Sunday, November 30, 2025

Hadits Arbain 23: Bersih Sebagian dari Iman

 

 

الْحَدِيثُ الثَّالِثُ وَالْعِشْرُونَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

 

Dari Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

الطهور شطر الايمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله تملأن أو تملأ ما بين السموات والارض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والصبر ضياء, والقرأن حجة لك أو عليك, كل الناس يغدو : فبائع نفسه فمُعْتِقُها أو مُوبِقُها.

"Bersuci adalah separoh iman, alhamdullllah (segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, subhanallah (Mahasuci Allah) dan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) memenuhi antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, sedekah adalah petunjuk, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an adalah huljah bagimu atau atasmu. Setiap manusia berbuat; ada orang yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya”. (Diriwayatkan Muslim). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan Muslim dari riwayat Yahya bin Abu Katsir bahwa Zaid bin Sallam menceritakan kepadanya bahwa Abu Sallam menceritakan kepadanya dari Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bersuci adalah separoh iman, alhamdulillah (segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan), dan seterusnya”. Di sebagian besar naskah Shahih Muslim tertulis, "Dan sabar adalah sinar", dan di salah satu naskah tertulis, "Dan puasa adalah sinar”.

Ada perbedaan pendapat tentang mendengar tidaknya Yahya bin Abu Katsir dari Zaid bin Sallam. Yahya bin Mu’in tidak mengakui Yahya bin Abu Katsir mendengar hadits tersebut dari Zaid bin Sallam sedang Imam Ahmad berkata bahwa Yahya bin Abu Katsir mendengar hadits tersebut dari Zaid bin Sallam. Riwayat di atas secara tegas menyatakan bahwa Yahya bin Abu Katsir mendengar hadits tersebut dari Zaid bin Sallam.

Hadits bab di atas diriwayatkan An-Nasai dan Ibnu Majah dari riwayat Muawiyah bin Sallam dari saudaranya, Zaid bin Sallam, dari kakeknya, Abu Sallam, dari Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Malik Al-Asy’ari. Ia menambahkan perawi Abdurrahman bin Ghanm di sanadnya dan hal ini didukung sebagian hafidz hadits. An-Nasai berkata, "Muawiyah bin Sallam lebih mengetahui hadits saudaranya, Zaid bin Sallam, daripada Yahya bin Abu Katsir”. An-Nasai menguatkan pendapatnya dengan bukti bahwa ia meriwayatkan hadits tersebut dari Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Malik Al-Asy’ari dari jalur lain. Jika demikian, riwayat Muslim di atas terputus sanadnya.

Di hadits Muawiyah bin Sallam terdapat sesuatu yang bertentangan dengan hadits Yahya bin Abu Katsir. Teks hadits Abdurrahman Sallam menurut Ibnu Majah ialah,

"Menyempurnakan wudhu adalah separoh iman, alhamdulillah (segala puji bagi Allah), memberatkan timbangan tasbih dan takbir memenuhi langit dan bumi, shalat adalah cahaya, zakat adalah petunjuk, sabar adalah sinar, dan Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu. Setiap manusia berbuat; ada orang yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya”.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Yahya bin Abu Katsir seperti yang diriwayatkan Muslim. Teks haditsnya ialah, "Wudhu adalah separoh iman”. Kelanjutan teksnya sama dengan teks hadits Muslim.

Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits salah seorang dari Bani Sulaim yang berkata, "Rasulullah ShaIlallahu Alaihi wa Sallam menghitung semua itu (wudhu dll) di tanganku atau tangan beliau, “Tasbih adalah separoh timbangan, alhamdulillah (segala puji bagi Allah) itu memenuhi timbangan, takbir itu memenuhi antara langit dan bumi, puasa adalah separoh sabar, dan bersuci adalah separoh iman”. [2])

Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Bersuci adalah separoh iman", ada yang menafsirkan bahwa bersuci di hadits tersebut ialah meninggalkan dosa-dosa, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Sesungguhnya mereka orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri (Al-A’raaf: 82).

Atau firman Allah Ta’ala,

"Dan pakaianmu bersihkanlah”. (Al-Mudatstsir : 4).

Atau seperti firman Allah Ta’ala,

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri". (Al-Baqarah: 222).

Ulama tersebut berkata bahwa iman ada dua; mengerjakan dan meninggalkan. Separoh iman adalah mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan separohnya lagi meninggalkan hal-hal yang dilarang yang tidak lain adalah menyucikan jiwa dengan meninggalkan maksiat. Pendapat seperti itu mungkin-mungkin saja seandainya hadits, "Wudhu adalah separoh iman", tidak menentangnya. Begitu juga hadits, "Menyempurnakan wudhu”.

Pendapat tersebut perlu dikaji ulang dari aspek makna, karena sebagian besar perbuatan; misalnya shalat, itu menyucikan jiwa dari dosa-dosa silam, maka bagaimana perbuatan-perbuatan tersebut tidak masuk dalam nama bersuci? Jika perbuatan-perbuatan atau sebagiannya telah masuk dalam cakupan kata bersuci, maka tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan dosa-dosa itu separoh iman.

Pendapat yang benar ialah pendapat jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan bersuci di hadits di atas ialah bersuci dari hadats dengan air. Muslim memulai meriwayatkan bersuci tersebut di bab-bab wudhu. Begitu juga An-Nasai, Ibnu Majah, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci dengan air adalah separoh iman.

Ada ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata syathr (separoh) di atas ialah bagiah dan bukan separoh itu sendiri. Jadi, bersuci itu bagian dari iman. Pendapat ini mengandung kelemahan, karena kata syathr banyak digunakan dalam bahasa dengan pengertian separoh dan karena di hadits riwayat salah seorang Bani Sulaim disebutkan, "Bersuci adalah separoh iman",  seperti telah disebutkan sebelumnya.

Ada ulama yang berkata bahwa maknanya ialah pahala wudhu diperbanyak hingga separoh pahala iman, namun tidak dilipat-gandakan. Pendapat seperti ini juga perlu ditinjau ulang dan jauh dari kebenaran.

Ada ulama yang berkata bahwa iman menghapus seluruh dosa besar, sedang wudhu menghapus dosa-dosa kecil. Jadi, bersuci adalah separoh iman dalam konteks ini. Namun pendapat ini ditentang hadits,

"Barangsiapa berbuat salah dalam Islam, ia dihukum dengan apa yang ia kerjakan pada masa jahiliyah”.

Hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya.

Ada ulama yang berkata bahwa wudhu plus iman menghapus dosa-dosa, jadi, wudhu adalah separoh iman. Pendapat ini juga lemah.

Ada ulama yang berkata bahwa yang dimaksud dengan iman pada hadits di atas ialah shalat, seperti terlihat dalam firman Allah Ta’ala, "Dan Allah tidak menyia-nyiakan iman kalian”. (Al-Baqarah: 143). Yang dimaksud dengan iman di ayat tersebut, ialah shalat kalian menghadap Baitul Makdis. [3]) Jika yang dimaksud dengan bersuci adalah iman maka shalat tidak diterima tanpa dengan bersuci, jadi, bersuci menjadi separoh iman dalam konteks ini. Penafsiran ini dinukil Muhammad bin Nashr Al-Marwazi di Ta’dzimu Qadrish Shalat dari Ishaq bin Rahawih dari Yahya bin Adam yang berkata, "Sesungguhnya ilmu ialah aku tahu dan tidak aku tahu; salah satu dari keduanya adalah separoh bagi lainnya”.

Saya katakan, setiap sesuatu itu mencakup dua hal; salah satu dari keduanya adalah separoh bagi lainnya; baik jumlah dua hal tersebut sama atau lebih banyak daripada satunya. Ini ditunjukkan oleh hadits, "Aku bagi shalat menjadi dua paroh antara Aku dengan hamba-Ku”. Maksudnya, bacaan dalam shalat, oleh karena itu, ada yang menafsirkannya dengan surat Al-Fatihah. Maksud hadits tersebut bahwa shalat dibagi untuk ibadah dan permintaan. Ibadah adalah hak Allah, sedang permintaan adalah hak hamba. Jadi, maksudnya bukan pembagian kalimat-kalimat dalam shalat secara sama. Ini disebutkan Al-Khathabi. Ia berhujjah dengan perkataan orang-orang Arab, "Separoh tahun adalah bepergian dan separoh lainnya bermukim”. Al-Khathabi berkata, "Waktu di separoh bepergian dan bermukim itu tidak sama, namun waktu dalam setahun terbagi untuk bepergian dan bermukim kendati waktu keduanya tidak sama”. Al-Khathabi juga berhujjah dengan perkataan Syuraih yang pernah ditanya, "Bagaimana kabarmu pagi ini?" Syuraih menjawab, "Pada pagi ini, separoh manusia membenciku”. Yang ia maksud bahwa manusia terbagi ke dalam dua kelompok; menang dan kalah (dalam proses pengadilan). Pihak yang menang ridha kepadanya sedang pihak yang kalah benci kepadanya. Jadi, keduanya dua kelompok namun berbeda. Salah seorang penyair berkata,

“Jika aku mati, manusia terbagi ke dalam dua kelompok;

Mencaci-maki karena kematianku dan menyanjung apa yang telah aku kerjakan”.

Maksudnya, manusia terbagi ke dalam dua kelompok.

Saya katakan, yang semakna dengan ini adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ilmu faraidh, "Sesungguhnya ilmu faraidh adalah separoh ilmu”. (Diriwayatkan Ibnu Majah). [4] Hukum-hukum orang mukallaf terbagi ke dalam dua bagian; satu terkait dengan kehidupan dan satunya terkait dengan sesudah kematian. Itulah faraidh. Ibnu Mas’ud berkata, "Faraidh adalah sepertiga ilmu”. Perkataan Ibnu Mas’ud tersebut dibenarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amr dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Ilmu ada tiga dan selebihnya adalah sisa; ayat muhkamat, sunnah yang tegak, dan kewajiban yang adil”. [5])

Diriwayatkan dari Mujahid yang berkata, "Berkumur dan menghirup air ke hidung hingga batang hidung (ketika berwudhu) adalah separoh wudhu”. [6]) Barangkali yang dimaksud Mujahid bahwa wudhu terbagi ke dalam dua bagian; salah satunya disebutkan di Al-Qur’an dan satunya diambil dari sunnah, yaitu berkumur dan menghirup air hingga batang hidung. Atau yang ia maksudkan bahwa berkumur dan menghisap air hingga batang hidung itu menyucikan tubuh bagian dalam dan membersihkan seluruh organ tubuh menyucikan tubuh bagian luar. Jadi, menghirup air hingga batang hidung adalah separoh wudhu dalam aspek ini. Hal yang sama ialah ucapan Ibnu Mas’ud, "Sabar adalah separoh iman dan keyakinan adalah iman seluruhnya”. [7])

Disebutkan di riwayat Yazid Ar-Raqasyi dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Iman itu dua paroh; separoh di sabar dan separoh di syukur". [8])

Karena iman mencakup sikap mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan kemudian itu semua tidak bisa dicapai kecuali dengan sabar, maka sabar menjadi separoh iman. Hal yang sama dikatakan tentang wudhu bahwa ia separoh shalat.

Selain itu, shalat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengan syarat wudhu dilakukan dengan sempurna dan baik, oleh karena itulah, wudhu menjadi separoh shalat dalam konteks ini, seperti disebutkan di Shahih Muslim [9]) dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidaklah orang Muslim bersuci kemudian menyempurnakan bersuci yang diwajibkan kepadanya kemudian mengerjakan shalat lima waktu ini, melainkan shalat-shalat tersebut menjadi penghapus (kesalahan) di antara shalat-shalat tersebut”. Di riwayat Muslim juga disebutkan, "Barangsiapa menyempurnakan wudhu seperti diperintahkan Allah kepadanya, maka shalat shalat wajib adalah penghapus (kesalahan) di antara shalat-shalat tersebut”.

Shalat juga merupakan kunci surga dan wudhu adalah kunci shalat, seperti diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dari Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [10]) Shalat dan wudhu mewajibkan terbukanya pintu-pintu surga, seperti disebutkan di Shahih Muslim [11]) dari Uqbah bin Amir yang mendengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Tidaklah seorang Muslim berwudhu dan memperbaiki wudhunya kemudian mengerjakan shalat dua raka’at dengan mengarahkan hati dan wajahnya di kedua raka’at tersebut, melainkan surga menjadi wajib baginya”.

Dari Uqbah dari Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu kemudian mencapai atau menyempurnakan wudhu dan berkata, Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”, melainkan kedelapan pintu surga dibuka baginya; ia masuk dari pintu mana saja yang ia inginkan”.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa berkata, Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, bahwa Isa adalah hamha Allah, anak hamba wanita-Nya, dan kalimat-Nya yang Dia masukkan kepada Maryam, bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar”, melainkan Allah memasukkannya dari pintu mana saja dari kedelapan pintu surga yang ia inginkan”. [12])

Jika wudhu plus dua kalimat syahadat mewajibkan terbukanya pintu-pintu surga, maka wudhu menjadi separoh iman kepada Allah dan Rasul-Nya dalam konteks ini.

Selain itu, wudhu termasuk sifat iman yang tersembunyi yang tidak dijaga kecuali oleh orang Mukmin, seperti terlihat di hadits Tsauban dan lain-lain dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidak menjaga wudhu kecuali orang Mukmin”. [13])

Disebutkan di hadits bahwa mandi dari jinabat itu menunaikan amanah, seperti diriwayatkan Al-Uqaili dari Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Lima hal dan barangsiapa mengerjakannya dengan beriman, ia masuk surga; barangsiapa menjaga shalat-shalat lima waktu di atas wudhu, ruku’, sujud, dan waktu-waktunya, membayar zakat dari hartanya dengan hati yang ridha. Abu Ad-Darda’ berkata, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Demi Allah, tidak ada yang mengerjakan hal-hal tersebut melainkan orang Mukmin", berpuasa pada bulan Ramadhan, haji ke Baitullah bagi orang yang mendapatkan jalan ke sana, dan menunaikan amanah”. Orang-orang berkata, "Wahai Abu Ad-Darda’, apa yang dimaksud dengan menunaikan amanah?" Abu Ad-Darda’ bersabda, "Mandi dari jinabat, karena Allah tidak mengamanahi kepada anak keturunan Adam sesuatu dari agama-Nya selain hal tersebut (mandi dari jinabat)”. [14]

Ibnu Majah [15]) meriwayatkan hadits dari Abu Ayyub Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Shalat lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at  berikutnya, dan menunaikan amanah adalah penghapus (kesalahan) di antara kedua hal-hal tersebut”. Ditanyakan, "Apa yang dimaksud dengan menunaikan amanah?" Nabi Shallallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Mandi dari jinabat, karena di setiap sehelai rambut terdapat jinabat”.

Hadits Abu Ad-Darda’ sebelumnya menjadikan wudhu sebagai bagian-bagian shalat.

Di hadits lain yang diriwayatkan Al-Bazzar [16]) dari riwayat Syababah bin Siwar yang berkata, Al-Mughirah bin Muslim berkata kepadaku dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Shalat adalah tiga dari sepertiga sepertiga; bersuci adalah sepertiga, ruku’ adalah sepertiga, dan sujud adalah sepertiga; barangsiapa menunaikan shalat dengan semestinya, shalatnya diterima dan semua amalnya juga diterima. Barangsiapa shalatnya ditolak, semua amalnya juga ditolak".

Al-Bazzar berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan sendirian oleh Al-Mughirah bin Muslim. Yang benar, hadits tersebut dari Abu Shalih dari Ka’ab yang berkata seperti itu”.

Menurut klasifikasi di hadits tersebut, wudhu adalah sepertiga shalat. Kecuali jika ruku’ dan sujud dijadikan sesuatu yang satu karena bentuk keduanya hampir sama, maka wudhu juga merupakan separoh shalat.

Bisa juga dikatakan bahwa seluruh perbuatan dan perkataan yang merupakan sifat-sifat iman itu membersihkan hati dan menyucikannya. Sedang bersuci dengan air, maka hanya khusus membersihkan badan dan menyucikannya. Jika demikian, sifat-sifat iman terbagi ke dalam dua bagian;

Pertama, membersihkan sesuatu yang terlihat.

Kedua, membersihkan sesuatu yang tidak terlihat.

Kedua bagian tersebut merupakan dua paroh dalam konteks ini. Allah yang lebih tahu tentang maksudnya dan maksud Rasul-Nya di hadits di atas.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) memenuhi timbangan, subhanallah (Mahasuci Allah) dan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) keduanya memenuhi atau memenuhi antara langit dan bumi”. Itu adalah keragu-raguan dari perawi. Di riwayat An-Nasai dan Ibnu Majah disebutkan, "Tasbih dan takbir memenuhi langit dan bumi". Di hadits salah seorang dari Bani Sulaim disebutkan, "Tasbih adalah separoh timbangan, alhamdulillah memenuhi timbangan, dan takbir memenuhi antara langit dan bumi”.

At-Tirmidzi [17]) meriwayatkan hadits dari Al-Ifriqi dari Abdullah bin Yazid dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tasbih adalah separoh timbangan, alhamdulillah memenuhinya, dan laa ilaaha illallah tidak mempunyai pembatas dengan Allah hingga tiba kepada-Nya”.

At-Tirmidzi berkata, "Sanad hadits tersebut tidak kuat”. Saya katakan, sanad hadits tersebut dipersoalkan Al-Ifriqi. Hadits tersebut diriwayatkan dari Al-Ifriqi dari Abu Alqamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan di dalamnya terdapat penambahan, "Dan Allahu Akbar memenuhi antara langit dan bumi".

Ja’far Al-Faryabi meriwayatkan di Adz-Dzikr dan perawi lainnya hadits dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Alhamdulillah itu memenuhi timbangan, subhanallah adalah separoh timbangan, laa ilaaha illallah dan Allahu Akbar memenuhi langit dan bumi serta apa yang di antara keduanya”.

Ja’far Al-Faryabi juga meriwayatkan hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Ada dua kalimat di mana salah satu dari keduanya jika diucapkan seseorang, maka ia tidak mempunyai penghalang ke Arasy dan kalimat satunya memenuhi antara langit dan bumi; laa ilaaha illallah dan Allahu Akbar". [18])

Hadits-hadits di atas menjelaskan keutamaan keempat kalimat tersebut yang merupakan perkataan terbaik, yaitu subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illallah,

dan Allahu Akbar.

Sedang alhamdulillah, semua hadits sepakat bahwa kalimat tersebut memenuhi timbangan. Ada yang mengatakan bahwa kalimat tersebut dibuat sebagai perumpamaan dan maknanya bahwa jika alhamdulillah adalah pisik, ia pasti memenuhi timbangan. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla menjelmakan seluruh perbuatan dan perkataan manusia menjadi pisik yang bisa dilihat dan ditimbang pada Hari Kiamat, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Pada Hari Kiamat, Al-Qur’an datang didahului surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Kedua surat tersebut seperti dua awan atau dua sinar atau sekawanan burung-burung yang mengembangkan sayap-sayapnya di udara". [19])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

كلمتان حبيبتان إلى الرحمن, ثقيلتان فى الميزان, خفيفتان على اللسان: سبحان الله وبحمده, سبحان الله العظيم.

"Dua kalimat yang dicintai Ar-Rahman, berat di timbangan, dan ringan di mulut; subhanallah wa bihamdihi dan subhanallahil adzim”. [20])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

“Sesuatu yang paling berat diletakkan di timbangan ialah akhlak yang baik". [21])

Begitu juga orang Mukmin di kuburnya, ia didatangi amal shalihnya dalam wujud yang paling bagus sedang orang kafir didatangi amalnya dalam bentuk yang paling buruk”. [22]) Diriwayatkan bahwa shalat, zakat, puasa, dan perbuatan-perbuatan yang baik itu berada di sekitar mayit di kuburnya guna melindunginya. Juga diriwayatkan bahwa Al-Qur’an naik kemudian meminta syafa’at untuknya. [23])

Sedang subhanallah, maka di riwayat Muslim disebutkan, "Subhanallah dan alhamdulillah memenuhi atau keduanya memenuhi antara langit dengan bumi”.

Perawinya ragu-ragu tentang apa yang memenuhi antara langit dan bumi; apakah kedua kalimat tersebut ataukah salah satu dari keduanya? Di riwayat An-Nasai dan Ibnu Majah disebutkan, "Tasbih dan takbir memenuhi langit dan bumi”. Riwayat tersebut mirip dengan riwayat Muslim, namun apakah yang dimaksud bahwa kedua kalimat tersebut memenuhi antara langit dan bumi ataukah salah satu dari kedua kalimat tersebut? Ini bisa saja terjadi. Di hadits Abu Hurairah dan orang lain disebutkan bahwa takbir itu memenuhi antara langit dan bumi.

Tapi yang jelas, tasbih saja tanpa takbir itu mempunyai kelebihan, seperti ditegaskan di hadits Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr, dan seseorang dari Bani Sulaim bahwa tasbih adalah separoh timbangan dan alhamdulillah memenuhi timbangan. Sebabnya, karena tahmid dengan kata alhamdulillah itu menegaskan seluruh pujian milik Allah, termasuk penegasan seluruh sifat kesempurnaan bagi-Nya. Sedang tasbih adalah pembersihan Allah dari seluruh kekurangan, aib, dan cacat. Penegasan itu lebih sempurna daripada pencabutan. Oleh karena itu, tasbih tidak datang sendirian, namun digandeng dengan sesuatu yang menunjukkan penegasan kesempurnaan. Terkadang tasbih disandingkan dengan alhamdu (pujian), misalnya perkataan, "Subhanallah wa bihamdihi”. Atau perkataan, "Subhanallah walhamdulillalt”. Terkadang tasbih digabung dengan salah satu nama Allah yang menunjukkan keagungan dan kebesaran, misalnya, “Subhanallahil Adzim”. Jika hadits Abu Malik menunjukkan bahwa yang memenuhi antara langit dengan bumi ialah kumpulan tasbih dengan takbir, maka masalahnya sudah jelas. Namun, jika yang dimaksudkan bahwa masing-masing dari tasbih dan takbir itu memenuhi antara langit dan bumi, maka timbangan lebih luas daripada yang ada di antara langit dan bumi. Jadi, apa yang memenuhi timbangan itu lebih besar daripada apa yang memenuhi antara langit dengan bumi. Ini ditunjukkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Salman Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Pada Hari Kiamat, timbangan diletakkan dan jika langit dan bumi ditimbang di dalamnya, maka timbangan tersebut masih luas. Para malaikat berkata,”Ya Tuhan, untuk siapa Engkau menimbang ini?” Allah Ta’ala berfirman, “Untuk siapa saja di antara makhluk-Ku yang Aku kehendaki.” Para malaikat berkata, “Mahasuci Engkau, kami tidak beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang benar kepada-Mu”. Hadits tersebut diriwayatkan Al-Hakim [24]) dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Al-Hakim menshahihkannya, namun yang terkenal di kalangan ulama hadits tersebut adalah mauquf.

Sedang takbir, maka disebutkan di hadits Abu Hurairah dan seseorang dari Bani Sulaim bahwa takbir memenuhi antara langit dengan bumi. Sedang di hadits Ali bin Abu Thalib disebutkan bahwa takbir bersama tahlil memenuhi langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.

Sedang tahlil saja, maka sampai kepada Allah tanpa rintangan. At-Tirmidizi meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Seorang hamba tidak mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas melalnkan pintu-pintu surga dibuka untuknya hingga kalimat tersebut tiba di Arasy selagi dosa-dosa besar dijauhi”. [25])

Abu Umamah berkata, "Jika seorang hamba membaca sekali tahlil saja, maka tidak ada sesuatu apa pun yang merintanginya ke Arasy”. Disebutkan di hadits bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang menyamai tahlil di timbangan seperti dalam hadits terkenal tentang kartu yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasai. Di akhir hadits tersebut menurut Imam Ahmad disebutkan,

ولا يَثْقُلُ شيئٌ بسم الله الرحمن الرحيم.

"Dan tidak ada sesuatu apa pun yang berat dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah”. [26])

Di Al-Musnad [27]) disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Ketika Nuh Alaihis Salam hendak meninggal dunia, beliau bersabda kepada anaknya, “Laa ilaaha illallah, aku perintahkan kepadamu, karena seandainya ketujuh langit dan ketujuh bumi diletakkan di satu daun timbangan dan ucapan laa ilaaha illallah di satu daun timbangan, maka kalimat laa ilaaha illallah lebih berat daripada ketujuh langit dan ketujuh bumi tersebut".

Di Al-Musnad [28]) juga disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Musa Alaihis Salam bersabda, “Tuhanku, ajari aku sesuatu yang bisa aku gunakan dzikir dan berdoa kepada-Mu”. Allah berf rman, Hai Musa, katakan, “Laa ilaaha illallah”. Musa bersabda, Seluruh hamba-Mu berkata seperti itu. Aku menginginkan sesuatu yang khusus bagiku”. Allah berfirman, Hai Musa, seandainya ketujuh langit dan para penghuninya selain Aku serta ketujuh bumi berada di satu daun timbangan dan kalimat laa ilaaha illallah berada di satu telapak tangan, maka kalimat laa ilaaha illallah menjadi lebih berat daripada itu semua”.

Ada perbedaan pendapat tentang kalimat mana yang lebih utama; kalimat alhamdu atau kalimat tahlil? Perbedaan pendapat di masalah ini dikemukakan Ibnu Abdul Barr dan lain-lain. An-Nakhai berkata, "Para ulama berpendapat bahwa alhamdu adalah kalimat yang paling banyak dilipat-gandakan (pahalanya)”. Ats-Tsauri berkata, "Tidak ada perkataan yang lebih dilipat-gandakan (pahalanya) daripada alhamdulillah”.

Alhamdu (pujian) mengandung makna penegasan seluruh kesempurnaan untuk Allah, termasuk di dalamnya tauhid. Di Musnad Imam Ahmad [29]) disebutkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

إن الله اصطفى من الكلام أربعا : سبحان الله, والحمد لله, ولا إله إلا الله, والله أكبر, فمن قال سبحان الله, كتبتْ له عِشرون حسنة, أو حُطتْ عنه عِشرون سيئة, ومن قال ألله أكبر مثل ذلك ومن قال لا إله إلا الله مثل ذلك,ومن قال الحمد لله رب العالمين من قِبَل نفسه كُتِبَتْ له ثلاثون حسنة, أو حطت عنه ثلاثون سيئة.

“Sesungguhnya Allah memilih empat perkataan; Subhanallah, alhamdulillah, laa llaaha illallah, dan Allahu Akbar. Barangsiapa mengucapkan subhanallah, maka dua puluh kebaikan ditulis baginya atau dua puluh kesalahan dihapus darinya. Barangsiapa mengucapkan Allahu Akbar, ia mendapatkan hal yang sama (seperti pahala mengucapkan subhanallah). Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah, ia mendapatkan hal yang sama. Dan barangsiapa mengucapkan alhamdulillahi rabbil alamin dari dalam dirinya, tiga puluh kebaikan ditulis baginya atau tiga puluh kesalahan dihapus darinya”.

Perkataan yang sama diriwayatkan dari Ka’ab. Ada yang mengatakan bahwa yang benar bahwa hadits tersebut adalah hadits mauquf [30])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Shalat adalah cahaya, sedekah adalah burhan, sabar adalah sinar". Di sebagian naskah Muslim disebutkan, "Dan puasa adalah sinar". Ketiga perbuatan tersebut adalah sinar, namun sebagian dari ketiganya memiliki sinar tersendiri. Shalat adalah sinar secara mutlak. Diriwayatkan dengan dua sanad yang di dalamnya terdapat kelemahan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Shalat adalah sinar orang Mukmin”. [31])

Bagi kaum Mukminin di dunia, shalat adalah sinar di hati dan mata mereka, hati mereka bersinar dengannya, dan mata mereka menjadi cemerlang. Oleh karena itu, shalat adalah penyejuk mata orang-orang bertakwa, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Penyejuk mataku dijadikan di shalat”. (Diriwayatkan Imam Ahmad dan An-Nasai). [32]

Di salah satu riwayat disebutkan,

"Orang kelaparan bisa kenyang dan orang kehausan bisa puas tidak lagi kehausan. Sedang aku tidak kenyang dari cinta shalat”.

Di Al-Musnad [33]) disebutkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang berkata,

"Malaikat jibril berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Sesungguhnya Allah membuatmu cinta shalat, karenanya, ambillah darinya sesukamu”.

Abu Daud [34]) meriwayatkan hadits dari seseorang dari Khuza’ah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Hai Bilal, iqamatlah untuk shalat dan hiburlah kami dengannya”.

Malik bin Dinar, "Aku baca Taurat dan di dalamnya tertulis, “Hai anak keturunan Adam, janganlah engkau lemah dari berdiri di depan-Ku di shalatmu dalam keadaan menangis, karena Aku yang mendekat dengan hatimu dan dengan alam ghaib engkau melihat sinarku”. Maksudnya, sesuatu yang dibuka bagi orang yang shalat di shalat ialah ketipisan hati dan menangis. [35])

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Jika seorang hamba menjaga shalatnya kemudian ia mendirikan wudhu, ruku; sujud, dan bacaan di dalamnya, maka shalat berkata kepadanya, “Mudah-mudahan Allah menjagamu sebagaimana engkau menjagaku”, hamba tersebut dibawa naik ke langit dengan shalatnya, dan shalatnya mempunyai sinar hingga berhenti di tempat Allah Azza wa jalla kemudian memintakan syafa’at untuk pelakunya”. [36])

Shalat juga merupakan sinar untuk kaum Mukminin di kubur mereka, terutama shalat malam, seperti dikatakan Abu Ad-Darda’, "Shalatlah dua raka’at di kegelapan malam karena gelapnya kuburan”.

Pernah Rabi’ah malas melakukan shalat malam pada suatu waktu kemudian seseorang datang kepadanya dalam mimpinya dan melantunkan syair berikut,

"Shalatmu adalah sinar, sedang manusia nyenyak tidur

Tidurmu tanpa shalat adalah pembangkangan”.

Shalat adalah sinar bagi kaum Mukminin di kegelapan Hari Kiamat dan di atas shirath (titian). Sinar-sinar dibagikan kepada mereka sesuai dengan kadar perbuatan mereka. Di Al-Musnad dan Shahih Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menyebutkan tentang shalat kemudian bersabda,

"Barangsiapa menjaganya, shalat tersebut menjadi sinar, petunjuk, dan keselamatan baginya pada Hari Klamat Barangsiapa tidak menjaganya, ia tidak mempunyai sinar, keselamatan, dan petunjuk". [37])

Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa menjaga shalat lima waktu dalam jama’ah, ia berjalan di atas shirath (titian) seperti kilat yang bersinar di rombongan pertama orang-orang yang terdahulu dan ia datang pada Hari Kiamat dan wajahnya seperti bulan pada saat purnama”. [38])

Sedang sedekah, ia adalah burhan. Burhan adalah sinar matahari. Disebutkan di hadits Abu Musa Al-Asy’ari bahwa ruh orang Mukmin keluar dari jasadnya dalam keadaan mempunyai sinar seperti sinar matahari. Dari sinilah, hujjah yang kuat dinamakan burhan karena dalilnya sangat jelas. Sedekah begitu juga, ia merupakan burhan tentang kebenaran iman dan kerelaan hati dengannya merupakan indikasi keberadaan kemanisan iman dan cita rasanya, seperti disebutkan di hadits Abdullah bin Muawiyah Al-Ghadhiri dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tiga hal; barangsiapa mengerjakannya, ia merasakan rasa iman; barangsiapa beribadah kepada Allah saja, bahwa tidak ada illah/sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, menunaikan zakat hartanya sedang hatinya ridha dengannya dan membantunya (untuk membayarnya) pada setiap tahun”. (Diriwayatkan Abu Daud [39])

Sebelum ini, telah saya sebutkan hadits Abu Ad-Darda’ tentang orang yang menunaikan zakat hartanya dengan hati yang ridha. Ia berkata, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak ada yang mengerjakannya kecuali orang Mukmin”. Sebabnya, karena harta itu dicintai jiwa dan jiwa pelit dengannya. Jadi, jika jiwa merelakan harta dikeluarkan karena Allah Azza wa jalla, maka itu menunjukkan kebenaran imannya kepada Allah, janji dan ancaman-Nya. Oleh karena itu, ketika orang-orang Arab menolak membayar zakat sepeninggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakar Ash-Shiddiq memerangi mereka karena perbuatan mereka tersebut. Shalat juga merupakan burhan tentang kebenaran Islam seseorang.

Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ka’ab bin Ujrah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Shalat adalah burhan”. [40])

Sebelumnya telah saya jelaskan di syarah hadits, "Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat", bahwa shalat adalah garis demarkasi antara kekafiran dengan Islam. Shalat juga sesuatu yang pertama kali dihisab pada seseorang di Hari Kiamat. Jika shalatnya sempurna, ia beruntung dan sukses. Sebelumnya juga telah disebutkan hadits Abdullah bin Amr tentang orang yang menjaga shalat bahwa ia mempunyai sinar, burhan, dan keselamatan pada Hari Kiamat.

Adapun sabar, maka merupakan dhiya’ (cahaya). Dhiya’ (cahaya) ialah cahaya yang mengandung panas, membakar seperti cahaya matahari, dan berbeda dengan cahaya bulan yang murni cahaya dan menyinari namun tidak membakar. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya”. (Yunus: 5).

Dari sini, Allah menjelaskan bahwa sifat syariat Musa ialah dhiya’ (cahaya), seperti yang Dia firmankan,

"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun Al-Furqaan (Kitab Taurat), dan cahaya, serta pengajaran bagi orang-orang bertakwa”. (Al-Anbiya’: 48).

Kendati disebutkan bahwa di Kitab Taurat terdapat sinar seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla, "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya terdapat petunjuk dan sinar". (Al-Maidah: 44), namun sebagian besar syariat Bani Israil adalah dhiya’ (cahaya) karena di dalamnya terdapat belenggu dan beban berat.

Di sisi lain, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa syariat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah sinar, karena di dalamnya terdapat kelurusan dan toleransi. Allah Ta’ala berfirman,

"Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan”. (Al-Maidah: 15).

"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka; maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al-A’raaf: 157).

Karena sabar sangat berat bagi jiwa, membutuhkan perjuangan melawan hawa nafsu, dan menahannya dari seluruh keinginannya, maka sabar adalah dhiya’ (cahaya). Asal makna kata sabar menurut bahasa ialah penahanan.

Sabar yang terpuji banyak jenis dan ragamnya; di antaranya sabar terhadap ketaatan kepada Allah Azza wa jalla, sabar dari maksiat-maksiat kepada Allah Azza wa jalla, dan sabar terhadap takdir Allah Azza wa jalla. Sabar terhadap ketaatan dan sabar dari hal-hal yang diharamkan lebih baik daripada sabar terhadap takdir yang menyakitkan. Ini ditegaskan generasi salaf, di antaranya Sa’id bin Jubair, Maimun bin Mihran, dan lain-lain. Diriwayatkan dengan sanad dhaif dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya sabar terhadap musibah ditulis tiga ratus derajat bagi seorang hamba, sabar terhadap ketaatan ditulis enam ratus derajat bagi seorang hamba, dan sabar dari maksiat-maksiat ditulis sembilan ratus derajat bagi seorang hamba”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya dan Ibnu jarir Ath-Thabari). [41]

Di antara jenis sabar yang terbaik ialah puasa, karena sabar menghimpun ketiga jenis sabar. Puasa adalah sabar terhadap ketaatan kepada Allah Azza wa jalla dan sabar dari maksiat kepada Allah, karena seorang hamba meninggalkan seluruh syahwatnya karena Allah Azza wa jalla dan bisa jadi hawa nafsunya mengajaknya kepada syahwatsyahwatnya. Oleh karena itu, disebutkan di hadits shahih,

"Sesungguhnya Allah Azza wa jalla berfirman, “Seluruh perbuatan anak keturunan Adam adalah miliknya kecuali puasa, karena puasa adalah milik-Ku dan Aku yang membalasnya. Ia meninggalkan syahwat, makanan, dan minumannya karena Aku”. [42])

Karena puasa juga mengandung makna sabar terhadap takdir yang menyakitkan, sebab orang yang berpuasa merasakan kelaparan dan kehausan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menamakan bulan puasa sebagai bulan sabar. [43])

Disebutkan di hadits seseorang dari Bani Sulaim dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya puasa adalah separoh sabar”.

Bisa jadi, kesulitan untuk mengetahui rahasia puasa adalah separoh sabar itu lebih besar daripada kesulitan mengetahui rahasia bersuci adalah separoh iman, wallahu a’lam.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dan Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau atasmu”. Allah Azza wa jalla berfirman,

"Dan Kami tunurkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian”. (Al-Isra’: 82).

Salah seorang generasi salaf berkata, "Seseorang tidak bisa duduk dengan Al-Qur’an kemudian berdiri darinya dalam keadaan selamat, melainkan ia harus beruntung atau merugi”. Kemudian ia membaca ayat di atas.

Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Pada Hari Kiamat, Al-Qur’an dijelmakan menjadi orang laki laki. Orang yang dulu membawanya namun menyalahi perintahnya didatangkan kemudian terjadilah perselisihan dengannya. Orang jelmaan Al-Qur’an berkata, “Tuhanku, Engkau membuat orang tersebut membawaku, sungguh ia pembawa terjelek yang melanggar hukum-hukumku, menyia-nyiakan kewajiban-kewajibanku, mengerjakan kemaksiatan kepadaku, dan tidak taat kepadaku”. Orang jelmaan Al-Qur’an tersebut terus-menerus mengemukakan hujjah-hujjah kepada pembawanya hingga dikatakan, “Terserah engkau dengannya”. Orang jelmaan Al-Qur’an memegang tangan pembawanya dan tidak melepaskannya hingga menjungkirkannya di neraka. Orang shalih yang tadinya membawanya dan menjaga perintahnya didatangkan kemudian terjadilah perdebatan. Orang jelmaan Al-Qur’an berkata, “Tuhanku, engkau membuat orang tersebut membawaku. Sungguh ia pembawa terbaik yang menjaga hukum-hukumku, melaksanakan kewajiban-kewajibanku, menjauhi kemaksiatan kepadaku, dan taat kepadaku”. Orang jelmaan Al-Qur’an terus-menerus mengemukakan hujjahnya hingga dikatakan, “Terserah engkau dengannya”. Orang jelmaan Al-Qur’an pun memegang tangan pembawanya dan tidak melepasnya hingga ia mengenakan padanya pakaian sutera tebal, memasangkan mahkota kerajaan padanya, dan memberinya minuman segelas minuman keras". [44])

Ibnu Mas’ud berkata, "Al-Qur’an adalah pemberi syafa’at yang diberi hak untuk memberi syafa’at dan pendebat yang dibenarkan. Barangsiapa meletakkan Al-Qur’an di depannya, maka Al-Qur’an menuntunnya ke surga. Barangsiapa meletakkannya di belakang punggungnya, maka Al-Qur’an menuntunnya ke neraka". [45])

Ibnu Mas’ud juga berkata, "Pada Hari Kiamat, Al-Qur’an didatangkan kemudian ia memberi syafa’at kepada orang yang membacanya dan menuntunnya ke surga atau menjadi saksi baginya kemudian menuntunnya ke neraka”.

Abu Musa Al-Asy’ari berkata, "Sesungguhnya Al-Qur’an menghasilkan pahala dan dosa bagi kalian. Karenanya, ikuti Al-Qur’an dan jangan Al-Qur’an yang mengikuti kalian, karena barangsiapa mengikuti Al-Qur’an maka Al-Qur’an turun dengannya ke taman-taman surga dan barangsiapa diikuti Al-Qur’an maka Al-Qur’an jatuh ke tengkuknya kemudian melemparkannya ke neraka”. [46])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Setiap manusia berbuat; ada orang yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya”. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits Ka”ab bin Ujrah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Manusia berbuat; ada orang yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya. [47]) Di riwayat yang diriwayatkan Ath-Thabrani [48]) disebutkan, "Manusia berbuat; ada yang menjual dirinya kemudian membinasakannya dan ada yang menebus dirinya kemudian memerdekakannya”. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Asy-Syams: 7-10).

Maksudnya, sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa dengan taat kepada Allah dan merugi orang yang mengotorinya dengan maksiat-maksiat. Jadi, ketaatan itu menyucikan jiwa dan membersihkannya, karenanya jiwa tersebut menjadi tinggi. Sedang kemaksiatan mengotori jiwa dan menghinanya, karenanya, jiwa menjadi rendah, hina, dan seperti sesuatu yang dibenamkan ke dalam tanah.

Hadits bab di atas menunjukkan bahwa semua manusia berbuat kepada kebinasaan dirinya atau pembebasannya dari adzab. Barangsiapa berbuat dalam ketaatan kepada Allah, sungguh ia menjual jiwanya kepada-Nya dan membebaskannya dari siksa-Nya. Sedang barangsiapa berbuat dalam kemaksiatan kepada Allah, sungguh ia menjual diri dengan kehinaan dan menjerumuskannya dengan dosa-dosa yang mengharuskannya mendapatkan kemarahan Allah dan siksa-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin; diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka; mereka berperang di jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh; itu janji yang benar dari Allah di Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah? maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan dan itulah kemenangan yang besar”. (At-Taubah: 111).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah Jan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207).

Allah Ta’ala berfirman,

"Katakan, Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan din mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat; ingatlah yang demikian itu kerugian yang nyata”. (Az-Zumar: 15).

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, ketika ayat berikut diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

وأنذر عشيرتك الاقربين.

"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatnu yang terdekat”. (Asy-Syuara’: 214),

beliau bersabda, "Hai seluruh orang-orang Quraisy, belilah diri kalian dari Allah, karena aku sedikit pun aku tidak dapat membela kalian di hadapan Allah. Hai Bani Abdul Muththalib, aku sedikit pun tidak dapat membela kalian di hadapan Allah”. Di riwayat Al-Bukhari disebutkan, "Hai Bani Abdu Manaf, belilah diri kalian dari Allah. Hai Bani Abdul Muththalib, belilah diri kalian dari Allah. Hai bibi Rasulullah (dari jalur ayah) dan hai Fathimah binti Muhammad, belilah diri kalian berdua dari Allah, karena aku tidak memiliki sesuatu apa pun dari Allah untuk kalian berdua”.

Di riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil kaum Quraisy kemudian mereka berkumpul. Beliau menyebut mereka secara umum dan khusus. Beliau bersabda, "Hai Bani Ka’ab bin Luai, selamatkan diri kalian dari neraka. Hai Bani Murrah bin Ka’ab, selamatkan diri kalian dari neraka. Hai Bani Abdu Syams, selamatkan diri kalian dari neraka. Hai Bani Abdu Manaf, selamatkan diri kalian dari neraka. Hai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari neraka. Hai Bani Abdul Muththalib, selamatkan diri kalian dari neraka. Hai Fathimah, selamatkan dirimu dari neraka, karena aku tidak memiliki sesuatu apa pun untuk kalian dari Allah”. [49])

Ath-Thabrani dan Al-Kharaithi meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa berkata di pagi hari, Subhanallah wa bihamdihi”, sebanyak seratus kali, sungguh ia telah membeli dirinya dari Allah Ta’ala dan pada akhir harinya ia menjadi orang yang terbebas dari neraka". [50])

Sejumlah generasi salaf membeli diri mereka dari Allah Azza wa jalla dengan harta mereka. Di antara mereka, ada yang bersedekah dengan seluruh harta, seperti Habib bin Abu Muhammad. [51]) Di antara mereka, ada yang bersedekah dengan perak tiga atau empat kali lebih banyak seperti Khalid Ath-Thahhan. [52])

Di antara mereka, misalnya Amr bin Utbah, bersungguh-sungguh dalam amal-amal shalih dan berkata, "Sesungguhnya aku berbuat untuk pembebasan diriku”.

Salah seorang dari mereka bertasbih dalam setiap hari sebanyak dua belas ribu tasbih sesuai dengan besar diyat. Seolah-olah ia telah membunuh dirinya, jadi, ia membebaskan diri dengan membayar diyatnya.

Al-Hasan berkata, "Orang Mukmin di dunia adalah seperti tawanan yang berusaha membebaskan dirinya. Ia tidak merasa aman dari sesuatu apa pun hingga bertemu Allah Azza wa Jalla”.

Al-Hasan berkata, "Hai anak keturunan Adam, engkau pergi pagi dan petang hari untuk mencari keuntungan, karenanya, jadikan obsesimu adalah dirimu sendiri, karena engkau tidak akan mendapatkan keuntungan seperti itu untuk selama-lamanya”.

Abu Bakr bin Ayyasy berkata, "Pada suatu hari, ketika aku masih remaja, seseorang berkata kepadaku, “Bebaskan perbudakanmu semampumu di dunia dari perbudakan akhirat, karena tawanan akhirat tidak bisa dibebaskan untuk selama-lamanya.” Demi Allah, aku tidak pernah lupa akan nasihat tersebut”. [53])

Salah seorang generasi salaf menangis sambil berkata, "Aku tidak mempunyai dua jiwa, namun aku hanya mempunyai satu jiwa. Jika jiwaku pergi, aku tidak menemukan yang lain”.

Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata, "Allah Azza wa Jalla menjadikan surga sebagai harga bagi diri kalian, jadi, janganlah kalian menjual jiwa kalian dengan selain surga”. [54])

Muhammad bin Al-Hanafiyah juga berkata, "Barangsiapa jiwanya menjadi mulia baginya, dunia menjadi tidak bernilai baginya”. [55])

Ditanyakan kepada Muhammad bin Al-Hanafiyah, "Siapakah manusia yang paling mulia?" Muhammad bin Al-Hanafiyah menjawab, "Orang yang tidak melihat seluruh dunia sebagai bahan perhatian dirinya”.

Salah seorang ulama tempo dulu berkata,

"Dengan jiwa yang baik, akhirat didapatkan

jika aku menjual jiwa yang baik dengan sesuatu dari dunia, maka itulah kerugian

jika jiwaku pergi dengan dunia yang aku dapatkan

Sungguh jiwaku telah pergi bersama harganya”.

 



[1] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 223. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/342. 343, Ad-Darimi 1/167, At-Tirmidzi hadits nomer 3517, An-Nasai 5/58 dan di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 168, 169, Ibnu Majah hadits nomer 280, Al-Baihaqi di As-Sunnah 1/42 dan Al-I’tiqad hal. 176, Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 3423 dan 3424, dan Ibnu Mandah di Al-Iman hadits nomer 211. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban 844.

[2] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/363 dan At-Tirmidzi hadits nomer 3519. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan”. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 20582. Al-Marwazi di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 432-434, dan Ad-Darimi 1/167.

[3] Al-Bukhari berkata di Shahihnya bab shalat termasuk iman dan firman Allah Ta’ala, "Dan Allah tidak menyia-nyiakan imanmu", bahwa yang dimaksud dengan iman kalian pada ayat tersebut ialah shalat kalian. Al-Bukhari berkata bahwa Amr bin Khalid berkata kepadaku, Zuhair berkata kepadaku, Abu Ishaq berkata kepadaku dari Al-Barra’ bahwa ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tiba di Madinah untuk pertama kalinya, beliau berhenti di kakek-kakek beliau dari kaum Anshar atau paman-paman beliau (dari jalur ibu) - dan shalat menghadap Baitul Makdis selama enam betas - atau tujuh belas bulan. Beliau senang kalau kiblat beliau menghadap Baitullah. Shalat yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat Ashar bersama orang-orang yang bersama beliau kemudian salah seorang yang tadinya ikut shalat bersama beliau keluar dan berjalan melewati orang-orang di masjid yang sedang ruku’ lalu berkata, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku telah shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menghadap Makkah.” Mereka pun berputar seperti sebelumnya menghadap ke Baitullah. tadinya orang-orang Yahudi senang karena beliau shalat menghadap Baitul Makdis seperti Ahli Kitab. Ketika beliau mengarahkan wajah ke Baitulllah, mereka mengecam beliau.

Zuhair berkata, Abu Ishaq berkata kepadaku dari Al-Barra’ di haditsnya tersebut bahwa ia meninggal dunia ketika kiblat masih ke Baitul Makdis sebelum orang-orang berubah kiblat dan sebelum mereka terbunuh (di medan perang). Oleh karena itu, kami tidak tahu apa yang kami katakan tentang mereka kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang mereka, ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiaknn iman kalian”. (Al-Baqarah: 143).

[4] Diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 2719. Di sanadnya terdapat Hafsh bin Umar bin Abu Al-Aththaf yang merupakan perawi dhaif.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ad-Daruquthni 4/67, Al-Hakim 4/332, dan Al-Baihaqi 6/209. Hadits tersebut didhaifkan Adz-Dzahabi dan Al-Baihaqi karena keberadaan Hafsh bin Umar.

[5] Diriwayatkan Abu Daud 2885, Ibnu Majah hadits nomer 54, dan Al-Baihaqi 6/208. Di sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ziyad bin An’am Al-Ifriqi dan Abdurrahman bin Rafi’ At-Tanukhi yang keduanya merupakan perawi dhaif.

[6] Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 1/28.

[7] Penggalan kedua hadits di atas dikomentari Al-Bukhari di permulaan kitab iman dan disebutkan secara lengkap oleh Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 18544, Ibnu Abu Khaitsamah di At-Tarikh, dan Ibnu Hajar di Taghliqut Ta’liq 3/22 dari jalur Al-A’masy dari Abu Dzubyan Hushain bin Jundab dari Alqamah dari Ibnu Mas’ud. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 2/446 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Ibnu Hajar berkata, "Hadits di atas shahih dan mauquf”. Hadits tersebut juga dishahihkan Ibnu Hajar di Fathul Bari 1/48. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 1/57 dan berkata, "Para perawi hadits tersebut adalah para perawi hadits shahih”.

Hadits di atas juga diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 5/34, Al-Khathib di Tarikh-nya 13/226, Al-Qudha’i di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 158, dan Ibnu Hajar di Taghliqut Ta’liq 1/22-23 dari jalur Ya’qub bin Humaid bin Kasib dari Muhammad bin Khalid Al-Makhzumi dari Sufyan Ats-Tsauri dari Zubaid Al-Yami dari Abu Wail Syaqiq bin Salamah dari Ibnu Mas’ud dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Ibnu Hajar berkata, "Hadits di atas tidak benar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam”. Diriwayatkan dari Al-Baihaqi yang berkata, "Hadits di atas diriwayatkan sendirian Ya’qub bin Humaid”. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Hafidz Abu Ali An-Nisaburi yang berkata, "Hadts di atas munkar; tidak mempunyai asal-usul dari hadits Zubaid atau Sufyan Ats-Tsauri.

[8] Diriwayatkan Al-Kharaithi di Fadhilatusy Syukri hadits nomer 18 dan Al-Qudha’i di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 159. Yazid Ar-Raqasyi adalah perawi dhaif”.

[9] Hadits nomer 231.

[10] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/340, At-Tirmidzi hadits nomer 4, Al-Marwazi di Ta’dzimu Qadrish Shalat hadits nomer 175, dan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 596. Di sanadnya terdapat perawi Abu Yahya Al-Qatat yang merupakan perawi dhaif dan Sulaiman bin Qarm yang hapalannya jelek.

[11] Hadits nomer 234 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1050. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[12] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3435 dan Muslim hadits nomer 28. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/314. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 207.

[13] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/280, Ad-Darimi 1/198, Ibnu Majah hadits nomer 277, dan Al-Hakim 1/130. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1037.

[14] Diriwayatkan Al-Uqaili di Adh-Dhu’afa’ 3/123 dari riwayat Ubaidillah bin Abdul Majid Al-Hanafi.

Saya katakan, Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Ubadillah bin Abdul Majid Al-Hanafi. Ia dianggap perawi tepercaya oleh Ibnu Hibban, Al-Ajli, Ad-Daruquthni, dan lain-lain.

Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan 3/13, "Hadits tersebut disebutkan Al-Uqaili di bukunya. Ia juga meriwayatkan hadits yang aku anggap tidak ada masalah”.

[15] Hadits nomer 598 dari jalur Utbah bin Abu Hakim yang berkata, Thalhah bin Nafi’ berkata kepadaku, Abu Ayyub berkata kepadaku. Al-Bushairi berkata di Mishbahuz Zujajah 2-43/1, "Sanad hadits tersebut mempunyai catatan, karena Thalhah bin Nafi’ tidak mendengarnya dari Abu Ayyub”. Ini dikatakan Ibnu Abu Hatim dari ayahnya. Apa yang dikatakan Ibnu Abu Hatim perlu diteliti, karena Thalhah bin Nafi’ - kendati dianggap sebagai mudallis oleh Al-Hakim -, ia menyatakan terus terang mendengar hadits tersebut dari Abu Ayyub, dengan demikian, hilang tuduhan mudallis terhadap dirinya. Ia perawi tepercaya dan dianggap sebagai perawi tepercaya oleh An-Nasai, Al-Bazzar, Ibnu Adi, dan para penulis Sunan. Utbah bin Abu Hakim dipermasalahkan. Hadits di atas juga diriwayatkan Ahmad bin Mani’ di Musnadnya. Ia berkata, Al-Haitsam bin Kharijah berkata kepadaku, Yahya bin Hamzah berkata kepadaku dari Utbah bin Abu Hakim yang berkata, Thalhah bin Nafi’ berkata kepadaku, Abu Ayyub Al-Anshari berkata kepadaku yang kemudian menyebutkan hadits tersebut. Abu Daud dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari sanad yang lain.

[16] Hadits nomer 349. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 1/147. Ia berkata, "Al-Mughirah bin Muslim adalah perawi tepercaya dan sanad hadits tersebut hasan”.

[17] Hadits nomer 3518. Nama lengkap Al-Ifriqi ialah Abdurrahman bin Ziyad bin An’am yang merupakan hakim Afrika. Ia hapalannya jelek.

[18] Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/334 dari jalur Sa’id bin Abu Maryam, Ibnu Luhaiah berkata kepada kami dari Musa bin Jubair bahwa Muadz bin Abdullah bin Rafi’ berkata kepadanya dari Abdurrahman bin Abu Amrah dari Muadz bin Jabal. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 10/86, "Muadz bin Abdullah bin Rafi’ tidak aku kenal, hadits Ibnu Luhaiah adalah hasan, dan para perawi lainnya adalah para perawi tepercaya”.

[19] Diriwayatkan Muslim dari hadits Abu Umamah hadits nomer 804. Hadits tersebut juga diriwayatkan Muslim hadits nomer 805 dan At-Tirmidzi hadits nomer 2883 dari hadits An-Nawwas bin Sam’an.

[20] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/232, Al-Bukhari hadits nomer 6406, 6682, 7563. Muslim hadits nomer 2694, At-Tirmidzi hadits nomer 3467. Ibnu Majah hadits nomer 3806, An-Nasai di Amalal Yaumi wal Lailah hadits nomer 830, dan Abu Ya’la hadits nomer 696. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits numer 831 dan 841.

[21] Dari Abu Ad-Darda’, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 6/442, 446, 448, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Muftad hadits nomer 270, Abu Daud hadits nomer 4799, dan At-Tirmidzi hadits nomer 2003. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 481.

[22] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/287-288, 295-296 dalam hadits panjang dari hadits Al-Barra’ bin Azib. Disebutkan di hadits lcrsebut bahwa orang Mukmin di kuburnya didatangi orang yang wajahnya tampan, pakaiannya bagus, dan aromanya wangi. Orang tersebut berkata, “Aku beri kabar gembira kepadamu dengan sesuatu yang menyenangkanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu”. Orang Mukmin tersebut berkata, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang mendatangkan kebaikan?” Orang tersebut berkata, “Aku adalah amalmu yang shalih.” Sedang orang kafir, ia didatangi orang yang wajahnya jelek, pakaiannya jelek, dan baunya busuk. Orang tersebut berkata, “Aku beri kabar gembira kepadamu dengan sesuatu yang mengganggumu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu”. Orang kafir tersebut berkata, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang mendatangkan keburukan?” Orang tersebut menjawab, “Aku adalah amalmu yang buruk”. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 1/37-38 sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 3/49-50 dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih”.

[23] Hadits panjang dari Abu Hurairah diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 6703, Ibnu Abu Syaibah 3/383-384, dan Al-Hakim 1/379. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3113.

[24] Di Al-Mustadrak 4/586 dan ia menshahihkannya menurut syarat Muslim dengan disetujui Adz-Dzahabi.

[25] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3590 dan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 833. At-Tirmidzi menghasankan hadits tersebut seperti yang ia katakan.

[26] Diriwayatkan Imam Ahmmad 2/213, At-Tirmidzi hadits nomer 2639. Ibnu Majah hadits nomer 4300, dan Al-Hakim 1/529. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 225 dari hadits Abdullah bin Amr yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengambil salah seorang dari umatku di depan para makhluk pada Hari Kiamat kemudian Dia menyebarkan sembilan puluh sembilan buku catatan kejelekan pada orang tersebut; setiap buku (panjangnya) sejauh pandangan. Allah berfirman kepada orang tersebut, “Apakah engkau memungkiri sesuatu di dalamnya? Apakah para penulis-Ku (para malaikat) yang menjaga itu mendzalimimu?” Orang tersebut berkata, Tidak, wahai Tuhan”. Allah berfirman, “Apakah engkau mempunyai alasan/udzur atau kebaikan?“ Orang tersebut tercengang kemudian berkata, Tidak, wahai Tuhanku”. Allah berfirman, “Betul. Engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami dan pada hari ini tidak ada kedzaliman terhadapmu”. Kemudian kartu dikeluarkan bagi orang tersebut dan di dalamnya tertulis, “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”. Allah berfirman, “Hadirkan dia”. Orang tersebut berkata, “Tuhanku, apa kartu dengan buku-buku catatan kejelekan ini?” Dikatakan kepada orang tersebut, “Engkau tidak didzalimi”. Kemudian buku-buku tersebut diletakkan di satu daun timbangan/neraca; buku-buku tersebut menjadi ringan sedang kartu menjadi berat dan tidak ada sesuatu yang berat dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah”.

Saya katakan, hadits tersebut tidak ada di Sunan An-Nasai dan di Ash-Shughra atau Al-Kubra.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dan tidak ada sesuatu yang berat dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah”. Begitu riwayat yang ada di Musnad Imam Ahmad. Sedang riwayat versi At-Tirmidzi ialah, "Tidak ada yang berat bersama nama Allah”. Dan riwayat Ibnu Hibban ialah, "Tidak ada yang berat dengan nama Allah”.

[27] 2/170, 225. Para perawi hadits tersebut adalah para perawi terpercaya dan sanadnya dishahihkan Al-Hafidz Ibnu Katsir di Al-Bidayah wan Nihayah 1/112. Baca Majmauz Zawaid 4/ 219-220.

[28] Itu kekeliruan dari Ibnu Rajab, karena hadits tersebut tidak ada di Al-Musnad dan tidak berasal dari Abdullah bin Amr, namun berasal dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang diriwayatkan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 843, 1141, Abu Ya’la di Musnadnya hadits nomer 1393, Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 1480, dan Al-Baihaqi di Al-Asma’ wash Shifat hal. 102-103. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6218 dan Al-Hakim dengan disetujui Adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar di Fathul Bari 11/208, padahal di sanadnya terdapat Daraj Abu As-Samh yang merupakan perawi dhaif di riwayatnya dari Abu Haitsam dan hadits tersebut adalah salah satu dari hadits-haditsnya.

[29] 2/302, 310, 3/35, 37. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 10/428, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 840, dan Al-Bazzar hadits nomer 3074. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 1/512 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/87-88 dan berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Al-Bazzar. Ia berkata, "Para perawi Imam Ahmad dan Al-Bazzar adalah para perawi hadits shahih”.

[30] Dari perkataan Ka’ab diriwayatkan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 843. Hadits tersebut juga disebutkan Ibnu Hajar di Taghliqut Ta’liq 5/201 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Faryabi.

[31] Diriwayatkan Abu Ya’la hadits nomer 3655, Al-Marwazi di Tadzimu Qadrish Shalat hadits nomer 176, 177, dan Al-Qadhai hadits nomer 144. Sanadnya dhaif. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 4210, Abu Ya’la hadits nomer 3656, dan Ibnu Adi di Al-Kamil 7/2554 dengan redaksi, "Dengki itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimnna api memakan kayu bakar. Sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Shalat adalah sinar orang Mukmin dan puasa adalah benteng dari neraka”. Sanad hadits tersebut juga dhaif.

[32] Dari Anas bin Malik, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 3/128, 199, 285 dan An-Nasai 7/61-62. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 2/160 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut persis seperti dikatakan kedua perawi tersebut. Hadits tersebut dihasankan Ibnu Hajar di Talkhishul Habir 3/116. Hadits tersebut secara lengkap ialah, "Di antara dunia yang aku dibuat cinta kepadanya ialah parfum dan wanita dan penyejuk mataku dijadikan di shalat”.

[33] Tidak shahih. Hadits tersebut diriwayatkan Ad-Dailami di Musnad Al-Firdaus hadits nomer 2622 tanpa sanad.

[34] 1/245, 255, 296. Di sanadnya terdapat perawi Ali bin Zaid bin Jud’an yang merupakan perawi dhaif.

[35] Hadits nomer 4985, 4986. Hadits tersebut shahih”. Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/359.

[36] Disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 2/122. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir dan Al-Bazzar hadits nomer 350. Di sanadnya terdapat Al-Ahwash bin Hakim yang dianggap sebagai perawi tepercaya oleh Ibnu Al-Madini dan Al-Ajli dan dianggap sebagai perawi dhaif oleh sejumlah ulama. Para perawi lainnya adalah para perawi tepercaya. Saya katakan, di bab ini terdapat hadits dari Anas bin Malik yang diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 1/302, "Di sanadnya terdapat Abbad bin Katsir dan para ulama sepakat bahwa ia perawi dhaif”.

[37] Diriwayatkan Imam Ahmad 2/169 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1467.

[38] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 2/ 39, "Di sanadnya terdapat Baqiyah bin Al-Walid yang merupakan perawi mudallis”.

[39] Di As-Sunan hadits nomer 1582. Para perawinya adalah para perawi tepercaya, namun sanadnya terputus antara Yahya bin Jabir dengan Jubair bin Nufair. Hadits tersebut dengan sanad shahih diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 555 dan Al-Fasawi di Al-Ma’rifah wat Tarikh 1/269. Juga Al-Baihaqi 4/95-96.

[40] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 614 dan Ath-Thabrani di Al-Kabir 19/212. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan gharib”. Hadits tersebut di Musnad Imam Ahmad tidak berasal dari Ka’ab bin Ujrah seperti dikatakan Ibnu Rajab, namun di Musnad Imam Ahmad 3/399 dari Jabir dengan redaksi, "Shalat adalah pendekatan (kepada Allah)”. Hadits tersebut ada di Shahih Ibnu Hibban hadits nomer 1723. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[41] Disebutkan As-Suyuthi di Al-Jami’ Al-Kabir 1/423-424. Ia mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan Abu Asy-Syaikh di Ats-Tsawab dan Ad-Dailami di Musnad Al-Firdaus hadits nomer 3846. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Al-Jauzi di Al-Maudhu’aat 3/184. Ia berkata, "Hadits tersebut maudhu’ (palsu)”. Orang yang tertuduh melakukannya ialah Abdullah bin Ziyad alias Ibnu Sam’an. Malik dan Yahya berkata, "Ia pendusta”. An-Nasai dan Ad-Daruquthni berkata, "Haditsnya tidak bisa dipakai”. Tentang Ali bin Zaid, Imam Ahmad dan Yahya berkata, "Ia tidak apa-apa”.

[42] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/273, Al-Bukhari hadits nomer 1904, Muslim hadits 1151. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3422, 3423. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[43] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/263, 384 dan An-Nasai 4/218, 219. Sanad hadits tersebut shahih. Dari An-Namr bin Taulab, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 5/78, 363. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6557.

[44] Diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 10/491-492. Dari jalurnya, hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Adh-Dharis di Fadhailul Qur’an hadits nomer 91 dan Al-Khathib di Iqtidhaul Ilmil Amal hadits nomer 12. Di sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Ishaq yang merupakan perawi mudallis.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 2337. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 7/161. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat Muhammad bin Ishaq yang merupakan perawi tepercaya, namun ia mudallis. Perawi lainnya adalah para perawi tepercaya.

[45] Diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 6010. Dari jalurnya, hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 8655. Sanadnya shahih dan para perawinya adalah para perawi Al-Bukhari dan Muslim.

[46] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/257.

[47] Diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 5567 dan Imam Ahmad 3/399 dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Hai Ka’ab bin Ujrah, tidak masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari barang haram. Neraka lebih layak baginya”. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1723. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[48] Di Al-Mu’jam Al-Kabir 19/361.

[49] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2753. 3527, 4771 dan Muslim hadits nomer 204, 206. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 646, 6549, 6550.

[50] Disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/113-114. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan di dalamnya terdapat perawi yang tidak aku kenal”.

[51] Baca Al-Hilyah 6/149.

[52] Baca Tarikhu Baghdad 8/294 dan Tahdzibul Kamal 8/102.

[53] Al-Hilyah 8/304.

[54] Hilyatul Auliya’ 3/177

[55] Al-Hilyah 3/176.

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah