Saturday, January 5, 2019

Hadits Arbain 6: Kebersihan Dien dan Kehormatan

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ  مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ   . رواه البخاري ومسلم

Dari An-Nu’man bin Basyir ra yang berkata bahwa aku dengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Barangsiapa menjauhi hal-hal yang tidak jelas tersebut, ia telah mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut, ia terjerumus ke dalam haram, seperti peng­gembalyang menggembala disekitar hima (lahan khusus yang tidak boleh dimasuki siapapun), ia dikhawatirkan menggembala masuk di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap rajmempunyahima dan ketahuilah bahwa hima Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di tubuh terdapat segumpal darah. Jika segumpal darah tersebut baik Maka seluruh tubuh menjadi baik dan jika segumpadarah tersebut jelek maka seluruh tubumenjadi jelekKetahuilah bahwa segumpadarah tersebut adalah hati.” (Diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim).

Jamiul Ulum wal Hikam, Syarah Hadits Arbain oleh Ibnu Rajab

Hadits bab di atas shahih dan keshahihannya disepakati para ulama. Hadits tersebut riwayat Asy-Sya’bi dan An-Nu’man bin Basyir. Di sebagian redaksi hadits tersebut terdapat penambahan dan pengurangan, namun maknanya sama atau hampisama (berdekatan). Hadits yang sama diriwayatkan dari Nabi saw oleh Ibnu Umar, Ammabin Yasir, Jabir, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas, namun hadits An-Nu’man bin Basyir adalah hadits yang paling shahih dalam tema ini.

Sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak diketahui kebanyakan manusia", Maksudnya, halal murni itu jelas dan tidak ada yang samar-samar di dalamnya. Begitu juga haram murni. Namun, di antara kedua hal tersebut terdapat perkara-perkara yang samar-samar bagi kebanyakan manusia, apakah hal-hal tersebut termasuk halal ataukah haram? Adapun orang-orang yang ilmunya mendalam, perkara-perkara tersebut tidak terlihat samar-samaoleh mereka dan mereka mengetahui perkarperkara tersebut masuk ke dalam kelompok yang mana.

Halal murni misalnya adalah makan yang baik-baik dan tanaman, buah­-buahan, hewan ternak, minuman-minuman yang baik, mengenakan katun atau linen atau wol dan lain sebagainya yang dibutuhkan, menikah, mengambil budak wanita, dan lain-lain jika seseorang mendapatkan itu semua dengan akad yang benar seperti jual beli, warisan, hibah, atau rampasan perang.

Haram murni misalnya adalah makan bangkai, darah, daging babi, minum minumakeras, menikah dengan wanita-wanita yang haram dinikahi, mengenakan pakaian dari bahan sutra untuk orang laki-laki, penghasilan haram seperti riba, ju­di, hasil penjualan sesuatu yang tidak halal dijual, mengambil harta rampasan dengan cara mencuri, merampas, penipuan, dan lain sebagainya.

Sedang perkara-perkara yang tidak jelas (musytabihat) misalnya adalah makan sebagian hal-hal yang kehalalan dan keharamannya diperdebatkan; baik berupa makhluk hidup seperti kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), keledai, dan biawak. Atau minum sesuatu yang keharamannya diperdebatkan seperti anggur yang sebagian besadaripadanya memabukkan. Atau memakai sesuatu yang pembolehannya masih diperdebatkan seperti kulit binatang buas dan lain sebagainya. Atau hal-hal yang kehalalan dan keharamannya masih diperdebatkan, seperti penghasilan-penghasilan yang diperdebatkan, seperti inahtawarruq, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu ditafsirkan sebagai hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) olehImam Ahmad, Ishaq, dan imam-imam lain.

Kesimpulannya bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan Al Qur’an kepadaRasul-Nya dan menjelaskan di dalamya untuk umat tentang halal dan haram yang mereka butuhkan, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.“ (An-Nahl: 89).
Mujahid dan lain-lain berkata, “Maksudnya, menjelaskan hal-hal yang diperintahkan kepada kalian dan hal-hal yang dilarang pada kalian.”

Allah Ta’ala berfirman di akhir surat An-Nisa’ dimana didalamnya Allah menjelaskan tentang hukum-hukum harta kekayaan dan pernikahan,
“Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat dan Allah MahaMengetahui segala sesuatu.“ (An-Nisa’: 176).

Allah Ta’ala berfirman,
“Kenapa kalian tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang di­ sebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.“ (Al An’am: 119).

Allah Ta’ala berfirman,
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (At Taubah: 115).

Allah Ta’ala mewakilkan penjelasan wahyu yang tidak jelas kepada Rasul­-Nya seperti yang Dia firmankan,
“Dan Kami turunkan kepadamu AlQur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.“ (An-Nahl: 44).

Ketika Nabi saw wafat, Allah telah menyem­purnakan agama untuk beliau dan umat beliau. Karena itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat berikut kepada Rasulullah di Arafah beberapa waktu sebelum beliau wafat,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagikalian.“ (Al Maidah: 3).
Rasulullah sawbersabda, “Aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih bersih dimana malamnya seperti siangnya dan tidaklah berpaling darinya melainkan orang yang binasa.

Abu Dzar raberkata, “Rasulullah saw wafat dan sebelum itu tidak ada burung di langit yang menggerak-gerakkan kedua sayapnya melainkan beliau menyebutkan ilmunya untuk kami.”

Ketika manusia diliputi keraguan tentang wafatnya Rasulullah sawpaman beliau, Al-Abbas bin Abdul Muththalib raberkata, “Demi Allah, Rasulullah saw tidak wafat hingga beliau meninggalkan jalan dalam keadaan jelas, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, menikah, mencerai, berperang, dan berdamai. Tidak ada penggembala kambing yang menggiring kambing-kambingnya ke puncak gunung; ia menggugurkan daun-daun pohon berduri dengan tongkatnya dan me­lumuri (melepa) kolamnya dengan tanah dengan tangannya, dan tidak ada yang lebih gigih dan tekun daripada Rasulullah saw yang pernah berada di tengah-tengah kalian.”  (Diriwayatkan Ibnu Sa'ad di Ath-Thabaqat 2/266-267 dari Arim bin Al Fadhl dari Hammad bin Ziyad dariAbu Ayyub dan Ikrimah. Perawi sanadnya adalah para perawi tepercaya hanya saja hadits tersebut mursal,) 

Kesimpulannya, Allah dan Rasul-Nya tidak meninggalkan halal dan haram melainkan telah dijelaskan, namun sebagian penjelasan lebih jelas daripada sebagian penjelasan lainnya. Apa saja yang penjelasannya telah terlihat, terkenal, dan termasuk kebutuhan primer agama, maka tidak ada keraguan di dalamnya dan siapa pun di negeri Islam tidak boleh tidak mengetahuinya. Sedang masalah-masalah yang penjelasannya tidak sejelas sebelumnya; ada masalah yang dikenal luas di antara para pengemban syariat secara khusus kemudian para ulama sepakat tentang ke­halalan dan keharamannya, dan bisa jadi masalah tersebut tidak terlihat jelas oleh orang-orang selain mereka, dan ada masalah yang tidak dikenal luas di kalangan para pengemban syariat kemudian mereka berbeda pendapat tentang kehalalan dan keharamannya karena sebab-sebab berikut;
  1. Nash tentang masalah tersebut tidak jelas dalam arti tidak diriwayatkan kecuali sebagian kecil manusia dan tidak sampai pada seluruh pengemban ilmu.
  2. Ada dua nash tentang masalah tersebut; salah satunya menghalalkan dan satunya mengharamkannya, kemudian salah satu dari nash tersebut sampai pada sejumlah ulama tanpa nash satunya lalu mereka berpegang teguh kepada nash tersebut. Atau kedua nash tersebut sampai kepada ulama tanpa menge­tahui sejarahnya, kemudian ia berpegang teguh kepada keduanya karena ia tidak tahu ada nash yang menghapus kedua nash tersebut.
  3. Masalah tersebut tidak mempunyai nash yang tegas, namun diambil dan dalil umum, atau pernahaman, atau qiyas. Oleh karena itu, pernahaman para ulama seringkali berbeda dalam masalah seperti itu
  4. Masalah tersebut mengandung perintah dan larangan kemudian ulama berbeda pendapat tentang penafsiran perintah tersebut; apakah perintah wajib atau sunnah? Mereka juga berbeda pendapat tentang makna larangan tersebut; apakah larangan tersebut larangan haram atau tidak?
Sebab-sebab perbedaan pendapat lebih banyak lagi daripada apa yang telah saya sebutkan. Kendati demikian, di umat pasti ada ulama yang ucapannya sinkron dengan kebenaran kemudian ia mengetahui hukum, sedang orang lain samar-samar terha­dapnya dan tidak mengetahui hukumnya. Ini karena umat ini mustahil bersepakat kepada kesesatan, penganut kebatilan pada mereka tidak mungkin menang atas para penganut kebenaran pada mereka, dan kebenaran mustahil ditingkatkan dan tidak diamalkan di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda tentang hal-hal yang tidak jelas (musytabihat), “Yang tidak diketahui kebanyakan manusia.” Ini menunjukkan bahwa sebagian manusiada yang mengetahui hal-hal yang tidak jelas tersebut (musytabihat).Hal-hal musytabihat tersebut tidak jelas hanya bagi orang yang tidak mengetahuinya dan bukan berarti zat dari perkara itu sendiri yang tidak jelas. Itulah faktor yang me­nyebabkan ketidakjelasan suatu hal bagi kebanyakan ulama. 

Bisa saja ketidakjelasan dalam halal dan haram itu terjadi pada ulama dan orang-orang selain mereka dari sudut pandang yang lain. Misalnya ada sesuatu yang sebab kehalalannya diketahui dengan kepemilikan yang pasti dan ada sesuatu yang sebab keharamannya diketahui dengan keabsahan kepemilikan lain atasnya. Pada contoh pertama, kehalalan sesuatu tersebut tidak hilang kecuali dengan keya­kinan hilangnya kepemilikan dari sesuatu tersebut, kecuali pada pernikahan menurut orang yang berpendapat bahwa perceraian dengan ragu-ragu itu sah seperti Imam Malik, atau dugaan kuat perceraian tersebut sah menurut ulama seperti Ishaq bin Rahawih. Sedang pada contoh kedua, keharaman sesuatu tersebut tidak hilang kecuali dengan pengetahuan yang meyakinkan tentang pemindahan kepemilikan terhadap sesuatu tersebut. 

Adapun sesuatu yang pemiliknya tidak diketahui sejak awal, misalnya seseorang menemukan sesuatu di rumahnya dan ia tidak tahu apakah sesuatu tersebut miliknya atau milik orang lain, maka sesuatu termasuk hal yang tidak jelas (musytabihat) dan ia tidak haram mengambilnya, karena pada umumnya apa saja yang ada di rumahnya adalah miliknya, namun sikap wara' ialah menjauhinya (tidak mengambilnya), karena Nabi saw bersabda, “Aku pulang kepada keluargaku kemudian menemukan sebiji kurma jatuh diatas kasurku. Aku mengangkatnya dan hendak memakannya, namun aku khawatir kurma tersebut adalah sedekah (zakat), oleh karena itu, aku melem­parkannya.“ (Diriwayatkan A1-Bukhari dan Muslim).

Jika di rumah tersebut terdapat sesuatu yang dilarang diambil dan ia ragu-­ragu apakah sesuatu tersebut berasal dari sesuatu yang dilarang tersebut atau tidak, maka status musytabihat sesuatu tersebut lebih kuat. Disebutkan di hadits Ambin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya yang berkata, “Nabi saw tidak dapat tidur pada suatu malam kemudian salah seorang istrbeliau bertanya, Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak bisa tidur tadi malam?’ Nabi saw bersabda, ‘Aku menemukan sebiji kurma dibawah lambungku kemudian aku memakannya sedang dirumah kita terdapat kurma zakat. Jadi aku khawatir kurma tersebut berasal dari kurma zakat tersebut.

Begitu juga sesuatu yang pada prinsipnya adalah mubah (diperbolehkan) misalnya kesucian air, pakaian, dan tanah jika kesuciannya diyakini tidak hilang, maka boleh dipergunakan. Sedang sesuatu yang pada prinsipnya adalah haram misalnya pernikahan dan daging hewan maka tidak halal kecuali kehalalannya diyakini misalnya dengan penyembelihan dan akad. Jika ada keraguan di dalamnya karena sebab lain, maka hukumnya dikembalikan kepada asalnya kemudian dida­sarkan kepadanya dan diadakan penetapan bahwa sesuatu yang pada asalnya adalah haram maka diharamkan. Oleh karena itu, Nabi saw melarang makan hewan buruan yang ditemukan pemburunya mempunyai bekas anak panah yang bukan anak panahnya, atau bekas gigitan anjing yang bukan milik­nya, atau menemukannya jatuh di air,sebab ia tidak tahu apakah hewan buruan tersebut mati karena sebab yang diperbolehkan atau karena sebab lain. Selain itu, sesuatu yang pada asalnya halal harus dikembalikan kepada kehalalannya. Jadiair, tanah, dan baju tidak menjadi najis karena adanya dugaan najis. Begitu juga jika badan terbukti suci, namun seseorang ragu-ragu; apakah kesuciannya telah batal karena hadats itu menurut jumhur ulama terkecuali Imam Malik jika ia belum me­ngerjakan shalat? 

Diriwayatkan dengan shahih dariNabi saw bahwa dilaporkan kepada beliau ada seseorang yang dikesankan merasakan sesuatu di shalatnya kemudian Nabi saw bersabda, “Ia jangan membatalkan (shalatnya) hingga ia mendengasuara (kentut) atau mencium bau.”  Di riwayat lain disebutkan kata masjid sebagai ganti dari kata shalat.

Hadits di atas mencakup pada saat shalat dan selain shalat. Jika terdapat se­bab kuat dan dugaan besatentang najisnya sesuatu yang tadinya suci, misalnya pakaian yang dipakai orang kafiyang tidak menjaga diri dari najis, maka di sinilah letak ketidakjelasan. Di antara ulama ada yang memberi keringanan kepada orang tersebut untuk berpatokan kepada status asal pakaian tersebut yaitu suci. Di antara mereka ada yang memandang pakaian tersebut makruh namun bukan haram. Di antara mereka ada yang mengharamkan pakaian tersebut jika ada dugaan kuat pakaian tersebut najis misalnya orang kafir tersebut termasuk orang yang hewan sembelihannya tidak halal atau pakaian tersebut bertemu/bersentuhan dengan aurat orang kafitersebut seperti celana atau baju gamis. Masalah tersebut dan masalah-­masalah yang mirip dengannya dikembalikan kepada kaidah pertentangan hukum asal dengaperkara yang nyata, karena hukum masalah pakaian tersebut adalah suci sedang yang tampak najis. Dalil-dalil masalah tersebut bertentangan.

Ulama yang berpendapat bahwa pakaian orang kafir tersebut tetap suci berhujjah bahwa Allah menghalalkan makanan Ahli Kitab dan makanan mereka pasti mereka masak dengan tangan mereka di bejana mereka. Selain itu, Nabi sawsendiri pernah memenuhi undangan makan orang Yahudi, beliau dan para sahabat mengenakan dan memakai pakaian dan bejana produk orang-orang kafir. Di perang, para sahabat membagi-bagikan bejana dan pakaian yang mereka dapatkan dari orang-orang kafir dan menggunakannya. Di­riwayatkan dengan shahih dari mereka bahwa mereka mempergunakan air dari ransel milik wanita kafir.

Ulama yang berpendapat bahwa pakaian orang kafir tersebut najis berhujjah bahwa diriwayatkan dengan shahih dan Nabi sawbahwa beliau pernah ditanya tentang bejana-bejana milik Ahli Kitab yang makan babi dan minum-minuman keras kemudian beliau bersabda,Jika kalian tidak mendapatkan bejana lain selain bejana tersebut, cucilahbejana tersebut dengan air kemudian makanlah di dalamnya.

Tentang syubhat, Imam Ahmad memberi penafsiran bahwa syubhat ialah posisi di antara halal murni dengan haram murni. Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa menjauhi syubhat, ia mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agamanya.Terkadarg syubhat ditafsirkan Imam Ahmad dengan pengertian bercampurnya antara halal dengan haram. Termasuk dalam masalah di atas ialah berinteraksi dengan orang yang har­tanya campuaduk antara halal dengan haram. Jika sebagian besar hartanya adalah haram, Imam Ahmad berkata, “Orang Muslim wajimenjauhi harta orang tersebut kecuali jika hartanya yang haram itu sedikit atau tidak diketahui.”Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat; apakah harta orang tersebut makruh atau haram? Ada dua pendapat dalam masalah ini.

Jika sebagian besar harta orang tersebut adalah halal, maka orang Muslim boleh berinteraksi dengannya dan makan hartanya, karena Al Harits meriwayatkan dariAli bin Abu Thalib yang berkata tentang hadiah dari penguasa, “Hadiah-hadiah tersebut tidak ada masalah. Apa yang diberikan kepada kalian dan halal itu lebih banyak daripada apa yang diberikan kepada kalian dan haram.”Nabi saw dan para sahabat berinteraksi (muamalah) dengan orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab padahal beliau dan mereka tahu bahwa orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab tidak menjauhi seluruh hal-hal haram. Jika sesuatu tidak jelas, sesuatu tersebut adalah syubhat dan sikap wara’ ialah meninggalkannya. Sufyan berkata, “Itu tidak membuatku kagum, namun yang lebih membuatku kagum ialah meninggalkan sesuatu yang syubhat.”

Az-Zuhri dan Makhul berkata, “Tidak ada masalah orang Muslim makan sesuatu yang seperti itu selagi ia tidak mengetahuinya bahwa haram.” Jika harta seseorang tidak diketahui ada yang haram dengan pasti, namun diketahui ada syubhat di dalamnya, maka tidak ada masalah makan barang seperti itu. Itu ditegaskan Imam Ahmad di riwayat Hanbal. Ishaq bin Rahawih berpendapat seperti pendapat yang diriwayatkan dariIbnu Mas’ud, Salman, dan lain-lain, bahwa hal tersebut rukhsah (dispensasi). Ishaq bin Rahawih juga berpendapat seperti pendapat yang diriwayatkan dariAl-Hasan dan Ibnu Sirin bahwa boleh mengambil pembayaran hutang dari riba dan judi. Itu diriwayatkan darinya oleh Ibnu Manshur.

Tentang harta yang tidak jelas kehalalan dari keharamannya, Imam Ahmad berkata, “Jika harta tersebut banyak, maka kadar harta yang haram dikeluarkan daripadanya dan harta sisanya boleh dipergunakan. Jika harta tersebut sedikit, dia harus menjauhinya.” Itu karena jika seseorang mengambil sedikit dari harta yang sedikit, ia jauh kemungkinan selamat dari haram. Ini berbeda kalau harta tersebut banyak. Di antara sahabat-sahabat kami ada yang menafsirkan bahwa hal tersebut harus dibawa kepada kehati-hatian bukan kepada pengharaman dan mem­perbolehkan mempergunakan harta yang sedikit atau banyak jika kadar keharamannya telah dikeluarkan daripadanya. Itu pendapat para penganut madzhab Abu Hanifah dan lain-lain. Pendapat tersebut juga dipegang orang-orang yang wara’ semisal BisyrAl Hafi. Sejumlah generasi salaf memberi keringanan untuk makan sesuatu dari orang yang diketahui ada yang haram di hartanya selagi sesuatu yang haram tersebut tidak diketahui secara pasti seperti diriwayatkan dan Az-Zuhri dan Makhul. Pen­dapat yang sama juga diriwayatkan dan Al-Fudhail bin Iyadh.

Tentang hal tersebut, diriwayatkan banyak sekali atsar dari generasi salaf. Diriwayatkan dengan shahidari Ibnu Mas’ud ra bahwa ia pernah ditanya tentang orang yang mempunyai tetangga yang makan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta haram, kemudian tetangga tersebut mengundangnya makan. Ibnu Mas’ud menjawab, “Penuhi undangan orang tersebut, karena kelezatan itu milik kalian sedang dosa milik tetangga tersebut.Di riwayat lain, disebutkan bahwa orang tersebut berkata, “Aku tidak mengetahui sesuatu apa pun pada tetangga tersebut kecuali yang buruk dan haram.” Ibnu Mas’ud berkata, “Penuhi undangan tetangga tersebut.” Imam Ahmad menshahihkan atsatersebut dariIbnu Mas’ud, namun atsar tersebut bertentangan dengan atsar lain yang juga diriwayatkan dan Ibnu Mas’ud yang berkata, “Dosa itu apa saja yang membekas di hati.”

Perkataan Ibnu Mas’ud yang pertama juga diriwayatkan dari Salman, Sa’id bin Jubair, Hasan Basri, Muwarriq Al-Ijli, Ibrahim An-Nakhai, Ibnu Sirin, dan lain-lain. Atsar-atsatersebut ada di buku Al-Adab karangan Humaid bin Zanjawih. Sebagiannya ada di buku Al-Jami’ karangan Al-Khallal, Mushannaf Abdurrazzaq, Mushannaf ibnuAbu Syaibah, dan lain-lain. Jika barang diketahui secara pasti haram dan diambil dengan cara yang haram, sesuatu tersebut haram diambil. Ibnu Abdul Bardan lain-lain menyebutkan bahwa ulama sepakat tentang hal tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin tentang orang yang membayar hutang dengan harta riba kemudian Ibnu Sirin berkata, “Itu tidak ada masalah.” Tentang orang yang membayar hutang dengan harta hasil judi, Ibnu Sirin berkata, “Tidak ada masalah.” Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad shahih. Pendapat kebalikannya diriwayatkan dari Al-Hasan yang berkata, “Sesungguhnya pendapatan seperti itu (riba dan judi) adalah rusak. Oleh karena itu, ambillah dari­padanya seperti dalam keadaan darurat.”

Pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Salman bertentangan dengan riwayat dari Abu BakAsh-Shiddiq yang makan makanan kemudian diberitahu bahwa makanan tersebut haram, lalu ia memuntahkannya.

Ketidakjelasan juga bisa terjadi di hukum, karena cabang masalah tidak jelas di antara akar-akar masalah yang menariknya, misalnya pengharaman seorang suami terhadap istrinya. Masalah tersebut tidak jelas antara pengharaman dzihar yang hanya bisa dihilangkan dengan kafarat besar dengan pengharaman cerai pertama di mana jika masa iddah-nya habis Maka isteri tersebut dihalalkan bagi suaminya dengan akad baru, atau pengharaman cerai tiga di mana istri tidak dihalalkan lagi bagi sua­minya kecuali dengan istri tersebut dinikahi terlebih dahulu oleh laki-laki lain dan laki-laki tersebut menggaulinya, atau pengharaman orang tersebut terhadap makanan dan minuman yang dihalalkan Allah dan pengharaman tersebut mewajib­kan kafarat kecil atau tidak mewajibkan apa-apa karena masalah tersebut masih diperdebatkan. Banyak sekali perbedaan pendapat di kalangan generasi sahabat dan sesudah mereka dalam masalah ini.

Kesimpulannya bahwa hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak terlihat jelas halal atau haram oleh kebanyakan manusia seperti disabdakan Nabi saw itu diketahui sebagian manusia bahwa hal-hal tersebut halal atau haram, karena mereka memiliki ilmu lebih daripada ilmu kebanyakan manusia. Sabda Nabi saw tersebut menunjukkan bahwa ada sebagian manusia yang mengetahui hal-hal yang musytabihat, namun sebagian besadari mereka tidak mengetahuinya. Ada dua pihak yang termasuk dalam kategori orang-orang yang tidak mengetahui hal-hal musytabihat;
Pertama, orang yang memilih tidak diam dalam hal-hal musytabihat, karena ketidakjelasan hal-hal musytabihat tersebut baginya.
Kedua,orang yang meyakini hal-hal musytabihat tersebut tidak dalam bentuk aslinya. 
Perkataan orang tersebut menunjukkan bahwa orang lain mengetahuinya. Maksudnya, orang lain mengetahui hal-hal musytabihat dalam bentuk aslinya; halal atau haram. Ini dalil paling kuat bahwa orang yang benar di sisi Allah dalam masalah­-masalah halal dan haram yang tidak jelas dan diperselisihkan ialah satu orang sedang orang lain tidak mengetahuinya dalam arti orang lain tidak benar dalam menetapkan hukum Allah di masalah-masalah tersebut, kendati ia berkeyakinan di dalamnya dengan keyakinan yang berpatokan pada syubhat yang ia kira dalil. Kendati demi­kian, ia diberi pahala karena ijtihadnya dan kesalahannya diampuni karena ketidak sengajaannya.

Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menjauhi hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut, ia telah mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumuske dalamhal-halyang tidakjelas (musytabihat) tersebut, ia terjerumuske dalamharam.” Pada sabda di atas, Nabi saw membagi manusia dalam hal-hal musytabihat ke dalam dua kelompok. Pembagian tersebut kepada orang yang mempunyai ketidakjelasan terhadap hal-hal musytabihat, yaitu orang yang tidak mengetahuinya. Sedang orang yang mengetahuinya dan mengikuti apa yang ditunjukkan ilmunya terhadap hal-hal musytabihat tersebut, ia masuk kelompok ketiga yang tidak disebutkan Nabi saw karena status dirinya sudah jelas. Kelompok ketiga tersebut adalah kelompok terbaik di antara ketiga kelompok karena ia mengetahui hukum Allah di hal-hal musytabihat yang terlihat samar-samaoleh manusia dan mengikuti ilmunya dalam masalah tersebut. Sedang orang-orang yang tidak mengetahui hukum Allah di dalamnya, mereka terbagi ke dalam dua kelompok; salah satu dari kedua kelompok tersebut ialah orang-orang yang menjauhi hal-hal syubhat tersebut karena perkara-perkara tersebut tidakjelas baginya. Kelompok ini telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatan.

Makna kata istabra’a di hadits di atas ialah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya dan kekurangan dari celaan. Kata al-idhu (kehormatan) pada hadits di atas maksudnya ialah letak pujian dan celaan pada seseorang. Sebutan baik ialah pujian sedang sebutan jelek ialah celaan. Terkadarg kehormatan itu pada diri orang yang bersangkutan, atau pada nenek moyangnya, atau pada keluarganya. Jadi, barangsiapa menjauhi hal-hal musytabihat dan menghindarinya, sungguh ia menjaga kehormatannya dari celaan dan hinaan yang masuk pada orang yang tidak menjauhi hal-hal musytabihat Ini bukti bahwa orang yang mengerjakan hal-hal syubhat itu membuat dirinya untuk dicela dan dihina, seperti dikatakan salah se­orang dari generasi salaf, “Barangsiapa membuat dirinya tertuduh, ia jangan me­nyalahkan orang yang buruk sangka kepadanya.”
Hadits bab di atas menurut riwayat At Tirmidzi ialah, “Barangsiapa meninggalkan hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut untuk mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya, sungguhia selamat.”

Maksudnya, barangsiapa meninggalkan hal-hal musytabihat karena ber­maksud membersihkan agama dan kehormatannya dari kekurangan dan tidak karena sebab lain yang rusak seperti riya’ dan lain sebagainya, sungguh ia selamat. Hadits riwayat At-Tirmidzi di atas menunjukkan bahwa mencari kebersihan untuk kehormatan adalah terpuji sama seperti mencari kebersihan untuk agama.Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya sesuatu yang dipakaseseorang untuk menjaga kehor­matannya adalah sedekah.”

Hadits bab di atas dalam riwayat Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim ialah, “Barangsiapa meninggalkan dosa apa saja yang tidakjelas baginya, maka terhadap sesuatu yang telah jelas, ia lebih meninggalkannya.”

Maksudnya, barangsiapa meninggalkan dosa padahal dosa tersebut tidak jelas baginya dan tidak terbukti secara pasti, ia akan lebih meninggalkannya lagi jika terlihat jelas olehnya bahwa itu benar-benar dosa. Itu dengan syarat orang tersebut meninggalkan dosa tersebut karena menjauhi dosa. Sedang orang yang meninggalkannya karena riya’, ia tidak meninggalkan kecuali sesuatu yang ia anggap terpuji bagi mereka jika sesuatu tersebut ditinggalkan.

Kelompok kedua ialah orang yang terjerumus ke dalam hal-hal musytabihat padahal hal-hal tersebut tidak jelas baginya. Adapun orang yang mengerjakan sesuatu yang dikira syubhat oleh manusia dan ia mengetahui sesuatu tersebut halal, maka ia tidak berdosa di sisi Allah. Namun jika ia khawatidikecam manusia karena sesuatu yang tidak jelas tersebut; sehingga ia meninggalkannya karena mencari kebersihan untuk kehormatannya, maka itu baik. Ini seperti disabdakan Nabi saw kepada orang yang melihat beliau berdiri dengan Shafiyah, “Dia Shafiyah binti Huyai.”

Pada suatu hari, Anas bin Malik berangkat untuk menunaikan shalat Jum’at, namun ia melihat orang-orang telah mengerjakan shalat Jum’at dan pulang ke rumahnya masing-masing. Ia pun malu lalu masuk ke tempat yang tidak dilihat manusia.Ia berkata, “Barangsiapa tidak malu kepada manusia, ia tidak malu kepada Allah.” Diriwayatkan Ath-Thabrani secara marfu’ namun itu tidak benar.

Jika orang tersebut mengerjakan sesuatu tersebut karena ia meyakininya halal berdasarkan ijtihad yang dibolehkan atau taklid yang dibolehkan, ia salah dalam keyakinannya seperti itu. Untuk itu, hukumnya tersebut seperti hukum sebelumnya. Jika ijtthad nya lemah, taklid atau karena yang terlarang, dan ia berbuat seperti itu karena mengikuti hawa nafsu, maka hukumnya seperti orang yang mengerjakan sesuatu padahal ia sendiri tidak memiliki kejelasan tentang sesuatu tersebut. Tentang orang yang mengerjakan hal-hal syubhat padahal ia sendiri mempunyai ketidak­jelasan tentang hal-hal syubhat tersebut, Nabi saw men­jelaskan bahwa orang tersebut terjerumus ke dalam haram. Ini bisa ditafsirkan dengan dua pengertian;

Pertama: Pengerjaaan orang tersebut terhadap hal-hal syubhat padahal ia meyakininya syubhat adalah pengantauntuk mengerjakan sesuatu yang haram yang diyakini bahwa haram itu terjadi secara bertahap.
Hadits bab di atas menurut riwayat Shahih Al Bukhardan Shahih Muslim ialah, “Dan barangsiapa bertindak lancang terhadap dosa yang ragu-ragu di da­lamnya, ia nyaris terjerumus ke dalam hal yang telah jelas.”
Di riwayat lain disebutkan, “Dan barangsiapa bergaudengan keragu-raguan, ia nyaris menyeberang.”

Maksudnya, ia nyaris mendekati dan melangkah kepada haram murni. Sebagian perawi meriwayatkan hadits di atas dengan kata yajsyuartinya meng­gembala. Disebutkan di hadits-hadits mursal Abu Al-Mutawakkil An-Naji dari Nabi saw yang bersabda, “Barangsiapa menggembala di samping tempat-tempat haram, ia nyaris berbaudengannya. Dan barangsiapa menyepelekan dosa-dosa kecil, ia nyaris dengan dosa-dosa besar”

Kedua: Barangsiapa lancang/sembrono terhadap sesuatu yang tidak jelas baginya; ia tidak tahu apakah sesuatu tersebut halal atau haram, dikhawatirkan ditakutkan sesuatu tersebut merupakan sesuatu yang haram. Maka suatu ketika ia akan bertemu dengan sesuatu yang haram tanpa sepengetahuannya. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw yang bersabda, “Halal itu jelas dan haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang tidakjelas. Barangsiapa menjauhi hal yang tidak jelas tersebut, maka itu lebih bersih bagi agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak jelas, ia nyaris terjerumus ke dalam haram, seperti penggembala disekitar hima (lahan khusus yang tidak boleh dimasuki) yang nyaris terjerumus ke dalam hima tersebut tanpa ia rasakan. “(Diriwayatkan Ath-Thabrani dan lain-lain).

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah anak harus taat kepada kedua orang tuanya dalam mengerjakan sesuatu yang di dalamnya terdapat syubhat atau tidak? Diriwayatkan dari Bisyrbin Al-Harits yang berkata, “Tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua dalam perkara syubhat.”Diriwayatkan dari Muhammad bin Muqotil Al-Abbadani yang berkata, “Anak harus taat kepada kedua orang tuanya.” Imam Ahmad memilih diam tidak berpendapat dalam masalah ini. Ia berkata, “Anak harus membujuk kedua orang tuanya.” Imam Ahmad menolak men­jawab permasalahan ini.

Imam Ahmad berkata, “Orang tidak boleh makan barang syubhat hingga kenyang dan tidak boleh membeli pakaian untuk penampilan dari uang syubhat.” Imam Ahmad tidak menentukan batas makanan yang boleh dimakan dan batas pakaian yang boleh dipakai. Tentang kurma yang dibuang burung, Imam Ahmad berkata, “Orang tidak boleh makan kurma tersebut, mengambilnya, atau mendekat kepadanya.” At-Tsauri berkata tentang orang yang menemukan uang atau dirham dirumahnya, “Aku lebih suka kalau orang tersebut menjauhi uang atau dirham tersebut, jika ia tidak tahu dari mana uang atau dirham tersebut.”

Sebagian dari generasi salaf tidak makan kecuali sesuatu yang telah ia ketahui darimana datangnya dan menanyakannya hingga mengetahui asal-usulnya. Tentang hal ini ada hadits dari Nabi sawnamun terdapat padanya kelemahan.

Sabda Rasulullah saw, “Seperti penggembala yang menggembala disekitar hima (lahan khusus yang tidak boleh dimasuki siapa pun), ia dikhawatirkan menggembala di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempu­nyai hima dan ketahuilah bahwa hima Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya,” adalah perumpamaan yang dibuat Nabi saw tentang orang yang terjerumus ke dalam hal-hal syubhat dan ia kemungkinan kuat terjerumus ke dalam haram. Di sebagian riwayat disebutkan bahwa Nabi saw bersabda,
  “Aku akan membuatperumpamaan tentanghatersebut.”
Kemudian Nabi saw menyebutkan hadits tersebut. Di hadits tersebut, Nabi saw mengumpamakan hal-hal yang diharamkan seperti hima yang dijaga para raja dan mereka melarang siapa pun untuk mendekatinya. Nabi saw menjadikan lahan seluas dua midi sekitaMadinah sebagai hima haram di mana pohonnya tidak boleh ditebang dan hewan buruannya tidak boleh diburu. Hima Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan ialah lahan-lahan tempat tumbuh rumput untuk unta-unta zakat.

Juga disebutkan di Shahih Al-Bukhari hadits nomo3059 dari jalur Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Khaththab ra mengangkat mantan budaknya, Hunai, sebagai penjaga hima dan berkata, “Hai Hunai, bersikaplah ramah terhadap kaum Muslimin, takutlah kepada mereka karena doa orang yang terdzalimi itu dikabulkan, izinkan masuk pemilik sedikit unta dan pemilik sedikit kambing, tinggalkan unta Ibnu Alif, dan unta Ibnu Affan, karena jika hewan ternak keduanya mati, keduanya pergi ke kurma dan tanaman. Sedangjika hewan ter­nak pemilik sedikit unta dan kambing, maka keduanya datang kepadaku dengan anak-anak keduanya.” Hunai berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah aku harus meninggalkan mereka semoga engkau tidak mempunyai ayah, padahal air dan rumput itu lebih kecil bagiku daripada emas dan perak. Demi Allah, mereka tahu bahwa aku pernah mendzalimi mereka. Hima tersebut adalah negeri mereka, kemudian mereka berperang pada masa jahiliyah di hima tersebut dan juga masuk Islam di atas hima tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, kalaulah tidak karena harta yang aku bawa di jalan Allah, aku tidak akan melindungi sejengkal pun dari negeri mereka.”

Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih seperti dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari 5/45 dari Nafi’ dan Ibnu Umar rabahwa Umar bin Khaththab melindungi Ar-Rabadzah untuk unta-unta zakat.

Al-Baihaqi di Sunan-nya 6/147 meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id mantan budak Abu Usaid Al-Anshari yang berkata bahwa Utsman bin Affan ra mendengadele­gasi Mesitiba kemudian ia menyambut mereka. Ketika mereka mendengaUtsman bin Affan, mereka segera berangkat kepadanya. Utsman bin Affan tidak mau delegasi Mesimenemuinya di Madinah, oleh karena itu, ia datang kepada mereka. Mereka berkata kepada Utsman bin Affan, “Ambillah A1-Qur’an dan bacalah As-Sabi’ah delegasi Mesimenamakan surat Yunus sebagai As-Sabi’ah.” Utsman bin Affan pun membacanya. Ketika Utsman bin Affan sampai pada ayat, “Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepada kalian (tentang ini) atau kalian mengada-adakan saja terhadap Allah?“ (Yunus:59), delegasi Mesiberkata, “Berhentilah. Bagaimana pendapatmu tentang hima yang engkau lindungi ? Apakah Allah telah mengizinkanmu berbuat seperti itu ataukah engkau mengada-ngada terhadap Allah?” Utsman bin Affan berkata, “Berjalanlah dan engkau berhenti di tempat ini dan itu. Sesungguhnya Umar bin Kháthamelindungi hima sebelumku untuk unta-unta sedekah. Ketika aku diangkat menjadi khalifah, unta-unta zakat menjadi banyak kemudian aku menambah hima karena zakat bertambah.”Baca buku Syarhus Sunnah 8/272-275.

Allah Ta’ala melindungi hal-hal haram tersebut, melarang hamba-hamba­-Nya mendekatinya, dan menamakannya batasan-batasan-Nya. Allah Ta’ala ber­firman,
“Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya, demi­kianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.“(Al Baqarah: 187).

Pada ayat di atas terdapat penjelasan bahwa Allah telah menetapkan bagi manusia apa yang Dia halalkan dan haramkan untuk mereka, oleh karena itu, mereka tidak boleh mendekati hal-hal haram dan tidak boleh melanggahal-hal halal. Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman di ayat lain,
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya; barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim.“(Al Baqarah: 229).

Allah menjadikan orang yang menggembala di sekitahima dan dekat de­ngannya punya kans besauntuk masuk ke dalam hima tersebut dan menggembala di dalamnya. Begitu juga orang yang berlebih-lebihan dalam halal dan terjerumus ke dalam hal-hal syubhat, ia sangat dekat dengan haram, berinteraksi dengan haram murni, dan terjerumus ke dalamnya. Di sini, terdapat sinyal bahwa orang Muslim seyogyanya menjauhkan diri dari hal-hal haram dan membuat jarak dengannya.

At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dan Abdullah bin Yazid dari Nabi saw yang bersabda, Seoranghamba tidak bisa menjadi salah seorang dari orang-orang bertakwa hingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak ada madzarat di dalamnya karena khawatir sesuatu tersebut termasuk sesuatu yang bermadzarat

Abu Ad-Darda’ berkata, “Puncak ketakwaan ialah seorang hamba bertakwa kepada Allah hingga ia bertakwa kepada-Nya dan yang sebesar biji sawi dan me­ninggalkan sesuatu yang ia lihat halal karena khawatir sesuatu tersebut haram dan membuat jarak dengan haram.”
Al Hasan berkata, “Takwa tetap ada pada orang-orang bertakwa hingga mereka meninggalkan kebanyakan dari halal karena takut kepada haram.”

Ats-Tsauri berkata, “Dinamakan orang-orang bertakwa karena mereka takut kepada sesuatu yang tidak ditakuti.”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra yang berkata, “Sungguh aku ingin membuat pembatas antara aku dengan haram dan halal yang tidak aku robek.”

Maimun bin Mihran berkata,“Halal tidak tunduk kepada seseorang hingga ia membuat pembatas dari halal antara dirinya dengan haram.” Sufyan bin Uyainah berkata, “Seorang hamba tidak merasakan hakikat iman hingga ia membuat pembatas dari halal antara dirinya dengan haram dan hingga ia meninggalkan dosa dan sesuatu yang mirip dengannya.”

Berdasarkan hadits tersebut, sejumlah ulama berpendapat perlu kiranya penutupan semua jalan kepada hal-hal haram dan pengharaman seluruh sarana kepadanya. Hadits tersebut juga menunjukkan tentang kaidah-kaidah syariat, misalnya pengharaman sedikit dari sesuatu yang jika banyak memabukkan, pengharaman berduaan dengan wanita asing (wanita bukan mahram), pengharaman shalat setelah Shubuh dan setelah Ashar untuk menutup jalan terjadinya shalat saat terbit dan terbenamnya matahari, larangan mencium isteri bagi orang yang berpuasa jika hal tersebut membangkitkan syahwatnya, dan larangan bercumbu dengan istri yang haid di antara pusat dan lututnya kecuali dengan penutup (maksudnya, isteri memakai kain) seperti diriwayatkan di hadits bahwa Rasulullah saw menyuruh isteri beliau yang haid untuk menggunakan kain kemudian beliau mencumbuinya dari atas kain tersebut.

Perumpamaan hadits di atas - perumpamaan ini mirip dengan perumpamaan yang telah dibuat Nabi saw - ialah barangsiapa melepas ternaknya merumput di dekat tanaman milik orang lain, maka ia bentang­gung jawab terhadap tanaman yang dirusak ternaknya, kendati hal tersebut terjadi di siang hari. Itulah pendapat yang benar, karena orang tersebut lalai melepaskan ternaknya dalam keadaan seperti itu.

Ada perbedaan pendapat dalam kasus jika seseorang mengirim anjing ber­buru di tempat dekat dengan tanah haram kemudian anjing berburu tersebut me­masuki tanah haram dan berburu di dalamnya. Tentang keharusan pemilik anjing berburu tersebut menanggung kerugian yang diakibatkan anjingnya ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Ada yang mengatakan, pemilik anjing berburu tersebut harus menanggung kerusakan yang diakibatkan anjing berburunya dalam kondisi apa pun. Sabda Rasulullah saw, “Ketahuilah bahwa di tubuh terdapat segumpal darah. Jika segumpal darah tersebut baik maka seluruh tubuh menjadi baik dan jika segumpal darah tersebut jelek maka selurub tubuh menjadi jèlek Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati’ “adalah isyarat bahwa kebaikan aktivitas seorang hamba dengan organ tubuhnya, sikapnya menjauhi hal-hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat itu sangat ditentukan oleh kebaikan aktivitas hatinya.

Jika hati sehat dalam arti hanya berisi cinta kepada Allah, mencintai apa saja yang dicintai Allah, takut kepada Allah, dan takut terjerumus ke dalam apa saja yang dibenci-Nya, maka seluruh aktivitas tubuh menjadi baik, muncullah sikap menjauhi seluruh hal-hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam hal-hal haram.

Sebaliknya, jika hati rusak, sikap mengikuti hawa nafsu dominan di dalamnya, dan mencari apa saja yang dicintai hawa nafsu kendati dibenci Allah, maka ru­saklah semua aktivitas organ tubuh dan meluncur kepada kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal syubhat sesuai dengan kadar sejauh mana hawa nafsu mengikuti hati. Oleh karena itu, dikatakan bahwa hati adalah raja sedang organ tubuh lainnya adalah tentaranya. Organ tubuh tersebut taat kepada hati, termotivasi patuh kepa­danya, mengerjakan seluruh instruksinya, dan tidak menentangnya dalam perkara apa pun. Jika raja baik, maka tentara-tentaranya juga baik. Sebaliknya, jika raja tersebut rusak, rusak pula tentara-tentaranya. Tidak ada yang berguna di sisi Allah kecuali hati yang sehat seperti difirmankan Allah Ta’ala, “(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang­-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.“ (Asy-Syu’ara’: 88-89).

Nabi saw berkata dalam doa beliau, “Aku meminta hati yang sehat kepada-Mu.“
Hati yang sehat ialah hati yang sehat (bersih) dari seluruh penyakit dan hal-hal yang dibenci. Hati yang sehat juga hati yang di dalamnya tidak ada sesuatu apa pun selain cinta kepada Allah dan apa saja yang dicintai-Nya, takut kepada Allah dan, takut akan apa saja yang menjuhkannya dari-Nya.

Disebutkan di Musnad Imam Ahmad hadits dari Anas bin Malik ra dari Nabi saw yang bersabda, “Iman seorang hamba tidak lurus hingga hatinya lurus.
Yang dimaksud dengan iman yang lurus ialah amal perbuatan organ tubuh yang lurus, karena amal perbuatan organ tubuh tidak lurus kecuali dengan kelurusan hati. Yang dimaksud dengan hati yang lurus ialah hati yang penuh berisi cinta kepada Allah, senang taat kepada-Nya, dan tidak suka bermaksiat kepada-Nya. Al Hasan berkata kepada seseorang, “Obatilah hatimu, karena keperluan Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah kebaikan hati mereka.” Maksudnya, keinginan dan tuntutan Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah hati mereka shalih, karena hati tidak akan baik hingga di dalamnya bersemayam sifat kenal Allah, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya. Itulah esensi tauhid dan makna kalimat Laa Ilaaha Illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). Jadi, hati tidak baik hingga Allah menjadi Tuhan yang ia sembah, kenal, cintai, dan takuti. Dialah Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Jika di langit terdapat Tuhan yang berhak disembah Selain Allah, langit dan bumi pasti rusak karenanya seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“Sekiranya di langit dan bumi ada Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah ke­duanya telah rusak binasa.“ (Al Anbiya’: 22).

Dari sini bisa diketahui bahwa tidak ada kebaikan bagi alam tinggi dan rendah hingga seluruh akivitas penghuninya karena A1lah semata. Seluruh tubuh itu mengikuti aktivitas dan keinginan hati. Jika pengerakan dan kehendak hati karena Allah semata, maka hati dan seluruh pergerakan tubuh menjadi baik. Jika pergerakan dan keinginan hati karena selain Allah, hati menjadi rusak. Kerusakan aktivitas tubuh sangat tergantung kepada sejauh mana kerusakan hati.

Tentang firman Allah Ta’ala, janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,“ Al Laits meriwayatkan dari Mujahid yang berkata, “Maksudnya, janganlah kalian mencintai selain Aku.”

Di Shahih Al Hakim disebutkan hadits dari Aisyah ra dari Nabi saw yang bersabda,  “Syirik itu lebih tersembunyi daripada semut kecil di atas batu pada malam yang gelap. Syirik terendah ialah engkau mencintai sesuatu dari kedzaliman dan membenci sesuatu dari keadilan. Agama tidak lain adalah cinta dan benci, Allah Ta’ala berfirman, ‘Katakan, Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian” (Ali Imran: 31).”

Ini menunjukkan bahwa mencintai sesuatu yang dibenci Allah dan membenci sesuatu yang dicintai Allah adalah sikap mengikuti hawa nafsu. Bersahabat dan memusuhi karena hawa nafsu termasuk syirik tensembunyi. Hal ini ditunjukkan firman Allah Ta’ala, “Katakan, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian “(Ali Imnan: 31).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa bukti kejujuran dalam mencintai-Nya ialah mengikuti Rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwa cinta tidak sempurna tanpa ketaatan dan menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintai. Al Hasan berkata bahwa sahabat- sahabat Rasulullah sawberkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami amat mencintai Allah.” Maka Allah pun ingin menjadikan bukti cinta kepada-Nya kemudian Dia menurunkan ayat berikut
“Katakan, jika kalian mencintai Allah, ikuillah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian “ (Ali Imran: 31).

Dari sinilah, Al Hasan berkata, “Ketahuilah bahwa engkau tidak mencintai Allah hingga engkau cinta untuk taat kepada-Nya.”

Dzun Nun pernah ditanya, “Kapan saya mencintai Tuhanku?”Dzun Nun menjawab, “Jika sesuatu yang membuatmu benci itu lebih pahit daripada kesabaran.”

Bisyr bin As-Sari berkata, “Bukan tanda cinta kalau engkau mencintai sesuatu yang dibenci kekasihmu.”

Abu Ya’qub An-Nahr Junberkata, “Siapa saja yang mengklaim cinta Allah, namun tidak sinkron dengan Allah dalam perintah-Nya, mencintainya palsu.” 

Ruwaim berkata, “Cinta ialah menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintai dalam semua kondisi.” Yahya bin Muadz berkata, “Tidak benar orang yang mengklaim cinta Allah, namun ia tidak menjaga hukum-hukum-Nya.” Salah seorang dari generasi salaf berkata, “Saya pernah membaca salah satu buku terdahulu. Di dalamnya disebutkan, ‘Barangsiapa cinta Allah, ia tidak mem­punyai sesuatu yang lebih ia utamakan daripada keridhaan-Nya. Barangsiapa cinta dunia, tidak ada sesuatu yang lebih ia pentingkan daripada hawa nafsunya.”

Di dalam Sunan-sunan disebutkan hadits dari Nabi saw yang bersabda,
“Barang siapa membenci karena Allah, tidak membenci karena-Nya, mencintai karena-Nya, dan membenci karena-Nya, sungguh Ia telah menyempurnakan iman. “

Ini artinya jika seluruh aktivitas hati dan organ tubuh itu karena Allah Ta’ala, maka iman seorang hamba menjadi sempurna baik lahir maupun batin. Kebaikan aktivitas hati menghasilkan kebaikan aktivitas organ tubuh. Jika hati baik dan di dalamnya hanya ada keinginan Allah dan keinginan kepada sesuatu yang di­inginkan-Nya, maka organ tubuh terdorong kepada sesuatu yang diinginkan Allah, oleh karena itu, organ tubuh bersegera kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya, menahan diri dari sesuatu yang dibenci-Nya, dan takut dari sesuatu yang dikhawatirkan termasuk sesuatu yang dibenci-Nya kendati ia belum meyakini sesuatu tersebut termasuk sesuatu yang dibenci-Nya.

Al Hasan berkata, “Aku tidak melihat dengan mataku, berbicara dengan lidahku, bergerak dengan tanganku, dan berjalan di atas kakiku hingga aku berpikir apakah itu dalam ketaatan ataukah kemaksiatan? Jika dalam ketaatan, aku terus melangkah. Jika dalam kemaksiatan, aku mundur.”

Muhammad bin Al Fadhi Al Balkhi berkata, “Selama empat puluh tahun, aku tidak pernah melangkah satu langkah pun untuk selain Allah Azza wa Jalla.” Dikatakan kepada Daud Ath-Thai, “Bagaimana kalau engkau pindah dari tempat berteduh ke bawah sinar terik matahari?” 

Daud Ath-Thai berkata, “Aku tidak tahu bagaimana langkah seperti itu ditulis.”

Karena hati generasi salaf baik dan di dalamnya tidak ada keinginan kepada selain Allah Azza wa Jalla, maka organ tubuh mereka menjadi baik dan tidak tergerak kecuali karena Allah Azza wa Jalla dan kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya, wallahu a ‘lam.

No comments:

Post a Comment