Sunday, November 30, 2025

Hadits Arbain 24: Haramnya Kezhaliman

 

الْحَدِيثُ الرَّابِعُ وَالْعِشْرُونَ. عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: «يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا دَخَلَ الْبَحْرَ، يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ: أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ. وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ.» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

 

Dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam tentang apa yang beliau riwayatkan dari Rabb beliau Azza wa jalla bahwa Dia berfirman,

"Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman terhadap diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling mendzalimi Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah tersesat kecuali orang yang Aku beri dia petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri petunjuk Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makanan kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri makanan. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, nicaya kalian Aku beri pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat salah di malam dan siang hari, sedang Aku mengampuni seluruh dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni kalian. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak dapat memberi madzarat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi madzarat kepada-Ku dan kalian juga tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dan kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka itu semua sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir kalian, manusia dan jin dari kalian seperti hati orang yang paling jahat di antara kalian, maka itu semua tidak bisa mengurangi kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian dari manusia dan jin dan kalian berada di tempat yang sama kemudian meminta kepada-Ku lalu Aku berikan permintaan setiap orang, maka itu semua tidak bisa mengurangi apa yang ada pada-Ku melainkan hanya sekedar seperti jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian kemudian menyempurnakannya. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa mendapatkan selain kebaikan, ia jangan sekali-kali menyalahkan kecuali dirinya sendiri”. (Diriwayatkan Muslim). [1]

Hadits bab di atas diriwayatkan Muslim dari riwayat Sa’id bin Abdul Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris Al-Khaulani dari Abu Dzar. Di akhir hadits disebutkan bahwa Sa’id bin Abdul Aziz berkata, "Jika Abu Idris Al-Khaulani menceritakan hadits ini, ia berlutut”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Muslim dari riwayat Qatadah dari Abu Qilabah dari Abu Asma’ Ar-Rahabi dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun Muslim tidak menyebutkan hadits tersebut dengan teksnya dan hanya berkata, "Abu Asma’ Ar-Rahabi menyebutkan hadits seperti teks hadits Abu Idris, namun hadits Abu Idris lebih sempurna”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari riwayat Syahr bin Hausyab dari Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Allah Ta’ala berfirman, Hai hamba-hamba-Ku, semua dari kalian tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, karenanya, mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri petunjuk. Semua dari kalian fakir kecuali orang yang Aku buat kaya, karenanya, mintalah kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri rezki. Semua dari kalian berdosa kecuali orang yang Aku lindungi, karenanya, barangsiapa di antara kalian mengetahui Aku mempunyai kemampuan untuk mengampuni, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya ia Aku beri ampunan dan Aku tidak peduli. Jika orang pertama dan terakhir kalian, orang mati dan hidup kalian, orang basah dan kering kalian berkumpul di hati salah seorang hamba-Ku yang paling bertakwa, maka itu sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku sebesar sayap nyamuk. Jika orang pertama dan terakhir kalian, orang mati dan hidup kalian, orang basah dan kering kalian berkumpul di satu tempat kemudian salah seorang dari kalian meminta sesuatu yang menjadi puncak harapannya kemudian Aku berikan setiap peminta di antara kalian, maka itu semua tidak mengurangi kerajaaan-Ku melainkan seperti seandainya salah seorang dari kalian berjalan melewati laut kemudian ia mencelupkan jarum ke dalamnya lalu mengangkatnya. Itu karena Aku Maha Dermawan, Mahakaya, Mahamulia, Aku berbuat apa saja yang Aku inginkan, pemberian-Ku adalah firman, dan siksa-Ku adalah firman. Sesungguhnya perintah-Ku kepada sesuatu jika Aku inginkan ialah Aku berfirman kepadanya, “Jadilah”, maka jadilah sesuatu tersebut".

Itu teks versi At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits tersebut hasan”.

Hadits semakna diriwayatkan Ath-Thabrani dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun sanadnya dhaif. [2])

Tentang hadits Abu Dzar Radhiyallahu Anhu, Imam Ahmad berkata, "Hadits tersebut adalah hadits penduduk Syam yang paling mulia”. [3])

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang apa yang beliau riwayatkan dari Tuhan beliau, "Wahai hamha-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman terhadap diri-Ku, "maksudnya, Allah melarang diri-Nya berbuat dzalim terhadap hamba-hamba-Nya, seperti yang Dia firmankan,

"Dan Aku sekali-kali tidak mendzalimi hamba-hamba-Ku”. (Qaaf: 29).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba hamba-Nya”. (Ghafir: 31).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan Allah tidak berkehendak untuk mendzalimi hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran: 108).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan sekali-kali Tuhanmu tidak mendzalimi hamba-hamba(Nya)”. (Fushshilat: 46).

Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat dzalim kepada manusia sedikit pun, tapi manusia itulah yang berbuat dzalim kepada diri mereka sendiri”. (Yunus: 44).

Allah Ta’ala berfirman,

"Sesunggulutya Allah tidak mendzalimi seseorang walaupun sebesar biji sawi”. (An-Nisa’: 40).

Allah Ta’ala berfirman,

ومن يعمل من الصالحات وهو مؤمن فلا يخاف ظلما ولا هضما.

"Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang shahh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya”. (Thaaha: 112).

Yang dimaksud dengan kata hadhman pada ayat di atas ialah pengurangan pahala kebaikan dan yang dimaksud dengan kata dzulman pada ayat tersebut ialah penyiksaan karena dosa-dosa orang lain. Ayat-ayat seperti di atas sangat banyak di Al-Qur’an.

Ini menunjukkan bahwa Allah sanggup berbuat dzalim, namun Dia tidak mau melakukannya sebagai karunia dan sikap dermawan dari-Nya, kemurahan dan kebaikannya terhadap hamba-hamba-Nya.

Sebagian besar ulama menafsikan kedzaliman dengan penempatan sesuatu tidak pada tempatnya. Sedang para ulama yang menafsirkannya dengan menggunakan milik orang lain tanpa seizinnya pendapat yang sama diriwayatkan dari Iyas bin Muawiyah dan lain-lain, mereka berkata, "Sesungguhnya kedzaliman mustahil terjadi pada Allah sedang pada selain Allah maka bisa saja terjadi, karena apa saja yang dikerjakan Allah adalah tindakan terhadap milik-Nya”. Hal yang sama dikatakan Abu Al-Aswad Ad-Duali kepada Imran bin Hushain yang bertanya kepadanya tentang takdir. [4])

Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Abu Sinan Sa’id bin Sinan dari Wahb bin Khalid Al-Himshi dari Ad-Dailami bahwa ia mendengar Ubai bin Ka’ab berkata, "Seandainya Allah menyiksa seluruh penduduk langit dan bumi-Nya, Dia pasti menyiksa mereka tanpa mendzalimi mereka. Seandainya Allah merahmati mereka, rahmat-Nya pasti lebih baik bagi mereka daripada amal perbuatan mereka”. Ad-Dailami pergi kepada Ibnu Mas’ud yang kemudian berkata seperti itu. Ad-Dailami pergi kepada Zaid bin Tsabit yang kemudian menceritakan hadits kepadanya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda seperti perkataan tersebut. [5]) Di hadits ini terdapat catatan, karena Wahb bin Khalid dikenal tidak mempunyai ilmu. [6]) Bisa jadi, perkataan tersebut dimaksudkan bahwa seandainya Allah menyiksa mereka, Dia pasti mentakdirkan siksa untuk mereka kemudian Dia tidak mendzalimi mereka.

Allah yang telah menciptakan perbuatan-perbuatan manusia yang di dalamnya terdapat kedzaliman tidak berarti bahwa Allah memiliki sifat dzalim. Begitu juga, Allah tidak bisa disifati dengan seluruh perbuatan-perbuatan buruk yang dikerjakan manusia yang merupakan hasil penciptaan dan takdir-Nya, karena Allah hanya disifati dengan perbuatan-perbuatan diri-Nya dan tidak disifati dengan perbuatan-perbuatan hamba-hamba-Nya, karena perbuatan-perbuatan hamba-hamba-Nya adalah makhluk-makhluk-Nya dan Dia tidak bisa disifati dengan salah satu daripadanya, namun Dia disifati dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan yang ada pada-Nya, wallahu a’lam.

Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, "Dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling mendzalimi". Maksudnya, sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kedzaliman terhadap hamba-hamba-Nya dan melarang mereka saling mendzalimi sesama mereka. Jadi, setiap orang haram mendzalimi orang lain, karena kedzaliman itu sendiri adalah haram secara mutlak. Kedzaliman terbagi ke dalam dua bagian;

Pertama: Kedzaliman seorang hamba terhadap diri sendiri dan kedzaliman yang paling besar ialah syirik, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Luqman: 13).

Itu karena orang musyrik menjadikan makhluk ke dalam tingkatan Al-Khaliq (Pencipta) kemudian menyembahnya dan menjadikannya sebagai tuhan. Jadi, ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebagian besar ancaman bagi orang-orang yang dzalim di Al-Qur’an dimaksudkan untuk orang-orang musyrikin, seperti difirmankan Allah Azza wa jalla,

"Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Baqarah: 254).

Kemudian berikutnya diikuti maksiatmaksiat yang beragam jenis; dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.

Kedua: Kedzaliman seorang hamba terhadap orang lain. Itulah yang disebutkan di hadits bab di atas. Pada haji wada’, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram terhadap kalian, seperti keharaman hari kalian ini di bulan kalian ini di negeri kalian ini". [7])

Juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda seperti itu pada hari Arafah, hari penyembelihan Qurban, dan hari kedua tasyriq. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa setelah itu, beliau bersabda,

"Dengarlah dariku, niscaya kalian hidup. Ingatlah, janganlah kalian mendzalimi Ingatlah, janganlah kalian mendzalimi. Ingatlah, janganlah kalian mendzalimi. Sesungguhnya harta seorang Muslim tidak halal kecuali atas kerelaaan hatinya”. [8])

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Kedzaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat”. [9])

Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari yang bersabda,

"Sesungguhnya Allah pasti menunda (hukuman) bagi orang dzalim, namun jika Dia telah menyiksanya, Dia tidak meloloskannya”. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat,

وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة إن أخذه أليم شديد.

"Dan begitulah adzab Tuhanmu; apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat dzalim, sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras”. (Huud: 102). [10]

Di Shahih Al-Bukhari [11]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa pada dirinya terdapat madzlamah (harta yang dirampas dengan dzalim) milik saudaranya, hendaklah ia memintanya menghalalkannya sekarang ini, sebelum ia tidak memiliki dinar dan dirham. Jika ia mempunyai amal shalih, maka amal shalihnya diambil darinya sebesar madzlamahnya. Jika ia tidak mempunyai amal shalih, kesalahan-kesalahan saudaranya diambil kemudian dibebankan kepadanya”.

Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas,

"Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah tersesat kecuali orang yang Aku beri dia petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makanan kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri makanan. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, nicaya kalian Aku beri pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat salah di malam dan siang hari, sedang Aku mengampuni seluruh dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni kalian”.

Teks di atas menunjukkan bahwa seluruh makhluk butuh kepada Allah Ta’ala dalam mendapatkan kemasalahatan dan menolak madzarat di urusan agama dan dunia mereka. Teks di atas juga menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki sesuatu apa pun bagi diri mereka, barangsiapa tidak diberi rezki dan petunjuk maka ia tidak memiliki keduanya di dunia, dan barangsiapa tidak diberi pengampunan atas dosa-dosanya oleh Allah maka kesalahan-kesalahannya membinasakannya di akhirat.

Firman Allah Ta’ala,

“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa disesatkan-Nya maka engkau tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”. (Al-Kahfi: 17).

Ayat-ayat seperti ayat tersebut sangat banyak di Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

"Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu”. (Fathir: 2).

Allah Ta’ala berfirman,

"Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh”. (Adz-Dzaariyat: 58).

Allah Ta’ala berfirman,

“Maka mintalah rezki di sisi Allah dan sembahlah Dia”. (Al-Ankabut: 17).

Dan Allah Ta’ala berfirman pula,

"Dan tidak ada suatu makhluk yang bernyawa berjalan di muka bumi, melainkan Allahlah yang memberi rezkinya”. (Huud: 6).

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Adam dan Hawwa’ yang berkata,

"Ya Tuhan kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami pasti termasuk orang-orang yang merugi”. (Al-A’raaf: 23).

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Nuh Alaihis Salam yang berkata,

"Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku dan merahmatiku, niscaya aku termasuk orang-orang yang merugi". (Huud: 47).

Karena itu semua (petunjuk, rezki, dll) hanya dimiliki Allah. Nabi Ibrahim Alaihis Salam berhujjah bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia dan bahwa apa saja yang disekutukan dengannya adalah batil. Nabi Ibrahim berkata kepada kaum beliau,

“Maka apakah kalian memperhatikan apa yang selalu kalian sembah? Kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam. (Yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. Dan Dia yang memberiku makan dan minum. Dan apabila aku sakit, Dia yang menyembuhkan aku. Dan Dia akan mematikan aku kemudian menghidupkan aku. Dan Dia yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada Hari Kiamat". (Asy-Syu’ara: 75-82).

Karena pihak yang disendirikan dalam menciptakan hamba-Nya, memberi hidayah kepadanya, memberi rezki kepadanya, menghidupkannya dan mematikannya di dunia, dan mengampuni dosa-dosa di akhirat itu layak diesakan dalam Ilaahiyah, ibadah, permintaan, merendahkan diri kepada-Nya, dan tunduk kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Allah yang menciptakan kalian, kemudian memberi kalian rezki, kemudian mematikan kalian, kemudian menghidupkan kalian; adakah di antara yang kalian persekutukan dengan Allah dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Mahasucilah Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan”. (Ar-Ruum: 40).

Di hadits bab di atas terdapat dalil bahwa Allah senang dimintai hamba-hamba-Nya dalam seluruh kemaslahatan agama dan dunia mereka; makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Allah juga senang jika mereka meminta petunjuk dan ampunan kepada-Nya. Disebutkan di hadits,

"Hendaklah salah seorang dari kalian memintakan seluruh kebutuhannya kepada Tuhannya hingga ia meminta tali sandalnya kepada-Nya jika terputus”.

Salah seorang generasi salaf memintakan seluruh kebutuhannya kepada Allah Ta’ala di shalatnya, hingga meminta garam untuk adonan rotinya dan rumput untuk kambingnya. Di israiliyat, disebutkan bahwa Nabi Musa Alaihis Salam berkata, "Tuhanku, telah muncul padaku kebutuhan di dunia, namun aku malu memintanya kepada-Mu”. Allah berfirman, "Mintalah kepada-Ku meskipun garam untuk adonan rotimu dan rumput untuk keledaimu”. Jika seorang hamba memintakan seluruh kebutuhannya kepada Allah, sungguh ia memperlihatkan kebutuhan dan kemiskinannya kepada Allah dan sikap seperti itu disukai Allah. Salah seorang generasi salaf malu untuk meminta sesuatu dari kebutuhan dunia kepada Allah, namun mengikuti sunnah itu lebih urgen.

Tentang firman Allah Ta’ala di hadits qudsi, "Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah tersesat kecuali orang yang Aku beri dia petunjuk", ada yang menduga bahwa firman tersebut bertentangan dengan hadits Iyadh bin Himar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus". Di riwayat lain disebutkan, "Allah Azza wa Jalla berfirman, Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan Muslim kemudian mereka dipalingkan oleh syetan”. [12]) Padahal firman tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan hadits tersebut, karena Allah menciptakan anak keturunan Adam, membentuk mereka untuk menerima Islam, cenderung kepadanya dan bukan cenderung kepada yang lain, siap kepadanya, dan mempersiapkan diri dengan kuat untuknya. Namun, manusia harus diajari Islam dengan amal nyata, karena mereka sebelum diajari adalah bodoh tidak mengetahui apa-apa, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa”. (An-Nahl: 78).

Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”. (Adh-Dhuha: 7).

Maksudnya, Allah mendapatimu tidak mengetahui kitab dan hikmah yang telah diajarkan kepadamu, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami; sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu?". (Asy-Syura: 52).

Jadi, manusia dilahirkan dalam keadaan dibentuk untuk menerima kebenaran. Jika Allah memberinya petunjuk, Allah memberinya sarana dalam bentuk orang yang mengajarkan petunjuk kepadanya, akhimya, ia betul-betul menjadi orang yang mendapatkan petunjuk dan perbuatan setelah sebelumnya ia mendapatkan petunjuk dengan kekuatan. Jika Allah membiarkannya, Dia membuatnya dikuasai orang yang mengajari sesuatu yang bertentangan dengan fitrahnya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah kemudian kedua orang tuanya yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Kristen, dan Majusi”. [13])

Adapun permintaan petunjuk oleh orang Mukmin kepada Allah, maka petunjuk itu ada dua;

Pertama, petunjuk global, yaitu petunjuk kepada Islam dan iman. Petunjuk seperti ini terjadi pada orang Mukmin.

Kedua, petunjuk detail, yaitu petunjuk Allah untuk mengetahui detail bagian-bagian iman dan Islam serta bantuan-Nya untuk mengerjakannya. Petunjuk seperti ini amat diperlukan orang Mukmin di setiap malam dan siang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk membaca firman-Nya berikut di setiap raka’at shalat-shalat mereka, "Tunjukilah kami jalan yang lurus”. (Al-Fatihah: 6). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata dalam doa beliau di malam hari,

اهدنى لما اخْتُلِفَ فيه من الحق بإذنك, إنك تهدى من تشاء إلى صراط مستقيم.

"Tunjukilah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan di dalamnya dengan izin-Mu, karena sesungguhnya Engkau menunjuki hamba-Mu ke jalan yang lurus”. [14])

Oleh karena itu, jika seseorang bersin, dikatakan kepadanya, "Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu)", kemudian orang yang bersin berkata kepada orang yang mendoakannya, "Yahdikumullah (semoga Allah memberimu petunjuk)”. Itu seperti disebutkan di sunnah, kendati ditolak oleh fuqaha’ Irak karena menduga bahwa orang Muslim tidak lagi membutuhkan didoakan mendapatkan petunjuk. Tapi, pendapat mereka ditentang jumhur ulama karena mengikuti sunnah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu untuk meminta ketepatan dan petunjuk. [15]) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengajari Al-Hasan untuk berkata dalam qunut di shalat witir,

اللهم اهدنى فيمن هديت

"Ya Allah, berilah aku petunjuk ke dalam orang yang telah Engkau beri petunjuk”.

Adapun istighfar dari dosa-dosa, maka merupakan permintaan ampunan dan seorang hamba amat memerlukannya, karena ia berbuat salah di malam dan siang hari. Al-Qur’an seringkali menyebutkan taubat dan istighfar, memerintahkan kaum Mukminin kepada keduanya, dan menganjurkan kepada keduanya. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Seluruh anak keturunan Adam adalah orang-orang salah dan sebaik-baik orang-orang yangsalah ialah orang-orang yang bertaubat”. [16])

Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Demi Allah, aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali". [17])

Hadits tersebut juga diriwayatkan An-Nasai dan Ibnu Majah. Redaksi keduanya ialah,

"Sungguh aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam setiap hari”.

Muslim meriwayatkan hadits dari Al-Aghar Al-Muzani yang mendengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Tuhan kalian, karena aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak seratus kali”. [18])

Hadits tersebut juga diriwayatkan An-Nasai dan redaksinya ialah,

"Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Tuhan kalian dan beristighfarlah kepada-Nya, karena aku bertaubat kepada Allah dan beristighfar kepada-Nya dalam sehari sebanyak seratus kali”.

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu yang berkata,

"Aku bicara buruk kepada keluargaku dan tidak mengucapkannya kepada orang lain kemudian itu aku laporkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda, Kenapa engkau tidak beristighfar, hai Hudzaifah, karena sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dalam setiap hari sebanyak seratus kali”. [19])

Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam setiap hari sebanyak seratus kali”. [20])

An-Nasai [21]) meriwayatkan hadits dari Abu Musa Radhiyallahu Anhu yang berkata,

"Kami sedang duduk lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang dan bersabda, Aku tidak pernah berada di suatu pagi, melainkan aku beristighfar kepada Allah sebanyak seratus kali".

Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata, "Dalam satu majlis, kami menghitung Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata seperti berikut sebanyak seratus kali,

رب اغفر لى وتب عليَّ, إنك أنت التواب الرحيم.

“Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah taubatku, karena Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang”. [22])

An-Nasai [23]) meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Aku tidak pernah melihat orang yang paling banyak mengatakan, “Aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya”, daripada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam”.

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berkata,

اللهم اجعلنى من الذين إذا أحسنوا اسْتبْشَروا, وإذا أساءوا استغفروا.

"Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang jika berbuat baik maka senang dan jika berbuat salah maka beristighfar”. [24])

Sisa pembahasan tentang istighfar akan saya sebutkan setelah ini, Insya Allah.

Firman Allah Ta’ala di hadits qudsi di atas, "Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak dapat memberi madzarat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi madzarat kepada-Ku dan kalian juga tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi manfaat kepada-Ku”. Maksudnya, seluruh hamba Allah tidak dapat mengirim manfaat atau madzarat kepada Allah, karena Allah Ta’ala sendiri adalah Mahakaya dan Maha Terpuji yang tidak butuh kepada ketaatan para hamba, manfaat-manfaat ketaatan mereka tidak kembali kepada-Nya namun mereka sendiri yang mengambil manfaat-manfaatnya, dan tidak merugi dengan kemaksiatan-kemaksiatan mereka namun justru mereka sendiri yang merugi karenanya. Allah Ta’ala berfirman,

“Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera kepada kekafiran, sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi madzarat kepada Allah sedikit pun”. (Ali Imran: 176).

Allah Ta’ala berfirman,

"Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madzarat kepada Allah sedikit pun”. (Ali Imran: 144).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbah beliau,

"Dan barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia tersesat, tidak merugikan kecuali dirinya sendiri, dan sedikit pun tidak merugikan Allah”. [25])

Allah Ta ala berfirman,

"Dan jika kalian kafir, maka sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji”. (An-Nisa’: 131).

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan tentang Nabi Musa Alaihis Salam,

"Dan Musa berkata, jika kalian dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji”. (Ibrahim: 8).

Allah Ta’ala berfirman,

"Barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji". (Luqman: 12).

Allah Ta’ala berfirman,

"Daging-daging unta dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari kalian yang dapat mencapai-Nya”. (Al-Hajj: 37).

Maksudnya, Allah Ta’ala senang kalau hamba-hamba-Nya bertakwa dan taat kepada-Nya, sebagaimana Dia benci kalau mereka bermaksiat kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah lebih bahagia dengan taubat orang-orang bertaubat daripada kebahagiaan orang yang tadinya kehilangan hewan kendaraannya yang memuat makanan dan minumannya di padang pasir. Ia pun mencarinya hingga putus asa kemudian menyerah untuk mati dan putus asa dari hidup. Ia mengantuk kemudian tertidur. Ketika ia bangun, ternyata hewan kendaraannya berdiri di sampingnya dan ia pun bahagia karenanya. Itulah puncak kebahagiaan yang dapat digambarkan manusia. Kendati demikian, Allah tidak memerlukan ketaatan hamba-hamba-Nya dan taubat mereka kepada-Nya, karena manfaat itu semua kembali kepada mereka sendiri dan tidak kepada-Nya. Tapi, Allah berbahagia dengan taubat hamba-hamba-Nya karena kesempurnaan kedermawanan-Nya, kebaikan-Nya kepada mereka, senang memberi manfaat kepada mereka, dan menolak madzarat dari mereka. Ya, Allah senang kalau mereka mengenal-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, bertakwa, taat dan mendekatkan diri kepada-Nya. Allah juga senang kalau mereka mengetahui bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Allah dan bahwa Dia sanggup mengampuni dosa-dosa mereka, seperti disebutkan di hadits riwayat Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu tentang hadits bab di atas,

"Barangsiapa di antara kalian mengetahui Aku sanggup mengampuni kemudian ia meminta ampunan kepada-Ku, maka Aku mengampuninya dan Aku tidak peduli”.

Di Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Sesungguhnya jika seorang hamba berbuat dosa kemudian berkata, “Tuhanku, aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku”, Allah berfirman, “Hamba-Ku mengetahui ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni dosa-dosa dan menyiksa karena dosa. Sungguh Aku mengampuni hamba-Ku”. [26])

Di sebutkan di hadits dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Jika beliau mengendarai hewan kendaraan, maka beliau memuji Allah tiga kali dan bertakbir tiga kali kemudian berkata, "Subhanaka (Mahasuci Engkau), sungguh aku telah mendzalimi diriku maka ampunilah aku, karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau”. Setelah itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tertawa dan bersabda, "Sesungguhnya Tuhanmu kagum pada hamba-Nya jika ia berkata, “Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku“, karena ia mengetahui bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Allah”. (Diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi yang menshahihkannya). [27]

Di Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Demi Allah, Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu kepada bayinya”. [28])

Salah seorang sahabat Dzu An-Nun thawaf sambil berseru, "Duhai, di mana gerangan hatiku? Siapakah yang bisa menemukan hatiku?" Pada suatu hari, ia masuk ke salah satu jalan dan mendapati anak kecil menangis karena dipukuli ibunya kemudian ibunya mengeluarkannya dari rumah dan mengunci rumah. Anak kecil tersebut menoleh ke kanan-kiri tidak tahu hendak pergi ke mana? Ia kembali ke pintu rumah ibunya dan menangis sambil berkata, "Ibu, siapakah yang bisa membuka pintu untukku jika engkau menguncinya dariku? Siapakah yang bisa mendekatkanku kepada hatinya jika engkau mengusirku? Siapakah yang bisa mendekatkanku setelah engkau marah kepadaku?" Sang ibu pun iba kepada anak kecilnya kemudian ia melihat anaknya dari celah pintu dan mendapati anaknya mengucurkan airmata hingga membasahi pipinya dan merebahkan diri ke tanah. Sang ibu membuka pintu dan mengambil anak kecilnya kemudian meletakkannya di pangkuan, menciuminya, dan berkata, "Duhai penyegar mataku dan permata hatiku, engkau sendiri yang membawaku kepada dirimu dan engkau sendiri yang membuatmu merasakan ini semua. Jika engkau patuh kepadaku, engkau tidak mendapatkan sesuatu yang tidak mengenakkan dariku”. Anak kecil tersebut pun senang. Ia berdiri kemudian berteriak, "Sungguh, aku telah menemukan hatiku. Sungguh, aku telah menemukan hatiku”.

Renungkan firman Allah Ta’ala,

"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau mendzalimi diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?" (Ali Imran: 135).

Di ayat tersebut terdapat isyarat bahwa orang-orang yang berdosa tidak mempunyai pihak yang mereka bisa berlindung kepadanya dan sanggup mengampuni dosa-dosa mereka selain Allah. Begitu juga firman Allah Ta’ala tentang tiga orang yang taubatnya ditangguhkan,

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi luas dan jiwa mereka pun telah sempit oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubat mereka; sesungguhnya Allah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (At-Taubah: 118).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia menerima taubat ketiga orang tersebut karena mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari Allah kecuali kepada-Nya. Jika seorang hamba takut kepada makhluk, ia lari darinya dan kabur kepada yang selainnya. Namun, jika ia takut kepada Allah, ia tidak mempunyai tempat berlindung dan tempat berlari kecuali kepadaNya, untuk itu, ia lari kepada-Nya, seperti dikatakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam doa beliau,

لا ملجأ ولا منجأ منك إلا إليك.

"Tidak ada tempat berlindung dan tempat menyelamatkan diri dari-Mu kecuali kepada-Mu”. [29])

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga berkata dalam doa beliau,

أعوذ برضاك من سَخَطِك, وبعفْوك من عقوبتك, وبك منك.

"Aku berlindung kepada keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, kepada maaf-Mu dari hukuman-Mu, dan kepada-Mu dari (siksa)-Mu”. [30])

Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, "Tidaklah malam bercampur dengan kegelapannya dan malam menjulurkan tutupnya, melainkan Allah berseru, “Siapa yang lebih dermawan daripada Aku? Makhluk-makhluk bermaksiat kepada-Ku, namun Aku mengawasi mereka, menjaga mereka di tempat tidur mereka seolah-olah mereka tidak bermaksiat kepada-Ku, dan Aku melindungi mereka seolah-olah mereka tidak pernah berdosa antara Aku dengan mereka? Aku dermawan dengan karunia kepada orang yang bermaksiat dan memberi karunia kepada orang yang berbuat salah. Siapakah yang berdoa kepada-Ku tapi Aku tidak mengabulkan doanya? Siapakah yang meminta kepada-Ku kemudian Aku tidak memberinya? Siapakah yang duduk di pintu-Ku kemudian Aku mengusirnya? Aku karunia dan karunia dari-Ku. Aku dermawan dan kedermawanan dariku. Aku Mulia dan kemuliaan dari-Ku. Di antara kemuliaan-Ku, Aku mengampuni orang-orang yang bermaksiat setelah bermaksiat. Di antara kemuliaan-Ku, Aku memberi hamba sesuai dengan apa yang dimintakan kepada-Ku dan memberinya apa yang tidak ia mintakan kepada-Ku. Di antara kemuliaan-Ku, Aku memberi kepada orang yang bertaubat seolah-olah ia tidak bermaksiat kepada-Ku. Ke manakah makhluk-makhluk dapat melarikan diri dari-Ku? Ke manakah orang-orang yang bermaksiat dengan menjauhi pintu-Ku?” (Diriwayatkan Abu Nu’aim). [31]

Salah seorang generasi salaf melantunkan syair,

"Aku berbuat salah dan tidak berbuat baik,

namun aku datang kepada-Mu dalam keadaan bertaubat

Adakah tempat lari bagi seorang hamba dari-Nya?

Dia bisa diharapkan memberi ampunan, kendati dugaannya meleset

Tidak ada seorang pun di bumi yang dikecewakan-Nya”.

Firman Allah Ta’ala di hadits di atas, "Wahai hamba-hambah-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka itu semua sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir kalian, manusia dan jin dari kalian seperti hati orang yang paling jahat di antara kalian, maka itu semua tidak bisa mengurangi kerajaan-Ku", adalah isyarat bahwa kerajaan Allah tidak bertambah dengan ketaatan makhluk, kendati mereka semua orang baik-baik dan bertakwa dan hati mereka seperti hati orang yang paling bertakwa di antara mereka. Firman tersebut juga sinyal bahwa kerajaan Allah tidak berkurang dengan kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, kendati jin dan seluruh manusia bermaksiat dan menjadi orang-orang jahat, serta hati mereka seperti hati orang yang paling jahat di antara mereka, karena Allah Subhanahu Mahakaya (tidak membutuhkan) dengan Dzat-Nya dari siapa saja selain diri-Nya dan mempunyai kesempurnaan mutlak pada Dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Jadi, kerajaan Allah adalah kerajaan yang sempurna dan tidak berkurang karena sesuatu apa pun.

Di antara manusia, ada yang berkata bahwa penciptaan Allah terhadap makhluk-Nya dalam bentuk yang ada sekarang adalah lebih sempurna dan lebih baik daripada penciptaan-Nya dalam bentuk yang lain. Dan apa saja yang di dalamnya terdapat keburukan, maka itu keburukan tambahan yang terkait dengan sesuatu tanpa sesuatu yang lain dari bukan keburukan secara mutlak, dalam arti ketiadaannya lebih baik daripada keberadaannya, justru keberadaannya lebih baik daripada ketiadaannya. Ia berkata bahwa inilah makna sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Di TanganNya terdapat kebaikan”. Dan makna sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan keburukan tidak kepada-Mu”. Maksudnya, sesungguhnya keburukan murni yang ketiadaannya lebih baik daripada keberadaannya itu tidak ada dalam kerajaan-Mu, karena Allah menciptakan makhluk-Nya sesuai dengan tuntutan kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Allah memberikan karunia khusus kepada satu kaum dan tidak memberikannya kepada kaum lainnya, karena di dalamnya terdapat kebijaksanaan dan keadilan.

Pendapat seperti di atas memiliki kelemahan dan bertentangan dengan hadits bab di atas yang menyatakan bahwa seandainya seluruh makhluk-Nya berada dalam sifat kebaikan dan takwa hamba-Nya yang paling sempurna, maka itu sedikit pun tidak menambah kerajaan-Nya dan nilainya kurang dari sayap nyamuk. Dan seandainya mereka berada dalam sifat kejahatan hamba-Nya yang paling brengsek, maka itu sedikit pun tidak mengurangi kerajaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa kerajaan Allah itu sempurna dalam kondisi apa pun; tidak bertambah atau sempurna dengan ketaatan-ketaatan, tidak berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, dan tidak ada sesuatu apa pun yang bisa mempengaruhinya.

Di sini terdapat dalil bahwa pondasi ketakwaan dan kejahatan adalah hati. Jika hati telah baik dan bertakwa, maka seluruh organ tubuh menjadi baik. Sebaliknya, jika hati jahat, maka seluruh organ tubuh menjadi jahat, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Takwa itu di sini sambil memberi isyarat ke dada beliau”. [32])

Firman Allah Ta’ala di hadits di atas, "Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian dan manusia dan jin dari kalian berada di tempat yang sama kemudian mereka meminta kepada-Ku lalu Aku berikan permintaan setiap orang, maka itu semua tidak bisa mengurangi apa yang ada pada-Ku melainkan hanya sekedar seperti jarum yang mengurangi laut jika dimasukkan ke dalamnya”. Yang dimaksud dengan firman tersebut ialah pengungkapan kesempurnaan kekuasaan Allah dan kerajaan-Nya, yaitu kerajaan dan gudang Allah tidak pernah habis dan tidak berkurang dengan pemberian, kendati Dia memberikan seluruh permintaan jin dan manusia generasi pertama hingga generasi terakhir di satu tempat. Di sini terdapat himbauan bagi manusia agar mereka meminta dan mengajukan kebutuhan kepada-Nya. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tangan Allah penuh tidak berkurang oleh infak dan banyak memberi pada malam dan siang hari. Tahukah kalian apa yang telah Dia infakkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya itu semua tidak mengurangi apa yang ada di Tangan Kanan-Nya". [33])

Di Shahih Muslim [34]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Jika salah seorang dari kalian berdoa, janganlah ia berkata, “Ya Allah, ampunilah aku, jika Engkau berkehendak”, namun hendaklah ia serius dalam meminta dan memperbesar keinginan, karena Allah tidak dimintai dengan sering melainkan Dia memberinya”.

Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu berkata, "Jika kalian berdoa kepada Allah, tinggikan permintaan kalian, karena apa yang ada di sisi-Nya tidak bisa dikurangi oleh sesuatu apa pun. Jika kalian berdoa, bersungguh-sungguhlah, karena Allah tidak merasa enggan”.

Di salah satu atsar israiliyat disebutkan, "Allah Azza wa Jalla berfirman, “Apakah pada saat musibah-musibah selain diri-Ku diharapkan, padahal semua musibah ada di Tangan-Ku dan Aku Mahahidup dan Mengurusi makhluk? Apakah selain diri-Ku diharapkan dan pintunya diketuk pada waktu pagi, padahal kunci-kunci gudang ada pada-Ku dan pintu-Ku terbuka bagi siapa saja yang berdoa kepada-Ku? Siapakah yang mengharapkan kepada-Ku pada saat musibah kemudian Aku putus harapannya? Siapakah yang berharap kepada-Ku pada saat petaka kemudian harapannya aku pangkas? Siapakah yang mengetuk pintu-Ku kemudian Aku tidak membukanya? Aku puncak seluruh harapan, maka bagaimana seluruh harapan kepada-Ku bisa terputus? Apakah Aku bakhil sehingga hamba-Ku menuduh bakhil kepada-Ku? Bukankah dunia, akhirat, kemuliaan, dan karunia milik-Ku? Apa yang menghalangi orang-orang untuk berharap kepada-Ku? Seandainya Aku kumpulkan seluruh penghuni langit dan bumi kemudian setiap dari mereka Aku berikan apa yang Aku berikan kepada mereka semua dan Aku mengabulkan seluruh harapan mereka, maka itu semua tidak mengurangi kerajaan-Ku sebesar salah satu bagian biji sawi. Bagaimana kerajaan-Ku berkurang, padahal Aku pengurusnya? Sungguh celaka orang-orang yang putus asa dari rahmat-Ku. Sungguh menderita orang yang bermaksiat kepada-Ku dan melanggar hal-hal yang Aku haramkan”.

Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, “Maka itu semua tidak bisa mengurangi apa yang ada pada-Ku melainkan hanya sekedar seperti jarum yang mengurangi laut jika dimasukkan ke dalamnya", itu benar, karena apa yang ada di sisi Allah tidak berkurang sedikit pun, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Apa yang di sisimu lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”. (An-Nahl: 96).

Jika satu jarum dicelupkan ke laut kemudian diangkat, maka sedikit pun air laut tidak berkurang. Begitu juga, jika burung pipit minum di laut, maka laut sedikit pun tidak berkurang. Oleh karena itu, Nabi Khidhr membuat perumpamaan seperti itu untuk Nabi Musa tentang ilmu keduanya jika dibandingkan dengan ilmu Allah Ta’ala. [35]) Itu karena laut selalu disuplay seluruh air dunia dan sungai-sungainya yang mengalir. Jadi, kendati air laut diambil, maka tidak ada yang berkurang padanya, karena suplaynya lebih banyak daripada air yang diambil. Begitu juga makanan surga dan apa saja yang ada di dalamnya, maka tidak habis, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan buah-buahan yang banyak. Yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya”. (Al-Waqi’ah: 32-33).

Disebutkan di hadits bahwa setiap kali buah-buahan diambil di surga, maka buah-buahan yang sama kembali ke tempatnya semula. Juga diriwayatkan bahwa dua buah-buahan yang sama kembali ke tempatnya. [36]) jadi, buah-buahan surga tidak pernah berkurang selama-lamanya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di khutbah shalat gerhana,

"Surga diperlihatkan kemudian aku memegang setandan dari padanya. jika aku mengambilnya, kalian bisa memakannya selama dunia masih ada”. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). [37]

Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir dan teksnya ialah,

"Jika aku datang kepada kalian dengan membawa buah-buahan surga, maka pasti makhluk yang ada di antara langit dan bumi memakannya tanpa bisa menguranginya sedikit pun”. [38])

Begitu pula daging burung yang dimakan penghuni surga, maka burung tersebut kembali dalam keadaan hidup seperti sebelumnya tanpa ada yang kurang darinya. [39]) Hal ini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari banyak jalur namun dhaif dan juga dikatakan Ka’ab. Perkataan tersebut juga diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili. Begitu juga minuman yang telah diminum, maka minuman tersebut kembali ke tempatnya semula. Seseorang bermimpi bertemu salah seorang shalih tidak lama setelah kematiannya, kemudian orang shalih tersebut berkata, "Sejak aku meninggalkan kalian, aku hanya makan sebagian anak burung. Tidakkah kalian ketahui bahwa makanan surga tidak habis-habis?".

Hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah menjelaskan penyebab apa yang ada di sisi Allah tidak habis kendati diberikan,

"Itu karena Aku Maha Dermawan, Mahakaya, Mahamulia, Aku berbuat apa saja yang Aku inginkan, pemberian-Ku adalah firman, dan siksa-Ku adalah firman. Sesungguhnya perintah-Ku kepada sesuatu jika Aku inginkan ialah Aku berfirman kepadanya, ‘jadilah’, maka jadilah sesuatu tersebut". [40])

Hadits tersebut mirip dengan firman Allah Azza wa jalla,

"Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah’, maka jadilah ia”. (Yaasiin: 82).

Dan mirip dengan firman Allah Azza wa Jalla,

"Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia”. (An-Nahl: 40).

Di Musnad Al-Bazzar disebutkan hadits dengan sanad yang di dalamnya terdapat catatan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Gudang-gudang Allah adalah firman. Jika Dia menghendaki sesuatu, Dia berfirman, “Jadilah”, maka jadilah sesuatu tersebut".

Jadi, jika Allah Subhanahu menghendaki pemberian, siksa, dan lain-lain, Dia berkata kepadanya, "Jadilah", maka jadilah apa yang Dia kehendaki. Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa berkurang? Begitu juga, jika Allah berkehendak menciptakan sesuatu, Dia berkata kepadanya, "Jadilah", maka jadilah sesuatu tersebut, seperti yang Dia firmankan,

"Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah seperti perumpamaan Adam yang Dia ciptakan dari tanah kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Jadilah’, maka jadilah dia”. (Ali Imran: 59).

Disebutkan di salah satu atsar Israiliyat bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Musa Alaihis Salam, "Hai Musa, engkau jangan sekali-kali takut kepada selain diri-Ku selagi kekuasaan menjadi milik-Ku dan kekuasan-Ku tetap berlangsung tanpa terputus. Hai Musa, engkau jangan sekali-kali memperhatikan rezki-Ku selama-lamanya selagi gudang-gudang-Ku penuh, karena gudang-gudang-Ku penuh tanpa pernah habis. Hai Musa, janganlah engkau berteman dengan selain Aku selagi engkau mendapati-Ku sebagai temanmu. Kapan saja engkau mencari-Ku, engkau mendapatkan-Ku. Hai Musa, engkau jangan sekali-kali merasa aman dari makar-Ku selagi engkau belum melintasi titian ke surga”.

Salah seorang penyair berkata,

“Janganhah engkau sekali-kali tunduk kepada seorang makhluk dengan tamak

Karena hal itu merugikan agamamu

Mintalah rezki kepada Allah dari apa saja yang ada di gudang-gudang-Nya

Karena gudang-gudang tersebut ada di antara kata ‘kun’ (jadilah)”.

Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, "Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian kemudian Aku menyempurnakannya”, Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menulis seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya kemudian menyempurnakan pahalanya. Ini seperti firman Allah Ta’ala,

"Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat biji sawi pun, niscaya dia melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat biji sawi pun, niscaya dia melihatnya”. (Az-Zalzalah: 78).

Atau mirip dengan firman Allah Ta’ala,

"Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis) dan Tuhanmu tidak mendzalimi seorang pun”. (Al-Kahfi: 49).

Atau mirip dengan firman Allah Ta’ala,

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh”. (Ali Imran: 30).

Atau mirip dengan firman Allah Ta’ala,

“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakannya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan; Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya”. (Al-Mujaadilah: 6).

Firman Allah Ta’ala di hadits di atas, "Kemudian aku menyempurnakannya”, Secara tekstual, yang dimaksud firman tersebut ialah penyempurnaan pahala di akhirat, seperti firmankan Allah Ta’ala,

"Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”. (Ali Imran: 185).

Atau bisa jadi yang dimaksudkan ialah penyempurnaan pahala amal-amal mereka di dunia dan akhirat, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya diberi pembalasan dengan kejahatannya”. (An-Nisa’: 123).

Karena diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau menafsirkan yang demikian. Beliau bersabda bahwa kaum Mukminin diberi balasan atas kesalahan-kesalahan mereka di dunia dan kebaikan-kebaikan mereka disimpan di akhirat, kemudian pahala kebaikan-kebaikan tersebut disempurnakan. Sedang orang kafir, pahala kebaikan-kebaikannya disegerakan di dunia dan kesalahan-kesalahannya disimpan di akhirat kemudian ia disiksa karenanya di akhirat. Penyempurnaan perbuatan ialah penyempurnaan balasan; baik atau buruk. Keburukan dibalas dengan keburukan yang sama tanpa ditambahi kecuali jika Allah memaafkannya. Sedang kebaikan dilipat-gandakan dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus lipat atau hingga beberapa kali lipat yang hanya diketahui Allah saja, seperti yang Dia firmankan,

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Az-Zumar: 10).

Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, "Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa mendapatkan selain kebaikan, maka ia jangan sekali-kali menyalahkan kecuali dirinya sendiri", adalah isyarat bahwa seluruh kebaikan itu dari Allah sebagai karunia dari-Nya untuk hamba-Nya, sedang seluruh keburukan berasal dari manusia karena hawa nafsu mereka, seperti firmankan Allah Azza wa jalla,

"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari dirimu sendiri”. (An-Nisa’: 79).

Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, "Seorang hamba jangan sekali-kali berharap kecuali kepada Tuhannya. Ia jangan sekali-kali takut kecuali kepada dosanya. Jika Allah Subhanahu berkehendak memberi bimbingan dan petunjuk kepada hamba-Nya, Dia membantunya, membimbingnya untuk taat kepada-Nya, dan itu karunia dari-Nya. Jika Allah berkehendak menelantarkan hamba-Nya, Dia menyerahkannya kepada dirinya sendiri, meninggalkannya kemudian ia ditipu syetan karena kelalaiannya dari dzikir kepada Allah, mengikuti hawa nafsunya, melewati batas, dan itu keadilan dari-Nya, karena sesungguhnya hujjah tetap ada pada seorang hamba dengan diturunkannya Al-Qur’an dan diutusnya rasul. Jadi, siapa pun dari manusia tidak mempunyai hujjah lagi pada Allah setelah pengiriman para rasul”.

Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, "Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa mendapatkan selain kebaikan, maka ia jangan sekali-kali menyalahkan kecuali dirinya sendiri", jika yang dimaksudkan ialah barangsiapa mendapatkan kebaikan di dunia, ia diperintahkan memuji Allah atas apa yang ia dapatkan, yaitu pahala perbuatan-perbuatannya yang shalih yang disegerakan kepadanya di dunia, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Barangsiapa mengerjakan amal shalih; baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl: 97).

Ia juga diperintahkan menyalahkan dirinya atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya di mana dosa-dosa tersebut dipercepat akibatnya di dunia, seperti difirmankan Allah Ta’ala,

"Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian adzab yang dekat (di dunia) sebelum adzab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (As-Sajdah: 21).

Jadi, jika orang Mukmin mendapatkan musibah di dunia, ia kembali kepada dirinya dengan menyalahkannya dan mengajaknya kembali kepada Allah dengan bertaubat dan beristighfar kepada-Nya. Di Al-Musnad [41]) dan Sunan Abu Daud disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Sesungguhnya jika orang Mukmin menderita sakit kemudian Allah menyembuhkannya dari sakit tersebut, itu adalah penebus baginya atas dosa-dosa masa lalunya dan pelajaran baginya atas usianya di masa mendatang. Dan sesungguhnya jika orang munafik sakit kemudian disembuhkan, maka ia seperti unta yang diikat pemiliknya kemudian dilepaskan. Ia tidak tahu kenapa pemiliknya mengikatnya dan melepaskannya?"

Salman Al-Farisi Radhiyallahu Anhu berkata, "Sesungguhnya orang Muslim pasti diuji kemudian ujian menjadi penebus baginya atas dosa-dosa masa silamnya dan teguran atas apa yang tersisa. Orang kafir juga diuji. Perumpamaan orang kafir ialah seperti unta yang dilepaskan; ia tidak tahu kenapa ia dilepaskan, dan seperti unta yang diikat; ia tidak tahu kenapa ia diikat?"

Namun, jika yang dimaksudkan firman Allah di hadits tersebut ialah orang yang mendapati kebaikan atau keburukan di akhirat, maka itu penjelasan dari Allah bahwa orang-orang yang mendapatkan kebaikan di akhirat itu memuji Allah karena hal tersebut dan orang-orang yang mendapatkan keburukan itu mengecam diri mereka sendiri pada saat kecaman tidak bermanfaat bagi mereka. Jadi, ungkapan tersebut adalah ungkapan perintah namun maknanya pemberian informasi, seperti sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Barangsiapa berbohong terhadapku, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.

Maksudnya, pembohong itu sedang menyiapkan tempat duduknya di neraka. Allah Ta’ala menjelaskan tentang penghuni surga bahwa mereka memuji Allah atas karunia-Nya yang diberikan kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan Kami cabut segala macam dendam yang ada di dada mereka, mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) itu dan kami sekali-kali tidak mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk". (Al-A’raaf: 43).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang memenuhi janji-Nya kepada kami dan (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki". (Az-Zumar: 74).

Allah Ta’ala berfirman,

"Dan mereka berkata, Segala puji bagi Allah yang menghilangkan duka cita dari kami, sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami di tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu". (Fathir: 34-35).

Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa penghuni neraka mengecam diri mereka sendiri dan sangat membencinya. Allah Ta’ala berfirman,

"Dan berkatalah syetan tatkala perkara (hisab) diselesaikan, Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar dan aku telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya; sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku atas kalian, melainkan (sekedar) aku menyeru kalian lalu kalian mematuhi seruanku, oleh sebab itu, janganlah kalian mencerca aku, akan tetapi cercalah diri kalian sendiri”. (Ibrahim: 22).

Allah Ta’ala berfirman,

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir diserukan kepada mereka (pada hari kiamat), Sesungguhnya kebencian Allah lebih besar daripada kebencian kalian kepada diri kalian sendiri karena kalian diseru untuk beriman lalu kalian kafir". (Ghafir: 10).

Para generasi salaf bersungguh-sungguh dalam amal shalih karena khawatir mencerca dirinya sendiri pada saat amal perbuatan terputus karena ia dulu lalai. Di At-Tirmidzi [42]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Tidaklah mayit mati melainkan ia menyesal, jika mayit tersebut orang baik, ia menyesal kenapa ia dulu tidak menambah (amal). Jika mayit tersebut jahat, ia menyesal kenapa tidak mencerca”.

Dikatakan kepada Masruq, "Bagaimana seandainya engkau mengurangi keseriusan yang biasa engkau kerjakan?" Masruq berkata, "Jika seseorang datang kepadaku kemudian memberiku kabar bahwa Allah tidak menyiksaku, aku pasti bersungguh-sungguh dalam ibadah”. Dikatakan kepada Masruq, "Kenapa begitu?" Masruq berkata, "Agar jiwaku menerima alasanku bahwa aku tidak mencercanya jika aku masuk neraka. Tidakkah disampaikan kepadamu firman Allah Ta’ala, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (Al-Qiyamah: 2). Mereka menyalahkan diri mereka sendiri ketika mereka masuk ke neraka Jahanam kemudian mereka dirangkul Malaikat Zabaniyah, mereka dipisahkan dengan apa saja yang mereka inginkan, seluruh harapan terputus dari mereka, rahmat diangkat dari mereka, dan setiap orang dari mereka menyalahkan dirinya sendiri?"

Amir bin Abdu Qais berkata, "Demi Allah, aku pasti bersungguh-sungguh kemudian demi Allah, aku pasti bersungguh-sungguh. Jika aku selamat, itu karena rahmat Allah. Jika tidak, aku tidak menyalahkan diriku”. [43])

Ziyad mantan budak Ibnu Ayyasy berkata kepada Ibnu Al-Munkadir dan Shafwan bin Sulaim, "Bersungguh-sungguhlah dan waspadalah. Bersungguh-sungguhlah dan waspadalah. Jika segala sesuatu seperti yang kita harapkan, maka apa yang telah kalian berdua kerjakan adalah karunia. Jika tidak, kalian berdua tidak perlu menyalahkan diri kalian berdua?"

Mutharrif bin Abdullah berkata, "Bersungguh-sungguhlah kalian dalam beramal. Jika segala sesuatu terjadi seperti yang kita harapkan itu karena rahmat Allah dan maaf-Nya, maka kita mempunyai beberapa derajat di surga. Jika segala sesuatunya sangat berat seperti yang kita takutkan dan khawatirkan, kita tidak berkata, “Ya Tuhan kami, keluarkan kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. (Fathir: 37). Namun kita katakan, “Sungguh, kami telah beramal, namun semua amal kami tidak berguna bagi kami”.

 



[1] Hadits nomer 2577. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 5/154, 160, 177, At-Tirmidzi hadits nomer 2495, Ibnu Majah hadits nomer 4257, Abdurrazzaq hadits nomer 20272, Al-Khathib di Tarikhnya 7/203-204, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 5/125-126, dan Al-Baihaqi di Al-Asma’ wash Shifat hal. 65, 159, 213-214, 227, 285.

[2] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan Al-Kabir. Al-Haitsami berkata di Majmauz Zawaid 10/150, "Di sanadnya terdapat perawi Abdul Malik bin Harun bin Antarah yang disepakati sebagai perawi dhaif”.

[3] Imam An-Nawawi meriwayatkan hadits tersebut di halaman akhir buku Al-Adzkaar dengan sanadnya. Ia berkata, syaikh kami Abu Al-Baqa’ Khalid bin Yusuf An-Nablusi Ad-Dimasyqi berkata kepada kami, Abu Thalib Abdullah, Abu Manshur Yunus, Abu Al-Qasim Husain bin Hibatullah bin Shashri, Abu Ya’la Hamzah, dan Abu Ath-Thahir Ismail, semuanya berkata kepadaku, Al-Hafidz Abu Al-Qasim Ali bin Al-Husain alias Ibnu Asakir berkata kepada kami, Asy-Syarif Abu Al-Qasim Ali bin Ibrahim bin Al-Abbas Al-Husaini yang merupakan khathib Damaskus berkata kepada kami, Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Yahya bin Salwan berkata kepada kami, Abu Al-Qasim Al-Fadhl bin Ja’far berkata kepada kami, Abu Bakr Abdurrahman bin Al-Qasim bin Al-Faraj Al-Hasyimi berkata kepada kami, Abu Mishar berkata kepada kami, Sa’id bin Abdul Aziz berkata kepada kami dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris Al-Khaulani dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Jibril Alaihis Salam dari Allah Tabaraka wa Ta’ala yang berfirman, "...”. Kemudian Imam Nawawi menyebutkan hadits tersebut. Ia berkata, "Hadits ini shahih. Kami meriwayatkannya di Shahih Muslim dan lain-lain. Sanadnya dariku hingga Abu Dzar adalah orang-orang Damaskus, karena Abu Dzar pernah masuk ke Damaskus. Hadits ini mengandung sejumlah manfaat, di antaranya sanad dan matannya shahih, kedudukannya tinggi, dan sanadnya berantai dengan orang-orang Damaskus.

Manfaat-manfaat lainnya, hadits tersebut mengandung penjelasan sejumlah kaidah-kaidah agung tentang prinsip-prinsip agama, cabang-cabangnya, etika, sentuhan-sentuhanjiwa, dan lain sebagainya. Puji bagi Allah atas ini semua.

Kami riwayatkan dari Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal yang berkata, “Orang-orang Syam tidak mempunyai hadits yang lebih mulia daripada hadits ini”.

[4] Baca Shahih Muslim hadits nomer 2650.

[5] Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4699 dan Ibnu Majah hadits nomer 77. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 727. Takhrijnya secara lengkap, silahkan di buku tersebut.

[6] Saya tidak mengetahui ulama-ulama hadits tempo dulu yang berkata seperti itu, karena Wahb bin Khalid dianggap sebagai perawi tepercaya oleh Abu Daud, Ibnu Hibban, Al-Ajli, Ad-Dzahabi, dan Ibnu Hajar.

[7] Dari Abu Bakrah, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 67 dan Muslim hadits nomer 1679. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3848. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[8] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/72. Di sanadnya terdapat perawi Ali bin Zaid bin Jud’an yang merupakan perawi dhaif.

[9] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2447 dan Muslim hadits nomer 2579.

[10] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4686, Muslim hadits nomer 2583, dan At-Tirmidzi hadits nomer 3110. Hadits tersebut dishahihkan ibnu Hibban hadits nomer 5175.

[11] Hadis nomer 2449 dan 6534. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/435, 506. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 7361.

[12] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/162, 266 dan Muslim hadits nomer 2865. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 653, 654. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[13] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/275, 282, Al-Bukhari hadits nomer 1358, Muslim hadits nomer 2658, dan At-Tirmidzi hadits nomer 2138. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 128-130.

[14] Dari Aisyah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 6/156, Muslim hadits nomer 770, Abu Daud hadits nomer 767, At-Tirmidzi hadits nomer 3420, An-Nasai 3/212-213, dan Ibnu Majah hadits nomer 1357. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2600.

[15] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/88, Muslim hadits nomer 2725, dan An-Nasai 8/177, 219 dan Abu Dawud hadits nomer 1425.

[16] Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2499, Ibnu Majah hadits nomer 4251, Imam Ahmad 3/198, Al-Hakim 4/244, dan Ibnu Adi di Al-Kamil 5/1850 dari jalur Ali bin Mas’adah dari Qatadah dari Anas bin Malik. Sanad hadits tersebut layak dianggap hasan.

[17] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6307, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 434, 437, Ibnu Majah hadits nomer 3815, dan Imam Ahmad 2/282. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 925.

[18] Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2702, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 444, 447, Imam Ahmad 4/260, dan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 621. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 929.

[19] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/396, 397. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 926 dan Al-Hakim 1/511, 2/457, padahal di sanadnya terdapat Ubaidillah bin Abu Al-Mughirah yang tidak diketahui identitasnya.

[20] Diriwayatkan An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 440 dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 1810 dari jalur Abu Barzah bin Abu Musa dari ayahnya. Sanadnya hasan. Al-Hafidz Al-Mizzi berkata di Tuhfatul Asyraaf 6/462, "Yang kuat ialah hadits Abu Barzah dari Al-Aghar Al-Muzani", yaitu hadits sebelumnya.

[21] Di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 441. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 3816 dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a 3/1809. Menurut Ibnu Majah, "Sebanyak tujuh puluh kali”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Uqaili di Adh-Dhua’fa’ 4/175 dan menguatkan hadits tersebut berasal dari Al-Aghar Al-Muzani.

[22] Diriwayatkan Imam Ahmad 2/21, 67, Abu Daud hadits nomer 1516, At-Tirmidzi hadits nomer 3434, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 458, 460, Ibnu Majah hadits nomer 3814, dan Al-Bukhari di Al-AdabAl-Mufrad hadits nomer 618. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 927.

[23] Di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 454. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 928, padahal di dalamnya terdapat perawi Al-Walid bin Muslim yang merupakan perawi mudallis, dan ia telah mengucapkan “an” (dari).

[24] Diriwayatkan Imam Ahmad 6/129, 145, 188, 239, Ibnu Majah hadits nomer 3820, dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 1401. Di sanadnya terdapat perawi Ali bin Zaid bin Jud’an yang merupakan perawi dhaif.

[25] Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 1097, 2119 dan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10499. Di sanadnya terdapat perawi Abu Iyadh Al-Madani yang tidak dikenal identitasnya.

[26] Dari Abu Hurairah, hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 7507, Muslim hadits nomer 2758, dan Imam Ahmad 2/296. Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 622, 625.

[27] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/97, 115, 128, At-Tirmidzi hadits nomer 3446, dan Abu Daud hadits nomer 2602. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2698 dan Al-Hakim 2/98-99.

[28] Dari Umar bin Khaththab, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5999 dan Muslim 2754 yang semisal dengannya.

[29] Dari Al-Barra’ bin Azib, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 4/285, Al-Bukhari hadits nomer 247, dan Muslim hadits nomer 2711. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 5527, 5536, 5542. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.

[30] Dari Aisyah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 6/58, 201, Muslim hadits nomer 486, Abu Daud hadits nomer 879, dan An-Nasai 1/102. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 1932, 1933.

[31] Di Al-Hilyah 8/92-93.

[32] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad 2/277. Muslim hadits nomer 2564, dan At-Tirmidzi hadits nomer 1927.

[33] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4684, Muslim hadits nomer 993, dan At-Tirmidzi hadits nomer 3045.

[34] Hadits nomer 2679. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/457-458 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 896.

[35] Dari Ibnu Abbas, hadits tersebut diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 122, 3401, 4725, 4727, Muslim hadits nomer 2380, dan At-Tirmidzi hadits nomer 3149. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 6220.

[36] Ath-Thabrani di Al-Kabir 1449 meriwayatkan hadits dari Tsauban dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Jika seseorang memetik salah satu buah-buahan surga, maka bunh-buahan lainnya kembali ke tempatnya semula”.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3530 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah hadits nomer 345 dengan redaksi, "Salah seorang dari penghuni surga tidak memetik salah satu buah-huahan surga, melainkan dua buah-buahan yang sama tumbuh di tempatnya semula”. Itu redaksi Abu Nu’aim. Di sanadnya terdapat Abbad bin Manshur yang merupakan perawi dhaif.

Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3531 dan di sanadnya terdapat perawi Ishaq bin Idris yang tertuduh sebagai pemalsu hadits.

Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/414. Ia berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani dan Al-Bazzar. Perawi salah satu sanad Al-Bazzar adalah para perawi tepercaya”.

[37] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1052, Muslim hadits nomer 907, dan Imam Ahmad 1/298. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2832.

[38] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/137 dari jalur Jabir dari Ubai bin Ka’ab. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 4/604-605 dari jalur Ath-Thufail bin Ubai bin Ka’ab dari ayahnya dan menshahihkannya dengan disetujui Adz-Dzahabi.

[39] Hanad bin As-Suri di Az-Zuhdu hadits nomer 120, Ibnu Abu Syaibah 13/98-99, Nu’aim bin Hammad hadits-hadits tambahan Az-Zuhdu hadits nomer 268, dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 6/68 meriwayatkan hadits dari jalur Hassan bin Abu Al-Asyras dari Mughits bin Sumi yang berkata, "Jika seorang (penghuni surga) menginginkan burung, ia memanggilnya kemudian burung tersebut datang hingga jatuh di atas mejanya. Ia pun memakan dendeng dari salah satu sisinya dan satu dari sisinya yang lain kemudian burung tersebut kembali seperti sebelumnya lalu terbang”. Atsar mursal ini shahih.

[40] Penggalan hadits panjang yang diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2495, Ibnu Majah hadits nomer 4257, dan Imam Ahmad 5/154, 177 dari jalur Syahr bin Husyab dari Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Dzar. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan kendati terdapat pembahasan tentang Syahr bin Husyab”.

[41] Hadits tersebut tidak tercetak di Al-Musnad, karena banyak sekali hadits, terkadang musnad-musnad para sahabat, juga tidak tercetak di dalamnya. Mudah-mudahan Allah memberi kemudahan untuk bisa menerbitkan Al-Musnad dalam cetakan yang teredit dan bersandar pada sumber-sumber tepercaya. Buktinya, hadits tersebut sesungguhnya ada di Al-Musnad bahwa Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Ishabah 2/252 berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 3089 dan dari jalurnya oleh Ibnu Al-Atsir di Usudul Ghabah 3/121. Di sanadnya terdapat perawi Abu Mandzur yang tidak dikenal identitasnya.

[42] Hadits nomer 2403. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 33 dan Ibnu Adi di Al-Kamil 7/2660. Di sanadnya terdapat perawi Yahya bin Ubaidillah bin Muhab yang disepakati para ulama hadits sebagai perawi dhaif.

[43] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/88

No comments:

Post a Comment

Aqidah Thahawiyyah