Sunday, November 30, 2025

Hadits Arbain 25: Sedekah Orang Miskin

  

الْحَدِيثُ الْخَامِسُ وَالْعِشْرُونَ. عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيْضًا «أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ، وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ، قَالَ: أَوَلَيَسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

 

Dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu bahwa beberapa orang dari sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi dengan banyak pahala. Mereka shalat seperti kita shalat, berpuasa seperti kita berpuasa, dan bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu bagi kalian yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya di setiap tasbih terdapat sedekah, di setiap takbir terdapat sedekah, di setiap tahmid terdapat sedekah, di setiap tahlil terdapat sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, dan di hubungan suami-stri salah seorang dari kalian adalah sedekah”. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya (kebutuhan biologisnya) maka ia mendapatkan pahala di dalamnya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bagaimana menurut kalian, jika kalian melampiaskan syahwatnya (kebutuhan biologisnya) di tempat haram, bukankah ia mendapatkan dosa karenanya? Begitu juga, jika ia melampiaskannya ke tempat halal, maka ia mendapatkan pahala karenanya”. (Diriwayatkan Muslim). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan Muslim dari riwayat Yahya bin Ya’mar dari Abu Al-Aswad Ad-Dili dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu. Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Dzar dari banyak jalur dengan penambahan dan pengurangan. Sebagiannya akan saya sebutkan setelah ini, Insya Allah.

Di hadits bab di atas terdapat bukti bahwa para sahabat, karena kuatnya keinginan mereka kepada amal-amal shalih dan kebaikan, mereka sedih sebab tidak dapat mengerjakan kebaikan yang dikerjakan selain mereka. Orang-orang miskin dari mereka sedih sebab tidak bersedekah dengan harta seperti yang dilakukan orang-orang kaya dari mereka. Mereka sedih tidak bisa berangkat ke medan jihad karena tidak mempunyai bekal. Itu dijelaskan Allah di Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan juga tidak (ada dosa) bagi orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan lalu kamu berkata, Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian, ”lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan”. (At-Taubah: 92).

Di hadits di atas juga terdapat bukti bahwa orang-orang miskin ingin seperti orang-orang kaya dalam mendapatkan pahala bersedekah dengan harta kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada orang-orang miskin tentang sedekah-sedekah yang mampu mereka kerjakan.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim [2]) disebutkan hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa orang-orang miskin kaum Muhajirin datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata,

"Orang-orang kaya pergi dengan membawa derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan abadi”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apa itu?" Orang-orang miskin dari kaum Muhajirin berkata, "Mereka shalat seperti kita shalat, berpuasa seperti kita berpuasa, bersedekah sedang kita tidak bersedekah, dan memerdekakan budak sedang kita tidak memerdekakan budak”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Maukah kalian aku ajari sesuatu yang dengannya kalian bisa mengejar orang yang mendahului kalian, dan kalian mengungguli orang-orang setelah kalian, serta tidak ada seorang pun yang lebih baik daripada kalian kecuali orang yang mengerjakan seperti yang kalian kerjakan?" Orang-orang miskin dari kaum Muhajirin berkata, "Mau, wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setelah setiap shalat sebanyak tiga puluh tiga kali”. Abu Shalih berkata, "Orang-orang miskin dari kaum Muhajirin tersebut menghadap kembali kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian berkata, Saudara-saudara kami dari orang-orang kaya mendengar apa yang kami kerjakan kemudian mereka mengerjakan apa yang kami kerjakan”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki".

Hadits semakna diriwayatkan dari riwayat sejumlah sahabat, di antaranya Ali bin Abu Thalib [3]), Abu Dzar, Abu Ad-Darda’ [4]), Ibnu Umar [5]), Ibnu Abbas, dan lain-lain.

Ini artinya bahwa orang-orang miskin menduga bahwa sedekah itu dengan harta dan mereka tidak dapat melakukannya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada mereka bahwa seluruh perbuatan baik dan kebajikan adalah sedekah. Di Shahih Muslim [6]) disebutkan hadits dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Semua perbuatan yang baik adalah sedekah”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari [7]) dari Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jadi, sedekah itu dikonotasikan kepada seluruh perbuatan yang baik dan kebajikan, bahkan, karunia Allah yang sampai kepada hamba-hamba-Nya adalah sedekah dari-Nya kepada mereka. Sebagian generasi salaf menentang pendapat ini dan berkata bahwa sedekah itu dari orang yang mengharapkan balasan dan pahala. Namun pendapat yang benar ialah kebalikannya yaitu pendapat sebelumnya, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang meng-qashar shalat di perjalanan,

"Ini sedekah yang disedekahkan Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya”. (Diriwayatkan Muslim). [8]

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,

Barangsiapa mempunyai shalat pada suatu malam kemudian ia mengantuk dan tidur tanpa mengerjakannya, maka Allah mencatat pahala shalat baginya dan tidurnya adalah sedekah dari Allah yang Dia sedekahkan kepadanya”. (Diriwayatkan An-Nasai dan lain-lain dari Aisyah Radhiyallahu Anha. Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Ad-Darda’). [9]

Di Musnad Baqi bin Makhlad dan Musnad Al-Bazzar disebutkan hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidak ada siang, malam, dan waktu, melainkan di dalamnya Allah mempunyai sedekah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Allah tidak menganugerahkan kepada seorang hamba yang sebanding dengan (pemberian dalam bentuk) Dia mengilhamkan dirinya berdzikir kepada-Nya”. [10])

Khalid bin Ma’dan berkata, "Sesungguhnya Allah bersedekah pada setiap hari dengan sedekah dan Allah tidak bersedekah kepada salah seorang dari makhluk-Nya dengan sesuatu yang lebih baik daripada Dia bersedekah kepadanya dengan ingat kepadanya”.

Sedekah dengan selain harta ada dua jenis;

1.     Sedekah yang kebaikannya dirasakan manusia dan merupakan sedekah kepada mereka. Bisa jadi, sedekah ini lebih baik daripada sedekah dengan harta. Sedekah seperti ini, misalnya amar ma’ruf dan nahi munkar, karena kedua perbuatan tersebut adalah ajakan kepada taat kepada Allah dan pelarangan dari bermaksiat kepada-Nya. Sedekah seperti ini jelas lebih baik daripada sedekah dengan harta. Begitu juga, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, membacakan Al-Qur’an, menghilangkan gangguan di jalan, berusaha mendatangkan manfaat bagi manusia, menolak madzarat bagi mereka, mendoakan kaum Muslimin, dan memintakan ampunan untuk mereka. Ibnu Mardawih meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat kelemahan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa mempunyai harta, hendaklah ia bersedekah dengan hartanya. Barangsiapa mempunyai kekuatan, hendaklah ia bersedekah dengan kekuatannya. Barangsiapa mempunyai ilmu, hendaklah ia bersedekah dengan ilmunya". [11])

Barangkali, hadits tersebut adalah mauquf.

Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat kelemahan dari Samurah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sedekah terbaik ialah lidah”. Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan sedekah lisan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Pembelaan yang dengannya engkau bisa membebaskan tawanan, menghentikan darah, membawa kebaikan dan kebajikan kepada saudaramu, dan menolak hal-hal yang tidak baik darinya”. [12])

Amr bin Dinar berkata, disampaikan kepada kami bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Tidak ada sedekah yang lebih dicintai Allah daripada perkataan. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima)”. (Al-Baqarah: 263). (Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim [13]).

Di hadits-hadits mursal Al-Hasan disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya di antara sedekah ialah engkau mengucapkan salam kepada inanusia dalam keadaan wajahmu berseri-seri”. (Diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya).

Muadz berkata, "Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah”. [14]) Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Di antara bentuk sedekah yang lain ialah menahan diri dari mengganggu manusia. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku berkata,

"Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah yang paling baik?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Iman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya”. Aku berkata, “Pemerdekaan seperti apakah yang paling baik”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Pemerdekaan budak yang paling bernilai menurut pemiliknya dan paling banyak harganya”. Aku berkata, “Jika aku tidak dapat melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau membantu orang yang trampil dan berbuat untuk orang yang tidak trampil”. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu, jika aku tidak dapat mengerjakan sebagian pekerjaan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau menahan keburukanmu dari manusia, karena itu sedekah". [15])

Juga diriwayatkan penambahan-penambahan yang lain di hadits Abu Dzar. At-Tirmidzi [16]) meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah, perintahmu kepada kebaikan adalah sedekah, pelaranganmu dari kemungkaran adalah sedekah, pemberian petunjuk olehmu kepada seseorang di tempat ia tersesat adalah sedekah, penyingkiran batu, duri, dan tulang olehmu dari jalan adalah sedekah, dan pemenuhan timba saudaramu dari timbamu adalah sedekah”.

Ibnu Hibban meriwayatkan di Shahihnya [17]) dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Tidak ada satu pun jiwa anak keturunan Adam melainkan ia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya”. Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, dari mana kami mempunyai harta untuk kami sedekahkan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan sangat banyak. Tasbih, takbir, tahmid, tahlil, amar ma’ruf, nahi munkar, engkau menyingkirkan gangguan dari jalan, engkau memperdengarkan kepada orang tuli, memberi petunjuk kepada orang buta, memberi petunjuk jalan kepada orang yang meminta petunjuk untuk memenuhi kebutuhannya, berjalan dengan kekuatan kedua betismu untuk orang kelaparan dan minta bantuan, dan memikul dengan kekuatan kedua lenganmu untuk orang lemah. Itu semua sedekah darimu untuk dirimu”.

Imam Ahmad [18]) meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu yang berkata, aku berkata,

"Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi dengan membawa pahala. Mereka bersedekah sedang kami tidak bersedekah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Pada dirimu terdapat sedekah; pengangkatan tulang olehmu dari jalan adalah sedekah, petunjukmu tentang jalan adalah sedekah, bantuanmu kepada orang lemah dengan sisa kekuatanmu adalah sedekah, penjelasanmu mewakili orang yang tidak fasih bicaranya adalah sedekah, dan engkau menggauli istrimu adalah sedekah”. Aku berkata : ”Wahai Rasulullah, kita melampiaskan syahwat (kebutuhan biologis) dan diberi pahala?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bagaimana pendapatmu, jika seseorang melakukannya di tempat haram, apakah ia berdosa?" Aku menjawab, "Ya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah kalian menghitung keburukan dan tidak menghitung kebaikan?"

Di riwayat lain [19]) disebutkan,

"Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Sesungguhnya pada dirimu terdapat sedekah yang banyak”. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan kelebihan pendengaran dan penglihatanmu”.

Di riwayat lain Imam Ahmad [20]) disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya diantara pintu-pintu sedekah ialah takbir, subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illallah, astaghfirullah, engkau menyuruh kepada kehaikan, melarang dari kemungkaran, engkau menyingkirkan duri, tulang dan batu dari jalanan manusia, engkau memberi jalan kepada orang buta, memperdengarkan orang tuli dan bisu hingga ia paham, engkau memberi petunjuk kepada orang yang meminta petunjuk untuk memenuhi kebutuhannya yang engkau ketahui tempatnya, engkau berjalan dengan kekuatan kedua betismu kepada orang kelaparan dan minta bantuan, dan engkau mengangkat dengan kekuatan kedua lenganmu bersama orang lemah. Itu semua di antara pintu-pintu sedekah darimu untukmu. Engkau berhak atas pahala atas hubungan seksualmu dengan istrimu”. Aku berkata, "Apakah aku mendapatkan pahala dalam pelampiasan kebutuhan biologisku?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bagaimana pendapatmu, jika engkau mempunyai anak kemudian ia mencapai usia akil baligh dan engkau mengharapkan kebaikannya, tapi ia meninggal dunia, apakah engkau menganggapnya?” Aku menjawab, "Ya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Apakah engkau yang menciptakannya?" Aku menjawab, "Tidak, namun Allah yang menciptakannya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda", Apakah engkau yang memberinya petunjuk?" Aku menjawab, "Tidak, namun Allah yang memberinya petunjuk”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah engkau yang memberinya rezki?” Aku menjawab, "Tidak, namun Allah yang memberinya rezki”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Begitulah, karena itu, letakkan spermamu di tempat halal dan jauhkan dari tempat haram. Jika Allah menghendaki, Dia menghidupkannya. Dan jika Dia menghendaki, Dia mematikannya, sedang engkau mendapatkan pahala”.

Tekstual hadits tersebut menegaskan bahwa seseorang diberi pahala atas hubungan seksualnya dengan istrinya dengan niat mendapatkan anak yang kemudian ia mendapat pahala karena mendidiknya dan mengasuhnya semasa hidupnya, dan menyimpan pahala jika ia mati. Sedang orang yang tidak berniat apa-apa ketika melakukan hubungan seksual dengan istrinya, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masuknya orang tersebut ke dalam hadits tersebut.

Disebutkan di hadits shahih bahwa nafkah seorang suami kepada istrinya aaalah sedekah. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Nafkah seorang suami kepada keluarganya (istrinya) adalah sedekah”. Di riwayat Muslim disebutkan, “Dan ia mengharapkan pahalanya dari Allah”. Di redaksi Al-Bukhari, “Jika seorang suami memberi nafkah kepada keluarganya dalam keadaan mengharapkan pahala dari Allah, maka itu sedekah baginya”. [21])

Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang suami diberi pahala atas nafkahnya kepada istrinya jika ia mengharapkan pahalanya dari Allah, seperti terlihat di hadits Sa’ad bin Abu Waqqash Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya engkau tidak berinfak dengan satu infak dengan mengharapkan keridhaan Allah dengannya, melainkan engkau diberi pahala di dalamnya, hingga sesuap makanan yang engkau angkat kepada istrimu”. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). [22]

Di Shahih Muslim [23]) disebutkan hadits dari Tsauban Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Dinar-dinar terbaik ialah ialah dinar yang diinfakkan seseorang kepada orang-orang yang ditanggungnya, dinar yang diinfakkan untuk kuda di jalan Allah, dan dinar yang diinfakkan seseorang untuk sahabat-sahabatnya di jalan Allah”. Abu Qilabah berkata ketika meriwayatkan hadits tersebut, "Mulailah dengan orang-orang yang berada dalam tanggunganmu. Adakah orang yang lebih besar pahalanya daripada orang yang berinfak kepada orang-orang yang ditanggungnya yang masih kecil di mana Allah menjaga mereka (dari mengemis) dengannya dan mengkayakan mereka dengannya?".

Di Shahih Muslim [24]) juga disebutkan hadits dari Sa’ad bin Abu Waqqash Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Sesungguhnya nafkahmu kepada orang-orang yang berada dalam tanggunganmu adalah sedekah dan apa yang dimakan istrimu dari hartamu adalah sedekah”.

Nafkah tersebut disyaratkan dengan maksud mencari keridhaan Allah di riwayat lain. Di Shahih Mus1im [25]) juga disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radliyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu; dinar yang paling baik di antara itu semua ialah dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu”.

Imam Ahmad dan Ibnu Hibban di Shahihnya meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Bersedekahlah kalian”. Seseorang berkata, "Aku mempunyai satu dinar”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sedekahkan kepada dirimu”. Orang tersebut berkata, “Aku mempunyai dinar yang lain”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sedekahkan kepada istrimu”. Orang tersebut berkata, "Aku mempunyai dinar yang lain”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sedekahkan kepada anakmu”. Orang tersebut berkata, "Aku mempunyai dinar yang lain”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sedekahkan kepada pembantumu”. Orang tersebut berkata, "Aku mempunyai dinar yang lain”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau lebih tahu”. [26])

Imam Ahmad [27]) meriwayatkan hadits dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Apa saja yang engkau makankan kepada dirimu sendiri adalah sedekah untukmu, apa saja yang engkau makankan kepada anakmu adalah sedekah untukmu, apa saja yang engkau makankan kepada istrimu adalah sedekah untukmu, dan apa saja yang engkau makankan kepada pembantumu adalah sedekah untukmu”.

Banyak sekali hadits tentang tema ini.

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidaklah orang Muslim menanam tanaman dan menabur benih kemudian dimakan manusia, atau burung, atau hewan, melainkan itu sedekah baginya”. [28])

Di Shahih Muslim [29]) disebutkan hadits dari Jabir Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidaklah orang Muslim menanam tanaman, melainkan apa yang ia makan darinya adalah sedekah baginya, apa yang dicuri darinya adalah sedekah baginya, apa yang dimakan binatang buas adalah sedekah baginya, apa yang dimakan burung darinya adalah sedekah baginya, dan tidak dikurangi siapa pun melainkan merupakan sedekah baginya”. Di riwayat Muslim lainnya disebutkan, "Kemudian dimakan manusia, hewan dan burung tidak makan darinya, melainkan itu sedekah baginya hingga Hari Kiamat”.

Di Al-Musnad [30]) disebutkan hadits dengan sanad dhaif dari Muadz bin Anas Al-Juhani Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa membangun bangunan tanpa dzalim dan menganiaya, atau menanam tanaman tanpa dzalim dan menganiaya, maka itu pahala yang terus mengalir selagi dimanfaatkan oleh seseorang dari makhluk Ar-Rahman”.

Al-Bukhari [31]) menyebutkan di Tarikhnya hadits dari Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Barangsiapa menggali air dan tidaklah hati yang kehausan dari jin, manusia, binatang buas, dan burung meminum darinya, melainkan Allah memberinya pahala pada Hari Kiamat”.

Tekstual semua hadits di atas menunjukkan bahwa semua itu sedekah di mana penanam dan penabur benih diberi pahala kendati tanpa niat sekalipun. Demikian pula tekstual sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Bagaimana pendapatmu, jika ia meletakkannya di tempat haram, apakah ia berdosa? Begitu juga, jika ia meletakkannya di tempat halal, maka ia mendapatkan pahala", juga menunjukkan bahwa suami diberi pahala atas hubungan seksualnya dengan istrinya kendati tanpa niat, karena orang yang menggauli istrinya adalah seperti penanam benih di tanah dan mengelolanya. Pendapat ini dipegang sejumlah ulama. Bahkan Abu Muhammad bin Qutaibah memberlakukannya pada makanan, minuman, dan hubungan seksual dengan istri. Ia berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya orang Mukmin pasti diberi pahala dalam segala hal, hingga sesuap makanan yang ia angkat ke mulutnya”. Teks hadits yang dipakai hujjah Abu Muhammad bin Qutaibah tersebut tidak dikenal, namun yang lebih dikenal ialah teks berikut, "Sesungguhnya engkau tidak berinfak dengan infak untuk mencari keridhaan Allah melainkan engkau diberi pahala atasnya, hingga sesuap makanan yang engkau angkat ke mulut istrimu”. Hadits ini dikaitkan dengan niat yang ikhlas karena Allah. Jadi, semua hadits yang mutlak ditafsirkan seperti itu, wallahu a’lam.

Penyertaan niat juga diperkuat firman Allah Ta’ala,

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia dan barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. (An-Nisa’: 114).

Semua perbuatan di ayat tersebut dikatakan kebaikan dan tidak mendapatkan pahala kecuali dengan niat yang ikhlas. Jika pelakunya melakukannya karena riya’, ia disiksa karenanya. Letak keragu-raguan ialah jika perbuatan-perbuatan tersebut dikerjakan tanpa niat yang benar atau rusak. Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, "Barangsiapa mengerjakan perbuatan baik tanpa niat, maka cukuplah baginya niat pemilihannya kepada Islam daripada agama-agama lainnya”. [32]) Tekstual perkataan Abu Sulaiman Ad-Darani menunjukkan bahwa pelakunya diberi pahala tanpa niat secara umum, karena dengan masuknya dirinya ke dalam Islam itu ia mempunyai kebebasan untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik secara umum, jadi, ia diberi pahala karena perbuatan yang dikerjakannya dengan niatnya tersebut, wallahu a’lam.

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Bagaimana pendapatmu, jika ia meletakkannya di tempat haram, apakah ia berdosa? Begitu juga, jika ia meletakkannya di tempat halal, maka ia mendapatkan pahala",  dinamakan qiyas kebalikannya menurut ulama ushul fiqh. Contohnya lagi ialah perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda satu kalimat sedang aku mengatakan kalimat lainnya. Beliau bersabda, "Barangsiapa mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk neraka”. Aku berkata, "Barangsiapa mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, ia masuk surga”. [33])

2.     Sedekah bukan dari harta yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya sendiri, seperti jenis-jenis dzikir; takbir, tasbih, tahmid, tahlil, dan istighfar. Begitu juga berjalan ke masjid adalah sedekah. Satu pun di hadits-hadits di atas tidak menyebutkan tentang shalat, puasa, haji, dan jihad sebagai sedekah.

Kebanyakan perbuatan-perbuatan tersebut lebih baik daripada sedekah-sedekah dengan harta, sebab hadits-hadits di atas disebutkan sebagai jawaban pertanyaan orang-orang miskin yang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang sesuatu yang bisa mereka pakai untuk mengalahkan ibadah-ibadah sunnah orang-orang kaya dengan harta. Sedang dalam ibadah-ibadah wajib, orang-orang miskin kaum Muhajirin sama dengan orang-orang kaya mereka.

Banyak sekali hadits yang menunjukkan keutamaan dzikir daripada sedekah dengan harta dan perbuatan-perbuatan lainnya, seperti terlihat di hadits Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Maukah kalian aku jelaskan perbuatan-perbuatan kalian yang paling baik, paling bersih di sisi Raja kalian, paling meninggikan derajat-derajat kalian, lebih baik bagi kalian daripada infak dengan emas dan perak, dan lebih baik bagi kalian daripada kalian berjumpa musuh kalian kemudian kalian memenggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?" Para sahabat berkata, “Mau, wahai Rasulullah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Yaitu dzikir kepada Allah Azza wa Jalla”.

Hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadits tersebut juga disebutkan Imam Malik di Al-Muwaththa’ secara mauquf pada Abu Ad-Darda’. [34])

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Barangsiapa berkata, “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tanpa ada sekutu bagi-Nya, kerajaan milik-Nya, pujian milik-Nya, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu”, sebanyak seratus kali, maka itu sama dengan memerdekakan sepuluh budak, seratus kebaikan ditulis baginya, seratus kesalahan dihapus darinya, kalimat tersebut adalah benteng baginya dari syetan sejak siangnya hingga sore hari, dan tidak ada seorang pun yang datang dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang ia bawa kecuali orang yang mengerjakan yang lebih banyak darinya”. [35])

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Ayyub Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda,

"Barangsiapa mengucapkan kalimat tersebut sebanyak sepuluh kali, ia seperti orang yang memerdekakan empat jiwa dari anak keturunan Ismail". [36])

Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya,

"Siapakah hamba yang paling baik derajatnya di sisi Allah pada Hari Kiamat?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang-orang yang dzikir dengan banyak kepada Allah”. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, termasuk lebih baik daripada pejuang di jalan Allah?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Seandainya ia memukul orang-orang kafir dan orang-orang musyrik dengan pedangnya hingga pedangnya patah dan berwarna darah, maka orang-orang yang dzikir kepada Allah masih lebih baik derajatnya daripada pejuang tersebut". [37])

Hadits semakna diriwayatkan dari Muadz bin Jabal dan Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun yang benar merupakan perkataan Muadz bin Jabal. [38])

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Abu Al-Wazi’ dari Abu Burdah dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Seandainya seseorang mempunyai beberapa dirham di pangkuannya, dan ia membagi-baginya, sedang orang lain berdzikir kepada Allah, maka orang yang berdzikir kepada Allah lebih baik”. [39])

Saya katakan, yang benar hadits tersebut dari Abu Al-Wazi’ dari Abu Barzah Al-Aslami dari perkataan Abu Musa. Itu diriwayatkan Ja’far Al-Faryabi. [40])

Ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa bertakbir seratus kali, bertasbih seratus kali, dan bertahlil seratus kali, itu lebih baik baginya daripada sepuluh budak yang ia merdekakan dan daripada tujuh unta yang ia sembellh”. [41])

Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ad-Darda’ bahwa dikatakan kepadanya bahwa seseorang memerdekakan seratus jiwa kemudian Abu Ad-Darda’ berkata, "Sesungguhnya seratus nyawa dari harta seseorang itu banyak, namun yang lebih baik lagi dari itu ialah iman yang dijaga di malam dan siang, dan lidah salah seorang dari kalian senantiasa basah oleh dzikir kepada Allah Azza wa jalla”.

Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhujuga berkata, "Aku mengatakan Allahu akbar sebanyak seratus kali itu lebih aku sukai daripada aku bersedekah dengan seratus dinar”. [42])

Hal yang sama dikatakan Salman Al-Farisi, para sahabat yang lain, dan para tabi’in bahwa dzikir lebih baik daripada bersedekah dengan sejumlah uang.

Imam Ahmad dan An-Nasai meriwayatkan hadits dari Ummu Hani’ bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya,

"Sucikan Allah sebanyak seratus kali karena itu sama dengan pemerdekaan seratus budak dari anak keturunan Ismail, pujilah Allah sebanyak seratus kali karena itu sama bagimu dengan seratus kuda yang dipasang kendali dan pelana kemudian engkau tunggangi di jalan Allah, bertakbirlah kepada Allah sebanyak seratus kali karena itu sama bagimu dengan berkurban seratus unta yang dipasang kalung dan diterima kurbannya, dan bertahlillah kepada Allah sebanyak seratus kali, - aku kira beliau bersabda -, "Niscaya memenuhi antara langit dengan bumi dan perbuatan seperti perbuatanmu tidak diangkat kecuali ia melakukan seperti yang engkau lakukan”. [43])

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Menurutnya, "Dan katakan, “Laa ilaaha illallah sebanyak seratus kali, “niscaya kalimat tersebut tidak menyisakan dosa dan tidak didahului oleh amal perbuatan apa pun”. [44])

Hadits semakna juga diriwayatkan At-Tirmidzi dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [45])

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidak ada sedekah yang lebih baik daripada dzikir kepada Allah Azza wa jalla”.

Al-Faryabi meriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Abu Umamah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa yang malamnya terlewatkan darinya hingga ia tidak bisa mengisinya, bakhil dengan hartanya untuk ia infakkan, dan takut dengan musuh jika memeranginya, hendaklah ia memperbanyak membaca subhanallah wa bihamdihi, karena kalimat tersebut lebih dicintai Allah Azza wa Jalla dari pada gunung emas, atau gunung perak yang diinfakkan di jalan Allah Azza wa Jalla. [46])

Hadits di atas diriwayatkan Al-Bazzar dengan sanad yang mirip dari hadits Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di hadits tersebut disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hendaklah ia memperbanyak dzikir kepada Allah", tidak lebih dari itu saja. Tentang tema ini, masih banyak lagi hadits-hadits lainnya.

 



[1] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 720, 1006. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/167, 168 dan Abu Daud hadits nomer 5243, 5244. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 838.

[2] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 843, 6329 dan Muslim hadits nomer 595.

[3] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3408. Ia berkata, "Hadits tersebut hasan gharib”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 1/106 dari jalur lain. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/99-100. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad. Di sanadnya terdapat perawi Atha’ bin As-Saib. Hammad bin Salamah mendengar hadits darinya sebelum ia kacau dan perawi lainnya adalah para perawi tepercaya”. Saya katakan, Imam Ath-Thahawi dan imam-imam lainnya memastikan bahwa Hammad bin Salamah mendengar hadits dari Atha’ bin As-Saib sebelum ia kacau”.

[4] Diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 3185, Ibnu Abu Syaibah 10/235, 13/453, Imam Ahmad 6/446, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 147, 151, Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 707, 714, dan Al-Bazzar hadits nomer 3095. Hadits tersebut shahih.

[5] Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3094. Ia berkata, "Hadits tersebut tidak kita ketahui diriwayatkan dari Ibnu Umar kecuali dari jalur ini”. Cacat hadits tersebut terletak pada Musa bin Ubaidah.

Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/101. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat Musa bin Ubaid Ar-Rabadzi yang merupakan perawi dhaif”.

Hadits tersebut juga disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari 1/330 dan men-dhaifkan sanadnya.

[6] Hadits nomer 1005. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/383, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 233, dan Abu Daud hadits nomer 4947. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3378.

[7] Hadits nomer 6021 dan di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 224. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 3/344 dan At-Tirmidzi hadits nomer 1970. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3379 dan Al-Hakim 2/50.

[8] Hadits nomer 686 dari Umar. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 1/25, Abu Daud hadits nomer 1199, An-Nasai 3/116-117, dan Ibnu Majah hadits nomer 1065. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2739, 2741.

[9] Hadits shahih diriwayatkan An-Nasai 3/257, Imam Malik 1/117, dan Abu Daud hadits nomer 1314 dari Aisyah. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah, An-Nasai 3/258 dari Abu Ad-Darda’.

[10] Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 694. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 2/236. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat Hasan bin Atha’ yang dianggap sebagai perawi dhaif oleh Abu Hatim dan lain-lain. Ia disebutkan Ibnu Hibban di Ats-Tsiqot dan berkata, "Ia salah dan menipu”.

[11] Bagian kedua hadits di atas disebutkan As-Suyuthi di Al-Jami’ Al-Kabir 2/827 dan berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan Ibnu As-Suni.

[12] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 6962 dan Al-Qudhai di Musnad Asy-Syihab hadits nomer 1279. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/194. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat Abu Bakr Al-Hudzali yang merupakan perawi dhaif"

[13] Disebutkan Ibnu Katsir di Tafsirnya 1/325 dari riwayat Ibnu Abu Hatim

[14] Ibnu Majah hadits nomer 243 meriwayatkan hadits dari jalur Al-Hasan dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Sedekah yang paling baik ialah seseorang mengajarkan ilmu kepada orang Muslim kemudian orang Muslim tersebut mengajarkannya kepada saudaranya yang Muslim”. Al-Hasan tidak mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah.

Ibnu Abu Khaitsamah di Al-Ilmu hadits nomer 1138 meriwayatkan hadits yang sama dari Al-Hasan secara mursal.

[15] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2518 dan Muslim hadits nomer 84. Hadits tersebut jugadiriwayatkan Imam Ahmad 5/150 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer4596.

[16] Hadits nomer 1956. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 891 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 474. 529.

[17] Hadits nomer 3377.

[18] 5/154.

[19] Di Al-Musnad 5/167.

[20] 5/168-169.

[21] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 55, 4006, 5351, di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 749, Muslim hadits nomer 1002, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1965. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4238, 4239.

[22] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5354 dan Muslim hadits nomer 1628.

[23] Hadist nomer 994. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/279. Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 748, dan Ibnu Majah hadits nomer 2760. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 4242.

[24] Hadits nomer 1628, 8.

[25] Hadits nomer 995.

[26] Diriwayatkan Imam Ahmad 2/251 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3337, 4233, 4235. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[27] Di Al-Musnad 4/131. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 3/119. Perawi hadits tersebut adalah para perawi tepercaya.

[28] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2320. 6012, Muslim hadits nomer 1553, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1382.

[29] Hadits nomer 1552. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 3/391 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3368 dan 3369.

[30] 3/438. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/410, 411. Di sanadnya terdapat perawi Zuban bin Faid yang merupakan perawi dhaif namun hadits tersebut men jadi kuat dengan hadits-hadits sebelumnya.

[31] 1/332.

[32] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 9/271.

[33] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1238, Muslim hadits nomer 94, Imam Ahmad 1/425, dan Ibnu Mandah di Al-Iman hadits nomer 66.

[34] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/195,6/447, At-Tirmidzi hadits nomer 3377, Ibnu Majah hadits nomer 3790, Al-Baghawi hadits nomer 1244, dan Ibnu Hajar di Nataijul Afkaar hal. 95 dari Abu Ad-Darda’ dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 1/496 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Mereka menambahkan bahwa Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu berkata, "Seseorang tidak mengerjakan perbuatan yang lebih menyelamatkan dirinya dari siksa Allah daripada dzikir kepada Allah Azza wa Jalla”. (Diriwayatkan Imam Malik 1/211 secara mauquf dari Abu Ad-Darda’). Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Hajar di Nataijul Afkaar hal. 96-97 dengan sanad lain. Tentang hadits tersebut, ia berkata, "Para perawinya adalah para perawi tepercaya”.

[35] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 3293, 6403, Muslim hadits nomer 2691, Imam Ahmad 2/302, 375, Imam Malik 1/209, At-Tirmidzi hadits nomer 3468, dan Ibnu Majah hadits nomer 3798. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 849.

[36] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6404 dan Muslim hadits nomer 2693.

[37] Diriwayatkan Imam Ahmad 3/75 dan At-Tirmidzi hadits nomer 3376. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Ya’la hadits nomer 1401, Ibnu Adi di Al-Kamil 3/981, Al-Baghawi hadits nomer 1246, 1247, dan Ibnu Hajar di Nataaijul Adzkaar hal. 93-94 dari jalur Diraj dari Abu Al-Haitsam dari Abu Sa’id. Sanad tersebut dhaif karena riwayat keduanya adalah dhaif.

[38] Hadits Muadz bin Jabal diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 10/300, 13/455 dan Ath-Thabrani di Al-Kabir 20/352 dan di Ad-Du’a hadits nomer 1658 dari jalur Yahya bin Sa’id Al-Anshari dari Abu Az-Zubair dari Thawus dari Muadz bin Jabal dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Perawi sanad tersebut adalah para perawi hadits shahih, namun terputus, karena Thawus tidak pernah bertemu Muadz bin Jabal dan ada perbedaan pendapat tentang Yahya bin Sa’id. Hadits tersebut diriwayatkan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi darinya seperti di atas, namun menyamarkan Thawus. Ia berkata dari Abu Az-Zubair bahwa ia mendapatkan hadits tersebut dari Muadz bin Jabal secara mauquf (lihat Nataijul Afkaar, hal. 97). Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shoghir hadits nomer 209 dari jalur Muhammad bin Yusuf Al-Faryabi dari Sulaiman bin Hayyan dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari dari Abu Az-Zubair. Perawi sanad tersebut adalah para perawi shahih seperti dikatakan Al-Mundziri di At-Targhib wat Tarhib 2/396 dan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/74.

[39] Disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/74 dari Ath-Thabrani di Al-Ausath. Ia berkata, "Para perawi hadits tersebut dianggap sebagai perawi tepercaya dan hadits tersebut dihasankan Al-Mundziri di At-Targhib wat Tarhib 2/400.

[40] Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/33 dari jalur Abu Al-Wazi’ Jabir bin Amr dari Abu Barzah.

[41] Hadits tersebut tidak kami dapati di sumber-sumber tepercaya yang kami miliki dan Adz-Dzikr, buah karya Al-Faryabi tidak diketahui keberadaannya.

[42] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 6/180.

[43] Hadits hasan diriwayatkan Imam Ahmad 6/344, 425 dan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 844. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 20580, Ibnu Abu Syaibah 10/278, Ath-Thabrani di Al-Kabir 24/995, 1008, di Ad-Du’a hadits nomer 327, 329, dan Al-Hakim 1/313-314.

[44] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 3471, Ibnu Adi di Al-Kamil 4/1417, Al-Mazi di Tahdzibul Kamal 1/110-111, dan Adz-Dzahabi di Mizanul I’tidal 2/323. Di sanadnya terdapat perawi Adh-Dhahhak bin Hamzah dari Amr bin Syu’aib yang merupakan perawi dhaif. Barangkali At-Tirmidzi menghasankannya karena hadits Ummu Hani’ sebelumnya.

[45] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath seperti terlihat di Majmauz Zawaid 10/74. Al-Haitsami berkata, "Para perawi hadits tersebut dianggap sebagai perawi tepercaya”.

[46] Dari jalur Al-Faryabi, hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 7877. Di sanadnya terdapat perawi Ali bin Yazid Al-Alhani yang dhaif.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani hadits nomer 7795 dan 7800 dari dua jalur yang kedua-duanya dhaif.

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah