الْحَدِيثُ
الرَّابِعُ وَالْعِشْرُونَ. عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ
وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: «يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي
وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ
ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِي
كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا
عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ، يَا
عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ
لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي،
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ
كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي
مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ
ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ
وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ
كُلَّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ عِنْدِي إِلَّا كَمَا
يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا دَخَلَ الْبَحْرَ، يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ
أَعْمَالُكُمْ: أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ
خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ. وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا
يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ.» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam tentang apa yang beliau riwayatkan dari Rabb beliau Azza wa jalla bahwa Dia berfirman,
"Wahai
hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman terhadap diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling mendzalimi Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah tersesat kecuali orang yang Aku beri dia petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri petunjuk Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku
beri makan, maka mintalah makanan kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri makanan. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah telanjang
kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian
kepada-Ku, nicaya kalian Aku beri pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku,
sesungguhnya kalian berbuat salah di malam dan siang hari, sedang
Aku mengampuni seluruh dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya
Aku mengampuni kalian. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak
dapat memberi madzarat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi madzarat
kepada-Ku dan kalian juga tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi manfaat kepada-Ku. Wahai
hamba-hamba-Ku, seandainya orang
pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dan kalian semua seperti hati salah seorang dari
kalian yang paling bertakwa, maka itu
semua sedikit pun tidak menambah kerajaan-Ku Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir kalian,
manusia dan jin dari kalian seperti
hati orang yang paling jahat di antara kalian, maka itu semua tidak bisa mengurangi kerajaan-Ku. Wahai
hamba-hamba-Ku, seandainya orang
pertama dan terakhir dari kalian dari manusia dan jin dan kalian berada
di tempat yang sama kemudian meminta kepada-Ku lalu Aku berikan permintaan setiap orang, maka itu semua tidak bisa mengurangi
apa yang ada pada-Ku melainkan hanya sekedar seperti jarum yang
mengurangi air laut jika dimasukkan ke
dalamnya. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian
kemudian menyempurnakannya. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji
Allah. Dan barangsiapa mendapatkan selain kebaikan, ia jangan sekali-kali menyalahkan kecuali dirinya sendiri”. (Diriwayatkan Muslim). [1]
Hadits bab di atas
diriwayatkan Muslim dari riwayat Sa’id bin Abdul Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris Al-Khaulani dari Abu Dzar. Di
akhir hadits disebutkan bahwa Sa’id bin Abdul Aziz berkata, "Jika
Abu Idris Al-Khaulani menceritakan hadits ini, ia berlutut”.
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Muslim dari riwayat Qatadah dari Abu Qilabah dari Abu Asma’ Ar-Rahabi dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, namun Muslim tidak menyebutkan hadits tersebut dengan teksnya dan hanya berkata, "Abu Asma’ Ar-Rahabi menyebutkan
hadits seperti teks hadits Abu Idris, namun hadits Abu Idris
lebih sempurna”.
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari riwayat Syahr
bin Hausyab dari Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Allah Ta’ala
berfirman, Hai hamba-hamba-Ku, semua dari kalian tersesat kecuali orang
yang Aku beri petunjuk, karenanya, mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri petunjuk. Semua
dari kalian fakir kecuali orang yang Aku
buat kaya, karenanya, mintalah kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri rezki. Semua dari kalian berdosa kecuali
orang yang Aku lindungi, karenanya, barangsiapa di antara kalian
mengetahui Aku mempunyai kemampuan untuk mengampuni, maka mintalah ampunan
kepada-Ku, niscaya ia Aku beri ampunan dan
Aku tidak peduli. Jika orang pertama dan terakhir kalian, orang mati dan hidup kalian, orang basah dan
kering kalian berkumpul di hati salah seorang hamba-Ku yang paling bertakwa,
maka itu sedikit pun tidak menambah
kerajaan-Ku sebesar sayap nyamuk. Jika orang pertama dan terakhir kalian, orang mati dan hidup kalian,
orang basah dan kering kalian berkumpul di satu tempat kemudian salah
seorang dari kalian meminta sesuatu yang
menjadi puncak harapannya kemudian Aku berikan setiap peminta di antara kalian, maka itu semua tidak
mengurangi kerajaaan-Ku melainkan seperti seandainya salah seorang dari kalian
berjalan melewati laut kemudian ia mencelupkan jarum ke dalamnya lalu
mengangkatnya. Itu karena Aku Maha Dermawan,
Mahakaya, Mahamulia, Aku berbuat apa saja yang Aku inginkan,
pemberian-Ku adalah firman, dan siksa-Ku adalah firman. Sesungguhnya perintah-Ku kepada sesuatu jika Aku inginkan ialah Aku berfirman
kepadanya, “Jadilah”, maka jadilah sesuatu tersebut".
Itu teks versi
At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits tersebut hasan”.
Hadits semakna
diriwayatkan Ath-Thabrani dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, namun sanadnya dhaif. [2])
Tentang hadits Abu Dzar Radhiyallahu
Anhu, Imam Ahmad berkata, "Hadits tersebut adalah hadits penduduk Syam yang paling mulia”. [3])
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang apa yang beliau riwayatkan dari Tuhan
beliau, "Wahai hamha-hamba-Ku,
sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman
terhadap diri-Ku, "maksudnya,
Allah melarang diri-Nya berbuat dzalim terhadap hamba-hamba-Nya, seperti
yang Dia firmankan,
"Dan Aku sekali-kali tidak mendzalimi
hamba-hamba-Ku”. (Qaaf: 29).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan Allah tidak
menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba hamba-Nya”. (Ghafir: 31).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan Allah tidak
berkehendak untuk mendzalimi hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran: 108).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan sekali-kali
Tuhanmu tidak mendzalimi hamba-hamba(Nya)”. (Fushshilat: 46).
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak
berbuat dzalim kepada manusia sedikit pun, tapi manusia itulah yang berbuat dzalim kepada diri mereka sendiri”. (Yunus: 44).
Allah Ta’ala berfirman,
"Sesunggulutya Allah
tidak mendzalimi seseorang walaupun sebesar biji sawi”. (An-Nisa’: 40).
Allah Ta’ala berfirman,
ومن يعمل من الصالحات وهو مؤمن فلا يخاف ظلما ولا هضما.
"Dan
barangsiapa mengerjakan amal-amal yang shahh dan ia dalam keadaan beriman, maka
ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya”. (Thaaha: 112).
Yang dimaksud dengan kata
hadhman pada ayat di atas ialah pengurangan pahala kebaikan dan yang dimaksud dengan kata dzulman pada ayat tersebut ialah
penyiksaan karena dosa-dosa orang lain. Ayat-ayat seperti di atas sangat banyak
di Al-Qur’an.
Ini menunjukkan bahwa Allah
sanggup berbuat dzalim, namun Dia tidak mau melakukannya sebagai karunia dan sikap
dermawan dari-Nya, kemurahan dan kebaikannya terhadap hamba-hamba-Nya.
Sebagian besar ulama menafsikan kedzaliman
dengan penempatan sesuatu tidak pada
tempatnya. Sedang para ulama yang menafsirkannya dengan menggunakan milik orang lain tanpa seizinnya pendapat
yang sama diriwayatkan dari Iyas bin
Muawiyah dan lain-lain, mereka berkata, "Sesungguhnya kedzaliman mustahil terjadi pada Allah sedang pada selain
Allah maka bisa saja terjadi, karena apa
saja yang dikerjakan Allah adalah
tindakan terhadap milik-Nya”. Hal yang sama
dikatakan Abu Al-Aswad Ad-Duali kepada Imran bin Hushain yang bertanya kepadanya tentang takdir. [4])
Abu Daud dan Ibnu Majah
meriwayatkan hadits dari Abu Sinan Sa’id bin Sinan dari Wahb bin
Khalid Al-Himshi dari Ad-Dailami bahwa ia mendengar Ubai bin Ka’ab berkata, "Seandainya Allah menyiksa seluruh penduduk
langit dan bumi-Nya, Dia pasti menyiksa mereka tanpa mendzalimi mereka.
Seandainya Allah merahmati mereka, rahmat-Nya pasti lebih baik bagi
mereka daripada amal perbuatan mereka”. Ad-Dailami pergi kepada Ibnu Mas’ud
yang kemudian berkata seperti itu. Ad-Dailami pergi kepada Zaid bin Tsabit
yang kemudian menceritakan hadits kepadanya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda seperti perkataan tersebut. [5])
Di hadits ini terdapat catatan, karena Wahb bin Khalid dikenal tidak mempunyai ilmu.
[6])
Bisa jadi, perkataan tersebut dimaksudkan bahwa seandainya Allah menyiksa mereka, Dia pasti mentakdirkan
siksa untuk mereka kemudian Dia tidak mendzalimi mereka.
Allah yang telah
menciptakan perbuatan-perbuatan manusia yang di dalamnya terdapat kedzaliman tidak berarti bahwa Allah memiliki sifat
dzalim. Begitu juga, Allah tidak bisa disifati dengan seluruh
perbuatan-perbuatan buruk yang dikerjakan manusia yang merupakan hasil penciptaan dan takdir-Nya, karena Allah hanya disifati
dengan perbuatan-perbuatan diri-Nya dan tidak disifati dengan
perbuatan-perbuatan hamba-hamba-Nya, karena perbuatan-perbuatan hamba-hamba-Nya adalah makhluk-makhluk-Nya dan Dia tidak bisa disifati
dengan salah satu daripadanya, namun
Dia disifati dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan yang ada pada-Nya, wallahu a’lam.
Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, "Dan Aku
menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling
mendzalimi". Maksudnya, sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kedzaliman terhadap
hamba-hamba-Nya dan melarang mereka saling mendzalimi sesama
mereka. Jadi, setiap orang haram mendzalimi orang lain, karena kedzaliman itu
sendiri adalah haram secara mutlak. Kedzaliman terbagi ke dalam dua bagian;
Pertama: Kedzaliman seorang hamba terhadap diri sendiri dan kedzaliman yang paling
besar ialah syirik, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya syirik
adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Luqman: 13).
Itu karena orang musyrik
menjadikan makhluk ke dalam tingkatan Al-Khaliq (Pencipta) kemudian
menyembahnya dan menjadikannya sebagai tuhan. Jadi, ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebagian besar ancaman bagi
orang-orang yang dzalim di Al-Qur’an dimaksudkan untuk orang-orang
musyrikin, seperti difirmankan Allah Azza wa jalla,
"Dan orang-orang
kafir itulah orang-orang yang dzalim”. (Al-Baqarah: 254).
Kemudian berikutnya
diikuti maksiatmaksiat yang beragam jenis; dosa-dosa besar dan
dosa-dosa kecil.
Kedua: Kedzaliman seorang hamba terhadap orang lain. Itulah yang disebutkan di hadits bab di atas. Pada haji wada’, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Sesungguhnya darah,
harta, dan kehormatan kalian haram terhadap kalian, seperti keharaman hari kalian ini di bulan kalian ini di negeri kalian ini". [7])
Juga diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu
Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda seperti itu pada
hari Arafah, hari penyembelihan Qurban, dan hari kedua tasyriq. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa
setelah itu, beliau bersabda,
"Dengarlah dariku, niscaya kalian hidup.
Ingatlah, janganlah kalian mendzalimi Ingatlah, janganlah kalian
mendzalimi. Ingatlah, janganlah kalian mendzalimi.
Sesungguhnya harta seorang Muslim tidak halal
kecuali atas kerelaaan hatinya”. [8])
Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu
Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Kedzaliman adalah
kegelapan pada Hari Kiamat”. [9])
Di Shahih Al-Bukhari
dan Shahih Muslim juga
disebutkan hadits dari Abu Musa
Al-Asy’ari yang bersabda,
"Sesungguhnya Allah pasti menunda
(hukuman) bagi orang dzalim, namun jika Dia telah menyiksanya, Dia tidak
meloloskannya”. Kemudian Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam membaca ayat,
وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة إن أخذه أليم شديد.
"Dan
begitulah adzab
Tuhanmu; apabila Dia mengadzab penduduk
negeri-negeri yang berbuat dzalim, sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras”.
(Huud: 102). [10]
Di Shahih
Al-Bukhari [11]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Barangsiapa pada dirinya terdapat madzlamah (harta yang dirampas dengan dzalim) milik saudaranya, hendaklah ia memintanya menghalalkannya sekarang ini,
sebelum ia tidak memiliki dinar dan dirham. Jika ia mempunyai amal shalih,
maka amal shalihnya diambil darinya sebesar madzlamahnya. Jika ia tidak mempunyai amal shalih, kesalahan-kesalahan saudaranya diambil kemudian dibebankan kepadanya”.
Firman Allah Ta’ala di hadits bab di
atas,
"Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari
kalian adalah tersesat kecuali orang yang Aku beri dia petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri
petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap
dari kalian adalah lapar kecuali orang yang
Aku beri makan, maka mintalah makanan kepada-Ku, niscaya kalian Aku beri
makanan. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari
kalian adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, nicaya kalian Aku
beri pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat salah di malam
dan siang hari, sedang Aku mengampuni
seluruh dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni kalian”.
Teks di atas menunjukkan
bahwa seluruh makhluk butuh kepada Allah Ta’ala dalam
mendapatkan kemasalahatan dan menolak madzarat di urusan agama dan dunia mereka. Teks di atas juga menunjukkan
bahwa manusia tidak memiliki sesuatu
apa pun bagi diri mereka, barangsiapa tidak diberi rezki dan petunjuk maka ia tidak memiliki keduanya di dunia, dan
barangsiapa tidak diberi pengampunan atas dosa-dosanya oleh Allah maka
kesalahan-kesalahannya membinasakannya di
akhirat.
Firman Allah Ta’ala,
“Barangsiapa diberi
petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa disesatkan-Nya maka engkau tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”. (Al-Kahfi: 17).
Ayat-ayat seperti ayat
tersebut sangat banyak di Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,
"Apa saja yang Allah
anugerahkan kepada manusia berupa rahmat maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu”. (Fathir: 2).
Allah Ta’ala berfirman,
"Sesungguhnya Allah
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi
Sangat Kokoh”. (Adz-Dzaariyat: 58).
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka mintalah rezki di
sisi Allah dan sembahlah Dia”. (Al-Ankabut: 17).
Dan Allah Ta’ala
berfirman pula,
"Dan tidak ada suatu makhluk yang bernyawa
berjalan di muka bumi, melainkan Allahlah
yang memberi rezkinya”. (Huud: 6).
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Adam dan Hawwa’ yang
berkata,
"Ya Tuhan kami, kami
telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami pasti termasuk orang-orang yang merugi”. (Al-A’raaf: 23).
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Nuh Alaihis Salam yang berkata,
"Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun
kepadaku dan merahmatiku, niscaya aku
termasuk orang-orang yang merugi". (Huud: 47).
Karena itu semua (petunjuk, rezki, dll) hanya
dimiliki Allah. Nabi Ibrahim Alaihis Salam berhujjah
bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia dan bahwa apa saja yang disekutukan dengannya
adalah batil. Nabi Ibrahim berkata
kepada kaum beliau,
“Maka apakah kalian
memperhatikan apa yang selalu kalian sembah? Kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam. (Yaitu Tuhan)
Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki
aku. Dan Dia yang memberiku makan dan minum. Dan apabila
aku sakit, Dia yang menyembuhkan aku. Dan Dia akan mematikan aku
kemudian menghidupkan aku. Dan Dia yang amat kuinginkan akan
mengampuni kesalahanku pada Hari Kiamat". (Asy-Syu’ara:
75-82).
Karena pihak yang disendirikan dalam
menciptakan hamba-Nya, memberi hidayah
kepadanya, memberi rezki kepadanya, menghidupkannya dan mematikannya di dunia, dan mengampuni dosa-dosa di
akhirat itu layak diesakan dalam Ilaahiyah,
ibadah, permintaan, merendahkan diri kepada-Nya, dan tunduk kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
"Allah yang
menciptakan kalian, kemudian memberi kalian rezki, kemudian mematikan
kalian, kemudian menghidupkan kalian; adakah di antara yang kalian persekutukan dengan Allah dapat berbuat
sesuatu dari yang demikian itu? Mahasucilah Dia dan Mahatinggi dari apa yang
mereka persekutukan”. (Ar-Ruum: 40).
Di hadits bab di atas
terdapat dalil bahwa Allah senang dimintai hamba-hamba-Nya dalam
seluruh kemaslahatan agama dan dunia mereka; makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Allah juga senang jika mereka
meminta petunjuk dan ampunan
kepada-Nya. Disebutkan di hadits,
"Hendaklah salah
seorang dari kalian memintakan seluruh kebutuhannya kepada Tuhannya hingga ia meminta tali sandalnya kepada-Nya jika terputus”.
Salah seorang generasi
salaf memintakan seluruh kebutuhannya kepada Allah Ta’ala di shalatnya, hingga meminta garam untuk
adonan rotinya dan rumput untuk kambingnya. Di israiliyat, disebutkan
bahwa Nabi Musa Alaihis Salam berkata, "Tuhanku, telah muncul padaku kebutuhan di dunia, namun
aku malu memintanya kepada-Mu”. Allah berfirman, "Mintalah
kepada-Ku meskipun garam untuk adonan rotimu dan rumput untuk
keledaimu”. Jika seorang hamba memintakan seluruh kebutuhannya kepada Allah, sungguh
ia memperlihatkan kebutuhan dan kemiskinannya kepada Allah dan sikap
seperti itu disukai Allah. Salah seorang generasi salaf malu untuk meminta sesuatu dari
kebutuhan dunia kepada Allah, namun mengikuti sunnah itu lebih urgen.
Tentang firman Allah Ta’ala di hadits qudsi, "Wahai hamba-hamba-Ku, setiap dari kalian adalah tersesat kecuali orang yang Aku beri dia petunjuk", ada yang menduga bahwa firman tersebut bertentangan
dengan hadits Iyadh bin Himar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, Aku menciptakan
hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus". Di riwayat
lain disebutkan, "Allah Azza wa Jalla berfirman, Aku
menciptakan hamba-hamba-Ku dalam
keadaan Muslim kemudian mereka dipalingkan oleh syetan”. [12]) Padahal firman tersebut sama sekali tidak
bertentangan dengan hadits tersebut, karena Allah
menciptakan anak keturunan Adam, membentuk mereka untuk menerima Islam, cenderung kepadanya dan bukan cenderung
kepada yang lain, siap kepadanya, dan
mempersiapkan diri dengan kuat untuknya. Namun, manusia harus diajari Islam dengan amal nyata, karena mereka sebelum
diajari adalah bodoh tidak mengetahui
apa-apa, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan Allah
mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa”. (An-Nahl: 78).
Allah Ta’ala
berfirman kepada Nabi-Nya,
"Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”. (Adh-Dhuha: 7).
Maksudnya, Allah mendapatimu tidak mengetahui
kitab dan hikmah yang telah diajarkan
kepadamu, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan demikianlah
Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami; sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur’an) dan
tidak pula mengetahui apakah iman itu?". (Asy-Syura: 52).
Jadi, manusia dilahirkan
dalam keadaan dibentuk untuk menerima kebenaran. Jika Allah memberinya
petunjuk, Allah memberinya sarana dalam bentuk orang yang mengajarkan petunjuk kepadanya, akhimya, ia betul-betul menjadi
orang yang mendapatkan petunjuk dan perbuatan setelah sebelumnya
ia mendapatkan petunjuk
dengan kekuatan. Jika Allah membiarkannya, Dia membuatnya dikuasai orang yang mengajari sesuatu yang bertentangan
dengan fitrahnya, seperti disabdakan
Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam,
"Setiap bayi
dilahirkan di atas fitrah kemudian kedua orang tuanya yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Kristen, dan Majusi”. [13])
Adapun permintaan petunjuk oleh orang Mukmin
kepada Allah, maka petunjuk itu ada dua;
Pertama, petunjuk global, yaitu petunjuk kepada Islam dan iman. Petunjuk seperti ini terjadi pada orang Mukmin.
Kedua, petunjuk detail, yaitu petunjuk Allah untuk mengetahui detail bagian-bagian iman dan Islam serta bantuan-Nya untuk mengerjakannya.
Petunjuk seperti ini amat diperlukan orang Mukmin di setiap malam
dan siang. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk membaca firman-Nya berikut di
setiap raka’at shalat-shalat mereka, "Tunjukilah kami jalan yang lurus”. (Al-Fatihah: 6). Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam berkata dalam doa beliau di malam hari,
اهدنى لما اخْتُلِفَ فيه من الحق بإذنك, إنك تهدى من تشاء إلى صراط مستقيم.
"Tunjukilah
aku kepada kebenaran yang diperselisihkan di dalamnya dengan izin-Mu, karena
sesungguhnya Engkau menunjuki hamba-Mu ke jalan
yang lurus”. [14])
Oleh karena itu, jika
seseorang bersin, dikatakan kepadanya, "Yarhamukallah (semoga Allah
merahmatimu)", kemudian orang yang bersin berkata kepada orang yang mendoakannya, "Yahdikumullah (semoga Allah
memberimu petunjuk)”. Itu seperti disebutkan di sunnah, kendati ditolak
oleh fuqaha’ Irak karena menduga bahwa orang Muslim tidak lagi membutuhkan
didoakan mendapatkan petunjuk. Tapi, pendapat mereka ditentang jumhur ulama
karena mengikuti sunnah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh Ali bin Abu
Thalib Radhiyallahu Anhu untuk meminta ketepatan dan petunjuk. [15]) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengajari Al-Hasan untuk berkata dalam
qunut di shalat witir,
اللهم اهدنى
فيمن هديت
"Ya Allah, berilah aku petunjuk ke
dalam orang yang telah Engkau beri petunjuk”.
Adapun istighfar dari
dosa-dosa, maka merupakan permintaan ampunan dan seorang hamba amat
memerlukannya, karena ia berbuat salah di malam dan siang hari. Al-Qur’an seringkali menyebutkan taubat dan istighfar,
memerintahkan kaum Mukminin kepada keduanya, dan menganjurkan kepada
keduanya. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Anas
bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Seluruh anak keturunan Adam adalah orang-orang salah dan sebaik-baik
orang-orang yangsalah ialah orang-orang yang bertaubat”. [16])
Al-Bukhari meriwayatkan
hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Demi Allah, aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali". [17])
Hadits tersebut juga diriwayatkan An-Nasai dan
Ibnu Majah. Redaksi keduanya ialah,
"Sungguh aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya seratus kali dalam setiap hari”.
Muslim meriwayatkan hadits
dari Al-Aghar Al-Muzani yang mendengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Tuhan kalian, karena aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak seratus kali”. [18])
Hadits tersebut juga
diriwayatkan An-Nasai dan redaksinya ialah,
"Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Tuhan kalian dan
beristighfarlah kepada-Nya, karena aku bertaubat
kepada Allah dan beristighfar
kepada-Nya dalam sehari sebanyak seratus
kali”.
Imam Ahmad meriwayatkan
hadits dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Aku bicara buruk
kepada keluargaku dan tidak mengucapkannya kepada orang lain kemudian itu aku laporkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda, “Kenapa engkau tidak
beristighfar, hai Hudzaifah, karena sesungguhnya
aku beristighfar kepada Allah dalam
setiap hari sebanyak seratus kali”. [19])
Imam Ahmad juga
meriwayatkan hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu
Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Sesungguhnya aku beristighfar kepada
Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam setiap
hari sebanyak seratus kali”. [20])
An-Nasai [21]) meriwayatkan hadits dari Abu Musa Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Kami sedang duduk
lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang dan bersabda, Aku tidak pernah berada di suatu pagi, melainkan aku
beristighfar kepada Allah sebanyak seratus kali".
Imam Ahmad, Abu Daud,
At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Ibnu
Umar Radhiyallahu Anhuma yang berkata, "Dalam satu majlis, kami
menghitung Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata seperti berikut sebanyak seratus kali,
رب اغفر لى وتب عليَّ, إنك أنت التواب الرحيم.
“Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah
taubatku, karena Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang”. [22])
An-Nasai [23])
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Aku tidak pernah melihat
orang yang paling banyak mengatakan, “Aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya”, daripada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam”.
Imam Ahmad meriwayatkan
hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anha dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berkata,
اللهم اجعلنى من
الذين إذا أحسنوا اسْتبْشَروا, وإذا أساءوا استغفروا.
"Ya Allah,
jadikan aku termasuk orang-orang yang jika berbuat baik maka senang dan jika
berbuat salah maka beristighfar”. [24])
Sisa pembahasan tentang
istighfar akan saya sebutkan setelah ini, Insya Allah.
Firman Allah Ta’ala di hadits qudsi di atas, "Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak dapat
memberi madzarat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi madzarat kepada-Ku dan kalian juga tidak dapat memberi
manfaat kepada-Ku dan karenanya kalian bisa memberi manfaat
kepada-Ku”. Maksudnya, seluruh hamba Allah tidak dapat mengirim
manfaat atau madzarat kepada Allah, karena Allah Ta’ala sendiri adalah Mahakaya dan Maha Terpuji yang
tidak butuh kepada ketaatan para hamba, manfaat-manfaat ketaatan
mereka tidak kembali kepada-Nya namun mereka sendiri yang
mengambil manfaat-manfaatnya, dan tidak merugi dengan kemaksiatan-kemaksiatan
mereka namun justru mereka sendiri yang merugi karenanya. Allah Ta’ala
berfirman,
“Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang
yang segera kepada kekafiran, sesungguhnya
mereka tidak sekali-kali dapat memberi madzarat kepada Allah sedikit pun”. (Ali Imran: 176).
Allah Ta’ala berfirman,
"Barangsiapa berbalik
ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madzarat kepada Allah sedikit pun”. (Ali Imran: 144).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbah beliau,
"Dan barangsiapa
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia tersesat, tidak
merugikan kecuali dirinya sendiri, dan sedikit pun tidak merugikan Allah”. [25])
Allah Ta ala berfirman,
"Dan jika kalian
kafir, maka sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji”. (An-Nisa’: 131).
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan tentang Nabi Musa Alaihis Salam,
"Dan Musa berkata,
jika kalian dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji”. (Ibrahim: 8).
Allah Ta’ala berfirman,
"Barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha
Terpuji". (Luqman: 12).
Allah Ta’ala berfirman,
"Daging-daging unta
dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi
ketakwaan dari kalian yang dapat mencapai-Nya”.
(Al-Hajj: 37).
Maksudnya, Allah Ta’ala senang kalau
hamba-hamba-Nya bertakwa dan taat kepada-Nya, sebagaimana Dia benci
kalau mereka bermaksiat kepada-Nya. Oleh
karena itu, Allah lebih bahagia dengan taubat orang-orang bertaubat daripada kebahagiaan orang yang tadinya kehilangan hewan
kendaraannya yang memuat makanan dan
minumannya di padang pasir. Ia pun mencarinya hingga putus asa kemudian
menyerah untuk mati dan putus asa dari hidup. Ia mengantuk kemudian tertidur.
Ketika ia bangun, ternyata hewan kendaraannya berdiri di sampingnya dan ia pun bahagia karenanya. Itulah puncak
kebahagiaan yang dapat digambarkan manusia. Kendati demikian, Allah
tidak memerlukan ketaatan hamba-hamba-Nya dan
taubat mereka kepada-Nya, karena manfaat itu semua kembali kepada mereka sendiri dan tidak kepada-Nya. Tapi, Allah
berbahagia dengan taubat hamba-hamba-Nya
karena kesempurnaan kedermawanan-Nya, kebaikan-Nya kepada mereka, senang
memberi manfaat kepada mereka, dan menolak madzarat dari mereka. Ya, Allah senang kalau mereka mengenal-Nya, mencintai-Nya,
takut kepada-Nya, bertakwa, taat dan
mendekatkan diri kepada-Nya. Allah juga senang kalau mereka mengetahui bahwa tidak ada yang bisa mengampuni
dosa-dosa selain Allah dan bahwa Dia sanggup mengampuni dosa-dosa mereka,
seperti disebutkan di hadits riwayat
Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Dzar Radhiyallahu
Anhu tentang hadits bab di atas,
"Barangsiapa di antara
kalian mengetahui Aku sanggup mengampuni kemudian ia meminta ampunan kepada-Ku, maka Aku mengampuninya dan Aku tidak peduli”.
Di Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Sesungguhnya jika seorang hamba berbuat dosa kemudian berkata, “Tuhanku, aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku”, Allah berfirman,
“Hamba-Ku mengetahui ia mempunyai Tuhan yang bisa mengampuni
dosa-dosa dan menyiksa karena dosa. Sungguh Aku mengampuni
hamba-Ku”. [26])
Di sebutkan di hadits
dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Jika beliau mengendarai
hewan kendaraan, maka beliau memuji Allah tiga kali dan bertakbir tiga kali kemudian berkata, "Subhanaka (Mahasuci
Engkau),
sungguh aku telah mendzalimi diriku maka ampunilah aku, karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali
Engkau”. Setelah itu, Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam tertawa dan bersabda, "Sesungguhnya Tuhanmu kagum pada hamba-Nya jika ia berkata,
“Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku“,
karena ia mengetahui bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Allah”. (Diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi yang menshahihkannya). [27]
Di Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam yang bersabda,
"Demi Allah, Allah
lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu
kepada bayinya”. [28])
Salah seorang sahabat Dzu
An-Nun thawaf sambil berseru, "Duhai, di mana gerangan hatiku? Siapakah yang bisa menemukan hatiku?" Pada suatu
hari, ia masuk ke salah satu jalan dan mendapati anak kecil
menangis karena dipukuli ibunya kemudian ibunya mengeluarkannya dari rumah
dan mengunci rumah. Anak kecil tersebut menoleh ke kanan-kiri tidak
tahu hendak pergi ke mana? Ia kembali ke pintu rumah ibunya dan menangis sambil
berkata, "Ibu, siapakah yang bisa membuka pintu untukku jika engkau menguncinya
dariku? Siapakah yang bisa mendekatkanku kepada hatinya jika engkau mengusirku?
Siapakah yang bisa mendekatkanku setelah engkau marah kepadaku?" Sang ibu pun iba
kepada anak kecilnya kemudian ia melihat
anaknya dari celah pintu dan mendapati anaknya mengucurkan airmata hingga membasahi pipinya dan merebahkan diri ke
tanah. Sang ibu membuka pintu dan
mengambil anak kecilnya kemudian meletakkannya di pangkuan, menciuminya, dan berkata, "Duhai penyegar mataku dan
permata hatiku, engkau sendiri yang membawaku
kepada dirimu dan engkau sendiri yang membuatmu
merasakan ini semua. Jika engkau patuh kepadaku, engkau tidak mendapatkan sesuatu yang tidak mengenakkan dariku”.
Anak kecil tersebut pun senang. Ia berdiri kemudian berteriak, "Sungguh,
aku telah menemukan hatiku. Sungguh, aku telah menemukan hatiku”.
Renungkan firman Allah Ta’ala,
"Dan orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau mendzalimi diri sendiri,
mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?" (Ali Imran: 135).
Di ayat tersebut terdapat
isyarat bahwa orang-orang yang berdosa tidak mempunyai pihak yang
mereka bisa berlindung kepadanya dan sanggup mengampuni dosa-dosa
mereka selain Allah. Begitu juga firman Allah Ta’ala tentang tiga orang yang taubatnya ditangguhkan,
"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit
bagi mereka, padahal bumi luas dan jiwa mereka pun telah sempit oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap
dalam taubat mereka; sesungguhnya Allah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (At-Taubah: 118).
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia menerima taubat ketiga orang
tersebut karena mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari Allah kecuali kepada-Nya. Jika seorang hamba takut
kepada makhluk, ia lari darinya dan kabur
kepada yang selainnya. Namun, jika ia takut kepada Allah, ia tidak mempunyai tempat berlindung dan tempat berlari kecuali
kepadaNya, untuk itu, ia lari kepada-Nya,
seperti dikatakan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam dalam doa
beliau,
لا ملجأ ولا منجأ منك إلا إليك.
"Tidak ada tempat berlindung dan tempat menyelamatkan diri dari-Mu kecuali kepada-Mu”. [29])
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga berkata dalam doa beliau,
أعوذ برضاك من سَخَطِك, وبعفْوك من عقوبتك, وبك منك.
"Aku berlindung
kepada keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, kepada maaf-Mu dari hukuman-Mu, dan kepada-Mu dari (siksa)-Mu”. [30])
Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, "Tidaklah malam bercampur dengan kegelapannya dan
malam menjulurkan tutupnya, melainkan Allah berseru, “Siapa yang lebih dermawan
daripada Aku? Makhluk-makhluk bermaksiat kepada-Ku, namun Aku mengawasi mereka, menjaga mereka di tempat tidur mereka seolah-olah mereka tidak bermaksiat kepada-Ku, dan Aku melindungi mereka
seolah-olah
mereka tidak pernah berdosa antara Aku dengan mereka? Aku dermawan dengan karunia kepada orang yang bermaksiat
dan memberi karunia kepada orang yang
berbuat salah. Siapakah yang berdoa kepada-Ku tapi Aku tidak mengabulkan
doanya? Siapakah yang meminta kepada-Ku kemudian Aku tidak memberinya? Siapakah yang duduk di pintu-Ku kemudian
Aku mengusirnya? Aku karunia dan
karunia dari-Ku. Aku dermawan dan kedermawanan dariku. Aku Mulia dan kemuliaan dari-Ku. Di antara kemuliaan-Ku, Aku
mengampuni orang-orang yang bermaksiat setelah bermaksiat. Di antara
kemuliaan-Ku, Aku memberi hamba sesuai
dengan apa yang dimintakan
kepada-Ku dan memberinya apa yang tidak ia mintakan kepada-Ku. Di antara
kemuliaan-Ku, Aku memberi kepada orang yang bertaubat
seolah-olah ia tidak bermaksiat kepada-Ku. Ke manakah makhluk-makhluk dapat melarikan diri dari-Ku? Ke manakah
orang-orang yang bermaksiat dengan menjauhi
pintu-Ku?” (Diriwayatkan Abu Nu’aim). [31]
Salah seorang generasi
salaf melantunkan syair,
"Aku berbuat salah
dan tidak berbuat baik,
namun aku datang kepada-Mu
dalam keadaan bertaubat
Adakah tempat lari bagi seorang hamba dari-Nya?
Dia bisa diharapkan
memberi ampunan, kendati dugaannya meleset
Tidak ada seorang pun di
bumi yang dikecewakan-Nya”.
Firman Allah Ta’ala di hadits di atas, "Wahai
hamba-hambah-Ku, seandainya orang pertama
dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian semua seperti hati salah
seorang dari kalian yang paling bertakwa, maka itu semua sedikit pun tidak
menambah kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir kalian, manusia dan jin dari kalian
seperti hati orang yang paling jahat di
antara kalian, maka itu semua tidak bisa mengurangi kerajaan-Ku", adalah isyarat bahwa kerajaan Allah tidak bertambah dengan ketaatan makhluk,
kendati mereka semua orang baik-baik dan bertakwa dan hati mereka seperti hati
orang yang paling bertakwa di antara mereka. Firman tersebut juga sinyal bahwa
kerajaan Allah tidak berkurang dengan
kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, kendati jin dan seluruh manusia bermaksiat dan menjadi orang-orang
jahat, serta hati mereka seperti hati
orang yang paling jahat di antara mereka, karena Allah Subhanahu Mahakaya (tidak membutuhkan)
dengan Dzat-Nya dari siapa saja selain diri-Nya dan mempunyai kesempurnaan mutlak pada Dzat, sifat-sifat,
dan perbuatan-perbuatan-Nya. Jadi,
kerajaan Allah adalah kerajaan yang sempurna dan tidak berkurang karena sesuatu apa pun.
Di antara manusia, ada yang
berkata bahwa penciptaan Allah terhadap makhluk-Nya dalam bentuk yang ada
sekarang adalah lebih sempurna dan lebih baik daripada penciptaan-Nya dalam
bentuk yang lain. Dan apa saja yang di dalamnya terdapat keburukan, maka itu keburukan
tambahan yang terkait dengan sesuatu tanpa sesuatu yang lain dari bukan
keburukan secara mutlak, dalam arti ketiadaannya lebih baik daripada keberadaannya, justru
keberadaannya lebih baik daripada
ketiadaannya. Ia berkata bahwa inilah makna sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Di TanganNya
terdapat kebaikan”. Dan makna
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan keburukan tidak
kepada-Mu”. Maksudnya,
sesungguhnya keburukan murni yang
ketiadaannya lebih baik daripada keberadaannya itu tidak ada dalam
kerajaan-Mu, karena Allah menciptakan makhluk-Nya sesuai dengan tuntutan kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Allah
memberikan karunia khusus kepada satu
kaum dan tidak memberikannya kepada kaum lainnya, karena di dalamnya terdapat kebijaksanaan dan keadilan.
Pendapat seperti di atas
memiliki kelemahan dan bertentangan dengan hadits bab di atas yang menyatakan bahwa seandainya seluruh
makhluk-Nya berada dalam sifat kebaikan dan takwa hamba-Nya yang paling sempurna, maka itu
sedikit pun tidak menambah kerajaan-Nya dan
nilainya kurang dari sayap nyamuk. Dan seandainya
mereka berada dalam sifat kejahatan hamba-Nya yang paling brengsek, maka
itu sedikit pun tidak mengurangi kerajaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa kerajaan
Allah itu sempurna dalam kondisi apa pun; tidak bertambah atau sempurna dengan
ketaatan-ketaatan, tidak berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, dan tidak ada sesuatu apa pun yang bisa
mempengaruhinya.
Di sini terdapat dalil bahwa pondasi ketakwaan
dan kejahatan adalah hati. Jika hati telah
baik dan bertakwa, maka seluruh organ tubuh menjadi baik. Sebaliknya,
jika hati jahat, maka seluruh organ tubuh menjadi jahat, seperti disabdakan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
"Takwa itu di sini
sambil memberi isyarat ke dada beliau”. [32])
Firman Allah Ta’ala di hadits di atas, "Wahai
hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian dan manusia dan jin dari kalian berada di tempat
yang sama kemudian mereka meminta
kepada-Ku lalu Aku berikan permintaan setiap
orang, maka itu semua tidak bisa mengurangi apa yang ada pada-Ku
melainkan hanya sekedar seperti jarum yang mengurangi laut jika dimasukkan ke dalamnya”. Yang dimaksud dengan firman tersebut ialah
pengungkapan kesempurnaan kekuasaan Allah dan kerajaan-Nya,
yaitu kerajaan dan gudang Allah tidak pernah habis dan tidak berkurang dengan
pemberian, kendati Dia memberikan seluruh permintaan jin dan manusia generasi
pertama hingga generasi terakhir di satu tempat. Di sini terdapat himbauan bagi
manusia agar mereka meminta dan mengajukan kebutuhan kepada-Nya. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang bersabda,
"Tangan Allah penuh tidak berkurang oleh
infak dan banyak memberi pada malam dan siang hari. Tahukah kalian apa yang telah Dia infakkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya itu
semua tidak mengurangi apa yang ada
di Tangan Kanan-Nya". [33])
Di Shahih Muslim [34]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian berdoa, janganlah ia berkata, “Ya Allah, ampunilah
aku, jika Engkau berkehendak”, namun hendaklah ia serius dalam meminta dan memperbesar keinginan, karena Allah tidak dimintai dengan sering
melainkan Dia memberinya”.
Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu berkata, "Jika
kalian berdoa kepada Allah, tinggikan permintaan kalian, karena apa
yang ada di sisi-Nya tidak bisa dikurangi oleh sesuatu apa pun. Jika kalian berdoa,
bersungguh-sungguhlah, karena Allah tidak
merasa enggan”.
Di salah satu atsar israiliyat
disebutkan, "Allah Azza wa
Jalla berfirman, “Apakah pada saat musibah-musibah selain diri-Ku
diharapkan, padahal semua musibah
ada di Tangan-Ku dan Aku Mahahidup dan Mengurusi makhluk? Apakah selain diri-Ku diharapkan dan pintunya diketuk
pada waktu pagi, padahal kunci-kunci gudang ada pada-Ku dan pintu-Ku terbuka
bagi siapa saja yang berdoa kepada-Ku? Siapakah yang mengharapkan
kepada-Ku pada saat musibah kemudian Aku
putus harapannya? Siapakah yang berharap kepada-Ku pada saat petaka kemudian
harapannya aku pangkas? Siapakah yang mengetuk pintu-Ku kemudian Aku tidak membukanya? Aku puncak seluruh harapan,
maka bagaimana seluruh harapan kepada-Ku
bisa terputus? Apakah Aku bakhil sehingga hamba-Ku menuduh bakhil kepada-Ku?
Bukankah dunia, akhirat, kemuliaan, dan karunia milik-Ku? Apa yang menghalangi
orang-orang untuk berharap kepada-Ku? Seandainya Aku kumpulkan seluruh penghuni langit dan bumi kemudian setiap
dari mereka Aku berikan apa yang Aku berikan kepada mereka semua dan Aku
mengabulkan seluruh harapan mereka, maka itu semua tidak mengurangi kerajaan-Ku
sebesar salah satu bagian biji sawi.
Bagaimana kerajaan-Ku berkurang, padahal Aku pengurusnya? Sungguh celaka orang-orang yang putus asa dari rahmat-Ku.
Sungguh menderita orang yang bermaksiat
kepada-Ku dan melanggar hal-hal yang Aku haramkan”.
Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, “Maka itu semua
tidak bisa mengurangi apa yang ada pada-Ku melainkan hanya
sekedar seperti jarum yang mengurangi laut jika dimasukkan ke dalamnya", itu benar, karena
apa yang ada di sisi Allah tidak berkurang sedikit pun, seperti
difirmankan Allah Ta’ala,
"Apa yang di sisimu lenyap dan apa yang
ada di sisi Allah adalah kekal”. (An-Nahl: 96).
Jika satu jarum
dicelupkan ke laut kemudian diangkat, maka sedikit pun air laut tidak berkurang. Begitu juga, jika burung pipit minum di laut, maka
laut sedikit pun tidak berkurang. Oleh karena itu, Nabi
Khidhr membuat perumpamaan seperti itu untuk Nabi Musa tentang ilmu
keduanya jika dibandingkan dengan ilmu Allah Ta’ala. [35])
Itu karena laut selalu disuplay
seluruh air dunia dan sungai-sungainya yang mengalir. Jadi, kendati air
laut diambil, maka tidak ada yang berkurang
padanya, karena suplaynya lebih banyak daripada air yang diambil. Begitu juga
makanan surga dan apa saja yang ada di dalamnya, maka tidak habis, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan buah-buahan
yang banyak. Yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya”. (Al-Waqi’ah: 32-33).
Disebutkan di hadits
bahwa setiap kali buah-buahan diambil di surga, maka buah-buahan yang sama kembali ke tempatnya semula. Juga diriwayatkan
bahwa dua buah-buahan yang sama kembali ke tempatnya. [36]) jadi, buah-buahan surga tidak pernah
berkurang selama-lamanya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di khutbah shalat gerhana,
"Surga diperlihatkan kemudian aku memegang
setandan dari padanya. jika aku mengambilnya,
kalian bisa memakannya selama dunia masih ada”. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). [37]
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir dan teksnya ialah,
"Jika aku datang
kepada kalian dengan membawa buah-buahan surga, maka pasti makhluk
yang ada di antara langit dan bumi memakannya tanpa bisa menguranginya sedikit pun”. [38])
Begitu pula daging burung
yang dimakan penghuni surga, maka burung tersebut kembali dalam keadaan hidup seperti sebelumnya tanpa ada
yang kurang darinya. [39])
Hal ini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam dari banyak jalur namun dhaif dan juga
dikatakan Ka’ab. Perkataan tersebut juga diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili. Begitu juga minuman yang telah diminum, maka
minuman tersebut kembali ke
tempatnya semula. Seseorang bermimpi bertemu salah seorang shalih tidak lama setelah kematiannya,
kemudian orang shalih tersebut berkata, "Sejak aku meninggalkan
kalian, aku hanya makan sebagian anak burung. Tidakkah kalian ketahui bahwa
makanan surga tidak habis-habis?".
Hadits yang diriwayatkan
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah menjelaskan penyebab apa yang ada di sisi Allah
tidak habis kendati diberikan,
"Itu karena Aku Maha
Dermawan, Mahakaya, Mahamulia, Aku berbuat apa saja yang Aku inginkan, pemberian-Ku adalah firman, dan siksa-Ku adalah
firman. Sesungguhnya perintah-Ku kepada sesuatu jika Aku inginkan ialah Aku berfirman kepadanya, ‘jadilah’, maka jadilah sesuatu tersebut". [40])
Hadits tersebut mirip
dengan firman Allah Azza wa jalla,
"Sesungguhnya
perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah’, maka jadilah ia”. (Yaasiin: 82).
Dan mirip dengan firman
Allah Azza wa Jalla,
"Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia”. (An-Nahl: 40).
Di Musnad
Al-Bazzar disebutkan hadits
dengan sanad yang di dalamnya terdapat
catatan dari Abu Hurairah
Radhiyallahu Anhu dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Gudang-gudang Allah adalah firman. Jika
Dia menghendaki sesuatu, Dia berfirman,
“Jadilah”, maka jadilah sesuatu tersebut".
Jadi, jika Allah Subhanahu menghendaki pemberian, siksa, dan lain-lain, Dia berkata kepadanya, "Jadilah", maka
jadilah apa yang Dia kehendaki. Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa berkurang? Begitu juga, jika Allah
berkehendak menciptakan sesuatu, Dia berkata kepadanya, "Jadilah",
maka jadilah sesuatu tersebut, seperti yang Dia firmankan,
"Sesungguhnya
perumpamaan Isa di sisi Allah adalah seperti perumpamaan Adam yang Dia ciptakan dari tanah kemudian
Allah berfirman kepadanya, ‘Jadilah’, maka jadilah dia”. (Ali Imran: 59).
Disebutkan di salah satu
atsar Israiliyat bahwa
Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Musa Alaihis Salam, "Hai Musa, engkau jangan sekali-kali takut kepada selain diri-Ku selagi kekuasaan menjadi milik-Ku
dan kekuasan-Ku tetap berlangsung
tanpa terputus. Hai Musa, engkau jangan sekali-kali memperhatikan rezki-Ku selama-lamanya selagi gudang-gudang-Ku penuh,
karena gudang-gudang-Ku penuh tanpa
pernah habis. Hai Musa, janganlah engkau berteman dengan selain Aku selagi engkau mendapati-Ku sebagai
temanmu. Kapan saja engkau mencari-Ku,
engkau mendapatkan-Ku. Hai Musa, engkau jangan sekali-kali merasa aman dari
makar-Ku selagi engkau belum melintasi titian ke surga”.
Salah seorang penyair
berkata,
“Janganhah engkau
sekali-kali tunduk kepada seorang makhluk dengan tamak
Karena hal itu merugikan
agamamu
Mintalah rezki kepada
Allah dari apa saja yang ada di gudang-gudang-Nya
Karena gudang-gudang
tersebut ada di antara kata ‘kun’ (jadilah)”.
Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, "Wahai
hamba-hamba-Ku, sesungguhnya itu semua
adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian kemudian Aku menyempurnakannya”, Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menulis seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya kemudian
menyempurnakan pahalanya. Ini seperti firman Allah Ta’ala,
"Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat biji sawi pun, niscaya dia melihatnya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat biji sawi
pun, niscaya dia melihatnya”. (Az-Zalzalah: 78).
Atau mirip dengan firman
Allah Ta’ala,
"Dan mereka dapati
apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis) dan Tuhanmu tidak mendzalimi seorang pun”. (Al-Kahfi: 49).
Atau mirip dengan firman
Allah Ta’ala,
“Pada hari ketika
tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya),
begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang
jauh”. (Ali Imran: 30).
Atau mirip dengan firman Allah Ta’ala,
“Pada hari ketika mereka
dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakannya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan; Allah mengumpulkan (mencatat) amal
perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya”. (Al-Mujaadilah: 6).
Firman Allah Ta’ala di hadits di atas, "Kemudian aku menyempurnakannya”, Secara tekstual, yang
dimaksud firman tersebut ialah penyempurnaan pahala di akhirat, seperti
firmankan Allah Ta’ala,
"Dan sesungguhnya
pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”. (Ali Imran: 185).
Atau bisa jadi yang
dimaksudkan ialah penyempurnaan pahala amal-amal mereka di dunia dan akhirat, seperti
difirmankan Allah Ta’ala,
"Barangsiapa
mengerjakan kejahatan, niscaya diberi pembalasan dengan kejahatannya”. (An-Nisa’: 123).
Karena diriwayatkan dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau menafsirkan yang demikian. Beliau bersabda
bahwa kaum Mukminin diberi balasan atas kesalahan-kesalahan mereka di dunia dan
kebaikan-kebaikan mereka disimpan di akhirat, kemudian pahala kebaikan-kebaikan
tersebut disempurnakan. Sedang orang kafir, pahala kebaikan-kebaikannya disegerakan di dunia dan
kesalahan-kesalahannya disimpan di akhirat kemudian ia disiksa karenanya di
akhirat. Penyempurnaan perbuatan ialah
penyempurnaan balasan; baik atau buruk. Keburukan dibalas dengan
keburukan yang sama tanpa ditambahi kecuali jika Allah memaafkannya. Sedang kebaikan dilipat-gandakan dengan
sepuluh kebaikan yang sama hingga
tujuh ratus lipat atau hingga beberapa kali lipat yang hanya diketahui Allah saja, seperti yang Dia firmankan,
"Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Az-Zumar: 10).
Firman Allah Ta’ala di hadits bab di
atas, "Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa mendapatkan selain
kebaikan, maka ia jangan sekali-kali
menyalahkan kecuali dirinya sendiri", adalah isyarat bahwa
seluruh kebaikan itu dari Allah sebagai karunia dari-Nya untuk hamba-Nya,
sedang seluruh keburukan berasal dari manusia karena hawa nafsu mereka, seperti
firmankan Allah Azza wa jalla,
"Apa saja nikmat
yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari dirimu sendiri”. (An-Nisa’: 79).
Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, "Seorang hamba jangan sekali-kali berharap kecuali kepada Tuhannya. Ia jangan sekali-kali
takut kecuali kepada dosanya. Jika Allah Subhanahu berkehendak
memberi bimbingan dan petunjuk kepada hamba-Nya, Dia membantunya, membimbingnya
untuk taat kepada-Nya, dan itu karunia dari-Nya. Jika Allah berkehendak
menelantarkan hamba-Nya, Dia
menyerahkannya kepada dirinya sendiri, meninggalkannya kemudian ia
ditipu syetan karena kelalaiannya dari dzikir kepada Allah, mengikuti hawa nafsunya, melewati batas, dan itu keadilan
dari-Nya, karena sesungguhnya hujjah
tetap ada pada seorang hamba dengan diturunkannya Al-Qur’an dan diutusnya rasul. Jadi, siapa pun dari manusia tidak
mempunyai hujjah lagi pada Allah setelah pengiriman para rasul”.
Firman Allah Ta’ala di hadits bab di atas, "Barangsiapa
mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji
Allah. Dan barangsiapa mendapatkan selain kebaikan, maka ia jangan
sekali-kali menyalahkan kecuali dirinya
sendiri", jika yang dimaksudkan ialah barangsiapa mendapatkan kebaikan di dunia, ia diperintahkan
memuji Allah
atas apa yang ia dapatkan, yaitu pahala perbuatan-perbuatannya yang shalih yang disegerakan kepadanya di dunia, seperti
difirmankan Allah Ta’ala,
"Barangsiapa
mengerjakan amal shalih; baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl: 97).
Ia juga diperintahkan
menyalahkan dirinya atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya di mana dosa-dosa tersebut dipercepat akibatnya di dunia,
seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan sesungguhnya
Kami merasakan kepada mereka sebagian adzab yang dekat (di dunia) sebelum adzab yang lebih besar (di akhirat);
mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (As-Sajdah: 21).
Jadi, jika orang Mukmin
mendapatkan musibah di dunia, ia kembali kepada dirinya dengan
menyalahkannya dan mengajaknya kembali kepada Allah dengan bertaubat dan beristighfar kepada-Nya. Di Al-Musnad [41]) dan Sunan Abu Daud disebutkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Sesungguhnya jika
orang Mukmin menderita sakit kemudian Allah menyembuhkannya dari sakit tersebut, itu adalah penebus baginya atas
dosa-dosa masa lalunya dan pelajaran baginya atas usianya di masa
mendatang. Dan sesungguhnya jika orang munafik sakit kemudian disembuhkan,
maka ia seperti unta yang diikat pemiliknya
kemudian dilepaskan. Ia tidak tahu kenapa
pemiliknya mengikatnya dan melepaskannya?"
Salman Al-Farisi Radhiyallahu Anhu berkata,
"Sesungguhnya orang Muslim pasti
diuji kemudian ujian menjadi penebus baginya atas dosa-dosa masa silamnya
dan teguran atas apa yang tersisa. Orang kafir juga diuji. Perumpamaan orang kafir ialah seperti unta yang dilepaskan; ia tidak
tahu kenapa ia dilepaskan, dan seperti
unta yang diikat; ia tidak tahu kenapa ia diikat?"
Namun, jika yang dimaksudkan firman Allah di
hadits tersebut ialah orang yang mendapati
kebaikan atau keburukan di akhirat, maka itu penjelasan dari Allah bahwa orang-orang yang mendapatkan kebaikan
di akhirat itu memuji Allah karena hal tersebut dan orang-orang yang
mendapatkan keburukan itu mengecam diri
mereka sendiri pada saat kecaman tidak bermanfaat bagi mereka. Jadi, ungkapan tersebut adalah ungkapan perintah namun maknanya
pemberian informasi, seperti sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa
berbohong terhadapku, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.
Maksudnya, pembohong itu
sedang menyiapkan tempat duduknya di neraka. Allah Ta’ala menjelaskan tentang penghuni surga bahwa
mereka memuji Allah atas karunia-Nya yang diberikan kepada mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan Kami cabut
segala macam dendam yang ada di dada mereka, mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata, “Segala puji bagi
Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) itu dan kami sekali-kali tidak mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi
kami petunjuk". (Al-A’raaf: 43).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan mereka berkata,
“Segala puji bagi Allah yang memenuhi janji-Nya kepada kami dan (memberi)
kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki". (Az-Zumar: 74).
Allah Ta’ala berfirman,
"Dan mereka berkata,
Segala puji bagi Allah yang menghilangkan duka cita dari kami, sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami di tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula
merasa lesu". (Fathir: 34-35).
Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa penghuni
neraka mengecam diri mereka sendiri dan sangat membencinya. Allah Ta’ala berfirman,
"Dan berkatalah
syetan tatkala perkara (hisab) diselesaikan, Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar dan aku telah
menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya;
sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku atas kalian, melainkan
(sekedar) aku menyeru kalian lalu kalian mematuhi seruanku, oleh sebab itu,
janganlah kalian mencerca aku, akan tetapi cercalah diri kalian sendiri”. (Ibrahim: 22).
Allah Ta’ala berfirman,
"Sesungguhnya
orang-orang yang kafir diserukan kepada mereka (pada hari kiamat), Sesungguhnya kebencian Allah lebih besar daripada kebencian
kalian kepada diri kalian sendiri karena kalian diseru untuk beriman lalu kalian kafir". (Ghafir: 10).
Para generasi salaf
bersungguh-sungguh dalam amal shalih karena khawatir mencerca dirinya sendiri pada saat amal perbuatan terputus karena ia
dulu lalai. Di At-Tirmidzi [42]) disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Tidaklah mayit mati melainkan ia
menyesal, jika mayit tersebut orang baik, ia menyesal kenapa ia dulu tidak menambah (amal).
Jika mayit tersebut jahat, ia menyesal kenapa tidak mencerca”.
Dikatakan kepada Masruq, "Bagaimana
seandainya engkau mengurangi keseriusan yang biasa engkau kerjakan?"
Masruq berkata, "Jika seseorang datang kepadaku kemudian memberiku kabar
bahwa Allah tidak menyiksaku, aku pasti bersungguh-sungguh dalam ibadah”.
Dikatakan kepada Masruq, "Kenapa begitu?" Masruq berkata, "Agar
jiwaku menerima alasanku bahwa aku tidak mencercanya jika aku masuk neraka.
Tidakkah disampaikan kepadamu firman Allah Ta’ala, “Dan aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (Al-Qiyamah: 2). Mereka
menyalahkan diri mereka sendiri ketika mereka masuk ke neraka Jahanam kemudian
mereka dirangkul Malaikat Zabaniyah, mereka dipisahkan dengan apa saja yang
mereka inginkan, seluruh harapan terputus dari mereka, rahmat diangkat dari
mereka, dan setiap orang dari mereka menyalahkan dirinya sendiri?"
Amir bin Abdu Qais berkata, "Demi Allah,
aku pasti bersungguh-sungguh kemudian demi Allah, aku pasti bersungguh-sungguh.
Jika aku selamat, itu karena rahmat Allah. Jika tidak, aku tidak menyalahkan
diriku”. [43])
Ziyad mantan budak Ibnu Ayyasy berkata kepada
Ibnu Al-Munkadir dan Shafwan bin Sulaim, "Bersungguh-sungguhlah dan
waspadalah. Bersungguh-sungguhlah dan waspadalah. Jika segala sesuatu seperti
yang kita harapkan, maka apa yang telah kalian berdua kerjakan adalah karunia.
Jika tidak, kalian berdua tidak perlu menyalahkan diri kalian berdua?"
Mutharrif bin Abdullah berkata,
"Bersungguh-sungguhlah kalian dalam beramal. Jika segala sesuatu terjadi
seperti yang kita harapkan itu karena rahmat Allah dan maaf-Nya, maka kita
mempunyai beberapa derajat di surga. Jika segala sesuatunya sangat berat
seperti yang kita takutkan dan khawatirkan, kita tidak berkata, “Ya Tuhan kami,
keluarkan kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalih berlainan dengan
yang telah kami kerjakan”. (Fathir: 37). Namun kita katakan, “Sungguh, kami
telah beramal, namun semua amal kami tidak berguna bagi kami”.
[1]
Hadits nomer 2577. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Imam Ahmad 5/154, 160, 177, At-Tirmidzi hadits nomer 2495, Ibnu Majah hadits nomer 4257, Abdurrazzaq
hadits nomer 20272, Al-Khathib di Tarikhnya 7/203-204, Abu Nu’aim di Al-Hilyah
5/125-126, dan Al-Baihaqi
di Al-Asma’ wash Shifat hal.
65, 159, 213-214, 227, 285.
[2]
Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan Al-Kabir. Al-Haitsami berkata di Majmauz
Zawaid 10/150, "Di sanadnya terdapat
perawi Abdul Malik bin Harun bin Antarah yang disepakati sebagai perawi dhaif”.
[3] Imam An-Nawawi
meriwayatkan hadits tersebut di halaman akhir buku Al-Adzkaar dengan sanadnya.
Ia berkata, syaikh kami Abu Al-Baqa’ Khalid bin Yusuf An-Nablusi Ad-Dimasyqi berkata
kepada kami, Abu Thalib Abdullah, Abu Manshur Yunus, Abu Al-Qasim Husain bin
Hibatullah bin Shashri, Abu Ya’la Hamzah, dan Abu Ath-Thahir Ismail, semuanya berkata kepadaku,
Al-Hafidz Abu Al-Qasim Ali bin Al-Husain alias Ibnu Asakir berkata kepada kami, Asy-Syarif
Abu Al-Qasim Ali bin Ibrahim bin Al-Abbas Al-Husaini yang merupakan khathib
Damaskus berkata kepada kami, Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Yahya bin
Salwan berkata kepada kami, Abu Al-Qasim Al-Fadhl bin Ja’far berkata kepada
kami, Abu Bakr Abdurrahman bin Al-Qasim bin Al-Faraj Al-Hasyimi berkata kepada
kami, Abu Mishar berkata kepada kami, Sa’id bin Abdul Aziz berkata kepada kami dari
Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris Al-Khaulani dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dari Jibril Alaihis Salam dari Allah Tabaraka wa
Ta’ala yang berfirman, "...”. Kemudian Imam Nawawi
menyebutkan hadits tersebut. Ia berkata, "Hadits ini shahih. Kami meriwayatkannya di Shahih Muslim dan lain-lain.
Sanadnya dariku hingga Abu Dzar adalah orang-orang Damaskus, karena
Abu Dzar pernah masuk ke Damaskus. Hadits ini mengandung sejumlah manfaat, di
antaranya sanad dan matannya shahih, kedudukannya tinggi, dan sanadnya berantai
dengan
orang-orang Damaskus.
Manfaat-manfaat lainnya, hadits
tersebut mengandung penjelasan sejumlah kaidah-kaidah agung tentang
prinsip-prinsip agama, cabang-cabangnya, etika, sentuhan-sentuhanjiwa, dan lain
sebagainya.
Puji bagi Allah atas ini semua.
Kami riwayatkan dari Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal yang berkata,
“Orang-orang Syam tidak mempunyai
hadits yang lebih mulia daripada hadits ini”.
[4]
Baca Shahih Muslim hadits nomer 2650.
[5]
Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 4699 dan
Ibnu Majah hadits nomer 77. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 727. Takhrijnya secara lengkap, silahkan
di buku tersebut.
[6]
Saya tidak mengetahui ulama-ulama hadits
tempo dulu yang berkata seperti itu, karena Wahb bin Khalid dianggap sebagai
perawi tepercaya oleh Abu Daud, Ibnu Hibban, Al-Ajli, Ad-Dzahabi, dan
Ibnu Hajar.
[7]
Dari Abu Bakrah, hadits tersebut
diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 67 dan Muslim hadits nomer 1679. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban
hadits nomer 3848. Takhrijnya secara
lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[8]
Diriwayatkan Imam Ahmad 5/72. Di sanadnya
terdapat perawi Ali bin Zaid bin
Jud’an yang merupakan perawi dhaif.
[9]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 2447
dan Muslim hadits nomer 2579.
[10]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4686,
Muslim hadits nomer 2583, dan At-Tirmidzi hadits nomer 3110. Hadits tersebut
dishahihkan ibnu Hibban hadits nomer
5175.
[11]
Hadis nomer 2449 dan 6534. Hadits tersebut
juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/435, 506. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban
hadits nomer 7361.
[12]
Diriwayatkan Imam Ahmad 4/162, 266 dan
Muslim hadits nomer 2865. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer
653, 654. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[13]
Dari Abu Hurairah, hadits tersebut
diriwayatkan Imam Ahmad 2/275, 282, Al-Bukhari hadits nomer 1358, Muslim hadits nomer 2658, dan At-Tirmidzi hadits
nomer 2138. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 128-130.
[14]
Dari Aisyah, hadits tersebut diriwayatkan
Imam Ahmad 6/156, Muslim hadits nomer 770,
Abu Daud hadits nomer 767, At-Tirmidzi hadits nomer 3420, An-Nasai 3/212-213,
dan Ibnu Majah hadits nomer 1357.
Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2600.
[15]
Diriwayatkan Imam Ahmad 1/88, Muslim hadits
nomer 2725, dan An-Nasai 8/177, 219
dan Abu Dawud hadits nomer 1425.
[16]
Diriwayatkan At-Tirmidzi hadits nomer 2499,
Ibnu Majah hadits nomer 4251, Imam Ahmad 3/198, Al-Hakim 4/244, dan Ibnu
Adi di Al-Kamil 5/1850 dari jalur Ali bin Mas’adah dari Qatadah dari Anas bin Malik. Sanad hadits tersebut layak dianggap hasan.
[17]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6307,
An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah
hadits nomer 434, 437, Ibnu Majah
hadits nomer 3815, dan Imam Ahmad 2/282. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 925.
[18]
Diriwayatkan Muslim hadits nomer 2702,
An-Nasai di Amalul Yaumi wal
Lailah hadits nomer 444, 447,
Imam Ahmad 4/260, dan Al-Bukhari di Al-Adab
Al-Mufrad hadits nomer 621. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban
hadits nomer 929.
[19]
Diriwayatkan Imam Ahmad 5/396, 397. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 926 dan
Al-Hakim 1/511, 2/457, padahal di sanadnya terdapat Ubaidillah bin Abu Al-Mughirah yang tidak diketahui identitasnya.
[20]
Diriwayatkan An-Nasai di Amalul Yaumi wal
Lailah hadits nomer 440 dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 1810 dari jalur Abu
Barzah bin Abu Musa dari ayahnya. Sanadnya hasan. Al-Hafidz Al-Mizzi berkata di
Tuhfatul Asyraaf 6/462, "Yang
kuat ialah hadits Abu Barzah dari
Al-Aghar Al-Muzani", yaitu hadits sebelumnya.
[21] Di Amalul Yaumi wal Lailah hadits
nomer 441. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomer 3816 dan Ath-Thabrani
di Ad-Du’a 3/1809. Menurut Ibnu Majah, "Sebanyak
tujuh puluh kali”.
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Al-Uqaili di Adh-Dhua’fa’ 4/175 dan menguatkan hadits tersebut berasal dari Al-Aghar Al-Muzani.
[22]
Diriwayatkan Imam Ahmad 2/21, 67, Abu Daud
hadits nomer 1516, At-Tirmidzi hadits nomer
3434, An-Nasai di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 458, 460, Ibnu
Majah hadits nomer 3814, dan Al-Bukhari di Al-AdabAl-Mufrad
hadits nomer 618. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu
Hibban hadits nomer 927.
[23]
Di Amalul Yaumi wal Lailah hadits nomer 454. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 928, padahal di dalamnya terdapat perawi Al-Walid bin Muslim yang merupakan
perawi mudallis, dan ia telah mengucapkan “an” (dari).
[24]
Diriwayatkan Imam Ahmad 6/129, 145, 188, 239,
Ibnu Majah hadits nomer 3820, dan Ath-Thabrani di Ad-Du’a hadits nomer 1401. Di sanadnya terdapat perawi Ali bin Zaid bin Jud’an yang merupakan perawi dhaif.
[25]
Diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 1097, 2119
dan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10499. Di sanadnya terdapat perawi Abu
Iyadh Al-Madani yang tidak dikenal identitasnya.
[26]
Dari Abu Hurairah, hadits di atas
diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 7507, Muslim hadits nomer 2758, dan Imam
Ahmad 2/296. Hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Hibban hadits nomer 622, 625.
[27]
Diriwayatkan Imam Ahmad 1/97, 115, 128,
At-Tirmidzi hadits nomer 3446, dan Abu Daud
hadits nomer 2602. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2698
dan Al-Hakim 2/98-99.
[28]
Dari Umar bin Khaththab, hadits tersebut
diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 5999 dan Muslim 2754 yang semisal dengannya.
[29]
Dari Al-Barra’ bin Azib, hadits tersebut
diriwayatkan Imam Ahmad 4/285, Al-Bukhari hadits nomer 247, dan Muslim hadits nomer 2711. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer
5527, 5536, 5542. Takhrijnya secara lengkap, silahkan baca buku tersebut.
[30]
Dari Aisyah, hadits tersebut diriwayatkan
Imam Ahmad 6/58, 201, Muslim hadits nomer
486, Abu Daud hadits nomer 879, dan An-Nasai 1/102. Hadits tersebut dishahihkan
Ibnu Hibban hadits nomer 1932, 1933.
[31]
Di Al-Hilyah 8/92-93.
[32]
Dari Abu Hurairah, hadits tersebut
diriwayatkan Imam Ahmad 2/277. Muslim hadits nomer 2564, dan At-Tirmidzi hadits
nomer 1927.
[33]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 4684,
Muslim hadits nomer 993, dan
At-Tirmidzi hadits nomer 3045.
[34]
Hadits nomer 2679. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Ahmad 2/457-458 dan dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 896.
[35]
Dari Ibnu Abbas, hadits tersebut diriwayatkan
Al-Bukhari hadits nomer 122, 3401, 4725, 4727, Muslim hadits nomer 2380, dan
At-Tirmidzi hadits nomer 3149. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits
nomer 6220.
[36] Ath-Thabrani
di Al-Kabir 1449
meriwayatkan hadits dari Tsauban dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Jika seseorang memetik salah satu
buah-buahan surga, maka bunh-buahan lainnya kembali ke tempatnya semula”.
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Al-Bazzar hadits nomer 3530 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah hadits nomer 345
dengan redaksi, "Salah seorang dari penghuni surga tidak memetik salah satu
buah-huahan surga, melainkan dua buah-buahan yang sama tumbuh di tempatnya semula”. Itu redaksi Abu
Nu’aim. Di sanadnya terdapat Abbad bin Manshur yang merupakan perawi dhaif.
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 3531 dan di sanadnya terdapat perawi Ishaq
bin Idris yang tertuduh sebagai pemalsu hadits.
Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/414. Ia berkata, "Hadits
tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani dan Al-Bazzar. Perawi salah satu sanad
Al-Bazzar adalah para perawi tepercaya”.
[37]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 1052,
Muslim hadits nomer 907, dan Imam Ahmad 1/298. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu
Hibban hadits nomer 2832.
[38]
Diriwayatkan Imam Ahmad 5/137 dari jalur
Jabir dari Ubai bin Ka’ab. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim 4/604-605 dari jalur Ath-Thufail bin Ubai bin Ka’ab dari ayahnya dan menshahihkannya dengan disetujui Adz-Dzahabi.
[39]
Hanad bin As-Suri di Az-Zuhdu hadits nomer 120, Ibnu Abu Syaibah 13/98-99, Nu’aim bin Hammad
hadits-hadits tambahan Az-Zuhdu hadits nomer 268, dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah
6/68 meriwayatkan hadits dari
jalur Hassan bin Abu Al-Asyras dari Mughits bin Sumi yang berkata, "Jika seorang (penghuni surga)
menginginkan burung, ia memanggilnya kemudian
burung tersebut datang hingga jatuh
di atas mejanya. Ia pun memakan dendeng dari salah satu sisinya dan satu dari sisinya yang lain kemudian burung
tersebut kembali seperti sebelumnya lalu terbang”. Atsar mursal ini shahih.
[40]
Penggalan hadits panjang yang diriwayatkan
At-Tirmidzi hadits nomer 2495, Ibnu Majah
hadits nomer 4257, dan Imam Ahmad 5/154, 177 dari jalur Syahr bin Husyab dari Abdurrahman bin Ghanm dari Abu Dzar. At-Tirmidzi
berkata, "Hadits ini hasan kendati terdapat pembahasan tentang Syahr bin Husyab”.
[41]
Hadits tersebut tidak tercetak di Al-Musnad, karena banyak sekali hadits, terkadang musnad-musnad para sahabat, juga tidak tercetak di dalamnya.
Mudah-mudahan Allah memberi kemudahan untuk bisa menerbitkan Al-Musnad dalam cetakan yang teredit dan bersandar pada sumber-sumber tepercaya.
Buktinya, hadits tersebut sesungguhnya ada di Al-Musnad bahwa Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Ishabah 2/252 berkata bahwa
hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Daud hadits nomer 3089 dan dari jalurnya oleh Ibnu Al-Atsir di Usudul Ghabah 3/121. Di
sanadnya terdapat perawi Abu Mandzur yang tidak dikenal identitasnya.
[42]
Hadits nomer 2403. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 33 dan Ibnu Adi di Al-Kamil 7/2660. Di sanadnya terdapat perawi Yahya bin Ubaidillah bin Muhab yang disepakati para ulama
hadits sebagai perawi dhaif.
[43]
Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/88
No comments:
Post a Comment