Sunday, November 30, 2025

Hadits Arbain 26: Tentang Sedekah

 

الْحَدِيثُ السَّادِسُ وَالْعِشْرُونَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ سُلَامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ: تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ، فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمْشِيهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيطُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ» . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya; engkau adil kepada dua orang adalah sedekah, engkau membantu seseorang dalam hewan kendaraannya; engkau mengangkatnya ke atas hewan kendaraannya atau mengangkat perabotannya ke atas hewan kendaraan tersebut adalah sedekah, perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang engkau jalankan ke shalat adalah sedekah, dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah”. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari riwayat Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar [2]) dari riwayat Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Manusia terdiri dari tiga ratus enam puluh tulang atau tiga puluh enam persendian; semua persendian wajib bersedekah di setiap hari”. Para sahabat bertanya, "Bagaimana dengan orang yang tidak mendapatkan sesuatu?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran”. Para sahabat berkata, "Bagaimana dengan orang yang tidak mampu melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia mengangkat tulang dari jalanan”. Para sahabat berkata, "Bagaimana dengan orang yang tidak bisa melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hendaklah ia membantu orang lemah”. Para sahabat berkata, "Bagaimana dengan orang yang tidak dapat melakukannya?“. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Hendaklah ia meninggalkan (menjauhkan) manusia dari gangguannya”.

Muslim meriwayatkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Anak keturunan Adam diciptakan di atas tiga ratus enam puluh persendian. Karenanya, barangsiapa dzikir kepada Allah, memuji Allah, bertahlil kepada Allah, bertasbih kepada Allah, menyingkirkan batu dari jalanan kaum Muslimin, atau menyingkirkan duri, atau menyingkirkan tulang, atau menyuruh kepada kebaikan, atau melarang dari kemungkaran sejumlah seratus enam puluh tiga persendian, maka pada sore harinya ia menjauhkan dirinya dari neraka”. [3])

Muslim juga meriwayatkan hadits dari riwayat Abu Al-Aswad Ad-Dili dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Pada pagi hari, setiap persendian salah seorang dari kalian wajib bersedekah; setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan itu semua cukup dengan dua raka’at shalat dhuha yang ia kerjakan”. [4])

Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits dari Buraidah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Pada manusia terdapat tiga ratus enam puluh persendian dan ia harus bersedekah untuk setiap persendian dengan sedekah”. Para sahabat bertanya, "Wahai Nabi Allah, siapakah yang mampu melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dahak di masjid hendaklah engkau pendam dan sesuatu yang engkau singkirkan dari jalanan. Barangsiapa tidak mendapatkan itu semua, dua raka’at shalat dhuha sudah cukup bagimu”. [5])

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Setiap orang Muslim wajib bersedekah”. Para sahabat berkata, “jika ia tidak mendapatkan apa-apa?“. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia bekerja dengan tangannya lalu menggunakannya untuk dirinya dan bersedekah”. Para sahahat berkata, “Jika ia tidak mampu atau tidak melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia membantu orang yang mempunyai kebutuhan dan orang yang kelaparan”. Para sahabat berkata, “jika ia tidak melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Hendaklah ia menyuruh kepada kebaikan atau beliau bersabda, menyuruh kepada yang ma’ruf”. Para sahabat berkata, “Jika ia tidak melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Hendaklah ia menahan diri dari keburukan, karena itu sedekah baginya”. [6])

Ibnu Hibban meriwayatkan di Shahihnya [7]) hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Setiap organ tubuh anak keturunan Adam wajib bersedekah pada setiap hari”. Seseorang berkata, "Siapa yang mampu berbuat seperti itu?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, memikul (membawa) orang lemah adalah sedekah, dan setiap langkah yang dijalankan salah seorang dari kalian ke shalat adalah sedekah”. (Diriwayatkan Al-Bazzar dan lain-lain).

Di riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Setiap misam (organ tubuh) seseorang wajib bersedekah pada setiap hari atau wajib shalat”. Seseorang berkata, "Ini sesuatu yang paling berat kita kerjakan”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran adalah shalat atau sedekah, engkau mengangkut orang lemah adalah shalat, engkau menyingkirkan kotoran dari jalanan adalah shalat, dan setiap langkah yang engkau langkahkan ke shalat adalah shalat”.

Di riwayat Al-Bazzar disebutkan,

"Dan menyingkirkan gangguan dari jalanan adalah sedekah atau beliau bersabda, shalat”.

Salah seorang ulama berkata, "Yang dimaksud dengan kata misam pada hadits di atas ialah setiap organ tubuh. Kata misam diambil dari kata al-wasmu yang berarti tanda, sebab di setiap tulang, persendian, dan tulang terdapat tanda penciptaan Allah, jadi, seorang hamba wajib bersyukur kepada Allah atas itu semua dan memuji-Nya karena Dia menciptakannya dalam keadaan sempurna. Itulah yang dimaksud dengan sabda Nabi Shallallahu Alaih wa Sallam, “Setiap misam (organ tubuh) seseorang wajib bersedekah pada setiap hari atau wajib shalat", karena shalat berisi pujian, syukur, dan sanjungan kepada Allah Ta’ala.

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari jalur lain dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Setiap persendian atau setiap organ tubuh anak keturunan Adam di setiap hari wajib bersedekah dan itu semua cukup dengan dua raka’at shalat dhuha”. [8])

Diriwayatkan hadits dari Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Setiap nafas dalam setiap hari wajib bersedekah”. Ditanyakan, “Jika ia tidak mendapatkan apa-apa?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bukankah ia melihat, cerdas, fasih, dan sehat?" Dikatakan, "Ya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia memberi dari sedikit atau banyak (hartanya), sesungguhnya penglihatanmu kepada orang yang penglihatannya kurang adalah sedekah, dan pendengaranmu kepada orang yang pendengarannya kurang adalah sedekah". [9])

Di syarah hadits bab sebelumnya, saya sebutkan hadits Abu Dzar yang diriwayatkan Ibnu Hibban di Shahihnya [10]) bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Tidak ada satu pun jiwa anak keturunan Adam melainkan ia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya, "Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, dari mana kami mempunyai harta untuk kami sedekahkan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan sangat banyak Tasbih, takbir, tahmid, tahlil, amar ma’ruf, nahi munkar, engkau menyingkirkan gangguan dari jalan, engkau memperdengarkan kepada orang tuli, memberi petunjuk kepada orang buta, memberi petunjuk jalan kepada orang yang meminta petunjuk untuk memenuhi kebutuhannya, berjalan dengan kekuatan kedua betismu untuk orang kelaparan dan minta bantuan, dan memikul dengan kekuatan kedua lenganmu untuk orang lemah. Itu semua sedekah darimu untuk dirimu”.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Setiap persendian manusia wajib bersedekah”. Abu Ubaid [11]) berkata, "Pada asalnya sulama (persendian) ialah tulang di ujung kuku unta. Sepertinya makna hadits tersebut ialah setiap tulang anak keturunan Adam wajib bersedekah”. Abu Ubaid mengisyaratkan bahwa sulama (persendian) adalah nama salah satu tulang kecil di unta kemudian ia mengekspresikannya untuk seluruh persendian manusia dan lain-lain.

Makna hadits menurut Abu Ubaidah ialah setiap persendian anak keturunan Adam wajib bersedekah.

Selain Abu Ubaidah berkata, "Sulama ialah tulang di ujung tangan dan kaki kemudian dikonotasikan untuk semua tulang tubuh”. Sulama adalah jamak. Ada lagi yang mengatakan bahwa sulama adalah kata tunggal.

Para dokter menyebutkan bahwa total tulang tubuh manusia ialah 248 tulang selain as-simsumaniyat Sebagian dari mereka berkata, "Jumlah tulang tubuh manusia adalah 360 tulang. Tulang yang terlihat berjumlah 265 tulang sedang sisanya kecil tidak terlihat dan dinamakan as-simsumaniyaat”. Hadits-hadits di atas membenarkan pendapat para dokter tersebut. Bisa jadi, kata sulama di hadits-hadits di atas ialah kata lain dari tulang-tulang kecil tersebut, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kata sulama pada asalnya ialah nama tulang terkecil unta. Riwayat Al-Bazzar dari Abu Hurairah menguatkan hal ini di mana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda di dalamnya, "Atau tiga ratus tiga puluh enam persendian”. Hadits tersebut juga diriwayatkan selain Al-Bazaar dan di dalamnya disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Sesungguhnya pada anak keturunan Adam terdapat enam ratus enam puluh tulang”. Riwayat ini salah. Di hadits Aisyah dan Buraidah disebutkan bahwa jumlah persendian manusia ialah 360 persendian.

Makna hadits bab di atas ialah bahwa penyusunan tulang-tulang dan kesempurnaannya termasuk nikmat-nikmat Allah yang paling besar pada hamba-Nya, karenanya, setiap tulang perlu sedekah dan perlu sedekah dan pemiliknya bersedekah mewakili setiap tulang yang ada pada dirinya, agar sedekah menjadi syukur atas nikmat tersebut. Allah Azza wa jalla berfirman,

"Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusunmu”. (Al-Infithar: 68).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur". (An-Nahl: 78).

Allah Ta’ala berfirman,

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata? Lidah dan dua buah bibir?". (Al-Balad: 89).

Mujahid berkata, "Nikmat-nikmat dari Allah terlihat dengan jelas dan Allah menegaskannya kepadamu agar engkau bersyukur”. [12])

Pada suatu malam, Al-Fudhail bin Iyadh membaca firman Allah tersebut (Al-Balad: 89) kemudian ia menangis. Ia ditanya kenapa menangis? Ia menjawab, "Apakah engkau pernah bermalam pada suatu malam dalam keadaan bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan dua mata untukmu kemudian engkau melihat dengan keduanya? Apakah engkau pernah bermalam pada suatu malam dalam keadaan bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan lidah untukmu hingga engkau bisa bicara dengannya?" Al-Fudhail mengulang-ulang contoh tersebut.

Ibnu Abu Ad-Dunya [13]) meriwayatkan dengan sanadnya dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Seseorang diberi harta banyak lalu seluruh hartanya diambil darinya, namun ia memuji Allah Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya, hingga ia hanya mempunyai alas tidur berupa tikar tenun. Tapi, ia tetap memuji Allah Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya. Orang lain yang diberi harta banyak oleh Allah berkata kepada pemilik tikar tenun, "Aku lihat engkau memuji Allah Azza wa jalla?" Pemilik tikar tenun berkata, "Aku memuji Allah atas sesuatu yang jika diberikan kepadaku seperti yang diberikan kepada manusia, maka aku tidak akan memberikannya kepada mereka”. Orang kaya tersebut berkata, "Apa sesuatu tersebut?" Pemilik tikar tenun berkata, "Tidakkah engkau lihat matamu? Tidakkah engkau lihat lidahmu? Tidakkah engkau lihat kedua tanganmu? Tidakkah engkau lihat kedua kakimu?"

Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ad-Darda’ yang berkata, "Sehat adalah kekayaan tubuh”. [14])

Diriwayatkan dari Yunus bin Ubaid bahwa seseorang mengeluh kepadanya tentang kesempitan hidup yang dialaminya kemudian Yunus bin Ubaid berkata kepada orang tersebut, "Apakah engkau senang jika matamu yang engkau gunakan untuk melihat diganti dengan uang seratus ribu dirham?" Orang tersebut menjawab, "Tidak”. Yunus bin Ubaid berkata, "Apakah engkau senang jika tanganmu diganti dengan uang seratus ribu dirham?" Orang tersebut menjawab, "Tidak”. Yunus bin Ubaid berkata, "Apakah engkau senang jika kedua kakimu diganti dengan uang seratus ribu dirham?" Orang tersebut menjawab, "Tidak”. Yunus bin Ubaid berkata, "Ingatlah itu semua sebagai nikmatnikmat Allah pada dirimu”. Yunus bin Ubaid berkata lagi, "Aku lihat engkau mempunyai ratusan ribu dirham, tapi kenapa engkau mengeluh miskin?" [15])

Wahb bin Munabbih berkata, "Di hikmah keluarga Nabi Daud tertulis bahwa kesehatan adalah kerajaan yang tersembunyi”. [16])

Bakr Al-Muzani berkata, "Hai anak keturunan Adam, jika engkau ingin mengetahui kadar nikmat-nikmat Allah pada dirimu, pejamkan kedua matamu". [17])

Disebutkan di salah satu atsar, "Betapa banyak nikmat Allah di persendian yang diam!". [18])

Di Shahih Al-Bukhari [19]) disebutkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Dua nikmat di mana kebanyakan manusia tertipu di keduanya; kesehatan dan kekosongan (waktu luang)”.

Itu semua termasuk nikmat-nikmat Allah dan manusia akan ditanya tentang syukur terhadapnya pada Hari Kiamat dan dimintai pertanggungan jawab, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Kemudian kamu pasti ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan”. (At-Takatsur: 8).

At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya yang pertama kali ditanyakan pada hamba pada Hari Kiamat ialah tentang kenikmatan. Allah berfirman kepadanya, “Bukankah Aku menyehatkan badanmu untukmu? Bukankah Aku memuaskanmu dengan air dingin?". [20])

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Kenikmatan ialah keamanan dan kesehatan”. [21])

Perkataan yang sama diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [22])

Ali bin Abu Thalhah berkata dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala, “Kemudian kamu pasti ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan”. (At-Takatsur: 8). Ibnu Abbas berkata, "Kenikmatan ialah kesehatan badan, pendengaran, dan penglihatan. Allah bertanya kepada manusia untuk apa mereka menggunakannya? Allah lebih tahu tentang penggunaan mereka terhadap semua kenikmatan tersebut daripada mereka sendiri, yaitu firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu diminta pertanggungan jawabnya”. (Al-Isra”: 36)”. [23]

Ath-Thabrani meriwayatkan dari riwayat Ayyub bin Utbah padanya ada kelemahan dari Atha’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Barangsiapa mengatakan, “Laa ilaaha illallah,”ia mempunyai jaminan dengannya di sisi Allah. Barangsiapa mengatakan, Subhanallah wa bihamdihi, “maka ditulis dengannya baginya seratus dua puluh empat ribu kebaikan”. Sesearang berkata, "Bagaimana kita bisa binasa setelah itu, wahai Rasulullah?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang datang pada Hari Kiamat dengan amalnya dan seandainya amalnya diletakkan di gunung maka memberatkannya kemudian salah satu nikmat Allah berdiri dan nyaris menghabiskan amal tersebut, hanya saja, Allah mengukur dengan rahmat-Nya”. [24])

Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanadnya yang di dalamnya terdapat kelemahan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Pada Hari hiamat, nikmat-nikmat, kebaikan-kebaikan, dan kesalahan-kesalahan didatangkan kemudian Allah berfirman kepada salah satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya, Ambillah hakmu dari kebaikan-kebaikan orang tersebut”. Nikmat tersebut tidak meninggalkan salah satu kebaikan melainkan membawanya pergi“. [25])

Ibnu Abu Ad-Dunya juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Wahb bin Munabbih yang berkata, "Seorang ahli ibadah beribadah kepada Allah selama lima puluh tahun kemudian Allah Azza wa jalla mewahyukan kepadanya, “Aku telah mengampunimu.” Ahli ibadah tersebut berkata, “Tuhanku, bagaimana Engkau mengampuniku, padahal aku tidak berdosa?” Lalu Allah Azza wa Jalla menyuruh salah satu urat di lehernya untuk memukul ahli ibadah tersebut hingga ia tidak bisa tidur dan shalat. Setelah itu, ahli ibadah tersebut diam dan berdiri. Ia didatangi malaikat kemudian ia mengeluh kepada malaikat tersebut tentang pukulan salah satu urat kepadanya. Malaikat berkata, “Sesungguhnya Tuhanmu Azza wa Jalla berfirman, “Ibadahmu selama lima puluh tahun sama dengan diamnya urat tersebut”. [26])

Hadits semakna diriwayatkan Al-Hakim [27]) dari riwayat Sulaiman bin Haram Al-Qurasyi dari Muhammad bin Al-Munkadir dari Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda bahwa Malaikat Jibril bercerita kepada beliau tentang seorang ahli ibadah yang beribadah kepada Allah di salah satu puncak gunung di laut selama lima ratus tahun kemudian ia meminta Tuhannya mematikannya dalam keadaan sujud. Malaikat Jibril berkata, "Kami berjalan melewatinya ketika turun naik dan kami dapati di Kitab bahwa ahli ibadah tersebut dibangkitkan pada Hari Kiamat kemudian diberdirikan di hadapan Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Masukkan hamba-Ku ini ke surga dengan rahmat-Ku”. Ahli ibadah tersebut berkata, “Tuhanku, dengan amalku?” Ia berkata seperti itu hingga tiga kali kemudian Allah berfirman kepada para malaikat, “Ukurlah nikmat-Ku padanya dengan amalnya.” Para malaikat melihat, ternyata nikmat mata menghabiskan ibadah selama lima ratus tahun dan nikmat-nikmat jasadnya masih tersisa untuknya. Allah berfirman, “Masukkan hamba-Ku ini ke neraka.” Ahli ibadah tersebut pun diseret ke neraka kemudian ia berseru kepada Tuhannya, “Dengan rahmat-Mu, masukkan aku ke surga. Dengan rahmat-Mu.” Lalu Allah memasukkannya ke surga. Hai Muhammad, sesungguhnya segala sesuatunya itu dengan rahmat Allah”.

Tentang Sulaiman bin Haram, Al-Uqaili [28]) berkata, "Identitasnya tidak diketahui dan haditsnya tidak kuat”.

Al-Kharaithi [29]) meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat kelemahan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Pada Hari Kiamat, seseorang didatangkan kemudian diberdirikan di hadapan Allah Azza wa jalla. Allah berfirman kepada para malaikat, “Lihatlah amal hamba-Ku dan nikmat-Ku padanya”. Para malaikat melihat kemudian berkata, Amalnya tidak sebanding dengan salah satu nikmat dari nikmat-nikmat-Mu padanya”. Allah berfirman, “Lihatlah amalnya; baik buruknya”. Para malaikat melihat, ternyata mereka mendapatkan amalnya pas-pasan. Allah berfirman, “Hamba-Ku, Aku terima kebaikan-kebaikanmu, mengampuni kesalahan-kesalahanmu untukmu, dan menghibahkan kepadamu nikmat-Ku yang ada di antara kebaikan dan kesalahan"

Maksudnya, Allah Ta’ala menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya nikmat-nikmat yang tidak bisa mereka hitung, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak dapat menghitungnya”. (Ibrahim: 34).

Selain itu, Allah menuntut mereka bersyukur dan meridhai syukur mereka. Sulaiman At-Taimi berkata, "Allah memberi nikmat kepada hamba-hamba-Nya sesuai dengan takarannya dan meminta mereka bersyukur sesuai dengan takaran mereka hingga Dia meridhai syukur dengan cara hati mereka mengakui nikmat-nikmat-Nya dan lidah mereka memuji Allah atas nikmat-nikmat tersebut". [30])

Makna tersebut seperti hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan An-Nasa’I dari Abdullah bin Ghannam dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa berkata pada pagi hari, “Ya Allah, tidaklah salah satu nikmat pada diriku di waktu pagi atau pada salah seorang dari makhluk-Mu, melainkan dari-Mu saja yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Untuk-Mu pujian dan syukur“, sungguh ia telah melaksanakan syukur pada hari itu. Barangsiapa mengucapkannya ketika berada di sore hari, ia telah menunaikan syukur pada malamnya tersebut". [31])

Di riwayat An-Nasai, hadits tersebut dari Abdullah bin Abbas. [32])

Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidaklah Allah menganugerahkan nikmat kepada seorang hamba kemudian ia mengetahui nikmat tersebut berasal dari Allah, melainkan Allah menulis syukurnya untuknya sebelum ia mensyukuri nikmat tersebut. Tidaklah seorang hamba berbuat dosa kemudian ia menyesalinya, melainkan Allah menulis ampunan baginya sebelum ia memmta ampunan kepada-Nya”. [33])

Abu Amr Asy-Syaibani berkata bahwa Musa Alaihis Salam berkata, "Tuhanku, jika aku shalat, maka karena-Mu. Jika aku bersedekah, maka karena-Mu. Jika aku menyampaikan risalah-Mu, maka karena-Mu, oleh karena itu, bagaimana cara aku bersyukur kepada-Mu?" Allah berfirman, "Engkau sekarang telah bersyukur kepada-Ku”. [34])

Al-Hasan berkata bahwa Nabi Musa Alaihis Salam berkata, "Tuhanku, bagaimana Adam dapat bersyukur kepada-Mu atas apa yang Engkau perbuat terhadapnya? Engkau menciptakannya dengan Tangan-Mu, meniupkan ruh-Mu ke dalamnya, menempatkannya di surga, dan memerintahkan para malaikat sujud kepadanya.” Allah berfirman, “Hai Musa, Adam mengetahui bahwa itu semua dari-Ku kemudian ia bersyukur kepada-Ku. Itulah syukur atas apa yang Aku perbuat terhadapnya”.

Abu Al-Jild berkata, aku baca tentang permintaan Nabi Daud Alaihis Salam bahwa beliau berkata, "Tuhanku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, padahal aku tidak dapat sampai pada syukur kepada-Mu kecuali dengan nikmat-Mu?" Kemudian wahyu datang kepada Nabi Daud, "Hai Daud, tidakkah engkau tahu bahwa nikmat-nikmat yang ada padamu itu berasal dari-Ku?" Nabi Daud berkata, "Betul, wahai Tuhanku”. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku meridhai itu semua sebagai syukurmu kepada-Ku”. [35])

Abu Al-Jild juga berkata, aku juga baca permintaan Nabi Musa Alaihis Salam bahwa beliau berkata, "Tuhanku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, padahal nikmat terkecil di antara nikmat-nikmat-Mu yang Engkau letakkan padaku itu tidak sebanding dengan seluruh amalku?" Kemudian wahyu datang kepada Nabi Musa, "Hai Musa, sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku”. [36])

Bakr bin Abdullah berkata, "Seorang hamba tidak mengucapkan, “Alhamdulillah,” sekali, melainkan ia wajib mendapatkan nikmat dengan ucapannya, “Alhamdulillah”. Apa balasan perkataannya tersebut? Balasannya ialah ia bisa mengucapkan, “Alhamdulillah”, kemudian datanglah nikmat yang lain. Nikmat-nikmat Allah tidak pernah habis”. [37])

Ibnu Majah [38]) meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidaklah Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba kemudian ia mengatakan, “Alhamdulillah”, melainkan apa yang ia berikan itu lebih baik daripada apa yang ia ambil”.

Hadits semakna, kami riwayatkan dari riwayat Syahr bin Husyab dari Asma’ binti Yazid dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [39])

Perkataan tersebut juga diriwayatkan dari Al-Hasan. [40])

Salah seorang pegawai Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz. Dalam suratnya, ia berkata, "Aku berada di daerah yang di dalamnya terdapat banyak sekali nikmat, hingga aku merasa prihatin kepada penduduknya karena mereka sedikit bersyukur”. Umar bin Abdul Aziz membalas surat pegawainya tersebut dan berkata dalam suratnya, "Sungguh aku lihat engkau lebih tahu tentang Allah daripada tentang engkau sendiri. Jika Allah memberi salah satu nikmat kepada seorang hamba kemudian ia memuji Allah atas nikmat tersebut, melainkan pujian-Nya kepada Allah lebih baik daripada nikmat-Nya. Jika engkau tidak mengetahui hal ini, kecuali dari Kitabullah, maka Allah Ta’ala berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman”. (An-Naml: 15). Allah juga berfirman, Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan, sehingga apabila mereka sampai ke surga sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, Kesejahteraan atas kalian, berbahagialah kalian, maka masukilah surga ini, sedang kalian kekal di dalamnya. Dan mereka mengucapkan, Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat di surga di mana saja yang kami kehendaki”, maka surga itulah sebaik-baikbalasan bagi orang-orang yang beramal”. (Az-Zumar: 73). Adakah nikmat yang lebih baik daripada masuk surga?" [41])

Ibnu Abu Ad-Dunya menyebutkan di kitab Asy-Syukr [42]) dari salah seorang ulama yang membenarkan pendapat ini, maksudnya pendapat bahwa pujian kepada Allah itu lebih baik daripada nikmat-nikmat. Ibnu Abu Ad-Dunya juga meriwayatkan dari Ibnu Uyainah bahwa ia menyalahkan orang yang berpendapat seperti itu. Ibnu Uyainah berkata, "Perbuatan hamba tidak mungkin lebih baik daripada perbuatan Allah Azza wa jalla”.

Namun pendapat yang benar ialah pendapat ulama yang membenarkan pendapat bahwa pujian lebih baik daripada nikmat, karena yang dimaksud dengan nikmat-nikmat tersebut ialah nikmat-nikmat dunia, seperti kesembuhan, rezki, kesehatan, dijaga dari hal-hal yang tidak mengenakkan, dan lain sebagainya, sedang perkataan alhamdulillah merupakan salah satu nikmat agama. Kedua nikmat tersebut; nikmat dunia dan nikmat agama, adalah nikmat dari Allah, namun nikmat Allah kepada hamba-Nya dalam bentuk Dia memberi petunjuk kepadanya untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan memuji atas nikmat-nikmatNya itu lebih baik daripada nikmat-nikmat dunia yang Dia berikan kepada hamba-Nya, karena jika nikmat-nikmat dunia tidak disikapi dengan syukur, maka nikmat dunia tersebut menjadi petaka, seperti dikatakan Abu Hazim, "Setiap nikmat yang tidak mendekatkan pemiliknya kepada Allah adalah petaka”. [43]) Jadi, jika Allah membimbing hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat-nikmat dunia-Nya dengan pujian dan jenis-jenis syukur lainnya, maka nikmat ini lebih baik daripada seluruh nikmat dan lebih dicintai Allah Azza wa jalla, karena Allah mencintai puji-pujian, meridhai hamba-Nya yang jika makan makanan maka memuji Allah atas nikmat makanan tersebut dan jika minum minuman maka ia memuji Allah atas minuman tersebut. Bagi orang-orang dermawan, sanjungan terhadap nikmat-nikmat, pujian atasnya, dan menyukurinya itu lebih mereka cintai daripada harta mereka, sebab mereka memberikan harta justru untuk mendapatkan sanjungan. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang paling dermawan. Dia memberikan nikmat-nikmatNya kepada hamba-hamba-Nya dan meminta mereka menyanjung nikmat-nikmat tersebut, menyebut-nyebutnya, memujinya, dan Dia meridhai itu semua sebagai syukur mereka atasnya. Kendati itu semua berasal dari karunia Allah kepada mereka, Dia tidak membutuhkan syukur mereka, namun Dia menyukainya dikerjakan hamba-hamba-Nya, karena kebaikan, keberuntungan, dan kesempurnaan seorang hamba itu ada pada syukur. Di antara karunia Allah, bahwa Dia mengatasnamakan pujian dan syukur kepada hamba-hamba-Nya, kendati itu merupakan nikmat-Nya yang paling agung pada mereka. Ini seperti Allah memberikan harta kepada mereka kemudian Dia meminjam sebagiannya dan memuji mereka karena pemberian mereka, padahal semua yang ada adalah milik Allah dan merupakan karunia-Nya, namun karunia-Nya menghendaki hal yang demikian. Dari sini bisa diketahui makna atsar yang diriwayatkan secara mauquf dan marfu’.

"Segala puji bagi Allah dengan pujian yang memenuhi nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi penambahan-Nya”.

Kita kembali kepada syarah hadits, "Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya", maksudnya, sedekah yang diwajibkan kepada anak keturunan Adam mewakili seluruh tulang tersebut dilakukan di setiap hari dari hari-hari dunia, karena terkadang hari dikonotasikan kepada beberapa hari misalnya hari Shiffin, maksudnya beberapa hari. Terkadang hari juga dikonotasikan kepada waktu secara mutlak, seperti difirmankan Allah Ta‘ala,

"Ingatlah di waktu adzab datang kepada mereka tidaklah dapat dipalingkan dari mereka dan mereka diliputi oleh adzab yang dahulunya mereka selalu memperolok-olokkannya”. (Huud: 8).

Terkadang, hari dikonotasikan kepada malam dan siang. Jika dikatakan, "Di setiap hari dimana matahari terbit di dalamnya", maka bisa diketahui bahwa sedekah wajib bagi anak keturunan Adam di setiap hari dari hari-hari dunia di mana ia hidup di dalamnya. Tekstual hadits menunjukkan bahwa syukur dengan sedekah itu wajib bagi orang Muslim di setiap hari, namun syukur terbagi ke dalam dua tingkatan;

Pertama: Syukur wajib, yaitu syukur dalam bentuk mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Syukur seperti ini wajib dan sudah cukup sebagai tanda syukur atas seluruh nikmat. Ini dibenarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud [44]) dari Abu Al-Aswad Ad-Dili yang berkata bahwa kami berada di tempat Abu Dzar kemudian ia berkata, "Pada pagi hari, setiap persendian salah seorang dari kalian wajib bersedekah di setiap hari. Baginya, setiap shalat adalah sedekah, puasa adalah sedekah, haji adalah sedekah, tasbih adalah sedekah, takbir adalah sedekah, dan tahmid adalah sedekah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebut satu per satu amal perbuatan tersebut kemudian bersabda, “Dua raka’at shalat dhuha sudah cukup bagi salah seorang dari kalian dari itu semua”. Sebelumnya disebutkan hadits Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika ia tidak bisa melakukannya, hendaklah ia menahan diri dari keburukan, karena itu sedekah”. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang tidak mengerjakan salah satu keburukan maka itu sudah cukup baginya. Namun, ia harus menjauhi keburukan jika ia mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, karena syirik terbesar ialah tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban. Dari sini, salah seorang generasi salaf berkata, "Syukur ialah meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan”. Salah seorang dari generasi salaf lainnya berkata, "Syukur ialah tidak menggunakan salah satu nikmat untuk kemaksiatan”. [45])

Abu Hazim menyebutkan bahwa syukur ialah syukur dengan seluruh organ tubuh, menahan diri dari kemaksiatan-kemaksiatan, dan menggunakan semua organ tubuh ke dalam ketaatan-ketaatan. Setelah itu, Abu Hazim berkata, "Adapun orang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan seluruh organ tubululya, maka perumpamaannya seperti orang yang mempunyai pakaian; ia memegang ujungnya, namun tidak mengenakannya. Pakaian seperti itu tidak bermanfaat baginya dari panas, dingin, salju, dan hujan”. [46])

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, "Hendaklah seorang hamba melihat nikmat-nikmat Allah di badan, telinga, mata, kedua tangan, kedua kakinya, dan organ tubuh lainnya. Di dalam itu semua terdapat salah satu nikmat Allah Azza wa Jalla. Seorang hamba harus menggunakan nikmat-nikmat di badannya untuk Allah Azza wa Jalla, yaitu dalam ketaatan kepada-Nya. Nikmat Allah lainnya ialah rezki. Seorang hamba harus menggunakan rezki yang diberikan Allah kepadanya dalam ketaatan kepada-Nya. Barangsiapa melakukan itu semua, ia telah memegang tali syukur, pondasi dan cabangnya”. [47])

Al-Hasan melihat seseorang berjalan dengan sombong kemudian ia berkata, "Di setiap organ tubuh orang tersebut terdapat nikmat Allah. Ya Allah, jangan jadikan kami termasuk orang-orang yang menggunakan nikmat-nikmat-Mu untuk bermaksiat kepada-Mu”.

Kedua. Syukur sunnah, maksudnya seorang hamba mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. Ini tingkatan para as-sabiquun (orang-orang yang lebih dahulu kepada kebaikan) yang didekatkan kepada Allah. Tingkatan inilah yang ditunjukkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh dalam shalat dan qiyamul lail, hingga kedua kakinya bengkak. Jika beliau ditanya, "Kenapa engkau berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang silam dan yang akan datang?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” [48])

Salah seorang generasi salaf berkata, "Ketika Allah Ta’ala berfirman, “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah)”. (Saba”: 13). Maka sesaat pun dari malam dan siang tidak datang kepada mereka, melainkan di antara mereka ada orang yang shalat”. [49])

Inilah, padahal sebagian amal perbuatan yang disebutkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah wajib; baik fardhu ain seperti berjalan ke tempat shalat menurut yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah adalah wajib, atau fardhu kifayah seperti amar ma’ruf, nahi mungkar, menolong orang yang kelaparan, dan adil terhadap manusia; dalam memutuskan perkara mereka atau mendamaikan mereka, karena diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sedekah yang paling baik ialah mendamaikan orang-orang yang beperkara”. [50])

Di antara jenis-jenis sedekah yang diisyaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ada yang manfaatnya dirasakan semua pihak, misalnya mendamaikan pihak-pihak yang beperkara, membantu orang dengan menaikkannya ke kendaraannya, atau mengangkat peralatan (perbekalan)nya ke atas kendaraannya, berkata baik termasuk di dalamnya mengucapkan salam, mendoakan orang yang bersin dengan mengatakan, "Yarhamukallahu", menjauhkan gangguan dari jalanan, amar ma’ruf, nahi munkar, mengubur dahak di masjid, membantu orang yang mempunyai kebutuhan dan kelaparan, memperdengarkan orang tuli, membantu orang yang penglihatannya lemah, dan menunjukkan jalan kepada orang buta atau lainnya. Disebutkan di salah satu riwayat hadits Abu Dzar, "Dan penjelasanmu mewakili al-artam adalah sedekah”. Al-Artam ialah orang yang tidak bisa bicara karena ada penyakit di lidahnya atau bahasanya tidak jelas, untuk itu, seseorang menjelaskan mewakilinya tentang apa yang saja yang perlu untuk dijelaskan.

Dan ada sedekah yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya, seperti sedekah dalam bentuk tasbih, takbir, tahmid, tahlil, berjalan ke tempat shalat, dan shalat Dhuha dua raka’at. Dua raka’at shalat Dhuha mengkafer tasbih, takbir, dan lain-lain, karena shalat adalah penggunaan seluruh organ tubuh dalam ketaatan dan ibadah. Jadi, shalat cukup sebagai tanda syukur atas kesempurnaan seluruh organ tubuh, sedang bentuk sedekah sebelumnya; tasbih, takbir, dan lain-lain, sebagian besar daripadanya hanya menggunakan salah satu dari organ tubuh, oleh karenanya, sedekah tidak sempurna dengannya hingga seseorang mengerjakan sedekah sejumlah persendian badan, yaitu tiga ratus enam puluh seperti disebutkan di hadits Aisyah Radhiyallahu Anha.

Di Al-Musnad [51]) disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tahukah kalian, apa sedekah yang paling utama dan baik?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Yaitu pemberian, yaitu engkau memberi saudaramu beberapa dirham, atau seekor hewan kendaraan, atau susu kambing, atau susu sapi”.

Yang dimaksud dengan pemberian dirham ialah meminjamkannya, pemberian dalam bentuk permukaan hewan kendaraan ialah meminjamkan hewan kendaraan kepada orang yang bisa menaikinya, pemberian dalam bentuk susu kambing atau susu sapi ialah memberikan kambing atau sapi kepada saudaranya agar ia meminum susu dari kedua hewan tersebut kemudian mengembalikan keduanya kepada pemiliknya. Jika pemberian dibuat mutlak, maka itulah maksudnya.

Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa memberi pemberian dalam bentuk susu, atau perak, atau memberi petunjuk jalan di jalan sempit, ia mendapatkan pahala seperti memerdekakan budak”. [52])

At-Tirmidzi berkata, "Makna sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa memberi pemberian dalam bentuk perak”, ialah meminjamkan beberapa dirham. Memberi petunjuk jalan di jalan yang sempit ialah menunjukkan jalan”.

Al-Bukhari [53]) meriwayatkan hadits dari Hassan bin Athiyah dari Abu Kabsyah As-Saluli yang berkata, aku dengar Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Ada empat puluh kebiasaan dan yang paling tinggi ialah pemberian dengan kambing betina. Tidaklah seseorang mengerjakan salah satu kebiasaan tersebut karena mengharap pahalanya dan membenarkan janjinya, melainkan Allah memasukkannya ke surga dengan sifat tersebut”.

Hassan bin Athiyah berkata, "Kami menghitung selain pemberian dalam bentuk kambing betina, misalnya menjawab salam, mendoakan orang bersin, menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan lain sebagainya, namun kami tidak mampu menghitung hingga lima belas kebiasaan”.

Di Shahih Muslim [54]) disebutkan hadits dari Jabir Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Hak unta ialah susunya diperah (disedekahkan) ketika ia tiba di air, timbanya dipinjamkan, pejantannya dipinjamkan, dipinjamkan untuk dimanfaatkan, dan dinaiki di jalan Allah”.

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Jabir Radluyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Setiap kebaikan adalah sedekah dan di antara kebaikan ialah engkau berjumpa saudaramu dengan wajah ceria dan mengisi wadahnya dari timbamu”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim dan lain-lain dengan penambahan,

“Apa yang diinfakkan seseorang kepada diri dan keluarganya, ditulis sedekah baginya dengannya dan apa saja yang ia gunakan untuk menjaga kehormatannya ditulis sebagai sedekah baginya dengannya. Semua infak yang diinfakkan seorang Mukmin, maka Allah berhak menggantinya kecuali nafkah dalam kemaksiatan atau bangunan”. [55])

Di Al-Musnad [56]) disebutkan hadits dari Abu Jurai Al-Hujaimi yang berkata bahwa aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang kebaikan kemudian beliau bersabda,

"Engkau jangan sekali-kali meremehkan salah satu kebaikan kendati engkau hanya menyambung hubungan tali, memberi tali sandal, memenuhi wadah orang yang meminta air dari timbamu, menyingkirkan sesuatu yang mengganggu manusia dari jalan mereka, berjumpa saudaramu sedang wajahmu mengarah kepadanya, berjumpa saudaramu kemudian engkau mengucapkan salam kepadanya, dan menentramkan orang yang kesepian di bumi”.

Di antara bentuk sedekah ialah menahan diri dari mengganggu manusia dengan tangan dan lisan, seperti disebutkan di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Dzar, aku berkata,

"Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah yang paling baik?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Iman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya”. Aku berkata, “Jika aku tidak mengerjakannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau membantu orang trampil atau bekerja untuk orang yang tidak trampil”. Aku berkata, "Bagaimana pendapatmu, jika aku tidak mampu mengerjakan salah satu pekerjaan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau tahan keburukanmu kepada manusia, karena itu sedekah”. [57])

Di Shahih Ibnu Hibban [58]) disebutkan hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku berkata,

"Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku perbuatan yang jika dikerjakan seorang hamba maka ia masuk surga”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia beriman kepada Allah”. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya iman mempunyai amal perbuatan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Memberi dengan sesuatu yang diberikan Allah”. Aku berkata, “Jika ia miskin tidak mempunyai apa-apa?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia mengatakan kebaikan dengan lidahnya”. Aku berkata, “jika ia gagap dan lisannya tidak bisa menjelaskannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ia membantu orang yang dikalahkan”. Aku berkata, “Jika ia lemah tidak mempunyai kekuatan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Hendaklah ia berbuat untuk orang yang tidak trampil (tidak bisa bekerja)”. Aku berkata, “Jika ia juga orang yang tidak trampil". Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menoleh kepadaku kemudian bersabda, "Kebaikan apa yang ingin engkau tinggalkan pada sahabatmu? Hendaklah ia meninggalkan manusia dari gangguannya”. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, ini semua amat mudah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang hamba mengerjakan salah satu perbuatan yang ia inginkan untuk mendapatkan apa yang ada di sisi Allah, melainkan perbuatan tersebut memegang tangannya pada Hari Kiamat hingga ia masuk surga”.

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mensyaratkan niat yang ikhlas bagi seluruh perbuatan, seperti terlihat di hadits Abdullah bin Amr yang di dalamnya disebutkan tentang empat puluh kebiasaan. Ini persis seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia dan barangsiapa berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. (An-Nisa’: 114).

Diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ibnu Sirin yang berkata bahwa pengerjaan kebaikan diberi pahala kendati tanpa niat. Al-Hasan pernah ditanya tentang seseorang yang dimintai sesuatu oleh orang lain dan ia membencinya kemudian ia memberinya karena malu; apakah orang tersebut diberi pahala? Al-Hasan menjawab, "Itu pasti termasuk kebaikan dan di kebaikan terdapat pahala”. (Diriwayatkan Humaid bin Zanjawih).

Ibnu Sirin pernah ditanya tentang orang yang mengantarkan jenazah tidak karena mengharapkan pahala namun karena malu kepada keluarga jenazah; apakah ia mendapatkan pahala? Ibnu Sirin menjawab, "Ia mendapatkan satu pahala, atau bahkan dua pahala; satu pahala karena ikut menshalati saudaranya dan satu pahala karena menyambung kekerabatan dengan orang yang masih hidup (keluarga jenazah)”. (Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah). [59]

Di antara jenis sedekah yang lain ialah menunaikan hak-hak Muslim atas Muslim lainnya dan sebagiannya telah disebutkan di hadits-hadits sebelumnya. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Hak orang Muslim atas orang Muslim lainnya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang bersin”. Di riwayat Muslim disebutkan, "Hak orang Muslim atas orang Muslim lainnya ada enam”. Ditanyakan, "Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullah?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika engkau bertemu dengannya maka engkau mengucapkan salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka engkau memenuhinya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia, jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia mati maka antarkan (jenazah)nya”. [60])

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu Anhu yang berkata,

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan tujuh hal kepada kami; menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, mendoakan orang yang bersin, membebaskan sumpah, menolong orang yang didzalimi, merespon orang yang mengundang, dan menyebarkan salam”. Di riwayat Muslim disebutkan, "Memberi petunjuk jalan kepada orang yang tersesat sebagai ganti membebaskan sumpah”. [61])

Di antara jenis sedekah lainnya ialah berjalan untuk melaksanakan hak-hak manusia yang bersifat wajib. Ibnu Abbas berkata, "Barangsiapa berjalan karena hak saudaranya padanya untuk menunaikannya, maka setiap langkahnya adalah sedekah”. [62])

Jenis sedekah lain lainnya ialah memberi tempo waktu kepada orang berhutang yang mengalami kesulitan pembayaran hutang. Di Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah disebutkan hadits dari Buraidah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang berhutang yang mengalami kesulitan pembayaran hutang, maka ia mendapatkan sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo waktu lagi kepadanya, maka ia mendapatkan sedekah pada setiap hari semisalnya”. [63])

Jenis sedekah lainnya ialah berbuat baik kepada hewan seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya tentang pemberian air minum kepadanya, "Di setiap hati yang basah terdapat pahala”. [64]) Beliau juga menjelaskan bahwa wanita pelacur memberi air kepada anjing yang terengah-engah karena kelaparan kemudian Allah mengampuni dosa-dosanya. [65])

Sedang sedekah yang terbatas pada diri pelakunya contohnya ialah berbagai jenis dzikir seperti tasbih, takbir, tahmid, tahlil, istighfar, shalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, membaca Al-Qur’an, berjalan ke masjid, duduk di masjid untuk menunggu waktu shalat, atau untuk membaca Al-Qur’an.

Contoh lainnya ialah tawadhu’ dalam berpakaian, gaya jalan, kerja dengan serius, mencari dan uang halal.

Contoh lainnya ialah mengevaluasi diri atas perbuatan-perbuatan yang telah dikerjakan, menyesal dan bertaubat dari dosa-dosa masa lalu, sedih karenanya, merendahkan diri, memarahinya karena Allah Azza wa jalla, menangis karena takut kepada Allah Ta’ala, memikirkan (tafakkur) kerajaan langit dan bumi, memikirkan urusan-urusan akhirat dan apa saja yang ada di dalamnya, misalnya janji, ancaman, dan lain sebagainya, yang menyebabkan iman bertambah di hati dan melahirkan banyak sekali perbuatan-perbuatan hati seperti takut, cinta, berharap, tawakkal, dan lain sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa tafakkur lebih baik daripada ibadah-ibadah badan yang bersifat sunnah. Pendapat ini diriwayatkan dari sejumlah generasi tabi’in, di antaranya Sa’id bin Al-Musaiyyib, Al-Hasan, dan Umar bin Abdul Aziz. Perkataan Imam Ahmad membenarkan hal tersebut. Ka’ab berkata, "Jika aku menangis karena takut kepada Allah, maka itu lebih aku sukai daripada aku bersedekah dengan dua timbangan emas”. [66])

 



[1] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2707, 2891, 2989 dan Muslim hadits nomer 1009. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3381.

[2] Hadits nomer 928 dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih.

[3] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 1007. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thahawi di Syarhu Musykilil Atsaar hadits nomer 99 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3380.

[4] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 720.

[5] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/354, Abu Daud hadits nomer 5242, dan Ath-Thahawi di Syarhu Musykilil Atsaar hadits nomer 99. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1643, 2540.

[6] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1445, 6022 dan Muslim hadits nomer 1008.

[7] Hadits nomer 299. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’la hadits nomer 2434, 2435, Al-Bazzar hadits nomer 926, dan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 11791, 11792 dari jalur Sammak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Pada riwayat Sammak dari Ikrimah terdapat kerancuan, namun menjadi kuat dengan hadits-hadits sebelumnya.

[8]

[9] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 639 dan Al-Ausath. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 3/237, Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi yang biografinya tidak aku ketahui”.

[10] Aku tidak mendapatkan takhrij hadits di atas di selain Ibnu Rajab”. Hadits nomer 3377. Hadits di atas telah ditakhrij sebelumnya.

[11] Di Gharibul Hadits 3/10-11.

[12] Hal yang sama dikatakan Qatadah. Itu diriwayatkan darinya oleh Abdu bin Humaid dan Ibnu Abu Hatim seperti terlihat di Ad-Durrul Mantsur 8/521

[13] Di AsySyukr hadits nomer 100.

[14] Ibid., hadits nomer 102.

[15] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 3/22.

[16] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 122.

[17] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di buku Asy-Syukr hadits nomer 182.

[18] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/210 dari perkataan Abu Ad-Darda’.

[19] Hadits nomer 642. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 1/258, 344, Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 1, At-Tirmidzi hadits nomer 2304, Ibnu Majah hadits nomer 4170, dan AlQudhai di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 295.

[20] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3358. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 7364.

[21] Diriwayatkan Hanad bin As-Suri di Az-Zuhdu hadits nomer 694 dan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 30/284. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 8/612 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Al-Mundzir, Abdu bin Humaid, Ibnu Mardawih, dan Al-Baihaqi di Syuabul Iman.

[22] Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 4/584. As-Suyuthi berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Abdullah bin Ahmad di Zawaaiduz Zuhdi dan Ibnu Mardawih.

[23] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Jamiul Bayan 30/286. As-Suyuthi bcrkata di Ad-Durrul Mantsur 8/612 bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Hatim, Ibnu Mardawih, dan Al-Baihaqi di Syuabul Iman. Ali bin Abu Thalhah tidak mendengar perkataan di atas dari Ibnu Abbas.

[24] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath hadits nomer 1604. Hadits tersebut dianggap dhaif oleh Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/420 karena keberadaan perawi Ayyub bin Utbah yang merupakan perawi dhaif.

Hadits tersebut disebutkan As-Suyuthi di Ad-Durrul Mantsur 8/365 dan berkata bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Mardawih dan Ibnu Asakir.

[25] Di As-Syukr hadits nomer 24. Di sanadnya terdapat perawi Shalih bin Musa yang tidak bisa dijadikan hujjah.

[26] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 148 dan dari jalurnya oleh Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/68.

[27] Di Al-Mustadrak 2/250. Ia berkata, "Sanad hadits tersebut shahih, karena Sulaiman bin Haram termasuk orang-orang Syam yang zuhud dan Al-Laits bin Sa’ad tidak meriwayatkan hadits dari para perawi yang tidak diketahui identitasnya”. Perkataan Al-Hakim tersebut ditolak Ad-Dzahabi yang berkata, "Tidak demi Allah. Sulaiman bin Haram tidak dapat dijadikan pijakan”.

Adz-Dzahabi berkata di biografi Sulaiman bin Haram di Al-Mizan 2/228 setelah mengetengahkan hadits tersebut dari jalurAl-Hakim, "Hadits ini tidak shahih, karena Allah Ta’ala berfirman, “Masuklah kalian ke surga dengan apa yang telah kalian kerjakan“, namun amal seseorang tidak bisa menyelamatkan pelakunya dari siksa Allah seperti disebutkan di hadits shahih”. Betul sekali. Sesungguhnya amal-amal shalih kita termasuk karunia Allah dan nikmat-Nya kepada kita dan bukan berasal dari daya dan upaya kita. Segala puji bagi Allah.

[28] Di Adh-Dhua’afa’ 2/144. Ia juga meriwayatkan hadits di atas.

[29] Di Fadhilatusy Syukri hadits nomer 57 dan sanadnya dhaif

[30] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 8.

[31] Hadits hasan diriwayatkan Abu Daud hadits norner 5073, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 7, dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 307.

[32] Dari Abdullah bin Abbas, hadits tersebut diriwayatkan Ibnu As-Sunni di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 41. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 306. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 861. Banyak sekali ulama yang menegaskan bahwa riwayat orang yang meriwayatkan hadits di alas dari Ibnu Abbas itu tidak benar, namun yang benar ialah riwayat orang yang meriwayatkannya dari Abdullah bin Ghannam.

[33] Diriwayatkan Al-Hakim 1/514. ia berkata "Aku tidak mengetahui seorang pun yang mencacat sanad hadits di atas”. Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadits tersebut. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 47 dan di sanadnya terdapat perawi Hisyam bin Ziyad yang tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 4/253 dari jalur Ibnu Abu Ad-Dunya dan ia menshahihkannya, namun ditentang Adz-Dzahabi yang berkata, "Hadits tersebut tidak shahih, karena Hisyam tidak bisa dijadikan hujjah”. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 5/119 dan berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Al-Haitsami berkata”. Di sanadnya terdapat Sulaiman bin Rawad Al-Manqari yang merupakan perawi dhaif.

[34] Diriwayatkan Al-Kharaithi di Fadhilatusy Syukr hadits nomer 39.

[35] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya hadits nomer 5, Imam Ahmad di Az-Zuhdu hal. 29, dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 6/56 dari jalurnya.

[36] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya hadits nomer 6, Imam Ahmad di Az-Zuhdu hal. 67, dan Abu Nu’aim 6/56 dari jalurnya.

[37] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 7.

[38] Hadits nomer 3805. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Kharaithi di Asy-Syukr hadits nomer 1 dan sanadnya hasan.

[39] Ada catatan tentang Syahr bin Hausyab.

[40] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 111.

[41] Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim di Tafsirnya seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 3/370.

[42] Hadits nomer 11.

[43] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 20 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 3/230 dari jalunrya.

[44] Hadits nomer 1286. Baca juga Shahih Muslim hadits nomer 720.

[45] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 19 dari Makhlad bin Husain yang berkata, "Ada yang berkata, “…“, kemudian ia menyebutkan perkataan di atas”. Perkataan di atas juga diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 41 dari Makhlad bin Husain dari Muhammad bin Luth.

[46] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 129 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 3/243 dari jalur Ibnu Abu Ad-Dunya.

[47] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 188.

[48] Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 4/251, Al-Bukhari hadits nomer 1130, 4836, 6471, Muslim hadits nomer 2819, At-Tirmidzi hadits nomer 412, An-Nasai 3/219, dan Ibnu Majah hadits nomer 1419. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 311.

Dari Aisyah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 6/115 dan Al-Bukhari hadits nomer 4837.

[49] Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya di Asy-Syukr hadits nomer 74 dari Mas’ar. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abu Hatim di Tafsirnya seperti terlihat di Tafsir Ibnu Katsir 3/536 dari Tsabit bin Al-Bunani.

[50] Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 2059. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/80 dan berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani.

Al-Haitsami berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Abdurrahman bin Ziyad bin An’am yang merupakan perawi dhaif”.

[51] Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 947. Di sanadnya terdapat perawi Ibrahim bin Muslim Al-Hijri yang merupakan perawi dhaif. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 3/133 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’la dan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Ia berkata, "Para perawi Imam Ahmad adalah para perawi shahih”.

[52] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/285, 286, 287, 300, 340 dan At-Tirmidzi hadits nomer 1957. At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut hasan shahih”. Hadits tersebut juga dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5096.

[53] Hadits nomer 2631. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/160 dan Abu Daud hadits nomer 1683. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5095.

[54] Hadits nomer 988.

[55] Hadits hasan diriwayatkan Imam Ahmad 3/344. 360. At-Tirmidzi hadits nomer 1970, dan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 304. Hadits tersebut dianggap hasan oleh At-Tirmidzi dan di sanadnya terdapat perawi Al-Munkadir bin Muhammad bin Al-Munkadir yang haditsnya lemah. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim dengan penambahan yang disebutkan Ibnu Rajab 2/50 dan di sanadnya terdapat perawi Abdul Hamid bin Al-Hasan Al-Hilal yang merupakan perawi dhaif. Ia juga perawi dhaif menurut Abu Ya’la hadits nomer 2040.

[56] 5/63. Sanad hadits tersebut shahih.

[57] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2518, Muslim hadits nomer 84, dan Imam Ahmad 5/150. Baca Ibnu Hibban hadits nomer 152.

[58] Hadits nomer 373. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[59] 2/264.

[60] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1240, Muslim hadits nomer 2162, dan Imam Ahmad 2/322, 372. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits 241 dan 242.

[61] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1239. Muslim hadits nomer 2066, Imam Ahmad 4/284, 299, An-Nasai 4/54, dan At-Tirmidzi hadits nomer 2809. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 340.

[62] Disebutkan As-Suyuthi di Al-Jami’ Al-Kabir 2/838 dari Ibnu Abbas. Ia menambahkan bahwa perkataan tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani dan Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi.

[63] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/351, 360 dan Ibnu Majah hadits nomer 2418. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 2/29 dengan disetujui Adz-Dzahabi.

[64] Diriwayatkan Imam Ahmad 2/375, 517, Al-Bukhari hadits nomer 2363, 2466, dan Muslim hadits nomer 2244. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 544.

[65] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/507, Al-Bukhari hadits nomer 3467, Muslim hadits nomer 2245. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 386.

[66] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 5/366.

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah