يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا
اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ
اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ
ۗوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ لَا تَدْرِيْ
لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا ١ فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ
فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَّاَشْهِدُوْا
ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَاَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلّٰهِ ۗذٰلِكُمْ يُوْعَظُ
بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ەۗ وَمَنْ يَّتَّقِ
اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ ٢ وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ
وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ
اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا ٣ وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ
مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ
اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَۗ وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ
يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ
يُسْرًا ٤ ذٰلِكَ اَمْرُ اللّٰهِ اَنْزَلَهٗٓ اِلَيْكُمْۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ
يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُعْظِمْ لَهٗٓ اَجْرًا ٥ اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ
وَاِنْ كُنَّ اُولٰتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ
وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ
اُخْرٰىۗ ٦ لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا
اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ ٧ وَكَاَيِّنْ
مِّنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ اَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهٖ فَحَاسَبْنٰهَا حِسَابًا
شَدِيْدًاۙ وَّعَذَّبْنٰهَا عَذَابًا نُّكْرًا ٨ فَذَاقَتْ وَبَالَ اَمْرِهَا
وَكَانَ عَاقِبَةُ اَمْرِهَا خُسْرًا ٩ اَعَدَّ اللّٰهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيْدًا
فَاتَّقُوا اللّٰهَ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِۛ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۛ قَدْ اَنْزَلَ
اللّٰهُ اِلَيْكُمْ ذِكْرًاۙ ١٠ رَّسُوْلًا يَّتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِ اللّٰهِ
مُبَيِّنٰتٍ لِّيُخْرِجَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنَ
الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا
يُّدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ
اَبَدًاۗ قَدْ اَحْسَنَ اللّٰهُ لَهٗ رِزْقًا ١١ اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ
سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ
لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ
قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ ١٢
Terjemahan
Kemenag 2002
1. Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya
dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji
yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum
Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu
tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang
baru.
2. Maka apabila mereka telah mendekati akhir
idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar
baginya,
3. dan Dia memberinya rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.
4. Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya)
maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.
5. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya
kepada kamu; barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.
6. Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai
mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka
berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
7. Hendaklah orang yang mempunyai keluasan
memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya,
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.
8. Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang
mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami buat
perhitungan terhadap penduduk negeri itu dengan perhitungan yang ketat, dan
Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan (di akhirat),
9. sehingga mereka merasakan akibat yang buruk
dari perbuatannya, dan akibat perbuatan mereka, itu adalah kerugian yang besar.
10. Allah menyediakan azab yang keras bagi
mereka, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal!
(Yaitu) orang-orang yang beriman. Sungguh, Allah telah menurunkan peringatan
kepadamu,
11. (dengan mengutus) seorang Rasul yang
membacakan ayat-ayat Allah kepadamu yang menerangkan (bermacam-macam hukum),
agar Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dari
kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan
kebajikan, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, Allah
memberikan rezeki yang baik kepadanya.
12. Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari
(penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah
benar-benar meliputi segala sesuatu.
Pengantar
İni adalah surah ath-ThaIaaq, di mana Allah menjelaskan tentang
beberapa hukum talak. Dan, di sini Dia menjelaskan beberapa perincian tentang
talak yang tidak Dia jelaskan dalam surah lain yaitu surah al-Baqarah, yang
mengandung juga beberapa hukum talak. Allah menetapkan dalam surah al-Baqarah
beberapa kondisi yang berbeda-beda tentang talak yang termasuk urusan keluarga.
Surah ath-Thalaaq ini mengandung penjelasan waktu yang dimungkinkan terjadinya
perceraian yang disahkan dan diterima oleh Allah serta berjalan sesuai dengan
hukum-hukum-Nya,
"Hai nabi, apabilu kamu menceraikan istri-istrimu, maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)…”
Kemudian penjelasan tentang hak dan kewajiban istri yang diceraikan
untuk menetap di dalam rumahnya (yaitu rumah suami yang menceraikannya) selama
masa iddah. Istri itu tidak boleh dikeluarkan dan dia pun tidak boleh keluar
kecuali dia melakukan perbuatan keji yang nyata,
"…Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang....'' (ath-Thalaaq: 1)
Kemudian penjelasan tentang hak istri yang diceraikan setelah masa
iddah berakhir, baginya boleh keluar dari rumahnya untuk melakukan sesuatu yang
diinginkannya selama suaminya dalam masa iddah itu tidak merujuknya dan
memasukkannya kembali ke dalam tanggung jawabnya. Dengan melakukan itu,
suaminya dilarang sekali bermaksud membahayakannya, menyakitinya, dan
menghalanginya dari pernikahan baru dengan lelaki lain. Namun, niat dan maksud
dari rujuk kembali itu haruslah bertujuan mengembalikan kehidupan rumah tangga
di antara keduanya dengan baik, "Apabila mereka telah mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik...."
Bersama dengan itu disertai dengan persaksian atas terjadinya rujuk
ataupun perceraian,
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...." (ath-fralaaq:
2)
Dalam surah al-Baqarah dijelaskan tentang masa iddah bagi wanita
yang diceraikan yang masih mengalami haid, yaitu tiga quru' yang berarti tiga
masa haid atau tiga masa suci dari haid seperti yang disebutkan dalam perbedaan
fiqih. Dalam surah ath-Thalaaq, Allah menjelaskan tentang masa iddah bagi
wanita cerai yang monopause dan telah berhenti dari haidnya dan bagi wanita
kecil yang belum haid,
“Dan wanita-wanita yang tidak haid Iagi (monopause) di antara
wanita-wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka
adalah tiga bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid..."
Setelah itu Allah menjelaskan tentang masa iddah wanita cerai yang
hamil,
"...Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya... " (ath-ThaIaaq: 4)
Kemudian Allah menjelaskan perincian tentang tempat tinggal bagi
wanita cerai selama masa iddahnya dan tentang masalah nafkah wanita cerai yang
hamil hingga dia melahirkan,
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yangsudah ditalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin...."
Lalu penjelasan tentang hukum menyusui bagi bayi yang dilahirkan
oleh wanita cerai yang hamil itu setelah dia melahirkannya Dan, upah bagi sang
ibu atas penyusuannya dalam kesepakatan antara dia dan ayah bayi tersebut untuk
kemaslahatan bayi mereka berdua atau upah bagi wanita yang menyusuinya bila
disusui oleh wanita lain,
“…Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu), dengan baik. Jika kamu menemui kesulitan, maka wanita lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya." (ath-Thalaaq: 6)
Kemudian ada tambahan penjelasan tentang nafkah dan upah dalam
segala kondisi secara terperinci, yang ditetapkan sesuai dengan kondisi
kemampuan dan keuangan suami,
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan, orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (ath-Thalaaq: 7)
Demikianlah nash-nash ayat ini berturut-turut menjelaskan tentang
kondisi-kondisi dan efek-efek yang terjadi karenanya disertai dengan hukum-hukum
yang terperinci dan detail. Dan, ia tidak membiarkan satu pun unsur keluarga
yang tercerai berai karena perceraian melainkan ia menenteramkannya di
tempatnya dan menjelaskan hukum-hukumnya dengan penuh kelembutan, ketelitian,
dan kejelasan.
Manusia pasti kagum dan terpesona berada di hadapan surah ini
ketika ia menjelaskan tentang hukum-hukum talak dan efek-efek serta pengaruh-pengaruhnya.
la benar-benar meliputi, menguasai, dan menghimpun urusan talak ini dengan
sangat menakjubkan yang terdiri dari anjuran, ancaman, dan komentar atas setiap
hukumnya.
Selain itu, ia mengaitkan permasalahan ini dengan qadar Allah dalam
lapisan-lapisan langit dan lapisan-lapisan bumi, dengan sunnah-sunnah Allah
perihal kehancuran orang-orang yang tersesat dari perintah-Nya serta perihal
solusi dan kelapangan bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya. Hal itu
disampaikan dengan anjuran yang terus-menerus kepada perkara yang makruf,
anugerah ampunan, keridhaan, upaya mengutamakan kebajikan, dan sikap tamak
terhadap segala kebaikan. Juga dengan peringatan tentang qadar Allah dalam
penciptaan, rezeki, kemudahan, dan kesusahan.
Manusia berdecak kagum dan terpesona berada di hadapan himpunan
hakikat-hakikat alam semesta yang terbesar berkenaan dengan paparan penjelasan
tentang talak dengan penuh perhatian dan penguasaan, sehingga seruan pun
ditujukan secara langsung kepada Rasulullah secara pribadi. Itu merupakan
perintah umum bagi orang-orang yang beriman dan hukum umum bagi orang-orang
yang berislam, sebagai tambahan perhatian dan peringatan terhadap bahaya yang
ada dalam perkara itu.
Perincian hukum-hukum ini (kondisi per kondisi, situasi per
situasi, perintah yang dikuatkan dengan ancaman keras dalam setiap hukum agar
dijaga dengan ketat, bertakwa kepada Allah dalam pelaksanaannya, merasakan
pengawasan Allah dalam menerimanya, dan penjelasan panjang lebar dengan
komentar mengenai anjuran dan ancaman), merupakan penjelasan yang menyadarkan
hati bahwa sesungguhnya urusan itu adalah hakikat Islam secara sempurna! la
merupakan seluruh ajaran Islam ini! la merupakan persoalan yang diperincikan
ketentuan-ketentuannya oleh kekuasaan langit dan langit selalu mengintai dan
mengawasi pelaksanaan hukum-hukumnya!
Di samping itu, ia menjanjikan bagi orang-orang yang bertakwa
balasan yang terbesar dan tertinggi yang dicita-citakan oleh setiap mukmin.
Namun, ia juga mengancam orang-orang yang menyimpang, terlambat merespons, dan
sengaja membahayakan pihak Iain, dengan ancaman yang paling kejam dan paling
keras yang ditimpakan atas para pelaku maksiat. Demikian pula ia menggugah manusia
agar selalu berharap dengan harapan yang menggebu-gebu untuk meraih kebaikan
yang tersimpan di balik pelaksanaan perintah untuk menjalankan yang makruf,
memberikan maaf, berlaku baik, dan memudahkan pihak Iain.
Dalam surah ini, seorang pembaca pasti akan membaca
penggalan-penggalan ayat berikut,
"…Bertakwalah kepada Allah Tuhanmu... Itulah hukum-hukum
Allah. Barangsiapa Yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu
hal yang baru." (ath-lhalaaq: 1)
"...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu."
(athThalaaq: 2-3)
"...Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (ath-lhalaaq:
4)
"Itulah Perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu.
Barangsiapa Yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya." (ath-Thalaaq:
5)
"...Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. " (ath-lhalaaq: 7)
Sebagaimana dia juga akan membaca ancaman yang keras, panjang
lebar, dan terperinci,
"Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai
perintah Tuhan mereka dan rasul-rasulNya, maka Kami hisab penduduk negeri itu
dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengenkan. Maka,
mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan
mereka kerugian yang besar." (ath-Thalaaq: 8-9)
"Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras,…”
Setelah itu diikuti dengan peringatan terhadap tempat kembali
seperti itu, dan peringatan tentang nikmat Allah yang menurunkan rasul beserta cahaya
yang dibawanya, disertai isyarat pahala yang besar,
”...Maka, bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang
mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah
menurunkan peringatan kepadamu, (dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan
kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia
mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dari
kegelapan kepada cahaya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang
saleh, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesunguhnya
Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.” (ath-Thalaaq: 10-11)
Kemudian dia akan membaca sentuhan yang dahsyat dan agung dalam
alam semesta yang luas dan besar,
”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula
bumi. Perintah AIlah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesunguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)
Dia membaca semua ini sebagai komentar atas hukum-hukum talak. Dia
akan mendapatkan bahwa satu surah penuh ini membahas tentang pengaturan
persoalan talak dan komentar-komentar mengenai pengaruh dan efeknya. Kemudian
hal itu dikaitkan dengan hakikat iman yang paling besar dalam alam semesta dan
jiwa manusia.
Talak itu merupakan kondisi yang menghancurkan, bukan kondisi yang
membangun. la adalah kondisi mengakhiri segalanya, bukan kondisi memulai
pembinaan dan pembangunan rumah tangga. Itu belum membangun suatu negara.
Namun, dalam perasaan perkara membangun rumah tangga adalah lebih besar dari
membangun suatu negara.
Lantas Hal Ini Menunjukkan tentang Hakikat Apa?
Sesungguhnya ia memiliki banyak petunjuk dan arahan yang semuanya
terhimpun dalam kemuliaan agama ini. Juga kesungguhan dan kemunculannya dari
sumber yang secara pasti bukan dari manusia, hingga walaupun di sana tidak ada
petunjuk lain selain petunjuk yang terdapat dalam surah ini.
Petunjuk pertama. Sesungguhnya ia menunjukkan pentingnya urusan keluarga dalam
sistem kehidupan yang islami.
Sesungguhnya Islam mengatur sistem keluarga. Dalam pandangan Islam, rumah merupakan tempat
tinggal dan istirahat. Di dalamnya setiap jiwa harus mendapatkan kasih sayang,
rahmat, cinta, tirai penutup, perhiasan, penjagaan, dan kesucian. Dalam naungan
rumah itu, anak-anak tumbuh dan generasi baru berangsur-angsur mencapai
kesempurnaan. Dan, dari rumah itu pula ikatan-ikatan kasih dan
hubungan-hubungan ketergantungan dan pengasuhan berkembang.
Oleh karena itu, Islam menggambarkan hubungan rumah tangga dengan
gambaran yang halus dan lembut, yang darinya tersebar sifat kasih sayang, di
dalamnya terbentang naungan, dan menyebarkan semangat dan wangi keharuman yang
semerbak di dalamnya,
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang....”
(ar-Ruum: 21)
”...Mereka ilu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka....” (al-Baqarah: 187)
Jadi, hubungan rumah tangga merupakan hubungan dan ikatan antara
jiwa dengan jiwa. la merupakan hubungan dan ikatan antara tempat tinggal dengan
kestabilan. la merupakan hubungan dan ikatan antara cinta dengan kasih sayang.
Dan, ia merupakan hubungan dan ikatan antara tirai penutup dan perhiasan.
Sesungguhnya manusia pasti merasakan cinta dan kelembutan dalam ungkapan-ungkapan,
dan dari sela-selanya dia mendapatkan semangat dan naungan.
Sesungguhnya ia merupakan ungkapan sempurna tentang hakikat
hubungan yang diwajibkan oleh Islam dalam membina ikatan manusia yang melekat
dan kuat. Pada saat yang sama, segala maksud dan tujuan puncak dari ikatan
perkawinan sangat diperhatikan dan diprioritaskan. Di antaranya, perkembangan
dan penerusan keturunan. Islam memberikan porsi yang cukup terhadap segala
tujuan dan maksud dengan karakter kebersihan dan kesuciannya. Juga pengakuan
terhadap kesungguhan dan keseriusannya serta mengatur antara arahan dan
problematikanya. Hal itu ditunjukkan ketika Allah menyatakan,
”lstri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam...”
(al-Baqarah: 223)
Dalam hal ini, Allah memperhatikan makna kesuburan dan
perkembangbiakan.
Islam meliputi sarang ini, atau buaian ini, atau tempat tinggal ini
(maksudnya rumah tangga) dengan segala perhatian dan jaminan sebagaimana tabiat
Islam demikian adanya yang memandang segala sesuatu secara totalitas. Karena
sesungguhnya Islam itu tidak cukup hanya semangat-semangat ruhiah, narnun ia
harus diikuti dengan sistematika hukum dan jaminan syariat.
Orang yang memahami sistem keluarga dalam Al-Qur'an dan hadits pada
setiap persepsinya dan bagi setiap keadaannya, kemudian menyaksikan
pengarahan-pengarahan yang menyertai pensyariatan itu dan penghimpunan yang
jelas di sekitarnya dengan segala pengaruh dan komentar, serta dalam mengaitkan
urusan rumah tangga ini dengan Alah secara langsung dalam setiap temanya,
sebagaimana yang tampak dalam surah ini dan surah lainnya, pasti dia mengetahui
secara sempurna tentang agungnya urusan keluarga dalam sistem ajaran Islam.
Juga betapa tingginya nilai keluarga ini di sisi Allah. Dalam hal ini dia telah
menghimpun antara takwa kepada Allah dan takwa silaturahmi yang difirmankan
oleh Allah di awal surah an-Nisaa',
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan
istrimu, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita
yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (an-Nisaa': 1)
Sebagaimana Islam juga menghimpun antara persembahan ibadah kepada
Allah dengan berbakti kepada kedua orang tua dalam surah al-lsra' dan surah
lainnya,
“Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(al-Israa': 23)
Islam pun menjelaskan tentang kesyukuran kepada Alah dan kesyukuran
kepada kedua orang tua dalam surah Luqman,
”Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-KuIah kembalimu.” (Luqman: 14)
Sesungguhnya perhatian yang sangat jauh dan mendalam tentang
perkara keluarga ini seiring dengan ketentuan qadar ilahi dalam membangun
kehidupan manusia atas asas keluarga. Yaitu, ketika ketentuan qadar Allah
berlaku bahwa sarang pertama yang berwujud dalam kehidupan manusia adalah
keluarga Adam dan istrinya. Kemudian manusia berkembang biak dari sarang
pertama ini menjadi banyak sekali. Padahal, Allah Maha Berkuasa untuk
menciptakan berjuta-juta manusia sekaligus.
Namun, ketentuan qadar Allah menentukan hal ini untuk sebuah hikmah
yang tersimpan dalam kewajiban dan tugas keluarga yang agung dalam kehidupan
manusia. Dan, manusia dengan bekal fitrah dan potensinya mampu memenuhi segala
kebutuhan kehidupan keluarga. Dalam institusi keluargalah kepribadian seorang
manusia dan keistimewaan-keistimewaannya tumbuh. Dan, di sanalah dia menemukan
pengaruh-pengaruh dan efek-efek yang paling mendalam pada kehidupannya.
Kemudian perhatian yang besar ini berlaku dalam sistem Islami (ia
merupakan manhaj Allah yang terakhir di muka bumi) seiring dengan qadar Allah
dalam penciptaan manusia secara aksioma, sebagaimana demikianlah hakikatnya
terjadi keserasian dalam segala sesuatu yang bersumber dari Allah tanpa cacat
dan pertentangan.
Petunjuk kedua dari arahan surah ini dan dari himpunan sistem hubungan-hubungan
rumah tangga dan keluarga, dengan penghimpunan yang ada dalam seluruh
AI-Qur•an, adalahpengarahan sistem Islami untuk mengangkat hubungan-hubungan
manusia ini ke derajat kesucian yang berhubungan dengan Alah. Lalu,
mengambilnya sebagai sarana untuk pensucian ruh dan kebersihan perasaan. Bukan
seperti pandangan keyakinan-keyakinan animisme atau dalam pandangan agama-agama
yang menyimpang dan sangat jauh dari hakikat fitrah yang telah diciptakan oleh
Allah pada diri manusia.
Sesungguhnya Islam tidak memerangi dorongan-dorongan fitrah dan
tidak pula menganggapnya sebagai perkara yang kotor. Namun, Islam mengaturnya,
membersihkannya, dan meninggikannya melampaui tingkat binatang. Islam
meningkatkannya hingga mencapai tingkat standar di mana adab adab pribadi dan
masyarakat dapat leluasa bergerak di atasnya.
Islam membangun hubungan-hubungan lawan jenis dan seksual atas
dasar perasaan manusiawi yang mulia dan tinggi. la mengatur pertemuan dua jenis
manusia sebagai pertemuan yang menyatukan dua ruh, dua hati, dan dua jiwa.
Atau, dengan ungkapan yang lebih lengkap, ia mempertemukan dua manusia yang
diikat oleh kehidupan yang saling menopang, cita-cita yang saling mendukung,
angan-angan yang saling membina, serta masa depan yang saling melengkapi dan
menyempurnakan. Mereka berdua bertemu dalam membina keturunan yang didambakan.
Mereka bahu-membahu dalam membangun generasi baru, yang akan tumbuh dalam
sarang yang sama, di mana kedua orang tua berfungsi sebagai penjaga di dalamnya
dan keduanya tidak boleh berpisah dan berseberangan.
Islam memandang dan menganggap bahwa pernikahan merupakan sarana
menuju kesucian dan ketinggian. Islam mengajak kaum muslimin untuk menikahkan
Iaki-laki dan wanitanya yang sendirian bila benda merijadi penghalang untuk
merealisasikan sarana yang penting ini dengan tujuan membersihkan kehidupan dan
meningkatkannya,
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orangyang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang wanita.Jika
mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas
(Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (an-Nuur: 32)
Allah menyebutkan bahwa pernikahan adalah "ihshan" yaitu
penjagaan dan perlindungan. Dan, telah tertanam kokoh dalam hati orang-orang
yang beriman bahwa meneruskan kehidupan tetap dalam kesendirian tanpa
perkawinan tidak akan mendapat ridha Allah.
Imam Ali segera menikah lagi setelah wafat istrinya Fatimah binti
Rasulullah la berkata, "Aku takut menemui Allah sementara aku masih dalam
keadaan sendirian."
Maka, pernikahan dalam tradisi seorang mukmin merupakan perkara
ketaatan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah Tuhannya. Dan,
hubungan ini meningkat ke tempat yang suci dalam nuraninya karena ia merupakan
salah satu bentuk ketaatan kepada Allah.
Petunjuk keliga dalam arahan redaksi surah ath-lhalaaq ini dan surah-surah yang
semisal dengannya, adalah praktisnya dan aktualnya sistem Islami dan sistem
muamalahnya dalam kehidupan dan jiwa manusia sebagaimana yang terdapat dalam
fitrahnya bersama dengan usaha meningkatkannya ke tingkat yang lebih mulia
lewat potensi-potensi dan pengaruh-pengaruh kehidupannya. Oleh karena itu,
tidak cukup hanya mensyariatkan hukum-hukum detail dalam permasalahan yang disandarkan
kepada nurani ini. Dan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan pengarahan.
Namun. ia harus memberdayakan kedua hal itu dalam menghadapi kenyataan jiwa dan
kenyataan hidup.
Sesungguhnya kaidah mendasar dalam ikatan perkawinan. adalah
kestabilan dan kelanggengan. Islam meliputi ikatan ini dengan segala bentuk
garansi yang menjamin kestabilan dan kelanggengan itu. Dalam mewujudkan tujuan
puncak itu, Islam mengangkat hubungan itu kepada martabat ketaatan dan membantu
pembinaannya dengan biaya negara bagi para fakir miskin baik Iaki-laki maupun
wanita.
Islam mewajibkan adab-adab yang menghalangi orang dari berbuat
tabarruj (berdandan menor dan berlebihan) dan menimbulkan fitnah seksual, agar
dorongan-dorongan nafsu tetap dapat dikendalikan. Juga agar hati tidak
cenderung merespon dan mempedulikan bisikan-bisikan fitnah yang bertebaran
secara mencolok di pasar-pasar.
Islam mewajibkan had zina dan had bagi tuduhan berbuat zina (al-qadzaf).
Islamjuga menetapkan kehormatan rumah tangga dengan mewajibkan
meminta izin kepada penghuninya sebelum memasukinya.
Selain itu, Islam mengatur ikatan-ikatan perkawinan dengan syariat yang
mengikat. Juga membangun institusi rumah tangga yang berdiri di atas
kepemimpinan salah satu dari pasangan (suami). Karena, dia lebih memiliki
potensi untuk memimpin. Hal ini sebagai antisipasi terhadap kekacauan,
benturan, dan pertentangan disertai dengan jaminan-jaminan lain. Juga bersama
pengarahan-pengarahan yang diliputi dengan kasih sayang dan di atas acuan
ikatan hubungan-hubungan ini dengan takwa kepada Allah dan merasakan
pengawasan-Nya.
Namun, kehidupan yang nyata membuktikan bahwa di sana terdapat
kondisi-kondisi di mana benturan-benturan dan pertentangan-pertentangan terjadi
walaupun telah ada jaminan-jaminan dan pengarahan-pengarahan. Kondisi-kondisi
itu harus pula dihadapi dengan aksi-aksi yang nyata sesuai dengan logika fakta
yang nyata. Dan, hal itu tidak dapat diingkari ketika kehidupan perkawinan
berada di ambang kehancuran. Pada saat seperti itu mempertahankan kehidupan
rumah tangga merupakan perkara yang sia-sia dan terbangun tanpa asas.
Islam tidak segera memutuskan ikatan perkawinan tersebut dan
membubarkannya secara total dan serta merta ketika ucapan talak itu keluar, dan
ketika pertama kali terjadinya perselisihan. Namun, Islam malah menguatkan
ikatan itu dengan kuat dan tidak membiarkannya terputus melainkan setelah usaha
dan upaya yang maksimal. Setelah hal itu tidak memungkinkan dan harapan telah
terputus dari mempertahankan ikatan itu, barulah Islam mengesahkannya.
Sesungguhnya Islam membisikkan kepada setiap suami,
“…Dan, bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (an-Nisaa':
19)
Islam menganjurkan para suami untuk menanti dan bersabar walaupun
sangat membenci istrinya, dan membuka pintu dan jalan keluar yang masih
samar-samar,
“…Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan Padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisaa':
19)
Bisa jadi para suami itu belum mengetahui bahwa pada diri
istri-istri yang mereka benci itu terdapat kebaikan yang berlimpah dan Allah
menyimpan kebaikan itu bagi mereka. Oleh karena itu, mereka tidak boleh
membuangnya dan menyia-nyiakannya Bila persoalan perkawinan melebihi
problematika cinta dan kebencian hingga sampai kepada nusyuz dan pertentangan
yang semakin jauh, maka Islam tidak menjadikan talak sebagai langkah pertama
keluar dari persoalan itu. Namun, harus ada upaya dari pihak ketiga yang
berusaha menyelesaikan persoalan itu,
”Jika kamu khawatirkan ada persengketaan di antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga wanita.Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesunguhnya Maha
Mergetahui Iagi Maha Mengenal.” (an-Nisaa': 35)
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz alau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perjanjian itu lebih baik (bagi mereka)…” (an-Nisaa':
128)
Bila penengah itu tidak mampu berbuat apa-apa, maka kehidupan rumah
tangga itu telah benar-benar rusak, dan di sana tidak ada lagi yang dapat
meluruskan dan membuatnya stabil. Sikap mempertahankan rumah tangga pada
kondisi seperti ini merupakan usaha yang pasti gagal, dan tekanan pun semakin
memperumit masalah. Maka, merupakan langkah yang bijaksana menerima kenyataan
dan mengakhiri kehidupan rumah tangga itu walaupun sangat dibenci dalam Islam,
karena perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.
Apabila seorang suami hendak menceraikan istrinya, maka dia tidak
boleh sembarang waktu menceraikannya. Namun, menurut sunnah Nabi saw., talak
harus terjadi pada masa suci istrinya dan suaminya belum mencampurinya pada
masa suci itu. Kemudian ada masa iddah dan di dalamnya terdapat peluang untuk
rujuk dan merajut kembali serpihan-serpihan yang menghancurkan ikatan
perkawinan. Walaupun demikian, kadangkala perceraian itu mau tidak mau harus
terjadi. Karena itu, Islam pun mengatur hukum-hukum secara detail yang
menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama yang realistis.
Petunjuk keempat yang ada dalam surah ini dan segala kandungannya yang berupa
anjuran, ancaman, komentar, dan penjelasan yang rinci dan kuat, adalah bahwa
Islam harus menghadapi kondisi-kondisi nyata dalam komunitas kaum muslimin yang
masih mewarisi kegagalan dan kebobrokan sistem jahiliah. Juga harus menghadapi
problematika yang dihadapi oleh wanita yaitu tekanan, kekerasan, dan penghinaan
yang membutuhkan ketegasan, pengaruh-pengaruh yang membekas dalam jiwa, dan
perincian-perincian yang detail.
Hal itu tidak terjadi di semenanjung Arabia saja, namun ia telah
menjadi perilaku yang mendunia pada saat itu. Kedudukan wanita pada saat itu
seperti seorang hamba atau malah lebih rendah dari seorang hamba. Di samping
pandangan orang terhadap hubungan seksual adalah sangat menjijikkan dan kotor.
Dan, mereka memandang bahwa wanita adalah setan yang selalu menggoda terjadinya
hal itu.
Oleh karena itu, Islam mengangkat ikatan perkawinan dan kedudukan
wanita ke tingkat yang tinggi seperti telah dijelaskan sebelumnya. Islam
mengatur nilai, kedudukan, hak-hak, dan jaminan-jaminan bagi wanita. Dia
dilahirkan dan tidak boleh dikubur hidup-hidup atau dihina. Dia dilamar dan
tidak boleh dinikahi melainkan dengan izin dan kerelaannya. Dia dinikahi
sebagai istri dan memiliki hak-hak yang terpelihara dengan jaminan syariat.
Dan, dia diceraikan tapi dia memiliki hak-hak yang dijelaskan secara terperinci
dalam surah ini, surah al-Baqarah, dan surah-surah Iainnya.
Islam mensyariatkan semua itu, bukan karena wanita di semenanjung
Arab dan di tempat lain merasa bahwa kedudukan mereka tidak memuaskan atau
menyenangkan. Bukan pula karena perasaan laki-laki yang tidak rela dengan
penghinaan terhadap wanita. Bukan pula karena gerakan persatuan wanita Arab
atau wanita di dunia. Bukan pula karena wanita telah menjadi anggota parlemen
atau MPR.
Sesungguhnya ia merupakan syariat dari langit agar diterapkan di
bumi. la adalah keadilan langit bagi bumi dan kehendak langit terhadap bumi,
agar kehidupan meningkat dari kubangan kehinaan ini. Juga agar hubungan
perkawinan semakin suci dan agar suami istri yang merupakan satu jiwa
menghormati hak-hak asasi manusia dan kehormatannya.
Inilah agama Islam yang mulia dan tinggi. Tidak seorang pun
berpaling darinya melainkan orang tertutup akalnya Tidak mencelanya melainkan
orang yang kurang akalnya. Dan, tidak memeranginya melainkan orang yang tercela
dan merugi. Sesungguhnya tidak mungkin berpaling dari syariat Allah kepada
syariat manusia melainkan orang yang ingin kekal di bumi dan mengikuti hawa
nafsunya.
Beberapa Ketentuan tentang Talak dan Iddah
Sekarang kami paparkan hukum-hukum yang ada dalam arahan surah ini.
Hukum-hukum yang ada dalam surah ini adalah hukum lain, bukan hukum-hukum yang
dijelaskan secara ringkas dalam bahasan sebelumnya. la adalah sesuatu yang
hidup, di dalamnya terdapat ruh, di dalamnya terdapat gerakan, di dalamnya
terdapat kehidupan, di dalamnya terdapat isyarat, dan ia memiliki pengaruh yang
membekas. Inilah perbedaan yang mencolok antara studi hukum dalam Al-Qur' an
dengan studi hukum dalam kitab-kitab fiqih dan usul fiqih.
“Hai nabi, apabiln kamu menceraikan istri-istrimu, maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru."
(ath-Thalaaq: 1)
Inilah periode pertama dan hukum pertama yang diserukan oleh arahan
Allah kepada Rasulullah, "Hai nabi,.. "
Kemudian tampak bahwa hukum itu dikhususkan bagi semua orang yang
beriman, bukan untuk Rasulullah secara pribadi,
"...Apabila kamu menceraikan istri-istrimu.... "
Susunan ungkapan ini mengisyaratkan apa yang ada di baliknya, yaitu
membangkitkan perhatian serta menggambarkan kesungguhan dan keseriusan. Jadi ia
merupakan urusan yang penting, di mana Allah menyeru nabi-Nya secara pribadi
untuk membebankan perintah-Nya kepadanya sebagaimana Dia menyampaikannya bagi
orang-orang setelahnya. la merupakan isyarat dan sentuhan kejiwaan yang sangat jelas
terhadap apa yang dimaksudkan dan diinginkan untuk dimeriahkan dan disambut
dengan gembira.
"..Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…”
Mengenai batasan dari nash ini telah disebutkan sebuah riwayat
hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari. Lafazhnya berbunyi, "Kami
diberitahukan hadits oleh Yahya bin Bukair, dari al-Laits, dari Uqail, dari
Ibnu Syihab, dari Salim bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar menceraikan
istrinya ketika dia sedang haid. Kemudian Uma rr.a. mengabarkan hal itu kepada
Rasulullah, maka Rasulullah pun marah kemudian bersabda,
‘Hendaklah dia rujuk kepadanya, lalu tetap mempergaulinya
sebagai istri hingga istrinya bersih dari haidnya. Kemudian istrinya haid Iagi
dan menjadi suci Iagi. Dan, bila dia tetap ingin menceraikannya, maka hendaklah
dia menceraikannya pada saat istrinya dalam keadaan suci dan sebelum dia
menyetubuhinya. Itulah iddah yang dengannya diperintahkan oleh Allah Yang
Mahaperkasa Iagi Mahatinggi.’ (HR Bukhari)
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dengan lafazh, "Itulah
iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk menceraikan wanita."
Oleh karena itu, haruslah ditetapkan waktu tertentu untuk
menjatuhkan talak. Seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya sesuka
hatinya kapan saja, melainkan istrinya harus berada dalam keadaan suci dari
haidnya, dan pada keadaan suci di antara keduanya belum terjadi persetubuhan (jima).
Beberapa riwayat atsar yang lain menentukan bahwa di sana terdapat waktu lain
yang kedua di mana seorang suami boleh menjatuhkan talak kepada istrinya, yaitu
bila istri sedang hamil dan kehamilannya jelas tampak.
Hikmah dalam penentuan waktu ini adalah bahwa diharapkan jatuhnya
talak tersebut mundur hingga setelah waktu yang biasanya jiwa pada saat itu
sering mengarah kepada talak. Dan, dorongan itu bisa mereda bila keinginan
menjatuhkan talak tersebut muncul tiba-tiba, dan jiwa seseorang pun kembali
tenang dan stabil.
Sebagaimana di dalamnya terdapat hikmah untuk mengecek ada atau
tidaknya kehamilan sebelum terjadinya perceraian. Dan, bisa jadi seorang suami
tidak jadi menjatuhkan talak, bila dia tahu bahwa istrinya sedang hamil. Namun,
bila dia terus maju untuk mentalak istrinya, walaupun istrinya telah
jelas-jelas hamil, berarti dia telah benar-benar ingin menceraikan istrinya.
Jadi, pensyaratan istri dalam keadaan suci tanpa terjadi jima pada saat itu,
untuk memastikan kekosongan rahim dan tidak adanya kehamilan. Sedangkan,
persyaratan kejelasan terjadinya kehamilan dimaksudkan agar urusan ini terang
dan jelas.
Ini merupakan usaha pertama untuk membangun keseriusan dalam
membina rumah tangga, dan usaha mencegah rintangan dan halangan dari
pembangunan rumah tangga itu.
Hal ini bukanlah dimaksudkan bahwa talak itu tidak boleh terjadi
melainkan hanya dalam periode waktu yang ditetapkan itu. Talak itu terjadi
kapan saja ketika seorang menceraikan istrinya (Ini adalah pendapat paling kuat
dari pendapat ahli fiqih. Di sana ada pendapat bahwa talak itu tidak terjadi
melainkan hanya dalam periode waktu yang ditetapkan itu). Namun, jatuhnya talak
dalam periode selain waktu yang ditetapkan itu adalah suatu yang dibenci oleh
Allah dan dilaknat oleh Rasulullah. Hukum ini sudah cukup bagi seorang mukmin
untuk berpegang kepadanya hingga tibanya waktu yang ditetapkan oleh Allah. Maka,
Allah menetapkan sesuatu yang dikehendaki-Nya dalam masalah ini.
"...Dan hitunglah waktu iddah itu..."
Hal itu dimaksudkan agar tidak ada perpanjangan waktu bagi wanita
yang diceraikan disebabkan tidak adanya perhitungan iddah. Dan, akhirnya
menjadi suatu yang berbahaya baginya karena hal itu dapat mencegahnya dari
pernikahan dengan lelaki lain setelah habisnya masa iddahnya. Atau, bisa jadi
terjadi kekurangan masa iddah sehingga maksud yang diinginkan dari tenggang
waktu masa iddah itu tidak tercapai. Yaitu, meyakinkan bahwa rahim wanita yang
diceraikan sedang dalam keadaan suci dari kehamilan untuk menjaga agar nasab
tidak bercampur baur. Kemudian hal itu mengisyaratkan adanya perhitungan yang
teliti yang menunjukkan betapa pentingnya urusan ini. Juga adanya pengawasan
dari langit untuknya, dan seruan kepada orang-orang yang terkait agar teliti di
dalamnya.
“Serta bertakwalah kepada Allah Tühanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang…”
Ini merupakan peringatan pertama. la merupakan peringatan
pertama dari Allah dan pengutamaan ketakwaan terhadap-Nya, sebelum urusan
larangan mengeluarkan istri-istri dari rumah-rumah mereka. Yaitu, rumah-rumah
suami mereka. Namun, Allah menyebutnya sebagai rumah-rumah istri-istri mereka
sebagai penguat dan penegasan tentang hak istri-istri itu dalam menempati dan
tinggal di dalamnya selama periode masa iddah.
Mereka tidak boleh dikeluarkan darinya dan mereka pun tidak boleh
keluar dengan kemauan sendiri, kecuali dalam kondisi mereka melakukan perbuatan
keji yang jelas dari mereka. Telah disebutkan bahwa perbuatan keji itu berupa
zina sehingga wanita itu harus keluar untuk menerima hukuman had. Bisa juga
berupa penyiksaan dan perbuatan zalimnya kepada keluarga suaminya. Bisa juga
berupa perbuatan nusyuz (pembangkangan) terhadap suami walaupun dia telah
menceraikannya, dan berupa perbuatan yang menyakitinya.
Hal itu disebabkan hikrnah dari menetapnya istri yang diceraikan di
rumah suaminya itu adalah memberikan kesempatan untuk rujuk kembali,
membangkitkan gelora-gelora cinta dan kasih sayang, dan mengungkit
kenangan-kenangan hidup bersama di antara mereka berdua. Bisa saja dengan
disebabkan perceraian istri menjadi jauh, namun dia tetap dekat di mata
suaminya di rumahnya. Sehingga, kondisi akan berpengaruh terhadap keduanya.
Namun, bila istri itu melakukan zina padahal dia berada di rumah
suaminya, atau dia mengganggu keluarganya, atau dia melakukan nusyuz terhadap
nya, maka tidak ada peluang dan kesempatan lagi untuk membangkitkan
perasaan-perasaan dan kenangan-kenangan yang baik, atau menghidupkan kembali
perasaan cinta dan kasih sayang yang terpendam. Dengan demikian, tidak
diperlukan lagi meminta istri untuk tetap tinggal dalam periode iddah itu.
Pasalnya, kedekatan suami dengan istrinya pada kondisi demikian malah semakin memutuskan
ikatan-ikatan dan menjauhkan, sama sekali tidak menghidupkan dan
membangkitkannya kembali.
"...Itulah hukum-hukum Allah…”
Inilah peringatan yang kedua. Jadi penjaga dan pemelihara
atas hukum ini adalah Allah. Lantas siapa di antara orang-orang beriman yang
berani menantang hukuman had yang dijaga oleh Allah? Sesungguhnya hal itu
merupakan kebinasaan dan kehancuran.
“…Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesunguhnya
dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri…”
Dia telah menzalimi dirinya sendiri karena keberaniannya menantang
Allah seperti itu. Dengan perlakuan itu, dia telah menzalimi dirinya dengan
menzalimi suaminya. Padahal, dia dan suaminya berasal dari jiwa yang satu.
Jadi, kalau dia menzalimi suaminya, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri
dengan pertimbangan itu.
"...Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu suatu hal yang baru." (ath-lhalaaq: 1)
Ayat ini merupakan sentuhan yang membekas. Siapa yang mengetahui
kegaiban yang disimpan oleh Allah, qadar-Nya yang tersembunyi di belakang
perintah-Nya untuk menghitung masa iddah, dan perintah-Nya agar wanita yang
dicerai tetap tinggal di rumah suaminya selama masa iddah. Sesungguhnya di sana
terdapat harapan dan ia membangkitkan cita-cita. Mungkin semuanya adalah
kebaikan. Mungkin juga keadaan berubah dan berganti menjadi kepuasan dan
keridhaan. Pasalnya, qadar Allah itu bergerak terus, berganti terus, dan
kejadian-kejadian terjadi terus-menerus. Sikap menyerahkan segala urusan kepada
Allah itulah perkara yang utama dan terbaik. Menjaga hubungan dengan-Nya adalah
lebih tertuntun dan terarah. Di dalam ketakwaan dan merasakan pengawasan-Nya
terdapat segala kebaikan.
Jiwa manusia bisa dikuasai oleh keadaan yang sedang terjadi dengan
segala kondisi dan sentuhan yang ada di dalamnya. Bisa jadi segala jalan keluar
menuju masa depan tertutup. Sehingga, jiwa menjalani hidup dalam penjara
situasi dan kondisi yang terjadi. Dan, ia merasakan bahwa situasi itu gelap
selamanya, dan bahwa segala kondisi dan keadaan yang terjadi akan selalu
menyertainya dan mengusirnya Ini merupakan penjara jiwa yang mengunci dan
merusak otot-otot dalam banyak hal.
Namun, bukan itu hakikatnya, karena qadar Allah selalu bekerja,
selalu berganti, dan selalu berubah. Juga selalu menciptakan sesuatu yang tidak
terlintas dalam perhitungan manusia berkenaan keadaan dan situasi. Yaitu, jalan
keluar dan keluasan setelah mengalami kesempitan, kemudahan setelah kesulitan,
dan kelapangan setelah mengalami kesukaran rezeki. Allah dalam setiap hari
selalu sibuk dengan segala urusan. Dia akan menampakkannya bagi makhluk setelah
hal itu tertutup dari mereka.
Allah menghendaki agar hakikat ini tertanam kokoh dalam manusia.
Sehingga, mereka selalu berharap terhadap apa yang diperbuat oleh Allah dalam
segala urusan yang selalu diperbaharui-Nya dan pintu-pintu harapan selalu
terbuka terhadap perubahan situasi dan kondisi yang dialami. Juga agar jiwa-jiwa
mereka selalu dinamis dengan harapan-harapan, optimis dengan cita-cita, dan
tidak terbentur dengan pintu-pintu jalan keluar yang terkunci. Dan, ia tidak
hidup dalam penjara situasi dan kondisi yang terjadi. Situasi dan kondisi yang
akan datang bisa jadi membawa sesuatu yang tidak pernah terbayangkan.
“…Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
suatu hal yang baru." (ath-Thalaaq: 1)
"Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. Dan, persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah,
niscaya AIlah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesunguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu." (ath-Thalaaq: 2-3)
Inilah periode kedua dan inilah hukumnya. Dengan tibanya puncak
waktu yang ditetapkan, maka berakhirlah masa iddah. Bagi suami selama istrinya
yang diceraikannya belum keluar dari masa iddah, maka ia boleh merujuk istrinya
sehingga kembali ke dalam tanggung jawabnya setelah pernyataan rujuknya itu.
Inilah yang dimaksudkan dengan memegangnya kembali. Atau, sebaliknya suami
membiarkan masa iddah itu berlalu. Sehingga, istrinya menjadi bebas darinya dan
tidak halal lagi baginya melainkan dengan akad nikah yang baru sebagaimana
istri yang baru dinikahi.
Sama saja bagi seorang suami baik dia merujuk istrinya maupun
berpisah dengannya, maka dia diperintahkan berlaku baik dan makruf dalam kedua
keadaan itu. Seorang suami sangat dilarang merujuk istrinya untuk
membahayakannya, seperti dia merujuknya sebelum masa iddah habis. Kemudian dia
kembali menceraikannya untuk kedua kalinya atau ketiga kalinya agar masa
penantian istrinya menjadi lama tanpa bisa menikah dengan lelaki lain. Atau,
seorang suami merujuk istrinya kembali dengan maksud membiarkannya menggantung dan
melakukan tipu daya kepadanya agar istrinya mau menebus dirinya kepadanya
dengan sejumlah harta benda.
Kedua kondisi itu terjadi ketika surah ini turun pada zaman
sahabat. Dan, hingga saat ini kondisi itu akan terus terjadi setiap jiwa
manusia menyimpang dari takwa kepada Allah. Dan, ketakwaan kepada Allah
merupakan jaminan pertama bagi kelestarian hukum-hukum-Nya dalam hubungan
suami istri dan juga perceraian.
Demikian pula seorang suami dilarang membahayakan istrinya dalam
perceraian dengan hardikan, celaan, hinaan dalam ungkapan, dan dengan
kemarahan. Pasalnya, ikatan perkawinan dibangun dengan kebaikan dan diakhiri
pula dengan kebaikan untuk mengekalkan cinta dan kasih sayang yang ada dalam
hati. Karena bisa jadi setelah perceraian itu mereka kembali berhubungan
sebagai suami istri. Sehingga, kenangan-kenangan buruk tidak mengganggu mereka
disebabkan oleh kalimat kotor, ejekan yang menusuk atau menyinggung kemurnian
perasaan ketika mereka kembali rujuk lagi. Kemudian yang Iebih penting adalah
ia merupakan adab Islami yang sejati di mana Islam menganjurkan untuk berhias
dengannya dalam Iisan dan hati.
Dalam dua keadaan itu baik perceraian maupun rujuk, dibutuhkan
kesaksian dua orang yang adil. Orang-orang yang mengetahui telah ada perceraian
dan tidak mengetahui adanya rujuk, sehingga mereka menyebarkan isu macam-macam
dan berkata yang tidak-tidak. Sedangkan, Islam menghendaki kemurnian dan
kesucian dalam hubungan-hubungan dan ikatan-ikatan itu baik di dalam hati
manusia maupun di dalam lisan mereka. Rujuk dan perceraian bisa terjadi tanpa
persaksian menurut sebagian ulama. Namun, menurut sebagian ulama lainnya, kedua
perkara itu baru sah bila ada persaksian dalam keduanya. Namun, setelah itu
terjadi ijmak ulama bahwa persaksian harus ada baik dalam perceraian maupun
rujuk.
Setelah penjelasan tentang hukum itu, muncullah sentuhan dan arahan
yang berlanjut,
“…Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah...."
Jadi, persoalan ini adalah persoalan Allah dan persaksian di
dalamnya adalah untuk Allah. Dialah yang memerintahkan hal itu. Dia yang
mengawasi pelaksanaannya. Dan, Dia pula yang membalas ganjaran atasnya.
Interaksi dalam hal itu adalah dengan Allah, bukan dengan suarni atau istri
ataupun manusia.
"…Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat…"
Orang-orang yang menjadi objek dari seruan hukum-hukum ini adalah
orang-orang beriman yang meyakini hari akhirat. Allah menyatakan kepada mereka
bahwa sesungguhnya Dia menasihati mereka tentang urusan mereka. Bila mereka
benar-benar jujur dalam keimanan kepada-Nya dan kepada hari Kiamat, maka mereka
seharusnya menuruti nasihat dan mengambil pelajaran. Inilah tuntutan iman
mereka dan inilah standar kebenaran pengakuan mereka dalam keimanan.
"...Barangsiapayang bertakzva kepada Allah, niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan keluar." (ath-Thalaaq: 2)
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..."
Yaitu, jalan keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan di
akhirat. Juga diberikan rezeki yang tidak pernah dibayangkannya dan
dinantikannya. la merupakan ketetapan umum dan hakikat abadi. Namun, kelekatannya
di sini dengan hukum-hukum talak mengisyaratkan ketelitian realisasinya ketika
orang-orang yang bertakwa benar-benar menjaga ketakwaannya kepada Allah dalam
hal ini secara khusus. la merupakan urusan di mana standar yang paling sensitif
dan paling teliti selain daripada standar perasaan dan standar nurani.
Permainan dan bermain-main dalam persoalan ini sangat Iuas medannya. Dan, tidak
ada yang dapat menghentikannya melainkan ketakwaan kepada Allah dan perasaan
yang sensitif dalam nurani.
“…Barangsiapa yang bertawakal kepada AlIah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki)-Nya...."
Ruang konspirasi dan tipu daya sangat Iuas dalam hubungan
perkawinan ini. Jalur-jalurnya sangat banyak. Kadangkala tipu daya dibalas
dengan tipu daya yang lain untuk melindungi diri darinya. Di sini terdapat
isyarat agar tindakan tipu daya ini, beralih kepada sikap tawakal kepada Allah
karena Dia pasti menjamin segala kecukupan orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya dan Dia pasti menyempurnakan segala urusan-Nya.
Apa yang ditakdirkan oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang
dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Maka, sikap bertawakal kepada Allah adalah
sikap bergantung dan berserah diri kepada kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa dan
kekuatan Yang Mahaperkasa, Yang Maha Berkehendak atas apa yang diinginkan-Nya,
Yang Maha Menyempurnakan atas apa yang dikehendaki-Nya.
Nash ayat ini kandungannya umum. Yang dimaksudkan dengannya adalah
pembentukan pandangan iman yang benar dalam hati, sesuai dengan kehendak Allah
dan takdir-Nya. Namun, kemunculannya di
sini berkenaan dengan hukum-hukum talak memiliki sentuhannya dan efeknya
tersendiri dalam masalah ini.
"...Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu." (ath-Thalaaq: 3)
Jadi, setiap sesuatu telah ditentukan sesuai dengan ukurannya,
waktunya, tempatnya, kandungan-kandungannya, hasil-hasilnya, dan
sebab-sebabnya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara kebetulan dan tidak
ada sesuatu pun yang sia-sia dalam seluruh alarn semesta ini dan dalam jiwa manusia
dan kehidupannya. la merupakan hakikat yang agung di mana aspek yang besar dari
pandangan keimanan terbangun di atasnya.
Kami telah menjelaskan bahasan ini secara terperinci ketika kami
memaparkan bahasan tentang firman Allah,
“…Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya." (al-Furqaan: 2)
Dan, ketika kami membahas ayat,
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurul
ukuran." (al-Qamar: 49)
Namun, Allah menyebutkan kembali hakikat umum ini di sini, untuk
mengikatkan dengan takdir-Nya tentang talak dan masa berlakunya, tentang iddah
dan periode berakhirnya, serta tentang persaksian dan penegakkannya. Allah
menentukan karakter hukum-hukum talak ini dengan karakter sunnah-Nya yang pasti
terlaksana dan hukum-Nya yang umum. Juga meletakkan dalam gambaran perasaan
bahwa urusan talak ini adalah urusan yang serius dan sungguh-sungguh yang
terambil dari sistem alam semesta yang ditentukan dalam setiap ciptaan Allah.
“Dan wanita-wuanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara
wanita-wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka
adalah tiga bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid. Dan
wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itü İalah sampaİ mereka melahirkan
kandungannya. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya
kepada kamu. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (ath-ThaIaaq:
4-5)
Ini merupakan batasan periode masa iddah bagi wanita-wanita cerai
yang tidak aktif haidnya dan tidak dalam keadaan hamil. la meliputi
wanita-wanita menopause dan wanita-wanita yang belum pernah haid baik karena
masih kecil dan belum cukup umur maupun disebabkan oleh suatu penyakit. Hal itü
dikarenakan masa iddah yang telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah sebelumnya
adalah berlaku bagi wanita-wanita yang masih haid. Yaitu, selama tiga masa haid
atau tiga masa suci sesuai dengan perbedaan fiqih dalam masalah ini.
Sedangkan, bagi wanita-wanita yang tidak lagi aktif haidnya dan
wanita-wanita yang belum pernah haid sama sekali, maka hukumnya masih
membingungkan, yaitu bagaimana mereka menghitung masa iddahnya? Maka, turunlah
ayat ini yang menjelaskan dan menghilangkan kebingungan dan keraguan, dan
menentukan bahwa iddah kedua kelompok wanita itü adalah tiga bulan, karena
kedua kelompok wanita itü sama-sama tidak haid. Sedangkan, wanita hamil masa
iddahnya adalah masa ke lahiran bayinya, baik waktunya lama maupun cepat. Walaupun
setelah itü sebetulnya ada empat puluh hari menanti masa suci dari nifas,
karena kesucian rahim pada saat itü telah benar-benar meyakinkan, sehingga
tidak dibutuhkan lagi kepada masa penantian habis masa nifas.
Adapun wanita cerai yang hamil menjadi terlepas secara mutlak dari
mantan suaminya setelah melahirkan, sehingga tidak ada hikmah apa-apa dalam
penantian masa iddah baginya setelah itu. Selanjutnya wanita itü tidak boleh
dirujuk lagi oleh mantan suaminya melainkan dengan akad nikah yang baru. Dan,
Allah telah menentukan segala perkara tentang ketentuan-ketentuannya, dan tidak
ada satu hükum pun melainkan di baliknya terdapat hikmah.
Itulah penjelasan tentang hukum, kemudian muncullah penjelasan
tentang sentuhan-sentuhan dan komentar-komentar,
"...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam uyusan nya." (ath-Thalaaq: 4)
Kemudahan dalam urusan merupakan puncak yang diharapkan dan
dicita-citakan oleh setiap manusia. Sesungguhnya merupakan kenikmatan yang
sangat besar bila Allah menjadikan segala urusan menjadi mudah bagi
hamba-hamba-Nya, sehingga tidak ada lagi kelelahan, kesulitan, kerumitan, dan
kesempitan. Para hamba Allah akan menyelesaikan segala urusan dengan mudah
dalam perasaan dan takdirnya. Mereka dapat meraihnya dengan mudah dalam gerakan
dan amalnya. Mereka pun merasa puas karena kemudahan mendapatkan hasil dan
nilainya. Dan, mereka pun hidup dalam segala kemudahan hingga menemui Allah.
Sesungguhnya Allah menganjurkan kemudahan dalam perkara talak dengan menjanjikan
balasan dan gantinya berupa kemudahan di dalam seluruh aspek kehidupan.
"Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu…”
Ini merupakan sentuhan lain dalam bidang dan segi yang lain, Suatu
sentuhan yang sungguh-sungguh dan menarik perhatian kepada sumber perintah. Allah
yang telah menurunkan perintah itu, yang diturunkan bagi orang-orang yang
beriman kepada-Nya. Jadi ketaatan kepada Alah merupakan realisasi nyata dari
iman dan realisasi hakikat hubungan antara mereka dengan Allah
Kemudian redaksi kembali kepada takwa yang digugah secara
terus-menerus dalarn ruang paragraf ini,
”...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (ath-Thalaaq: 5)
Balasan pertama bagi sikap takwa adalah kemudahan dalam segala
urusan. Dan, balasan kedua adalah Allah menghapus dosa-dosa dan memperbesar
pahala setelah penghapusan dosa. Itu merupakan rangsangan dan tawaran yang
sangat menggiurkan. la merupakan hukum umum dan keadilan yang meliputi
segalanya. Namun, ia mencabut segala nuansa dan naungan tema talak Ialu
memenuhi hati dengan perasaan akan kehadiran Allah dan anugerah-Nya yang umum.
Oleh karena itu, orang yang demikian tidak akan mendapatkan kesulitan dan kerumitan
karena Alah memenuhinya dengan segala kemudahan, ampunan, dan pahala yang
besar.
“TempatkanIah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tingal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hali) mereka. Dan, jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan,
jika kamu menemui kesulitan, maka wanita lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan,
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
(ath-Thalaaq: 6-7)
Ini adalah penjelasan terakhir tentang perincian tempat tinggal
istri di rumah, dan pemberian infak dalam masa iddah sesuai dengan masanya yang
berbeda-beda. Jadi yang diperintahkan adalah memberikan tempat tinggal sesuai
dengan kemampuan suami, tidak boleh rendah dari tempat tinggal suami atau lebih
rendah dari ukuran kemampuan dan kekayaannya. Para suami tidak boleh sengaja
membahayakan istri-istrinya dengan menekan mereka dalam ukuran tempat tinggal,
atau tingkat kelayakannya, atau dalam bermuamalah dengannya.
Allah mengkhususkan penjelasan nafkah bagi istri-istri yang hamil,
(padahal semua wanita cerai wajib dinafkahl) karena lamanya waktu kehamilan
bisa jadi dipahami oleh orang bahwa kewajiban memberi nafkah hanya sebagian
masa waktu hamil saja, dan tidak usah disempurnakan sisanya. Atau, masa
pemberian nafkah harus ditambah dan diperpanjang karena masa hamilnya sangat
pendek dan waktu melahirkan telah begitu dekat setelah perceraian itu.
Sehingga, Allah pun mewajibkan nafkah hingga selesai melahirkan dan ia
merupakan masa berakhirnya periode iddah untuk tambahan penjelasan syariatnya.
Kemudian Allah menjelaskan tentang permasalahan menyusui yang tidak
dijadikan sebagai ke wajiban atas istri tanpa imbalan apa-apa. Jadi selama
istri menyusui anak yang merupakan buah pernikahan mereka berdua, maka menjadi
hak istri mendapatkan upah atas susuannya yang dengannya dia dapat menopang
kehidupannya dan membeli susu buat bayinya. Inilah bentuk pemeliharaan dan
perlindungan syariat terhadap ibu.
Dalam waktu yang sama, Allah memerintahkan ayah dan ibu agar mereka
berdua bermusyawarah dalam urusan bayi dan maslahatnya kaena dia merupakan
amanat bagi mereka berdua. Sehingga, jangan sampai kegagalan mereka membina
rumah tangga terimbas kepada bayi yang suci dan tak bersalah itu.
Inilah kemudahan yang diserukan Allah kepada keduanya. Sedangkan,
bila mereka mengalami kesulitan dan mereka tidak mencapai kata sepakat, maka
bayi harus dijamin haknya,
"...Dan, jika kamu menemui kesulitan, maka wanita Iain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (ath-Thalaaq: 6)
Tanpa ada keberatan apa pun dari ibu kandungnya dan tanpa
pembatalan hak bayi dalam hal mendapatkan susuan karena kesulitan keduanya
setelah kesepakatan tidak tercapai.
Kemudian Allah memperincikan tentang ukuran nafkah, yaitu mudah,
saling menolong dan adil, suami tidak boleh zalim, dan istri tidak boleh keras
dan ngotot. Barangsiapa yang diperluaskan rezekinya oleh Allah, hendaklah dia
memberikan infak sesuai dengan keluasannya, baik perihal tempat tinggal, natkah
kehidupan, maupun upah menyusui. Dan, barangsiapa yang disempitkan rezekinya,
maka tidak ada dosa baginya, karena Allah tidak menuntut seseorang untuk
memberikan nafkah melainkan sesuai dengan anugerah yang diberikan Allah
kepadanya.
Dialah Yang Maha Pemberi dan tidak seorang pun dapat meraih selain
apa yang dianugerahkan oleh Allah. Jadi tidak ada sumber Iain dalam anugerah
selain sumber yang satu ini, dan tidak ada simpanan kekayaan Iain selain
simpanan harta benda ini.
“AIlah tidak memikulkan beban kepada seseorang meIainkan
(sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya…”
Kemudian ada sentuhan kepuasan dan keluasan harapan bagi keduanya,
"...Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
" (ath-Thalaaq: 7)
Jadi, segala urusan bergantung kepada Allah dalam kelapangan
sesudah kesempitan dan kemudahan sesudah kesusahan. Oleh karena itu, lebih baik
bagi kedua suami istri itu menyelesaikan segala masalah berdua, dan
menghadapkan kepada Allah dalam segala urusan. Keduanya hendakIah merasakan
adanya pengawasan Allah dan agar keduanya bertakwa kepada-Nya. Dialah yang
memberi dan yang mencegah. Dialah yang mempersempit dan yang memperluas. Di
tangan-Nyalah kesempitan dan kelapangan, kesulitan dan kemudahan, serta
kegentingan dan kesejahteraan.
Hukum-Hukum yang Dibawa Nabi saw Membawa Kebahagiaan
Sampai di sini, maka bahasan dalam surah ini telah mencakup segala
hukum talak serta tetek bengeknya. Juga meliputi penelusuran segala efek dan
pengaruhnya hingga menemukan solusi yang jelas dan terang. Allah tidak
membiarkan rumah tangga yang hancur itu menjadi berkeping-keping dan menjadi
debu yang memenuhi jiwa-jiwa dan menutup hati.
Ketika bahasan selesai tentang semua perkara itu, maka redaksi
mulai memaparkan pelajaran terakhir tentang hukum final yang menimpa orang-orang
yang mendurhakai perintah Allah dan rasul-Nya sehingga mereka tidak mendengar
dan merespons. Allah meletakkan pelajaran ke atas kepala-kepala manusia, yang
mengingatkan mereka tentang hukuman final dan menyedihkan yang selalu menanti
orang-orang yang tidak bertakwa dan tidak taat. Sebagaimana ia pun mengingatkan
tentang nikmat-nikmat AIIah atas orang-orang beriman yang diserukan dengan
surah ini dan syariatnya,
"Dan berapalah
banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan
rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras,
dan Kami azab mereka dengan azab yang
mengerikan. Maka, mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan
adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar. Allah menyediakan bagi
mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang
mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah
menurunkan peringatan kepadamu, (dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan
kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia
mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dari
kegelapan kepada cahaya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang
saleh, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. Merekn kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya
Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya." (ath-ThaIaaq: 8-11)
Itu merupakan peringatan yang panjang dan ancaman yang terperinci
fenomena-fenomena dan kejadian-kejadiannya. Sebagaimana ia juga merupakan
peringatan yang mendalam tentang nikmat Allah dengan iman dan cahaya serta
janji-Nya perihal balasan di akhirat. Dan, ia merupakan rezeki yang paling baik
dan paling mulia.
Hukuman Allah yang dijatuhkan kepada orangorang yang mendurhakai
perintah Allah dan tidak tunduk kepada rasul-rasul-Nya merupakan sunnah yang
berlaku terus-menerus.
"Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai
perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu
dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan."
(ath-Thalaaq: 8)
Perincian hukuman atas negeri-negeri itu dan penyebutan tentang
hisab yang sulit dan azab yang keras, kemudian gambaran tentang akibat dan
tempat kembali yang buruk,
“Maka, mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan
adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar." (ath-Thalaaq:
9)
Kemudian mengulur gambaran tentang aldbat kerugian itu dalam ayat
selanjutnya,
"Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras,…"
Semua ini dimaksudkan untuk memperpanjang tampilan gambaran
kejadian dan perincian tentang langkah-langkah dan periode-periodenya. Ini
merupakan salah satu metode yang indah dalam Al-Qur'an untuk menanamkan
pengaruh dalam perasaan dan memperlama keberadaannya dalam hati.
Mari kita berhenti sejenak di hadapan ancaman ini. Kita akan
menyaksikan bahwa Allah menurunkan azab kepada negeri-negeri itu satu persatu
setiap ia mendurhakai perintah Allah dan rasuI-Nya. Kita mendapatkan bahwa
ancaman ini dipaparkan di sini berkenaan dengan permasalahan talak dan
hukum-hukum talak. Jadi perkara talak dan hukum-hukumnya berkaitan erat dengan
hukum alam semesta.
Di sini terdapat isyarat bahwa perkara talak bukanlah sekadar
perkara keluarga atau pasangan. Namun, ia merupakan permasalahan umat Islam
seluruhnya. Umat Islamlah yang bertanggung jawab dalam masalah ini. Umat
Islamlah yang bertanggung jawab atas syariat Allah. Dan, pelanggaran umat
terhadap perintah Allah di dalamnya, atau pelanggaran umat terhadap perintah
Allah di dalam selain perkara itu dari hukum-hukum institusi ini atau manhaj
Allah yang lengkap tentang kehidupan ini, adalah pelanggaran terhadap perintah
Allah di mana bukan orang-orang yang melanggar saja yang akan dijatuhi hukuman
melainkan seluruh negeri dan umat di mana terjadinya pelanggaran itu, dan di
mana penyimpangan dari manhaj Allah itu berlaku.
Agama Islam ini diturunkan untuk ditaati dan dilaksanakan seluruh
ajarannya secara sempurna dan menguasai segala aspek kehidupan. Maka,
barangsiapa yang melanggar perintah Allah di dalamnya, walaupun perkara itu
berada dalam urusan individu, maka ia harus menghadapi konsekuensi yang menimpa
seluruh komponen negeri, karena sunnah Allah tidak akan pernah berganti dan
berubah.
Negeri-negeri itu telah merasakan akibat yang buruk dari
perbuatannya, dan akibat perbuatan me reka adalah kerugian yang besar.
Penduduknya telah merasakan pedihnya azab itu di dunia ini sebelum hari hisab
di akhirat. Azab itu telah ditimpakan kepada negeri-negeri, umat-umat, dan
bangsa-bangsa yang melanggar manhaj Allah di muka bumi ini. Kita telah
menyaksikan hal ini dan orang-orang yang sebelum kita pun telah menyaksikan azab.
Semua mereka telah merasakan kerusakan dan kebinasaan, kemiskinan dan
kekeringan, kezaliman dan kelaliman serta kehidupan yang tidak memiliki rasa
aman, kedamaian, ketenangan, dan kestabilan. Dan, setiap hati kita dapat
menyaksikan kenyataan dari peringatan ini.
Di atas itu ada azab yang menanti para pelanggar perintah Allah dan
manhaj-Nya dalam kehidupan sebagaimana difirmankan oleh Allah,
"Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras,…”
Allah Mahabenar dengan segala firman-Nya.
Sesungguhnya Islam merupakan manhaj sistem komunitas jamaah,
sebagaimana telah kami bahas dalam surah ash-Shaff. la datang untuk membentuk
kaum muslimin yang memiliki sistem yang khusus. la datang untuk mengelola dan
mengatur kehidupan jamaah seluruhnya. Oleh karena itu, seluruh komponen jamaah
bertanggung jawab atasnya dan bertanggung jawab atas hukum-hukumnya. Apabila
mereka berpaling dari manhaj ini dan melanggarnya, maka hukuman itu pasti
terealisasi kepada mereka sebagaimana hukuman itu telah diturunkan dan
dirasakan kepada negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang berpaling dan melanggar
sebelum mereka.
Dalam menghadapi peringatan dan fenomena-fenomenanya yang panjang,
redaksi ayat menyeru para ulul albab dari orang-orang beriman yang telah
dituntun oleh hati mereka kepada keimanan. la menyerukan kepada mereka agar
bertakwa kepada Allah yang telah menurunkan kepada mereka kitab yang memberikan
peringatan,
"...Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang
mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah
menurunkanperingatan kepadamu." (ath-Thalaaq: 10)
Peringatan itu ditampakkan dan dilekatkan pada pribadi Rasulullah.
Sehingga, pribadi Rasulullah sendiri merupakan peringatan atau dalam ungkapan
lain sebagai pengemban yang bertanggungjawab atas peringatan itu.
"(Dan mengutus) seorangRasul yang membacakan kepadamu
ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum)...”
Di sini terdapat selipan makna yang sangat indah, mendalam, dan
jujur yang memiliki beberapa isyarat, petunjuk, dan arah yang bermacam-macam.
Sesungguhnya peringatan ini datang dari sisi Allah, yang menemui
mereka Iewat pribadi Rasulullah yang jujur dan amanah. Seolah-olah peringatan
itu tembus kepada mereka secara langsung dan pribadi Rasulullah tidak menutup
sedikitpun dari hakikat petingatan itu.
Isyarat bagian kedua dari nash ini adalah bahwa sesungguhnya
pribadi Rasulullah telah mendarah daging dalam peringatan itu. Sehingga, beliau
merupakan gambaran nyata dan fisik dari peringatan itu akhirnya beliau merupakan
jelmaannya. Rasulullah merupakan terjemahan hidup dari hakikat Al-Qur'an.
Demikianlah gambaran Rasulullah seperti yang dilukiskan oleh Aisyah r.a.,
"Sungguh akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an itu sendiri."
Demikianlah AI-Qur'an itu tertanam dalam jiwa Rasulullah untuk
menghadapi kehidupan. Dan, beliau adalah AI-Qur'an yang menghadapi segala
tantangan dan tuntutan kehidupan.
Di atas nikrnat peringatan, cahaya, hidayah, dan kesalehan, ada
janji kenikmatan surga yang kekal selama-lamanya. Semua mereka diingatkan
kembali bahwa rezeki yang paling baik adalah surga. Sehingga, tidak mungkin
dibandingkan dengan rezeki apa pun di dunia ini.
"...Supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amalsaleh dari kegelapan kepada cahaya. Barangsiapa beriman
kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Allah akan memasukkannya
ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik
kepadanya. " (ath-ThaIaaq: 11)
Allah adalah pemberi rezeki di dunia dan di akhirat. Namun, suatu
rezeki yang lebih baik dari rezeki apa pun. Dan, pilihan manusia terhadap
rezeki yang terbaik adalah pilihan yang benar dan mulia.
Demikian sentuhan terhadap rezeki sekali lagi. Dan, dengan isyarat
ini, menjadi remehlah setiap rezeki yang ada di bumi dibandingkan dengan rezeki
yang ada di surga. Namun, Allah juga menjanjikan (pada penggalan pertama)
keluasan di dunia pula.
Pada bagian penutup, muncullah sentuhan alam semesta yang dahsyaL
la menghubungkan antara tema surah, syariatnya, dan pengarahannya dengan takdir
Allah, kekuasaan Allah, dan ilmu AIIah dalam ruang alam semesta yang luas ini,
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu
pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu." (ath-Thalaaq: 12)
Tujuh lapis langit merupakan sesuatu yang masih belum kita ketahui
tentang hakikatnya, bidang-bidangnya, dan jarak-jaraknya. Demikian pula tujuh
lapis bumi. Bisa jadi planet bumi yang kita tempati saat ini merupakan salah
satu di antara tujuh lapis bumi iłu, sedangkan yang enam lagi masih tersimpan
dałam ilmu Allah. Dan, bisanjadi makna, "...Dan seperti iłu pula bumi...,"
bahwa planet bumi ini termasuk dałam jenis langit. Jadi, bumi iłu seperti
langit dałam struktur dan karakter-karakternya.
Namun, apa pun maknanya, tidak dibutuhkan dan diperlukan pencocokan
teks-teks ayat ini dan mengujinya dengan ilmu-ilmu yang telah kita temukan.
Karena ilmu kita sangat terbatas dan tidak meliputi seluruh alam semesta
sehingga kita berasumsi dengan meyakinkan bahwa teori ilmiah iłulah yang
dikehendaki oleh teks-teks Al-Qur' an. Kita sama sekali tidak boleh menghakimi
dan menjustifikasi demikian hingga kita benar-benar mengetahui secara
meyakinkan tentang ilmu alam semesta ini, dan perkara iłu merupakan perkara
yang mustahil.
Dengan sentuhan isyarat ini, kita dapat mengambil manfaat sebagai
petunjuk menuju ke arah hakikat iłu dałam ruangnya di dałam jiwa dan ke arah
pembentukan pandangan keimanan yang benar dałam alam semesta.
Dan, isyarat kepada alam semesta yang agung, ” ..Tujuh langit
dan seperti iłu pula bumi...,” menggoncangkan perasaan dan menghentikan
hati sejenak berhadapan langsung dengan fenomena di antara fenomena-fenomena
kekuasaan Sang Maha Pencipta, dan kerajaan-Nya yang luas. Sehingga, di
hadapannya seluruh bumi menjadi kecil dan kerdil. Apalagi hanya sebagian
isinya, atau kasus di antara kasus-kasus yang terjadi di dalamnya. Bahkan,
beberapa keping uang yang dinafkahkan oleh seorang suami atau seorang istri
menarik diri dari hak mendapatkannya.
Di antara langit yang tujuh ini dan bumi atau tujuh lapisan bumi,
perintah Allah terus-menerus turun, dan di antaranya perintah yang ada di hadapan
manusia dałam arahan ayat ini. Jadi, perintah ini sangat dahsyat meskipun
diukur dengan standar-standar manusia dan pandangan-pandangan mereka mengenai
tempat dan waktu semampu mereka dałam membayangkannya.
Pelanggaran terhadap perintah iłu merupakan pelanggaran terhadap
suatu perintah yang ditaati dan disambut dengan baik oleh segala lapisan,
langit dan lapisan-lapisan bumi, serta didengar dan direspons oleh para
malaikat dan makhluk-makhluk Allah yang lain yang ada di dałam langit dan
lapisan-lapisan bumi. Oleh karena iłu, pelanggaran iłu merupakan pelanggaran
yang sangat jahat dan keji, di mana tidak mungkin seorang mukmin yang berakal
berani melakukannya. Apalagi, telah diutus kepadanya seorang rasul untuk
membacakan kepadanya ayat-ayat Allah dengan jelas, menjelaskan baginya perintah
ini demi mengeluarkannya dari segala kegelapan menuju kepada cahaya.
Perintah ini terus-menerus turun antara langit dan bumi, untuk
membentuk dałam hati orang-orang yang beriman suatu aqidah bahwa sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Sehingga, tidak ada satu pun yang dapat
melemahkan-Nya atas apa pun yang dikehendaki-Nya. Dan, bahwasanya sesungguhnya
Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Sehingga, tidak ada sesuatu pun yang
luput dari-Nya dałam kerajaan-Nya yang luas dan lapang, serta apa pun yang
disembunyikan dan dirahasiakan oleh manusia dałam hati-hati mereka.
Sentuhan ini memiliki nilainya di sini dari dua segi.
Pertama, sesungguhnya Allah Maha Meliputi atas segala sesuatu dan Dia-lah
yang memerintahkan segala hukum-hukum ini. Allah menurunkan hukum-hukum itu
yang meliputi segala kondisi manusia, kebutuhan-kebutuhan mereka, kebaikan-kebaikan
mereka, dan potensi-potensi mereka. Hukum-hukum lebih ułama untuk ditaati oleh
mereka, dan mereka tidak berpaling darinya sedikitpun. Karena, ia diciptakan
dan dirancang oleh Allah Yang Mahatahu dan Maha Meliputi atas segala sesuatu.
Kedua, sesungguhnya hukum-hukum ini disandarkan kepada nurani-nurani.
Jadi perasaan bahwa Allah Mahatahu dan Maha Meliputi atas segala sesuatu
merupakan jaminan sensitivitas nurani-nurani manusia dałam urusan-urusan dan
perkara-perkara yang tidak bisa dijamin oleh apa pun melainkan ketakwaan kepada
Allah Yang Maha Mengetahui apa yang ada dałam hati.
Demikianlah surah ini ditutup dengan sentuhan yang dahsyat dan
mencekam ini, yang menggetarkan dan menggerakkan hati agar tunduk dan taat.
Maka, Mahasuci Allah yang telah menciptakan hati, dan Yang Maha Mengetahui atas
segala yang ada di dalarnnya dari penyimpangan-penyimpangan dan jalan-jalan
yang Iurus.
No comments:
Post a Comment