Wednesday, April 22, 2020

Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak

Pendahuluan

Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala kepada Rasulullah saw.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)
Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa syariat Islam akan memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap segala hal yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan membuahkan hasil berupa rahmatan lil ‘alamin.
Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan lil ‘alamin Islam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu’amalah insaniyah) . 
Dalam makalah yang ringkas ini, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk memuliakan keluarga sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kehidupan sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

A. Memuliakan Keluarga

1. Hubungan suami-istri

 Perhatian terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Perhatikan firman Allah Taala dalam Ar-Rum: 21
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 
Dengan demikian, sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu kondisi yang hendaknya diciptakan oleh pasangan suami isteri di dalam rumah tangganya.Dan ini memerlukan suatu upaya yang sistematis dan konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami isteri dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadis: 
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“… mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (Al-Baqarah: 187) 
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. “ - (An Nisaa: 19) 
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka...” ( An-Nisaa: 34) 
أَلَا أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? Wanita shalihah: jika dilihat (suami) menyenangkan dan jika (suami) meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Abu Dawud dan Nasa’i) 

“ Janganlah seorang (suami) mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (Muslim) 

“Takutlah kepada Allah dalam (memperlakukan) wanita karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah, dan engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”
“Sesungguhnya aku berdandan untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu Abbas RA) 

2. Memuliakan anak 

Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Dalam hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga keselamatan keluarganya dari api neraka 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
 Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6) . 
Sungguh menjadi kewajiban orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Memuliakan anak berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan sejak awal kehidupan mereka dimulai yakni: 
a. Menerima kelahiran 
Menerima kelahiran mereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: 
وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ احْتَجَبَ اللَّهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ 
Barang siapa yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup diri dari orang itu. dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang terdahulu dan kemudian (Ad Darami) . 
b. Melantunkan adzan di telinga kanan saat lahir ke dunia.

Aku melihat Rasulullah saw azan di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah ra. (Al-Hakim) 
c. Tahnik, 
Yaitu sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut di saat-saat pertama kehidupan anak (bisa dengan kurma atau madu) 
d. Menyusuinya dalam waktu yang cukup (2 tahun) .
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” ( Al-Baqarah: 233) 
e. Memberi nama yang baik. 
Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam namanya, karena nama yang diberikan orang tua mengandung do’a dan harapan. Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri apabila nama yang disandangnya buruk, atau tiada makna. 
f. Aqiqah: 
Menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari ketujuh. Rasulullah saw. bersabda, 

Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang memenuhi syarat dan bayi perempuan cukup dengan satu ekor kambing.” (Ad-Darami) 
g. Cukur rambut: 
Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan menimbang rambut tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang selanjutnya disedekahkan kepada faqir miskin. 
يَا فَاطِمَةَ احْلَقِي رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِي بِزِنَةِ شَعْرِهِ 
“Wahai Fatimah Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu” (Al-Hakim) 
h. Khitan: 
Dari segi medis khitan jelas bermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak kecil ia sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.
Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan pendidikan yang baik kepada mereka. Al Qur’an secara monumental telah mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah Lukman ketika sedang mendidik anaknya: 
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” ( Luqman: 13) 
Dengan pendidikan yang benar menurut apa yang diajarkan Allah Taala, maka anak akan menjadi individu yang mature dewasa dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi kemaslahatan umat. 
Kewajiban orang tua pada akhirnya disempurnakan dengan membantu mereka dalam membangun keluarga dengan menikahkannya. Orang tua berperan dalam memilih siapa calon suami/istri putra-putri mereka menurut ukuran kebaikan Islam. 

3. Memuliakan orang tua

Sedangkan bagaimana anak bersikap kepada orangtuanya, juga sangat jelas diperintahkan Allah Taala: 
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” ( Al-Isra: 23-24) 
Bahkan Allah selalu mensejajarkan perbuatan mengabdi kepada-Nya dan bertauhid dengan berbuat baik kepada orang tua: 
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ….” (An Nisa 36) 
Ini menunjukkan bahwa memuliakan kedua orangtua bukan perkara sepele. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa memuliakan kedua orangtua terus berlanjut meskipun keduanya telah tiada: 
عَنْ أَبِي أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِيِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا

Abu Usaid (Malik) bin Rabi’ah Assa’diyah berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW mendadak datang seorang dari Bani Salimah dan bertanya: Ya Rasulullah apakah masih ada jalan untuk berbakti terhadap ayah bundaku sesudah mati keduanya? Jawab Nabi: Ya, men-sholatkan atasnya, membacakan istighfar atas keduanya dan melaksanakan janji (wasiat) nya, serta menghubungkan ikatan yang tidak dapat dihubungkan melainkan karena keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya (Abu Dawud) 
Di antara tindakan-tindakan praktis membina hubungan yang baik kepada orangtua dalam konteks memuliakan mereka adalah: 
a.          Selalu menjaga silaturahim dengan cara mengunjungi mereka secara rutin (berkala) sesuai kemampuan. Bila jarak tempat tinggal jauh, dapat dilakukan melalui telpon atau surat. Tanyailah keadaan kesehatan mereka, masalah-masalah mereka. 
b.          Memenuhi kebutuhan mereka, terutama tentu saja kebutuhan hidup sehari-hari berupa sandang, pangan dan papan. 
a.          Memelihara kesehatan mereka dengan cara memonitor kesehatan mereka, menganjurkan bahkan membantunya berobat ke dokter. Menganjurkan mereka untuk memperbaiki pola makan, pola kerja dan pola hidup agar menjadi sehat. 
b.          Memberi mereka hadiah sesuatu yang menyenangkan mereka, meskipun cuma sebuah bingkisan kecil. Janganlah lupa memberikan mereka buah tangan apabila kita pulang dari bepergian jauh. 
c.          Menganjurkan mereka meningkatkan ibadah, memperbanyak dzikir dan menghadiri atau mendengarkan ceramah atau majelis ta’lim yang baik buat mereka. Berikan pula buku atau majalah yang patut mereka baca. 
d.          Mendidik anak-anak untuk menghormati dan menggembirakan mereka (kakek-nenek) 
e.          Pamit kepada mereka ketika hendak bepergian jauh. 
f.           Bila memiliki rezeki yang cukup, patutlah kita memberangkatkan mereka ke tanah suci Mekkah untuk ibadah Haji. 
g.          Sesekali ajaklah mereka rihlah bersama ke suatu tempat yang baik. 
Sungguh indah bagaimana Islam memberikan pedoman-pedoman yang jelas dan rinci bagaimana sebuah keluarga dibangun dengan cara-cara yang bersahaja dan penuh nilai-nilai luhur. 

B. Menyayangi Anak dan Menciuminya 

ـ عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال: أََخَذَ النَبٍي ـ صلى الله عليه وسلم ـ إبراهيم ، فَقَبَّلَهُ وشمَّهُ
Dari Anas bin Malik –ra. Berkata: Rasulullah saw menggendong Ibrahim dan menciuminya. (Al-Bukhari)
Ibnu Al Baththal berkata: 
يَجوزُ تَقْبِيلَ الوَلَدِ الصغيرِ في كلِّ عَضُّو مِنْهُ ،وكذا الكبيرُ عند أكْثَرُِ العُلَماءِ ، مَالَ لَمْ يَكُنْ عَوْرِةُ ، فلا تُقَبِِلُ عورة الوَلَدِ
Diperbolehkan mencium anak kecil, di semua anggota badannya. Demikian juga orang dewasa –menurut mayoritas ulama-, kecuali auratnya. Maka tidak boleh hukumnya mencium aurat anak. 
أَخَذَ النَّبِيُّ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ إِبْرَاهِيْمَ
Rasulullah mengambil anaknya –Ibrahim- dari ibunya Mariyah Al Qibthiyah, 
 ُفَقَبَّلَه Mencium dengan mulutnya, وَشَمَّهُ mencium dengan hidungnya, sepertinya ia adalah  ُ رِيحانَةpengharumnya 
Anak-anak itu diciumi serasa parfum – sepertinya. Rasulullah saw menerangkan dua cucunya Al Hasan dan Al Husain, dua putera Fatimah dengan kalimat: 
هُمَا رَيْحَانَتَايَّ مِنَ الدُّنْيَا Keduanya adalah keharumanku di dunia. HR Al Bukhari dari Ibnu Umar –ra. 
Kalimat, ريحانتاي من الدنيا berarti bagian parfum duniawiku.
Itulah ciuman yang Rasulullah saw lakukan kepada cucunya, menunjukkan cinta dan kasih sayangnya. 
Hadits ini menunjukkan cinta anak dan menciumnya. 
ـ عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ جَالِسًا فَقَالَ الْأَقْرَعُ إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنْ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ
 Dari Abu Hurairah ra- berkata: Rasulullah saw menciumi Al Hasan bin Ali, di hadapan Al Aqra’ bin Habis At Tamimiy yang sedang duduk. Lalu Al Aqra’ berkata: Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, dan aku belum pernah menciumi seorang pun. Lalu Rasululahn saw memandanginya dan bersabda: “Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi” (Al Bukhari)
Penjelasan: 
Rasulullah saw mencium Al Hasan bin Ali –ra. Putra Fathimah –ra. 
Al Hasan lahir pada tahun 2 (dua) Hijriyah.
Ketika itu Al Aqra’bin Habis At Tamimiy sedang duduk berada di hadapan Rasulullah saw. Ia seorang mu’allaf, sehingga Islamnya menjadi baik. 
Rasulullah saw melihatnya dengan pandangan yang kurang menyenangkan karena ia tidak pernah mencium anaknya. 
Kemudian Rasulullah saw bersabda, untuk merubah sikapnya terhadap anak-anaknya, sehingga anaknya merasakan kasih sayangnya dengan menciuminya.
 مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمُ Barang siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi. 
مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمُ Huruf ya pertama di baca fathah dan ya’ kedua dibaca dlammah. Boleh juga kedua ya’ dibaca rafa’ (huruf mim dibaca dlammah) dengan menstatuskan kata “Man” sebagai isim Maushul. Atau keduanya dibaca jazm (mim dibaca sukun/mati) dan kata Man berstatus syarat. Namun pada umumnya para rawi membacanya dengan rafa’. 
Jawaban Rasulullah kepada Al Aqra menunjukkan bahwa mencium anak itu bertujuan untuk menunjukkan kasih sayang dan perhatian, bukan kelezatan atau syahwat. 
Kata “rahmat” kasih sayang dari sesama makhluk adalah kelembutan hati yang membuat seseorang memuliakan, dan ihsan (berbuat baik) . Rahmat dari sesama makhluk adalah termasuk dalam amal shalih, sedangkan rahmat dari Allah swt adalah balasan atas amal shalih yang dilakukan. 
Sesungguhnya orang yang berfikir dan bersemangat untuk membuat kebaikan pada dirinya sendiri akan berusaha agar rasa kasih sayang itu menjadi akhlak dan kepribadiannya, agar mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang sesama manusia. Barang siapa yang menyayangi ia akan disayangi, dan sebaliknya; barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak disayangi. 
Dari hadits di atas dapat disimpulkan antara lain: 
  1. Masyru’iyyah (disyariatkannya) mencium anak, dan hal ini adalah sunnah Nabi yang mulia. 
  2. Orang yang tidak menyayangi sesama manusia dan makhluk hidup lainnya akan terhalang dari rahmat Allah, dan kasih sayang sesama manusia. Karena balasan itu serupa dengan amalnya. 
  3. Orang yang menyayangi orang lain mendapatkan keberuntungan rahmat Allah dan kasih sayang sesama manusia yang akan menjadi penolong di kala sempit dan pembela pada saat yang dibutuhkan. 

C. Hak Anak Perempuan 

Dan orang yang mendapatkan rahmat Allah, ia akan hidup dengan kehidupan yang baik, mendapatkan nikmat lahir batin, dan akan berakhir dengan kebaikan (husnul khatimah) . 
3 ـ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَاوَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ مَنْ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ
 Dari Aisyah –isteri Rasulullah saw- berkata: Telah datang padaku seorang wanita bersama dengan dua orang anaknya meminta sesuatu kepadaku. Aku hanya memiliki sebutir korma, lalu aku berikan padanya. ibu itu kemudian membaginya untuk kedua anaknya, lalu pergi. Kemudian Rasulullah saw datang dan aku ceritakan kepadanya. Nabi bersabda: barangsiapa yang dikaruniai anak-anak perempuan lalu berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak itu akan menjadi penghalangnya dari neraka. HR Al Bukhari, Muslim dan At Tirmidzi
Penjelasan: 
 معها ابنتانMembawa dua anaknya
تَسْأَلُنِي فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي تَمْرَةً وَاحِدَةً فَأَعْطَيْتُهَا Ia memintaku, lalu aku tidak temukan kecuali sebutir kurma, lalu aku berikan kepadanya. Hal ini menunjukkan kedermawanan Ummul Mukminin Aisyah –ra. Ketika tidak ada sesuatupun yang bisa diberikan kecuali sebutir kurma, ia lebih prioritaskan untuk wanita itu, daripada dirinya sendiri. 
فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا Kemudian wanita itu membaginya untuk kedua anaknya. Secara tekstual hadits ini menerangkan bahwa ibu itu tidak makan sedikitpun. Seorang ibu yang memprioritaskan anaknya daripada dirinya adalah bentuk kasih sayang yang tidak diragukan lagi. 
ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ Kemudian wanita itu bangkit dan keluar, bersama dengan kedua anaknya dari rumah Aisyah –ra.
 " فَدَخَلَ النَّبِيُّ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ فَحَدَّثْتُهُ Kemudian Rasulullah saw masuk, lalu Aisyah –ra menceritakan hal ini kepadanya. 
 Lalu Rasulullah saw bersabda: مَنْ يَلِي " dari kata: الوِلاَيَةُmenguasai. Dalam riwayat lain مَنْ بُلى huruf ba’ dibaca dhammah, dari kata: الْبَلاَءُ: ujian. 
Dalam riwayat lain مَنْ ابْتُلِى: barang siapa yang diuji. 
Artinya barang siapa yang diuji seperti ujian anak-anak ini; untuk dinilai; apakah akan memperlakukan mereka dengan baik atau tidak baik. Maka pahala akan diberikan kepada pelaku kebaikan kepada satu anak perempuan sebagaimana balasan kebaikan itu akan diperoleh pelaku kebaikan kepada lebih dari satu anak perempuan. Berbuat baik kepada anak antara lain dengan infaq (membiayai) ta’dib (mendidik) dsb. 
Secara zhahir; pahala yang disebutkan di atas itu akan diperoleh pelaku kebaikan sehingga anak itu mandiri dengan menikah atau lainnya. 
" كُنَّ لَهُ سِتْراً " Mereka menjadi penghalang. Dalam riwayat lain: كن له حجاباً mereka menjadi hijab (penutup) . Kata satr dan hijab memiliki makna yang sama. 
Hadits ini menegaskan tentang hak anak perempuan. Karena pada umumnya mereka lemah dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Berbeda dengan laki-laki, yang secara fisik lebih kuat, lebih cair dalam berfikir, mampu memenuhi kebutuhannya, pada umumnya. 
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran: 
  1. Orang yang sangat membutuhkan diperbolehkan meminta-minta. Seperti yang dilakukan oleh ibu dari dua anak perempuan tadi kepada Aisyah ra
  2. Sebaiknya bersedekah dengan apa yang ada, sedikit atau banyak. Seperti yang dilakukan oleh Aisyah ra, dengan sebutir kurma. Kurang berharganya sebutir kurma itu tidak menghalanginya dari bersedekah. 
  3. Diperbolehkan menceritakan kebaikan yang dilakukan, selama tidak bertujuan untuk membanggakan diri dan membangkit pemberian. Seperti yang dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra dalam bercerita kepada Rasulullah tentang wanita itu dan kedua anaknya.
  4. Sesungguhnya menyayangi anak perempuan dan berbuat baik kepadanya akan menjaga dari apai neraka, yang menjadi pekerjaan orang-orang baik untuk berusaha terlindung dan selamat darinya. 

D. Allah sangat menyayangi anak melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya

ـ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنْ السَّبْيِ قَدْ تَحْلُبُ ثَدْيَهَا تَسْقِي إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ فَقَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا لَا وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ فَقَالَ لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا

Dari Umar bin Al Khaththab ra- berkata: Didatangkanlah para tawanan perang kepada Rasulullah saw. Maka di antara tawanan itu terdapat seorang wanita yang susunya siap mengucur berjalan tergesa-gesa –sehingga ia menemukan seorang anak kecil dalam kelompok tawananan itu- ia segera menggendong, dan menyusuinya. Lalu Nabi Muhammad saw bersabda: Akankah kalian melihat ibu ini melemparkan anaknya ke dalam api? Kami menjawab: Tidak, dan ia mampu untuk tidak melemparkannya. Lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-Nya, melebihi sayangnya ibu ini kepada anaknya, (Al Bukhari dan Muslim). 
Penjelasan: 
قَدِمَ Qaf dibaca dhammah, berbentuk Mabni Majhul (didatangkan) 
سَبَّى Tawanan dari Hawazin
تَحْلُبُ Ha’ dibaca fathah dan lam diberi tasydid. ثديها Berbentuk mufrad (kata tunggal) dibaca rafa’ sebagai fa’il; telah mengalir air susu darinya. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata –dalam Fathul Bari- siap mengeluarkan susu. 
تَسْعَى A’in dibaca fathah, dari kata sa’i (berjalan cepat) mencari anaknya yang hilang. 
إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ  Ia dapatkan seorang anak kecil dalam kelompok tawanan itu, ia mengambilnya lalu memeluknya dan menyusuinya. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul-Bari, setelah kalimat itu – 
إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ
Artinya: Wanita itu bergegas berjalan mencari anaknya yang hilang. Ia resah dengan air susunya yang telah terkumpul di buah dadanya –ketika ia menemukan anak kecil ia ambil dan ia susuinya, untuk meringankan air susunya, lalu menemukan anak kecil lagi –dan itulah anaknya sendiri- ia ambil dan ia peluk dalam perutnya dan menyusuinya. Lalu Rasulullah saw bersabda: أترونta’ dibaca fathah artinya: apakah kamu menyangka wanita itu melemparkan anaknya ke dalam api. Kami jawab. Tidak mungkin ia lemparkan anaknya ke dalam api. 
Lalu Rasulullah saw bersabda: لله lam pertama dibaca, lam taukid (penegasan) . Sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-Nya melebihi wanita itu sayang kepada anaknya. Allah tidak akan melemparkannya ke neraka karena sangat sayang kepada mereka. 
العباد Para hamba yang dimaksudkan adalah kaum mukminin yang bertaqwa yang beramal shalih. Seperti firman Allah: 
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاءُ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ 
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia Ini dan di akhirat; Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami". (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil....(Al A’raf:156-157)
hadits ini dikuatkan pula oleh riwayat Imam Ahmad dan Al Hakim dari Anas, ra, berkata: 
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَصَبِيٌّ فِي الطَّرِيقِ فَلَمَّا رَأَتْ أُمُّهُ الْقَوْمَ خَشِيَتْ عَلَى وَلَدِهَا أَنْ يُوطَأَ فَأَقْبَلَتْ تَسْعَى وَتَقُولُ ابْنِي ابْنِي وَسَعَتْ فَأَخَذَتْهُ فَقَالَ الْقَوْمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُلْقِيَ ابْنَهَا فِي النَّارِ قَالَ فَخَفَّضَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَلَاءُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُلْقِي حَبِيبَهُ فِي النَّارِ
 Dari Nabi saw: Rasulullah saw melintasi sekelompok sahabatnya –ada seorang anak kecil di tengah jalan. Ketika ibunya melihat hal itu, ibu itu ketakutan bahwa anaknya akan jatuh, lalu ia bergegas menghampiri dan memanggil-manggil: anakku-anakku, ibu itu berjalan cepat, dan mengambilnya. Para sahabat bertanya: Ibu ini tidak akan melemparkan anaknya ke dalam api. Rasulullah saw bersabda: Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam api neraka. Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam api neraka.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran: 
  1. Tidak ada seorangpun yang lebih sayang melebihi Allah. Allah swt lebih sayang dibandingkan dengan orang yang harus menyayangi. Tidak pernah ada dalam makhluk Allah yang lebih sayang dari ibunya. Dan Rasulullah saw bersabda: Allah lebih sayang dari pada ibu itu menyayangi anaknya. 
  2. Boleh melihat tawanan wanita. Rasulullah saw tidak melarang melihat wanita dalam hadits di atas. Bahkan dalam hadits tadi termuat pembolehan melihatnya. 
  3. Penggunaan contoh sebagai alat bantu, sehingga bisa ditangkap secara fisik untuk hal-hal yang tidak mudah difahami, agar mendapatkan pengertian yang tepat, meskipun yang dijadikan contoh sesuatu yang tidak akan dapat terjangkau hakekatnya. Itulah rahmat Allah yang tidak akan terjangkau oleh akal. Walau demikian Rasulullah saw mendekatkan pemahaman itu kepada para pendengar dengan keadaan wanita tersebut. 
  4. Pemanfaatan kesempatan untuk menyampaikan dakwah. Rasulullah saw memanfaatkan kesempatan perhatian para sahabat terhadap fenomena kasih sayang ibu kepada anaknya, lalu dialihkan kepada kasih sayang yang lebih besar, untuk memenuhi kebutuhannya, dan menjadi tempat bergantung dalam semua urusan.

E. Meletakkan Anak dalam pelukan atau Pangkuan 

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ صَبِيًّا فِي حَجْرِهِ يُحَنِّكُهُ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ
Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad saw meletakkan anak kecil di pelukannya kemudian mentahniknya (menyuapi dengan kurma yang telah dukunyahnya) , lalu anak itu kencing di pelukannya, lalu meminta air dan mengguyurnya. (Al-Bukhari)
Penjelasan: 
عَنْ عَائِشَةَ ـ Isteri Nabi Muhammad saw 
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ صَبِيًّا Sesungguhnya Nabi Muhammad saw meletakkan anak kecil, yaitu Abdullah bin Az Zubair, seperti yang diriwayatkan oleh Ad Daru Quthniy, atau anak itu adalah Al Husain bin Ali seperti dalam riwayat Al Hakim. 
حَجْرِهِ Ha’ dibaca kasrah, ada pula yang membacanya fathah, dan jim dibaca sukun/mati. Keterangan keadaan ketika Nabi يُحنكه mentahniknya, yaitu menyuapinya kurma setelah kurma itu dikunyahnya, untuk mendapatkan berkah ludah Nabi Muhammad saw, yang bercampur dengan rasa kurma yang manis. 
فَبَالَ عَلَيْهِ Lalu anak itu mengencingi bajunya, فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ lalu Nabi mengguyur bekas kencing itu dengan air. 
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara lain: 
  1. Menyayangi anak kecil, dan memperhatikannya. Nabi Muhammad saw meletakkan anak itu dalam pelukannya dan mentahniknya
  2. Bersabar menghadapi prilakunya, tidak membalasnya, karena belum mukallaf (bertanggung jawab) . 
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذُنِي فَيُقْعِدُنِي عَلَى فَخِذِهِ وَيُقْعِدُ الْحَسَنَ عَلَى فَخِذِهِ الْأُخْرَى ثُمَّ يَضُمُّهُمَا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَا
Dari Usamah bin Zaid –ra, berkata: Rasulullah saw pernah mengangkatku dan mendudukkan aku di atas pahanya, dan Hasan bin Ali duduk di paha yang lain, kemudian Rasulullah saw memeluk kami berdua, dan bersabda: Ya Allah sayangilah keduanya, karena sesungguhnya aku menyayanginya. (Al Bukhari)
Penjelasan: 
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ Dari Usamah bin Zaid bin Haritsah, dipanggil pula
 الْحُِبُّ ابْنُ الْحُِبِّ kesayangan putra kesayangan Rasulullah saw, -lalu Rasulullah mendudukkan aku di atas pahanya dan Al Hasan bin Ali duduk di paha lainnya. Hal ini menunjukkan perhatian dan cinta Rasulullah kepada keduanya. 
Usamah lebih tua dari Al Hasan. Mayoritas pendapat tentang umur Al Hasan adalah ketika Rasulullah saw wafat ia berusia 8 (delapan) tahun, sedangkan Usamah ketika itu berusia 19 (sembilan belas) tahun. Rasulullah saw memeluk keduanya kemudian berdoa: ”Ya Allah sayangilah keduanya, karena sesungguhnya kami menyayanginya dan mengasihinya. 
Hadits ini berisi tentang keutamaan Usamah bin Zaid dan Hasan bin Ali, dengan curahan cinta Rasulullah saw kepada keduanya. 
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara lain: 
Bahwa meletakkan anak kecil di pangkuan adalah salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang. Hal ini membuktikan rasa cinta. 

F. Larangan Membunuh Anak Karena takut berkurang makananannya

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَصْدِيقَ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdullah bin Mas’ud –ra berkata: Aku bertanya: Ya Rasulallah, dosa apakah yang paling besar? Rasulullah saw menjawab: Engkau menjadikan sekutu bagi Allah –padahal Allah yang telah menciptakanmu. Kemdian apa lagi? Jawabnya: Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan makananmu. Kemudian apa lagi? Jawabnya: Engkau berzina dengan isteri tetanggamu. Dan Allah turunkan ayat yang membenarkan ungkapan Rasulullah ini: 
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya) , QS. AL Furqan: 68)
Penjelasan: 
بَابُ النَّهْيِ عَنْ قَتْلِ الْمَرْءِ وَلَدَهُ خَشْيَةً أَنْ يَأْكُلَ مَعَهُ "
Membunuh anak adalah perbuatan terlarang secara umum, tidak hanya karena takut makan bersama saja. Akan tetapi jika ada larangan membunuh anak karena takut makan bersama, maka karena alasan lainnya, lebih harus dilarang. 
نِداً sekutu, وَهُوَ خَلَقَكَ Hanya Allah yang telah menciptakanmu, lalu bagaimana mungkin kamu mensekutukannya? Maha suci Allah dari apa yang mereka sekutukan. Lalu Ibnu Mas’ud menanyakan dosa apa lagi yang lebih besar. Rasulullah saw menjawab: 
 أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةً أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ Engkau bunh anakmu karena takut makan bersamamu. Kenapa ada ketakutan seperti ini, yang menyebabkan dosa yang sangat besar? Sedangkan Allah menjamin: 
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا 
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (Al-Isra’:31)
Ibnu Mas’ud bertanya lagi: Lalu dosa apa lagi yang sangat besar? Jawab Nabi: Kamu berzina dengan isteri tetanggamu. Karena perbuatan ini mengandung penodaan besar kepada orang yang seharusnya dihormati, yaitu tetangga. 
Allah swt menurunkan ayat yang membenarkan ungkapan Rasulullah ini dalam surah Al-Furqan: 68
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
”Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)”. (Al-Furqan:68)
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran antara lain: 
Larangan mensekutukan Allah, membunuh anak, dan berzina dengan isteri tetangga. Dan diterangkan dengan adanya dosa yang sangat besar. 

No comments:

Post a Comment