Sunday, July 7, 2019

Perang Bani Nadhir

Tragedi Raji’ dan Bi’ru Ma’unah 
Pasca Perang Uhud, kaum muslimin menghadapi peristiwa yang menggoncangkan, yaitu terjadinya peristiwa di Raji’ dan Bi’ru Mau’nah.  Peristiwa berdarah ini melunturkan wibawa mereka  yang baru saja tumbuh. Pasca peristiwa Raji’ dan Sumur Maunah itu kaum munafik dan orang yahudi menjadi semakin berani berbuat kurang ajar kepada Rasulullah dan kaum muslimin.
Tragedi Raji’
Pada tahun ke -3 Hijriyah, beberapa utusan dari Kabilah Udlal dan Qarah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa berita tentang Islam telah sampai kepada mereka. Oleh sebab itu, mereka sangat membutuhkan orang-orang yang akan mengajarkan kepada mereka agama. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa orang dari sahabatnya, antara lain: Murtsid bin Abi Murtsid, Khalid bin Al-Bakir, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Ady, Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq. Rasulullah saw menunjukk Ashim bin Tasbit sebagai Amir mereka.
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, ia berkata :
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً عَيْنًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَاصِمَ بْنَ ثَابِتٍ وَهُوَ جَدُّ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَانْطَلَقُوا حَتَّى إِذَا كَانَ بَيْنَ عُسْفَانَ وَمَكَّةَ ذُكِرُوا لِحَيٍّ مِنْ هُذَيْلٍ يُقَالُ لَهُمْ بَنُو لَحْيَانَ فَتَبِعُوهُمْ بِقَرِيبٍ مِنْ مِائَةِ رَامٍ فَاقْتَصُّوا آثَارَهُمْ حَتَّى أَتَوْا مَنْزِلًا نَزَلُوهُ فَوَجَدُوا فِيهِ نَوَى تَمْرٍ تَزَوَّدُوهُ مِنْ الْمَدِينَةِ فَقَالُوا هَذَا تَمْرُ يَثْرِبَ فَتَبِعُوا آثَارَهُمْ حَتَّى لَحِقُوهُمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus sekelompok pasukan pengintai yang dipimpin oleh ‘Ashim bin Tsabit -dia adalah kakek ‘Ashim bin Umar- Lalu mereka berangkat, mereka kemudian singgah disuatu tempat antara ‘Usfan dan Makkah, keberadaan mereka diberitahukan kepada suatu perkampungan dari suku Hudzail, mereka biasa disebut dengan Bani Lahyan. Maka mereka diikuti oleh orang-orang dari perkampuangan tersebut, yaitu sekitar seratus orang pemanah, mereka mengiuti jejak para sahabat tersebut, sesampainya mereka di suatu persinggahan yang pernah disinggahi oleh para sahabat, mereka mendapati biji kurma Madinah yang dibawa oleh para sahabat sebagai perbekalan mereka, mereka berkata, ‘Ini adalah kurma Madinah.’  Mereka terus mengikuti para sahabat sehingga berhasil menyusulnya, 
فَلَمَّا انْتَهَى عَاصِمٌ وَأَصْحَابُهُ لَجَئُوا إِلَى فَدْفَدٍ وَجَاءَ الْقَوْمُ فَأَحَاطُوا بِهِمْ فَقَالُوا لَكُمْ الْعَهْدُ وَالْمِيثَاقُ إِنْ نَزَلْتُمْ إِلَيْنَا أَنْ لَا نَقْتُلَ مِنْكُمْ رَجُلًا فَقَالَ عَاصِمٌ أَمَّا أَنَا فَلَا أَنْزِلُ فِي ذِمَّةِ كَافِرٍ اللَّهُمَّ أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ فَقَاتَلُوهُمْ حَتَّى قَتَلُوا عَاصِمًا فِي سَبْعَةِ نَفَرٍ بِالنَّبْلِ وَبَقِيَ خُبَيْبٌ وَزَيْدٌ وَرَجُلٌ آخَرُ فَأَعْطَوْهُمْ الْعَهْدَ وَالْمِيثَاقَ فَلَمَّا أَعْطَوْهُمْ الْعَهْدَ وَالْمِيثَاقَ نَزَلُوا إِلَيْهِمْ
ketika ‘Ashim bin Tsabit dan para sahabatnya merasakan kehadiran orang-orang itu, para sahabat langsung berlindung dibalik bukit, orang-orang itu datang dan langsung mengepung, mereka berkata, ‘Turunlah kalian, kalian dapat membuat perjanjian dan kesepakatan, supaya kami tidak membunuh seorangpun dari kalian, ‘ ‘Ashim bin Tsabit menimpali,  ‘Demi Allah, aku tidak akan berada dalam lindungan orang kafir, ya Allah beritahukanlah kabar kami kepada Nabi-Mu shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘ Lalu mereka menyerang para sahabat hingga berhasil membunuh ‘Ashim bersama tujuh pemanah lainnya, tinggal tersisa Khubaib, Zaid dan seorang sahabat lagi. Lalu mereka membuat perjanjian dan kesepakatan dengan mereka jika bersedia untuk turun dan menyerahkan diri. 
فَلَمَّا اسْتَمْكَنُوا مِنْهُمْ حَلُّوا أَوْتَارَ قِسِيِّهِمْ فَرَبَطُوهُمْ بِهَا فَقَالَ الرَّجُلُ الثَّالِثُ الَّذِي مَعَهُمَا هَذَا أَوَّلُ الْغَدْرِ فَأَبَى أَنْ يَصْحَبَهُمْ فَجَرَّرُوهُ وَعَالَجُوهُ عَلَى أَنْ يَصْحَبَهُمْ فَلَمْ يَفْعَلْ فَقَتَلُوهُ وَانْطَلَقُوا بِخُبَيْبٍ وَزَيْدٍ حَتَّى بَاعُوهُمَا بِمَكَّةَ
Tatkala pasukan tersebut telah menyandera tiga utusan Nabi, mereka memudar tali anak panah mereka untuk mengikat sandra mereka dengan tali itu, maka laki-laki yang ketiga berkata, ‘Ini adalah pengkhinatan pertama, demi Allah aku tidak akan menjadi teman kalian, ‘ lalu mereka menyeretnya, namun ia tetap berontak, akhirnya mereka membunuhnya dan mereka pergi dengan membawa Khubaib dan Zaid hingga mereka menjualnya di Makkah. 
فَاشْتَرَى خُبَيْبًا بَنُو الْحَارِثِ بْنِ عَامِرِ بْنِ نَوْفَلٍ وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ قَتَلَ الْحَارِثَ يَوْمَ بَدْرٍ فَمَكَثَ عِنْدَهُمْ أَسِيرًا حَتَّى إِذَا أَجْمَعُوا قَتْلَهُ اسْتَعَارَ مُوسًى مِنْ بَعْضِ بَنَاتِ الْحَارِثِ لِيَسْتَحِدَّ بِهَا فَأَعَارَتْهُ قَالَتْ فَغَفَلْتُ عَنْ صَبِيٍّ لِي فَدَرَجَ إِلَيْهِ حَتَّى أَتَاهُ فَوَضَعَهُ عَلَى فَخِذِهِ فَلَمَّا رَأَيْتُهُ فَزِعْتُ فَزْعَةً عَرَفَ ذَاكَ مِنِّي وَفِي يَدِهِ الْمُوسَى فَقَالَ أَتَخْشَيْنَ أَنْ أَقْتُلَهُ مَا كُنْتُ لِأَفْعَلَ ذَاكِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَكَانَتْ تَقُولُ مَا رَأَيْتُ أَسِيرًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ خُبَيْبٍ لَقَدْ رَأَيْتُهُ يَأْكُلُ مِنْ قِطْفِ عِنَبٍ وَمَا بِمَكَّةَ يَوْمَئِذٍ ثَمَرَةٌ وَإِنَّهُ لَمُوثَقٌ فِي الْحَدِيدِ وَمَا كَانَ إِلَّا رِزْقٌ رَزَقَهُ اللَّهُ
Bani Harits bin ‘Amir bin Naufal lalu membeli Khubaib. -Khubaib adalah orang yang telah membunuh Al Harits ketika perang badar- Khubaib menjadi tawanan bagi mereka hingga mereka sepakat untuk membunuhnya. Khubaib meminjam pisau kecil dari salah satu anak perempuan Al Harits untuk bercukur, lalu ia meminjamkannya kepada Khubaib. Wanita itu berkata, ‘Namun aku lalai dengan anak laki-laki kecilku, anak itu datang kepadanya, lalu ia mengambilnya dan mendudukkanya diatas pangkuannya. Ketika aku melihatnya, aku sangat takut dengan rasa takut yang bisa ia pahami, sedangkan pisau kecil masih ada dalam tangannya. Khubaib berkata, ‘Apakah kamu takut kalau aku akan membunuhnya? Insya Allah aku tidak akan melakukan itu.’ Wanita itu berkata, ‘Demi Allah aku tidak pernah melihat tawanan yang sangat baik seperti Khubaib, aku pernah melihatnya memakan setangkai anggur di tangannya dalam keadaan terikat dengan rantai besi, padahal di Makkah tidak ada buah anggur, tidaklah hal itu melainkan rizqi yang Allah berikan kepada Khubaib.’
فَخَرَجُوا بِهِ مِنْ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فَقَالَ دَعُونِي أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ لَوْلَا أَنْ تَرَوْا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ مِنْ الْمَوْتِ لَزِدْتُ فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ عِنْدَ الْقَتْلِ هُوَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا ثُمَّ قَالَ مَا أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَيِّ شِقٍّ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الْإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ عُقبَةُ بْنُ الْحَارِثِ فَقَتَلَهُ وَبَعَثَتْ قُرَيْشٌ إِلَى عَاصِمٍ لِيُؤْتَوْا بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ يَعْرِفُونَهُ وَكَانَ عَاصِمٌ قَتَلَ عَظِيمًا مِنْ عُظَمَائِهِمْ يَوْمَ بَدْرٍ فَبَعَثَ اللَّهُ عَلَيْهِ مِثْلَ الظُّلَّةِ مِنْ الدَّبْرِ فَحَمَتْهُ مِنْ رُسُلِهِمْ فَلَمْ يَقْدِرُوا مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ
Lalu mereka membawa Khubaib keluar dari Haram untuk membunuhnya. Khubaib berkata,  ‘Berikanlah kesempatan kepadaku untuk mengerjakan (shalat) dua raka’at!’ Setelah itu Khubaib kembali kepada mereka dan berkata, ‘Sekiranya aku tidak khawatir kalian menganggapku takut dari kematian, niscaya aku akan menambah bilangan raka’atku.’ Dan dialah orang yang pertama kali melakukan shalat dua raka’at sebelum menghadapi kematian, kemudian ia berkata, ‘Ya Allah hitunglah jumlah mereka, ‘ kemudian dia melanjutkan, ‘Aku tak peduli bila terbunuh sebagai seorang muslim, di bagian manapun hanya untuk Allah kematianku, yang demikian bagi Sang Ilah, jika Dia berkehendak akan memberkahi semua persendian jasad yang terpisah.’ Lalu berdirilah ‘Uqbah bin Al Harits dan membunuhnya. Orang-orang Quraisy kemudian mengutus utusan kepada ‘Ashim untuk mendapatkan sebagian jasadnya sebagai bukti, sebab ia telah membunuh sebagian besar dari para pembesar mereka pada perang badar, ternyata Allah mengutus semacam gulungan debu yang menggulung utusan mereka hingga mereka tidak berhasil mengambil sedikitpun dari jasad Khubaib.’”
Ath-Thabary menambahkan sebuah riwayat dari Abi Kuraib, ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Ja‘far b in Aun dari Ibrahim bin Ismail ia berkata, telah menceritakan kepadaku Ja‘far bin Amir bin Umaiyyah dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya sendirian sebagai mata-mata kepada kaum Quraisy. Ia berkata, ‘Kemudian aku datang ke sebuah kayu tempat Khubaib dieksekusi, dengan sangat hati-hati. Lalu aku naik kepadanya kemudian aku lepaskan ikatakannya dan Khubaib pun lenyap seolah-olah ditelan oleh bumi. Sampai hari ini tidak diketahui tulang-tulang Khubaib itu’”.
Ibnu Ishaq berkata, “Adapun Zaid bin Datsinah, dia dibeli oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika mereka membawanya keluar dari al-Haram untuk dibunuh, Abu Shafwan bertanya kepadaku, ‘Aku bersumpah padamu hai Zaid. Apakah kamu suka seandainya Muhammad sekarang ini kami hukum sebagai penggantimu dan kami kami kembalikan kepada keluargamu?’ Jawab Zaid dengan tegas : ‘Demi Allah, aku tidak rela jika Muhammad sekarang ini terkena duri sedikitpun sedangkan aku duduk bersama keluargaku.’ Mendengar jawaban ini Abu Shufyan berkomentar ,  ‘Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih dicintai oleh sahabatnya seperti kecintaan sahabat Muhammad terhadap Muhammad.’”
Tragedi Bi‘ru Ma‘unah
Amir bin Malik yang dikenal dengan Mula‘ibul Asnah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamKemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan Islam kepadanya, tetapi dia tidak menerima juga tidak menolak Islam. Dia hanya berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Hai Muhammad , utuslah beberapa orang sahabatmu ke Najd untuk berdakwah di sana. Saya yakin mereka akan menyambut agamamu!“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku khawatir penduduk Nejd akan menyerang mereka.“ Kata Amir, “Utuslah saja, aku yang akan melindungi dan menjamin mereka. Biarlah mereka mengajak kepada agamamu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 70 sahabat pilihannya. Pengiriman para da’i ini menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir, dilakukan empat bulan setelah perang Uhud. Maka berangkatlah mereka hingga sampai di Bi‘ru Ma‘unah. Ketika sampai di tempat ini, diutuslah Haram bin Milham salah seorang dari delegasi da’i tersebut untuk menyampaikan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amir bin Thufail. Belum sampai surat itu dibacanya, Amir bin Thufail langsung membunuh Haram bin Milhan.
Menurut riwayat Bukhari dari Anas bin Malik bahwa ketika Haram bin Milhan ditikam dan darahnya muncrat di wajahnya, ia berteriak, “Aku telah sukses demi Rabb Ka‘bah“. Kemudian Amir bin Thufail menggerakkan Bani Amir untuk menyerang pada da’i yang lainnya, tetapi Bani Amir menolaknya dan berkata, “Kami tidak akan mengkhianati Abu Barra‘ (Amir bin Malik)”. Lalu Amir bin Thufail meminta bantuan kepada kabilah-kabilah Sulaim dari suku Ushaiyyah, Ri‘iI dan Dzakwan. Kabilah-kabilah ini menyambut ajakan Amir bin Thufail lalu mengepung dan menyerang mereka. Para da’i itu berusaha melakukan perlawanan tetapi tidak berdaya sampai semuanya gugur terbunuh.
Di antara para da’i yang diutus itu terdapat dua orang sahabat yang tidak menyaksikan tindak pengkhianatan ini. Salah seorang di antaranya ialah Amir bin Umaiyyah Adh-Dhamri. Kedua sahabat ini tidak mengetahui berita terjadinya pengkhianatan tersebut sehingga keduanya datang membantu saudara-saudaranya. Tetapi sahabatnya itu pun terbunuh bersama yang lain, sementara Amir bin Umaiyyah Adh-Dhamri berhasil lolos dan kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan dua orang Musyrik yang disangkanya dari Bani Amir. Lalu kedua orang itu dibunuhnya. Setelah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diceritakan kasus tersebut, ternyata kedua orang itu dari Bani Kilab dan telah mendapatkan jaminan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi bersabda, “Engkau telah membunuh dua orang. Aku harus membayar diyatnya.“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kesedihan yang mendalam atas kematian delegasi da’i yang semuanya itu adalah sahabat beliau, sehingga selama sebulan penuh Rasulullah saw melakukan qunut di shalat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah Ri‘I, Dzakwan, Bani Lihyan dan Ushaiyyah.
Peristiwa tersebut diceritakan dalam banyak riwayat, diantaranya adalah dua riwayat berikut,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الَّذِينَ قَتَلُوا يَعْنِي أَصْحَابَهُ بِبِئْرِ مَعُونَةَ ثَلَاثِينَ صَبَاحًا حِينَ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَلَحْيَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِينَ قُتِلُوا أَصْحَابِ بِئْرِ مَعُونَةَ قُرْآنًا قَرَأْنَاهُ حَتَّى نُسِخَ بَعْدُ بَلِّغُوا قَوْمَنَا فَقَدْ لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَرَضِينَا عَنْهُ
Dari Anas bin Malik dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan kebinasaan terhadap kaum yang telah membunuh para sahabat beliau di Bi’rul Ma’unah selama tiga puluh hari, beliau mendo’akan (kebinasaan) terhadap Ri’l, Lahyan dan ‘Ushayyah yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas mengatakan, “Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai orang-orang yang terbunuh di peristiwa Bi’rul Ma’unah, dan ayat tersebut sempat kami baca hingga akhirnya dimansukh, ayat itu adalah ‘Sesungguhnya kami telah berjumpa dengan Rabb kami, dan Rabb kamipun ridla terhadap kami, dan kamipun ridla terhadap-Nya ‘.” (HR. Bukhari)
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَبَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ عِنْدَ بِئْرٍ يُقَالُ لَهَا بِئْرُ مَعُونَةَ فَقَالَ الْقَوْمُ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكُمْ أَرَدْنَا إِنَّمَا نَحْنُ مُجْتَازُونَ فِي حَاجَةٍ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلُوهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ
Dari Anas radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus tujuhpuluh orang untuk suatu keperluan, mereka disebut sebagai qurra` (para ahli al Qur’an), mereka di hadang oleh penduduk dari bani Sulaim, Ri’l dan Dzakwan dekat mata air yang disebut dengan Bi’r Ma’unah, mereka berkata, ‘Demi Allah, bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya ada perlu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Mereka akhirnya membunuh para sahabat tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan kecelakan kepada mereka (Sulaim, Ri’l dan Dzakwan) selama sebulan pada shalat shubuh, itu adalah awal kali dilakukannya qunut, sebelumnya kami tida pernah melakukan do’a qunut.” Abdul Aziz mengatakan, ‘Seseorang bertanya kepada Anas tentang qunut, apakah ia dikerjakan setelah rukuk ataukah setelah selesai membaca ayat?’ Anas menjawab, ‘Tidak, bahkan dikerjakan setelah selesai membaca ayat.’” (HR. Bukhari)
Beberapa Ibrah
Pada kedua peristiwa yang menyedihkan ini terdapat beberapa pelajaran penting. Diantaranya :
  1. Masing-masing dari tragedi Ar-Raji‘ dan Bi‘ru Ma‘unah menunjukkan keterlibatan dan partisipasi seluruh kaum Muslimin dalam tanggung jawab dakwah kepada Islam dan menjelaskan hakekat serta hukum-hukum Islam kepada manusia. Tanggung jawab dakwah bukan hanya tugas para Nabi dan Rasul atau para Khalifah dan ulama saja. Tetapi merupakan tanggung jawab setiap individu Muslim. Anda akan merasakan betapa pentingnya melaksanakan kewajiban dakwah , setelah anda mengetahui bagaimana Rasulullah saw mengutus 70 orang sahabat pilihannya yang padahal tidak lama setelah enam orang sahabatnya terbunuh dalam missi yang sama yaitu berdakwah menyebarkan Islam. Rasulullah saw sendiri telah mengkhawatirkan terjadinya tragedi tersebut, bahkan hal ini pernah disampaikan kepda Amir bin Malik ketika beliau mengusulkan pengiriman utusan untuk mengajak manusia kepada Islam. Tetapi Amir bin Malik waktu itu juga melihat bahwa pelaksanaan kewajiban dakwah (tabligh) lebih penting daripasa segala sesuatu jika tanggung jawab mengemban amanat dakwah tidak akan bisa dilaksanakan kecuali harus dengan menempuh petualangan dengan resiko seperti itu maka biarlah semua itu terjadi. Biarlah terjadi apa yang dikehendaki oleh Allah swt dengan kewajiban melaksanakan dakwah tersebut.
  2. Seorang Muslim tidak boleh tinggal di Darul Kufri atau Darul Harbi, jika tidak dapat memperlihatkan eksistensi dan misi agamanya. Tetapi kasus dalam sirah Nabi ini menunjukkan pengecualian hukum tersebut, yaitu apabila menetapkan seorang Muslim di Darul Harbi atua Darul Kufri itu karena melaksanakan tugas kewajiban dakwah Islam. Sebab, hal ini termasuk salah satu bentuk jihad yang tanggung jawabnya berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin , atas dasar fardhlu kifayah yang jika telah ada sebagian orang yang melaksanakannya secara sempurna maka tanggung jawab itu gugur dari orang lain, tetapi jika belum terlaksanakan secara sempurna maka seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya.
  3. Kedua tragedi ini secara jelas menunjukkna betapa kebencian dan dendam kesumat yang membara di hati kaum Musyrikin terhadap kaum Muslimin, sampai mereka tega melakukan pengkhianatan yang terburuk demi untuk memuaskan dahaga kebencian mereka kepada kaum Muslimin. Sebaliknya, kedua tragedi ini menunjukkan betapa indah dan mengagumkan gambaran watak dan tabiat kaum Muslimin yang menjadi korban pengkhianatan mereka. Anda sendiri telah melihat bagaimana Khubaib disekap sebagai tawanan di rumah Bani Al-Harits, menanti pelaksanaan eksekusinya. Pada hari pelaksanaan eksekusi, Khubaib meminjam pisau cukur untuk mencukur demi mempersiapkan diri menghadapi kematian. Saat itu tiba-tiba seorang anak balita dari seorang wanita lepas dan mendatangi Khubaib . Pada saat-saat ini, bagi orang berpikir ingin membalas dendam dan selamat dari kematian, merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan penyanderaan sebagai media tawarmenawar atau membayar pengkhianatan dengan pengkhianatan yang sama. Dan memang demikianlah perkiraan semua penghuni rumah itu, sehingga ketika ibu dari bayi itu melihat bayinya berada di pangkuan Khubaib, ia terkejut ketakutan. Tetapi ibu itu tercengang ketika melihat Khubaib mendudukan anaknya di pangkuan seraya memanjakannya seperti seorang ayah! Ketika Khubaib melihat wanita itu penuh ketakutan dan kecemaran, maka dengan tenang dan rasa kasih sayang sebagai seorang Mukmin Khubaib berkata: “Apakah engkau takut akan akan membunuhnya ? Insya Allah aku tidak akan melakukannya.“Perhatianlah mukjizat tarbiyah Islamiyah kepada manusia ! perhatikanlah perbedaan antara Khubab dan orang-orang Musyrik yang telah membunuhnya secara kejam dan aniaya. Sama-sama orang Arab yang tumbuh . dalam satu lingkungan dan tradisi yang serupa. Tetapi Khubaib telah memeluk Islam sehingga Islam telah membentuknya menjadi manusia yang berbeda sama sekali dengan mereka yang tetap bertahan dalam kesesatan dan tabiat mereka yang buruk. Betapa besar perubahan yang telah dilakukan oleh Islam pada tabiat manusia !
  4. Tragedi ini menjadi dalil bahwa seorang yang ditawan oleh musuh boleh tidak menerima tawaran keamanan dan tidak mau tunduk kepada musuh, sekalipun dengan resiko dibunuh, karena menolak diberlakukannya hukum memilih tawaran keamanan, demi menanti kesempatan dan mengharapkan pembebasan, sebagaimana yang dilakukan oleh Khubaib dan Zaid. Tetapi seandainya ia dapat melarikan diri maka menurut pendapat yang lebih shahih ia harus melakukannya, kendatipun ia dapat menampakkan agamanya di antara mereka, karena tawanan di tangan kaum kafir itu terhina. Oleh sebab itu ia wjaib membebaskan dirinya dari kehinaan tawanan dan perbudakkan.
  5. Jika kita perhatikan jawaban Zaid bin Datsinah kepada Abu Sofyan beberapa menit sebelum pembunuhannya dapatlah kita ketahui betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasulullah tidak diragukan lagi bahwa kecintaan ini merupakan faktor terpenting yang menumbuhkan kesiapsediaan berkorban di jalan Allah dan membela Rasulullah. Betapapun kualitas keimanan seseorang, jika tidak disertai kecintaan kepada Rasulullah seperti ini, adalah tetap merupakan keimanan yang belum sempurna. Hakekat ini dinyatakan secara tegas oleh Rasulullah di dalam sabdanya,  “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada hartanya, anaknya, orang tuanya dan semua manusia.“ (HR Bukhari dan Muslim)
  6. Apa yang terjadi pada khubaib selama menjadi tawanan di Mekkah menunjukkan kemungkinan terjadinya karamah bagi seorang Wali sebagaimana mukjizat bagi seorang Nabi. Perbedaan utamanya bahwa mukjizat Nabi disertai dengan tantangan dan pernyataan Kenabian sedangkan karamah para Wali dan orang-orang shalih datang begitu saja tanpa disertai tantangan. Inilah yang ditetapkan oleh jumhur Ahli Sunnah wal Jama‘ah. Tidak ada karamah yang lebih jelas daripada karamah yang diberikan oleh Allah, kepada Khubaib sebelum pembunuhannya. Ia begitu tabah dan tegar menghadapi kematian, sebagaimana diriwayatkan bukhari dan lainnya.
  7. Mungkin ada yang ingin bertanya, “ Apa hikmah terjadinya pengkhianatan terhadap para pemuda Mukmin yang keluar demi menyambut perintah Allah swt dan Rasul-Nya?“ Mengapa Allah tidak memberikan kekuatan kepada mereka sehingga berhasil mengalahkan para pengkhianat itu ?“ Jawabannya ialah, apa yang telah kami sebutkan berkali-kali yaitu, bahwa Allah memperhambakan para hamba-Nya melalui perjuangan mewujudkan dua hal : Menegakkan masyarakat Islam dan berjuang mencapai tujuan tersebut pada jalan yang penuh dengan tebaran duri. Hikmahnya agar terwujudnya ubudiyah manusia kepada Allah dan terpisahkan antara orang-orang yang benar-benar beriman dan orang-orang munafiq. Di samping terlaksananya mubaya‘ah antara Allah dan para hambah-Nya yang beriman. Mubaya‘ah yang secara tegas disebutkan di dalam firman-Nya,  “Sesungguhnya Allah swt telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga bagi mereka. Mereka berpegang di jalan Allah, lalu membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran..“ (QS At-Taubah : 111). Apa arti penandatanganan perjanjian ini jika isi perjanjian itu sendiri tidak terlaksanakan? Apa nilai bai’at ini, jika tidak terlaksanakan, sehingga pihak yang menandatangai berhak mendapatkan surga dan kebahagiaan abadi ? Keberatan terhadap persoalan ini hanyalah bagi orang-orang yang lebih mengutamakan kehidupan di dunia daripada kehidupan di akherat. Hal ini merupakan tanda ketiadaan keimanan kepada Allah swt, atau lemahnya iman pada dirinya. Orang-orang seperti ini tidak dapat diharapkan untuk melakukan petualangan dengan mengorbankan nyawa dan harta. Tetapi bagi orang-orang yang beriman secara benar, hal ini tidak menjadi masalah. Karena kenikmatan kehidupan duniawi tidaklah sedemikian besar nilainya dalam keyakinan mereka sehingga harus menghalangi dari menunaikan ketaatan yang paling ringan kepada Allah swt. Pengorbanan nyawa, dalam pandangan Mukmin tidak lain hanylaah merupakan perpindahan dari penjara dunia menuju kenikmatan akherat. Memperoleh kenikmatan akherat merupakan puncak cita-cita yang hendak dicapai oleh setiap Muslim dalam kehidupannya. Perasaan dan sikap ini tmapak secara jelas dalam bait-bait yang diucapkan oleh Khubaib ketika hendak dibunuh terutama pada bait terakhir: “Aku tak akan tunduk dan takut kepada musuh, Kepada Allah jua tempat kembaliku.”. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pasca perang Uhud dan  peristiwa Raji’ serta Bi’ru Maunah, kaum munafik dan orang yahudi menjadi semakin berani berbuat kurang ajar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin, bahkan sampai-sampai orang-orang yahudi itu berencana menghabisi nyawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berkunjung ke benteng mereka.

Latar Belakang Pengusiran Bani Nadhir
Di pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa sahabat nabi yang bernama Amr bin Umaiyah adh-Dhamiri, dalam pelariannya untuk meloloskan diri  dari  serangan di Bi’ru Maunah, telah membunuh dua orang musyrikin dari Bani Kilab. Padahal mereka baru saja pulang dari Madinah untuk menyepakati perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, saat mengetahui hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah membunuh dua orang. Aku harus membayar diyatnya.“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta 10 orang sahabat senior—diantaranya Abu Bakar, Umar bin Khathab serta Ali bin Abi Thalib—berangkat menemui Yahudi Bani Nadhir untuk meminta bantuan mereka dalam membayar diyat. Mereka menyanggupinya, tokoh mereka Huyay bin Akhtab berkata,

نَفْعَلُ يَا أَبَا القَاسِمِ , اجْلِسْ حَتَّى نَقْضِيَ حَاجَتَكَ

“Wahai Abul Qasim, kami akan memenuhinya. Silahkan duduk dulu sampai kami bisa memenuhi kebutuhanmu.”
Huyai dan Bani Nadhir ternyata berbohong. Mereka tidak mengumpulkan uang tapi malah berkumpul untuk merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melupakan perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sekarang sedang menjadi tamu mereka.
Salah seorang dari mereka, Amr bin Jahasy menyanggupi untuk melaksanakan hasil persekongkolan. Ia memanjat tembok untuk melemparkan batu ke arah kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum itu, salah seorang dari mereka, Salam ibnu Misykam, telah berusaha mencegahnya, “Jangan kalian lakukan! Demi Allah, pasti Allah akan memberitahukan rencana kalian ini kepadanya.” Namun peringatan Salam bin Misykan ini tidak diindahkan.
Betapa terkejutnya mereka karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sudah tidak berada di tempat semula. Beliau dan para sahabat telah meninggalkan tempat mereka karena Allah Ta’ala telah memberitahukan rencana busuk mereka.
Perilaku mereka ini sudah cukup untuk membatalkan perjanjian damai serta mengusir mereka dari Madinah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menyampaikan pesan beliau kepada Bani Nadhir, “Pergilah ke Yahudi Bani Nadlir dan katakan pada mereka: ‘Rasulullah mengutusku untuk menyampaikan pesan pada kalian untuk keluar dari tanah kalian, karena kalian telah mengkhianati janji yang telah disepakati, aku beri tempo kalian selama 10 hari kalau ada yang menolak perintahku ini akan dipenggal ”.
Saat itu, Abdullah bin Ubay bin Salul memberi isyarat kepada Yahudi Bani Nadhir agar tidak mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjanjikan bahwa dia akan membantu mereka dan berada dalam barisan mereka dengan 2000 pasukan yang dimilikinya. Maka orang-orang Yahudi itu membatalkan rencana keluar mereka dan bertekad untuk bertahan di benteng-benteng mereka.
Allah Ta’ala menyebutkan janji manis kaum munafikin tersebut di dalam Al-Qur’an,

لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. (QS. Al-Hasyr, 59: 11)
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan kaum muslimin bergerak mendatangi mereka sementara itu Yahudi Bani Nadhir bertahan di benteng-benteng mereka dengan menggunakan senjata panah dan batu. Sementara  itu Abdullah bin Ubay ternyata mengkhianati mereka.
Kaum muslimin mengepung Bani Nadhir dan diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membabat kebun  kurma milik mereka. Kaum Yahudi itu menggugat: “Hai Muhammad, kamu dulu melarang kerusakan dan mencela orang yang melakukannya. Kenapa sekarang kamu membabat dan membakar habis ladang kurma?“
Turunlah  firman Allah Ta’ala,

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ

 “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya maka (semua itu) adalah atas izin Allah. Dan Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasiq.” (QS al-Hasyr, 59: 5)
Setelah itu Bani Nadhir menyatakan menyerah dan bersedia meninggalkan Madinah sebagaimana yang diinginkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperbolehkan keluar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya  dengan membawa harta yang dapat dibawa oleh unta, kecuali senjata.
Di dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan:  “Sebagian mereka ada yang mencopoti peralatan rumah mereka agar bisa dibawa keluar Madinah. Mereka mengungsi ke Khaibar dan ke Syam. Di antara orang-orang Yahudi itu hanya ada dua orang yang masuk Islam yaitu Yamin bin Umair bin Ka‘ab anak paman Amr bin Jihasy dan Abu Sa‘ad bin Wahab. Kedua orang ini kemudian mendapatkan kembali hartanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan harta Bani Nadhir ini kepada kaum Muhajirin saja tanpa orang-orang Anshar, kecuali dua orang Anshar yang dikenal sangat miskin yaitu Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah Sammak bin Kharsyah.
Sebagai komentar terhadap kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membagi harta bani Nadhir, turunlah firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS Al- Hasyr, 59: 6-7)
Al-Baladziry menyebutkan di dalam Futuhu‘l-Buldan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambercocok tanam di tanah mereka, kemudian hasilnya disimpan untuk makanan keluarga dan istrinya selama setahun dan sisanya untuk keperluan senjata dan kendaraan. Berkenaan dengan Bani Nadhir, Allah Ta’ala menurunkan surat al-Hasyr.
Beberapa Ibrah
  1. Berita yang disampaikan Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pengkhiantan yang direncanakan oleh orang-orang Yahudi merupakan salah satu perkara luar biasa yang banyak diberikan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya baik sebelum Kenabian maupun pada saat Kenabian. Hal ini seharusnya menambah keimanan kita kepada Kenabian dan Kerasulannya.
  2. Tindakan yang diambil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pembabatan kebun kurma dibenarkan oleh Allah Ta’ala melalui firman-Ny : “Apa saja yang kamu tebang dari pohon-pohon kurma (milik orang kafir) ata yang kamu biarkan tumbuh berdiri, seua itu atas ijin Allah swt ….”(QS Al-Hasyr : 5). Peristiwa ini dijadikan dalil oleh ulama‘ bahwa keputusan untuk menghancurkan ladang musuh atau tidak , tergantung kepada kemaslahatan yang dilihat oleh Imam atau pimpinan. Masalah ini termasuk ke dalam apa yang disebut siyasah (kebijaksanaan pimpinan). Imam Syafi‘i mengomentari kebijakan Khalifah Abu bakar yang melarang tindakan pembabatan ladang kurma dalam peperangan kaum muslimin di Syam, “Barangkali, Abu Bakar memerintahkan untuk tidak membabat pohon yang berbuah karena dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan bahwa negeri Syam akan ditaklukan oleh kaum Muslimin. Karena dia boleh memutuskan pembabatan atau tidak, dia memilih tidak membabat karena mempertimbangkan kaum Muslimin.” Pendapat yang membolehkan pembakaran dan pembabatan ladang kaum kafir apabila diperlukan, adalah pendapat Nafi‘ maula Ibnu umar , Malik Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, dan jumhur fuqaha‘. Tetapi diriwayatkan pula bahwa al-Laits bin Sa‘ad, Abu Tsaur dan al-Auza‘i tidak membolehkan tindakan itu.
  3. Para Imam bersepakat bahwa barang rampasan yang diperoleh kaum Muslimin tanpa melalui peperangan (yaitu fa‘i) urusannya diserahkan kepada kebijaksanaan Imam. Dalam hal ini Imam tidak wajib membaginya kepada para tentara (Mujahidin yang ikut berperang). Hal ini didasarkan kepada kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membagi fa‘i bani Nadhir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membaginya kepada kaum Muhajirin saja. Dan tindakan ini dibenarkan oleh Allah Ta’ala  dalam dua ayat yang telah kami sebutkan di atas. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan masalah ini yaitu illat yang disebutkan Allah Ta’ala dalam dua ayat yang menjelaskan kebijaksanaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membagi fa‘I Bani Nadhir adalah: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.“ (QS al- Hasyr : 7). Yakni supaya peredaran harta itu tidak hanya terbatas di kalangan kaum kaya saja. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan Syariat Islam dalam masalah harta kekayaan, secara keseluruhan, didasarkan kepada tercapainya prinsip ini. Semua hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan kekayaan, yang banyak dijelaskan oleh kitab-kitab Syariat Islam dimaksudkan untuk menegakkan masyarakat yang adil dengan   kehidupan yang relatif tidak jauh berbeda atas seluruh lapisan masyarakatnya. Tidak ada berbagai ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang merusak prinsip keadilan itu. Seandainya Hukum-hukum Islam , khususnya sistem keuangannya yang menghidupkan zakat, melarang riba dan beraneka macam monopoli diterapkan, niscaya seluruh ummat manusia akan hidup sejahtera. Bisa saja berbeda tingkat pendapatan mereka tetapi semuanya berkecukupan. Tidak ada yang menjadi beban tanggungan bagi yang lain.Sekalipun demikian,  semuanya tetap saling tolong-menolong. Ketahuilah bahwa tujuan Allah swt membuat syariat di dunia ini adalah untuk menegaskan masyarakat yang adil. Untuk tujuan inilah Allah Ta’ala telah membuat berbagai sarana dan sebab yang wajib kita ikuti dan tidak boleh dilanggar. Yakni Allah swt, memperhamba kita dengan disertai tujuan dan sarana. Karena itu tidak boleh dikatakan: “Karena tujuan Islam ialah menegakkan keadilan sosial maka kita bebas menempuh jalan dan sarana untuk mencapai ke arah itu.” Tindakan ini merupakan penyimpangan dari tujuan, dan sarana sekaligus. Tujuan yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada kita  tidak akan tercapai kecuali dengan mengikuti sarana dan cara yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala pula.


Sumber: https://tarbawiyah.com/2019/04/06/tragedi-raji-biru-maunah-dan-pengusiran-bani-nadhir-bag-2/

No comments:

Post a Comment