bentuk formalnya, baik itu khilafah maupun kerajaan; asalkan dibangun berdasarkan prinsip musyawarah, keadilan, kesamaan, penegakan hukum syariat, dan kemaslahatan umat.
Karena itu, menurut mereka, andaipun kepimpinan atau pemerintahan itu menggunakan terma kekhilafahan Islam, tetapi jika syariat tidak dilaksanakan, kezaliman dan kekejaman merajalela, maka tidak patut disebut sebagai kepemimpinan khilafah yang syar’i.
Suatu saat ’Umar bin Khaththab bertanya kepada Salman Al-Farisi tentang perbedaan raja dan khalifah;  Salman kemudian menjawab, “Apabila engkau mengumpulkan dari bumi kaum muslimin dirham (harta) baik sedikit ataupun banyak, yang kemudian engkau pergunakan tidak sesuai dengan haknya, maka engkau adalah raja. Adapun khalifah, maka ia berbuat adil kepada rakyat, membagi antara mereka dengan sama rata, sangat memperhatikan mereka (rakyatnya) sebagaimana perhatiannya seorang laki-laki terhadap anggota keluarganya atau seperti orang tua kepada anaknya, dan memutuskan perkara di antara mereka dengan Kitabullah” [6]
Sebaliknya meskipun suatu kepemimpinan dan pemerintahan berbentuk kerajaan, republik, atau yang lainnya, namun syariat dilaksanakan, keadilan dan kebajikan merata, maka ia dikatakan sebagai khilafah dan pemimpinya layak disebut sebagai Khalifah atau Amirul mukminin. Sebagaimana Allah Ta’ala memanggil Nabi Dawud sebagai Khalifah meskipun beliau berkedudukan sebagai Nabi dan Raja Bani Israil. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz, dalam pemerintahan Dinasti Umayah, dan Harun Al Rasyid dalam Dinasti Abasiyah, meskipun keduanya dipilih bukan berdasarkan syura seperti para Khulafaur Rasyidin, keduanya diakui sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ويجوز تسمية من بعد الخلفاء الراشدين ‏[‏خلفاء‏]‏ وإن كانوا ملوكا، ولم يكونوا خلفاء الأنبياء بدليل ما رواه البخاري ومسلم في صحيحيهما عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال‏:‏ ‏(‏كانت بنو إسرائيل يسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر، قالوا فما تأمرنا ‏؟‏ قال‏:‏ فوا ببيعةالأول فالأول، ثم أعطوهم حقهم، فإن الله سائلهم عما استرعاهم‏)‏‏.‏ فقوله‏:‏‏(‏فتكثر‏)‏ دليل على من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا‏.‏ وأيضا قوله‏:‏‏(‏فوا ببيعة الأول فالأول‏)‏ دل على أنهم يختلفون، والراشدون لم يختلفوا‏

”Boleh saja menyebut khalifah terhadap orang-orang yang memimpin setelah era Khulafaur-Rasyidin, walaupun mereka sebenarnya adalah raja dan bukan pula sebagai pengganti para Nabi. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka dari Abi Hurairah radhiyallahu ’anhu, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda: ‘Adalah Bani Israil dibimbing oleh banyak nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, maka digantikan oleh nabi yang lain. Tidak ada nabi lagi setelahku. Dan kelak akan ada beberapa khalifah yang kemudian menjadi banyak’. Mereka (para shahabat) bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?’ Beliau shallallahu ’alaihi wasallam menjawab: ‘Patuhilah khalifah yang mendapatkan baiat yang pertama, dan penuhilah hak mereka. Karena Allah kelak akan meminta  pertangungjawaban atas kepemimpinan mereka’. Sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : fataktsuru (فتكثر) adalah sebagai dalil bahwasanya yang beliau maksudkan adalah khalifah selain Al-Khulafaur-Rasyidin, karena Al-Khulafaur-Rasyidin tidak banyak jumlahnya. Dan juga sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam: fuu bi-bai’atil-ula fal-ulaa (فوا ببيعة الأول فالأول); menunjukkan bahwasannya mereka berselisih, padahal Khulafaur-Rasyidin itu tidaklah berselisih”[7]
Ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama berkaitan dengan format khilafah apakah harus berwujud kepemimpinan tunggal ataukah boleh berbilang akan dibahas lebih lanjut secara ringkas. Insya Allah.

Catatan Kaki:

[1] al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab (XXI/26)
[2] Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 3. Mawqi’ Al Islam.
[3] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/196. Wizarat Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah.
[4] Fiqih Negara, Yusuf Qaradhawi, hal. 31 – 32
[5] Al-Fiqhul Islami, H. Sulaiman Rasyid, hal. 465.
[6] Ath-Thabaqatul-Kubra, Ibnu Sa’ad 3/306
[7] Majmu’ Al-Fatawa, 35/20


Khilafah (Bag. 4): Dasar Kewajiban dan Hukum Menegakkan Khilafah/Imamah

Dasar kewajiban menegakkan Khilafah/Imamah adalah sebagai berikut,[1]
Dalil dari Al-Qur’an:
Pertama, Surat an-Nisa’ ayat 59:
Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.”
Ketika menyebutkan pendapat para mufassir tentang makna ulil amri, Imam ath-Thabari menyimpulkan, “Pendapat yang paling benar adalah pendapat (yang mengatakan, red.), ‘Mereka adalah para penguasa yang menaati Allah dan mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin.’”(Jami’ul Bayan, ath-Thabari: 8/502).
Wajhul istidlal dari ayat ini: Allah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menaati penguasa, dan perintah untuk taat menjadi dalil wajibnya mengangkat pemimpin. Karena Allah tidak memerintahkan ketaatan kepada orang yang tidak ada wujudnya.
Kedua, Surat al-Ma’idah ayat 49
Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” 
Perintah Allah kepada Rasul-Nya agar memutuskan perkara berdasarkan syariat yang diturunkan Allah. Perintah kepada Rasul ini juga berlaku bagi umat beliau, sehingga mereka wajib untuk menegakkan hukum sesuai syariat yang diturunkan Allah, hingga hari kiamat. Penegakan hukum ini tidak mungkin bisa tegak kecuali dengan mengangkat pemimpin. Karena itu termasuk tugasnya. Dengan demikian, seluruh ayat yang memerintahkan untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah menjadi dalil tentang wajibnya mengangkat pemimpin (imam).
Ketiga, Surat al-Hadid ayat 25
Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab, dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu), dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Tugas para Rasul dan para pengikut mereka sepeninggalnya adalah menegakkan keadilan di antara manusia sesuai dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an, dan menopangnya dengan kekuatan. Olehnya, pengikut para rasul harus mengangkat Imam yang menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka, dan mengatur para pasukan yang akan membelanya. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyah berkata, “Agama yang haq (Islam) harus ditopang oleh al-Kitab yang memberi petunjuk, dan pedang yang menolong….. al-Kitab akan menjelaskan apa yang diperintah dan dilarang  oleh Allah, sedang pedang yang akan menolong dan menguatkannya.” (Minhajus Sunah an-Nabawiyah: 1/142).
Dalil dari Sunah Qauliyah:
Ada banyak hadits Nabi yang menunjukkan tentang kewajiban mengangkat seorang imam, di antaranya adalah:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَة مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّ

“Barangsiapa yang mati, dan di lehernya tidak terdapat baiat, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim, nomor 1851).
Ini adalah dalil yang jelas tentang wajibnya mengangkat seorang imam, karena jika baiat itu diwajibkan atas setiap muslim, maka mengangkat imam itu juga wajib. Karena baiat tidak terjadi kecuali kepada imam.
Kedua, hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤمِّرُوْا أَحَدَهُمْ

“Jika ada tiga orang yang bepergian, maka hendaklah mereka menjadikan satu orang sebagai pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud, nomor 2608).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika dalam komunitas yang paling sedikit, dan perkumpulan yang paling kecil diwajibkan untuk menjadikan salah satunya sebagai pemimpin, maka ini adalah penyerupaan tentang kewajiban untuk komunitas yang lebih besar dari itu.” (al-Hisbah, hal. 11).
Dalil dari Sunah Fi’liyah: 
Perintah untuk mengangkat seorang imam atau khalifah itu tidak hanya berdasarkan hadits qauliyah saja, tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri yang telah mempraktekkannya. Beliau mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, dan beliau yang menjadi imam pertama terhadap pemerintahan tersebut. Setelah Allah telah mempersiapkan orang-orang yang menolong agama ini dan membela Rasul-Nya, beliau mulai membangun pondasi-pondasinya, beliau mempersatukan antara suku Aus dan Khazraj dan meredam permusuhan panjang di antar mereka, kemudian beliau mempersaudarakan antara orang-orang Anshar dan Muhajirin, mempersiapkan pasukan mujahid yang siap  menyebarkan agama ini dan melindunginya. Beliau juga mengutus para utusan yang berisi ajakan kepada segenap raja di negeri-negeri sekitar Madinah untuk masuk Islam, mengikat kesepakatan dan perjanjian dengan orang-orang Yahudi dan selain mereka, menjelaskan hukum-hukum tawanan dan yang terkait dengannya, menerangkan hukum-hukum perang dan ahli dzimah.
Beliau juga mengatur Baitul mal kaum muslimin dan membagikannya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, menunjuk para amir dan hakim untuk mengurusi urusan kaum muslimin, menegakkan hudud syar’iyah dan hukuman-hukuman…, dan urusan-urusan lain yang sudah semestinya dilakukan oleh seorang pimpinan negara.
Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Telah tsabit (tetap) bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak meninggal, hingga beliau telah menjelaskan seluruh urusan agama dan dunia yang dibutuhkan, dan ini tidak ada perselisihan di antara ahli sunah.” (al-I’tisham: 1/64).
Karena memang, kekhilafahan seperti yang dipraktekkan oleh Nabi sendiri  merupakan tuntutan dari agama Islam ini.
Perbuatan yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi pemimpin dalam Negara Islam pertama menjadi dalil wajibnya kepemimpinan. Karena beliau telah menjelaskan hukum-hukum syar’i dengan perkataan, perbuatan dan penetapannya. Dan perbuatan beliau menuntut kewajiban. (Tafshilul Mas’alah fi Syarhil Kaukab al-Munir: 2/189, Ibnu Najar).[2]
Ijma’ Ulama tentang Wajibnya Menegakkan Khilafah/Imamah
Imam Al Mawardi  rahimahullah  berkata,

وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمْ الْأَصَمُّ ، وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهَا هَلْ وَجَبَتْ بِالْعَقْلِ أَوْ بِالشَّرْعِ ؟

“Menegakkannya bagi  manusia di tengah-tengah umat adalah wajib menurut ijma’kecuali menurut Al-Asham, yang berbeda pendapat dalam kewajiban ini; apakah wajib menurut akal atau wajib menurut syariat?” (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 3. Mawqi’ Al Islam)
Imam An Nawawi, seorang ulama Ahlus Sunnah, tegas menyatakan,

أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ

“Mereka (para sahabat) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.”[3]
Ulama Ahlus Sunnah yang lain, Ibnu Hajar al-Asqalani, juga menegaskan,

وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ.

“Mereka (para ulama) telah berijma’ (bersepakat) bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.”[4]
Imam Abu Ya’la al-Farra’ juga menyatakan:

نَصْبَةُ اْلإِمَامِ وَاجِبَةٌ

“Mengangkat Imam (Khalifah) adalah wajib.”[5]
Bahkan ijma’ ini bukan hanya bagi ahlus sunnah, tapi juga menurut murjiah, syi’ah, dan khawarij.  Hal ini dijelaskan oleh  Imam Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam   Al Fashl fil Milal sebagai berikut,

اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Telah sepakat semua ahlus sunnah, semua murjiah, semua syi’ah, semua khawarij, atas kewajiban adanya imamah,   dan sesungguhnya umat  wajib mengikatkan dirinya dengan pemimpin yang adil yang dapat menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan membimbing mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[6]
Ulama masa kini, Syaikh Wahbah Az Zuhaili rahimahullah, juga mengatakan demikian,

وهو الإجماع: أجمع الصحابة والتابعون على وجوب الإمامة، إذ بادر الصحابة فور وفاة النبي صلّى الله عليه وسلم وقبل تجهيز

“Itu adalah ijma’, para sahabat dan tabi’in telah ijma’ atas wajibnya imamah, hal ini dibuktikan dengan bersegeranya para sahabat secara langsung pada saat wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum mengurus jenazahnya.”[7]
Pernyataan seperti ini pernah diungkapkan oleh Ibnu Khaldun, “Jabatan imam ini wajib ditegakkan. Kewajibannya di dalam hukum Islam dikenal sebagai ijma para sahabat dan tabi’in. Para sahabat Rasulullah, ketika Rasulullah meninggal dunia, bersegera memilih penggantinya dan membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah dan menyerahkan segala urusan ummat kepadanya. Demikianlah, sampai kapan pun, setelah itu, manusia tidak boleh dibiarkan kacau tanpa adanya imam. Ini menegaskan keijma’an kaum Muslimin dalam persoalan mengangkat Imam”.[8]
Lebih lanjut di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa kewajiban menegakkan imamah ini merupakan kewajiban kifayah,

وَهَذَا الْوُجُوْبُ وُجُوْبُ كِفَايَةٍ كَالْجِهَادِ وَنَحْوِهِ، فَإِذَا قَامَ بِهَا مَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِهَا سَقَطَ الْحَرَجُ عَنِ الْكَافَّةَ، وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهَا أَحَدٌ أَثِمَ مِنْ النَّاسِ فَرِيقَانِ : ۱. أَهْلُ الِاخْتِيَارِ وَهُمْ أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَوُجُوْهِ النَّاسِ حَتَّى يَخْتَارُوا إمَامًا لِلْأُمَّةِ .۲. أَهْلُ الْإِمَامَةِ وَهُمْ مَنْ تَتَوَفَّرُ فِيْهِمْ شُرُوْطُ اْلإِمَامَةِ إِلىَ أَنْ يُنْصَبَ أَحَدُهُمْ إِمَامًا.

“Kewajiban mengangkat seorang imam ini adalah kewajiban kifayah seperti halnya jihad dan sesamanya. Apabila ada seseorang yang melaksanakannya, maka beban dosa gugur dari seluruh umat Islam. Apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka dua golongan dari umat Islam yang menanggung dosa. Pertama, ahli memilih, yaitu ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan para ulama dan tokoh masyarakat, sampai mereka memilih seorang imam bagi umat. Kedua, ahli imamah, yaitu mereka yang memenuhi kriteria menjadi imam, sampai salah seorang di antara mereka diangkat sebagai imam.” Pernyataan ini dikutip dari Imam Al-Mawardi rahimahullah. [9]
Berkaitan dengan ungkapan Imam Al-Mawardi rahimahullah di atas tentang dua golongan dari umat Islam yang menanggung dosa, Syaikh Sa’id Hawwa rahimahullah berkata, “Yang benar adalah dosa tersebut dipikul oleh seluruh kaum muslimin. Sebab seluruh kaum muslimin menjadi sasaran perintah Allah, dan mereka berkewajiban menegakkannya.”[10]

Catatan Kaki:

[1] Pembahasan ini dikutip dan diringkas dari: http://www.istidlal.org, Dalil-dalil Syar’i Tentang Wajibnya Mendirikan Khilafah.
[2] Sampai disini kutipan dari http://www.istidlal.org
[3] Al Minhaj Syarh Shahîh Muslim, 12/ 205
[4] Fathul Bari, 12/205
[5] Abu Ya’la Al Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 19
[6] Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal,   1/451. Mawqi’ Ruh Al Islam
[7] Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 8/273. Maktabah Misykah.
[8] Dikutip Sa’id Hawwa dalam Al-Islam, hal. 51.
[9] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 6. Hal. 217. Pernyataan ini dikutip dari al-Imam al-Mawardi, dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, hal. 3, al-Imam Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali, dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 19, dan al-Imam al-Qalqasyandi, dalam Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, juz 1, hal. 30 (Ust. Idrus Ramli).
[10] Al-Islam, Sa’id Hawwa, hal. 69.


Khilafah (Bag. 5): Khilafah Bolehkah Berbilang?

Ulama yang Mewajibkan Kekhalifahan Tunggal
Jumhur ulama menyatakan wajib bagi umat Islam untuk mengangkat seorang pemimpin tunggal. Hal ini diantaranya berdasarkan hadits berikut ini,

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ ، فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Apabila telah terjadi bai’at terhadap dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)
Peristiwa Saqifah Bani Saidah pun menunjukkan bahwa Umar bin Khathab menolak usulan Al-Habbab bin Al-Mundzir bin Al-Jamuh agar kepemimpinan kaum muslimin dipecah menjadi dua.
Berkata kalangan Anshar,

مِنَّا أَمِيرٌ ، وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ

“Dari kami seorang pemimpin, dan dari kalian pun ada satu orang pemimpin.”
Umar menanggapinya dengan mengatakan,

 سِيفَانِ فِي غِمْدٍ وَاحِدٍ ، إِذًا لا يَصْلُحَانِ

“Dua pedang dalam satu sarung, jika seperti itu tentu keduanya tidak akan membawa kebaikan.”[1]
Berikut ini pernyataan para ulama tentang wajibnya kepemimpinan tunggal bagi umat Islam:
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا

“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, vol 12 hal 232)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ” . وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ

“Dan sedangkan pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: ‘Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecahbelah kalian maka bunuhlah dia seketika siapapun dia.’ Yang demikian ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama, dan yang mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma’ tidak hanya satu orang, diantaranya adalah Imam Haramain (Al-Juwaini).” (Tafsir Ibn Katsir, vol 1 hlm 222)
Imam As-Sinqithi rahimahullah berkata,

قول جماهير العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في “صحيحه” من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما » .

“Pendapat jumhurul ‘ulama: Bahwa berbilangnya khalifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat olehnya, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: ‘Jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir (dibai’at) di antara keduanya.’” (Adhwa’ Al-Bayan fi Idhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, vol 3 hlm 39)
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi rahimahullah berkata,

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ شَعَائِرَ الدِّيْنِ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُوْمِيْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ وَعَلىَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ وَقْتٍ وَاحِدٍ فِيْ جَمِيْعِ الدُّنْيَا إِمَامَانِ لاَ مُتَّفِقَانِ وَلاَ مُفْتَرِقَانِ

”Telah sepakat para Imam (Yang Empat) bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, Juz V hlm. 416).
Ulama yang Membolehkan Berbilangnya Khalifah
Diantara ulama ada yang membolehkan berbilangnya khalifah karena alasan kondisi meluasnya wilayah Islam. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa yang berpendapat seperti itu diantaranya adalah Imam Abu Ishak rahimahullah,

وَكَانَ الْأُسْتَاذُ أَبُو إِسْحَاقَ يُجَوِّزُ ذَلِكَ فِي إِقْلِيمَيْنِ مُتَبَاعِدَيْنِ غَايَةَ التَّبَاعُدِ لِئَلَّا تَتَعَطَّلَ حُقُوقُ النَّاسِ وَأَحْكَامُهُمْ

“… dan adalah ustadz Abu Ishak membolehkan hal itu pada dua wilayah yang saling berjauhan secara signifikan, agar hak-hak kaum muslimin dan penerapan hukum mereka tidak terbengkalai.” (Tafsir Al-Qurthubi, vol 1 hlm 273)
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah pun termasuk yang membolehkan. Dalam kitabnya as-Sailul Jarar, Syarh kitab Hadaiq al-Azhar, beliau berkata,

وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وفي القطر الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر

“Adapun setelah tersebarnya Islam dan meluasnya wilayah Islam, maka menjadi hal yang wajar ketika di masing-masing negeri muncul pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh Imam atau Sultan. Demikian pula yang ada di belahan negara yang lain. Penduduk suatu negeri, tidak wajib melaksanakan perintah dan larangan yang berlaku di negeri yang lain.”
Lebih lanjut, as-Syaukani rahimahullah menegaskan,

فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر

“Karena itu, tidak jadi masalah dengan keberadaan banyak pemimpin negara dan sultan. Masing-masing penduduk negara wajib mentaati mereka, setelah mereka dibai’at oleh penduduk negerinya, dan wajib melaksakan perintah dan larangannya. Demikian pula yang berlaku bagi penduduk negeri yang lain.” (as-Sailul Jarar, 1/941).
Kelompok Karamiyah pun membolehkan mengangkat dua khalifah atau lebih. Hal ini disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya,

وقالت الكرامية : يجوز نصب إمامين فأكثر كما كان علي ومعاوية إمامين واجبي الطاعة ، قالوا وإذا جاز بعث نبيين في وقت واحد وأكثر جاز ذلك في الإمامة ؛ لأن النبوة أعلى رتبة بلا خلاف

“Dan berkata Al-Karamiyah: boleh hukumnya mengangkat dua khalifah atau lebih sebagaimana Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dua imam yang wajib ditaati; mereka beralasan: jika pengutusan dua nabi atau lebih dalam satu waktu saja dibolehkan maka hal tersebut tentu juga boleh dalam perkara khilafah, karena perkara kenabian adalah derajat tertinggi tanpa ada perselisihan.” (Tafsir Ibn Katsir, vol 1 hlm 222)
Berbilangnya Khalifah dalam Kondisi yang Tidak Ideal
Di dalam kelompok ulama yang berpandangan wajibnya kekhalifahan tunggal, terdapat pandangan tersurat yang menyatakan bahwa kewajiban kekhalifahan tunggal tersebut adalah jika kaum muslimin berada dalam kondisi ideal. Imam Al-Haramain menyatakan bahwa dalam kondisi yang tidak ideal, sebagian ulama ada yang membolehkan berbilangnya khalifah,

قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: لَوْ خَلاَ الزَّمَانُ عَنِ السُّلْطَانِ فَحَقٌّ عَلَى قُطَّانِ كُلِّ بَلْدَةٍ، وَسُكَّانِ كُلِّ قَرْيَةٍ، أَنْ يُقَدِّمُوا مِنْ ذَوِي اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى، وَذَوِي الْعُقُولِ وَالْحِجَا مَنْ يَلْتَزِمُونَ امْتِثَالَ إِشَارَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ، وَيَنْتَهُونَ عَنْ مَنَاهِيهِ وَمَزَاجِرِهِ ; فَإِنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ، تَرَدَّدُوا عِنْدَ إِلْمَامِ الْمُهِمَّاتِ، وَتَبَلَّدُوا عِنْدَ إِظْلاَلِ الْوَاقِعَاتِ.

“Sebagian ulama berkata: “Apabila suatu masa mengalami kekosongan dari penguasa tunggal, maka penduduk setiap daerah dan setiap desa, harus mengangkat di antara orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran, seseorang yang dapat mereka ikuti petunjuk dan perintahnya, dan mereka jauhi larangannya. Karena apabila mereka tidak melakukan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika menghadapi persoalan penting dan tidak mampu mengatasi persoalan yang sedang terjadi.” (Imam al-Haramain, Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam, hal. 386-387).
Al-Imam al-Hafizh Abu Amr al-Dani rahimahullah berkata,

وَإِقَامَةُ اْلإِمَامِ مَعَ الْقُدْرَةِ وَاْلإِمْكَانِ: فَرْضٌ عَلىَ اْلأُمَّةِ لاَ يَسَعُهُمْ جَهْلُهُ، وَالتَّخَلُّفُ عَنْهُ، وَإِقَامَتُهُ إِلىَ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ اْلأُمَّةِ دُوْنَ النَّصِّ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Mengangkat seorang imam ketika mampu dan memungkinkan dihukumi wajib bagi umat Islam, yang harus mereka ketahui dan tidak boleh ditinggalkan. Pengangkatan tersebut berdasarkan keputusan ahlul halli wal ‘aqdi dari umat, bukan berdasarkan nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Abu Amr al-Dani, al-Risalah al-Wafiyah, hal. 130).
Ibnul Azraq al-Maliki, Qadhi Al-Quds Palestina, dalam kitabnya Bada’i as-Suluk fi Thabai al-Muluk menuliskan,

أن شرط وحدة الإمام بحيث لا يكون هناك غيره لا يلزم مع تعذر الإمكان. قال بن عرفة – فيما حكاه الأبي عنه – : فلو بعد موضع الإمام حتى لا ينفذ حكمه في بعض الأقطار البعيدة، جاز نصب غيره في ذلك القطر.

“Syarat penyatuan sistem kepemimpinan, dimana tidak boleh ada pemimpin yang lain, hukumnya tidak wajib, selama tidak memungkinkan. Ibnu Arafah mengatakan, ‘Ketika wilayah kekuasaan imam sangat jauh, sehingga titahnya tidak bisa dilaksanakan di beberapa daerah yang jauh, maka boleh menunjuk pemimpin yang lain di negeri tersebut.’” (Bada’i as-Suluk, 1/76).
Sedangkan menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, wajibnya kepemimpinan tunggal sudah merupakan sunnah (ketetapan). Hanya saja dalam kondisi-kondisi yang tidak ideal, kepemimpinan berbilang itu pun tetap sah dan mereka terikat oleh kewajiban-kewajiban kepemimpinan—seperti: menegakkan hudud dan memenuhi hak-hak rakyatnya.

وَالسُّنَّةُ أَنْ يَكُونَ لِلْمُسْلِمِينَ إمَامٌ وَاحِدٌ وَالْبَاقُونَ نُوَّابُهُ فَإِذَا فُرِضَ أَنَّ الْأُمَّةَ خَرَجَتْ عَنْ ذَلِكَ لِمَعْصِيَةِ مِنْ بَعْضِهَا وَعَجْزٍ مِنْ الْبَاقِينَ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ كَانَ لَهَا عِدَّةُ أَئِمَّةٍ: لَكَانَ يَجِبُ عَلَى كُلِّ إمَامٍ أَنْ يُقِيمَ الْحُدُودَ وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوقَ

“Dan merupakan sunnah (ketetapan), yaitu hendaknya kaum muslimin memiliki satu orang Imam (khalifah), dan yang lain bertindak sebagai wakil-wakilnya. Adapun jika umat Islam terpaksa harus keluar dari ketentuan tersebut disebabkan kemaksiatan sebagian dari mereka, dan yang lain lemah untuk mencegahnya atau karena alasan lain, sehingga umat Islam kemudian memiliki imam-imam yang berbilang, maka setiap Imam tetap wajib menegakkan hudud (hukum-hukum Allah) dan memenuhi hak-hak (rakyatnya)”. (Majmu’ Al-Fatawa, vol 34 hlm 175 versi maktabah syamilah)
Imam Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan sahnya ketaatan kepada khalifah yang bukan berada dalam kepemimpinan tunggal,

عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: « من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته ميتة جاهلية » أخرجه مسلم ، قوله عن الطاعة أي طاعة الخليفة الذي وقع الاجتماع عليه وكأن المراد خليفة أي قطر من الأقطار إذ لم يجمع الناس على خليفة في جميع البلاد الإسلامية من أثناء الدولة العباسية بل استقل أهل كل إقليم بقائم بأمورهم إذ لو حمل الحديث على خليفة اجتمع عليه أهل الإسلام لقلت فائدته

“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa keluar dari keta’atan dan memisahkan diri dari jama’ah dan kemudian mati, maka kematiannya adalah kematian dalam keadaan jahiliah’. Riwayat Muslim. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa yang tidak taat’ artinya mentaati khalifah yang dibai’at masyarakat. Seolah yang beliau maksudkan adalah khalifah di negeri manapun dimana sejak masa Daulah ‘Abbasiah mereka tidak lagi bersatu dalam satu kepemimpinan seorang khalifah untuk semua negeri-negeri Islam. Bahkan yang terjadi, masing-masing penduduk negeri memiliki penguasa sendiri yang mengatur urusan mereka. Dan jika hadis ini dipahami wajibnya taat pada khalifah yang memimpin seluruh kaum muslimin, tentu tidak bisa diterapkan.”[2] (Subulus Salam, 3/258).
Berkenaan dengan hal ini, Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi, dalam ad-Durar as-Saniyah  menuliskan,

أن الناس من زمن طويل قبل الإمام أحمد إلى يومنا هذا، ما اجتمعوا على إمام واحد، ولا يعرفون أحدا من العلماء ذكر أن شيئا من الأحكام، لا يصح إلا بالإمام الأعظم

“Masyarakat dari sejak masa silam, sebelum Imam Ahmad hingga hari ini, mereka memiliki lebih dari satu pemimpin. Mereka tidak mengetahui ada satupun ulama yang menyebutkan bahwa tidak boleh melaksanakan hukum dan undang-undang, kecuali dengan komando satu pemimpin.” (ad-Durar as-Saniyah, 12/2).

Catatan Kaki:

[1] Lihat: HR. An-Nasa’i, Al-Baihaqi, dan Al-Bazzar
[2] Maksudnya: Jika perintah untuk taat kepada pemimpin itu disyaratkan harus ada satu khalifah untuk umat islam seluruh dunia, maka  perintah itu menjadi sesuatu yang tidak bisa diterapkan karena kenyataannya umat Islam menghadapi kondisi yang tidak ideal.


Khilafah (Bag. 6): Khilafah Hanya Berlangsung 30 Tahun?

Ada dua pendapat berbeda tentang eksistensi khilafah dalam tubuh umat Islam:
Pertama, pendapat sebagian pihak yang memahami bahwa sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kekhalifahan hanya berlangsung 30 tahun. Setelah itu tidak akan ada lagi khilafah, yang ada hanyalah raja-raja. Pendapat ini berdasarkan hadits dari Safinah radhiyallahu ‘anhu – pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْخِلاَفَةُ فِى أُمَّتِى ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكاً بَعْدَ ذَلِكَ

“Khilafah di tengah umatku selama 30 tahun. Kemudian setelah itu diganti kerajaan.” (HR. Ahmad 22568, Turmudzi 2390 dan sanadnya dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Rentang 30 tahun tersebut terhitung sejak masa Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuhingga peristiwa penyerahan kekhalifahan di masa Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhum kepada Mu’awwiyah radhiyallahu ‘anhu.
Ibnul Arabi rahimahullah berkata tentang hal ini,

فنفذ الوعد الصادق في قوله- صلى الله عليه وسلم- … : ((الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم تعود ملكاً)) فكانت لأبي بكر وعمر وعثمان وعلي وللحسن… لا تزيد ولا تنقص يوماً فسبحان المحيط لا رب غيره

“Terbukti untuk janji Nabi yang as-Shadiq (benar ucapannya), … ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Khilafah di tengah umatku selama 30 tahun. Kemudian setelah itu diganti kerajaan.’ Masa khilafah dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Hasan, tidak tambah maupun kurang walaupun sehari. Maha Suci Dzat yang al-Muhith (Maha Meliputi), tiada Rab selain-Nya.”[1]
Ibnu Abil Izz merinci rentang waktu tersebut sebagai berikut: Khilafah Abu Bakar berlangsung 2 tahun 3 bulan, Khilafah Umar berlangsung 10 tahun 6 bulan, Khilafah Utsman berlangsung 12 tahun, Khilafah Ali berlangsung 4 tahun 9 bulan, dan Khilafah  Hasan berlangsung 6 bulan.[2]
Berdasarkan nash di atas, sebagian pihak berkesimpulan bahwa menegakkan khilafah hanyalah sebuah utopia belaka.
Kedua, pendapat yang memahami bahwa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah akan tegak kembali setelah keruntuhannya. Adapun hadits yang menyebutkan khilafah berlangsung selama 30 tahun maksudnya adalah khilafah yang tidak terpengaruh oleh sistem kerajaan, yaitu masa keberlangsungan khulafaur-rasyidin. Sedangkan masa pemerintahan setelahnya adalah masa kekhalifahan yang terpengaruh oleh sistem kerajaan, namun tetap dapat disebut sebagai khilafah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa mengutip Qadhi Abu Ya’la untuk menjawab pertanyaan seseorang apakah setelah masa 30 tahun Khilafah telah berubah menjadi kerajaan sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Kata Ibnu Taimiyyah : “Qadhi Abu Ya’la menjawab bahwa ada kemungkinan yang dimaksud dengan ‘Khilafah’ dalam hadits ‘Khilafah itu berlangsung 30 tahun’, adalah Khilafah yang tidak terpengaruh oleh kerajaan setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan yang dimaksud ‘berlangsung 30 tahun’ adalah Khilafah dari para khalifah yang empat. Adapun Khilafah Mu’awiyah telah terpengaruh dengan sistem kerajaan, namun hal ini tidaklah membuat cacat kekhalifahan Mu’awiyah.”[3]
Selain itu, disebutkan dalam hadits, bahwa setelah masa 30 tahun itu akan muncul 12 orang khalifah yang berpegang kepada manhaj kenabian—seluruhnya berasal dari suku Quraisy.

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ أَبِى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ هَذَا الأَمْرَ لاَ يَنْقَضِى حَتَّى يَمْضِىَ فِيهِمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً ». قَالَ ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلاَمٍ خَفِىَ عَلَىَّ – قَالَ – فَقُلْتُ لأَبِى مَا قَالَ قَالَ « كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.

Dari Jabir bin Samurah, “Aku bersama bapakku masuk kepada Nabi, maka aku mendengar beliau bersabda, ‘Sesungguhnya urusan (Agama Islam) ini tidak akan berakhir sampai berlangsung di tengah mereka dua belas khalifah’. Kemudian beliau berkata dengan perkataan yang samar bagiku. Maka Aku bertanya kepada ayahku apa yang disabdakan beliau? Ayahku menjawab, ‘Semuanya dari Quraesy’”.(Shahih Muslim, No. 4809. Sunan Abu Dawud, No. 4279)
Mengomentari hadits ini Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hadits ini sebagai dalil keberadaan 12 khalifah yang ‘adil. Akan tetapi itu bukanlah (dalil bagi keberadaan) 12 imam-imam Syi’ah, karena umat ini tidaklah dalam keadaan baik di zaman mereka (12 imam Syi’ah). Sedangkan 12 orang (khalifah) tersebut dalam hadits semuanya ‘adil dan berasal dari Quraisy. Dan sungguh telah tetap kabar gembira tersebut atas mereka dalam kitab-kitab sebelumnya. Kemudian, keberadaan mereka tidaklah disyaratkan harus berturut-turut. Bisa jadi berturut-turut, bisa pula tidak. Empat di antaranya sudah ada, yaitu Abu Bakar, ‘Umar. ‘Utsman, dan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum. Kemudian setelah mereka ada masa-masa fatrah (jeda). Kemudian ada lagi setelah mereka orang yang dikehendaki Allah., kemudian akan ada yang tersisa dari mereka pada waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Dan di antara mereka adalah Al-Mahdi dimana namanya sama dengan nama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kunyahnya sama dengan kunyahnya. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesusahan dan kedhaliman”.
Keyakinan akan kembalinya khilafah ‘ala minhajin nubuwwah juga didasarkan pada sebuah hadits nabawi yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah dari sahabat Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌعَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَهُعَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًاعَاضًّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَهَعَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيًّا فَتَكُونُمَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. ثُمَّسَكَتَ

“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah  kehendaki, Allah  mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah  menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah  kehendaki, kemudian Allah  mengangkatnya jika Allah  menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah  kehendaki, kemudian Allah  mengangkatnya bila Allah  menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah  kehendaki, kemudian Allah  mengangkatnya bila Allah  menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad, 4/273)

Catatan Kaki:

[1] Ahkam al-Quran, Ibnul Arabi, 4/152
[2] Lihat: Syarh Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz, 3/172
[3] Ibnu Taimiyah, Majmuu’ Al-Fatawa, Juz XXVIII, hlm. 18


Khilafah (Bag. 7): Berjuang Menegakkan Kembali Khilafah

Dari uraian sebelumnya telah kita ketahui bahwa hukum menegakkan khilafah/imamah adalah fardhu kifayah. Menurut Syaikh Sa’id Hawwa rahimahullah, ini sama halnya seperti jihad dan semacamnya. Jika ada yang menegakkannya maka gugurlah kewajiban ini bagi yang lainnya.
Imam Al-Mawardi rahimahullah mengatakan: “Apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka dua golongan dari umat Islam yang menanggung dosa. Pertama, ahli memilih, yaitu ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan para ulama dan tokoh masyarakat, sampai mereka memilih seorang imam bagi umat. Kedua, ahli imamah, yaitu mereka yang memenuhi kriteria menjadi imam, sampai salah seorang di antara mereka diangkat sebagai imam.”
Namun, saat ini kita dihadapkan pada realita dimana kondisi umat Islam sangat tidak ideal dan belum memungkinkan untuk dapat melaksanakan kewajiban menegakkan imamah/khilafah. Mayoritas umat—di berbagai negeri Islam—kini berada dalam keadaan lemah; baik dalam aspek aqidah, pendidikan, tsaqafah, dakwah, soliditas, maupun akhlak.[1]Belum lagi ragam problematika akibat penjajahan begitu nyata terlihat: negeri-negeri muslim tercerai-berai, pengaruh dan penjajahan bangsa asing dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya mencengkram kuat; umat kini mengalami kemunduran peradaban, pola pikir  yang keliru merebak, dan kejiwaan mereka pun lemah. Di sisi lain, kekuatan internasional yang memusuhi Islam memiliki keunggulan perencanaan, pengorganisasian, dan sarana-sarana yang memadai.
Ringkasnya, kondisi umat hari ini bagaikan buih sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُوْشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُم الأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا” اَوَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: “بَلْ اِنَّكُمْ يَوْمَئِذٍكَثِيْرُوْنَ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَيْلِ، وَقَدْ نَزَلَ بِكُمُ الْوَهْنُ” قِيْلَ: وَمَا الْوَهْنُ يَارَسُوْلَ اللّهِ ؟ قَالَ: “حُبُّ الدُنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).
Memperhatikan kondisi seperti itu, maka upaya penegakkan khilafah bukanlah gerakan parsial—yang hanya menyentuh aspek penanaman wa’yu siyasi (kesadaran politik) kepada umat. Lebih jauh dari itu, gerakan yang harus digalakan adalah gerakan terpadu yang menyentuh seluruh komponen bangunan Islam secara utuh meliputi penanaman aqidah, kesadaran ibadah, perbaikan akhlak, serta menggelorakan dakwah dan jihad di seluruh sisi kehidupan. Tentu saja kita harus memulainya secara pararel dengan memperhatikan sunnah tadarruj (kebertahapan) dan aulawiyat (prioritas)-nya.
Mari kita renungkan hadits yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ.

“Sukakah engkau aku kabarkan tentang pokok  segala urusan, tiang-tiang  dan puncak ketinggiannya?” Aku (Mu’adz bin Jabbal) berkata: “Baiklah ya Rasulullah.” Sabdanya: “Pokok segala urusan ialah Islam, tiang-tiang penguatnya ialah shalat dan puncak pelindungnya ialah jihad.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih).
Kita harus sabar dalam meniti jalan dan membangun fondasi yang kokoh. Menggiring manusia untuk bergabung lagi di bawah panji Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, menuntut langkah bertahap dalam penerapannya. Prinsip kebertahapan dalam penerapan syariat tidak terhenti setelah terhentinya wahyu dan disempurnakannya agama; karena yang menjadi masalah bukan pentahapan dalam penetapan hukum syariat, melainkan dalam penerapannya. Tanpa pentahapan, berbagai maslahat tidak dapat diwujudkan, terjadi kesulitan, dan semua manusia akan berpaling dari syariat.[2]
Pentingnya memperhatikan kebertahapan diantaranya tergambar dari apa yang disampaikan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini.

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ

“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya (Al-Qur’an) adalah surat Al-Mufashshal[3]yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong kepada Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamer.’ Niscaya mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamer selama-lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertamakali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian berzina..’ niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meniggalkan zina selama-lamanya.’ Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah: ‘Bal As Saa’atu Mau’iduhum Was Saa’atu Adhaa Wa Amarr.(QS. Al-Qamar: 46).’ Dan belumlah turun surat Al Baqarah dan An Nisa` kecuali aku telah berada di sisi beliau.” (HR. Bukhari).
Aspek aqidah dan ibadah harus diaplikasikan sekaligus. Sedangkan syariat, penyampaiannya kepada manusia dan aplikasinya pada realitas kehidupan itu bertahap. Sebagaimana ‘tali Islam’ itu bisa terurai ikatan demi ikatan—maksudnya bertahap, maka begitu juga upaya kembali kepadanya juga harus bertahap.

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةٌ عُرْوَةٌ ، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

“Ikatan Islam akan terurai satu demi satu, setiap kali lepas satu ikatan, manusia beralih kepada simpul yang lain. Simpul yang pertama kali lepas adalah hukum dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad)
Salah satu prinsip yang juga harus dipertimbangkan dalam penerapan hukum—termasuk di dalamnya adalah penegakkan khilafah—, bahwa syariat membedakan antara kondisi ikhtiyari (normal) dengan kondisi idhtirari (darurat). Hingga sebagian ulama menyebutkan, jika ada orang yang tidak bisa membedakan antara kondisi normal dan kondisi darurat, berarti kemampuannya sangat terbatas. Nasihat ini disampaikan Ibnul Wazir dalam kitabnya al-Awashim wa al-Qawashim,

ومن لم يفرق بين حالي الاختيار والاضطرار؛ فقد جهل المعقول والمنقول

“Orang yang tidak bisa membedakan antara kondisi ikhtiyari dan kondisi dharuri, berarti cara berpikirnya rendah dan banyak tidak tahu dalil.” (al-Awashim wa al-Qawashim, 8/174)
*****
Tegasnya siapa saja yang merindukan kembalinya khilafah, hendaknya ia mau memulai langkahnya itu sesuai taujih rabbani,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka (para khalifah) berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. Nur, 24: 55)
Berkenaan dengan ayat ini, Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
“Ayat ini merupakan janji Allah Ta’ala bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih berupa pemberian khilafah bagi mereka di muka bumi sebagaimana yang telah diberikan kepada orang-orang sebelum mereka dari umat-umat sebelumnya. Janji ini mencakup seluruh umat. Ada yang berkata: ‘Ayat ini khusus untuk para shahabat.’ Namun hal itu tidak benar, karena beriman dan beramal shalih tidaklah terkhusus untuk mereka. Bahkan hal tersebut mungkin terjadi pada siapa saja dari kalangan umat ini. Maka barangsiapa yang mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya maka sungguh dia telah menaati Allah dan Rasul-Nya.” [4]
Ayat di atas dengan tegas memberikan arahan bahwa tegaknya kembali khilafah dan tamkin[5]adalah janji Allah Ta’ala kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Maka, langkah awal yang harus dilakukan saat ini adalah gerakan pembersihan iman dan aqidah serta meningkatkan—kuantitas dan kualitas—amal shalih,  dimulai dari diri, keluarga, masyarakat, dan seluruh pemimpin umat.
*****
Salah seorang reformis Islam abad ini, Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah merumuskan maratibul ‘amal (tingkatan amal) yang hendaknya dilakukan oleh setiap pribadi muslim dan juga gerakan dakwah demi tegaknya izzul Islam wal muslimin:
Pertama, perbaikan diri (ishlahu nafsih), sehingga menjadi pribadi yang memiliki kekuatan fisik (qawiyyul jism), akhlak yang kokoh (matinul khuluq), wawasan yang luas (mutsaqqaful fikri), mampu mencari penghidupan (qadirun ‘alal kasbi), aqidah yang bersih (salimul aqidah), ibadah yang benar (shahihul ibadah), kemampuan mengendalikan diri (mujahidun linafsih), kemampuan menjaga waktunya (harisun ‘ala waqtihi), kemampuan menata urusannya (munazham fi syu’unihi), dan bermanfaat bagi orang lain (nafi’un li ghairihi).
Kedua, pembentukan keluarga muslim (takwinu baitin muslim), yaitu dengan mengarahkan keluarganya agar menghargai pemahaman Islam, menjaga etika Islam dalam setiap aktivitas rumah tangganya, memilih istri yang baik dan menjelaskan kepadanya hak dan kewajibannya, mendidik anak-anak dan pembantunya dengan didikan yang baik, serta membimbing mereka dengan prinsip-prinsip Islam.
Ketiga, bimbingan masyarakat (irsyadul mujtama’), yakni dengan menyebarkan dakwah, memerangi perilaku kotor dan mungkar, mendukung perilaku utama, amar ma’ruf, bersegera mengerjakan kebaikan, menggiring opoini umum untuk memahami fikrah islamiyah, dan mencelup praktik kehidupan dengannya terus menerus.
Keempat, pembebasan tanah air (tahrirul wathan) dari setiap penguasa asing—non Islam—baik secara politik, ekonomi, maupun moral.
Kelima, memperbaiki kondisi pemerintahan (ishlahul hukumah) sehingga menjadi pemerintah Islam yang baik, yaitu yang mampu memainkan perannya sebagai khadimul ummah (pelayan masyarakat).
Yang dimaksud pemerintahan Islam adalah pemerintah yang anggotanya terdiri dari kaum muslimin yang menunaikan kewajiban-kewajiban Islam, tidak terang-terangan dengan kemaksiatan, serta konsisten menerapkan hukum-hukum dan ajaran Islam. Tidak mengapa menggunakan orang-orang non Islam—jika dalam keadaan darurat—asalkan bukan untuk posisi strategis.
Beberapa sifat pemerintahan Islam yang harus diwujudkan adalah: rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, adil terhadap semua orang, tidak tamak terhadap kekayaan negara, dan ekonomis dalam penggunaannya.
Sedangkan beberapa kewajiban yang harus ditunaikan pemerintahan Islam antara lain: menjaga keamanan, menerapkan undang-undang, menyebarkan nilai-nilai ajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan, melindungi keamanan umum, mengembangkan investasi dan menjaga kekayaan, mengukuhkan mentalitas, serta menyebarkan dakwah.
Keenam, mempersiapkan seluruh aset di dunia untuk kemaslahatan umat Islam (i’adatul kiyani ad-dauli lil ummatil Islamiyah). Hal demikian itu dilakukan dengan cara membebaskan seluruh negeri, membangun kejayaannya, mendekatkan peradabannya, dan menyatukan kata-katanya, sehingga dapat mengembalikan tegaknya kekuasaan khilafah yang telah hilang dan terwujudnya persatuan yang diimpi-impikan bersama.
Ketujuh, penegakan kepemimpinan dunia (ustadziyatul ‘alam) dengan penyebaran dakwah Islam di seantero negeri. Sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya untuk Allah belaka (QS. Al-Baqarah: 193); Dan Allah tidak menghendaki, selain menyempurnakan cahaya-Nya (QS. At-Taubah: 32).[6]
*****
Kesiapan Negara Bersyariat
Dari rumusan langkah yang disampaikan Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah, tergambar  jelas bahwa penegakan  kembali khilafah membutuhkan usaha atau jihad yang panjang serta langkah-langkah yang banyak. Upaya itu hendaknya didahului oleh berdirinya pemerintahan Islami di negeri-negeri Islam. Dengan kata lain, perjuangan menuju tegaknya kepemimpinan Islam harus berawal dari tegaknya syariat Islam di negeri-negeri muslim. Untuk itu ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.
Politisi muda muslim Indonesia, M. Anis Matta, menulis sebuah artikel yang bagus tentang penegakan syariat berjudul: Kesiapan Negara Bersyariat. Ia mengingatkan, penerapan syariat Islam tidak dapat dipandang sebagai sebuah proses perundang-undangan an sich. Akan tetapi ia merupakan sebuah proses yang menyeluruh, yang menandai terjadinya peralihan besar-besaran pada struktur ideologi, struktur budaya, dan struktur kekuasaan dalam sebuah masyarakat. Tentu saja peralihan itu mempunyai implikasi sangat besar dalam kehidupan masyarakat, sebab yang berubah adalah keseluruhan tatanan kehidupan mereka.
Tidak pernah ada sebuah negara yang menyatakan Islam sebagai ideologinya, melainkan ia pasti memasuki hari-hari panjang yang penuh keringat, air mata dan darah. Sejak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pindah ke Madinah, beliau harus menghadapi 68 kali pertempuran dan memimpin 28 diantaranya. Di zaman kita, setidaknya kita belajar dari Iran (1979) dan Sudan (1987). Begitu kedua negara itu menyatakan diri sebagai negara Islam, dunia segera bertindak; embargo.
Sejarah itu mengajarkan kepada kita, bahwa ada risiko yang harus ditanggung begitu sebuah negara menyatakan Islam sebagai jati dirinya. Risiko itu tidak hanya ditanggung oleh para pemimpinnya, tapi juga rakyat ikut menanggung –bahkan mungkin sebagian besar– risiko tersebut. Jika rakyat tidak benar-benar siap menghadapi risiko itu, boleh jadi merekalah yang akan menjadi musuh utama penerapan syariat Islam. Logika mereka sederhana: “karena Islamlah kami menderita”
Maka, menurut Anis, penyederhanaan yang berlebihan terhadap proses penerapan syariat Islam, hanya akan membuat kita bekerja di tengah ‘kejutan-kejutan’. Terlalu banyak fakta tidak terduga yang akan kita hadapi. Kita akan kesulitan mengantisipasinya. Dalam keadaan begitu, peluang gagal kita lebih besar. Menurutnya, kita perlu memenuhi syarat-syarat kesiapan menuju syariat Islam yang paripurna. Urutan persyaratan yang harus dipenuhi menurut Anis Matta adalah sebagai berikut,
Pertama, adanya komimen dan kekuatan aqidah pada sebagian besar kalangan kaum muslimin. Yaitu komitmen aqidah yang menandai kesiapan ideologi masyarakat Muslim untuk hidup dengan sistem Islam pada seluruh tatanan kehidupannya. Serta kekuatan aqidah untuk menampilkannya dalam kehidupan di lingkungan secara mempesona.
Kedua, supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat sehingga muncul kepercayaan umum bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap menyelamatkan bangsa dan negara. Dengan begitu Islam menjadi arah yang membentuk arus pemikiran nasional.
Ketiga, sebaran kultural yang luas dimana Islam menjadi faktor pembentuk opini publik dan –untuk sebagiannya– tersimbolkan dalam tampilan-tampilan budaya, seperti pakaian, produk kesenian, etika sosial, istilah-istilah umum dalam pergaulan dan seterusnya.
Keempat, keterampilan akademis yang handal untuk dapat mentransformasikan (legal drafting) ajaran-ajaran Islam kedalam format konstitusi, undang-undang dan derivasi hukum lainnya.
Kelima, kompetensi eksekusi yang kuat dimana ada sekelompok tenaga leadership di tingkat negara, yang visioner dan memiliki kemampuan teknis untuk mengelola negara. Merekalah yang menentukan –di tingkat aplikasi– seperti apa wajah Islam dalam kenyataan, dan karenanya menentukan berhasil tidaknya proyek Islamisasi tersebut.
Keenam, kemandirian material yang memungkinkan bangsa kita tetap survive begitu kita menghadapi isolasi atau embargo. Apabila siklus perekonomian tetap dapat berjalan di dalam negeri, maka itu sudah merupakan tanda kesiapan untuk lebih independen.
Ketujuh, kapasitas pertahanan yang tangguh, sebab tantangan eksternal yang mungkin kita hadapi tidak terbatas pada gangguan ekonomi, tapi juga gangguan pertahanan.
Kedelapan, koneksi internasional yang akan memungkinkan kita tetap eksis dalam percaturan internasional, atau tetap memiliki akses keluar begitu kita menghadapi embargo atau invasi.
Kesembilan, tuntutan politik yang ditandai dengan adanya partai-partai politik –bersama publik- yang secara resmi meminta penerapan syariat Islam di tingkat konstitusi. Partai-partai politik itu harus menjadikan Islam sebagai proposal politiknya. indikator ini perlu disebutkan terutama karena kita berbicara dalam konteks demokrasi. Tapi di luar konteks demokrasi, delapan indikator sebelumnya adalah cukup, ditambah dengan tuntutan publik tanpa partai politik.[7]
Pertanyaan besar saat ini: Berapakah indikator kesiapan yang sudah tersedia?
Anis menegaskan: “Semangat perjuangan haruslah senantiasa mendorong kita untuk bekerja keras dan lebih keras lagi. Tapi rasionalitas dan objektivitas haruslah mewarnai keseluruhan cara kerja kita, baik dalam menilai kemampuan internal ummat kita, maupun dalam menaksir kekuatan eksternal musuh-musuh umat.”
*****
Di dalam Risalah Mu’tamar Khamis, Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah mengulas tentang langkah-langkah lanjutan yang harus dilakukan umat Islam setelah berhasil meraih kekuasaan.
Pertama, harus ada konsolidasi antara bangsa-bangsa muslim, menyangkut masalah politik, ekonomi, sosial, pertahanan keamanan, dan peradaban Islam secara umum.
Kedua, setelah itu membentuk persekutuan dan koalisi diantara mereka untuk mendirikan lembaga-lembaga keumatan dan mengadakan muktamar antar negara.
Ketiga, setelah itu membentuk persekutuan bangsa-bangsa muslim. Jika hal itu bisa diwujudkan dengan sempurna, akan dihasilkan sebuah kesepakatan untuk mengangkat imam yang satu.
*****
Bagaimanakah Format Daulah Khilafah Kontemporer?
Sebagai bahan diskusi dan kajian, ada sebuah gagasan tentang format daulah khilafah Islamiyah yang disampaikan Ketua Persatuan Ulama Muslim Sedunia, Syaikh Yusuf Qaradawi di sela-sela pertemuan tahunan di Istambul yang diadakan pada Rabu-Jumat, 20 – 22 Agustus2014. Beliau mengatakan,  “Khilafah Islamiyah yang didirikan pada zaman ini bisa dibentuk dari beberapa negara yang menerapkan syariah Islam sesuai dengan kehendak penguasa dan rakyat negara-negara itu. Bentuknya bisa federasi[8] atau konfederasi[9]. Tidak harus seperti khilafah zaman dulu.”[10]
Demikianlah pengantar kajian/diskusi ini kami sajikan. Semoga risalah sederhana ini dapat memberikan sumbangan informasi yang memadai.
Rabbi zidni ‘ilma, warzuqni fahma…. 

Lampiran:
1.     Ringkasan Pembahasan H. Sulaiman Rasyid tentang Fiqih Khilafah

Catatan Kaki:

[1] Lihat madah: Ahwalul Musliminal Yaum
[2] Lihat: Visi Peradaban Komprehensif Al-Ikhwan Al-Muslimun, Maktaba Syameela, hal. 24.
[3] “Al-Mufashshal” adalah surah-surah pendek dalam al-Qur’an yang banyak dipisahkan atau diantarai oleh kalimat Basmalah. Dinamakan “al-Mufashshal” karena kata ini bermakna “yang dipisah-pisahkan”, berasal dari kata “al-Fashl” yang bermakna pemisahan.
[4] Fathul Qadir, 4/47
[5] Yang dimaksud dengan tamkin adalah mengokohkan, yaitu menjadikannya kokoh dengan silih bergantinya mereka dalam menduduki kekuasaan. Tidak hanya bersifat sebentar dan sementara waktu lalu menghilang dengan cepat.  (Lihat Fathul Qadir, 4/47, karya Al-Imam Asy-Syaukani)
[6] Lihat: Risalah Ta’alim, Hasan Al-Banna.
[7] Lihat: Kesiapan Negara Bersyariat, M. Anis Matta, Lc.
[8] Negara federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk kesatuan yang disebut negara federal. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Dalam sebuah federasi setiap negara bagian biasanya memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahan dengan cukup bebas. Ini berbeda dengan sebuah negara kesatuan, di mana biasanya hanya ada provinsi saja. Kelebihan sebuah negara kesatuan, ialah adanya keseragaman antar semua provinsi. (wikipedia.org)
[9] Negara Konfederasi, adalah negara yang merupakan bentukan dari beberapa negara berdaulat untuk merumuskan sebuah pemerintahan bersama. Perbedaan antara negara federal dan negara konfederasi adalah pada persoalan kedaulatan negara-negara yang bergabung didalamnya. Negara federal tidak terbentuk dari gabungan negara-negara berdaulat, sedangkan negara konfederasi terbentuk atas gabungan negara-negara berdaulat. Maka keputusan negara konfederasi tidak mengikat seluruh warga negaranya. (astalog.com)
[10] Gagasannya ini sebelumnya telah beliau singgung pula dalam bukunya yang berjudul Min Fiqh ad-Daulah fil Islam.


Urutan Khilafah Sepanjang Sejarah Islam

Oleh: Ahmad Sarwat
Dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 623 M, umat Islam segera membaiat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai pengganti beliau. Istilah pengganti ini dalam bahasa Arab adalah khalifah. Lengkapnya, khalifatu rasulillah atau pengganti Rasulullah. Maksudnya bukan menggantikan posisi kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan posisi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin tertinggi umat Islam. Sebab nabi kita itu selain sebagi nabi, juga berperan sebagai pemimpin tertinggi umat Islam.
Selain itu, ada juga sebutan lain buat posisi tertinggi umat Islam sedunia, yaitu istilah  Amirul Mukminin. Artinya adalah pemimpin umat Islam.
Khilafah Rasyidah
Khilafah Rasidah berdiri tepat di hari wafatnya Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terdiri dari 4 orang atau 5 orang shahabat nabi yang menjadi khalifah secara bergantian. Mereka adalah:
§  Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
§  ‘Umar bin Khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
§  ‘Utsman bin ‘Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
§  ‘Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M) dan
§  Al-Hasan bin ‘Ali ra (tahun 40 H/661 M)
Masa berlakunya selama kurang lebih 30 tahun. Disebut juga sebagai khilafah rasyidah karena posisi mereka sebagai shahabat nabi yang mendapat petunjuk. Dan memang ada pesan dari nabi untuk mentaati para khalifah rasyidah ini.
Khilafah Bani Umayyah
Khilafah ini berpusat di Syiria, tepatnya di kota Damaskus. Berdiri untuk masa waktu sekitar 90 tahun atau tepatnya 89 tahun, setelah era khulafa ar-rasyidin selesai. Khalifah pertama adalah Mu’awiyyah. Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam. Adapun masa kekuasaan mereka sebagai berikut:
§  Mu’awiyyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
§  Yazid bin Mu’awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
§  Mu’awiyah bin Yazid (tahun 64-65 H/683-684 M)
§  Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
§  Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-86 H/685-705 M)
§  Walid bin ‘Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
§  Sulaiman bin ‘Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
§  ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
§  Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724M)
§  Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
§  Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
§  Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
§  Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
§  Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)
Sebenarnya khilafah Bani Ummayah ini punya perpanjangan silsilah, sebab satu dari keturunan mereka ada yang menyeberang ke semenanjung Iberia dan masuk ke Spanyol. Di Spanyol mereka kemudian mendirikan khilafah tersendiri yang terlepas dari khilafah besar Bani Abbasiyah.
Khilfah Bani Abbasiyah
Kemudian kekhilafahan beralih ke tangan Bani ‘Abasiyah yang berpusat di Baghdad. Total masa berlaku khilafah ini sekitar 446 tahun. Khalifah pertama adalah Abu al-‘Abbas al-Safaah. Sedangkan khalifah terakhirnya Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah.
Secara rinci masa kekuasaan mereka sebagai berikut:
§  Abul ‘Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
§  Abu Ja’far al-Manshur (tahun 137-159 H/754-775 M)
§  Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
§  Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
§  Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
§  Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
§  Al-Ma’mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
§  Al-Mu’tashim Billah (tahun 618-228 H/833-842M)
§  Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
§  Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
§  Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
§  Al-Musta’in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
§  Al-Mu’taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
§  Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
§  Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
§  Al-Mu’tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
§  Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
§  Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)
§  Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
§  Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
§  Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
§  Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
§  Al-Muthi’ Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
§  Al-Tha`i’ Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
§  Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
§  Al-Qa`im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
§  Al-Mu’tadi Bi Amrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
§  Al-Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
§  Al-Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
§  Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
§  Al-Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160 M)
§  Al-Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
§  Al-Mustadli`u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
§  Al-Naashir Lidinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
§  Al-Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
§  Al-Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
§  Al-Musta’shim Billah (tahun 640-656 H/1242-1258 M)
§  Al-Mustanshir Billah II (tahun 660-661 H/1261-1262 M)
§  Al-Haakim Biamrillah I (tahun 661-701 H/1262-1302 M)
§  Al-Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302-1334 M)
§  Al-Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334-1343 M)
§  Al-Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
§  Al-Mu’tadlid Billah I (753-763 H/1354-1364 M)
§  Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah I (th. 763-785 H/1364-1386 M)
§  Al-Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386-1389 M)
§  Al-Musta’shim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
§  Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah II (th. 791-808 H/1392-1409 M)
§  Al-Musta’in Billah (tahun 808-815 H/1409-1416 M)
§  Al-Mu’tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416- 1446 M)
§  Al-Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
§  Al-Qa`im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
§  Al-Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
§  Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah III (th 884-893 H/1485-1494 M)
§  Al-Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
§  Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah IV (th 914-918 H/1515-1517 M)
Khilafah Bani Abbasiyah dihancurkan oleh pasukan Tartar (Mongol), sehingga umat Islam sempat hidup selama 3,5 tahun tanpa adanya khalifah. Namun kurun waktunya hanya terpaut 3 tahun setengah saja dan segera berdiri khilafah Utsmaniyah.
Khilafah Bani Utsmaniyyah
Khilafah Bani Utsmaniyyah tercatat memiliki 30 orang khalifah, yang berlangsung mulai dari abad 10 Hijriyah atau abad ke 16 Masehi. Nama-nama mereka sebagai berikut:
§  Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M)
§  Sulaiman al-Qanuni (tahun 926-974 H/1520-1566 M)
§  Salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M)
§  Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M)
§  Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M)
§  Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M)
§  Mushthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M)
§  ‘Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M)
§  Mushthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M)
§  Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)
§  Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)
§  Muhammad IV (tahun 1058-1099 H/1648-1687 M)
§  Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691 M)
§  Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M)
§  Mushthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M)
§  Ahmad III (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M)
§  Mahmud I (tahun 1143-1168 H/1730-1754 M)
§  ‘Utsman III (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M)
§  Musthafa III (tahun 1171-1187 H/1757-1774 M)
§  ‘Abdul Hamid I (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M)
§  Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M)
§  Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M)
§  Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M)
§  ‘Abdul Majid I (tahun 1255 H-1277 H/1839-1861 M)
§  ‘Abdul ‘Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)
§  Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M)
§  ‘Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)
§  Muhammad Risyad V (tahun 1328-1338 H/1909-1918 M)
§  Muhammad Wahiddin (II) (th. 1338-1340 H/1918-1922 M)
§  ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M).
Khalifah terakhir umat Islam sedunia adalah ‘Abdul Majid II. Semenjak itulah hingga saat ini, umat Islam hidup tanpa keberadaan lembaga yang menyatukan.

No comments:

Post a Comment